Anda di halaman 1dari 20

MIMISAN (EPISTAKSIS)

MADE RAI DWITYA WIRADIPUTRA NIM : 1208505055

JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2012

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap

lingkungan yang tidak menguntungkan yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya. Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina. Hidung berdarah dalam istilah Kedokteran: epistaksis atau Inggris: epistaxis atau mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung. Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluhan bukan penyakit (Suspolita, 2009). Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat, walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal, bila tidak segera ditolong (Ichsan, 2001). Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior (Ichsan, 2001) Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu memanggil

dokter.Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali (Ichsan, 2001)

Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2- 10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis (Munir dkk, 2006). Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif (Suspolita dkk, 2009). Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan mengobati sebabnya (Ichsan, 2001). Selain dengan pengobatan menggunakan cara pengobatan modern, mimisan juga bisa diatasi dengan menggunakan cara-cara pengobatan tradisional.

1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka sebagai permasalahannya

dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah patofisiologi mimisan (epistaksis) ? 2. Apa sajakah faktor Etiologi yang menyebabkan terjdinya mimisan (epistaksis) ? 3. Bagaimanakah cara pengobatan mimisan secara tradisional (epistaksis) ?

1.3

Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mnegetahui patofisiologi mimisan (epistaksis). 2. Untuk mengetahui faktor Etiologi yang menyebabkan terjadinya mimisan (epistaksis). 3

3. Untuk mengetahui cara pengobatan mimisan secara tradisional (epistaksis). 4. Untuk memberikan informasi kepada para pembaca mengenai mimisan (epistaksis).

1.4

Manfaat Penulisan Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut. 1. Memberikan (epistaksis). 2. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang faktor etiologi yang menyebabkan terjadinya mimisan (epistaksis). 3. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang cara pengobatan mimisan secara tradisional (epistaksis). infomasi dan pengetahuan patofisiologi mimisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi Pembuluh Darah Hidung Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI)

dan karotis eksterna (AKE). Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI, bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior lebih besar dibanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi atap rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari septum nasi dan dinding lateral hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis superior. Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media, memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral hidung. Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis), membentuk plexus Kiesselbach atau Littles area. Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka media terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis posterior dan faringeal asendens.

Gambar 2.1 Pembuluh darah di daerah septum nasal

Gambar 2.2 Pembuluh darah di daerah lateral hidung

Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna dan karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui (Ichsan, 2001) : a. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung. b. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatine mayor, yang berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral superior (Ichsan, 2001).

2.2

Definisi Mimisan (Epistaksis) Epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari lubang hidung, rongga

hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90% dapat berhenti sendiri (Munir, dkk; 2006). Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluhan bukan penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan (Ichsan, 2001). Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2- 10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis (Munir, dkk; 2006). 7

Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu memanggil dokter.

BAB III PEMBAHASAN

3.1

Patofisiologi Mimisan (Epistaksis) Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan

lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma (Munir, 2006). Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu (Munir, 2006) : 1. Epistaksis anterior Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.

2. Epistaksis posterior Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,

arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Secara anatomi, perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai bagian superior hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabang utamanya. Arteri sfenopalatina membawa darah untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan bagian posterior septum. Semua pembuluh darah hidung ini saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Suatu pleksus vaskular di sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa menggabungkan sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau pleksus Kiesselbach. Karena ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan objek trauma fisik dan lingkungan berulang maka merupakan lokasi epistaksis yang tersering (Suspolita, 2009). Semua pendarahan hidung disebabkan lepasnya lapisan mukosa hidung yang mengandung banyak pembuluh darah kecil. Lepasnya mukosa akan disertai luka pada pembuluh darah yang mengakibatkan pendarahan.

3.2

Etiologi Mimisan (Epistaksis) Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput

mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik (Ichsan, 2001). 10

1. Lokal a. Trauma Sebagian besar epistaksis berasal dari bagian anterior hidung sepanjang septum. Pada prang dewasa muda, penyebabnya biasanya trauma jari (Michael,dkk; 1998). Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis. Trauma, termasuk mengorek hidung dan benda asing, adalah penyebab yang paling sering (Behrman, dkk; 2000). Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas. b. Infeksi Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis. Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis berat dapat terjadi pada tumor seperti hemangioma, karsinoma dan angiofibroma. c. Neoplasma Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mucus yang bernoda darah, Hemongioma, epistaksis berat. d. Kelainan kongenital Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis heriditer 11 (hereditary hemorrhagic karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan

telangiectasia/Oslers disease). Pasien ini juga menderita telangiektasis di wajah, tangan atau bahkan di traktus gastrointestinal dan/atau pembuluh darah paru. e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum. Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan. f. Pengaruh lingkungan Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering. 2. Sistemik a. Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia. b. Penyakit kardiovaskuler Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. c. Biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid. d. Gangguan endokrin Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis, kadang-kadang beberapa wanita mengalami perdarahan

persisten dari hidung menyertai fase menstruasi.

12

Seringkali pada keluarganya ada riwayat epistaksis di masa kanak-kanak dan kerentanan bertambah saat infeksi pernapasan dan pada musim dingin ketika udara kering mengiritasi mukosa hidung, mengakibatkan pembentukan fisura dan kerak. Perdarahan berat dapat ditemukan pada kelainan vaskuler kongenital seperti telangiektasia atau varises, dan pada anak dengan trombositopenia, defisiensi faktor-faktor penjendalan, hipertensi, gagal ginjal, atau kongesti vena. anak wanita di masa remaja dapat menderita epistaksis pada saat menarche (Behrman, dkk; 2000). Tiwari (2005) melaporkan melanoma pada hidung sebagai penyebab epistaksis yang tidak biasa. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai pada arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan menopause, kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada demam berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis. (Munir, 2006).

3.3

Gejala Klinis Epistaksis biasanya terjadi tanpa peringatan, dengan adanya darah yang

mengalir lambat, namun bebas, dari satu lubang hidung atau kadang-kadang dari keduanya. Pada anak dengan lesi hidung, perdarahan dapat terjadi setelah olahraga. Bila perdarahan terjadi pada malam hari, darah dapat tertelan dan dapat menjadi nyata bila anak muntah atau bila daah keluar bersama tinja. Biasanya, sumber perdarahan adalah pleksus vaskuler pada sekat anterior (pleksus Kiesselbach) atau mukosa bagian turbinasi anterior (Behrman, dkk; 2000). Gejala umum yang timbul diantaranya Darah menetes atau mengalir dari lubang hidung depan atau belakang. Muntah darah bila banyak darah tertelan. Bisa spontan.

13

Bisa akibat trauma. Bila perdarahan berlanjut penderita menjadi lemah, pucat, anemis. Penderita jatuh syok, nadi cepat, lemah, tekanan darah turun.

3.4

Pengobatan Tradisional Mimisan (Epistaksis) Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan

perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan. Hal-hal yang penting adalah: 1. Riwayat perdarahan sebelumnya. 2. Lokasi perdarahan. 3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak. 4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya 5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga 6. Hipertensi 7. Diabetes melitus 8. Penyakit hati 9. Gangguan koagulasi 10. Trauma hidung yang belum lama 11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan akut atau tidak.

14

Mimisan bisa diobati secara tradisional dengan menggunakan beberapa jenis tumbuhan obatn antara lain pegagan, daun sirih, alang-alang, teratai, dan lainnya. 1. Pegagan Pegagan (latin: Centella Asiatica) merupakan tanaman yang berkhasiat bagi otak. Tanaman ini biasa tumbuh dikebun, ladang, pematang sawah atau ditepi jalan. Tanaman ini bagus untuk dikonsumsi sehari-hari. Sebagai pengganti ginko biloba yang terdapat dalam suplemen sintetis. Sudah sejak dahulu pegagan telah digunakan untuk obat, seperti obat kulit, gangguan saraf dan memperbaiki peredaran darah. Tanaman ini berasal dari daerah Asia tropik, tersebar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, India, Republik Rakyat Cina, Jepang dan Australia kemudian menyebar ke berbagai negara-negara lain. Nama yang biasa dikenal untuk tanaman ini selain pegagan adalah daun kaki kuda dan antanan.

Gambar 3.1 Tanaman Pegagan Bahan yang dibutuhkan adalah daun tanaman pegagan segar 60 gram. Cara membuatnya yaitu, cuci bersih pegagan dan rebus dengan air 400cc hingga mendidih dan sisa setengahnya. Minum air rebusannya selagi hangat, minum 2 kali sehari.

15

2.

Alang-Alang Alang-alang (Imperata cylindrica (L.)) Tanaman semak, menahun,

tingginya 1-1,5m. Batang lunak, bulat, pendek, beruas-ruas, berwarna putih keunguan, pada tiap buku terdapat rambut berwarna putih. Daun tunggal berbentuk lanset, tepi rata, ujung meruncing, pangkal menyempit, panjang kurang lebih 1m, lebar kurang lebih 1,5cm, berwarna putih. Akar serabut berwarna putih kotor.

Gambar 3.2 Tanaman Alang-alang Bahan yang diperlukan adalah akar alang-alang sebanyak 60 gram. Cara membuatnya: akar alang-alang direbus dengan air 400cc sampai tersisa 200cc. Airnya diminum selagi hangat, Lakukan 2 kali sehari secara teratur hingga aliran keluar dari hidung berhenti. 3. Teratai Teratai (Nelumbium nelumbo Druce) adalah tanaman air yang tumbuh tegak. Rimpang tebal bersisik, tumbuh menjalar. Daun dan bunga keluar langsung dari rimpangnya yang terikat pada lumpur di dasar kolam. Helaian daun lebar dan bulat, disangga oleh tangkai yang panjang dan bulat berdiameter 0,5-1 cm, panjangnya 75-150 cm. Daun menyembul ke atas permukaan air, menjulang tegak seperti perisai. Permukaan daun berlilin; warnanya hijau keputihan, tepi rata, bagian tengah agak mencekung, tulang

16

daun tersebar dari pusat daun ke arah tepi, diameter 30-50 cm. Bunganya harum, tumbuh menjulang di atas permukaan air dengan tangkai bulat panjang dan kokoh, panjang tangkai bunga 75-200 cm.

Gambar 3.3 Tanaman Teratai Bahan yang diperlukan adalah akar teratai sebanyak 200 gram. Cara membuatnya yaitu dengan mencuci bersih akar teratai, tumbuk halus dan teteskan airnya kedalam hidung sebanyak 2-3 tetes, dan minum sisanya 4. Daun Sirih Sirih merupakan tanaman yang tumbuhnya merambat dan bersandar pada tanaman lain. Tinggi atau panjangtanaman ini 5-15 m tergantung pertumbuhan dan tempat rambatnya. Batang tanaman sirih berwarna hijau kecoklatan. Daunnya pipih, bentuknya menyerupai jantung dengantangkai daun agak panjang. Warna daunnya kekuningan, hijau tua, atau hitam.

Gambar 3.4 Tanaman Sirih 17

Bahan yang diperlukan adalah daun sirih sebanyak 1 lembar. Cara membuatnya adalah dengan mencuci bersih daun sirih yang muda, kemudian remas hingga keluar minyak, gunakan untuk menyumbat hidung pada saat terjadi mimisan. Selain itu bisa juga dengan cara digulung dan ditekan-tekan agar keluar minyaknya. Gunakan gululngan daun sirih untuk mnyumbat hidung yang mengalami mimisan sampai darah berhenti mengalir.

18

BAB IV PENUTUP

4.1

Kesimpulan Berdasarkan uaraian pembahasan tersebut, dapat disimpulkan sebagai

berikut: 1. Patofisiologi mimisan (epistaksis) yaitu perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai bagian superior hidung. 2. Faktor etiologi mimisan (epistaksis) terbagi menjadi dua yaitu etiologi lokal (yang meliputi trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital) dan sistemik (yang berhubungan dengan kelainan atau gangguan lain yang diderita). 3. Pengobatan mimisan (epistaksis) secara tradisional dapat dilakukan dengan mengolah tanaman obat (seperti alang-alang, pegagan, sirih, teratai) ataupun memanfaatkannya secara langsung.

19

DAFTAR PUSTAKA

Ichsan, Mohammad. 2001. Penatalaksanaan Epistaksis. Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001 hal. 43-46. Eliastasm, Michael; dkk. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis E/5 (alih bahasa oleh Hunardja Santasa). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Behrman, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.2 E/15. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Baughman, Diane C dan JoAnn C Hackley. 2000. Keperawatan Medikal Bedah (alih bahasa oleh Yasmin Asih). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG Saadah, Sumiati. Mengenal Tanaman yang Berkhasiat Obat. Jakarta : Azka Press Redaksi Agromedia. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. Jakarta : Agromdia Pustaka Winarto, W.P. 2007. Tanaman Obat Indonesia, Untuk Pengobat Herbal, Jilid 1. Jakarta : Karyasari Herba Media. Suspolita, Dewi;dkk. 2009. Tinjauan Pustaka Epistaksis. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Munir, Delfitri; dkk. 2006. Epistaksis. Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 39/No.3 hal. 274-278

20

Anda mungkin juga menyukai