Anda di halaman 1dari 18

Diskusi kasus :

EPISTAKSIS
ARJU MIFTAHYUDIN
030.16.016
kasus
Seorang laki-laki berusia 56 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan
perdarahan dari kedua hidung sejak 2 jam yang lalu. Perdarahan
terutama di hidung kanan. Sebagian darah tertelan oleh pasien.
 
Terdapat riwayat penyakit darah tinggi namun sejak 3 bulan ini
berobat alternatif.

Kata kunci : perdarahan dari kedua hidung sejak 2 jam,


sebagian darah tertelan, riwayat penyakit darah tinggi.
pendahuluan
Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai
sehari-hari baik pada anak maupun usia lanjut Epistaksis
seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.
Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri
tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang
berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan
yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.
anatomi
-Septum nasi
-Kavum nasi
Dasar hidung, atap hidung, dan dinding
lateral
-Konka
-Meatus
superior, media, dan inferior
-nares
Anterior dan posterior
Vaskularisasi rongga hidung
 Bagian atas rongga hidung mendapat
pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.
oftalmika dari a. karotis interna.
 Bagian bawah rongga hidung mendapat
pendarahan dari cabang a. maksilaris interna,
diantaranya adalah ujung a. palatina mayor
dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan
memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media.
 Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang – cabang a. fasialis. Pada bagian
depan septum terdapat anastomosis dari
cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid
anterior, a. labialis superior, dan a. palatina
mayor yang disebut pleksus Kiesselbach
(Little’s area).
Fisiologi Hidung
 a. Fungsi Respirasi Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur suhu ini
dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan
konka dan septum yang luas.
 b. Fungsi Penghidu Hidung bekerja sebagai indera penghidu dan pencecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga 10 bagian atas
septum.
 c. Fungsi Fonetik Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara
dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia).
 d. Refleks Nasal Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan.
Epidemiologi
Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% orang di seluruh dunia selama masa
hidup mereka, dan sekitar 6% dari mereka dengan epistaksis datang ke
pelayanan kesehatan. Prevalensi meningkat pada anak-anak kurang dari 10
tahun dan kemudian naik lagi setelah usia 35 tahun. Umumnya, laki-laki yang
sedikit terkena dibanding wanita sampai usia 50 tahun, tapi setelah 50 tahun
tidak ada perbedaan yang signifikan seperti data yang telah dilaporkan.
Epistaksis biasanya dibagi menjadi epistaksis anterior dan posterior,
tergantung pada lokasi asalnya.
Etiologi
Trauma : Perdarahan dapat terjadi karena traumaringan misalnya mengorek hidung, benturanringan,
bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras.
Kelainan pembuluh darah (lokal) Sering kongenital. Pembuluh darah lebihlebar, tipis, jaringan ikat
dan sel-selnya lebihsedikit.
lnfeksi lokal : Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidungdan sinus paranasal seperti rinitis atiau
sinusitis.Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitisjamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra.
Tumor : Epistaksis dapat timbul pada hemangiomadan karsinoma. Yang lebih sering terjadi
padaangiofi boma, dapat menyebabkan eplistiaksis berat.
Penyakit kardiovaskuler : Hipertensi dan kelainan pembuluh darahseperti yang terjadi pada
arteriosklerosis, nefritiskronik, sirosis hepatis atau diabetes melitusdapat menyebabkan epistaksis.
Kelainan darah : Kelainan darah penyebab epistaksisantara lain leukemia, fombositopenia,
bermacarn-macam anemia serta hemofilia.
Kelainan kongenital : Kelainan kongenital yang sering menye-babkan epistaksis ialah
teleangiektiasis hemoragikherediter.
lnfeksi sistemik : Yang sering menyebabkan epistaksis ialahdemam berdarah, Demam tifoid,
influensa dan morbillijuga dapatdisertai epistaksis.
Patofisiologi
1. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach/ Little’s
area, merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada
anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan
dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan
tindakan sederhana.
2. Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri
ethmoid posterior yang disebut pleksus Woodruff’s. Perdarahan
cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada
pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Manifestasi klinis
Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach disepfum bagian anterior
atau dari arteri etnoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior
biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan
mengorek. hidungdan kebanyakan terjadi pada anak, seringkali
berulang dan dapat berhenti sendiri.
Epistaksis posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina.
Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri.
Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau
pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri
sfenopalatina.
Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara
teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum,
mukosa hidung dan septum nasi, dinding
lateral hidung dan konkha inferior harus
diperiksa dengan cermat.
Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi
posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik
untuk menyingkirkan neoplasma.
Pemeriksaan Penunjang
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI Rontgen sinus dan CT-Scan atau
MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.
Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan
penyakit lainnya.
Skrining terhadap koagulopati Tes-tes yang tepat termasuk waktu
protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan
waktu perdarahan.
Diangnosis
Diagnosis sementara : epistaksis posterior

Diagnosis banding
-hemoptisis,
-varises oesofagus yang berdarah,
-perdarahan di basis cranii
tatalaksana
PERDARAHAN ANTERIOR
1. Pemeriksaan bagian luar hidung, ada tidaknya luka terbuka
pada bagian luar(dorsum nasal), luka memar, deformitas hidung
2. Perhatikan perdarahan yang keluar, masih mengalir aktif atau
berhenti,darah segar atau sudah menggumpal kehitaman
3. Rinoskopi anterior > cari sumber perdarahan (daerah yang
sering menjadisumber plexus kheiselbach) & bersihkan sisa
darah dengan suction
4. Jika sumber perdarahan sudah terindentifikasi lakukan
pemasangan tamponkapas dengan adrenalin 1:100.000 pada
Plexus Kheiselbach (pastikan TDpasien normal sebelum
menggunakan adrenalin)
5. Bila perdarahan teteap terjadi à tampon kapas padat yang
sudah diberikanadrenalin 1:100.000 dan salep antiseptik.
6. Pemasangan dilakukan dengan bantuan speculum di tangan
kiri dan kapastampon di tangan kanan dengan bantuan pinset
bayonet.
PERDARAHAN ANTERIOR
1. Pemeriksaan bagian luar hidung, ada
tidaknya luka terbuka pada bagian
luar(dorsum nasal), luka memar, deformitas
hidung
2. Perhatikan perdarahan yang keluar, masih
mengalir aktif atau berhenti,darah segar
atau sudah menggumpal kehitaman
3. Rinoskopi anterior > cari sumber
perdarahan & bersihkan sisa darah
dengansuction
4. Periksa dinding faring posterior >
perhatikan ada tidaknya perdarahan aktif
yang mengalir melalui dinding faring
posterior.
5. Jika sumber perdarahan sudah
terindentifikasi lakukan pemasangan
tamponposterior (Beloque tampon).
Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Daftar Pustaka
1. Nuty W Nizar, Endang Mangunkusumo EpistaksisDalam Soepardi EA, lskandar H
(Ed). Buku Ajarllmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok KepalaLeher. Edisi ke-
5. Jakarta. Fakultas KedokteranUniversitas lndonesia.2001 hal 125-9.
2. Gilyoma, Japhet M dan Phillipo L Chalya. Etiological profile and treatment
outcome of epistaxis at a tertiary care hospital in Northwestern Tanzania: a
prospective review of 104 cases. Tanzania: BMC Ear, Nose and Throat. 2011;1-6.
3. Viewhug, Tate L, dan Jhon B Roberson. Epistaxis : Diagnosis and Treatment. USA:
American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons. 2006;511-8.

Anda mungkin juga menyukai