PATOLOGI KLINIK
MODUL HEMATOLOGI DAN ONKOLOGI
Disusun Oleh :
Kelompok C4
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
3
4
1. Rak tabung
2. Tabung reaksi
3. Pipet tetes
4. Mikroskop
5
5. Kaca objek
Bahan
1. Sampel darah
2. Zat pewarna Brilliant Cresyl Blue atau New Methylene Blue
3. Minyak imersi
Perhitungan:
8
BAB IV
PEMBAHASAN
9
10
yang bekerja sama untuk membangun mekanisme utama tubuh dalam melawan
infeksi, termasuk menghasilkan antibodi. Dibedakan berdasarkan ukuran,
bentuk nukleus, dan ada tidaknya granula sitoplasma. Sel yang memiliki
granula sitoplasma disebut granulosit sedangkan sel tanpa granula disebut
agranulosit.
a. Granulosit
1) Neutrofil
Neutrofil juga disebut granulosit karena berisi enzim yang mengandung
granul-granul, jumlahnya paling banyak. Neutrofil membantu melindungi tubuh
melawan infeksi bakteri dan jamur dan mencerna benda asing sisa-sisa
peradangan.
b. Agranulosit
1) Limfosit
Limfosit merupakan sel utama pada sistem getah bening yang berbentuk
sferis, berukuran yang relatif lebih kecil daripada makrofag dan neutrofil. Selain
itu, limfosit bergaris tengah 6-8 µm, 20-30% dari leukosit darah, memiliki inti
yang relatif besar, bulat sedikit cekung pada satu sisi. Sitoplasmanya sedikit dan
kandungan basofilik dan azurofiliknya sedikit. Limfosit-limfosit dapat
digolongkan berdasarkan asal, struktur halus, surface markers yang berkaitan
dengan sifat imunologisnya, siklus hidup dan fungsi.2
12
Bahan pemeriksaan yang terbaik adalah darah segar yang berasal dari
kapiler atau vena dengan atau tanpa EDTA. Sediaan yang disimpan tanpa difiksasi
terlebih dulu tidak dapat dipulas sebaik sediaan segar. Kebanyakan cara memulas
sediaan darah menggunakan prinsip Romanowski, seperti Wright, Giemsa, May-
Grunwald-Biemsa atau Wright-Giemsa.5
Praktikum mengenai sediaan apus darah kali ini bertujuan untuk mengamati
dan menilai berbagai unsure sel darah pada manusia seperti sel darah merah
(eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit).5
Sediaan apus darah juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya
parasit seperti malaria, microfilaria, dan lain-lain. Namun pada praktikum kali ini
hanya dilakukan pengamatan untuk mengetahui deskripsi bentuk dari berbagai sel
darah dan menilai persentase sel darah yang teramati.5
Sediaan apus darah dilakukan dengan menggunakan bahan darah segar yang
berasal dari kapiler atau vena OP. OP pada praktikum ini adalah nurhayati. Pertama
praktikan mengambil darah dari ujung jari telunjuk tangan kiri menggunakan blood
lancet atau slat suntik kemudian mencampurkannya dengan EDTA supaya tidak
cepat membeku. Setelah itu praktikan menaruhnya ke kaca objek. Kemudian
menyentuhkan kaca penutup ke tetesan darah hingga darah melebar. Selanjutnya
membentuk sudut 30-400 dengan kaca penutup, lalu digerakkan ke kiri membentuk
apusan darah yang tidak terlalu tipis ataupun terlalu tebal karena jika terlalu tebal
maka saat pengamatan di bawah mikroskop akan terlihat tidak jelas karena sel darah
bertumpuk.4,5
Setelah mendapat sediaan yang bagus (tidak tebal dan tipis), maka
membiarkannya hingga kering, setelah itu meneteskan metanol ke atas sediaan
hingga bagian yang terlapisi darah tertutup semuanya dan membiarkannya selama
5 menit. Fungsi metanol adalah untuk memfiksasi darah sehingga darah tidak hilang
saat diamati. Selanjutnya sediaan diteteskan dengan giemsa yang telah diencerkan
dengan air dan membiarkannya selama 20 menit dan membilasnya dengan air dan
mengeringkannya. Fungsi giemsa adalah untuk mewarnai darah sehingga mudah
dibedakan dan dapat terlihat jelas saat diamati. Waktu perendaman ini sebaiknya
jangan terlalu lama karena darah bisa tidak terlihat akibat pewarnaan yang terlalu
pekat.5
14
sitoplasma sehingga perlu pengamatan yang lebih teliti dan perbesaran mikroskop
yang baik serta dapat pula dibantu dengan menggunakan minyak emersi.
Pada orang dewasa, jumlah normal pada basofil sekitar 0-1%, eosinofil 1-
3%, segmen(netrofil) 50-70%, limfosit 20-40% dan monosit 2-8%. Pada hasil
pengamatan melalui mikroskop, didapatkan basofil sekitar 1%, eosinofil 2%,
batang 18%, segmen 45%, limfosit 27% dan monosit 6%.
anemia pernisiosa, anemia defisiensi asam folat, anemia aplastik, terapi radiasi,
hipofungsi andenocortical, hipofungsi hipofise anterior, dan sirosis hati.8
Praktikum didapatkan waktu darah tidak keluar lagi dari daun telinga
probandus adalah 3 menit yang berarti normal, sesuai dengan teori bahwa waktu
normalnya adalah 1-3 menit. Tes Duke kurang akurat dibandingkan Tes Ivy karena
Tes Duke kurang memberatkan kepada mekanismus hemostasis dan tidak diadakan
pembendungan. Tes Duke bisanya digunakan pada bayi dan anak-anak karena
mengenakan ikatan sfigmomanometer pada lengan atas tidak mungkin atau sukar
dilakukan. Memanjangnya waktu pendarahan, misalnya 10 menit dapat
menunjukkan trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.000/mm3) atau
trombositopati (fungsi trombosit abnormal) atau keduanya. Ingesti aspirin dapat
mengganggu fungsi trombosit selama 7 sampai 10 hari sehingga sebaiknya tidak
boleh diberikan sebelum dilakukan pemeriksaan waktu pendarahan.1,2
terjadi kerena perdarahan keluar dan pembuluh – pembuluh darah yang kecil sekali
di bawah kulit atau selaput lendir, petechiae umumnya tidak jelas dan
menyakitkan.9
Pemeriksaan dilakukan dengan menahan tekanan manset atau tensi sebesar
setengah dari jumlah tekanan sistol dan tekanan diastol. Sistole adalah bunyi yang
pertama terdengar, diastole adalah bunyi yang menghilang diantara bunyi yang
berdetak cepat, atau dapat pula dikatakan bunyi yang terakhir didengar. Kemudian
tekanan manset tersebut dipertahankan selama sepuluh menit. Pembendungan
dilakukan pada lengan atas dengan memasang tensimeter pada pertengahan antara
tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Tekanan itu dipertahankan selama 10 menit.
Jika percobaan ini dilakukan sebagai lanjutan masa perdarahan, cukup
dipertahankan selama 5 menit. Setelah waktunya tercapai bendungan dilepaskan
dan ditunggu sampai tanda-tanda stasis darah lenyap. Kemudian diperiksa adanya
petekia di kulit lengan bawah bagian voler, pada daerah garis tengah 5 cm kira-kira
4 cm dari lipat siku.9
Prinsip pemeriksaan rumple leed yaitu diberikan pembebanan pada kapiler
selama waktu tertentu sehingga terhadap kapiler diciptakan suasana anoksia dengan
adanya bendungan aliran darah vena. Terhadap anoksia dan penambahan tekanan
internal akan terlihat sejauh mana kemampuan kapiler dapat bertahan . Jika
ketahanan kapiler turun akan timbul “Petechiae” di kulit. Jika ketahanan kapiler
luntur (dinding kapiler kurang kuat), pembendungan vena menyebabkan darah
menekan dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat atau
adanya trombositopenia, akan rusak oleh pembendungan tersebut. Darah dari dalam
kapiler akan keluar dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga tampak
sebagai bercak /titik merah kecil pada permukaan kulit yang dikenal sebagai
petechie.2,9
Pemeriksaan dinyatakan positif bila ditemukan perdarahan atau petechiae
sebanyak 10 buah dalam waktu 10 menit. Pemeriksaan dinyatakan negatif bila
dalam waktu 10 menit tidak timbul petechiae pada area pembacaan, atau timbul
petechiae kurang dari 10 buah. Jika pada waktu dilakukan pemeriksaan masa
perdarahan sudah terjadi petekie, berarti percobaan pembendungan sudah positif
19
hasilnya dan tidak perlu dilakukan sendiri. Pada penderita yang telah terjadi purpura
secara spontan, percobaan ini juga tidak perlu dilakukan.9
Berdasarkan pemeriksaan didapatkan hasil sebanyak 7 titik bercak merah
(petechiae) pada daerah lingkaran yang dibuat. Hasil tersebut menunjukan bahwa
pasien tersebut normal karena jumlah petechiae yang timbul tidak lebih dari 10 atau
negatif. Hal ini menandakan pasien tidak mengalami kelainan vaskuler dan fungsi
trombosit.9
Kesalahan sering terjadi saat pemeriksaan Rumple Leed antara lain saat
membuat daerah pengamatan. lingkaran ini harus dibuat, diukur dengan benar,
sekian jari dari fossa cubiti, dengan diameter penampang sebesar 5 cm
menggunakan penggaris.9
BAB 5
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. vol
1. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
2. Gandosoebrata R. Penuntun laboratorium klinik. Edisi ke-16. Jakarta: Dian
Rakyat; 2010.
3. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2003.
4. Sacher RA, Mc Pherson RA. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Edisi 11. Jakarta: EGC; 2004.
5. Sherwood L. Human Physiology: From Cells to Systems. 7th ed. Australia ;
United States: Brooks/Cole, Cengage Learning; 2010.
6. Parodi E, Giraudo MT, Ricceri F, Aurucci ML, Mazzone R, Ramenghi U.
Absolute Reticulocyte Count and Reticulocyte Hemoglobin Content as
Predictors of Early Response to Exclusive Oral Iron in Children with Iron
Deficiency Anemia. Anemia. 2016 Mar 22;2016.
7. Liswanti Y. Gambaran Jumlah Retikulosit Sebelum dan Setelah Donor Darah.
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. 2015 May 7;13(1).
8. Sutedjo AY. Mengenal penyakit melalui hasil pemeriksaan laboratorium.
Yogyakarta: Amara Books; 2008.
9. Riswanto. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi. Yogyakarta: Alfamedia
Kanal Medika; 2013.
21
LAMPIRAN