Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

MODUL ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Disusun Oleh Kelompok : 2


Marisa I1011131034
Eka yusriana I1011131059
Diana putri lestari I1011141004
Muhammad deni kurniawan I1011141010
Hizki ervando I1011141018
Dimas pria abdi pratama I1011141026
Maghfira aufa asli I1011141036
Thevany I1011141052
Ariski pratama johan I1011141062
Gata dila I1011141068
Anggia serli verdian I1011141074

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Seorang ibu berusia 30 tahun menjalani operasi caesar untuk kelahiran
anak yang kedua. Namun sehari setelah operasi, ibu tersebut mengalami
koma. Ibu tersebut telah koma beberapa bulan. Dari diagnosa akhir, koma
disebabkan stroke murni oleh hipertensi. Pihak rumah sakit dan dokter yang
menangani telah melakukan segala tindakan yang terbaik. Dikarenakan biaya
yang terus membengkak, pihak rumah sakit mulai mengurangi tindakan
medis. Sehingga suami ibu tersebut menginginkan euthanasia, karena tidak
mampu lagi membiayai pengobatan.

1.2 Klarifikasi dan definisi


1. Euthanasia
Kata eutanasia merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani yang
berarti kematian yang baik. Secara tradisional sapat pula diartikan kematian
yang mudah dan tanpa rasa sakit. Sering disebut juga sebagai mercy killing
dan assisted suicide dibunuh diri dengan bantuan.3

1.3 Kata kunci


1. Ibu 30 tahun
2. Pasca caesar
3. Koma beberapa bulan
4. Hipertensi
5. Stroke
6. Euthanasia permintaan suami
7. Keterbatasan biaya
8. Mengurangi tindakan medis
1.4 Rumusan masalah
Suami dari ibu 30 tahun tersebut mengingini euthanasia bagi istrinya
yang koma karena keterbatasan biaya.

1.5 Analisis masalah


Ibu 30 tahun

Operasi caesar Kehamilan ke -2

Koma beberapa Stroke murni


bulan karena hipertensi

 Suami menginginkan euthanasia


Euthanasia
karena keterbatasan biaya.
 Pihak RS mengurangi tindakan
Aspek medikolegal medis.

Etika kedokteran Hukum kedokteran

1.6 Hipotesis
Tindakan euthanasia yang diinginkan suami serta pengurangan
tindakan medis oleh pihak rumah sakit terhadap ibu 30 tahun melanggar
aspek medikolegal.

1.7 Pertanyaan diskusi


1. Jelaskan mengenai aspek medikolegal?
2. Jelaskan mengenai etika kedokteran dan hukum kedokteran berdasarkan
kasus?
3. Euthanasia.
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Regulasi yang terdapat di indonesia dan di negera lain.
4. Bagaimana pertanggungjawaban hukum pidana pelaku atau keluarga
pasien euthanasia?
5. Bagaimana sikap dokter dan pihak rumah sakit ditinjau dari hukum
kedokteran?
6. Bagaimana sikap dokter dan pihak rumah sakit ditinjau dari kode etik
kedokteran?
7. Jelaskan mengenai hak dan kewajiban seorang dokter/tenaga medis?
8. Jelaskan mengenai hak dan kewajiban seorang pasien?
9. Jelaskan mengenai hak dan kewajiban rumah sakit?
10. Operasi caesar.
a. Syarat
b. Faktor resiko
c. Komplikasi
11. Kapan seorang dikatakan meninggal?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Jelaskan mengenai aspek medikolegal?


Medikolegal adalah ilmu hukum yang mengatur bagaimana profesi
dokter ini dilakukan sehingga memenuhi aturan-aturan hukum yang ada.
Medikolegal secara harfiah berasal dari dua pengertian yaitu medik yang
berarti profesi dokter dan legal yang berarti hukum. Sehingga batasan Hal ini
untuk mencegah penyelewengan pelaksanaan profesional medis maupun
mengantisipasi dengan berkembang serta lajunya ilmu-ilmu kedokteran yang
tentunya terdapat hal-hal yang rawan terhadap hukum. Pelayanan
medikolegal adalah bentuk pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga
medis dengan menggunakan ilmu dan tehnologi kedokteran atas dasar
kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan hukum dan untuk
melaksanakan peraturan yang berlaku1 Aspek medikolegal meliputi:1
1. Hak dan kewajiban pasien
2. Hak dan kewajiban provider
3. Jaminan bahwa pelayanan medik yang diberikan dengan cara dan mutu
yang dapat dipertanggung jawabkan
4. Sistim dan prosedur menjamin hak dan kewajiban serta menjamin
tindakan yang dilaksanakan di rumah sakit dapat diadakan evaluasinya.
Hak dan kewajiban pemilik dan pengelola.

2.2 Jelaskan mengenai etika kedokteran dan hukum kedokteran


berdasarkan kasus?
Di Indonesia, lkatan Dokter Indonesia (IDI) dengan surat keputusan
Nomor 336/PB/A.4/88 merumuskan bahwa seseorang dinyatakan mati
apabila fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti
(irreversible), atau apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak.2
Seorang filosof Yunani yang meletakkan landasan legisme bagi sumpah
dokter dan etika kedokteran, Hippocrates menuntut para muridnya untuk
bersumpah tidak melakukan euthanasia dan pengguguran kandungan,
kemudian PP Tahun 1969 tentang Lafal Sumpah Dokter Indonesia yang
bunyinya sama dengan Deklarasi Jenewa 1948 dan Deklarasi Sydney 1968.2
Dalam pasal 9, BAB II KODEKI tentang kewajiban dokter kepada
pasien, disebutkan bahwa,“seorang dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup mahluk insani menurut etik kedokteran, dokter
tidak boleh menggugurkan kandungan dan mengakhiri hidup orang yang sakit
meskipun menurut pengetahuan tidak mungkin sembuh”. Ditegaskan pula
dalam Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai
berikut:2
“Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila
yang pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat
menerima tindakan “euthanasia aktif”.2
Namun apabila pasien dipastikan mengalami kematian otak maka
pasien dinyatakan telah meninggal. Tindakan penghentian terapeutik
diputuskan oleh oleh dokter yang telah berpengalaman, selain harus pula
dipertimbangkan keinginan pasien, keluarga pasien, dan kualitas hidup yang
diharapkan. Sesuai dengan surat edaran IDI menyatakan: Sampaikan kepada
pasien dan atau keluarganya keadaan yang sebenarnya dan sejujur-jujurnya
mengenai penyakit yang diderita pasien.2
Dalam keadaan di mana ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak
dapat lagi diharapkan untuk memberi kesembuhan, maka upaya perawatan
pasien bukan lagi ditujukan untuk memperoleh kesembuhan melainkan harus
lebih ditujukan untuk memperoleh kenyamanan dan meringankan
penderitaannya.2
Bahwa tindakan menghentikan usia pasien pada tahap menjelang
ajalnya, tidak dapat dianggap sebagai suatu dosa, bahkan patut dihormati.
Namun demikian dokter wajib untuk terus merawatnya, sekalipun pasien
dipindah ke fasilitas lainnya.2
2.3 Euthanasia.
2.3.1 Definisi
Kata eutanasia merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani yang
berarti kematian yang baik. Secara tradisional sapat pula diartikan kematian
yang mudah dan tanpa rasa sakit. Sering disebut juga sebagai mercy killing
dan assisted suicide dibunuh diri dengan bantuan.3
Dalam kamus kedokteran dinyatakan bahwa euthanasia mengakhiri
dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara kematian atau
menghilangkan nyawa secara tenang dan mudah untuk menamatkan
penderitaan. Pengertian ini memandang bahwa euthanasia merupakan
tindakan pencegahan atas penderitaan yang lebih parah dari seseorang
mengalami musibah atau terjangkit suatu penyakit. Jalan ini diambil,
mengingat tidak ada cara lain yang bisa menolong seseorang untuk terlepas
dari penderitaan yang luar biasa.4
2.3.2 Klasifikasi
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi
tiga kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia
pasif.5
1) Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan
secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya
untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia
agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang
mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh
senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
2) Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis
(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi di
mana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk
menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut
diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan
tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik
eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
3) Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia
negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif
untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan
dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah
dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami
kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada
penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang
seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun
pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru
akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali
dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.

2.3.3 Regulasi yang terdapat di indonesia dan di negera lain.


1) Regulasi di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu
perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan
perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12
tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340,
345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik
dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang
berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh
siapa pun.5
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid
Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah
Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau
"pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam
nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia
hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan
melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.5
2) Regulasi di Negara Luar
Negara pertama yang menerapkan eutanasia secara legal adalah negara
Belanda, selanjutnya Australia namun hanya berlaku sebentar karena banyak
gelombang protes yang terjadi. Negara selanjutnya adalah Belgia, Amerika
bagian Oregon, Swiss, Inggris, Jepang, Republik Ceko, India, China Afrika
Selatan, dan Korea. Namun di negara yang telah disebutkan tersebut terdapat
syarat-syarat yang ketat untuk dapat melakukan eutanasia.5

2.4 Bagaimana pertanggungjawaban hukum pidana pelaku atau keluarga


pasien euthanasia?
Membahas Euthanasia dalam KUHP Indonesia, maka satu-satunya
yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah apa yang terdapat dalam
KUHP Indonesia, khususnya pasal-pasal yang khusus membicarakan
masalah kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Yang paling mendekati
dengan masalah tersebut adalah peraturan hukum yang terdapat dalam buku
ke-2, Bab XIX pasal 344 KUHP.6
Didalam pasal 344 KUHP, disebutkan bahwa: “barangsiapa merampas
nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”. Dalam pasal diatas, kalimat “permintaan sendiri yang dinyatakan
dengan kesungguhan hati” haruslah mendapatkan suatu perhatian, karena
unsur inilah yang akan menentukan apakah orang yang melakukan dapat
dipidana berdasarkan pasal 344 KUHP atau tidak. Agar unsur ini tidak
disalahgunakan, maka dalam menentukan benar atau tidaknya seseorang telah
melakukan pembunuhan. Unsur permintaan yang tegas (unitdrukkelijk), dan
unsur sungguh (ernstig), harus dapat dibuktikan baik dengan adanya saksi
ataupun oleh alat-alat bukti yang lainnya, sebagaimana yang disebutkan
dalam pasal 295 HIR sebagai berikut ; 6
Sebagai upaya bukti menurut undang-undang,hanya diakui ;
1. Kesaksian-kesaksian
2. Surat-surat
3. Pengakuan
4. Isyarat-isyarat.
Dalam Euthanasia, dimana hukum positif Indonesia belum
mengaturnya secara eksplisit maka diperlukan penemuan hukum, yang akan
memandu penyelesaian masalah pelanggaran hukumnya. Seseorang dapat
dikatakan telah memenuhi pasal tersebut, maka (public prosecutor) penuntut
umun/jaksa harus dapat membuktikan adanya unsur “permintaan sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. 6
Perkembangan pengaturan masalah Euthanasia dalam RUU KUHP
tahun 2005, dalam perkembangannya, ada beberapa perubahan-perubahan
berkaitan dengan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana setelah konsep RUU KUHP Tahun 1999/2000. Hal ini bertujuan agar
nantinya RUU KUHP ini dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan
yang terkait dengan ketentuan hukum pidana dimasa yang akan datang.
Adanya perubahan RUU KUHP tersebut berimplikasi pada perubahan
pengaturan Euthanasia dalam RUU KUHP. 6
Pengaturan Euthanasia dalam Rancangan Undang-undang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terdapat dalam pasal 574 RUU
KUHP dan 575 RUU KUHP, antara lain:
Pasal 574 RUU KUHP berbunyi : “ setiap orang yang merampas nyawa orang
lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain
tersebut tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 9 (Sembilan) tahun”. 6
Pasal 575 RUU KUHP berbunyi : “dokter yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalm pasal 574 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lam 12 (dua belas) tahun”. 6
Mengenai perumusan Euthanasia yang tercantum dalam Rancangan
Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2005 tersebut,
ancaman perbuatan ini dapat dikatakan relatif lebih ringan bila dibandingkan
dengan KUHP yang berlaku sekarang. Hal ini disebabkan dalam rumusan
pasal 574 RUU KUHP tersebut dalam keadaan coma atau tidak sadar.
Sedangkan dalam pasal 344 KUHP yang berlaku saat ini tidak disebutkan
mengenai hal tersebut, sehingga ancaman hukumannya pada saat itu 12 tahun
penjara. 6
Dalam rancangan KUHP tahun 1999/2000 masalah euthanasia diatur
dalam Pasal 477 yang berbunyi sebagai berikut : “setiap orang yang
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluargannya
dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana penjara paling lama 9
(Sembilan) tahun”. 6
Bentukan dari pasal 477 RKUHP dirumuskan untuk menggantikan
pasal 344 KUHP, yang dimana dalam rumusan atau redaksi dari pasal 477
RKUHP tidak jauh berbeda dengan rumusan yang ada dalam pasal 344
KUHP. Namun terdapat perbedaan pada ancaman pidananya, pada pasal 477
RKUHP ancaman pidana 9 (sembilan) tahun lebih ringan bila dibandingakan
pada pasal 344 KUHP yang berlaku pada saat ini. 6
Pertanggungjawaban pidana, dalam bahasa asing disebut sebagai
torekenbaarheid (Belanda) atau criminal responbility atau criminal
lialibility (Inggris). Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk
menentukan apakah seseorang tersangka atau terdakwa dapat dimintakan
pertanggungjawaban atau tidak. Pertanggungjawaban pidana menjurus
kepada orang yang melakukan perbuatan pidana. Seseorang tidak akan
dipidana jika tidak ada kesalahan. Hal ini sesuai dengan asas dalam hukum
pidana yang berbunyi geen staf zonder schuld (tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan). Asas ini tidak terdapat dalam hukum tertulis Indonesia, akan
tetapi dalam hukum tidak tertulis Indonesia saat ini berlaku. Agar dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana harus memenuhi 3 unsur, yaitu: 6
a) Adanya Kemampuan bertanggung jawab
a. Mampu mengetahui/menyadari bahwa perbuatannya bertentangan
dengan hukum;
b. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tadi.
b) Kesalahan (dolus/culpa)
a. Kesengajaan atau (dolus)
i. mengkehendaki
ii. menginsyafi
b. Kelalaian/Kealpaan (culpa)
i. Kekurangan pemikiran yang diperlukan;
ii. Kekurangan pengetahuan yang diperlukan;
iii. Kekurangan bijaksanaan yang diperlukan.
c) Tidak Ada alasan pemaaf.

2.5 Bagaimana sikap dokter dan pihak rumah sakit ditinjau dari hukum
kedokteran?
Apabila seorang dokter menyetujui apa yang diminta oleh pasiennya
(permintaan mati) secara langsung maka, dokter dapat dikenakan Pasal 344
KUHP yang berbunyi: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sunguh-
sunguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.” Maka, dokter
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan dapat dituntut sesuai dengan
Pasal 344 KUHP dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.7

2.6 Bagaimana sikap dokter dan pihak rumah sakit ditinjau dari kode etik
kedokteran?
a. Euthanasia aktif merupakan tindakan dilarang ssesuai dengan kode etik
kedokteran Indonesia. Jika dokter melakukan eutanasia aktif maka dokter
sudah melanggar ketentuan Kode Etik Kedokteran Indonesia, sesuai
dengan Pasal 10, yang berbunyi: “Seorang dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.”8
b. Euthanasia pasif dibolehkan jika dapat dibuktikan dengan tepat dan akurat
berbagai ketentuan yang ada. Sebagai contoh seperti: penyakit tersebut
memang tidak dapat disembuhkan lagi (upaya medis tidak ada gunannya
lagi jika pengobatan itu diteruskan).8

2.7 Jelaskan mengenai hak dan kewajiban seorang dokter/tenaga medis?


a. Hak Dokter9
1. Dokter berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan profesinya.
2. Dokter berhak untuk bekerja menurut standar profesi serta
berdasarkan hak otonomi. (Seorang dokter, walaupun ia berstatus
hukum sebagai karyawan RS, namun pemilik atau direksi rumah sakit
tidak dapat memerintahkan untuk melakukan sesuatu tindakan yang
menyimpang dari standar profesi atau keyakinannya).
3. Dokter berhak untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, profesi dan etika.
4. Dokter berhak menghentikan jasa profesionalnya kepada pasien
apabila misalnya hubungan dengan pasien sudah berkembang begitu
buruk sehingga kerjasama yang baik tidak mungkin diteruskan lagi,
kecuali untuk pasien gawat darurat dan wajib menyerahkan pasien
kepada dokter lain.
5. Dokter berhak atas privasi (berhak menuntut apabila nama baiknya
dicemarkan oleh pasien dengan ucapan atau tindakan yang
melecehkan atau memalukan).
6. Dokter berhak untuk mendapat imbalan atas jasa profesi yang
diberikannya berdasarkan perjanjian dan atau ketentuan/peraturan
yang berlaku di RS.
7. Dokter berhak mendapat informasi lengkap dari pasien yang
dirawatnya atau dari keluarganya.
8. Dokter berhak atas informasi atau pemberitahuan pertama dalam
menghadapi pasien yang tidak puas terhadap pelayanannya.
9. Dokter berhak untuk diperlakukan adil dan jujur, baik oleh rumah
sakit maupun oleh pasien.
10. Hak rehabilitasi nama baik jika terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
11. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa (pasal 4 ayat b) : dalam
keadaan darurat untuk keselamatan pasien, dokter dapat memberikan
jasa pelayanan kesehatan, meskipun tidak dipilih oleh pasien.
12. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur (pasal 4 ayat c) : dalam
keadaan tertentu untuk kepentingan pasien, dokter dapat menahan
sebagian atau keseluruhan informasi tersebut.
13. Dokter dapat menolak pasien yang tidak dalam keadaan gawat darurat
yang datang diluar jam bicara.
b. Kewajiban Dokter9
1. Dokter wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan
hubungan hukum antara dokter tersebut dengan rumah sakit.
2. Dokter wajib merujuk pasien ke dokter lain/rumah sakit lain yang
mempunyai keahlian/kemampuan yang lebih baik, apabila ia tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
3. Dokter wajib memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan dapat menjalankan ibadah
sesuai keyakinannya.
4. Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.
5. Dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan
mampu memberikannya.
6. Dokter wajib memberikan informasi yang adekuat tentang perlunya
tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat
ditimbulkannya.
7. Dokter wajib membuat rekam medis yang baik secara
berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien.
8. Dokter wajib terus-menerus menambah ilmu pengetahuan dan
mengikuti perkembangan ilmu kedokteran/kedokteran gigi.
9. Dokter wajib memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang
telah dibuatnya.
10. Dokter wajib memenuhi hal-hal yang telah disepakati/pekerjaan yang
telah dibuatnya.
11. Dokter wajib bekerja sama dengan profesi dan pihak lain yang terkait
secara timbal-balik dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
12. Dokter wajib mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak rumah
sakit.
13. Dalam diagnosis dan pengobatan dokter mempunyai tanggung jawab
paling besar. Seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya wajib
melakukan upaya yang terbaik untuk senantiasa memberi pelayanan
yang terbaik, mendahulukan kepentingan pasiennya, profesional dan
akuntabel.
14. Dokter mempunyai kewajiban untuk menjaga kesehatan fisik, rohani
dan spiritual dengan istirahat cukup untuk memulihkan kondisi fisik,
rohani dan spiritual.
15. Dokter wajib memberikan pelayanan yang berkualitas, senantiasa
wajib belajar, meningkatkan pengetahuannya, ketrampilan dan
menjaga mutu kompetensinya.

2.8 Jelaskan mengenai hak dan kewajiban seorang pasien?


Menurut undang-undang republik indonesia Nomor 44 tahun 2009
Tentang rumah sakit kewajiban seorang pasien yang terdapat pada pasal 31
dengan bunyi sebagai berikut:10
1. Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan
yang diterimanya.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan Peraturan
Menteri.
Menurut undang-undang republik indonesia Nomor 44 tahun 2009
Tentang rumah sakit pasal 32, setiap pasien mempunyai hak: 10
1. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku
di Rumah Sakit;
2. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
3. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
4. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
5. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar
dari kerugian fisik dan materi;
6. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
7. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
8. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain
yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar
Rumah Sakit;
9. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data-data medisnya;
10. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi
yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
serta perkiraan biaya pengobatan;
11. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
12. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
13. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
14. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan
di Rumah Sakit;
15. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap
dirinya;
16. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama
dan kepercayaan yang dianutnya;
17. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara
perdata ataupun pidana; dan mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang
tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan
elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Peraturan menteri kesehatan republik indonesia Nomor 69
tahun 2014 mengenai Tentang Kewajiban rumah sakit dan kewajiban pasien
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Menteri Kesehatan Republik
Indonesia. Hak-hak pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:11
1. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi;
2. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
3. memperoleh pelayanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi;
4. memilih Dokter dan Dokter Gigi serta kelas perawatan sesuai dengan
keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
5. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada Dokter
dan Dokter Gigi lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di
dalam maupun di luar Rumah Sakit;
6. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data-data medisnya;
7. mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternative tindakan, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan sertya perkiraan biaya pengobatan;
8. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
9. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
10. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal tersebut tidak mengganggu pasien lainnya;
11. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit;
12. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit
terhadap dirinya;
13. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama
dan kepercayaan yang dianut;
14. mendapatkan perlindungan atas rahasia kedokteran termasuk
kerahasiaan rekam medik;
15. mendapatkan akses terhadap isi rekam medis;
16. memberikan persetujuan atau menolak untuk menjadi bagian dalam
suatu penelitian kesehatan;
17. menyampaikan keluhan atau pengaduan atas pelayanan yang diterima;
18. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
19. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit
diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana.

2.9 Jelaskan mengenai hak dan kewajiban rumah sakit?


Berdasarkan UU RI No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit BAB III
pasal 29 dan pasal 30, setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban dan hak
yang harus dilakukan dimana pada pasal 29 menyebutkan.12
1. Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban
a. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit
kepada masyarakat;
b. memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi,
dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan
standar pelayanan Rumah Sakit;
c. memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan
kemampuan pelayanannya;
d. berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana,
sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
e. menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau
miskin;
f. melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas
pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa
uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian
luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
g. membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;
h. menyelenggarakan rekam medis;
i. menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana
ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita
menyusui, anak-anak, lanjut usia;
j. melaksanakan sistem rujukan;
k. menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi
dan etika serta peraturan perundang-undangan;
l. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan
kewajiban pasien;
m. menghormati dan melindungi hak-hak pasien;
n. melaksanakan etika Rumah Sakit;
o. memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;
p. melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara
regional maupun nasional;
q. membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau
kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya;
r. menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital
by laws);
s. melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas
Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan
t. memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa
rokok.
2. Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenakan sanksi admisnistratif berupa:
a. teguran;
b. teguran tertulis; atau
c. denda dan pencabutan izin Rumah Sakit.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri
Bagian Kedua Hak Rumah Sakit Pasal 3012
1. Setiap Rumah Sakit mempunyai hak:
a. menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai
dengan klasifikasi Rumah Sakit;
b. menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi,
insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan
pelayanan;
d. menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian;
f. mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan;
g. mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah Sakit sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit
yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai promosi layanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g diatur dengan Peraturan Menteri.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2.10 Operasi caesar.


2.10.1 Syarat
Para ahli kandungan atau para penyaji perawatan yang lan
menganjurkan sectio caesara apabila kelahiran melalui vagina mungkin
membawa resiko pada ibu dan janin. Indikasi untuk sectio caesara antara lain
meliputi :
1. Indikasi Medis13
Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu :
a) Power
Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya
mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain
yang mempengaruhi tenaga.
b) Passanger
Diantaranya, anak terlalu besar, dengan kelainan letak lintang, primi
gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu
lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetaldistress
syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah).
c) Passage
Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada
jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga
bisa menular ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis),
condyloma lota (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma
acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa mirip kembang
koldi kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan hepatitis C.
2. Indkasi Ibu13
a) Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun,
memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita
dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang
memiliki penyakit yang beresiko, misalya tekanan darah tinggi,
penyakit jantung, kencing manis dan preeklansia. Ekslampia
(keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga
dokter memutuskan untuk sectio caesarea.
b) Tulang Panggul
Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidaksesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat
menyebabkan ibu tidak melahirkan secara alami. Tulang panggul
sangat menentukan mulus tidaknya proses persalinan.
c) Persalinan Sebelumnya dengan sectio caesarea
Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi
persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak.
Apabila memang ada indikasi yang mengharuskan dilakukanya
tindakan pembedahan, seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu
sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa saja
dilakukan.
d) Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku
sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan
kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit
bernafas.
e) Kelainan Kontraksi Rahim
Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate
uterineaction) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat
melebar padaproses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak
terdorong, tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar.
f) Ketuban pecah
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan
bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban
merembes ke luar sehingga tinggal sedikit atau habis. Air ketuban
(amnion) adalah cairan yang mengelilingi janin dalam rahim.
g) Rasa Takut Kesakitan
Umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan
mengalami proses rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit
di pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat dan “menggigit”.
Kondisi tersebut karena keadaan yang pernah atau baru melahirkan
merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Hal ini bisa
karena alasan secara psikologis tidak tahan melahirkan dengan sakit.
Kecemasan yang berlebihan juga akan mengambat proses persalinan
alami yang berlangsung.
2.10.2 Faktor resiko
Faktor resiko tinggi dalam seksio sesarea adalah bila sebelum seksio
sesarea sudah terdapat proses persalinan, khususnya kalau terdapat partus
lama, ketuban pecah dini serta sudah dilakukan beberapa kali pemeriksaan
pelvis. Partus lama dan KPD memungkinkan menjadi pertimbangan untuk
dilakukan seksio sesarea.14
2.10.3 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang paling banyak dari operasi adalah akibat
anastesi, jumlah darah yang dikeluarkan oleh ibu selama operasi berlangsung,
komplikasi penyulit, endometriosis, tromboplebitis, embolisme, dan
perubahan bentuk serta letak rahim menjadi tidak sempurna. 14
2.11 Kapan seorang dikatakan meninggal?
Pengertian tentang kematian itu sendiri mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
penggunaan alat-alat yang mutakhir. Kematian dapat dibagi menjadi dua
fase, yaitu: somatic death (kematian somatik) dan biological death (kematian
biologik). Kematian somatik merupakan fase kematian dimana tidak didapati
tanda-tanda kehidupan lagi, seperti denyut jantung dan gerakan pernapasan,
suhu badan menurun, dan tidak adanya aktivitas listrik otak pada rekaman
EEG. Setelah dua jam, kematian somatik akan diikuti kematian biologik yang
ditandai dengan kematian sel.15
Dengan adanya kemajuan ilmu penge-tahuan seperti penggunaan alat
respirator (alat bantu nafas), seorang yang dikatakan mati batang otak (yang
ditandai dengan rekaman EEG yang datar) masih bisa menunjukkan aktivitas
denyut jantung, suhu badan yang hangat, dan berfungsinya alat-alat tubuh
lainnya (sebagai contoh: ginjal) selama terdapat bantuan alat respirator
tersebut. Bila alat respirator dihentikan, maka dalam beberapa menit akan
muncul tanda kematian somatik lainnya. Hal-hal demikian menyebabkan
terjadinya kesulitan dan ketidakseragaman penentuan terjadinya kematian. 15
BATASAN DARI ‘KEMATIAN’
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka definisi kematian
berubah mengikuti ilmu pengetahuan yang berlaku. Umumnya, mati dapat
didefinisikan secara sederhana sebagai berikut: berhentinya tiga penunjang
kehidupan yaitu sistem saraf pusat, jantung, dan pernapasan secara permanen,
yang disebut sebagai mati klinis atau mati somatik. 15
Pernyataan IDI tentang mati mencakup hal-hal sebagai berikut: 15
1. Mati adalah suatu proses yang berangsur-angsur. Tiap sel dalam tubuh
manusia mempunyai daya tahan yang berbeda-beda terhadap tidak adanya
oksigen dan oleh karenanya mempunyai saat kematian yang berbeda pula.
2. Bagi dokter, kepentingan bukan terletak pada tiap butir sel tersebut, tetapi
pada kepentingan manusia itu sebagai suatu kesatuan yang utuh.
3. Dalam tubuh manusia ada tiga organ tubuh yang penting yang selalu
dilihat dalam penentuan kematian seseorang, yaitu jantung, paru-paru, dan
otak (khususnya batang otak).
4. Di antara ketiga organ tersebut, kerusakan permanen pada batang otak
merupakan tanda bahwa manusia itu secara keseluruhan tidak dapat
dinyatakan hidup lagi.
5. Oleh karena itu, setelah mendengar pertimbangan dari para ahli
kedokteran, agama, hukum, dan sosiologi, IDI berpendapat bahwa
manusia dinyatakan mati jika batang otak tidak berfungsi lagi.
6. Sadar bahwa pernyataan tentang kematian ini akan mempunyai implikasi
teknis dilapangan, dengan ini IDI mengajukan usulan perubahan terhadap
PP No. 18, tahun 1981, terutama yang berkenaan dengan definisi mati
seperti yang tercantum dalam pasal 1 ayat g dari peraturan tersebut.
7. Perlu diingatkan sekali lagi kepadan setiap dokter bahwa pada dasarnya
tugas dokter adalah untuk mengurangi penderitaan pasien dan jika
mungkin menyembuhkan kembali secara sempurna dan bertindak demi
kepentingan pasien tersebut. Meskipun dokter menghadapi penyakit-
penyakit yang belum dapat disembuhkan atau adanya cacat yang tidak
dapat dipulihkan, dokter tetap harus bertindak demi kebaikan pasiennya,
sampai saat pasiennya dapat kembali ke keluarganya atau dinyatakan mati.
BAB III
KESIMPULAN

Tindakan euthanasia yang diinginkan suami serta pengurangan


tindakan medis oleh pihak rumah sakit terhadap ibu 30 tahun melanggar
aspek medikolegal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Arif, Rahman. Tanya Jawab ilmu kedokteran Forensik, badan penerbit


Universitas Diponegoro, Semarang; 2009.
2. Sutarno, Hukum Kesehatan, Euthanasia, Keadilan Dan Hukum Positif Di
Indonesia.Press.Malang.2014.
3. Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Jakarta; Djambatan, 2005) cet ke-
2, 135
4. Strinic V. Arguments in support and against euthanasia. British Journal of
Medicine and Medical Research. 2015;9(7).
5. Appel, Jacob. A Suicide Right for the Mentally Ill? A Swiss Case Opens a
New Debate. Hastings Center Report; 2007,(3),37.
6. Djoko Prakoso, Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia hak asasi manusia dan
hukum pidana.Jakarta.1984.
7. Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,
Media Pressindo, Jakarta, 2001, hlm 59.
8. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) Ikatan Dokter
Indonesia, Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode
Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta, 2012.
9. Mun’im, Abdul. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama.
Binarupa Aksara. Jakarta: 1997.
10. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit.
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2014
tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien. 2014. Jakarta:
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
12. Departemen Kesehatan RI. 2009. Undang-undang Republik Indonesia Nomor44
Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Jakarta.
13. Dewi, Y. Indikasi Sectio Caesarea. Dalam: Desriva, N. 2011. Tingkat
Kecemasan Suami Menghadapi Sectio Caesarea pada Istri di Rumah Sakit
Umum Sembiring Medan Tahun 2011; 2007, hal.11-12.
14. Kasdu, D. Operasi Caesar Masalah dan Solusinya. Jakarta: Puspa Swara;
2000 hal. -2126.
15. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik: pedoman bagi dokter dan penegak
hukum. Semarang: UNDIP; 2007.

Anda mungkin juga menyukai