Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

IMUNISASI

Referat ini di buat untuk melengkapi persyaratan mengikuti


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU. Haji Medan

Pembimbing :
dr. Nurdiani, Sp. A

Disusun Oleh :
Siti Anisya Agustina Husin 20360114

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan referat judul ini
dengan judul “Imunisasi”.
Penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada dr. Nurdiani, Sp.A selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan memberi
kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan referat ini.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh
dari kesempurnaan, baik dara cara penulisannya, penggunaan tata bahasa, kekurangan
karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Sehingga penulis menerima
saran dan kritik konstruktif dari semua pihak. Namun terlepas dari semua kekurangan yang
ada, semoga dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Akhirnya semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang kedokteran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Bogor, Agustus 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Imunisasi adalah upaya membuat individu menjadi kebal terhadap suatu
penyakit infeksi (Soejatmiko et al., 2015). Imunisasi membuat tubuh kebal terhadap
penyakit infeksi melalui administrasi vaksin. Vaksin menstimulasi sistem imun
tubuh untuk melindungi diri dari suatu infeksi. Imunisasi telah terbukti sebagai cara
yang efektif dalam mengontrol dan mengeliminasi penyakit infeksi berbahaya yang
menyebabkan kematian antara dua sampai tiga juta jiwa tiap tahun (WHO, 2017).
Tujuan imunisasi adalah untuk melindungi individu terhadap penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi, mengurangi prevalensi penyakit pada penyakit,
dan mengeradikasi penyakit tersebut. Penyakit yang telah berhasil dieradikasi
adalah penyakit cacar (variola). Imunisasi dapat mencegah 2-3 juta kematian yang
disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) (Soejatmiko
et al., 2015). Imunisasi dapat mencegah kematian yang disebabkan difteri, tetanus,
pertusis, dan measles dan apabila cakupan imunisasi dapat dioptimalkan angka
kematian dapat diturunkan lagi sebanyak 1,5 juta jiwa (WHO, 2017).
Selama tahun 2015 sekitar 86% bayi diseluruh dunia telah medapatkan 3
dosis vaksin difteri-tetanus-pertusis (DTP3). Sebanyak 126 negara telah mencapai
angka 90% cakupan vaksin DTP3. Namun saat ini sekitar 19,4 juta bayi di seluruh
dunia masih belum mendapatkan vaksin rutin seperti vaksin DTP3. Sekitar 60%
bayi ini berasal dari 10 negara yaitu: Indonesia, Angola, Kongo, Etiopia, India,
Iraq, Nigeria, Pakistam Filipina, dan Ukraina.
Saat ini penyakit infeksi yang bisa mengakibatkan penderitaan dan kematian
antara lain campak, Haemophilus influenza (Hib), pertusis, dan tetanus neonatal.
Penyakit-penyakit ini memiliki mortalitas terbesar di antara yang dapat dicegah
dengan vaksinasi. Setiap tahun 10,6 juta anak meninggal sebelum usia 5 tahun dan
1,4 juta diantaranya adalah diakibatkan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Penghentian pemberian vaksin dapat mengakibatkan terjadi lagi
penularan dan penyebaran penyakit atau bahkan kejadian luar biasa atau wabah
penyakit tersebut (Satgas Imunisasi IDAI, 2014).
Di Indonesia, imunisasi merupakan kebijakan nasional melalui program
imunisasi. Imunisasi masih sangat diperlukan untuk melakukan pengendalian
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), seperti difteri, pertusis
(penyakit pernapasan), tetanus, Tuberkulosis (TBC),  campak, polio, hepatitis B dan
haemophilus influenza tipe B (Hib). Program imunisasi sangat penting agar tercapai
kekebalan masyarakat (population immunity). Program Imunisasi di Indonesia
dimulai pada tahun 1956 dan pada tahun 1990, Indonesia telah mencapai status
Universal Child Immunization (UCI), yang merupakan suatu tahap dimana cakupan
imunisasi di suatu tingkat administrasi telah mencapai 80% atau lebih.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar, ada perbaikan untuk cakupan
imunisasi lengkap yang angkanya meningkat dari 41,6% (2007) dan 53,8% (2010)
menjadi 59,2% (2013), akan tetapi masih dijumpai 32,1% yang diimunisasi tapi
tidak lengkap, serta 8,7% yang tidak pernah diimunisasi, dengan alasan takut panas,
sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, tidak tahu tempat
imunisasi, serta sibuk/repot. Untuk kesehatan anak, cakupan imunisasi dasar
lengkap semakin meningkat jika dibandingkan tahun 2007, 2010 dan 2013 yaitu
menjadi 58,9% di tahun 2013. Persentase tertinggi di DI Yogyakarta (83,1%) dan
terendah di Papua (29,2%).Di tahun 2018 justru terjadi penurunan angka cakupan
imunisasi lengkap dari 59,2% (2013) menjadi 57,9% (2018).
Program imunisasi nasional disusun berdasarkan keadaan epidemiologi
penyakit yang terjadi saat itu. Maka jadwal program imunisasi nasional dapat
berubah dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui jadwal
program imunisasi nasional yang terbaru yakni tahun 2014.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan referat ini untuk mengatahui dan memahami
imunisasi dasar pada bayi sebagai upaya pencegahan primer terhadap suatu
penyakit dan sebagai salah satu pemenuhan tugas kepanitraan anak Fakultas
Kedokteran Universitas Malahayati.

C. Manfaat
1. Menambah pengetahuan tentang hal imunisasi dasar pada bayi
2. Menambah informasi kapan seharusnya imunisasi dilakukan dan seberapa
pentingnya imunisasi harus didadapatkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Imunisasi berasal dari kata “imun” yang berarti kebal atau resisten.
Imunisasi merupakan pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit
dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit
yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang (Lisnawati, 2011).
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu
saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami
sakit ringan (Kemenkes RI, 2013).
Imunisasi adalah cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang terhadap
suatu penyakit, sehingga bila kelak terpajan pada penyakit tersebut ia tidak
menjadi sakit. Kekebalan yang diperoleh dari imunisasi dapat berupa kekebalan
pasif maupun aktif (Ranuh et.al, 2011).
Dalam dunia kesehatan dikenal tiga pilar utama dalam meningkatkan
kesehatan masyarakat, yaitu preventif atau pencegahan, kuratif atau pengobatan,
dan rehabilitatif. Dua puluh tahun terakhir, upaya pencegahan telah membuahkan
hasil yang dapat mengurangi kebutuhan kuratif dan rehabilitatif. Imunisasi sendiri
merupakan suatu upaya pencegahan primer guna menghindari terjadinya sakit atau
kejadian yang dapat mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera dan
cacat.
Di Indonesia, program imunisasi nasional dikenal sebagai Pengembangan
Program Imunisasi (PPI) yang dilaksanakan sejak tahun 1977. Imunisasi yang
termasuk dalam PPI adalah Hep.B, BCG, polio, DTP, Hib, dan campak.
Tujuan imunisasi adalah untuk melindungi individu terhadap penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi, mengurangi prevalensi penyakit pada
penyakit, dan mengeradikasi penyakit tersebut. Penyakit yang telah berhasil
dieradikasi adalah penyakit cacar (variola). Imunisasi dapat mencegah 2-3 juta
kematian yang disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
(PD3I) (Soejatmiko et al., 2015). Imunisasi dapat mencegah kematian yang
disebabkan difteri, tetanus, pertusis, dan measles dan apabila cakupan imunisasi
dapat dioptimalkan angka kematian dapat diturunkan lagi sebanyak 1,5 juta jiwa
(WHO, 2017).

B. Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO tahun 2002, setiap tahun terjadi kematian
sebanyak 2,5 juta balita, yang disebabkan penyakit yang dapat dicegah melalui
vaksinasi. Radang paru yang disebabkan oleh pneumokokus menduduki peringkat
utama (716.000 kematian), diikuti penyakit campak (525.000 kematian), rotavirus
(diare), Haemophilus influenza tipe B, pertusis dan tetanus. Dari jumlah semua
kematian tersebut, 76% kematian balita terjadi dinegara-negara sedang
berkembang, khususnya Afrika dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia).
WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui
vaksinasi akan dapat diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai. Dalam hal
ini bisa tercapai bila lebih dari > 90% populasi telah mendapatkan vaksinasi
terhadap penyakit tersebut ( Suharjo, 2010).

C. Tujuan
Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada
seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat
(populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti
imunisasi cacar. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis
penyakit yang hanya dapat di tularkan manusia ( Ranuh, 2014).
Sasaran dari pemberian imunisasi tidak hanya pada anak-anak, tetapi juga
mencakup wanita hamil (awal kehamilan – 8 bulan), wanita usia subur (calon
mempelai). Pada anak-anak, imunisasi diberikan dimulai sejak bayi dibawah umur
1 tahun (0 – 11 bulan) sampai anak sekolah dasar (kelas 1 – kelas 6).

D. Manfaat
Menurut Proverawati dan Andhini (2010) manfaat imunisasi tidak hanya
dirasakan oleh pemerintah dengan menurunya angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi, tetapi juga dirasakan oleh :
a. Untuk Anak
Mencegah penderitaan yang di sebabkan oleh penyakit, dan
kemungkinan cacat atau kematian.
b. Untuk Keluarga
Menghilangkan kecemasan dan psikolog pengobatan bila anak sakit.
Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin akan
menjalani masa kanak-kanak yang nyaman. Hal ini mendorong
penyiapan keluarga yang terencana, agar sehat dan berkualitas.

c. Untuk Negara
Memperbaiki tingkat kesehatan menciptakan bangsa yang kuat dan
berakal untuk melanjutkan pembangunan negara.

E. Jenis-jenis Imunisasi
Imunisasi dibagi menjadi dua yaitu imunisasi pasif dan imunisasi aktif.
a. Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif adalah pemberian antibodi kepada resipien,
dimaksudkan untuk memberikan imunitas secara langsung tanpa harus
memproduksi sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan tubuhnya.
Antibodi yang diberikan ditujukan untuk upaya pencegahan atau
pengobatan terhadap infeksi, baik untuk infeksi bakteri maupun virus
.Imunisasi pasif dapat terjadi secara alami saat ibu hamil memberikan
antibodi tertentu ke janinnya melalui plasenta, terjadi di akhir trimester
pertama kehamilan dan jenis antibodi yang ditransfer melalui plasenta
adalah immunoglobulin G (LgG). Transfer imunitas alami dapat terjadi
dari ibu ke bayi melalui kolostrum (ASI), jenis yang ditransfer adalah
immunoglobulin A (LgA). Sedangkan transfer imunitas pasif secara
didapat terjadi saat seseorang menerima plasma atau serum yang
mengandung antibodi tertentu untuk menunjang kekebalan
tubuhnya.Kekebalan yang diperoleh dengan imunisasi pasif tidak
berlangsung lama, sebab kadar zat-zat anti yang meningkat dalam tubuh
anak bukan sebagai hasil produksi tubuh sendiri, melainkan secara pasif
diperoleh karena pemberian dari luar tubuh. Salah satu contoh imunisasi
pasif adalah Inmunoglobulin yang dapat mencegah anak dari penyakit
campak (measles).
b. Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif adalah tubuh anak sendiri membuat zat anti yang akan
bertahan selama bertahun-tahun.Adapun tipe vaksin yang dibuat “hidup
dan mati”. Vaksin yang hidup mengandung bakteri atau virus (germ)
yang dilemahkan, tetapi dapat menginfeksi tubuh dan merangsang
pembentukan antibodi. Vaksin yang mati dibuat dari bakteri atau virus,
atau dari bahan toksit yang dihasilkannya yang dibuat tidak berbahaya
dan disebut toxoid. Contohnya adalah imunisasi polio atau campak
Saat ini menurut WHO terdapat 25 vaksin yang telah ditemukan dan
dipergunakan di seluruh dunia (available vaccine) serta masih ada 24 vaksin yang
sedang dalam proses penelitian dan pengembangan (Pipeline vaccines). Berikut
adalah tabel available vaccine dan pipeline vaccine:
Available Vaccine Pipeline Vaccine
Kolera Campylobacter jejuni
Dengue (Dengvaxia) Chagas Disease
Difteria Chikungunya
Hepatitis A Dengue
Hepatitis B Enterotoxigenic Escherichia coli
Hepatitis E Enterovirus 71 (EV71)
Haemophilus influenza type b (Hib) Group B Streptococcus (GBS)
Human papimolavirus (HPV) Herpes Simplex Virus
Influenza HIV-1
Japanese encephalitis Human Hookworm Disease
Malaria Leishmaniasis Disease
Measles Malaria
Meningococcal meningitis Nipah Virus
Mumps Nontyphoidal Salmonella Disease
Pertusis Norovirus
Pneumococcal disease Paratyphoid fever
Rabies Respiratory Syncytial Virus (RSV)
Rotavirus Schistosomiasis Disease
Rubella Shigella
Tetanus Staphylococcus aureus
Tick-orne encephalitis Streptococcus pneumoniae
Tuberculosis (BCG) Streptococcus pyrogenes
Typoid Tuberculosis
Varicella Universal Influenza Vaccine
Yellow fever

F. Imunisasi Program Nasional


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 42 tahun
2013 tentang penyelengaraan imunisasi terdapat enam imunisasi dasar dalam
program imunisasi nasional yaitu imunisasi hepatitis B, BCG, DTP, Hib, Polio, dan
campak. Sejak tahun 2014 digunakan vaksin kombinasi DTP-HB-Hib atau dikenal
sebagai vaksin Pentabio. Vaksin ini digunakan di seluruh fasilitas kesehatan
pemerintah dan diberikan pada umur 2,3,4 bulan dengan vaksin ulangan pada usia
18 bulan.

G. Imunisasi Dasar Pada Bayi


Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 tentang
penyelenggaraan imunisasi, pasal 6 dinyatakan imunisasi dasar merupakan
imunisasi yang diberikan kepada bayi sebelum berusia 1 (satu) tahun. Adapun
jenis imunisasi dasar pada bayi terdiri dari :
1. Imunisasi Hepatitis B
Imunisasi hepatitis B adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B, yaitu penyakit
infeksi yang dapat merusak hati (Maryunani, 2010). Kini paling tidak 3,9%
ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan risiko penularan kepada
bayinya sebesar 45%. Kementerian kesehatan mulai tahun 2005
memberikan vaksin hepatitis B-0 monovalen (dalam kemasan uniject) saat
lahir, dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/Hepatitis B pada umur 2-
3-4 bulan. Tujuan vaksin hepatitis B diberikan dalam kombinasi dengan
DTwP untuk mempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan hepatitis
B3 yang masih rendah (Ranuh, 2014).
Vaksin hepatitis B harus segera diberikan setelah lahir, mengingat
vaksinasi hepatitis B merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif
untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu
kepada bayinya. Vaksin hepatitis B diberikan sebaiknya 12 jam setelah
lahir dengan syarat kondisi bayi dalam keadaan stabil, tidak ada
gangguan pada paru-paru dan jantung (Maryunani, 2010). Vaksin
diberikan secara intramuskular dalam. Pada neonatus dan bayi diberikan
di anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa, diberikan
di regio deltoid. Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1
bulan, memperpanjang interval antara dosis pertama dan kedua tidak
akan mempengaruhi imunogenisitas atau titer antibodi sesudah imunisasi
selesai. (Ranuh, 2014).
Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B
diberikan juga hepatitis immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml di sisi tubuh
yang berbeda dalam 12 jam setelah lahir. Sebab, Hepatitis B
Imunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan proteksi
meskipun hanya jangka pendek (3-6 bulan) (Cahyono, 2010).

Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan


imunisasi kedua, sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak
terpendek 2 bulan dari imunisasi kedua. Bila dosis ketiga terlambat,
diberikan segera setelah memungkinkan. Efek samping yang terjadi
umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan bersifat sementara.
Kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari
(Ranuh, 2014).
2. Imunisasai Bacillus Calmette Guerin (BCG)
Imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan kekebalan aktif
terhadap penyakit tuberculosis (TBC) pada anak (Proverawati dan
Andhini, 2010). Bacille Calmette-Guerin (BCG) adalah vaksin hidup
yang dibuat dari myobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-
3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak virulen tetapi masih
mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG berisi suspensi
myobacterium bovis hidup yang sudah dilemahkan. Vaksinasi BCG
tidak mencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi resiko terjadi
tuberkulosis berat seperti meningitis TB dan tuberkulosis milier
(Ranuh et.al, 2014).
Vaksin BCG diberikan pada umur < 2 bulan, Kementerian
Kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi BCG pada umur 1
bulan dan sebaiknya pada anak dengan uji Mantoux (Tuberkulkin)
negatif. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan. Efek proteksi
timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi
antara 0-80 %, berhubungan dengan beberapa faktor yaitu mutu
vaksin yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau
faktor pejamu (umur, keadaan gizi dan lain-lain) (Ranuh et.al, 2014)

Cara pemberiannya melalui suntikan. Sebelum disuntikkan


vaksin BCG harus dilarutkan terlebih dahulu. Dosis 0,55 cc untuk
bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 cc untuk anak dan orang dewasa.
Pemberian imunisasi ini dilakukan secara Intrakutan di daerah lengan
kanan atas. Disuntikkan kedalam lapisan kulit dengan penyerapan
pelan-pelan. Dalam memberikan suntikan intrakutan, agar dapat
dilakukan dengan tepat, harus menggunakan jarum pendek yang
sangat halus (10mm, ukuran 26) (Proverawati dan Andhini, 2010).
Imunisasi BCG tidak boleh digunakan pada orang yang reaksi uji
tuberkulin > 5 mm, menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi
infeksi HIV, imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid,
obat imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe,
menderita gizi buruk, menderita demam tinggi, menderita infeksi
kulit yang luas, pernah sakit tubercolusis, dan kehamilan (Ranuh,
2014).
Efek samping reaksi lokal yang timbul setelah imunisasi BCG
yaitu setelah 1-2 minggu diberikan imunisasi, akan timbul indurasi
dan kemerahan ditempat suntikan yang berubah menjadi pustula,
kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak perlu pengobatan khusus,
karena luka ini akan sembuh dengan sendirinya secara spontan.
Kadang terjadi pembesaran kelenjar regional diketiak atau leher.
Pembesaran kelenjar ini terasa padat, namun tidak menimbulkan
demam ( Proverawati dan Andhini, 2010).
3. Imunisasi Diphteria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau
Diphteria Pertusis Tetanus- Hepatitis B-Hemophilus influenza type B
(DPT- HB-HiB)
Vaksin DPT-HB-Hib berupa suspense homogeny yang berisikan
difteri murni, toxoid tetanus, bakteri pertusis inaktif, antigen
permukaan hepatitis B (HBsAg) murni yang tidak infeksius dan
komponen Hib sebagai vaksin bakteri sub unit berupa kapsul
polisakarida Haemophillus influenza tipe b (Hib) tidak infeksius yang
dikonjugasikan kepada protein toksoid tetanus (Kemenkes, 2013).
Vaksin ini digunakan untuk pencegahan terhadap difteri, tetanus,
pertusis (batuk rejan), hepatitis B dan infeksi Haemophilus influenza
tipe b secara simultan. Strategic Advisory Group of Expert on
Immunization (SAGE) merekomendasikan vaksin Hib dikombinasi
dengan DPT-HB menjadi vaksin pentavalent (DPT-HB-Hib) untuk
mengurangi jumlah suntikan pada bayi. Penggabungan berbagai
antigen menjadi satu suntikan telah dibuktikan melalui uji klinik,
bahwa kombinasi tersebut secara materi tidak akan mengurangi
keamanan dan tingkat perlindungan (Kemenkes, 2013).
Pemberian imunisasi DPT-HB-Hib diberikan sebanyak 3 (tiga)
kali pada usia 2, 3 dan 4 bulan. Pada tahap awal hanya diberikan pada
bayi yang belum pernah mendapatkan imunisasi DPT-HB. Apabila
sudah pernah mendapatkan imunisasi DPT-HB dosis pertama atau
kedua, tetap dilanjutkan dengan pemberian imunisasi DPT-HB
sampai dengan dosis ketiga. Untuk mempertahankan tingkat
kekebalan dibutuhkan imunisasi lanjutan kepada anak batita sebanyak
satu dosis pada usia 18 bulan.
Jenis dan angka kejadian reaksi simpang yang berat tidak berbeda
secara bermakna dengan vaksin DPT, Hepatitis B dan Hib yang
diberikan secara terpisah. Untuk DPT, beberapa reaksi lokal sementara
seperti bengkak, nyeri dan kemerahan pada lokasi suntikan disertai
demam dapat timbul. Vaksin hepatitis B dan vaksin Hib dapat
ditoleransi dengan baik. Reaksi lokal dapat terjadi dalam 24 jam setelah
vaksinasi dimana penerima vaksin dapat merasakan nyeri pada lokasi
penyuntikkan. Reaksi ini biasanya bersifat ringan dan sementara, pada
umumnya akan sembuh dengan sendirinya dan tidak memerlukan
tindakan medis lebih lanjut.
Terdapat beberapa kontraindikasi terhadap dosis pertama DPT,
kejang atau gejala kelainan otak pada bayi baru lahir atau kelainan
saraf serius lainnya merupakan kontraindikasi terhadap komponen
pertusis. Dalam hal ini vaksin tidak boleh diberikan sebagai vaksin
kombinasi, tetapi vaksin DT harus diberikan sebagai pengganti DPT,
vaksin Hepatitis B dan Hib diberikan secara terpisah.

Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi


berat dan ensefalopalopati pada pemberian vaksin sebelumnya.
Keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah bila
pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu
mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada pemberian pertama
dijumpai riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang kurang
(hipotonik-hiporesponsif) dalam 48 jam, anak menangis terus selama
2 jam, dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.
Pemberian vaksin sebaiknya ditunda pada orang yang berpenyakit
infeksi akut. Vaksin DPT, baik bentuk DtaP maupun DTwP, tidak
diberikan pada anak kurang dari usia 6 minggu. Sebab, respons
terhadap pertusis dianggap tidak optimal. Vaksin pertusis tidak boleh
diberikan pada wanita hamil (Cahyono, 2010)

4. Imunisasi Polio
Imunisasi polio merupakan imunisasi yang bertujuan mencegah
penyakit poliomielitis. Vaksin polio telah dikenalkan sejak tahun
1950, Inactivated (Salk) Poliovirus Vaccine (IPV) mendapat lisensi
pada tahun 1955 dan langsung digunakan secara luas. Pada tahun
1963, mulai digunakan trivalen virus polio secara oral (OPV) secara
luas. Enhanced potency IPV yang menggunakan molekul yang lebih
besar dan menimbulkan kadar antibodi lebih tinggi mulai digunakan
tahun 1988. Perbedaan kedua vaksin ini adalah IPV merupakan virus
yang sudah mati dengan formaldehid, sedangkan OPV adalah virus
yang masih hidup dan mempunyai kemampuan enterovirulen, tetapi
tidak bersifat patogen karena sifat neurovirulensinya sudah hilang
(Ranuh, 2014).
Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (polio I, II, III, IV) dengan
interval tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi polio ulangan
diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV, kemudian pada saat
masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD (12 tahun).
Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes (0,1 ml) langsung kemulut
anak. Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes
(dropper) yang baru (Proverawati dan Andhini, 2010). Dosis pertama
dan kedua diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan primer,
sedangkan dosis ketiga dan keempat diperlukan untuk meningkatkan
kekuatan antibodi sampai pada tingkat yang tertinggi (Lisnawati,
2011).

Pemberian imunisasi polio tidak boleh dilakukan pada orang yang


menderita defisiensi imunitas. Tidak ada efek yang berbahaya yang
ditimbulkan akibat pemberian polio pada anak yang sedang sakit.
Namun, jika ada keraguan, misalnya sedang menderita diare, maka
dosis ulangan dapat diberikan setelah sembuh. (Proverawati dan
Andhini, 2010). Vaksinasi polio tidak dianjurkan diberikan pada
keadaan ketika seseorang sedang demam (>38,5°C), obat penurun
daya tahan tubuh, kanker, penderita HIV, Ibu hamil trimester
pertama, dan alergi pada vaksin polio. Pernah dilaporkan bahwa
penyakit poliomielitis terjadi setelah pemberian vaksin polio. Vaksin
polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan gejala pusing,
diare ringan, dan nyeri otot (Cahyono, 2010).

5. Imunisasi Campak
Imunisasi campak ditujukan untuk memberikan kekebalan aktif
terhadap penyakit campak. pemberian vaksin campak diberikan 1 kali pada
umur 9 bulan secara subkutan walaupun demikian dapat diberikan secara
intramuskuler dengan dosis sebanyak 0,5 ml. Selanjutnya imunisasi
campak dosis kedua diberikan pada program school based catch-up
campaign, yaitu secara rutin pada anak sekolah SD kelas 1 dalam program
BIAS (Ranuh, 2014).

Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, infeksi aktif,


dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir dari ibu yang telah kebal
(berlangsung selama 1 tahun). Orang-orang yang rentan terhadap campak
adalah bayi berumur lebih dari 1 tahun, bayi yang tidak mendapatkan
imunisasi kedua sehingga merekalah yang menjadi target utama pemberian
imunisasi campak. kadar antibodi campak tidak dapat dipertahankan
sampai anak menjadi dewasa. Pada usia 5-7 tahun, sebanyak 29,3% anak
pernah menderita campak walaupun pernah diimunisasi. Sedangkan
kelompok 10-12 tahun hanya 50% diantaranya yang mempunyai titer
antibodi di atas ambang pencegahan. Berarti, anak usia sekolah separuhnya
rentan terhadap campak dan imunisasi campak satu kali saat berumur 9
bulan tidak dapat memberi perlindungan jangka panjang (Cahyono, 2010).
Efek samping yang timbul dari imunisasi campak seperti demam lebih
dari 39,5°C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam mulai dijumpai pada
hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 5 hari. Ruam dapat
dijumpai pada 5% resipian timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan
berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan akibat
imunisasi yang terjadi jika seseorang telah memperoleh imunisasi pada
saat inkubasi penyakit alami. Terjadinya kejang demam, reaksi berat jika
ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti ensefalitis dan
ensefalopati pasca imunisasi.diperkirakan risiko terjadinya kedua efek
samping tersebut 30 hari sesudah imunisasi sebanyak 1 diantara 1 milyar
dosis vaksin (Ranuh, 2014).
Imunisasi tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi
primer , pasien TB yang tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi
organ, mereka yang mendapat pengobatan imunosupresif jangka panjang
atau anak immunocompromised yang terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi
HIV tanpa immunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap
campak, bisa mendapat imunisasi campak (Ranuh, 2014).

H. Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Pada Bayi


Sesuai dengan Permenkes Nomor 42 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi, jadwal pemberian imunisasi dasar pada bayi dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar pada Bayi Usia (0-11 bulan)
Waktu Pemberian (usia) Jenis imunisasi yang diberikan
0 bulan Hepatitis B0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 bulan DPT-HB-Hib 3, Polio 4
9 bulan Campak
Catatan : Bayi lahir di Institusi Rumah Sakit, Klinik dan Bidan Praktik Swasta,
Imunisasi BCG dan Polio 1 diberikan sebelum dipulangkan.

I. Penyakit Yanng Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)


Secara umum tujuan kegiatan imunisasi sesuai dengan Progam
Pengembangan Imunisasi (PPI) yang mulai dilaksanakan di Indonesia pada
tahun 1977 berfokus pada pencegahan penularan terhadap beberapa PD3I yaitu
Hepatitis B, Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio serta Campak.

J. Tata Cara Pemberian Imunisasi


Tata cara pemberian imunisasi merupakan rangkaian proses mulai dari
penyimpana vaksin, rantai vaksin, persiapan imunisasi, pemberian imunisasi,
pencatatan dan pelaporan, serta pengelolaan sisa vaksin.
Ada 8 hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian imunisasi yaitu :
1. Benar Anak
Sebelum dilakukan anamnesis perlu dipastikan identitas anak sesuai dengan
identitas dalam catatan medis. Identitas dipastikan dengan mencocokkan nama
lengkap, tanggal lahir, dan nomor rekam medis. Selain itu perlu dipastikan anak
dalam keadaan sehat serta tidak ada indikasi kontra yang akan diberikan saat
ini.
2. Benar Jadwal
Saat akan dilakukan imunisasi perlu dipertimbangkan umur anak, riwayat
imunisasi, serta interval imunisasi sebelumnya. Pemberian dua jenis vaksin
hidup yang dilemahkan dapat diberikan bersamaan, namun apabila terpisah
maka interval minimal adalah 4 minggu. Pemberian vaksin inaktif dapat
digabung dengan vaksin inaktif lain maupun vaksin hidup yang dilemahkan.
3. Benar Vaksin dan Pelarut
Sebelum digunaka vaksin perlu diperiksa apakah botol mengalami
kerusakan atau retao, tanggal kadalwarsa, dan vaksin dalam keadaan baik. Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah warna, kejernihan, apakah ada endapan dan
Vaccine Vial Monitor (VVM).
 Warna vaksin: vaksin polio harus berwarna kuning oranye, bila warna
berubah pucat atau kemerahan berarti pH telah berubah. Vaksin toksoid,
rekombinan dan polisakarida umumnya berwarna putih jernih sedikit
berkabut

 Vaccine Vial Monitor: VVM untuk menilai apakah vaksin sudah pernah
terpapar suhu diatas 8 C dalam waktu lama atau belum. VVM dicek dengan
membandingkan warna kotak segi empat dengan warna lingkaran disekitarnya.
 Uji kocok: dilakukan apabila vaksin dicurigai pernah membeku. Vaksin
dikocok kemudian diamati mulai 15 hingga 60 menit bila masih terdapat
endapan atau gumpalan berarti vaksin pernh membeku dan vaksin tersebut
tidak boleh digunakan
 Pelarut: bila vaksin perlu dilarutkan gunakan pelarut yang telah disediakan
untuk vaksin tersebut. Vaksin perlu diberi label yang memuat keterangan,
tanggal dan jam dilarutkan, tanggal dan jam kadalwarsa, nama dan tanda
tangan yang melarutkan vaksin.

4. Benar Dosis
Dosis vaksin untuk anak umumnya adalah 0,5 mL untuk vaksin DTP-HB-
Hib, DT, Td, campak, dan Hepatitis B. Dosis vaksin OPV adalah 2 tetes. Dosis
vaksin BCG anak < 1th adalah 0,05 mL sedangkan untuk anak lebih dari 1 tahun
adalah 0,1 mL. Dosis vaksin influenza untuk anak 6 bulan sampai kurang dari 3
tahun adalah 0,25 mL sedangkan anak lebih dari 3 th adalah 0,5 mL.
5. Benar Rute, Panjang Jarum, dan Teknik penyuntikan
 Rute : Vaksin DTP, Hepatitis B, disuntikkan secara intramuskuler (IM).
Vaksin campak secara subkutan (SK). Vaksin polio inaktif bisa secara
intramuskuler (IM) atau subkutan (SK). Vaksin BCG disuntikkan secara
intrakutan (IK).
 Panjang jarum: untuk penyuntikan intramuskuler jarum yang digunakan
ukuran 22-25 G. Untuk penyuntikan subkutan digunakan 23-25 G
Tabel. Panjang dan lokasi penyuntikan intramuskuler
Klasifikasi Umur Panjang Jarum Lokasi Penyuntikan
(inch)
Bayi baru lahir 5/8 Anterolateral femoralis
Bayi s.d 1 th 1 Anterolateral femoralis
Anak 1-2th 1-1 1/4 Anterolateral femoralis
5/8 -1 Otot deltoid
Anak 3-18 th 1-1 ¼ Anterolateral femoralis
5/8 -1 Otot deltoid

Tabel. Panjang dan lokasi penyuntikan subkutan


Klasifikasi Umur Panjang Jarum Lokasi Penyuntikan
(inch)
Bayi s.d 1 th 5/8 Jaringan lemak pada
anterolateral otot paha
Anak 1 th s.d 5/8 Jaringan lemak pada
remaja anterolateral otot paham
atau jaringan lemak diats
otot triceps

 Teknik pemberian vaksin

Rute Teknik
Intramuskuler Menggunakan jarum sesuai umur anak dan cukup
panjang untuk mencapai otot
Tekan kulit sekitar dengan ibu jari dan telunjuk saat
jarum ditusukkan
Suntikkan dengan arah 90 terhadap kulit
Penyuntikan pada anterolateral paha atau deltoid.
Pada daerah tersebut tidak ada pembuluh darah besar
sehingga tidak perlu aspirsi. Namun, bila saat
penyuntikan terdapat darah maka vaksin tidak boleh
dipakai
Untuk vaksin dengn lebih dari satu suntikan dapat
diberikan pada ekstremitas berbeda
Subkutan Melakukan cubit tebal pada tempat suntikan
Suntikkan dengan arah 45 terhadap kulit
Untuk suntikan multipel diberikan pada ekstremitas
berbeda
Intrakutan Menggunakan semprit tuberkulin jarum pendek dan
kecil
Arah 10-15 terhahap kulit
Vaksin disuntikkan sampai terbentuk indurasi
Polio oral Membuka tutup botol vaksin
Meneteskan 2 tetes vaksin dengan memijat bagian
tengah dropper secara perlahan.

6. Benar Lokasi
Penyuntikan intramuskuler dilakukan di otot paha anterolateral yaitu vastus
lateralis quadriceps femoris untuk bayi sampai anak berumur 2 tahun. Untuk
anak umur 3 tahun ke atas penyuntukan dapat dilakukan pada otot deltoid.
Gambar. Vastus lateralis

Gambar. Otot deltoid


Penyuntikan subkutan dapat dilakukan diotot paha anterolateral untuk bayi
berusia kurang dari 12 bulan dan pada otot tricep bagian atas dan luar untuk
anak berusia diatas 12 bulan.
Gambar. Penyuntikan subkutan dengan cara cubit tebal
Vaksin BCG dilakukan secara intradermal dengan cara meletakkan jarum
hampir sejajar lengan kanan anak dengan lubang jarum menghadap ke atas.

Gambar. Lokasi penyuntikan vaksin BCG


7. Benar dokumentasi
Setelah imunisasi perlu dilakukan pencatatan yang meliputi tanggal
imunisasi, nama vaksin, produsen vaksin, nomor lot atau batch vaksin, tanggal
kadalwarsa, lokasi penyuntikan, nama dan tandatangan atau paraf penyuntik.
Orang tua perlu mendapat penjelasan tentang manfaat, kejadian ikutan pasca
imunisasi yang mungkin terjadi dan cara menanggulanginya. Selanjutnya anak
perlu diobservasi 30 menit setelah imunisasi untuk mewaspadai terjadinya
reaksi anafilaksis.
8. Benar Perlakuan Imbah dan Sisa Vaksin
Setelah imunisasi semprit dimasukkan ke dalam ktak tidak tembus jarum,
dan selanjutnya dibawa ke tempat penghancuran (insenerator). Sisa vaksin bila
disimpan dalam suhu 2-8 C dan tidak terkena sinar matahari, dapat digunakan
dalam jangka waktu tertentu. Sisa vaksin BCG dapat digunakan dalam 3 jam
setelah dilarutkan, vaksin campak 6 jam setelah dilarutkan. Untuk pelayanan
imunisasi dalam gedung vaksin DTP, DTP-HB-Hib, Td, TT dapat disimpan
sampai 4 minggu; vaksin polio oral sampai 2 minggu. Untuk dapat dipakai lagi
vaksin belum kadalwarsa harus disimpan di suhu 2-8 C, VVM baik, tidak
pernah teredam air, dan sterilitias terjaga.

K. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)


Banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang pada seseorang yang telah

memiliki imunitas sebagian akibat imunisasi dengan vaksin campak dari virus yang

dimatikan. Kejadian KIPI imunisasi campak teleh menurun dengan digunakkanya

vaksin campak yang dilemahkan.Gejala KIPI berupa demam yang lebih dari 39.5˚c

yang terjadi pada 5-15 % kasus,demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah

imunisasi dan berlansung selama 2 hari.Berbeda dengan infeksi alami demam tidak

tinggi,walaupun demikian peningkatan suhu tubuh tersebut dapat meransang

terjadinya kejang. Ruam dapat timbul pada resipien pada hari ke 7-10 sesudah

imunisasi dan berlansung selama 2-4 hari.

Tabel. Perbedaan Jenis Vaksin, Gejala Klinis, dan Waktu terjadi

Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Waktu timbul


Toksoid Syok anafilaksis 4 jam
Tetanus (DTP, Neuritis brakialis 2-18 hari
DT, TT) Komplikasi akut termasuk kecacatan dan
kematian Tidak tercatat
Pertusis Syok anafilaksis 4 jam
whole cell Ensefalopati 72 jam
(DTPw) Komplikasi akut termasuk kecacatan dan Tidak tercatat
kematian
Campak Syok anafilaksis 4 jam
Ensefalopati 5-15 hari
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan Tidak tercatat
kematian
Trombositopeni 7-30 hari
Klinis Campak pada resipien 6 bulan
imunokompromais
Polio hidup Polio paralisis 30 hari
(OPV) Polio paralisis pada resipien 6 bulan
imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
Hepatitis B Syok anafilaksis 4 jam
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan Tidak tercatat
kematian
BCG BCG itis 4-6 minggu

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang harus di laporkan

a. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) terjadi dalam waktu 48


jam setelah imunisasi (satu gejala atau lebih)

1. Anafilaksis

2. Syok

3. Episode Hipotonik Hiporesponsif

b. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) terjadi dalam waktu 30


hari setelah imunisasi (satu gejala atau lebih)

1. Ensefalopati

2. Kejang

3. Meningitis aseptik

4. Trombositopenia

5. Lumpuh layu (acute flaccid paralysis)

6. Meninggal

Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI, harus diperhatikan apakah


resipien termasuk dalam kelompok berisiko, yaitu:

1. Anak yang pernah mendapat reaksi vaksinasi yang tidak


diinginkan harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI daerah
untuk penanganan segera dan Pokja KIPI pusat dengan
mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia.
2. Bayi berat lahir rendah. Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi
kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah (1) titer imunitas pasif
melalui transmisi maternal lebih rendah daripada bayi cukup bulan,
(2) apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram), imunisasi
ditunda dan diberikan apabila bayi telah mencapai berat 2000 gram
atau bayi berumur 2 bulan, (3) imunisasi hepatitis B diberikan pada
umur 2 bulan atau lebih, kecuali apabila diketahui ibu mengandung
hbsag, dan (4)
3. Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka
vaksin polio diberikan secara suntikan (IPV) sehingga tidak
menyebabkan penyebaran virus polio melalui tinja.
4. Pasien imunokompromais. Keadaan imuno-kompromais
dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai akibat
pengobatan (pengobatan kemoterapi, kortikosteroid jangka
panjang). Vaksinasi dengan mempergunakan vaksin hidup
merupakan indikasi kontra pada pasien imuno-kompromais.
Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis
kecil dan dalam waktu pendek. Pada anak dengan pengobatan
kortikosteroid sistemik dosis 2mg/kg berat badan/hari atau
prednison 20 mg/hari selama 14 hari, maka imunisasi ditunda.
Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan
kortikosteroid dihentikan, atau 3 bulan setelah kemoterapi selesai.
5. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin,
imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan untuk
menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.

Pada pelaksanaannya penyebab KIPI tidaklah mudah ditentukan.


Untuk menentukan penyebab KIPI diperlukan keterangan rinci mengenai
riwayat pemberian vaksin terdahulu, adakah ditemukan alternatif penyebab,
kerentanan individu terhadap vaksin, kapan KIPI terjadi (tanggal, hari, jam),
bagaimana gejala yang timbul, berapa lama interval waktu sejak diberi
vaksin sampai timbul gejala, apakah dilakukan pemeriksaan fisis serta
ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium, serta pengobatan apa yang
telah diberikan. Dari data yang tersedia kemudian diperlukan analisis kasus
untuk mengambil kesim-pulan
BAB III
KESIMPULAN

Imunisasi bertujuan untuk merangsang system imunologi tubuh untuk membentuk


antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan penyakit. Walaupun
cakupan imunisasi tidak sama dengan 100% tetapi sudah mencapai 70% maka anal-anak
yang tidak mendapatkan imunisasi pun akan terlindungi oleh adanya suatu “herd
immunity”.
Upaya pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya
adalah dengan meningkatkan kekebalan atau imunitas tubuh dengan pemberian imunisasi.
Imunisasi merupakan bagian yang penting dalam tahap kehidupan seorang anak
karena berfungsi sebagai pencegahan primer terhadap penyakit infeksi. Dalam imunisasi
aktif atau vaksinasi, sistem imunitas tubuh dirangsang untuk mengenali dan memproduksi
antibodi terhadap suatu bakteri atau virus penyebab penyakit tertentu sehingga tubuh
memiliki pertahanan yang lebih baik jika sewaktu-waktu terinfeksi.
Oleh karena itu, sangat penting bagi orangtua dan petugas kesehatan untuk
memastikan seorang anak mendapatkan imunisasi sesuai jadwalnya khususnya imunisasi
yang diwajibkan. Jika imunitas pada masyarakat tinggi, maka risiko terjadinya penularan
dan wabah juga akan berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Kliegman, jenson: Nelson Textbook of Pediatrics, 17th edition, Saunders. Hal

620-623

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Pengelolaan Vaksin.


Jakarta: Depkes RI

Depkes RI. 2005. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Depkes RI

http://eprints.umm.ac.id/41481/3/BAB%20II.pdf

Meadow R, Newell S.. Lectures notes pediatdrika. Edisi ke tujuh. Penerbit Erlangga.

Jakarta.2005.
Ranuh, IG.N.G., Suyitno, H., Hadinegoro, S.R.S., et al. 2014. Pedoman Imunisasi di
Indonesia Edisi Kelima. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

Satgas Imunisasi PP IDAI. 2014. Panduan Imunisasi Anak. Edisi 1. Jakarta: Kompas

Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010
WHO. 2008. Module 1: Cold Chain, vaccine and Safe-Injection Equipment
Management. http://www.paho.org/immunization/toolkit/resources/paho-
publication/mid-level-management-training/Module-1-Cold-chain-vaccines-and-safe-
injection-equipment-management.pdf?ua=1. [diakses tanggal 6 Agutus 2020]

Anda mungkin juga menyukai