Anda di halaman 1dari 10

REFERAT

EPITAKSIS
Referat ini di buat untuk melengkapi persyaratan mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan THT RSU. Haji Medan

Pembimbing :
dr. Yuliana lubis,SP. THT-KL

Disusun Oleh :
Rofi Arivany 20360107

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan referat judul ini
dengan judul “EPITAKSIS”.
Penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada dr. selaku pembimbing
yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan memberi kesempatan kepada
kami untuk menyelesaikan referat ini.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh
dari kesempurnaan, baik dara cara penulisannya, penggunaan tata bahasa, kekurangan
karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Sehingga penulis menerima
saran dan kritik konstruktif dari semua pihak. Namun terlepas dari semua kekurangan yang
ada, semoga dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Akhirnya semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang kedokteran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Jakarta, September 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rongga
hidung memunyai pembuluh darah yang sangat banyak, berjalan
superfisial sehingga mudah mengalami kerusakan dan relatif tidak terlindungi. Pembuluh
darah submukosa hidung mendapat darah dari kedua arteri karotis interna dan eksterna
yang membentuk anyaman di depan sekat rongga hidung. Umumnya, dikatakan bahwa area
di bawah level konka media diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksterna, sementara area
diatas level konka media diperdarahi oleh arteri karotis interna. Harus juga diingat bahwa
tingkat tekanan pada arteri karotis interna lebih tinggi daripada arteri karotis ekstrerna.
1
Epistaksis pertama kali disebut pada tahun 1867. Tahun 1901, Mc Kenzie memulai
pemakaian adrenalin untuk menghentikan perdarahan, sedangkan operasi pertama kali
dilakukan dalam penanganan epistaksis pada abad ke 19 untuk menghentikan perdarahan
2.
dari posterior.
Epistaksis merupakan kasus gawat darurat yang paling banyak ditemukan di
Bagian Telinga Hidung dan Tenggorok (THT). Diperkirakan setidaknya dalam satu episode
epistaksis terjadi pada lebih dari setengah populasi di dunia. Dari kasus gawat darurat THT,
3
15% adalah epistaksis. Epistaksis pada semua usia dapat disebabkan oleh faktor lokal atau
sistemik. Epistaksis idiopatik didefinisikan apabila perdarahan dari hidung yang tidak
terdeteksi penyebabnya. Epistaksis dapat merupakan tanda dari suatu penyakit. Dalam
penatalaksanan epistaksis tidak boleh dilupakan kemungkinan gangguan pendarahan
sehingga diberikan penggantian dengan plasma atau faktor yang mengalami defisiensi.
Peranan pemeriksaan gangguan pembekuan menjadi suatu hal rutinitas dalam
3
penatalaksanaan epistaksis masih belum jelas. Mortalitas dan morbiditas pada epistaksis
dapat meninggi pada anak - anak, usia tua dan epistaksis dengan penyakit sistemik.
Terdapat berbagai macam tindakan dalam penatalaksnaan epistaksis seperti penekanan
lokal dengan tangan, tampon anterior dan posterior hidung, kauter dengan bahan kimia atau
elektrik, embolisasi, dan ligasi pembuluh darah. Penatalaksanaan dilakukan dengan
memerhatikan gejala dan etiologinya.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan referat ini untuk mengatahui dan memahami tentang
penyakit Epitaksis sebagai salah satu pemenuhan tugas kepanitraan THT Fakultas
Kedokteran Universitas Malahayati.

C. Manfaat
1. Menambah pengetahuan lebih tentang kasus Epitaksis
2. Memahami tanda dan gejala Epitaksis
3. Memahami penatalaksanaan epitaksis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung
atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti
1,2
sendiri.

B. Epidemiologi

Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2- 10 tahun dan 50-80 tahun, sering
dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis
dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan
wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda,
sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi
1,3
atau arteriosklerosis.

C. Etilogi
Epistaksis
dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan
kuat, bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas.
Disamping itu juga dapat desebabkan oleh iritasi gas yang merangsang, benda asing dan
trauma pada pembedahan. Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta
granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis.
Epistaksis berat dapat terjadi pada tumor seperti hemangioma, karsinoma dan
2,3,7
angiofibroma. Tiwari (2005) melaporkan melanoma pada hidung sebagai penyebab
8
pistaksis yang tidak biasa. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai
pada arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis hebat, sering kambuh dan
prognosisnya tidak baik. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan menopause, kelainan
darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada demam berdarah, tifoid dan
morbili sering juga menyebabkan epistaksis. Kelainan kongenital yang sering
menyebabkan epistaksis adalah Rendu-Osler- Weber disease. Disamping itu epistaksis
2,3,9
dapat terjadi pada penyelam yang merupakan akibat perubahan tekanan atmosfer.
D. Klasifikasi

Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:

1. Epistaksis anterior

Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan
2
biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus
Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum
1,4
bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat
1
berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan
5
melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan
udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya
4
dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan .

2. Epistaksis posterior

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada
2
pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.
6
Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.

E. Patofisiologi

Pemeriksaan
arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,
terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan
kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang
komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi
pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan
yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan
setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding
3
pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.

F. Diagnosis
Anamnesis dan
menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan
penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi biasanya
akibat mencungkil hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi.
Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis,
fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa faktor pembekuan
darah. Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak
5
kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan.
G. Pencegahan & Penatalaksanaan
Tiga
prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
2
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pasien yang
datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu
lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah
dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk
menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi
dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke
dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat
tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 - 5 menit. Dengan cara ini dapat
2
ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior. Pada
penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan kecepatan
perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat dilakukan.
Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan
defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin
dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan
sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus
difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping penggantian
10
cairan.

A. Epistaksis Anterior

1. Tampon Anterior

Apabila
kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak
dapat diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan
2,10
kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik. Tampon ini
12
dipertahankan selama 3 – 4 hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas. V
aghela (2005) menggunakan swimmer’ s nose clip untuk penanggulangan epistaksis
13
anterior.

B. Epistaksis Posterior

Perdarahan
dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
2
hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior
dapat diatasi dengan menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri dan
10
embolisasi.

1. Tampon Posterior

Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau
setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana
dan terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian
dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh
Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan
kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan
cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah
disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke
dalam koana melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam
4,5
nasofaring akan mempermudah tindakan ini. Apabila masih tampak perdarahan keluar
dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi.
Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa
didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Pita
yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik tampon
2
keluar melalui mulut setelah 2 – 3 hari.

BAB III
KESIMPULAN

Epistaksis merupakan kasus gawat darurat yang sering ditemukan. Hampir 90 % merupakan
epistaksis anterior, dimana perdarahan terjadi di daerah Pleksus Kiesselbach .

Langkah pertama dalam penanganan epistaksis adalah identifikasi lokasi perdarahan. Memencet
cuping hidung dilakukan dalam beberapa menit, kalau masih terjadi perdarahan dimasukkan
tampon yang telah dilumuri vasokonstriktor dan analgesia, untuk menghentikan perdarahan, apabila
perdarahan berhenti dan dapat dilihat dengan jelas lokasi perdarahan, maka dapat dilakukan
kauterisasi. Tetapi apabila setelah tampon sementara perdarahan tidak berhenti maka dipasang
tampon permanen yang dilumuri antibiotik. Tampon diangkat dalam dua kali duapuluh empat jam,
selama pemasangan tampon, diberi antibiotik per oral.

Epistaksis posterior ditemukan pada 10% kasus, diatasi dengan tampon posterior / tampon Beloq
atau dengan Foley kateter, angka kegagalan pemasanagn tampon posterior masih tinggi antara 26-
52%. Perdarahan yang tidak berhenti merupakan tantangan bagi spesialis THT, dahulu dilakukan
ligasi arteri maksila melalui transnasal, dan ligasi arteri karotis eksternal atau arteri etmoid menjadi
pilihan untuk mengatasi hal tersebut, namun sering gagal. Akhir-akhir ini dengan berkembangnya
endoskopi pada operasi sinus dan pengetahuan yang lebih dalam mengenai anatomi, telah
dilakukan kontrol terhadap arteri sfenopalatina melalui endoskop, cara ini merupakan hal yang
efektif untuk mengatasi epistaksis posterior.
DAFTAR PUSTAKA
1. Marbun, E. M. (2017). Etiologi, Gejala dan Penatalaksanaan Epistaksis. Jurnal Kedokteran
Meditek.

2. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis. Dalam:
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FK UI,
1998: 127 – 31.

3. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott – Brown’s Otolaryngology.
th
Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 . Oxford: Butterwort - Heinemann, 1997: 1–19.

4. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa staf ahli
bagian THT FK UI. Jilid 1. Edisi 13. Jakarta, Binarupa Aksara,1994: 1 – 27, 112 – 6.

5. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket reference.
Second Edition. New Y ork, Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994: 170 –80 dan253–60.

6. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxix: Identification of common bleeding
sites. Laryngodcope, 2005. Vol. 115 (4): 588 – 90.

7. Thuesen AD, Jacobsen J, Nepper- Rasmussen J. Juvenile angofobroma. Ugeskr Leager.


2005. Vol. 167 (34): 3163 – 6.

8. Tiwari D, Plater M, Partridge R, Weston- Simons J. Primary malignan melanoma of nose: a


rare cause of epistaxis in the elderly. Age Ageing. 2005. Vol. 34 (6): 653 – 4.

9. Sys L, van den Hoogen FJ. Rendu-Osler- Weber disease. Ned Tijdschr Tandheelkd. 2005.
Vol. 112 (9): 336 – 9.

10. Abelson TI. Epistaxis. Dalam: Paparella MM, Shumrick DA, Glucman JL, Meyerhoff WL.
rd
Otolaryngology. Vol. III. Ed. 3 . Philadelphia: WB Saunders Company, 1997: 1831 – 41.

11. Yang DZ, Cheng JN, Han J, Shu P, ZhangH. Management of intactable epistaxis and
bleeding points laokalization. Zhonghua Er Bi, 2005. Vol. 40 (5): 360 – 2.

12. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit THT. Alih bahasa: Caroline W.
Edisi VI. Jakarta. EGC Penerbit buku kedokteran, 1993: 224 – 37.

13. Vaghela HM. Using a swimmer’s nose clip in the treatment of epistaksis in the A&E
departement. Accing Emerg Nurs, 2005, Vol. 13 (4): 261 – 3.

Anda mungkin juga menyukai