Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Imunisasi atau vaksinasi merupakan teknologi yang sangat berhasil di dunia kedokteran
yang oleh Katz (1999) dikatakan sebagai “sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik yang
pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini”, satu upaya yang paling efektif dan efisien
dibandingkan dengan upaya kesehatan lainnya. Pada tahun 1974, cakupan imunisasi baru
mencapai 5% dan setelah dilaksanakannya imunisasi global yang disebut dengan expanded
program in immunization (EPI) cakupan terus meningkat dan hampir setiap tahun minimal
sekitar 3 juta anak dapat terhindar dari kematian dan sekitar 750.000 anak terhindar dari
kecacatan. Namun demikian, masih ada satu dari empat orang anak yang belum mendapatkan
vaksinasi dan dua juta anak meninggal setiap tahunnya karena penyakit yang dapat dicegah
dengan vaksinasi.1
Dalam dunia kesehatan dikenal tiga pilar utama dalam meningkatkan kesehatan
masyarakat, yaitu preventif atau pencegahan, kuratif atau pengobatan, dan rehabilitatif. Dua
puluh tahun terakhir, upaya pencegahan telah membuahkan hasil yang dapat mengurangi
kebutuhan kuratif dan rehabilitatif. Imunisasi sendiri merupakan suatu upaya pencegahan
primer guna menghindari terjadinya sakit atau kejadian yang dapat mengakibatkan seseorang
sakit atau menderita cedera dan cacat.1
Dalam masa 2000-an tahun terakhir vaksinasi telah berhasil mengontrol sembilan
penyakit menular: cacar, difteri, tetanus, demam kuning, pertusi, poliomyelitis, campak,
gondongan, dan rubella. Eradikasi cacar tercapai pada tahun 1974, dan saat ini telah
dinyatakan eradikasi polio di sebagian tempat di dunia termasuk di Indonesia yang
dinyatakan bebas polio oleh WHO pada tahun 2014.1
Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah terjadi peningkatan cakupan
vaksinasi rutin selama 3 dekade terakhir, namun persentase anak melaksanakan jadwal
vaksinasi yang disarankan masih di bawah target yang diharapkan (Rainey et al., 2011).
Jumlah anak-anak usia < 1 tahun yang tidakmendapatkan imunisasi DPT3 sebesar 19,3 juta
anak dan hampir 70% dari anakanak tersebut hidup di 10 negara berkembang, dan salah satu
dari 10 negara itu ialah Indonesia (WHO, 2005).
Penyebab utama rendahnya pencapaian UCI (Universal Child Immunization) di Indonesia
adalah karena rendahnya akses pelayanan dan tingginya angka drop out. Hal ini terjadi
karena akses tempat pelayanan yang sulit dijangkau, jadwal pelayanan yang tidak teratur dan
1
tidak sesuai dengan kegiatan masyarakat, kurangnya tenaga pelaksana, tidak tersedianya buku
KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) atau kartu imunisasi, rendahnya kesadaran dan pengetahuan
masyarakat tentang manfaat, waktu pemberian imunisasi, serta gejala ikutan imunisasi.
Faktor budaya dan pendidikan serta kondisi sosial ekonomi juga ikut mempengaruhi
rendahnya capaian UCI desa / kelurahan (Kemenkes, 2010).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan cakupan imunisasi, seperti yang
dilakukan di beberapa negara Eropa dengan memberikan reward dan punishment pada warga
maupun tenaga kesehatan yang terampil dalam mendorong meningkatkan cakupan imunisasi
(Moran et al., 2007). Rainey et al. (2011) menyatakan sekitar 44% dari alasan terkait tidak
selesainya seluruh jadwal imunisasi (under vaccination) berhubungan dengan sistem
imunisasi, 28% terkait sikap dan pengetahuan orang tua. Sekitar 32% dari alasan yang terkait
dengan tidak memberikan imunisasi kepada bayinya (non vaccination) berhubungan dengan
sistem imunisasi, sedangkan 42% terkait dengan sikap dan pengetahuan orang tua.
Pelaksanaan imunusasi ini masih terdapat pihak-pihak yang menyatakan kontra
terhadap imunisasi. Beberapa sekolah dan pesantren di Yogyakarta, Bantul dan Sleman
menolak imunisasi karena mempermasalahkan kehalalan dan menganggap imunisasi
mendahului ketetapan Tuhan. Kontroversi juga diwarnai dengan adanya dugaan Kejadian
Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Hal tersebut mengacu pada penelitian yang dilakukan di
Inggris pada tahun 1998, imunisasi MMR (Mumps, Measles, and Rubella atau gondong,
campak, dan campak jerman) menjadi kontroversi terkait hasil penelitian adanya 12 anak
menderita autis setelah diimunisasi MMR. Sedangkan di Indonesia, terdapat anak di
Kabupaten Demak, Jawa Tengah yang diduga mengalami kelumpuhan setelah diberikan
imunisasi campak-rubela. Di Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan Kabupaten Blitar Jawa Timur
terdapat anak yang diduga meninggal beberapa hari setelah diimunisasi campak-rubela.
Berdasarkan uraian tersebut Selain itu masih terdapat pro dan kontra di masyarakat
sampai terbentuknya kelompok anti vaksin serta issue issue buruk tentang vaksin yang
menyebabkan rendahnya cakupan imunisasi , dalam hal ini penulis akan membahas isu isu
tentang pro kontra vaksin di Indonesia dalam berbagai sudut pandang.

2
I.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan refarat ini adaah untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan
bagi para dokter muda khususnya dan bagi pembaca pada umumnya sehingga
diharapkan para calon dokter mampu memberikan penyuluhan di masyarakat dan
ikut meningkatkan cakupan imunisasi terhadap “ Pro dan Kontra Imunisasi ”.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Imunisasi

Kekebalan tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun aktif. Keduanya dapat diperoleh
secara alami maupun buatan. Kekebalan pasif yang didapatkan secara alami adalah kekebalan
yang didapatkan transplasenta, yaitu antibodi diberikan ibu kandung secara pasif melalu
plasenta kepada janin yang dikandungnya. Sedangkan, kekebalan pasif (b uatan) adalah
pemberian antibodi yang sudah disiapkan dan dimasukkan ke dalam tubuh anak.
Kekebalan aktif dapat diperoleh pula secara alami maupun buatan. Secara alami,
kekebalan tubuh didapatkan apabila anak terjangkit suatu penyakit, yang berarti masuknya
antigen yang akan merangsang tubuh anak membentuk antibodi sendiri secara aktif dan
menjadi kebal karenanya. Sedangkan, kekebalan aktif (buatan) adalah pemberian vaksin yang
merangsang tubuh manusia secara aktif membentuk antibodi dan kebal secara spesifik
terhadap antigen yang diberikan.
Istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama. Imunisasi pasif adalah suatu
pemindahan atau transfer antibodi secara pasif. Vaksinasi adalah imunisasi aktif dengan
pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi) oleh
sistem imun di dalam tubuh.

2.2 Manfaat Imunisasi1


Adapun keuntungan yang didapat dari vaksinasi, yaitu : pertahanan tubuh yang
terbentuk oleh beberapa vaksin akan dibawa seumur hidup, cost-effective karena murah dan
efektif, dan tidak berbahaya (reaksi serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang daripada
komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara alami).
Selain keuntungan tersebut di atas, imunisasi juga memiliki dampak secara individu,
sosial, dan epidemiologi. Secara singkat, apabila anak telah mendapatkan imunisasi maka 80-
95% diantaranya akan terhindar dari penyakit infeksi yang ganas. Kekebalan individu ini
akan mengakibatkan pemutusan rantai penularan penyakit dari anak ke anak lain atau kepada
orang dewasa yang hidup bersamanya. Inilah yang disebut keuntungan sosial karena dalam
hal ini 5-20% dari anak-anak yang tidak diimunisasi juga akan terlindung, disebut herd
immunity (kekebalan komunitas). Maka mendeteksi daerah penularan penyakit melalui
program imunisasi sangat membantu mencari siapa target vaksinasi, sehingga akan tepat
sasaran dan lebih cepat menurunkan insidens penyakit. Upaya tersebut disebut source drying.

4
Keuntungan lain, seiring angka kesakitan yang menurun, akan menurun pula biaya
pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Selain itu, dengan mencegah seorang anak dari
penyakit infeksi yang berbahaya, berarti akan meningkatkan kualitas hidup anak dan
meningkatkan daya produktivitas di kemudian hari.

2.3 Jenis Vaksin1


Secara garis besar vaksin dapat dibagi menjadi dua kelompok jenis vaksin, yaitu vaksin
dari mikroba hidup dilemahkan (vaksin hidup) dan vaksin mikroba yang diinaktivasi (vaksin
inaktivasi). Vaksin hidup dibuat dengan memodifikasi virus atau bakteri patogen di
laboratorium. Vaksin inaktivasi dapat berupa virus atau bakteri utuh (whole cell) atau fraksi
patogen, atau gabungan keduanya.
Vaksin fraksional dapat berbasis protein atau polisakarida. Vaksin berbasis protein
dapat berupa toksoid (toksin bakteri inaktif), dan produk subunit atau subvirion. Vaksin
berbasis polisakarida umumnya terbuat dari polisakarida murni dinding sel bakteri, atau dapat
juga dikonjugasikan secara kimiawi dengan protein sehingga sifat antigenik vaksin
polisakarida tersebut menjadi lebih poten.
Vaksin hidup bersifat labil dan mudah rusak oleh paparan suhu panas dan cahaya,
sehingga harus dibawa dan disimpan dengan cara aman dari penyebab kerusakan tersebut.
Virus atau bakteri dalam vaksin hidup diharapkan dapat bereplikasi dalam tubuh penerima
vaksin sehingga cukup diberikan dalam dosis relatif kecil. Contoh vaksin hidup misalnya
vaksin campak, gondongan, rubela, vaksinia, varisela, demam kuning, polio (oral), dan BCG.
Vaksin inaktif tidak mengandung mikroba hidup, tidak bereplikasi, dan tidak
berpotensi menimbulkan penyakit. Vaksin inaktif diberikan melalui suntikan, selalu dengan
dosis multipel, dan umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi sirkulasi. Vaksin inaktif juga
memerlukan penguatan (booster) karena antibodi yang terbentuk akan menurun seiring dengn
perjalanan waktu. Respon imun yang terbentuk sebagian besar bersifat humoral dan hanya
sedikit merangsang respon imun seluler. Contoh vaksin inaktif sel utuh : vaksin influenza,
rabies, hepatitis A, polio (suntikan), pertusis, kolera. Vaksin inaktif fraksional dan subunit
misalnya vaksin hepatitis B, influenza, pertusis aselular, toksoid (difteri, tetanus).
Selain kedua jenis vaksin tadi, dikenal pula vaksin rekombinan yang dibentuk dengan
rekayasa genetik. Contohnya : vaksin hepatitis B rekombinan, vaksin tifoid Ty21a, dan
vaksin influenza LAIV.

5
Respon terhadap dosis pertama vaksin inaktif lebih bersifat sebagai pembentukan
respon imun awal (priming) yang menjadi dasar pembentukan imunitas protektif. Dosis
berikutnya pada vaksinasi primer merupakan vaksinasi ulang yang membentuk tingkat
antibodi protektif. Vaksinasi ulang diberikan saat respon imun terhadap dosis pertama atau
dosis sebelumnya pada vaksinasi primer mulai menurun, pada umumnya 4-6 minggu setelah
dosis sebelumnya. Tergantung dari karakteristik antigen vaksin inaktif, maka vaksin
penguatan perlu diberikan satu atau beberapa kali untuk mencapai tingkat kekebalan protektif
primer (Gambar 2.2). Sedangkan, vaksin hidup umumnya diberikan satu kali sebagai
vaksinasi primer dan tidak memerlukan vaksinasi ulang.

Gambar 2.2 Respon imun terhadap imunisasi


Dikutip dari Abbas, Lichtman, & Pillai : Basic Immunology: Functions and Disorders of
Immune System www.studentconsult.com2

6
maju ke fase uji II yang dilakukan pada orang lebih banyak dengan jumlah ratusan. Setelah
itu, si vaksin harus melewati lagi uji fase II b dan III yang diujikan pada orang lebih banyak
lagi. Setelah lulus uji III pun masih harus dipantau keamanannya jika mulai dipasarkan.
Intinya, pembuatan sebuah vaksin membutuhkan proses panjang dan kompleks untuk
kemudian bisa lolos dipasaran.

7
BAB III

Pro dan Kontra Imunisasi

3.1 Gerakan Anti-Imunisasi


Sebetulnya anti imunisasi sudah ada sejak jaman dulu, bahkan sejak Edward Jenner dengan
vaksinasi temuannya berhasil mengurangi kasus smallpox dengan sangat signifikan. Poland
GA dan Jacobson RM di tahun 2001(7) dalam artikelnya yang diterbitkan oleh Vaccine jurnal
mengatakan bahwa CDC (The Center for Disease Control and Prevention) telah membuat
booklet yang didalamnya mengumpulkan kritik dan keberatan dari para anti imunisasi
berkaitan dengan vaksinasi. Selain alasan teori konspirasi dan politik seperti kecurigaan
terhadap keuntungan yang didapat perusahaan vaksin, isu kaum minoritas, serta genocide (
pembunuhan masal suatu kaum), isu-isu lain juga muncul. Jika membaca website-website
anti imunisasi dalam internet, isue-isue tersebut memang sering disebut-sebut diantaranya:
bahwa penyakit sudah mulai hilang sebelum vaksin digunakan, jadi buat apa divaksinasi;
bahwa alih-alih meningkatkan kekebalan tubuh, vaksin malah menyebabkan kesakitan dan
kematian; bahwa penyakit yang bisa dicegah oleh vaksin sudah dieliminasi jadi buat apa
divaksin; bahwa semakin banyaknya vaksin yang masuk bisa menyebabkan kekebalan tubuh
kita terbebani; dan bahwa cara vaksin bekerja dengan menanamkan bibit penyakit untuk
meningkatkan kekebalan tubuh adalah cara yang tidak alami.
Masih dalam jurnal yang sama dikatakan bahwa saat ini lebih dari 300 anti vaccine website
tersebar di internet. Para aktivis anti imunisasi tersebut tidak hanya mengambil keuntungan
dari kemudahan penyebaran informasi dari debat di internet, tetapi juga melebih-lebihkan dan
mendramatisir kasus-kasus reaksi efek samping akibat imunisasi kepada media dan
masyarakat. Informasi-informasi yang seolah ilmiah, padahal kadang salah kaprah atau
diinterpretasikan secara salah menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat. Fakta
yang sesungguhnya, data ilmiah yang valid dan bisa dipercaya telah dikaburkan oleh media
dan gerakan anti imunisasi sehingga ketakutan masyarakat semakin menjadi.

3.2 Fakta yang tidak akurat


Dokter Ed Friedlander dalam websitenya(8) telah membeberkan beberapa contoh
kesalahan interpretasi yang sering terjadi entah disengaja ataupun tidak oleh para anti
imunisasi. Menurut dokter Ed, dengan membaca tulisan-tulisan yang sekilas mencantumkan
sumber jurnal dan orang terkenal atau para ahli, orang awam yang tidak mengerti dunia

8
ilmiah akan segera terpengaruh oleh tulisan-tulisan tersebut. Contohnya bisa kita lihat dari
sebuah website anti imunisasi berbahasa Indonesia yang penulisannya seperti ini:

“SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) naik dari 0.55 per 1000 orang di 1953
menjadi 12.8 per 1000 pada 1992 di Olmstead County, Minnesota. Puncak kejadian
SIDS adalah umur 2 – 4 bulan, waktu di mana vaksin mulai diberikan kepada bayi.
85% kasus SIDS terjadi di 6 bulan pertama bayi. Persentase kasus SIDS telah naik
dari 2.5 per 1000 menjadi 17.9 per 1000 dari 1953 sampai 1992. Naikan kematian
akibat SIDS meningkat pada saat hampir semua penyakit anak-anak menurun karena
perbaikan sanitasi dan kemajuan medikal kecuali SIDS. Kasus kematian SIDS
meningkat pada saat jumlah vaksin yang diberikan kepada balita naik secara
meyakinkan menjadi 36 per anak.”

Tulisan ini tidak memberikan kutipan dari mana sumber asli jurnal ilmiahnya, padahal
data-data merujuk tentang penelitian yang semestinya berasal dari jurnal. Lalu, kalau melihat
websitenya, ada jualan obat herbal juga dibaliknya. Sementara kalau melihat jurnal ilmiah,
issue tentang vaksin DPT dan hubungannya dengan SIDS ini telah dibantah. Sejak 1982,
telah dilakukan penelitian secara mendalam tentang hubungan antara vaksinasi DPT
(Diptheri, Pertusis, dan Tetanus) dan SIDS, tapi ternyata tidak ada hubungannya. Dari telaah
dokter Ed, data yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara vaksin DPT dan SIDS bisa
didapatkan dari jurnal-jurnal berikut: J. Ped. 129: 695, 1996; Am. Fam. Phys. 54: 185, 1996.
Malah berdasarkan penelitian dari Edinburgh (FEMS Immuno. Med. Micro. 25: 183, 1999)
imunisasi DPT justru bisa melawan SIDS. SIDS sendiri kemungkinan malah disebabkan oleh
pertusis (Eur. J. Ped. 155: 551, 1996.). Begitu juga dengan issue lain seperti vaksin hepatitis
B menyebabkan penyakit multiple sclerosis, issue vaksin MMR menyebabkan autism, dan
issue-issue lainnya, semua sudah dibantah secara ilmiah(9).
Memang betul vaksin adalah obat yang tidak mungkin 100 persen sempurna dan
aman, jadi walaupun diciptakan untuk mencegah penyakit tapi tentu bisa menyebabkan efek
samping. Sejak 1990, CDC and FDA sudah membuat VAERS The Vaccine Adverse Event
Reporting System untuk mendeteksi reaksi yang tidak diinginkan atau efek samping dari
vaksinasi(10). Setelah kasus dilaporkan, badan ini akan melacak apakah penyebabnya
memang lantaran vaksinasi atau bukan. Setiap Negara pada prinsipnya mempunyai lembaga
ini yang juga mempunyai fungsi yang sama. Karena itu sangat disarankan bagi orangtua agar
tetap well informed. Sebelum mengimunisasi anaknya, bertanya, membaca atau mendapatkan
informasi terlebih dahulu tentang kemungkinan efek samping dan reaksi yang ditimbulkan
dari sebuah vaksin serta mengetahui tindakan pertama yang harus dilakukan ketika terjadi

9
efek samping, sangatlah penting. Tapi seringnya, meskipun ada, efek samping vaksinasi
hanyalah ringan, jika pun berat umumnya tidak berhubungan langsung dengan imunisasi.
Kalaupun ada hubungan dan akibatnya cukup fatal, itu terjadi hanya 1: 100.000 orang yang
telah mendapatkan manfaat imunisasi.
Sayangnya jika ada kejadian fatal, media kerap meniup-niupkan dan membuatnya
bombastis serta emosional, sementara ketika kasus penyakit yang bisa dicegah dengan
vaksinasi mewabah dan menimbulkan kematian 8 banyak orang, beritanya tidak dibesar-
besarkan. Manfaat vaksin yang lebih besar ketimbang efek sampingnya juga sering tidak
dimunculkan. Alhasil masyarakat semakin ketakutan. Sebagai contoh, Ben Goldrace, seorang
dokter dan penulis science, dalam sebuah artikelnya menceritakan bahwa 1592 artikel di
google news memberitakan tentang seorang gadis yang meninggal tiba-tiba setelah
mendapatkan vaksin pencegah kanker leher rahim(25). Namun, hanya 363 artikel yang
memberitakan bahwa setelah di autopsi ternyata penyebab kematian si gadis adalah lantaran
telah memiliki tumor parah di paru-parunya yang sebelumnya tak terdiagnosa. Ini
menunjukkan bahwa ketidakseimbangan media dalam pemberitaan ternyata bisa turut andil
dalam penyebaran rumor tak sedap tentang vaksin

3.3 Dampak menolak imunisasi


Padahal dampak dari ketakutan dan menghindari imunisasi ini tidak sederhana, malah bisa
mengancam nyawa. Dengan menolak imunisasi, sebenarnya yang rugi bukan anak sendiri,
tapi kita juga jadi membahayakan anak lain. Mari kita belajar dari merebaknya kasus pertusis
di Amerika Serikat tahun 2010, beberapa sekolah harus ditutup dan setidaknya sepuluh bayi
meninggal akibat merebaknya pertusis ini(11). Dan sejak tahun 2007, akibat gerakan anti
vaksinasi, telah terjadi 77.000 penyakit yang sebetulnya bisa dicegah. Dampak secara tidak
langsungnya, gerakan anti vaksinasi ini juga telah mengakibatkan 700 kematian dalam
rentang tahun yang sama.

10
Bukti-bukti ilmiah tentang manfaat vaksin sudah begitu banyak. Beragam data terpercaya
menunjukkan bahwa bila angka cakupan vaksinasi menurun maka wabah penyakit akan
muncul(11, 21). Masih perlu bukti lainnya? Selain fakta di Amerika Serikat tentang pertusis,
bukti nyata juga baru saja terjadi di Indonesia dengan merebaknya kasus Diptheri di Jawa
Timur. Kasus diptheri tersebut telah menyerang 300 orang dan 11 anak meninggal karenanya.
Artikel yang berjudul „Biofarma jawab pro kontra imunisasi‟(12) mengaminkan bahwa
dalam 6 tahun belakangan cakupan imunisasi di Indonesia memang menurun dan salah
satunya terjadi karena gerakan anti imunisasi. Kejadian ini sungguh membuat miris
mengingat diphteri adalah penyakit „urdu‟ yang sudah lama kasusnya tidak ditemukan berkat
adanya vaksinasi. Bukti lain lagi terjadi pada merebaknya kasus campak baru-baru ini, yang
terjadi di negara-negara dengan angka cakupan vaksinasi turun seperti di Prancis, Belgia,
Jerman, Romania, Serbia, Spanyol, Macedonia dan Turkey (11). Baru saja di tahun 2011 juga
terjadi 334 kasus campak di Inggris, padahal tahun sebelumnya hanya 33 kasus. Meskipun
tampaknya sedikit, tapi kerugian akibat merebaknya penyakit yang bisa dicegah dengan
imunisasi ini sungguh tak sedikit. Sebuah laporan kasus yang ditulis dalam Oxford jurnal(13)
menjadi contohnya. Dilaporkan, seorang wanita yang tidak pernah mendapat imunisasi
campak kemudian terkena campak lalu pergi ke sebuah rumah sakit di Swiss. Akibatnya
setelah itu 14 orang tertular campak dari si wanita, termasuk 4 orang anak-anak. Kerugian
yang ditimbulkan hanya dari 1 wanita ini diperkirakan berkisar $800.000, belum lagi dampak
kesakitan yang ditimbulkan pada 14 orang itu. Lihat, hanya dari satu orang saja yang
menolak vaksinasi, ternyata dampaknya sungguh besar.
Data dalam negeri dari Jawa Barat mencatat bahwa pada tahun 2010 telah terjadi 25
KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit campak, dengan total 739 penderita, sedangkan pada
tahun 2011 status KLB meningkat menjadi 35 kali dengan penderita sebanyak 950 orang(14).
Kerugian yang ditimbulkan sungguh besar, bukan hanya korban tapi juga biaya. Menurut
menteri kesehatan, bila terjadi KLB di suatu daerah, dana yang dibutuhkan adalah 8 miliar
rupiah, itu pun masih harus dibantu anggaran dari pusat sebesar 13-14 miliar(22). Jumlah
uang yang seharusnya tak perlu terbuang. Sungguh disayangkan.

3.4 Isue anti-imunisasi di Indonesia

11
3.4.1 Imunisasi hanyalah konspirasi Yahudi dan genocide
Bila kita lihat lebih dalam tentang isu anti imunisasi di Indonesia, belakangan kerap
muncul artikel-artikel dan buku-buku bertuliskan „Bahaya imunisasi dan konspirasi yahudi‟
lalu isinya kerap mencantumkan kalimat seperti „Imunisasi bertujuan untuk melenyapkan
sebuah umat‟. Teori konspirasi dilandasi oleh asumsi, kecurigaan yang seringnya tidak
rasional, dan lebih memunculkan emosi sehingga sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Meski begitu, teori konspirasi sangat mudah berkembang dan dipercaya orang, namun sulit
untuk dihilangkan(15).
Goertzel T (2010) (16), dalam tulisannya yang berjudul „Conspiracy theories in
science‟ mengakui bahwa karena hal-hal yang tidak objektif diatas, para ilmuwan sering
enggan untuk terlibat dalam diskusi teori konspirasi. Meskipun para ilmuwan telah bekerja
sangat keras untuk tetap objektif dan rasional, misalnya dengan mensyaratkan tahapan-
tahapan ilmiah dalam setiap penelitian; mensyaratkan bahwa setiap jurnal harus dikritisi lagi
oleh sesama ilmuwan (peer reviewed) dan anonym pula, tapi tetap saja hasil kerja para
ilmuwan akan diserang oleh teori konspirasi.
Ketakutan terhadap science dan keyakinan terhadap teori konspirasi ini dampaknya
sungguh tidak sederhana. Kasus desas desus MMR (Measleas, Mums, Rubela) vaksin
menyebabkan autism di Inggris di tahun 1998 telah menyebabkan angka cakupan imunisasi
di Inggris menurun tajam(17). Akibatnya wabah campak dan gondongan disana merebak dan
menyebabkan kematian serta cacat berat serta permanen. Meskipun Andrew Wakefield,
dokter yang pertama kali membuat issue tersebut telah dikenakan sangsi (dicabut ijin
prakteknya) dan MMR telah dinyatakan tidak ada hubungannya dengan autism(23), tapi
dampak kematian dan penyakit yang ditimbulkan telah terjadi dan hanya bisa disesali.
Ketakutan akan science ini bukan sesuatu yang baru. Benjamin Franklin juga dulu takut
mengimunisasi keluarganya untuk melawan penyakit smallpox. Namun kemudian dia
menyesal ketika anak lelakinya meninggal di tahun 1736 akibat penyakit tersebut(16).
Contoh lain akibat dari konspirasi adalah issue tentang penyangkalan terhadap AIDS, yang
meyakini bahwa penyakit AIDS bukan disebabkan oleh HIV. Ketika Afrika Selatan dipimpin
oleh presidennya Thabo Mbeki yang mendukung ide penyangkalan ini, konsekuensinya
sungguh hebat(18). Mereka menolak pengobatan untuk AIDS sehingga akibatnya di tahun
2000 hingga 2005, terjadi 330.000 kematian akibat AIDS, 117.000 kasus baru HIV dan
35.000 bayi juga diperkirakan terinveksi virus HIV. Data-data tersebut menunjukkan bahwa
dalam hal science, akibat dari meyakini sebuah teori konspirasi sungguh bisa membahayakan.

12
Namun, meski dampak yang ditimbulkan dari teori konspirasi telah diketahui,
terutama dalam bidang kesehatan masyarakat, akhirnya keputusan untuk mempercayai teori
ini atau tidak, berpulang pada masing-masing individu. Keputusan yang dibuat tentu tak bisa
main-main, karena akibatnya berhubungan dengan nyawa orang lain.

3.4.2 ASI bisa menggantikan imunisasi


Salah satu saran dari para anti imunisasi adalah menawarkan ASI sebagai alternatif
untuk menggantikan imunisasi. Apakah memang ASI bisa menggantikan imunisasi? 13 ASI
memang mengandung antibodi untuk melawan kuman, terutama jenis IgA (Imunoglobulin A)
(19). Antibodi adalah protein yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan benda
asing yang masuk (antigen) seperti bakteri, virus maupun toxin. Tubuh membuat
imunoglobulin yang berbeda untuk melawan antigen yang berbeda pula. Misalnya antibodi
untuk penyakit cacar air akan berbeda dengan jenis antibodi untuk penyakit pneumonia.
Sejak lahir bayi sudah membawa perlindungan terhadap beberapa penyakit dari antibodi
ibunya (IgG) yang disalurkan lewat placenta selama dalam kandungan. Seperti disebutkan
sebelumnya, bayi yang mendapat ASI juga akan mendapatkan tambahan antibodi (IgA) dari
ASI. Tetapi perlindungan yang didapatkan si bayi tersebut (baik dari antibodi ibu maupun
ASI) tidak bisa digunakan untuk melawan semua penyakit dan sifatnya pun hanya sementara.
IgG ini akan menghilang menjelang si anak berusia setahun.
Sebagai contoh, antibodi dari ibu akan memberikan perlindungan sementara terhadap
penyakit campak hingga antibodi ibu menghilang saat 9 bulan. Itulah mengapa vaksinasi
campak diberikan saat anak berusia 9 bulan (15 bulan untuk MMR). Namun meski ampuh
melawan penyakit campak, antibodi ibu tidak memberikan perlindungan terhadap penyakit
pertusis (batuk rejan). Sedangkan untuk ASI, antibodi dalam ASI lebih efektif bekerja
melawan kuman-kuman yang ada di pencernaan tapi kurang efektif untuk melawan penyakit
infeksi pernafasan.
Jadi meskipun bayi sudah mendapat kekebalan dari si ibu dan juga dari ASI, tetap saja
tidak bisa menggantikan imunisasi. Sebab, selain alasan yang sudah disebutkan diatas,
imunisasi juga bersifat spesifik untuk penyakit tertentu. Imunisasi bisa melindungi penyakit-
penyakit spesifik yang tidak bisa (atau tidak cukup) dilakukan oleh antibodi ibu dan antibodi
dari ASI.

13
3.4. 3. Kehalalan vaksinasi
Dalam sebuah tanya jawab soal „Pandangan Islam terhadap imunisasi pada anak
untuk melawan penyakit‟, Yusuf Qardawi, seorang ilmuwan Islam mengatakan bahwa
menggunakan vaksin untuk meningkatkan kekebalan tubuh adalah halal karena bertujuan
untuk mencegah sesuatu yang membahayakan(19). Menjadi tugas seorang muslim untuk
sebisa mungkin mencegah segala sesuatu yang membahayakan. Selain itu menurut beliau
orangtua bertanggungjawab untuk sebisa mungkin melindungi anak-anaknya dan
meningkatkan daya tahan tubuh mereka untuk melawan penyakit dan segala sesuatu yang
berbahaya.
Dalam tanya jawab tersebut, Qardawi lalu secara spesifik menyoroti soal polio vaksin,
dan menurut beliau, vaksin tersebut sudah digunakan sejak lama di seluruh dunia termasuk
oleh lebih dari 50 negara muslim. Vaksin tersebut terbukti efektif untuk melawan penyakit
polio, dan tidak ada ahli agama Islam terutama dari Universitas di Mesir yang keberatan
untuk menggunakan vaksin ini. Di Indonesia sendiri, Biofarma sebagai satu-satunya industri
vaksin di Indonesia sudah memperoleh prakualifikasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO)
setidaknya untuk vaksin dasar: polio, campak, hepatitis B, BCG, dan DTP (Difteri, Pertusis
dan Tetanus) (20). Biofarma juga telah menjadi kiblat industri vaksin bagi 57 negara Islam
dengan program vaksin halal dan berkualitas. Untuk menjamin vaksin produksinya termasuk
kualifikasi halal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) diundang untuk menyaksikan proses
pembuatan vaksin hingga akhirnya MUI mendukung vaksin-vaksin Biofarma dan membantu
sosialiasi vaksin halal biofarma.

3.4.4 Bagaimana vaksin dibuat


Dalam kutipan salah satu artikel yang menolak imunisasi, tertulis kalimat-kalimat sebagai
berikut:
“Vaksin tersebut dibiakkan di dalam tubuh manusia yang bahkan kita tidak ketahui
sifat dan asal muasalnya. Kita tau bahwa vaksin didapat dari darah sang penderita
penyakit yang telah berhasil melawan penyakit tersebut. Itu artinya dalam vaksin
tersebut terdapat DNA sang inang dari tempat virus dibiakkan tersebut.”
Benarkah demikian? Sebetulnya, pembuatan vaksin merupakan proses yang sangat komplex.
Untuk membuat vaksin yang aman membutuhkan penelitian yang intensif dan fase-fase
pengujian yang rumit. Pembuatan sebuah vaksin mulai dari penemuan penyebab penyakit
hingga menjadi vaksin yang siap dipasarkan membutuhkan waktu sekira 50 tahun. Dengan

14
kemajuan teknologi saat ini, waktu memang bisa dipersingkat, tapi tetap saja membutuhkan
waktu yang lama(21).
Contoh proses pembuatannya seperi ilustrasi berikut(21). Jika para ahli telah setuju
bahwa vaksin untuk mencegah penyakit X diperlukan, maka yang pertama dilakukan adalah
menelaah dengan teliti tentang si bakteri atau virus X ini. Mereka akan mencari tahu
makanan apa yang dibutuhkan oleh kuman X, bagaimana proses si kuman merusak jaringan
paru misalnya. Lalu ahli genetica akan menganalisa gen si kuman X. Ahli imunologi akan
meneliti bagaimana sistem kekebalan tubuh merespon si kuman X dan mengapa tubuh
kadang gagal melawan si kuman. Mereka juga akan meneliti antigen kuman X yang bisa
merangsang sistem kekebalan tubuh. Peneliti lain akan meneliti toxin yang dihasilkan oleh
kuman X. Setelah para ahli ini mendapatkan informasi dasar tentang si kuman X, barulah
mereka mulai mendesign vaksin yang mungkin bisa ampuh melawannya.
Cara pembuatan vaksin bermacam-macam, ada yang dengan melemahkan kumannya,
ada yang dengan mematikan, hanya mengambil sebagian unit kuman yang memang bisa
langsung merangsang sistem kekebalan tubuh (tidak seluruh kuman), mengambil toxin si
kuman lalu mematikannya (toxoid vaccine), atau membuat link antigen (conjugate vaccine).
Saat ini sedang dikembangkan juga DNA vaccine. DNA dari antigen si kuman X diambil,
lalu dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Nanti DNA kuman dalam sel tubuh manusia itu
akan menyuruh si sel untuk memproduksi antigen. Jadi sel tubuh sendiri yang akan menjadi
„pabrik pembuat vaccine‟: memproduksi sendiri antigen yang diperlukan untuk merangsang
timbulnya kekebalan tubuh.
Sehubungan dengan kutipan anti imunisasi diatas, terlihat jelas bahwa sebetulnya vaksin
bukan didapat dari darah sang penderita penyakit. Tetapi vaksin berasal dari kuman yang bisa
jadi memang diambil dari penderita yang sakit. Namun bukan DNA dari darah orang yang
sakit yang diambil, tapi DNA si kuman atau kumannya secara utuhlah yang diambil. Jadi
pembuatan vaksin tidak berhubungan dengan DNA si penderita penyakit.
Untuk melemahkan atau mematikan kuman yang hendak dijadikan vaksin, memang
membutuhkan tempat pembiakan, bisa dengan media tumbuhan, binatang, ataupun jaringan
tubuh manusia(24). Namun setelah si kuman berkembang biak lalu melemah atau dimatikan,
hasil perkembangbiakan virus atau bakteri ini akan dipisahkan dari media untuk
mengembangbiakkannya. Jadi tempat pembiakan ini hanya merupakan media dan selanjutnya
yang digunakan untuk menjadi vaksin hanyalah kumpulan kuman-kuman yang dilemahkan
atau dimatikan tadi.

15
Setelah vaksin berhasil dibuat, proses sehingga bisa dipasarkan masih panjang.
Pertama, vaksin ini harus lulus uji test keamanan terhadap binatang terlebih dulu. Bila aman,
lalu bisa lanjut ke fase uji I, yang dilakukan hanya pada sekira 10-20 orang. Bila lulus dan
aman, baru bias
maju ke fase uji II yang dilakukan pada orang lebih banyak dengan jumlah ratusan. Setelah
itu, si vaksin harus melewati lagi uji fase II b dan III yang diujikan pada orang lebih banyak
lagi. Setelah lulus uji III pun masih harus dipantau keamanannya jika mulai dipasarkan.
Intinya, pembuatan sebuah vaksin membutuhkan proses panjang dan kompleks untuk
kemudian bisa lolos dipasaran.

16
Penutup
Data-data dan ajakan untuk mengkaji ulang tentang penolakan anti imunisasi telah
dibeberkan. Manfaat dan kerugian imunisasi juga bisa ditimbang. Kita tidak hidup di jaman
dimana penyakit-penyakit infeksi yang bisa dicegah dengan vaksinasi seperti polio, diptheri,
pertusis (batuk rejan), campak, rubella (campak jerman), dan gondongan masih begitu
merebak. Akibatnya apresiasi terhadap keberadaan vaksin untuk mencegah penyakit tersebut
menjadi berkurang. Di abad ke 19 dan awal abad 20 dulu, ratusan ribu orang di Amerika
Serikat terserang penyakit ini setiap tahunnya, puluhan ribu orang pun meninggal terutama
anak-anak. Di jaman itu, mendengar nama-nama penyakitnya saja sudah membuat orang-
orang ketakutan(21). Coba bayangkan jika vaksin tidak ditemukan lalu hingga saat ini jumlah
anak yang menderita penyakit tersebut masih begitu besar, anak-anak kita terus-terusan
terkena penyakit menular dan terancam meninggal, apa kita tak kelimpungan? 19

Tapi sekali lagi, akhir sebuah keputusan tentu saja berpulang pada masing-masing orang.
Benar, bahwa setiap manusia punya hak atas sebuah pilihan, yang harus dihargai dan tentu
tidak bisa diabaikan. Namun tolong, sebelum memutuskan, pikirkan dengan matang, cek dan
ricek informasi yang datang. Gunakan hati, pikiran dan akal untuk mencari yang benar, bukan
sekedar ikut-ikutan atau karena pengaruh peer pressured, tekanan dari kawan dan handai
taulan. Tolong digarisbawahi benar bahwa keputusan yang diambil kemudian, bukan hanya
berpengaruh pada anak kita seorang, tapi juga beresiko menolong atau membahayakan anak-
anak di sekitar. Ingat, keputusan kita bisa mematikan. Tegakah hati melihat anak-anak
jiwanya terancam hanya karena kita gegabah dalam mengambil keputusan? (Agnes Tri
Harjaningrum)

17
BAB IV

KESIMPULAN

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Ranuh, IG.N.G., Suyitno, H., Hadinegoro, S.R.S., et al. 2014. Pedoman Imunisasi di
Indonesia Edisi Kelima. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
2. Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S. 2014. Basic Immunology: Functions and
Disorders of Immune System. 4th Edition. Philadelpia : Elsevier. Available from :
www.studentconsult.com
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal Imunisasi IDAI 2014 [online]. Available from
http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2014.html [Accesed
January, 1st 2015]
4. Vaksin bakteri dan Virus. Available from www.biofarma.co.id [Accesed January, 15th
2015]
5. Depkes RI. 2005. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Depkes RI
6. Wati, L. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelengkapan Imunisasi Pada Anak
Usia 12-23 Bulan di Jawa Barat dan Jawa Tengah Tahun 2007 [online]. Available from :
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/126060-S-5608-Faktor-faktor%20yang-HA.pdf. 2009
[Accesed January, 1st 2015]
7. Probandari, A.N., Handayani, S., Laksono, N.J.D.N. Modul Field Lab Keterampilan
Imunisasi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret [online]. Available from :
http://fk.uns.ac.id/static/filebagian/Imunisasi.pdf . 2013 [Accesed January, 1st 2015]

19

Anda mungkin juga menyukai