Anda di halaman 1dari 27

TUTORIAL

EPISTAKSIS

Disusun Oleh :

Fajri Nova 20137300


Jananda Musdhika Pramana 2013730057
Megi Annisa Rahma 20137300

Pembimbing :

dr. Satrio Prodjohoesodo, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RSUD SAYANG CIANJUR
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan hidayahNya sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.
Tugas ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas tutorial pada Stase Ilmu THT Rumah
Sakit Umum Daerah Cianjur mengenai ”Epistaksis Di Bidang Tht”. Laporan tutorial ini kami
buat dengan tujuan memenuhi tugas kami selama menjalani kepanitraan klinik stase Ilmu
Penyakit THT dan juga dengan laporan tutorial ini kami bisa mempelajari proses perjalanan
penyakit baik secara subjektif maupun objektif.
Terima kasih kepada dokter pembimbing di Rumah Sakit Umum Daerah Cianjur dr.
Satrio Prodjohoesodo, Sp.THT yang telah membantu dalam terselesainya tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga tugas ini dapat bermanfaat untuk
para pembaca.

Cianjur, Desember 2017

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Epistaksis adalah salah satu keadaan darurat THT umum. Meskipun kebanyakan pasien
dapat diobati dalam pengaturan kecelakaan dan darurat, beberapa sangat kompleks dan mungkin
memerlukan intervensi khusus. Ada beberapa faktor risiko untuk pengembangan epistaksis dan
dapat mempengaruhi setiap kelompok usia, tetapi itu adalah penduduk lansia dengan morbiditas
terkait mereka yang sering membutuhkan perawatan yang lebih intensif dan penerimaan
berikutnya. Strategi pengobatan telah secara luas serupa selama beberapa dekade. Namun,
dengan evolusi teknologi endoskopi, cara-cara baru aktif mengelola epistaksis sekarang
tersedia. Bukti terbaru menunjukkan bahwa ini, dikombinasikan dengan penggunaan rencana
pengelolaan bertahap, harus membatasi komplikasi pasien dan kebutuhan untuk masuk. Ulasan
ini membahas berbagai pilihan pengobatan dan mengintegrasikan metode tradisional dengan
teknik modern. Epistaksis, baik spontan atau sebaliknya, yang dialami oleh hingga 60% dari
orang-orang dalam hidup mereka, dengan 6% membutuhkan perhatian medis. Meskipun
pemahaman kita tentang kondisi ini telah membaik, pemasangan tampon hidung untuk mimisan
memiliki perubahan sedikit sejak Hippocrates menggunakan wol domba pada hidung berkenaan
dengan adu tinju di Yunani kuno.

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau
nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit,
melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri.1,2
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 210 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada
musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7
penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian
anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior
sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.1,3 Tiga prinsip
utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi
dan mencegah berulangnya epistaksis.

Insiden epistaksis sangat bervariasi dengan usia. Ada distribusi bimodal dengan puncak
pada anak-anak dan dewasa muda dan dewasa yang lebih tua (45-65 tahun) .Bukti anekdotal
menunjukkan bahwa kelompok stereotip tertentu lebih rentan (misalnya, perempuan tua atau
anak-anak muda).
BAB II

ISI

1. Definisi Epistaksis

Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak
maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.
Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis,
tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalahh kedaruratan yang dapat
berakibat fatal bila tidak segera ditangani.

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau nasofaring.
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang kebanyakan ringan
dan dapat berhenti sendiri. Walaupun jarang, epistaksis yang berat merupakan masalah
kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani (Mangunkusumo &
Wardhani, 2007).

2. Anatomi Hidung

a) Hidung Luar

Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah antara pipi dan bibir atas. Struktur
hidung luar terbagi atas 3 bagian, yaitu (Mangunkusumo & Wardhani, 2007) :

a. Atas : Kubah tulang yang tidak bisa digerakkan

b. Tengah : Kubah tulang kartilago yang bisa sedikit digerakkan

c. Bawah : Lobulus hidung yang mudah digerakkan

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung(Mangunkusumo & Wardani,2007).
Kerangka tulang terdiri atas :

a. Tulang hidung

b. Prosesus frontalis os maksila

c. Prosesus nasalis os frontal

Kerangka tulang rawan terdiri atas :

a. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior

b. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior(kartilago ala mayor)

c. Tepi anterior kartilago septum

b) Hidung Dalam

Bagian hidung dalam terdiri atas bagian yang terdapat antara os internum di sebelah
anterior hingga ke koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum. Tiap kavum nasi mempunyai 4 dinding,
yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
adalah konka inferior, yang lebih kecil ialah konka medial, lebih kecil lagi konka
superior, dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter.

Diantara konka inferior dan dasar hidung terdapat meatus inferior, diantara konka
media dan konka inferior terdapat meatus medial, dan disebelah atas konka media
terdapat meatus superior(Bull, 2002).
Gambar 2.1. Anatomi Hidung (Netter, 2011)
Gambar 2.2. Anatomi Hidung (Netter, 2011)
Gambar 2.3. Anatomi Hidung (Netter, 2011)
Gambar 2.4. Anatomi Hidung (Netter, 2011)

3. Anatomi Pembuluh Darah Hidung

Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis anterior,
arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri sfenopalatina.Arteri
etmoidalis anterior memperdarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral
hidung.Arteri etmoidalis posterior memperdarahi septum bagian superior posterior. Arteri
sfenopalatina terbagi menjadi arteri nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral
hidung dan arteri septi posterior yang menyebar pada septum nasi. Bagian bawah rongga
hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung
arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media.Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach ( Little’s area) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama
dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

Hidung diperdarahi oleh arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Bagian atas
rongga hidung diperdarahi oleh arteri etmoidalis anterior dan posterior yang merupakan
cabang dari arteri oftalmika dan arteri karotis interna. Bagian bawah rongga hidung
diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris interna, diantaranya yaitu ujung arteri palatina
mayor dan arteri sphenopalatina. Bagian depan hidung diperdarahi oleh cabang dari arteri
fasialis.

Pleksus Kiesselbach merupakan anastomosis dari arteri etmoidalis anterior, arteri palatina
mayor, arteri sphenopalatina, dan arteri labialis superior yang terletak di anterior rongga
hidung. Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan tidak terlindungi sehingga mudah
cedera karena trauma. Lebih dari 90% kasus epistaksis terjadi akibat perdarahan di pleksus
Kiesselbach atau sering disebut Little’s area di septum nasal.

Perdarahan posterior berasal dari pleksus Woodruff yang terletak di rongga hidung bagian
belakang atas atau konka media yang merupakan anastomosis dari arteri sphenopalatina dan
arteri etmoidalis posterior(Gifford & Orlandi, 2008).
Gambar 2.5. Anatomi perdarahan hidung (Probst, 2004)
Gambar 2.6. Plexus Kiesselbach dan Plexus Woodruff (Santos & Lepore, 2001)

4. Epidemiologi Epistaksis
Epistaksis adalah masalah umum yang terjadi baik minor seperti tetesan darah atau darah
yang menggumpal sampai perdarahan hebat yang mengancam nyawa. Kebanyakan pasien
memiliki episode self-limiting yang tidak memerlukan perawatan medis dan dengan
demikian kejadian sebenarnya jadi tidak diketahui. Terlepas dari ini, diperkiraan kejadian
seumur hidup epistkasis ini secara global sebesar 60%. Dari sudut pandang otolaringologis,
33% yang masuk dalam kegawatdaruratan adalah pasien epstaksis dengan usia rata-rata 70
tahun. Usia keseluruhan onset menggambarkan distribusi bimodal dengan peningkatan
kejadian di masa kecil diikuti oleh kejadianyang kembali memuncak pada dekade keenam.
Sementara Individu hadir dengan perdarahan berasal dari septum anterior, pasien yang lebih
tua jauh lebih mungkin hadir dengan perdarahan akut yang parah. Dari catatan Epistaksis
jarang terjadi pada anak di bawah 2 tahun dan harus dicurigai penyakit yang mendasari atau
kekerasan pada anak.

Beberapa penelitian juga menyatakan adanya variasi musiman dalam kejadian epistaksis
dengan episode lebih banyak di musim gugur dan musim dingin. Sementara ini mungkin
karena mencerminkan penurunan kelembaban ambien selama bulan yang lebih dingin
temuan ini belum diterima secara umum.

5. Etiologi Epistaksis
Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat,
bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas.
Disamping itu juga dapat desebabkan oleh iritasi gas yang merangsang, benda asing dan
trauma pada pembedahan. Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta
granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis.
Epistaksis berat dapat terjadi pada tumor seperti hemangioma, karsinoma dan angiofibroma
Tiwari (2005) melaporkan melanoma pada hidung sebagai penyebab pistaksis yang tidak
biasa.Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai pada arterioskelerosis
sering menyebabkan epistaksis hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. Gangguan
endokrin pada wanita hamil dan menopause, kelainan darah pada hemofilia dan leukemia
serta infeksi sistemik pada demam berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan
epistaksis. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah Rendu-
OslerWeber disease. Disamping itu epistaksis dapat terjadi pada penyelam yang merupakan
akibat perubahan tekanan atmosfer.

Epistaksis sering kali timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya. Epistaksis dapat
disebabkan oleh (Mangunkusumo & Wardhani, 2007) :

 Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat dari
trauma yang lebih hebat seperti pukulan, jatuh atau kecelakaan lalu lintas.

 Kelainan pembuluh darah

Sering merupakan masalah kongenital. Pembuluh darah lebih tipis, lebar, jaringan
ikat dan sel-selnya lebih sedikit. Infeksi lokal Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung
dan sinus paranasal seperti rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti
rhinitis jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra.

 Tumor

Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Pada angiofibroma


dapat menyebabkan epistaksis berat.

 Penyakit kardiovaskular

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis,
nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis.
Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi seringkali hebat dan dapat berakibat
fatal.

 Kelainan darah

Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia, anemia


dan hemophilia.

 Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah teleangiektasis


hemoragik herediter(Osler-Rendu-Weber disease). Juga dapat di temukan pada Von
Willerband disease.

 Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah(dengue hemorrhagic
fever). Demam tifoid, influenza dan morbili juga dapat disertai dengan epistaksis.

 Perubahan udara

Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya
sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia di
tempat industri yang menyebabkan keringnya mukosa hidung.

 Gangguan hormonal

Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh
perubahan hormonal.

 Obat-obatan

Obat topikal hidung seperti antihistamin dan kortikosteroid dapat menyebabkan


iritasi mukosa, terutama bila diaplikasikan langsung pada septum nasal.

6. Tipe-tipe Epistaksis
Berdasarkan lokasinya, epistaksis dapat dibagi atas (Mangunkusumo & Wardhani, 2007) :

 Epistaksis anterior

Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai, terutama pada anak-anak
dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan ini bersumber dari pleksus Kiesselbach
(Little’s area). Dapat juga berasal dari arteri etmoidalis anterior. Daerah ini rentan
terhadap kelembapan udara yang di inspirasi dan trauma. Akibatnya dapat terjadi ulkus,
ruptur, atau kondisi patologik lainnya yang selanjutnya akan menyebabkan perdarahan.
Gambar 2.7. Epistaksis Anterior (Santos & Lepore, 2001)

 Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis
posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya sehingga
memerlukan perawatan di rumah sakit. Sering ditemukan pada pasien lebih tua dengan
hipertensi, arteriosklerosis atau penyakit kardiovaskuler lainnya.
Gambar 2.8. Epistaksis Posterior (Santos & Lepore, 2001)

6. Patofisiologi Epistaksis

Pada orang yang berusia menengah dan lanjut, pemeriksaan arteri kecil dan sedang
terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan
kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang
komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi
pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan
yang banyak dan lama.

Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya
epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini
disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma(Munir et al., 2006).

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,
terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan
kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang
komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi
pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan
yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan
setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding
pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.3 Berdasarkan lokasinya
epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:

1. Epistaksis anterior Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama
pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri.Perdarahan pada lokasi ini
bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa
pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum
nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada
daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya.5 Daerah ini
terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus,
ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan
perdarahan .
2. Epistaksis posterior Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan
arteri etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan
sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau
pasien dengan penyakit kardiovaskuler. 2 Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis
posterior berasal dari dinding nasal lateral

7. Diagnosis Epistaksis
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya
harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior biasanya akibat mengorek hidung,
epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior
atau biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran
tekanan darah dan periksa faktor pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin THT,
dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau
perlu CT-scan.

Anamnesis yang penting ditanyakan antara lain(Adam et al., 1997) :

 Riwayat perdarahan sebelumnya


 Lokasi perdarahan
 Apakah ada darah mengalir kedalam tenggorokan atau keluar dari hidung bila pasien
duduk tegak?
 Lama perdarahan dan frekuensinya
 Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
 Hipertensi
 Diabetes mellitus
 Penyakit hati
 Penggunaan antikoagulan
 Trauma hidung yang belum lama

8. Penatalaksanaan Epistaksis

Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber


perdarahan, hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya
perdarahan. Farmakoterapi hanya sebagai terapi pendukung pada pasien epistaksis. Bila
pasien datang dengan epistaksis, periksa keadaan umumnya, nadi, pernafasan, serta tekanan
darah. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang infus.

Pada epistaksis anterior yang tidak berhenti sendiri, dapat dicoba dihentikan dengan
menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, cara ini seringkali berhasil. Bila sumber
perdarahan dapat terlihat, dapat dikauterisasi dengan larutan Nitrat Argenti (AgNO3) 25-
30%. Bila perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior
yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik.
Pemakaian pelumas ini berfungsi agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan
perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah,
disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan
selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi. Bila perdarahan belum
berhenti, dapat dipasang tampon baru. Pasien juga harus diberikan antibiotik spektrum luas
untuk mencegah infeksi akibat pemasangan tampon (Iskandar, 2006).
Gambar 2.9. Tampon Anterior (Frazee & Hauser, 2000)

Epistaksis posterior lebih sulit diatasi karena biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari
sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat dilakukan pemasangan tampon
posterior atau yang disebut tampon Bellocg. Tampon ini terbuat dari kasa padat dibentuk
kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 buah benang, 2 di satu
sisi dan 1 di sisi yang lain. Sebagai pengganti tampon Bellocg, dapat digunakan kateter
Folley dengan balon.

Gambar 2.10. Tampon Posterior (Durr, 2004)

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi
kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis
yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke
mukosa hidung :

A. Ligasi Arteri Karotis Eksterna


Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal arteri tiroid superior untuk melindungi
suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini dapat
dilakukan dibawah anastesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas
mandibula yang menyilang pinggir anterior muskulus sternokleidomastoideus. Setelah
flap subplatisma dielevasi, muskulus sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan
diseksi diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi
bifurkasio karotis kemudian arteri karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk
melakukan ligasi dibawah arteri faringeal asendens, terutama apabila epistaksis berasal
dari bagian posterior hidung atau nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasidengan
benang 3/0 silk atau linen.

B. Ligasi Arteri Maksilaris Interna

Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.


Pendekatan ini dilakukan dengan anastesi lokal atau umum, lalu dilakukan insisi
Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila,
secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret
atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita.
Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium
posterior. Dengan operatin microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat
adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa
pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep
dengan bipolarelectrocauter dan nervehook. Setelah arteri maksila interna diidentifikasi,
arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya.
Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi antibiotik selama 24
jam.

c. Ligasi Arteri Etmoidalis


Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi
dengan ligasi arteri etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan
pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang
berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm
posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4
-7 mm.sebelah anterior nervus optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk
mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita
dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura
pada lamina subperiosteal.Dua klem arteri diletakkan pada arteri etmoidalis anterior,
dan rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, arteri etmoidalis
posterior jangan diganggu untuk menghindari trauma nervus optikus. Tetapi bila
perdarahan persisten, arteri etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem.

8. Komplikasi Epistaksis

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksis itu sendiri atau sebagai akibat dari
upaya penanggulangan epistaksis yang dilakukan. Perdarahan yang hebat dapat
menyebabkan aspirasi darah kedalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok,
anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menyebabkan
hipoksia, edema serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat
menyebabkan kematian(Iskandar, 2006).

Pemasangan tampon anterior dapat menyebabkan rino-sinusitis, bloodytears (akibat darah


mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis), dan septikemia atau toxic shock
syndrome. Pemasangan tampon posterior dapat menyebabkan otitis media, hemotimpanum
(akibat darah mengalir melalui tuba Eustachius), dan laserasi palatum mole atau sudut bibir
jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan di pipi. Kateter balon atau tampon
balon tidak boleh di pompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung
atau septum.

Pada pasien yang di pasang tampon harus selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3 hari,
tampon harus di cabut. Bila perdarahan masih berlanjut, pasang tampon baru.

9. Diagnosis banding

Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir keluar dari
hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii yang
kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.

10. Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan
prognosisnya buruk.

BAB III

KESIMPULAN

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit, yang
disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat
ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Prinsip penanganan epistaksis
adalah menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya
epistaksis. Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda keras ke dalam
hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras, bersin melalui mulut,
menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan, dan terutama berhenti merokok.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD. Rhinology and Sinus Disease AproblemOriented
Aproach. St. Louis, Mosby Inc, 1998: 43 – 9.
2. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis. Dalam:
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FK UI,
1998: 127 – 31.

3. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott – Brown’s Otolaryngology.
Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort - Heinemann, 1997: 1–19.

4. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa staf ahli
bagian THT FK UI. Jilid 1. Edisi 13. Jakarta, Binarupa Aksara,1994: 1 – 27, 112 – 6.

5. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket reference.
Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994: 170 – 80 dan 253 – 60.

6. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxix: Identification of common bleeding
sites. Laryngodcope, 2005. Vol. 115 (4): 588 – 90.

7. Thuesen AD, Jacobsen J, NepperRasmussen J. Juvenile angofobroma. Ugeskr Leager. 2005.


Vol. 167 (34): 3163 – 6.

8. Tiwari D, Plater M, Partridge R, WestonSimons J. Primary malignan melanoma of nose: a


rare cause of epistaxis in the elderly. Age Ageing. 2005. Vol. 34 (6): 653 – 4.

9. Sys L, van den Hoogen FJ. Rendu-OslerWeber disease. Ned Tijdschr Tandheelkd. 2005. Vol.
112 (9): 336 – 9.

10. Abelson TI. Epistaxis. Dalam: Paparella MM, Shumrick DA, Glucman JL, Meyerhoff WL.
Otolaryngology. Vol. III. Ed. 3 rd. Philadelphia: WB Saunders Company, 1997: 1831 – 41.

11. Yang DZ, Cheng JN, Han J, Shu P, ZhangH. Management of intactable epistaxis and
bleeding points laokalization. Zhonghua Er Bi, 2005. Vol. 40 (5): 360 – 2.

12. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit THT. Alih bahasa: Caroline W.
Edisi VI. Jakarta. EGC Penerbit buku kedokteran, 1993: 224 – 37.

13. Vaghela HM. Using a swimmer’s nose clip in the treatment of epistaksis in the A&E
departement. Accing Emerg Nurs, 2005, Vol. 13 (4): 261 – 3.

14. Vaghela HM. Foley catheter posterior nasal packing. Clin Otolaryngol, 2005. Vol. 30 (2):
209 – 10.
15. Shah AG, Stachler RJ, Krouse JH. Endoscopic ligation of the sphenopalatine artery as a
primary management of severe posterior epistaxis in patiens with coagulopathy. Ear Nose
Throat J. 2005. Vol. 84 (5): 296 –7

16. Johnson JT, Rosen CA. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology vol 1.Ed.
5th.Wolters Kluwer.2014.

17. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan teling
hidung tengorok kepala leher. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2011.
18. Schlosser RJ. Epistaxis. N Engl J Med. 2009 Feb 19; 360: 784-9.
19. Mudunuri RKR, Murthy MAN. The treatment of spontaneous epistaxis: Conservaive vs
cautery. J Clin Diagn Res. 2012 Nov 15; 6(9): 1523-4.

20. Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUI. [Online] [cited 2014 Aug 23].
Availablefrom:URL: http://fkuii.org/tikidownload_wiki_attachment.php?
attId=2175&page=LEM%20FK%20UII

Anda mungkin juga menyukai