Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

EPISTAKSIS

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS PRAKTIK KLINIK

MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

Dosen Pembimbing:

Wiwid Yuliastuti, S.Kep., Ners., M.Kep

Dibuat Oleh:

AIS RAHMAWATI NURISYIYAH (A1R21004)

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

HUTAMA ABDI HUSADA

TULUNGAGUNG

2023/2024
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN EPISTAKSIS

TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN

DARI PEMBIMBING AKADEMUK DAN PEMBIMBING LAHAN

DISUSUN OLEH:

NAMA : AIS RAHMAWATI NURISYIYAH

NIM : A1R21004

PEMBIMBING AKADEMIK PEMBIMBING LAHAN

Tanggal: Tanggal:

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

STIKes HUTAMA ABDI HUSADA TULUNGAGUNG

TAHUN 2023
EPISTAKSIS

1. Definisi
Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat
berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan
oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya (Iskandar & Supardi, 1993).
Epistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung dapat
berasal dari bagian anterior rongga hidung atau dari bagian posterior rongga hidung.
Dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis
bukan suatu penyakit melainkan gejala suatu kelainan. Perdarahan yang terjadi
di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit umum.
Kebanyakan ringan dan sering berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis,
tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang
berakibat fatal bila tidak segera ditangani (Endang & Retno, 2008).
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau
nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang
kebanyakan ringan dan dapat berhenti sendiri. Walaupun jarang, epistaksis yang berat
merupakan masalah kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera
ditangani (Mangunkusumo & Wardhani, 2007).

2. Etiologi
Pada dasarnya, penyebab epistaksis dapat dibedakan menjadi penyebab lokal
dan sistemik. Pada kebanyakan kasus (90%), tempat perdarahan terdapat di pleksus
Kiesselbach, suatu pleksus pembuluh darah di bagian depan septum hidung. Penyebab

tersering adalah manipulasi jari (mengupil) atau trauma. Yang termasuk dalam trauma
antara lain adalah (meskipun relative jarang) perdarahan ke dalam rongga hidubng
akibat fraktur frontonasal, yang merobek arteri ethmoidalis anterior.
a. Penyebab lokal
 Rupture pembuluh darah karena hembusan hidung yang kuat, rhinitis
sicca, atau benda asing.
 Perforasi
 Abses
 Infeksi virus atau pada alergi, meningkatkan kerentanan struktur yang
memang rentang tersebut. Akhirnya kemungkinan neoplasma sebagai
penyebab perdarahan juga harus dipikirkan, misalnya fibroma
nasofaring juvenile (sangat jarang).
b. Penyebab sistemik
 Penyakit sirkulasi vascular (hipertensi, arteriosclerosis). Penyakit
dengan diathesis hemoragik, baik kongenital maupun didapat.
 Penyakit osler, sebagai contoh vasopati sistemik, juga bermanifestasi
berupa telangiectasia di kulit dan mukosa mulut.

3. Patofisiologi
Epistaksis didefinisikan sebagai perdarahan akut dari rongga hidung, yang
keluar melalui lubang hidung ataupun kebelakang (nasopharing). Secara
patofisiologis, bisa dibedakan menjadi epistaksis anterior dan posterior. 90%
epistaksis berasal
dari bagian depan hidung (anterior), berasal dari sekat/dinding rongga hidung. Bagian
dalam hidung dilapisi oleh mukosa yang tipis dan mengandung banyak pembuluh
darah (Kiesselbach plexus) yang fungsinya menghangatkan dan melembabkan udara
yang
dihirup. Pembuluh-pembuluh ini amat peka terhadap pengaruh dari luar, selain karena
letaknya di permukaan juga karena hidung merupakan bagian wajah yang paling
menonjol. Sehingga perubahan cuaca (panas, kering), tekanan udara (di daerah
tinggi),
teriritasi gas/zat kimia yang merangsang, pemakaian obat untuk mencegah
pembekuan darah atau hanya sekedar terbentur (pukulan), gesekan, garukan, iritasi
hidung karena pilek/allergi atau kemasukan benda asing dapat menimbulkan
epistaksis. Jenis epistaksis yang anterior biasanya lebih mudah diatasi dengan
pertolongan pertama di rumah (Isezuo, 2008).
Pada orang yang lebih tua, lokasi perdarahan lebih sering
ditemukan berasal dari bagian posterior hidung. Penyebab biasanya bukan karena
trauma tetapi lebih mungkin ruptur spontan pembuluh darah yang sklerotik.
Perdarahan akan lebih berat jika pasien menderita hipertensi. Epistaksis posterior
terjadi primer di
regio septum posterior, diikuti sesuai frekuensi di dinding posterolateral nasal yang
mengandung pleksus naso-nasofaringeal Woodruff; sering berasal dari pembuluh
arteri (Isezuo, 2008).
Berdasarkan etiologi dari epistaksis, salah satu penyebab
epistaksis akibat gangguan sistemik dicetuskan oleh adanya hipertensi. Berdasarkan
penelitian yang ada, faktor hipertensi ini merupakan penyebab sistemik tersering yang
menyebabkan epistaksis. Tekanan darah normal bervariasi sesuai usia, sehingga
setiap diagnosis hipertensi harus bersifat spesifik terhadap usia. Namun secara umum,
seseorang dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi
daripada 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik (Corwin & Elizabeth, 2000).
Karena tekanan darah bergantung pada kecepatan denyut jantung, volume
sekuncup dan TPR , maka peningkatan salah satu dari ketiga variable yang tidak
dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi (Corwin & Elizabeth, 2000).
Nakada, et al. membuktikan terjadinya apoptosis pembuluh
darah mikro pada pasien dengan hipertensi. Diperkirakan bahwa hipertensi
menyebabkan penebalan pada dinding pembuluh darah dan menyebabkan
peningkatan terjadinya apoptosis yang merupakan usaha tubuh untuk meregresi
terjadinya penebalan pada dinding pembuluh darah. Teori ini diduga semakin
menyakinkan terjadinya mekanisme spontan epistaksis. Perdarahan biasanya hebat
dan jarang berhenti spontan (Isezuo, 2008).
Pada pasien dengan hipertensi juga dapat menyebabkan arteriosklerosis pada
pembuluh darah di daerah nasal yang diduga menjadi penyebab epistaksis karena
predisposisi hipertensi (Isezuo, 2008).
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan
lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi
jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai
perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan
gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga
mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda,
pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area
yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh
iskemia lokal atau trauma (Watkinson, 1997).
4. Pathway
5. Manifestasi Klinis
1. Didapati adanya perdarahan dari lubang hidung berwarna merah terang.
2. Ada riwayat penyebab lokal dan sistemik seperti yang telah disebutkan.
3. Pasien tampak pucat akibat anemia yang disebabkan oleh kehilangan darah yang
banyak.

6. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis (Endang & Retno, 2008).
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas
bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia, dan gagal ginjal. Turunnya tekanan
darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri,
insufisiensi koroner, sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya
(Endang & Retno, 2008).
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media,
septicemia, atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan
antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus
dicabut. Bila perdarahan berlanjut dipasang tampon baru (Endang & Retno, 2008).

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemerikasaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab dari epistaksis.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain: nasoendoskopi, foto kepala (posisi
waters, lateral dan caldwell), Cumputed Tomografi Scan (CT Scan), dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan untuk evaluasi
bagian kavum nasi dan muara sinus secara langsung menggunakan tampilan
berkualitas
tinggi. Ini adalah prosedur yang biasa dilakukan di bagian THT-KL dan berfungsi
sebagai alat diagnostik objektif dalam mengevaluasi mukosa hidung, anatomi
sinonasal, dan patologi hidung. Nasoendoskopi dapat dilakukan dengan menggunakan
teleskop serat optik atau teleskop kaku.
Pemeriksaan foto kepala dilakukan dalam 2
posisi, yaitu posisi Waters, Lateral dan Caldwell. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
melihat gambaran sinus paranasal, detail tulang kepala, dasar kepala dan struktur
tulang wajah pada epistaksis yang dicurigai akibat fraktur nasal dan trauma wajah.
Pada epistaksis, pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT Scan) sangat
penting untuk menilai rongga hidung dan sinus paranasalis terhadap kemungkinan
adanya penyakit primer yang menjadi penyebab dari epistaksis. Beberapa penyakit
yang dapat menjadi penyebab dari epistaksis antara lain trauma, neoplasma maupun
kelaianan kongenital dapat ditegakkan diagnosis dengan bantuan CT Scan.
Demikian juga, Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih baik dibandingkan CT
scan dalam membedakan tumor dari sekitarnya terkait penyakit inflamasi.

8. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis d.d mengeluh nyeri
2. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan d.d tidak mampu batuk
3. Ansietas b.d kurang terpapar informasi d.d merasa khawatir dengan akibat dari
kondisi yang dihadapi

9. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis d.d mengeluh nyeri
Manajemen nyeri (I.08238)

Observasi 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,


kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Idenfitikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik 1. Berikan Teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri (mis: TENS, hypnosis,
akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, Teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(mis: suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgesik secara tepat
5. Ajarkan Teknik farmakologis untuk mengurangi
nyeri
Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan d.d tidak mampu batuk
Latihan batuk efektif (I.01006)

Observasi 1. Identifikasi kemampuan batuk


2. Monitor adanya retensi sputum
3. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
4. Monitor input dan output cairan (misal: jumlah dan
karakteristik)
Terapeutik 1. Atur posisi semi-fowler dan fowler
2. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
3. Buang sekret pada tempat sputum
Edukasi 1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
2. Anjurkan Tarik napas dalam melalui hidung
selama 4 detik, ditahan selama 2 detik, kemudian
keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu
(dibulatkan) selama 8 detik
3. Anjurkan mengulangi Tarik napas dalam hingga 3
kali
4. Anjutkan batuk dengan kuat langsung setelah Tarik
napas dalam yang ke-3
Kolaborasi 1. Pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu.

3. Ansietas b.d kurang terpapar informasi d.d merasa khawatir dengan akibat dari
kondisi yang dihadapi
Terapi relaksasi (I.09326)

Observasi 1. Identifikasi penurunan tingkat energi,


ketidakmampuan berkonsentrasi, atau gejala lain
yang mengganggu kemampuan kognitif
2. Identifikasi Teknik relaksasi yang pernah efektif
digunakan
3. Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan
penggunaan Teknik sebelumnya
4. Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan
darah, dan suhu sebelum dan sesudah Latihan
5. Monitor respons terhadap terapi relaksasi
Terapeutik 1. Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan
dengan pencahayaan dan suhu ruang nyaman, jika
memungkinkan
2. Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan
prosedur teknik relaksasi
3. Gunakan pakaian longgar
4. Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat
dan berirama
5. Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang
dengan analgetik atau Tindakan medis lain, jika
sesuai
Edukasi 1. Jelaskan tujuan, manfaat, Batasan, dan jenis
relaksasi yang tersedia (mis: musik, meditasi,
napas dalam, relaksasi otot progresif)
2. Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang
dipilih
3. Anjurkan mengambil posisi nyaman
4. Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
5. Anjurkan sering mengulangi atau melatih Teknik
yang dipilih
6. Demonstrasikan dan latih Teknik relaksasi (mis:
napas dalam, peregangan, atau imajinasi
terbimbing)

10. Daftar Pustaka


Nafi Syarifah. EPISTAKSIS. Universitas Sumatera Utara.
https://id.scribd.com/document/362351753/Epistaksis. Diakses pada tanggal 24 Juli
2023.

Teni Yusrina Fauzi. 2022. LAPORAN KASUS EPISTAKSIS CAVUM NASI


DEXTRA et causa HIPERTENSI EMERGENSI. Tunas Med J Ked & Kes. Cirebon.

Teuku Husni. 2019. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Epitaksis. Jurnal


Kedokteran Nanggroe Medika Banda Aceh.

Erna Marbun. 2017. Etiologi, Gejala dan Penatalaksanaan Epitaksis.


Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
(SDKI). Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI). Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai