Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dunia kesehatan, dikenal tiga pilar utama dalam meningkatkan kesehatan

masyarakat, yaitu preventif, kuratif atau pengobatan, dan rehabilitatif. Dua puluh tahun

terakhir, upaya pencegahan telah membuahkan hasil yang dapat mengurangi kebutuhan

kuratif dan rehabilitatif. Melalui upaya pencegahan penularan dan transmisi penyakit

infeksi yang berbahaya, akan mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi pada

anak, terutama kelompok di bawah umur lima tahun. Penyediaan air bersih, nutrisi yang

seimbang, pemberian ASI eksklusif, menghindari pencemaran udara di dalam rumah,

keluarga berencana, dan vaksinasi merupakan upaya pencegahan.1

Anak-anak di semua negara secara rutin telah mendapat imunisasi untuk

mencegah penyakit berbahaya sehingga imunisasi merupakan dasar kesehatan

masyarakat. Namun, disayangkan masih banyak negara berkembang yang masih belum

dapat mencapai Universal Child Immunization (UCI) karena cakupan imunisasi yang

rendah.1

Program imunisasi nasional dikenal sebagai Pengembangan Program Imunisasi

(PPI) atau Expanded Program on Immunization (EPI) dilaksanakan di Indonesia sejak

tahun 1997. Program PPI merupakan program pemerintah dalam bidang imunisasi guna

mencapai komitmen internasional UCI pada akhir tahun 1982. UCI secara nasional

dicapai pada tahun 1990, yaitu cakupan DTP 3, Polio 3, dan campak minimal 80%

sebelum umur 1 tahun. Sedangkan, cakupan DTP 1, Polio 1, dan BCG minimal 90%.

Imunisasi yang termasuk dalam PPI adalah BCG, Polio, DTP, campak, dan hepatitis B.1

1
Peningkatan cakupan pemberian imunisasi akan meningkatkan penggunaan

vaksin dan begitupun kejadian yang berhubungan dengan imunisasi. Dalam menghadapi

kejadian yang berhubungan dengan imunisasi tersebut penting diketahui apakah kejadian

tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan atau terjadi secara kebetulan,

sehingga kejadian tersebut digolongkan dalam kelompok Adverse Events Following

Immunisation (AEFI) atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). KIPI adalah semua

kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. 2

Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) adalah suatu kejadian sakit yang terjadi

setelah menerima imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi. Untuk mengetahui

hubungan antara pemberian imunisasi dengan KIPI diperlukan pelaporan dan pencatatan

semua reaksi yang tidak diinginkan yang timbul setelah pemberian imunisasi. Surveilans

KIPI sangat membantu program imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan

masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling

efektif. Gejala dan tatalaksana serta pelaporan KIPI akan dibahas dalam makalah ini.3

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Imunisasi merupakan proses yang dapat melindungi seseorang dari suatu penyakit

melalui vaksinasi. Sedangkan, vaksinasi adalah tindakan yang menstimulasi sistem imun

seseorang agar dapat membentuk kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Melalui

vaksinasi dapat diupayakan peningkatan kekebalan seseorang terhadap penyakit tertentu

sehingga dapat melawan mikroorganisme penyebab penyakit, tanpa harus mengalami

sakit terlebih dahulu. Mengingat pemberian antibiotik tidak menyelesaikan semua

masalah penyakit infeksi, maka akan lebih baik apabila kita dapat mencegah terjadinya

penyakit infeksi. 4

Reaksi simpang yang dikenal sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

adalah semua kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek

vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau akibat

kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat

ditentukan.5,6

Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena

kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin,

kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang

timbul secara kebetulan. Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee,

Institute of Medikine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi karena

kebetulan saja. Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan

prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors).8

3
B. MANFAAT IMUNISASI

1. Bagi anak

Imunisasi dapat menyelamatkan kehidupan anak dan orang dewasa. Oleh

karena kemajuan dalam ilmu kedokteran, seseorang, keluarga, masyarakat, dan

penduduk dapat menjadi lebih terlindungi dari beberapa penyakit. Beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan kematian pada anak telah dapat dihilangkan oleh adanya

vaksin yang aman dan efektif. Contohnya adalah polio yang merupakan penyakit

yang paling ditakuti di Amerika Serikat yang menyebabkan kematian dan

kelumpuhan di seluruh negeri, namun saat ini dengan adanya vaksinasi tidak ada lagi

laporan kejadian polio di Amerika Serikat.7

2. Bagi keluarga

Imunisasi dapat menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan apabila

anak sakit serta mendorong pembentukan keluarga apabila orangtua yakin bahwa

anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.7

3. Bagi masyarakat

Imunisasi dapat menghemat waktu dan menghemat uang. Seorang anak yang

sakit dapat mempengaruhi kehadirannya di sekolah. Vaksin dapat mencegah

beberapa penyakit yang dapat menyebabkan cacat berkepanjangan pada anak yang

dapat menyita waktu untuk bekerja dan menyebabkan bertambahnya biaya medis

atau perawatan.7

4. Bagi negara

4
Imunisasi dapat memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang

kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara.4

5. Bagi dunia

Imunisasi dapat melindungi generasi berikutnya. Vaksin telah menurunkan

angka kesakitan yang dapat mengakibatkan kecacatan dan kematian. Contohnya,

vaksinasi telah menghilangkan cacar di seluruh dunia serta dengan vaksinasi anak

terhadap rubella (campak Jerman), risiko wanita hamil yang akan menularkan virus

ini pada janin atau bayi baru lahir telah menurun drastis, dan kecacatan lahir yang

berhubungan dengan virus tidak lagi terjadi di Amerika Serikat. Jika vaksinasi terus

dilakukan, anak-anak di masa depan tidak akan menderita penyakit yang ada pada

saat ini.7

C. EPIDEMIOLOGI

Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin dalam

jumlah besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan melalui fase uji klinis

yang lazim,yaitu fase 1,2,3 dan 4. Uji klinis fase 1 dilakukan pada binatang percobaan

sedangkan fase selanjutnya pada manusia. Uji klinis fase 2 untuk mengetahui kemanan

vaksin (reactogenicity dan safety), sedangkan pada fase 3 selain keamanan juga

dilakukan uji efektivitas (imunogenitas) vaksin. Pada jumlah penerima vaksin yang

terbatas mungkin KIPI belum tampak, maka untuk menilai KIPI diperlukan uji klinis fase

4 dengan sampel besar yang dikenal sebagai post marketing surveillance (PMS), tujuan

PMS adalah untuk memonitor dan mengetahui keamanan vaksin setelah pemakaian yang

cukup luas di masyarakat. Data PMS dapat memberikan keuntungan bagi program

apabila semua KIPI dilaporkan, dan masalahnya segera diselesaikan. Sebaliknya akan

5
merugikan apabila program tidak segera tanggap terhadap masalah KIPI yang timbul

sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadap efek samping vaksin dengan segala

akibatnya. 3

Menurut National Childhood Vaccine Injury dari Committee of the Institute of

Medicine (IOM) di USA sangat sulit mendapatkan data KIPI oleh karena :

1. Mekanisme biologis gejala KIPI kurang dipahami

2. Data KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan akurat

3. Surveilans KIPI belum luas dan menyeluruh

4. Surveilans KIPI belum dilakukan untuk jangka panjang

5. Publikasi KIPI dalam jumlah kasus yang masih kurang

Mengingat hal tersebut, makan sangat sulit menentukan jumlah kasus KIPI yang

sebenarnya. Kejadian ikutan pasca imunisasi dapat ringan sampai berat, terutama pada

imunisasi masal atau setelah penggunaan lebih dari 10.000 dosis.9

Data Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013, di Indonesia terdapat 33,4% anak

yang mengalami KIPI dari 91,3% anak yang mendapatkan imunisasi yaitu dengan gejala

20,6% kemerahan, 20,2% bengkak, 6,8% demam tinggi dan 6% bernanah,sedangkan

Penelitian yang dilakukan di Sumatera Barat terdapat 41,4% anak yang mengalami KIPI

dari 86,6% anak yang mendapatkan imunisasi yaitu dengan gejala 67,8% bengkak, 57,7%

kemerahan dan 32,1% bernanah. Penelitian Nur Asnah pada tahun 2012 di Rumah Sakit

Fajar Polonia kota Medan mendapatkan 86,6% anak yang mengalami KIPI DPT dari 30

anak yang mendapatkan imunisasi DPT. Sementara itu, di Sulawesi Tenggara yang

melakukan imunisasi pada tahun 2013 yaitu 47,3% dan belum data terkait angka KIPI di

Sulawesi Tenggara. 2,10

6
Gambar 1. Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-

23 bulan, Indonesia 2013 (dikutip dalam kepustakaan 10)

D. ETIOLOGI 11

Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar

ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu unutk menentukan

KIPI diperlukan keterangan mengenai:

1. Besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu

2. Sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik

3. Derajat sakit resipien

4. Apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti

5. Apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin,

kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur.

Komnas PP KIPI mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi :

1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999)

Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka Komnas PP-KIPI memakai

criteria WHO Western Pacific untuk memilah KIPI dalam 5 kelompok

7
penyebab, yaitu kesalahan program, reaksi suntikan, reaksi vaksin, koinsiden,

dan sebab tidak diketahui. Klasifikasi lapangan ini dapat dipakai untuk

pencatatan dan pelaporan KIPI.

a. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)

Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan

teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program

penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin.

Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur

imunisasi, misalnya:

- Dosis antigen terlalu banyak

- Lokasi dan cara penyuntikan

- Sterilisasi semprit dan jarum suntik

- Jarum bekas pakai

- Tindakan aseptic dan antiseptic

- Kntaminasi vaksi dan peralatan suntik

- Penyimpanan vaksin

- Pemakaian sisa vaksin

- Jenis dan jumlah pelarut vaksin

- Tidak memperhatikan petunjuk produsen

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan

apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas

yang sama. Mencegah program error :

- Alat suntik steril untuk setiap suntikan

8
- Pelarut vaksin yang sudah disediakan oleh produsen vaksin

- Vaksin yang sudah dilarutkan segera dibuang setelah 6 jam

- Lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin

- Pelatihan vaksinasi dan supervise yang baik

- Program error dilacak, agar tidak terulang kesalahan yang sama

b. Reaksi Suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik

baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi

KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan

kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak

langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope. Reaksi ini

tidak berhubung an dengan kandungan yang terdapat pada vaksin,

sering terjadi pada vaksinasi masal :

- Gejala Syncope yaitu sering kali pada anak >5 tahun, terjadi

beberapa menit post imunisasi, tidak perlu penangan khusus,

hindari stress saat anak menunggu, hindari trauma akibat jatuh

pada posisi duduk

- Gejala hiperventilasi akibat ketakutan beberapa anak terjadi

muntah, breath holding spell,pingsan, kadang menjerit, lari

bahkan reaksi seperti kejang, beberapa anak takut jarum, takut

dan hysteria, penting penjelasan dan penaganan

Pencegahan reaksi KIPI reaksi suntikan dengan :

- Teknik penyuntikan yang benar

9
- Suasana tempat penyuntikan yang tenang

- Atasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar

c. Induksi Vaksin

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah

dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang

vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat

saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik

dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi

dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh

produsen sebagai kontra indikasi, indikasi khusus, perhatian khusus,

atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk

kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus

diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

- Reaksi local yaitu rasa nyeri ditempat suntikan, bengkak

kemerahan ditempat suntikan sekitar 10%, bengkak pada

suntikan DPT dan tetanus sekitar 50%, BCG scar terjadi

minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi dan sembuh

setelah beberapa bulan

- Reaksi sistemik yaitu demam pada sekitar 10%, kecuali DPT

hampir 50%, juga seperti reaksi lain seperti iritabel, malaise,

gejala sistemik, MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan

infeksi virus vaksin. Terjadi demam dan atau ruam dan

konjungtivitis pada 5-15% dan lebih ringan dibandingkan

10
infeksi campak tetapi berat pada kasus imunodefisiensi, pada

mumps terjadi reaksi vaksin pembengkakan kelenjar parotis,

rubella terjadi rasa nyeri sendi 15% dan pembengkakan limfe.,

OPV kurang dari 1% diare, pusing dan nyeri otot.

- Reaksi vaksi berat yaitu kejang, trombositopenia, Hypotonic

Hyperresponsive episode, persistent inconsolable screaming,

anafilaksis, ensephalopti

Pencegahan terhadap reaksi vaksin :

- Perhatikan kontra indikasi

- Vaksin hidup diberikan kepada anak dengan defisiensi imunitas

- Orang tua diajarkan menangani reaksi vaksin yang ringan dan

dianjurkan sefera kembali apabila reaksi vaksin yang ringan dan

dianjurkan segera kembali apabila ada reaksi yang

mencemaskan

- Parasetamol dapat diberikan 4x sehari untuk mengurangi gejala

ruam dan rasa nyeri

- Mengenal dan mampu mengatasi reaksi anafilaksis

- Lainnya disesuaikan dengan reaksi ringan/berat yang terjadi

atau harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas lengkap

d. Faktor kebetulan (koinsiden)

Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini

terjadi secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor

kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat

11
bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik

serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.

e. Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat

dikelompokkan kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara

dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih

lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan dapat

ditentukan kelompok penyebab KIPI. WHO pada tahun 1992 melalui

expanded programme on immunization (EPI) telah menganjurkan agar

pelaporan KIPI dibuat oleh setiap Negara. Untuk Negara berkembang

yang paling penting adalah bagaimana mengontrol vaksin dan

mengurangi programmatic errors, termasuk cara menggunakan alat

suntik dengan baik, alat yang sekali pakai atau alat suntik reusable,

dan cara penyuntikkan yang benar sehingga transmisi pathogen

melalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa untuk

memperkecil terjadinya. KIPI harus selalu diupayakan peningkatan

ketelitian pemberian imunisasi selama program imunisasi

dilaksanakan.

12
2. Klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah Komnas

PP KIPI

a. Very likely

Kejadian secara klinis terjadi dan waktu hubungan pemberian

vaksin adalah sesuai berhubungan dan yang tidak dapat dijelaskan oleh

pemberian obat lain atau penyakit lain yang bersamaan.

b. Probable

Kejadian yang secara klinis terjadi dengan hubungan waktu

pemberian vaksin adalah sesuai berhubungan dan sepertinya masih

bisa berhubungan dengan pemberian obat atau penyakit lain yang

bersamaan.

c. Possible

Kejadian yang secara klinis terjadi dengan hubungan waktu

pemberian vaksin adalah sesuai berhubungan tetapi juga berhubungan

dengan pemberian obat atau kebetulan sama dengan penyakit yang

sedang di derita atau pemberian obat.

d. Unlikely

Kejadian yang secara klinis terjadi dengan hubungan waktu

pemberian vaksin adalah tidak sesuai berhubungan dan kejadian

tersebut juga sepertinya tidak disebabkan berhubungan dengan

pemberian obat atau penyakit lain.

13
e. Unrelated

Sebuah peristiwa klinis dengan hubungan waktu yang tidak

kompatibel dan yang dapat dijelaskan oleh penyakit yang mendasari

atau obat lain atau bahan kimia.

f. Unclassifable

Kejadian yang secara klinis yang terjadi tidak cukup informasi

yang menjelaskan kejadian tersebut dan tidak juga berhubungan

dengan obat atau penyakit dengan pemberian obat atau penyakit lain.

E. GEJALA KLINIS

Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi

menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada

umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya. Baku keamanan suatu vaksin

dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya produk

farmasi diperuntukkan orang sakit sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi.

Karena itu toleransi terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada obat obatan

untuk orang sakit. Mengingat tidak ada satu pun jenis vaksin yang aman tanpa efek

samping, maka apabila seorang anak telah mendapat imunisasi pelru diobservasi selama

15 menit.3,16

Reaksi KIPI Gejala KIPI


Lokal - Abses pada tempat suntikan
- Limfadenitis
- Selulitis
- BCG-it is
SSP - Kelumpuhan akut
- Esefalopati
- Ensefalitis
- Meningitis

14
- Kejang
Lain-lain - Reaksi alergi : urtikaria, dermatitis
- Edema
- Reaksi anafilaksis
- Syok anafilaksis
- Atralgia
- Demam tinggi .38.5 C
- Episode hypotensif-hiporesponsif
Tabel 1. Gejala Klinik KIPI menurut Lokasinya

Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka

apabila seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa saat,

sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya

sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus

dilakukan observasi selama 15 menit. Untuk menghindarkan kerancuan maka gejala

klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala

klinis.

F. JENIS IMUNISASI DASAR

1. Hepatitis B

Hepatitis B adalah infeksi hati yang berpotensi mengancam jiwa dan disebabkan

oleh virus hepatitis B. Hepatitis B adalah masalah kesehatan global utama.Hal ini

dapat menyebabkan infeksi kronis dan memiliki risiko tinggi terjadinya kematian oleh

sirosis dan kanker hati.Sebuah vaksin terhadap hepatitis B telah tersedia sejak

1982.Vaksin ini 95% efektif dalam mencegah infeksi dan perkembangan penyakit

dan kanker hati kronis akibat hepatitis B. Pencegahan Hepatitis B dapat dilakukan

dengan vaksinasi atau menggunakan immunoglobulin hepatitis.Vaksin hepatitis B

tesedia dalam bentuk vaksin rekombinan.12

15
Seri vaksin lengkap menginduksi kadar antibodi lebih dari 95% dari bayi, anak-

anak dan remaja. Perlindungan berlangsung minimal 20 tahun dan mungkin dapat

bertahan seumur hidup. Dengan demikian, WHO tidak merekomendasikan vaksinasi

booster untuk anak yang telah menyelesaikan jadwal vaksinasi 3 dosis.9

Secara umum, vaksin hepatitis B dianjurkan bagi semua bayi baru lahir, individu

yang berisiko tertular hepatitis B karena pekerjaan, serta individu yang serumah

dengan penderita hepatitis B atau mengalami kontak seksual dengan penderita

Hepatitis B.1

a. Cara pemberian: Intramuscular

b. Jadwal anjuran: tiga kali, diberikan segera setelah lahir (sebelum 12 jam), usia 1,

dan 6 bulan.

c. KIPI: reaksi lokal sementara, kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan

1-2 hari, syok anafilaktik.

d. Kontraindikasi: reaksi anafilaksis pada vaksin Hepatitis B sebelumnya. Ikterus,

kehamilan, dan laktasi bukan indikasi kontra imunisasi Hepatitis B.

2. Poliomielitis 13,14,15

Poliomielitis akut adalah suatu penyakit demam akut yang disebabkan virus

polio. Kerusakan pada motor neuron medula spinalis dapat mengakibatkan

kelumpuhan yang bersifat flaksid. Respon terhadap vaksin polio sangat bervariasi

mulai dari tanpa gejala sampai adanya gejala kelumpuhan total atau atrofi otot, pada

umumnya mengenai tungkai bawah dan bersifat asimetris, dan dapat menetap

selamanya bahkan sampai dengan kematian.

16
Ada dua jenis vaksin untuk melindungi terhadap polio: Inactivated Polio Vaccine

(IPV) dan Oral Polio Vaccine (OPV). IPV, digunakan di Amerika Serikat sejak tahun

2000, diberikan sebagai suntikan di kaki atau lengan, tergantung pada usia. OPV

diminum. Vaksin Polio dapat diberikan pada saat yang sama dengan vaksin lainnya.

Pada tahun 2014, WHO telah menyatakan Indonesia sebagai negara bebas

polio.Meski demikian, pentingnya imunisasi polio masih tetap digalakkan. Tersedia

dua jenis vaksin polio:

1. Oral polio vaccine (OPV)

Vaksin polio oral bekerja dalam dua cara, yaitu dengan memproduksi

antibodi dalam darah (imunitas humoral) terhadap ketiga tipe virus polio sehingga

pada kejadian infeksi , vaksin ini akan memberikan perlindungan dengan

mencegah penyebaran virus polio ke sistem saraf. Pemberian OPV juga

menghasilkan respon imun lokal di membran mukosa intestinal tempat terjadinya

multiplikasi virus polio. Antibodi yang terbentuk akan membatasi multiplikasi

virus polio liar di dalam intestinal, menutup reseptor PVR(Poliovirus

Receptor)sehingga virus tidak bisa menempel dan berkembang biak.

2. Inactivated polio vaccine (IPV)

Vaksin IPV berisi virus polio virulen yang sudah diinaktivasi/dimatikan

dengan panas dan formaldehid. Diketahui IPV hanya sedikit memberikan

kekebalan lokal pada dinding usus sehingga virus polio masih dapat

berkembangbiak dalam usus orang yang sudah mendapat IPV saja. Hal ini

memungkinkan terjadinya penyebaran virus ke sekitarnya, yang membahayakan

17
orang-orang di sekitarnya. Vaksin ini tidak dapat mencegah penyebaran virus

polio liar.

a. Cara pemberian: oral (OPV) dan IM (IPV)

b. Jadwal anjuran: usia 2-3 bulan tiga dosis berturut-turut dengan interval waktu

6-8 minggu. Imunisasi booster dilakukan pada usia 18 bulan.

c. Dosis: 2 tetes (OPV)

Dosis IPV: Untuk vaksinasi primer serangkaian tiga dosis adalah diberikan

0,5ml. Untuk vaksinasi booster yang sebelumnya diberikan vaksinasiperlu

diberikan satu dosis 0,5 ml, pada awal 6bulan setelah serangkaian vaksinasi

primer. Pemberiandosis penguat tambahan harus dilakukan sesuaidengan

rekomendasi nasional untuk imunisasi polio.

d. KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) : vaccine associated polio paralysis

(VAPP) pada 1 : 3,3 juta dosis, dan vaccine derived polio virus (VDVP) pada

OVP.

3. BCG (Bacillus-Camette Guerin)

Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis yang

dibiak berulang kali selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak virulen

tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG menimbulkan sensitivitas

terhadap tuberkulin.1

a. Cara pemberian: intradermal/intrakutan

b. Jadwal anjuran: usia<3 bulan, optimal usia 2 bulan; apabila> 3 bulan harus

tes/uji mantoux negatif.

c. Dosis: 0,05 mL untuk bayi baru lahir, 0,1 mL untuk anak.

18
d. KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi): ulkus superfisial 3 minggu pasca

penyuntikan, limfadenitis.

e. Kontraindikasi: reaksi uji tuberculin > 5 mm, menderita HIV, keadaan

imunokompromais (contohnya leukemia, limfoma, pasien dengan pengobatan

alkylating agent, antimetabolik, kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan

lama), demam tinggi, menderita gizi buruk, kehamilan, pernah sakit TB.1

4. DTP

Saat ini telah ada vaksin DTaP (DTP dengan komponen aceluller pertussis)

selain vaksin DtwP (DTP dengan komponen wholecell pertussis) yang telah dipakai

selama ini. Kedua vaksin DTP tersebut dapat dipergunakan secara bersamaan dalam

jadwal imunisasi.1

a. Cara pemberian: intramuscular

b. Jadwal anjuran: diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan denan interval 4-8

minggu, 4 bulan, 6 bulan, 18-24 bulan, 5 tahun.1

c. KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi): reaksi lokal berupa kemerahan dan

nyeri pada lokasi injeksi, demam ringan, anak gelisah dan menangis tanpa

sebab yang jelas selama beberapa jam, ensefalopati akut, reaksi anafilaksis.

d. Kontraindikasi: riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya,

riwayat ensefalopati pada pemberian vaksin sebelumnya.1

5. Campak

Campak adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus golongan

paramyxovirus. Virus campak sangat sensitif terhadap panas, sangat mudah rusak

pada suhu 37ᵒC.1

19
Saat ini ada beberapa macam vaksin campak, yaitu monovalen, kombinasi

vaksin campak dengan vaksin Rubela (MR), kombinasi dengan mumps dan rubela

(MMR), kombinasi dengan mumps, rubela dan varisela (MMRV).1

a. Cara pemberian: subkutan

b. Jadwal anjuran: usia 9 bulan, 24 bulan dan diberikan lagi saat sekolah kelas 1

SD dalam program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah).

c. Dosis: 0,5 mL

d. KIPI(Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi): demam >39,5ºC pada hari ke 5-6

sesudah imunisasi dan berlangsung selama 5 hari. Ruam dapat terjadi pada hari

ke 7-10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4 hari. Reaksi KIPI berat

jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti ensefalopati pasca

imunisasi.1

G. IMUNISASI PADA KELOMPOK BERESIKO 6,11

Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah

resipien termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan kelompok resiko

adalah:

1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu

Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN PP KIPI

dengan mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk penanganan

segera

2. Bayi berat lahir rendah

Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup

bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah:

20
a. Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dar pada bayi

cukup bulan

b. Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan

diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan;

imunisasi hepatitis B diberikan pada umur 2 bulan atau lebih kecuali bila ibu

mengandung HbsAg positif.

c. Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang

diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak

menyebabkan penyebaaran virus polio melaui tinja

3. Pasien imunokompromais.

Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau

sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka

panjang). Jenis vaksin hidup merupakan kontra indikasi untuk pasien

imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan

pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu pendek.

Tetapi imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik

dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednisone 20 mg/ kg berat badan/hari selama 14

hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan

atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.

4. Responnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang tetapi kasus HIV

memerlukan imunisasi

Ada pertimbangan bila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karena

penyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak ada atau kurang. Apabila diberikan

21
terlalu dini, vaksin hidup akan mengaktifkan system imun yang dapat meningkatkan

replikasi virus HIV sehingga memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat

diimunisasi dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau yang sudah mati, sesuai

jadwal anak sehat.

H. TATALAKSANA KIPI

Tatalaksana KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan kasus, pelacakan kasus

lebih lanjut, analisis kejadian, tindak lanjut kasus, dan evaluasi Dalam waktu 24 jam

setelah penemuan kasus KIPI yang dilaporkan oleh orang tua (masyarakat) ataupun

petugas kesehatan, maka pelacakan kasus harus segera dikerjakan. Pelacakan perlu

dilakukan untuk konfirmasi apakah informasi yang disampaikan tersebut benar. Apabila

memang kasus yang dilaporkan diduga KIPI, maka dicatat identitas kasus, data vaksin

(jenis, pabrik, nomor batchlot), petugas yang melakukan, dan bagaimana sikap

masyarakat saat menghadapi masalah tersebut. Selanjutnya perlu dilacak kemungkinan

terdapat kasus lain yang sama, terutama yang mendapat imunisasi dari tempat yang sama

dan jenis lot vaksin yang sama. Pelacakan dapat dilakukan oleh petugas Puskesmas atau

petugas kesehatan lain yang bersangkutan. Sisa vaksin (apabila masih ada) yang diduga

menyebabkan KIPI harus disimpan sebagaimana kita memperlakukan vaksin pada

umumnya (perhatikan cold chain). Kepala Puskesmas atau Pokja KIPI daerah dapat

menganalisis data hasil pelacakan untuk menilai klasifikasi KIPI dan dicoba untuk

mencari penyebab KIPI tersebut. Dengan adanya data kasus KIPI dokter Puskesmas

dapat memberikan pengobatan segera. Apabila kasus tergolong berat, penderita harus

segera dirawat untuk pemeriksaan lebih lanjut dan diberikan pengobatan segera. Evaluasi

akan dilakukan oleh Pokja KIPI setelah menerima laporan. Pada kasus ringan tatalaksana

22
dapat diselesaikan oleh Puskesmas dan Pokja KIPI hanya perlu diberikan laporan. Untuk

kasus berat yang masih dirawat, sembuh dengan gejala sisa, atau kasus meninggal,

diperlukan evaluasi ketat dan apabila diperlukan Pokja KIPI segera dilibatkan. Evaluasi

akhir dan kesimpulan disampaikan kepada Kepala Puskesmas untuk perbaikan program

yang akan datang.

Gambar 2. Alur Tatalaksana KIPI 3

23
KIPI Gejala Tindakan

Vaksin  Nyeri, eritema, bengkak di  Kompres hangat


daerah bekas suntikan < 1 cm,  Jika nyeri mengganggu
 Timbul < 48 jam setelah dapat diberikan
imunisasi parasentamol 10 mg
/kgBB/kali pemberian, < 6
bln
: 60 mg/kali pemberian 6-
12 bb 90 mg/kali
pemberian 1-3 th : 120
Reaksi lokal berat  Eritema /indurasi dan edema  mg/kali
Komprespemberian
hangat
(jarang terjadi)  Nyeri, bengkak dan  Parasetamol
manifestasi sistemik
Reaksi Arthus  Nyeri, bengkak, indurasi  Kompres hangat
dan edema  Parasetamol
 Terjadi akibat reimunisasi pada  Dirujuk dan dirawat di RS
pasien dengan kadar antibodi
yang masih tinggi
 Timbul beberapa jam
dengan puncaknya 12-36
jam setelah imunisasi

Reaksi umum  Demam, lesu, nyeri otot,  Berikan minum hangat


(sistemik) nyeri kepala dan menggil dan selimut
 Parasetamol

Kolaps /  Episode hipotonik-hiporesponsif  Rangsang dengan wangian


Keadaan seperti  Anak tetap sadar tetapi atau bauan yang
syok tidak bereaksi terhadap merangsang
rangsangan  Bila belum dapat diatasi
 Pada pemeriksaan frekuensi, dalam waktu 30 menit
amplitudo nadi serta tekanan segera rujuk ke puskesmas
darah tetap dalam batas normal terdekat

24
Reaksi Khusus  Lumpuh layu, simetris, asendens  Rujuk segera ke RS untuk
: Sindrom (menjalar ke atas) biasanya perawatan dan
Guillain Barre tungkai bawah pemeriksaan lebih lanjut
(jarang terjadi)  Ataksia
 Penurunan refleksi tendon
 Gangguan menelan
 Gangguan Pernafasan
 Parestesi
 Meningismus
 Tidak demam
 Peningkatan protein dalam
cairan serebrospinal tanpa
pleositosis
 Terjadi antara 5 hari sd 6
minggu setelah imunisasi
 Perjalanan penyakit dari 1 s/d
3-4 hr
 Prognosis umumnya baik.

Neuritis brakialis  Nyeri dalam terus menerus  Parasetamol


(Neuropati pada daerah bahu dan lengan  Bila gejala menetap rujuk ke
pleksus brakialis) atas RS untuk fisioterapi
 Terjadi 7 jam sd 3 minggu
setelah imunisasi

Syok anafilaktik  Terjadi mendadak  Oksigen


 Gejala klasik : kemerahan  Suntikan adrenalin
merata, edem 1:1.000, dosis 0,1-0,3,
 Urtikaria, sembab pada sk/i, atau 0,01 ml/kgBB /x
kelompok mata, sesak, nafas , max dosis 0,05
berbunyi ml/kali
 Jantung berdebar kencang  Segera pasang infus NaCI
 Tekanan darah menurun 0,9% / D 5% diguyur
 Anak pingsan / tidak sadar  Aminofilin 3-4 mg/BB
 Dapat pula terjadi langsung IV (pelan-pelan)
berupa tekanan darah menurun  Hidrokortison 7-10
dan pingsan tanpa didahului mg/BB IV  5 mg/BB
oleh (tiap 6 jam)
gejala lain

25
Tatalaksana Program

Abses dingin  Bengkak dan keras, nyeri daerah  Kompres hangat


bekas suntikan. Terjadi karena  Parasetamol
vaksin  Operasi jika tidak
disuntikan masih dingin membaik
Pembengkakan  Bengkak disekitar suntikan  Kompres hangat
 Terjadi karena penyuntikan kurang
dalam
Sepsis  Bengkak disekitar bekas suntikan  Kompres hangat
 Demam  Parasetamol
 Terjadi karena jarum suntik tidak steril  Rujuk ke RS terdekat
 Gejala timbul 1 minggu atau lebih
setelah penyuntikan

Tetanus  Kejang, dapat disertai dengan  Rujuk ke RS terdekat


demam, anak tetap sadar

Faktor Penerima

Faktor psikologis  Ketakutan  Tenangkan penderita


 Berteriak  Beri minuman air
 Pingsan hangat
 Beri wewanginan /
alkohol
 Setelah sadar beri
minuman teh
manis hangat
Koinsidens  Gejala penyakit terjadi secara  Tangani penderita
(factor kebetulan bersamaan dengan waktu sesuai gejala
kebetulan) imunisasi
 Gejala dapat berupa salah satu gejala

Alergi  Pembengkakan bibir dan tenggorokan,  Suntikan


sesak nafas eritema, papula dan terasa dexametason 1 amp
gatal in/iv
 Tekanan darah menurun  Jika berlanjut
pasang infuse Nacl
0,9%

Tabel 2. Tatalaksana KIPI

26
I. TATA CARA PEMANTAUAN DAN PENANGGULANGAN KIPI 6,11

Masyarakat seringkali beranggapan bahwa insiden medik setelah imunisasi selalu

disebabkan oleh imunisasi, insiden umumnya terjadi secara kebetulan (koinsiden).

Sebagian yang beranggapan bahwa vaksin sebagai penyebab KIPI juga keliru. Penyebab

sebenarnya adalah kesalahan program yang dapat dicegah. Untuk menemukan penyebab

KIPI kejadian tersebut harus dideteksi dan dilaporkan. Tujuan Utama pemantauan kasus

KIPI adalah untuk mendeteksi dini, merespon kasus KIPI dengan cepat dan tepat,

mengurangi dampak negative imunisasi terhadap kesehatan individu dan terhadap

program imunisasi. Hal ini merupakan indicator kualitas program.

Kegiatan pemantauan kasus KIPI meliputi :

1. Menemukan kasus, melacak kasus, menganalisis kejadian,

menindaklanjuti kasus, melaporkan dan mengevaluasi kasus.

2. Memperkirakan angka kejadian KIPI pada suatu populasi

3. Mengidentifikasi peningkatan rasio KIPI yang tidak wajar pada batch

vaksin atau merek vaksin tertentu.

4. Memastikan bahwa suatu kejadian yang diduga KIPI merupakan

koinsidens atau bukan.

5. Mendeteksi, memperbaiki, dan mencegah kesalahan program imunisasi.

6. Memberi respon yang cepat dan tepat terhadap perhatian orang

tua/masyarakat tentang keamanan imunisasi, di tengah kepedulian

(masyarakat dan professional) tentang adanya resiko imunisasi.

27
Dengan adanya data KIPI dokter Puskesmas dapat memberikan pengobatan

segera. Apabila KIPI tergolong serius harus segera dirujuk untuk pemeriksaan lebih

lanjut dan pemberian pengobatan segera.

J. PELAPORAN KIPI 6,11

Pada pelaksanaannya jarang berhasil menentukan penyebab KIPI, karena memang

tidak mudah untuk menemukannya. Untuk menentukan penyebab kasus KIPI dan diduga

kasus KIPI diperlukan laporan dengan keterangan rinci sebagaimana yang diuraikan di

bawah ini. Data yang diperoleh dipergunakan untuk menganalisis kasus dan mengambil

kesimpulan

Semua KIPI harus dilaporkan, baik yang ringan maupun yang berat. Termasuk

KIPI yang berat yaitu:

1. Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungaN

dengan imunisasi.

2. Semua kasus rawat inap, yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat

berhubungan dengan imunisasi.

3. Semua kecacatan, yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan

dengan imunisasi.

4. Semua kejadian medik yang menimbulkan keresahan masyarakat karena diduga

berhubungan dengan imunisasi

Pelapor KIPI :

1. Petugas kesehatan yang melakukan pelayanan imunisasi

2. Petugas kesehatan yang melakukan pengobatan di pelayanan kesehatan, rumah sakit

serta sarana pelayanan kesehatan lain.

28
3. Peneliti yang melakukan studi klinis atau penelitian lapangan.

Hal-hal yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan

1. Apabila orang tua membawa anak sakit yang baru diimunisasi, petugas

kesehatan harus dapat mengenal KIPI dan menentukan apakah perlu

dilaporkan dan perlu tindakan lebih lanjut.

2. Petugas harus mengetahui factor pencetus dan harus mampu menggunakan

definisi kasus.

3. Pada kasus ringan, petugas kesehatan harus tenang dan member nasehat

pada orang tua untuk mengobati pasien. Reaksi ringan, seperti limfadenitis

BCG dan abses kecil pada tempat suntikan, tidak perlu dilaporkan kecuali

apabila tingkat kepedulian orang tua cukup bermakna.

4. Pada orang tua dan masyarakat harus mengetahui reaksi yang diharapkan

terjadi setelah imunisasi dan dianjurkan untuk melapor serta membawa

dengan segera anak yang sakit yang dikhawatirkan ke rumah sakit atau

fasilitas kesehatan

29
FORMULIR PELAPORAN KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI

(KIPI) SERIUS

30
BAB III

METODE PENGUMPULAN DATA

A. Data Yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dari kasus yang terjadi dilapangan, beberapa sumber

buku, jurnal dan beberapa penelitian yang telah diteliti oleh para peneliti dibeberapa

daerah.

B. Cara Pengambilan Data

Data yang diambil dari laporan kasus ini merupakan data sekunder yang

dikategorikan sebagai data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif berupa data

berbentuk angka yang akan dianalisis. Data kualitatif laporan kasus ini mencakup studi

pustaka tentang jurnal dan peraturan terkait Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) serta

pencarian sumber dibuku dan internet

31
BAB IV

KUNJUNGAN RUMAH

A. TINJAUAN KASUS

Waktu kunjungan : Rabu, 21 Mey 2019 (Kunjungan I)

Tempat kunjungan : Jln. Pendidikan Kel. Anggalomelai, Kec. Abeli, Kota Kendari.

B. DATA IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : By. A

Umur : 3 bulan

Suku : Buton

Agama : Islam

C. SUSUNAN KELUARGA

Tabel 3. Daftar Anggota Keluarga yang tinggal dalam 1 rumah

Nama Umur Hubungan Pendidikan/ Keadaan


No. Imunisasi
anggota L/P keluarga pekerjaan fisik

Tidak
1 Ny. N 57 th Nenek pasien SD Baik
diketahui

27 th / Tidak
2. Tn. P Ayah Pasien SMA / Buruh Baik
L diketahui

25th / Tidak
3. Ny. R Ibu Pasien SMA/ IRT Baik
P diketahui

Hep B,
3 bulan
4. An. A Pasien - BCG, DPT1, Sakit
/P
Polio 1

32
Genogram keluarga

Gambar 3. Genogram keluarga pasien

Keterangan :

: Pasien

: Ibu Pasien

: Ayah Pasien

: Nenek Pasien

: Kakek pasien

: Meninggal

D. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama : Bengkak pada paha kanan pasca imunisasi

2. Keluhan tambahan : Demam pasca imunisasi dan tampak rewel

3. Riwayat penyakit sekarang :

Pada saat melakukan kunjungan kami melakukan alloanamnesis dengan ibu by.

A. setelah dilakukan imunisasi pada tanggal 20 mey 2019, ibu mengeluhkan tampak

adanya pembengkakan pada paha kanan sejak 1 hari setelah diberi suntikan

imunisasi DPT. Keluhan lain pasien tampak demam dan rewel setelah diimunisasi.

33
Pasien tampak sadar, bergerak aktif, tidak sesak, tidak muntah dan tidak diare. Nafsu

minum ASI psien cukup baik.

4. Riwayat penyakit terdahulu :

Riwayat penyakit jantung bawaan tidak ada

Riwayat kejang tidak ada

5. Riwayat penyakit keluarga :

Riwayat penyakit dalam keluarga disangkal.

6. Riwayat pengobatan :

Pasien mengkonsumsi parasetamol drops

7. Riwayat Sosial

Pasien tinggal drumah bersama nenek, ayah dan ibunya. Ny. R hanyalah ibu

rumah tanggabertempat tinggal dirumah mertuaanya. Ayahnya Tn. P bekerja sebagai

buruh dengan penghasilan Rp. 900.000.-/bulan.

8. Riwayat Kebiasaan

Pasien selalu pada pagi hari digendong oleh Ny. R keliling rumah agar

mendapat sinar matahari dan diberikan ASI setiap 3 jam sekali dalam sehari dan

tidak diberikan makanan pendamping ASI.

E. PEMERIKSAAN FISIS

Keadaan umum : Sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Tanda-tanda vital :

Frekuensi nadi : 120x/menit

Frekuensi napas : 30x/menit

34
Suhu : 37,50C

Kepala : Normosefal

Rambut : Hitam, tidak mudah tercabut

Mata : Kedua konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik, lensa jernih, pupil isokor,

reflex cahaya langsung +/+ tidak langsung +/+

Leher : Pembesaran KGB regional (-)

Thorak anterior :

Inspeksi : Dada simetris sinistra=dekstra, retraksi intercosta(-), ictus cordis tidak

tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, nyeri tekan (-), krepitasi (-)

Perkusi : Sonor sinistra = dekstra

Batas jantung atas : sela iga 3 linea parasternalis sinistra

Batas jantung kiri : sela iga 6 linea midclavicularis sinistra

Batas jantung kanan : sela iga 4 linea sternalis dekstra

Auskultasi : Vesikuler, Wh -/-, Rh -/-, jantung (murmur (-), S1/S2 reguler)

Thorax posterior :

Inspeksi : Pergerakan napas hemithorax sinistra=dekstra

Palpasi : Vokal premitus normal sinistra=dekstra

Perkusi : Sonor sinistra=desktra

Auskultasi : Vesikuler, Wh -/-, Rh -/-

Abdomen :

Inspeksi : Tampak datar

Auskultasi : Peristaltik normal

35
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani

Ekstremitas : Akral hangat, edema (+) paha kanan

F. PEMERIKSAAN TAMBAHAN

BB : 8 kg

Panjang badan : 65 cm

BBL : 3,6 kg

PBL : 50 cm

IMT : BBL + (Usia x 600 gr) = 3600 + (3x600 gr) = 5400 gram (5,4 kg)

Imunisasi dasar : Belum lengkap

G. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN YANG DIDAPAT DALAM KELUARGA

1. Masalah dalam organisasi keluarga : Pasien adalah seorang anak perempuan dari

seorang ibu rumah tangga dan ayah pasien adalah seseorang yang mencari

penghasilan demi mencukupi kebutuhan hidup sehari – hari dan kebutuhan

keluarganya.

2. Masalah dalam fungsi biologis: Saat ini pasien menderita reaksi ikutan pasca

imunisasi.

3. Masalah dalam fungsi psikologis: Tidak ada

4. Masalah dalam fungsi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan: Sumber

penghasilan utama pada keluarga adalah dari hasil bekerja ayah sebagai tulang

punggung keluarga. Untuk biaya kesehatan, pasien telah memiliki Kartu BPJS.

5. Masalah lingkungan: Tidak ada. Lingkungan rumah pasien cukup baik.

Kebersihan lingkungan terjaga, serta cukup padat.

36
6. Masalah perilaku kesehatan: Tidak ada. Keluarga cukup mengerti akan

pentingnya kesehatan dan pemeliharaan kesehatan.

H. DIAGNOSTIK HOLISTIK

1. Aspek personal: (alasan kedatangan, harapan, kekhawatiran)

a. Alasaan

Saat melakukan kunjugan pasien mengeluh tampak bengkak di tempat

suntikan imunisasi DPT.

b. Harapan

Keluarga pasien sangat mengharapkan pasien dapat sembuh dari penyakitnya

dengan pengawasn dan mengkonsumsi obat-obatan yang disarankan

c. Kekhawatiran

Kekhawatiran keluarga pasien saat ini adalah mungkin bengkak yang

dialami pasien disebabkan oleh suntikan bekas imunisasi

d. Persepsi

Keluarga pasien menganggap imunisasi adalah hal yang sangat penting untuk

pasien.

2. Aspek klinik: (diagnosis kerja dan diagnosis banding)

Diagnosis kerja : Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

Diagnoisi banding : -

3. Aspek risiko internal: (faktor-faktor internal yang mempengaruhi masalah

kesehatan pasien)

Untuk kesehariannya pasien sering mengkonsumsi ASI dari Ny. R, tiap 3 jam

dalam sehari. Pasien mendapat istirahat yang cukup setiap harinya.

37
4. Aspek psikososial keluarga: (faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi

masalah kesehatan pasien)

Keluarga pasien sangat memperhatikan kondisi penyakit pasien dan memiliki

kesadaran yang baik akan pentingnya kesehatan.

5. Aspek fungsional: (tingkat kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari baik di

dalam maupun di luar rumah, fisik maupun mental)

Berdasarkan skor Karnofsky pasien memilki skor 100% dimana pasien menjalani

aktifitas sehari-hari dengan normal, tidak disertai dengan keluhan yang berkaitan

dengan penyakitnya.

38
BAB V

PEMBAHASAN

Berdasarkan alloanamnesis dengan ibu by. A. setelah dilakukan imunisasi pada tanggal

20 mey 2019, ibu mengeluhkan tampak adanya pembengkakan pada paha kanan sejak 1 hari

yang lalu setelah diberi suntikan imunisasi DPT 1. Keluhan lain pasien tampak demam dan rewel

setelah diimunisasi. Pasien tampak sadar, bergerak aktif, tidak sesak, tidak muntah dan tidak

diare dan nafsu minum ASI pasien cukup baik. Riwayat pemberian imunisasi sebelumya yaitu

hepatitis B dan BCG. Berdasarkan penelitian Nur Asnah (2012) juga menunjukan hampir semua

anak mengalami KIPI yaitu 26 orang (86,6%) dari 30 responden. Gejala yang paling banyak

muncul adalah demam, pembengkakan dilokasi penyuntikan dan kemerahan dilokasi

penyuntikan. Pernyataan Ranuh et al (2014) juga menjelaskan bahwa KIPI imunisasi DPT

diantaranya adalah kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi penyuntikan. Anak akan

menderita demam ringan, sering gelisah dan menangis terus-menerus selama beberapa jam pasca

imunisasi. Gejala yang ditimbulkan setelah imunisasi berhubungan dengan induksi vaksin yang

umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan

secara klinis biasanya ringan, serta reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan

tercantum dalam petunjuk pemakaian. Hampir semua gejala terjadi pada hari pertama setelah

imunisasi. Pada gejala demam, awitan gejala KIPI dapat muncul pada hari kedua setelah

imuniasi, begitupun dengan lama gejala yang ditimbulkan yaitu gejala paling banyak menetap

pada anak yaitu selama satu hari. Menurut WHO (2018) yang mengatakan bahwa gejala KIPI

biasanya muncul sehari atau dua hari setelah imunisasi dan berlangsung satu sampai beberapa

hari. Penelitian Anna (2006) juga mengatakan bahwa gejala KIPI timbul beberapa jam dengan

puncaknya pada 12-36 jam setelah imunisasi. IDAI (2015) menjelaskan bahwa reaksi KIPI yang

39
timbulkan setelah imunisasi umumnya ringan dan mudah diatasi oleh orang tua.Gejala tersebut

seperti timbulnya kemerahan, pembengkakan dan nyeri selama 1-2 hari, bahkan pembengkaan

dapat timbul beberapa minggu.

Ibu pasien memberikan pengobatan parasetamol drops untuk mengatasi demam pasien

dan pasien melakukan pengompresan air hangat pada daerah lokal yang mengalami

pembengkakan yaitu pada paha kanan pasien setelah melakukan komunikasi kepada pihak

kesehatan. Menurut teori Tatalaksana KIPI jika menimbulkan reaksi lokal cukup dengan

kompres hangat dan pemberian paracetamol untuk mengatasi gejala demamnya.

40
BAB VI

PENUTUP

A. SIMPULAN

Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) adalah suatu kejadian sakit yang terjadi

setelah menerima imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi. Untuk mengetahui

hubungan antara pemberian imunisasi dengan KIPI diperlukan pelaporan dan pencatatan

semua reaksi yang tidak diinginkan yang timbul setelah pemberian imunisasi. Surveilans

KIPI sangat membantu program imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan

masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling

efektif.

B. SARAN

Bagi para petugas kesehatan yang melakukan imunisasi di posyandu sebaiknya

memberikan edukasi terkait kejadian ikutan pasca imunisasi kepada orang tua pasien dan

penanganan dini yang dilakukan serta melakukan pelaporan kejadian ikutan pasca

imunisasi di pelayanan keehatan terdekat.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. U.S. Department of Health & service. 2014. Immunization: The Basic. Central for

Disease Cotrol and Prevention

2. Sari PM. 2018. Gambaran Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi pada Anak yang

Mendapatkan Imunisasi Difteri Pertusis dan Tetanus di Puskesmas seberang Padang

Kota Padang.Jurnal Kesehatan Andalas.

3. Hadinegero. 2000. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari Pediatri Vol 2. No 1. Jakarta

4. Vaccine Fact Book. 2012. Basic Concept of Vaccination: Definition of Vaccine. Hlm 4-

10

5. Vaccines.gov. Five Important Reasons to Vaccinate Your Child. A Federal Government

Website Managed by the U.S. Department of Health and Human Services

6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2013 tentang

Penyelenggaran Imunisasi. Jakarta

7. Febriana. 2009. Kelengkapan Imunisasi.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jakarta

8. BUMN. 2011. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. http://bumn.go.id/biofarma/berita/323

9. Norlita. 2016. Analisis Simtomatik Reaksi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Pada Bayi di

Desa Sialang Kubang, Kecamatan Perhentian Raja, Kabupaten Kampar. Universitas

Muhammadiyah .Riau

10. RISKESDAS. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia

11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2017 tentang

Penyelenggaran Imunisasi. Jakarta

42
12. Ismoedijanto, dkk. 2008. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit

Ikatan Dokter Anak Indonesia.

13. Ismoedijanto, dkk. 2014. Poliomielitis dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia. Jakarta:

Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. Halaman: 255-265.

14. Statens Serum Institut. 2009. IPV Vaccine SSI.

15. Public Health. 2015. Gejala Klinis dan Etiologi KIPI. http://www.indonesian-

publichealth.com/gejala-klinis-dan-etiologi-kipi/

43

Anda mungkin juga menyukai