Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

“Penanganan KIPI Sesuai Dengan Kewenangan”

Dosen Pembimbing :
Mika Mediawati, M.Keb

Disusun Oleh:
Victoria Adelina Khoirunisa
P17312225114

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional
diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup
sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal. Pemerintah melalui Kementrian Kesehatan telah mencanangkan
kebijakan pradigma sehat yang berorientasi kepada peningkatan pemeliharaan dan
perlindungan terhadap penduduk agar tetap sehat dan bukan hanya penyembuhan
yang sakit, pada intinya pradigma sehat memberikan perhatian utama terhadap
kebijakan yang bersifat pencegahan dan promosi kesehatan. Salah satu program
pencegahan yang intensif dilakukan pemerintah adalah memberikan perlindungan
khusus (specific protection) pada kelompok rentan (bayi dan balita) dengan
imunisasi
Imunisasi merupakan bentuk intervensi kesehatan yang efektif dalam
menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan suatu upaya
pencegahan penyakit infeksi yang paling cost effective menurunkan angka
kesakitan dan kematian yang dapat dicegah dengan imunisasi Penyakit yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Imunisasi (PD3I) tersebut terdiri dari
tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B,
poliomyelitis (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Imunisasi
dasar tersebut wajib didapatkan anak rentang usia 0-12 bulan. Lebih dari 1,4 juta
anak di dunia setiap tahun meninggal karena berbagai penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi. Kejadian tersebut terjadi karena kurangnya
pengetahuan mengenai pentingnya imunisasi dan ketakutan akan dampak yang
muncul pasca imunisasi. Pentingnya pemberian imunisasi dapat dilihat dari
banyaknya balita yang meninggal akibat penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Seorang ibu sering muncul kekhawatiran yang berlebihan dan
kurang beralasan terhadap efek samping atau keamanan dari imunisasi sehingga
melebihi ketakutan terhadap penyakit itu sendiri, akibat dari penyakit lebih
membahayakan dibandingkan dengan dampak imunisasi.
Menurut Kemenkes Kejadian Pasca Imunisasi (KIPI) adalah semua
kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi,
yang diduga ada hubungannya dengan pemberian imunisasi. Menurut WHO
(World Health Organization) angka kematian balita akibat penyakit infeksi yang
seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi masih tinggi. Terdapat kematian
balita sebesar 1,4 juta jiwa per tahun, yang antara lain disebabkan oleh batuk rejan
294.000 (20%), tetanus 198.000 (14%) dan campak 540.000 (38%). Sementara itu
data WHO ini diperkirakan setidaknya 50% angka kematian di Indonesia bisa
dicegah dengan imunisasi dan Indonesia termasuk sepuluh besar negara dengan
jumlah terbesar anak tidak tervaksinasi (WHO). Sebagian anak tidak mendapatkan
imunisasi dasar secara lengkap sehingga anak dinyatakan drop out atau anak tidak
lengkap imunisasinya. Data Riskesdas, menunjukkan bahwa masih ada anak usia
12-23 bulan yang tidak mendapatkan imunisasi dasar tidak lengkap yaitu sebesar
8,7% (Kemenkes RI). KIPI di Indonesia yang paling serius pada anak adalah
reaksi anafilaksis, angka kejadian anafilaksis pada DPT diperkirakan 2 dalam
100.000 dosis, tetapi yang benar-benar reaksi anafilatik hanya 1-3 kasus diantara
1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami
sincope segera atau lambat. Episode hipotonik-hiporesponsif juga tidak jarang
terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi. Kasus KIPI Polio
berat dapat terjadi pada 1/24-3000 juta dosis Vaksin, sedangkan kasus KIPI
Hepatitis B pada anak dapat berupa demam ringan sampai sedang yang dapat
terjadi 1/14 Dosis Vaksin, dan pada orang dewasa dapat terjadi 1/100 Dosis
vaksin. kasus KIPI Campak berupa demam dapat terjadi 1/6 Dosis yang terjadi
pada 20% anak, ruam kulit ringan dapat terjadi 1/20 Dosis yang terjadi pada 24%
anak, kejang yang di sebabkan demam dapat terjadi 1/300 Dosis. Sedangkan
reaksi alergi serius dapat terjadi pada 1/1.000.000 Dosis, dan efek samping berat
berupa ensefalopati terjadi pada 1 diantara 2 juta Dosis Vaksin Campak.
1.2. Rumusan Masalah
Sebagian besar munculnya KIPI pada anak terjadi karena efek samping
yang timbul pasca pemberian imunisasi. Orang tua memerlukan pengetahuan
yang memadai mengenai timbulnya efek samping KIPI
1.3. Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
pengetahuan orang tua mengenai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) pada
anak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Imunisasi
1. Pengertian Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak diimunisasi,
berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau
resisten terhadap suatu penyakit tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang
lain. Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
Imunisasi merupakan salah satu cara yang efektif untuk mencegah
penularan penyakit dan upaya menurunkan angka kesakitan dan kematian pada bayi
dan balita (Mardianti & Farida, 2020). Imunisasi merupakan upaya kesehatan
masyarakat paling efektif dan efisien dalam mencegah beberapa penyakit
berbahaya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020). Imunisasi
merupakan upaya pencegahan primer yang efektif untuk mencegah terjadinya
penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi (Senewe et al., 2017).
Jadi Imunisasi ialah tindakan yang dengan sengaja memberikan antigen atau
bakteri dari suatu patogen yang akan menstimulasi sistem imun dan menimbulkan
kekebalan, sehingga hanya mengalami gejala ringan apabila terpapar dengan
penyakit tersebut.
2. Manfaat Imunisasi
Manfaat imunisasi tidak bisa langsung dirasakan atau tidak langsung
terlihat. Manfaat imunisasi yang sebenarnya adalah menurunkan angka kejadian
penyakit, kecacatan maupun kematian akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Imunisasi tidak hanya dapat memberikan perlindungan kepada
individu namun juga dapat memberikan perlindungan kepada populasi
Imunisasi adalah paradigma sehat dalam upaya pencegahan yang paling
efektif (Mardianti & Farida, 2020). Imunisasi merupakan investasi kesehatan untuk
masa depan karena dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit infeksi,
dengan adanya imunisasi dapat memberikan perlindunga kepada indivudu dan
mencegah seseorang jatuh sakit dan membutuhkan biaya yang lebih mahal.
3. Hambatan imunisasi
Perbedaan persepsi yang ada di masyarakat menyebabkan hambatan
terlaksananya imunisasi. Masalah lain dalam pelaksanakan imunisasi dasar lengkap
yaitu karena takut anaknya demam, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan,
tempat imunisasi jauh, tidak tahu tempat imunisasi, serta sibuk/ repot
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
Pemahaman mengenai imunisasi bahwa imunisasi dapat menyebabkan efek
samping yang membahayakan seperti efek farmakologis, kesalahan tindakan atau
yang biasa disebut Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) seperti nyeri pada
daerah bekas suntikan, pembengkakan lokal, menggigil, kejang hal ini
menyebabkan orang tua atau masyarakat tidak membawa anaknya ke pelayanan
kesehatan sehingga mengakibatkan sebagian besar bayi dan balita belum
mendapatkan imunisasi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
4. Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
Berdasarkan Info Kementerian Kesehatan (2016), penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi yaitu :
Pada imunisasi wajib antara lain: polio, tuberculosis, hepatitis B, difteri,
campak rubella dan sindrom kecacatan bawaan akibat rubella (congenital rubella
syndrome/CRS)
Pada imunisasi yang dianjurkan antara lain: tetanus, pneumonia (radang
paru), meningitis (radang selaput otak), cacar air. Alasan pemberian imunisasi pada
penyakit tersebut karena kejadian di Indonesia masih cukup tinggi dapat dilihat dari
banyaknya balita yang meninggal akibat penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Pada imunisasi lain disesuaikan terhadap kondisi suatu negara
tertentu
5. Program Pemerintah untuk Imunisasi
Berdasarkan Keputusan Meteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 Tentang
Penyelenggaraan Imunisasi, pokok-pokok kegiatan pemerintah untuk imunisasi
yaitu:
a. Imunisasi Rutin
Kegiatan imunisasi rutin adalah kegiatan imunisasi secara wajib dan
berkesinambungan harus dilaksanankan pada periode waktu yang telah
ditetapkan sesuai dengan usia dan jadwal imunisasi. Berdasarkan kelompok
umur sasaran, imunisasi rutin dibagi menjadi:
1) Imunisasi rutin pada bayi
2) Imunisasi rutin pada wanita usia subur
3) Imunisasi rutin pada anak sekolah
Berdasarkan tempat pelayanan imunisasi rutin dibagi menjadi:
1) Pelayanan imunisasi di dalem Gedung dilaksanakan di puskesmas,
puskesmas pembantu, rumah sakit, rumah bersalin dan polindes
2) Pelayanan imunisasi di luar Gedung dilaksanakan di posyandu,
kunjungan rumah dan sekolah
3) Pelayanan imunisasi rutin juga dapat diselenggarakan oleh swasta
seperti, rumah sakit, dokter praktik dan bidan praktik
b. Imunisasi Tambahan
Imunisasi tambahan adalah kegiatan imunisasi yang tidak wajib
dilaksanakan, hanya dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil
pemantauan dan evaluasi, yang termasuk imunisasi tambahan meliputi
1) Backlog fighting
Backlog adalah upaya aktif di untuk melengkapi Imunisasi dasar
pada anak yang berumur 1-3 tahun. Dilaksanakan di desa yang tidak
mencapai (Universal Child Imumunization / UCI) selama dua tahun.
2) Crash program
Kegiatan ini ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi
secara cepat karena masalah khusus seperti:
a. Angka kematian bayi akibat PD3I tinggi
b. Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang
c. Desa yang selama tiga tahun berturut-turut tidak mencapai (Universal
Child Imumunization / UCI).
Kegiatan ini biasanya menggunakan waktu yang relatif panjang,
tenaga dan biyaya yang banyak maka sangat diperlukan adanya evaluasi
indikator yang perlu ditetapkan misalnya campak, atau campak terpadu
dengan polio
3) PIN (Pekan Imunisasi Nasional)
Pekan Imunisasi Nasional suatu kegiatan untuk memutus mata rantai
penyebaran virus polio atau campak dengan cara memberikan vaksin polio
dan campak kepada setiap bayi dan balita tanpa mempertimbangkan status
imunisasi sebelumnya. Pemberian imunisasi campak dan polio pada waktu
PIN di samping untuk memutus rantai penularan juga berguna sebagai
imunisasi ulangan.
4) Kampanye (Cath Up Campaign)
Kegiatan-kegiatan imunisasi maasal yang dilakukan secara
bersamaan di wilayah tertentu dalam upaya memutuskan mata rantai
penyakit penyebab PD3I.
5) Imunisasi dalam Penanggulangan KLB
Pelaksanaan kegiatan Imunisasi dalam penanganan KLB disesuaikan
dengan situasi epidemiologi penyakit.
6. Jadwal Imunisasi
Jadwal imunisasi IDAI tahun 2020 (IDAI, 2020)

Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 - 18 Tahun, makna warna pada jadwal


imunasi yaitu, kolom biru menandakan jadwal pemberian imunisasi optimal sesuai
usia. Kolom kuning menandakan masa untuk melengkapi imunisasi yang belum
lengkap. Kolom merah muda menandakan imunisasi penguat atau booster.
Kolom warna kuning tua menandakan imunisasi yang direkomendasikan
untuk daerah endemik. Imunisasi yang merupakan rekomendasi IDAI Tahun 2020
antara lain :
a. Vaksin Hepatitis B
Vaksin Hepatitis B monovalen paling baik diberikan kepada bayi segera
setelah lahir sebelum berumur 24 jam, didahului penyuntikan vitamin K1
minimal 30 menit sebelumnya. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, segera berikan
vaksin HB dan immunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstrimitas yang
berbeda, maksimal dalam 7 hari setelah lahir. Imunisasi HB selanjutnya
diberikan bersama DTwP atau DTaP (IDAI, 2020).
b. Vaksin polio
Vaksin Polio 0 sebaiknya diberikan segera setelah lahir. Apabila lahir di
fasilitas kesehatan diberikan bOPV-0 saat bayi pulang atau pada kunjungan
pertama. Selanjutnya berikan bOPV atau IPV bersama DTwP atau DTaP.
Vaksin IPV minimal diberikan 2 kali sebelum berusia 1 tahun bersama DTwP
atau DTaP (IDAI, 2020).
c. Vaksin BCG
Vaksin BCG sebaiknya diberikan segera setelah lahir atau segera mungkin
sebelum bayi berumur 1 bulan. Bila berumur 2 bulan atau lebih, BCG diberikan
bila uji tuberkulin negatif. (IDAI, 2020).
d. Vaksin DPT
Vaksin DPT dapat diberikan mulai umur 6 minggu berupa vaksin DTwP
atau DTaP. Vaksin DTaP diberikan pada umur 2, 3, 4 bulan atau 2, 4, 6
bulan (IDAI, 2020).
e. Vaksin Hib
Vaksin Hib diberikan pada usia 2, 3, dan 4 bulan. Kemudian booster Hib
diberikan pada usia 18 bulan di dalam vaksin pentavalent (IDAI, 2020).
f.Vaksin pneumokokus (PCV)
PCV diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan dengan booster pada umur 12-
15 bulan. Jika belum diberikan pada umur 7-12 bulan, berikan PCV 2 kali
dengan jarak 1 bulan dan booster setelah 12 bulan dengan jarak 2 bulan dari
dosis sebelumnya. (IDAI, 2020).
g. Vaksin rotavirus
Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama mulai umur 6
minggu, dosis kedua dengan internal minimal 4 minggu, harus selesai pada umur
24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-12
minggu, dosis kedua dan ketiga dengan interval 4 sampai 10 minggu, harus
selesai pada umur 32 minggu (IDAI, 2020).
h. Vaksin influenza
Vaksin influenza diberikan mulai umur 6 bulan, diulang setiap tahun.
(IDAI, 2020).
i.Vaksin MR/MMR
Vaksin MR / MMR pada umur 9 bulan berikan vaksin MR. Bila sampai
umur 12 bulan belum mendapat vaksin MR, dapat diberikan MMR. Umur 18
bulan berikan MR atau MMR. Umur 5-7 tahun berikan MR (dalam program
BIAS kelas 1) atau MMR (IDAI, 2020).
j.Vaksin jepanese encephalitis (JE)
Vaksin JE diberikan mulai umur 9 bulan di daerah endemis atau yang
akan bepergian ke daerah endemis. Untuk perlindungan jangka panjang dapat
berikan booster 1-2 tahun kemudian (IDAI, 2020).
k. Vaksin varisela
Vaksin varisela diberikan mulai umur 12-18 bulan. (IDAI, 2020).
l.Vaksin hepatitis A
Vaksin hepatitis A diberikan 2 dosis mulai umur 1 tahun, dosis ke-2
diberikan 6 bulan sampai 12 bulan kemudian (IDAI, 2020).
m. Vaksin tifoid
Vaksin tifoid polisakarida diberikan mulai umur 2 tahun dan diulang
setiap 3 tahun (IDAI, 2020).
n. Vaksin human papilloma virus (HPV)
Vaksin HPV diberikan pada anak perempuan umur 9-14 tahun 2 kali
dengan jarak 6-15 bulan (atau pada program BIAS kelas 5 dan 6). (IDAI, 2020).
o. Vaksin dengue
Vaksin dengue diberikan pada anak umur 9-16 tahun dengan seropositif
dengue yang dibuktikan adanya riwayat pernah dirawat dengan diagnosis dengue
(pemeriksaan antigen NS-1 dan atau uji serologis IgM/IgG antidengue positif)
atau dibuktikan dengan pemeriksaan serologi IgG anti positif (IDAI, 2020).
7. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Imunisasi
a. Umur Ibu
Umur ibu yang lebih muda umumnya dapat mencerna informasi tentang
imunisasi lebih baik dibanding dengan usia ibu yang lebih tua. Ibu yang berusia
lebih muda dan baru memiliki anak biasanya cenderung untuk memberikan
perhatian yang lebih akan kesehatan anaknya, termasuk pemberian imunisasi
(Prihanti et al., 2016)
Umur ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan status imunisasi
anaknya. Hasil penelitian Lubis et al. (2020), menemukan bahwa
ketidaklengkapan imunisasi dasar pada anak lebih berisiko pada ibu umur >30
tahun dibandingkan dengan ibu yang lebih muda < 30 tahun, hal ini dikarenakan
kurangnya kesadaran tentang pentingnya imunisasi pada bayi.
b. Pendidikan Ibu
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
menentukan perilaku orang tua, karena orang tua dengan berpendidikan tinggi
akan mempengaruhi kesehatan keluarganya, sebab banyak informasi yang
diperoleh di sekolah, tapi apabila seseorang berpendidikan rendah, maka
diharapkan orang tua dapat menambah informasinya dari sumber lainnya di luar
dari pendidikan formal atau disebut jalur informal seperti melalui media
elektronik (televisi, radio, internet), membaca koran, atau majalah (Prihanti et
al., 2016)
c. Pekerjaan Ibu
Ibu yang bekerja mempunyai kemungkinan 0,739 kali lebih besar untuk
melakukan imunisasi dasar bayi secara lengkap dibandingkan dengan ibu yang
tidak bekerja disebabkan kurangnya informasi yang diterima ibu rumah tangga
dibandingkan dengan ibu yang bekerja (Rakhmawati et al., 2020)
8. Ketersediaan sarana dan prasarana imunisasi
Pemberian imunisasi harus dilakukan berdasarkan standar pelayanan,
standar operasional dan standar profesi sesuai peraturan perundang-undangan.
Proses pemberian imunisasi harus diperhatikan keamanan vaksin dan penyuntikan
agar tidak terjadi penularan penyakit dalam pelaksanaan pelayanan imunisasi dan
masyarakat serta terhindar dari KIPI. Sebelum dilaksanakan imunisasi, pelaksana
pelayanan imunisasi harus memberikan informasi lengkap secara massal tentang
imunisasi yang meliputi vaksin, cara pemberian, manfaat dan kemungkinan terjadi
bahaya (Permenkes, 2017).
Sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh tempat pelayanan vaksinasi
yaitu lemari es standart program. Vaccine Carrrier (termos) adalah alat untuk
mengirim atau membawa vaksin. Cold Box digunakan sebagai tempat penyimpanan
vaksin sementara apabila dalam keadaan darurat seperti listrik padam untuk waktu
cukup lama, atau lemari es sedang rusak yang bila diperbaiki memakan waktu
lama. Freeze Tag digunakan untuk memantau suhu vaksin. Auto Disable Syringe
yang selanjutnya disingkat ADS adalah alat suntik sekali pakai untuk pelaksanaan
pelayanan imunisasi. Safety Box adalah sebuah tempat yang berfungsi untuk
menampung sementara limbah bekas ADS yang telah digunakan dan harus
memenuhi persyaratan khusus. Cold Chain adalah sistem pengelolaan vaksin yang
dimaksudkan untuk memelihara dan menjamin mutu vaksin dalam pendistribusian
mulai dari pabrik pembuat vaksin sampai pada sasaran (Permenkes, 2017)
Pemeliharaan dan pemantauan suhu vaksin sangat penting dalam
menetapkan secara cepat apakah vaksin masih layak digunakan atau tidak.
Permasalahan sarana prasarana merupakan permasalahan yang klasik yang terdapat
di hampir seluruh bidang karena berhubungan langsung dengan pendanaan. Sarana
dan prasana dalam penatalaksanaan imunisasi menjadi faktor pendukung untuk
menjaga rantai dingin dalam penatalaksanaan imunisasi yang memang tidak dapat
ditawar lagi karena vaksin memiliki suhu tetap yang tidak dapat dikurangi ataupun
dilebihkan sehingga tersedianya sarana dan prasana keberadaannya mutlak
diperlukan dalam penatalaksanaan imunisasi (Rizki et al., 2020).
9. Peran Petugas Imunisasi
Dalam melaksanakan tugasnya petugas kesehatan harus sesuai dengan mutu
pelayanan. Pengertian mutu pelayanan untuk petugas kesehatan berarti bebas
melakukan segala sesuatu secara professional untuk meningkatkan derajat
kesehatan pasien dan masyarakat sesuai dengan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang maju, mutu peralatan yang baik dan memenuhi standar yang
baik, komitmen dan motivasi petugas tergantung dari kemampuan mereka untuk
melaksanakan tugas mereka dengan cara yang optimal (Falawati, 2020).
Peran petugas sangat penting dalam meningkatkan cakupan imunisasi juga
memberikan informasi dan sosialisasi tentang manfaat imunisasi dan penyakit
dapat dicegah dengan imunisasi. Untuk mencegah kesakitan dan kematian, petugas
imunisasi dapat berperan aktif dalam pemberian imunisasi (Falawati, 2020).

B. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)


1. Pengertian KIPI
Menurut (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015), KIPI
merupakan kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa
reaksi vaksin, reaksi suntikan, efek farmakologis, kesalahan prosedur, koinsiden
atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.
Sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi.
Pada kejadian tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari
(artritis kronik pasca vaksinasi rubela), atau sampai 6 bulan (infeksi irus
campak vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien
imunodefisiensi pasca vaksinasi polio (Autoridad Nacional del Servicio Civil,
2021) .
2. Penyebab KIPI
Vaccine Safety Comittee, Institute of Medicine (IOM) United State of
America menyebutkan bahwa sebagian besar penyebab KIPI terjadi secara
kebetulan saja (koinsidensi). Etiologi KIPI dikelompokkan menjadi 2 klasifikasi,
Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan (KomNas-PP) KIPI
menjelaskan klasifikasi tersebut yaitu klasifikasi lapangan dan klasifikasi
kausalitas (kemenkes, 2017). Klasifikasi lapangan Komnas PP-KIPI membagi
KIPI dalam lima kelompok berikut:
a. Kesalahan prosedur atau teknik pelaksanaan

Kesalahan prosedur tersebut sebagian besar meliputi kesalahan


prosedur penyimpanan, pengelolaan dan tata laksana pemberian vaksin.
b. Reaksi suntikan

Reaksi KIPI menyangkut semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma
tusuk jarum suntik, baik langsung atau tidak langsung harus dicatat. Reaksi
suntikan langsung, seperti rasa sakit, kemerahan pada tempat suntikan dan
bengkak. Reaksi suntikan tidak langsung seperti rasa takut, mual, pusing.
c. Induksi vaksin (reaksi vaksin)

Reaksi vaksin yang menyebabkan adanya gejala KIPI pada dasarnya


dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan efek samping. Induksi
vaksin terdiri dari tiga jenis, yaitu:
1) Reaksi lokal
Reaksi ini meliputi adanya rasa nyeri di tempat suntikan, bengkak disertai
kemerahan di tempat suntikan, bengkak pada area suntikan.
2) Reaksi sistemik
Reaksi ini meliputi adanya demam (10%), kecuali DPT (hampir 50%),
iritabel, gejala sistemik, malaise. Reaksi sistemik pada MMR dan campak
disebabkan oleh infeksi virus vaksin. Menimbulkan terjadi demam dan
ruam, konjungtivitis (5–15%), dan lebih ringan dari pada infeksi campak, namun
berat pada kasus imunodefisiensi. Pembengkakan kelenjar parotis terjadi pada
mumps, rubela mengalami rasa nyeri sendi (15%) dan pembengkakan limfe.
Vaksin Oral Polio Vaccine (OPV) diare (<1%), nyeri otot dan pusing.
3) Reaksi vaksin berat
Reaksi ini meliputi kejang trombositopenia, Hypotonic Hyporesponsive
Episode (HHE), persistent inconsolable screaming dan enselofati akibat
imunisasi DPT atau campak.
d. Faktor kebetulan (koinsiden)

Indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian


yang sama pada saat bersamaan pada kelompok populasi karakteristik serupa,
tetapi tidak mendapat imunisasi.
e. Penyebab tidak diketahui

Kejadian ini terjadi apabila masalah yang dilaporkan belum dapat


dikelompokkan dalam salah satu penyebab, maka untuk sementara
dikategorikan ke dalam kelompok ini. Kelengkapan informasi tersebut akan
dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.
3. Penanggulangan KIPI
1) Reaksi lokal ringan

Dampak yang dapat timbul seperti nyeri, eritema, bengkak di area bekas
suntikan dengan diamteter kurang dari 1 cm dan timbul kurang dari 48 jam
setelah imunisasi. Penanggulangan yang dapat dilakukan yaitu dengan
memberikan kompres hangat pada bekas lokasi penyuntikan. Nyeri yang
dirasakan apabila mengganggu bisa memberikan paracetamol 10 mg/kg BB
setiap kali pemberian. Anak yang berumur kurang dari 6 bulan berikan dosis
60 mg/kali setiap pemberian. Anak yang berumur 6 sampai 12 bulan berikan
dosis 90 mg/kali setiap pemberian. Anak yang berumur 1 sampai 3 tahun
berikan dosis 120 mg/kali pemberian (kemenkes, 2017).
2) Reaksi lokal berat

Reaksi lokal berat ditandai dengan munculnya eritema atau indurasi


sebesar lebih dari 8 cm, nyeri, bengkak dan manifestasi sistemis.
Penanggulangan yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan kompres
hangat pada lokasi penyuntikan vaksin, dan pemberian paracetamol
(kemenkes, 2017).
3) Reaksi arthus

Reaksi arthus ditandai dengan munculnya gejala nyeri, bengkak, indurasi


dan edema. Terjadi reimunisasi pada pasien dengan kadar antibodi yang
masih tinggi. Timbul beberapa jam dengan puncaknya 12 sampai 36 jam.
Tindakan yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan kompres air hangat
pada bekas lokasi penyuntikan, dan pemberian paracetamol (kemenkes,
2017).
4) Reaksi umum

Reaksi umum yang sering terjadi adalah demam, lesu, nyeri otot, nyeri
kepala, dan menggigil. Tindakan yang bisa dilakukan yaitu dengan
memberikan minum hangat, berikan parasetamol dan menyelimuti tubuh anak
(Kemenkes, 2017).
5) Reaksi kolaps/keadaan syok

Reaksi kolaps adalah gejala yang terjadi jika anak masih dalam
keadaan sadar, namun tidak bereaksi terhadap rangsangan. Pemeriksaan
frekuensi, amplitudo nadi serta tekanan darah tetap dalam batas normal.

Penanggulangan yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan


rangsangan dengan wewangian atau bau-bauan yang merangsang anak agar
sadar. Apabila belum dapat diatasi dalam kurun waktu 30 menit, segera rujuk
ke fasilitas kesehatan terdekat (kemenkes, 2017).
6) Reaksi khusus: Sindrom Guillain-Barre (jarang terjadi)

Reaksi khusus apabila terjadi akan mengakibatkan lumpuh layu yang


menjalar ke atas, biasanya dimulai dari tungkai, ataksia, penurunan refleksi
tendon, gangguan menelan dan pernafasan, parestasi, meningismus, tidak
demam, peningkatan protein dalam cairan serebrospinal tanpa pleositosis.
Terjadi antara 5 hari sampai dengan 6 minggu setelah imunisasi, perjalanan
penyakit dari 1 sampai dengan 3-4 hari, prognosis umumnya baik.
Penanggulangan yang dapat diberikan yaitu merujuk ke rumah sakit untuk
perawatan dan pemeriksaan lebih lanjut (kemenkes, 2017).
7) Reaksi nyeri brakialis (neuropati pleksus brakialis)
Gejala yang timbul dari reaksi nyeri brakialis yaitu nyeri dalam terus
menerus pada daerah bahu dan lengan atas. Reaksi nyeri brakialis biasanya
terjadi 7 jam sampai dengan 3 minggu setelah imunisasi. Tindakan yang bisa
dilakukan yaitu dengan memberikan paracetamol sesuai dengan dosis yang
tepat. Gejala yang timbul apabila menetap rujuklah ke rumah sakit untuk
fisioterapi (Kemenkes, 2017).
8) Reaksi anafilaktis
Gejala reaksi syok anafilatis terjadi secara mendadak, gejala klasik:
dengan gejala kemerahan merata, edema, urtikaria, jantung berdebar kencang,
tekanan darah menurun, sembab pada kelopak mata, sesak, nafas berbunyi, anak
pingsan atau tidak sadar, dan dapat terjadi langsung seperti tekanan darah
menurun dan pingsan tanpa didahului oleh gejala lain. Penanggulangan yang
harus dilakukan adalah melakukan rujukan ke rumah sakit terdekat, lalu
diberikan suntikan adrenalin 1:1.000 dosis 0,1 – 0,3 ml melalui intramuskuler.
Setelah pasien membaik dan stabil dilanjutkan dengan suntikan deksametason
(1 ampul) secara intravena atau intramuskuler lalu segera pasang infus NaCl
0,9% (kemenkes, 2017).
4. Tata laksana gejala KIPI
Tatalaksana KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan kasus, pelacakan
kasus lebih lanjut, analisis kejadian, tindak lanjut kasus, dan evaluasi. Dalam
waktu 24 jam setelah penemuan kasus KIPI yang dilaporkan oleh orang tua
(masyarakat) ataupun petugas kesehatan, maka pelacakan kasus harus segera
dikerjakan. Pelacakan perlu dilakukan untuk konfirmasi apakah informasi yang
disampaikan tersebut benar. Apabila memang kasus yang dilaporkan diduga KIPI,
maka dicatat identitas kasus, data vaksin (jenis, pabrik, nomor batchlot), petugas
yang melakukan dan bagaimana sikap masyarakat saat menghadapi masalah
tersebut. Selanjutnya perlu dilacak kemungkinan terdapat kasus lain yang sama,
terutama yang mendapat imunisasi dari tempat yang sama dan jenis lot vaksin
yang sama. Pelacakan dapat dilakukan oleh petugas Puskesmas atau petugas
kesehatan lain yang bersangkutan. Sisa vaksin (apabila masih ada) yang diduga
menyebabkan KIPI harus disimpan sebagaimana kita memperlakukan yang masih
dirawat, sembuh dengan gejala sisa, atau kasus meninggal, diperlukan evaluasi
ketat dan apabila diperlukan Pokja KIPI segera dilibatkan (Hadinegoro, 2016).
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
KIPI merupakan kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik
berupa reaksi vaksin, reaksi suntikan, efek farmakologis, kesalahan prosedur,
koinsiden atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.
Sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada
kejadian tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (artritis
kronik pasca vaksinasi rubela), atau sampai 6 bulan (infeksi irus campak
vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi
pasca vaksinasi polio
Dan hal tersebut diperlukannya pengetahuan bagi Masyarakat utamanya ibu
yang memiliki balita agar tidak salah kaprah apabila di dapati salah satunya
semacam efek samping yang akan terjadi akibat imunisasi serta Upaya penanganan
pertama apa yang dapat dilakukan sebelum dilakukan secara Tindakan medis oleh
tenaga kesehatan
3.2. SARAN
Sebagai salah satu bentuk sumber wawasan bagi pembaca dan para tenaga
medis agar dapat menyempurnakan laporan yang jauh dari kata sempurna maka
diperlukan kritik serta saran dan masukannya bagi para tenaga medis lainnya dan
pembaca
DAFTAR PUSTAKA

Finazis R. (2019) Akurasi Pencatatan dan Pelaporan Imunisasi Campak Bayi pada Buku
KIA dan Buku Kohort. Jurnal Berkala Epidemiologi, 2(2), pp.184-195.
Hadinegoro, S. R. (2020) ‘Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi’, Sari Pediatri, 2(1), pp. 2–
10.
Hargono A, Purnomo W, Suradi, Achsan, Efriyanto Y. (2022) Survei cepat cakupan
imunisasi dasar pada bayi di Kabupaten Lumajang Tahun 2010. Jurnal.
BuletinPenelitian Sistem Kesehatan Vol. 15(1), pp:55-60.
Hatta, GR. (2018) Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan
Kesehatan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Kementerian Kesehatan R.I. (2014). Pedoman Tatalaksana Medik Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi (KIPI) Bagi Petuas Kesehatan. Jakarta : Dirjen P2PL.
Kementerian Kesehatan R.I. (2015) Petunjuk Teknis Pencatatan dan Pelaporan KIPI
Berbasis Online. Jakarta : Dirjen P2PL.
Rasyid M. Z, (2016) Pengembangan Basis Data Imunisasi Dasar Lengkap dan Lanjutan
Batita dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Data di Puskesmas Blega Kabupaten
Bangkalan, Tesis, FKM Unair, Program Studi Epidemiologi, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai