Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

EPISTAKSIS

Disusun oleh:

Trisia Windy 112021261


Edo Chandra S 112021262
Harry Sondrio W 112021277
Fanny Andy S Y 112021339
Vania Hadi 112022104

Pembimbing :
dr. Abdi Bumi S, Sp., THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG DAN


TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 04 Juli 2022 - 06 Agustus 2022

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir
90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, terutama terjadi
pada anak-anak dan usia lanjut. Prevalensi epistaksis meningkat pada anak-anak usia
dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun ke atas. Etiologi epistaksis
dapat dari banyak faktor, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
faktor local dan faktor sistemik. Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu
menghentikan perdarahan, mmencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.

Umumnya pada epistaksis terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior
dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari pleksus kiesselbach atau dari
arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistaksis posterior dapat berasal dari arteri
sphenopalatine dan arteri ethmoid posterior.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Mimisan dikenal juga dengan epistaksis. Epistaksis berasal dari istilah Yunani
epistazien yang berarti perdarahan dari hidung. Epistaksis adalah perdarahan akut yang
berasal dari vestibulum nasi, kavum nasi atau nasofaring. Epistaksis atau perdarahan dari
hidung banyak dijumpai sehari-hari pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali
merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat
berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis berat walaupun jarang
merupakan masalah kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal jika tidak ditangani.1,2

2.2 Anatomi dan Fisiologi Hidung

Hidung berbentuk piramid dengan puncaknya di atas dan di bagian bawah terdapat
dasar. Piramid hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh otot dan kulit.
Sepertiga atas hidung luar merupakan tulang dan duapertiga bawah merupakan tulang rawan.
Bagian tulang terdiri dari dua tulang hidung yang bertemu di garis tengah dan pada bagian
atas dari prosesus nasalis os frontal dan keduanya melekat diantara prosesus frontalis os
maksila. Bagian tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor), kartilago alar minor dan
kartilago septum.3

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar4


Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior hingga
koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi membagi
tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior

Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh palatum
durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral
dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan
orbita : sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.

Gambar 2. Anatomi Cavum Nasi2

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,


a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut Pleksus Kiesselbach
(Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.
Gambar 3. Vaskularisasi Hidung2

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.

Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal sebagai berikut :5

1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik local

2. Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu

3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang

4. Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma
dan pelindung panas

5. Refleks nasal.
2.3 Epidemiologi

Diperkirakan, sekitar 60% penduduk pernah mengalami epistaksis dan 6% diantaranya


mencari bantuan medis. Insiden epistaksis sekitar 108 per 100.000 penduduk per tahun. Di
Inggris didapatkan 10,2 per 100.000 pasien epistaksis dengan rata-rata masa rawatan 2,9 hari
dalam 3 bulan dan di Amerika Serikat tercatat 17 per 100.000 penduduk (6%).

Insiden tertinggi epistaksis dijumpai pada usia dibawah 10 tahun dan usia diatas 40 tahun.
Epistaksis bagian anterior umumnya dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara
epistaksis posterior sering pada orang tua dengan perdarahan yang akut yang berat. Di
poliklinik THT-KL RSUD Zainoel Abidin, Banda Aceh. Distribusi pasien epistaksis periode
1 januari 2017 sampai 31 Juli 2018 yang penulis dapatkan sebanyak 37 penderita.1

2.4 Etiologi

Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa
hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach
(area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang
persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis
dapat ditimbulkan oleh faktor lokal dan faktor sistemik.6

Lokal7

a. Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, misalnya mengorek hidung, benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang
lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering
mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum
anterior. Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau
trauma pembedahan. Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang
tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang
berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian anterior septum
nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang
cenderung mengeringkan sekresi hidung.
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti
lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis. Infeksi akan menyebabkan
inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di
hidung.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten,
kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma
dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang
abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat
rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis herediter (hereditary hemorrhagic telangiectasia / Osler's disease). Juga
sering terjadi pada Von Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary
adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat
rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan. Jika ada cedara jaringan, terjadi
kerusakan pembuluh darah dan akan menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada
dinding pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat terpotong.
Atau dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam.
e. Deviasi Septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi
dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat menyebabkan turbulensi
udara yang dapat menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur
bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti menggosok-gosok hidung.
f. Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan
udaranya sangat kering. Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi
mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang
disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal, selain itu bisa disebabkan oleh zat-zat
kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga
pembuluh darah gampang pecah.

Sistemik
a. Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah trombositopenia,
hemofilia dan leukemia. Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak
berinti dan dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila
terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan serotonin
dan tromboksan A (prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh
darah berkonstriksi.
b. Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis hepatis,
diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya
hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. Hipertensi adalah peningkatan tekanan
darah sistolik lebih dari 140 mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg.
Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah
yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh
darah terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan tekanan
darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan vasodilatasi,
menyebabkan rupture dari pembuluh darah.
c. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan
vitamin K. Pada sirosis hepatis, fungsi sintesis protein-protein dan vitamin yang
dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadi perdarahan yang
dapat menyebabkan epistaksis pada penderita sirosis hepatis.
d. Diabetes mellitus
Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah
mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein
pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin menebal dan
lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi
perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus.
e. Infeksi akut (Demam berdarah)
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigenantibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua
faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi
sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit melekat satu
sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES
(reticuloendothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini
akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Oleh
karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam berdarah.
f. Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di pembuluh
darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang
menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.

2.5 Patofisiologi

Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar


ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan
posterior.8

 Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach/ Little’s area, merupakan
sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak. Dapat juga berasal dari
arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat
dikendalikan dengan tindakan sederhana.
 Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior
yang disebut pleksus Woodruff’s. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang
berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering
ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.

2.6 Diagnosis
Anamnesis
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang
hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau
pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Kebanyakan kasus epistaksis
timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek
krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting
mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan
alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak
alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan
pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa
waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk.
Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi
pembekuan secara bermakna.9

Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan dengan cara teratur
dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral
hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat. Rinoskopi posterior
merupakan pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi
dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting
mengenali neoplasma atau infeksi. Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan
kemungkinan penyakit lainnya.

2.7 Penatalaksaan
Terdapat 3 prinsip utama dalam tatalaksana epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Menghentikan
perdarahan dapat dilakukan dengan penekanan langsung pada ala nasi, kauterisasi,
pemasangan tampon hidung( anterior dan posterior), ligase arteri dan embolisasi.
Pencegahan terhadap terjadinya komplikasi dapat dilakukan dengan mengatasi dampak
dari perdarahan yang banyak salah satunya dengan diberikan infus atau tranfusi darah.1

Menghentikan Perdarahan1
1. Penekanan langsung pada ala nasi penanganan pertama dimulai dengan penekanan
langsung ala nasi kiri dan kanan bersamaan selama 5 – 30 menit. Setiap 5 – 10 menit
sekali dievaluasi apakah perdarahan telah terkontrol atau belum. Penderita sebaiknya
tetap tegak namun tidak hiperekstensi untuk menghindari darah mengalir ke faring
yang dapat mengakibatkan aspirasi.
2. Kauterisasi
Perdarahan yang berasal dari plexus Kiesselbach dapat ditangani dengan kauteriasi
kimia Perak Nitrat 30%, Asam Triklorasetat 30%, atau Polikresulen pada pembuluh
darah yang mengalami perdarahan selama 2 – 3 detik. Kauterisasi tidak dilakukan
pada kedua septum karena dapat menimbulkan perforasi.3,4,19,22 Prosedur
elektrokauterisasi juga dapat dilakukan. Metode ini dilakukan pada perdarahan yang
lebih masif yang kemungkinan berasal dari daerah posterior, dan kadang memerlukan
anestesi lokal. Terdapat dua macam mekanisme elektrokauter, yaitu monopolar dan
bipolar.
3. Tampon Hidung
Tampon hidung dapat digunakan untuk menangani epistaksis yang tidak responsif
terhadap kauterisasi. Terdapat dua tipe tampon, tampon anterior dan tampon posterior.
Pada keduanya, dibutuhkan anestesi dan vasokonstriksi yang adekuat.4 Tampon
Anterior. Untuk tampon anterior dapat digunakan tampon Boorzalf atau tampon
sinonasal atau tampon pita (ukuran 1,2 cm x 180 cm), yaitu tampon yang dibuat dari
kassa gulung yang diberikan vaselin putih (petrolatum) dan asam borat 10%, atau
dapat menggunakan salep antibiotik, misalnya Oksitetrasiklin 1%, tampon ini
merupakan tampon tradisional yang sering digunakan.4 Bahan lain yang dapat dipakai
adalah campuran bismuth subnitrat 20% dan pasta parafin iodoform 40%, pasta
tersebut dicairkan dan diberikan secara merata pada tampon sinonasal / pita, tampon
ini dapat dipakai untuk membantu menghentikan epistaksis yang hebat. Pasang
dengan menggunakan spekulum hidung dan pinset bayonet, yang diatur secara
bersusun dari inferior ke superior dan seposterior mungkin untuk memberikan tekanan
yang adekuat. Apabila tampon menggunakan boorzalf atau salep antibiotik harus
dilepas dalam 2 hari, sedangkan apabila menggunakan bismuth dan pasta parafin
iodoform dapat dipertahankan sampai 4 hari.
Tampon posterior. Epistaksis yang tidak terkontrol menggunakan tampon rongga
hidung anterior dapat ditambahkan tampon posterior. Secara tradisional,
menggunakan tampon yang digulung, dikenal sebagai tampon Bellocq. 4 Apabila
melakukan pemasangan tampon posterior, maka tampon anterior seyogyanya tetap
dipasang. Antibiotik intravena tetap diberikan untuk mencegah rinosinusitis dan syok
septik
4. Ligasi arteri
Pemilihan pembuluh darah yang akan diligasi bergantung pada lokasi epistaksis.
Secara umum, semakin dekat ligasi ke lokasi perdarahan, maka kontrol perdarahan
semakin efektif. Pembuluh darah yang dipilih antara lain : arteri karotis eksterna,
arteri maksila interna atau arteri etmoidalis.
5. Embolisasi
Perdarahan yang berasal dari sistem arteri karotis eksterna dapat diembolisasi.
Dilakukan angiografi preembolisasi untuk mengevaluasi sistem arteri karotis eksterna
dan arteri karotis interna. Embolisasi dilakukan pada arteri maxilaris interna dan
externa. Angiografi postembolisasi dapat digunakan untuk menilai tingkat oklusi.

Mencegah Komplikasi1
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai
akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat
terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, syok, anemia, dan gagal ginjal.
Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia,
iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat
menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus
dilakukan segera. Beberapa komplikasi yang pemasangan tampon adalah:
rhinosinusitis, Otitis Media, Hemotimpanum, Septikemia/toxic shock syndrome,
Sinekia, perforasi septum nasi, Bloody tears. Khusus pemeasangan tampon posterior
(belloq) akan menimbulkan dampak seperti: laserasi palatum mole atau sudut bibir
bila benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada bibir dan pipi.
Dampak lainnya adalah nekrosis mukosa hidung atau septum bila balon dipompa
terlalu keras.1
Mencegah Berulangnya Epistaksis1
Mencari penyakit dasar yang menyebabkan epistaksis sangat penting untuk mencegah
berulangnya epistaksis. Penanganan penyakit yang menjadi penyebab epistaksis
seperti hipertensi, trombositopenia, koagulopati, keganasan, fraktur maksilofasial
membantu dalam penanganan epistaksis dan pencegahan rekurensi
2.8 Pencegahan

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara
lain:10
 Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli,
pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan
ini dapat mencampur 1 sendok teh garam 30 ke dalam secangkir gelas, didihkan
selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat kuku.
 Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
 Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan
cotton bud melebihi 0,5 – 0,6 cm ke dalam hidung.
 Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
 Bersin melalui mulut.
 Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
 Batasi penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin
atau ibuprofen.
 Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
 Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan
menyebabkan iritasi.

2.9 Prognosis

Prognosis epistaksis baik jika ditangani dengan tepat. Jika penanganan adekuat dan
penyakit yang mendasari ditangani, perdarahan berulang tidak terjadi pada sebagian besar
kasus. Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan atau tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan
prognosisnya buruk.

BAB III

KESIMPULAN

Epistaksis adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu
kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat
berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu
lokal dan sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior
dan epistaksis posterior. Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Tindakan yang dapat dilakukan pada epistaksis,
yaitu memencet hidung, pemasangan tampon anterior dan posterior, kauterisasi, ligasi (pengikatan
pembuluh darah) dan embolisasi. Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan
benda keras ke dalam hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras, bersin melalui
mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan, dan terutam berhenti merokok

DAFTAR PUSTAKA

1. Husni T, Hadi Z. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Epistaksis. 2019.


2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorokan, kepala dan leher. Edisi 7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2017.
3. Broek, P.V.D., Feenstra, L. 2010. Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal. Buku Saku
Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. Edisi 12. Jakarta: EGC, 99-100.
4. Hilger, Peter A, MD, George L Adams, Lawrence L Boies, MD. Hidung: Anatomi
dan Fisiologi Terapan dalam Buku Ajar Penyakit THT BOEIS edisi 6, Harjanto
efendi, R.A Kuswidayati (ed). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994;173-85.
5. Ballenger, J.J. 2007. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher.
Jakarta:Binarupa Aksara.
6. Sherwood L.bHuman Physiology: From Cells to Systems: 6thed. USA : The Thomson
Corporation.2007.
7. 7. Hilger, Peter A, MD, George L Adams, Lawrence L Boies, MD. Hidung: Anatomi dan
Fisiologi Terapan dalam Buku Ajar Penyakit THT BOEIS edisi 6, Harjanto efendi, R.A
Kuswidayati (ed). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994;173-85.
8. Mangunkusumo E dan Wardani RS. Epistaksis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2016: 131-5.
9. Hilger, Peter A, MD, George L Adams, Lawrence L Boies, MD. Epistaksis dalam Buku Ajar
Penyakit THT BOEIS edisi 6, Harjanto efendi, R.A Kuswidayati (ed). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 1994;173-85.
10. Bertrand, B, ET AL. Guidelines to The Management of Epistaxis. Brussels: ENT and HNS
Departement, Catholic University of Louvain. 2005; 27-43. 10. Shin, Edward J,MD dan
Andrew H Murr,MD. Managing Epistaksis. USA: Otolaryngology-Head & Neck Surgery,
University of California San Fransisco, California. 2000;1-5.

Anda mungkin juga menyukai