Anda di halaman 1dari 40

SEMINAR INDIVIDU PRAKTEK PROFESI KMB

APLIKASI MUSIC THERAPY DAN AROMATHERAPY MASSAGE UNTUK


MENINGKATKAN KESADARAN PADA TN. X DENGAN POST CRANIOTOMY
Disusun untuk Memenuhi Laporan Seminar Inidvidu Kasus Kelolaan Pasien pada Stase
Keperawatan Medikal Bedah IIA yang diampu oleh
Ns. Khoiriyah, S.Kep., M.Sc

OLEH :
LAELA DWI YULIANTI
G3A020033

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2020/2021

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menurut RSUD Tugurejo Provinsi Jawa Tengah tahun 2019, craniotomy berasal dari
kata cranium yang artinya tulang kepala atau tengkorak, dan tomia yang artinya memotong.
Kraniotomi adalah suatu prosedur pembedahan yang dilakukan dengan membuka sebagian
tulang kepala untuk mendapatkan akses ke rongga kepala dan prosedur penanganan penyakit
seperti mengangkat gumpalan darah di otak (akibat cidera atau stroke), memperbaiki tulang
kepala yang patah, mengangkat tumor otak, nanah dan penyakit lainnya yang berada di
rongga kepala. Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan beratnya trauma yang
terjadi, pada tingkat kesadaran segera setelah cedera otak, ataupun berdasarkan kerusakan
struktur dari jaringan otak yang dijumpai pada pemeriksaaan CT-Scan. Penggolongan yang
dipakai pada sebagian besar pusat pelayanan kesehatan adalah berdasarkan tingkat kesadaran
setelah cedera otak, dengan skor glasgow coma scale (GCS), dibagi menjadi cedera otak
ringan bila GCS 14–15, cedera otak sedang bila GCS 9–13 dan cedera otak berat bila GCS
≤8. Penggolongan ini selain untuk menentukan penatalaksanaan yang akan dilakukan, juga
berguna dalam menentukan prognosis. Angka kejadian cidera kepala 58% laki-laki lebih
banyak dibandingkan perempuan. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi
dikalangan usia produktif sedangkan untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah,
disamping itu penanganan terhadap penderita yang belum sesuai dan rujukan yang terlambat
akan menyebabkan penderita meninggal dunia. Karena selain penanganan di lokasi kejadian
dan selama perjalanan korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat
darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Salah satu data
menurut Tanriono et al 2017, penelitian yang dilakukan di ICU RSU Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode Juli 2016- Juli 2017, hasil mendapatkan 30 orang post kraniotomi di ICU
dengan penyakit yang mendasari dilakukannya kraniotomi terbanyak ialah cidera kepala
(77%), jenis kelamin laki-laki 90(%) dan usia 15-24 tahun (37%). Lama perawatan post
kraniotomi di ICU rata-rata 2 hari (27%), 11 orang meninggal dunia (36%) pada > 72 jam di
rawat di ICU yang disebabkan oleh sepsis (55%). Tindakan kraniotomi dapat dilakukan
dengan berbagai teknik, mulai dari teknik kraniotomi konvensional, hingga teknik yang lebih
canggih menggunakan bantuan mikroskop khusus ataupun kamera endokopi. Teknik
kraniotomi dipilih tergantung dari jenis, lokasi, ukuran penyakit yang ditangani. Perawatan
post operasi yang utama termasuk penilaian berkelanjutan pada area tingkat kesadaran,
hemoragik, suhu, nyeri, kejang, mual dan terapi cairan. Setelah prosedur bedah saraf, perawat
harus memantau tanda-tanda vital dan penilaian fisik. Karena keadaan seperti ini dapat
menyebabkan peningkatan TIK dan menyebabkan cidera otak tambahan (Brooks, 2015).

Di Indonesia, Undang-Undang Kesehatan Nasional telah mencantumkan dukungan


terhadap perkembangan terhadap segala jenis terapi alternatif seperti terapi herbal, terapi
pijit, terapi meditasi, dan juga terapi musik. Sehingga, pengenalan penggunaan musik untuk
membantu pasien yang menderita trauma kepala sangatlah relevan dengan kebijakan
pemerintah Indonesia. Dalam hal ini, perawat dan dokter sebagai bagian dari tim kesehatan
diharapkan bisa mengambil bagian nyata dalam pengembangan terapi musik dilapangan
untuk membantu memecahkan permasalahan pasien, khususnya dalam kegiatan rehabilitasi
pasien dengan trauma kepala. Penggunaan metode terapi musik di Indonesia dapat
disesuaikan dengan budaya dan lingkungan setempat. Keuntungan lainnya dalam penerapan
terapi musik di Indonesia adalah menggunakan biaya yang tidak mahal dan terjangkau oleh
rumah sakit dan pasien. Pengaruh terapi ini terhadap kesejahteraan pasien pertama kali
ditandaskan oleh Florence Nightingale pada awal tahun 1800-an. Hal itu didefinisikan
sebagai intervensi keperawatan yang mengurangi rasa sakit dan kenyamanan pasien yang
meningkat. Riset menunjukkan bahwa musik menciptakan keseimbangan antara pikiran,
tubuh dan jiwa, memiliki dampak positif terhadap menghilangkan stres dan rasa sakit serta
meningkatkan kualitas hidup pasien atau orang yang sehat. Musik dianggap sebagai terapi
non-farmakologi, non-invasif, sederhana, murah, aman, dan metode efektif untuk
meringankan penderitaan pasien sebagai peningkatan respon otonom pada pasien TBI yang
parah. Selain itu, Reddy et al. (2017), menemukan bahwa terapi musik sangat berperan dalam
penurunan tingkat sistem saraf otonom (ANS) rangsangan setelah TBI, yaitu menurunkan
tekanan darah, detak jantung, dan suhu k ulit. Terapi pemijatan adalah teknik terapeutik,
karena meningkatkan fungsi hemodinamik. Pemijatan dianggap oleh banyak orang sebagai
terapi untuk meredakan ketegangan, mengurangi kelelahan dan meningkatkan kemampuan
tubuh untuk menyembuhkan diri. Pemijatan juga dapat menjadi media untuk penggunaan
minyak aromaterapi seperti minyak lavender, yang dapat diserap oleh kulit atau terhirup oleh
penguapan. Teknik ini dikenal sebagai pijat aromatherapy.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan aplikasi
Evidence Based Nursing Practice pada pasien dengan Post Craniotomy.

B. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Melaporkan pengelolaan kasus dan aplikasi Evidance Based Nursing Practice
Post Craniotomy pada Tn. X.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan adalah diharapkan penulis mampu :
a. Mendeskripsikan konsep Craniotomy
b. Mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Post Craniotomy
Craniotomy
c. Melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan Post Craniotomy
d. Mahasiswa mampu menerapkan Evidance Based Nursing Practice Music
Therapy and Aromatherapy Massage pada pasien Post Craniotomy
e. Melakukan evaluasi hasil aplikasi Evidence Based Nursing Practice
BAB II

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN
Craniotomy berasal dari kata cranium yang artinya tulang kepala atau
tengkorak, dan tomia yang artinya memotong. Kraniotomi adalah suatu prosedur
pembedahan yang dilakukan dengan membuka sebagian tulang kepala untuk
mendapatkan akses ke rongga kepala dan prosedur penanganan penyakit seperti
mengangkat gumpalan darah di otak (akibat cidera atau stroke), memperbaiki tulang
kepala yang patah, mengangkat tumor otak, nanah dan penyakit lainnya yang berada
di rongga kepala. (RSUD Tugurejo Jateng, 2019)
Bedah kraniotomi merupakan pembedahan dengan pembuatan lubang di
kranium untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Kraniotomi
berpengaruh pada anatomi tubuh bagian kulit, periosteum, tulang, dura mater,
arachnoid mater, pia mater, subdural, dan cairan serebrospinal (George dan
Charlemen, 2017).
B. ETIOLOGI
Etiologi dari cedera kepala antara lain :
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan saat berkendara
2. Kecelakaan pada saat olahraga
3. Cedera akibat kekerasan
4. Cedera akibat benturan
C. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula
dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang
dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 %
dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak
mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses
metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio
berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal Cerebral Blood Flow (CBF) yaitu 50-60 ml/menit/100 gr. Jaringan otak yang
merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan menyebabkan oedema paru.
Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P,
disritmia fibrilasi atrium dan ventrikel dan takikardia. Akibat adanya perdarahan otak
akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler ini akan
menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu
besar.
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Mansjoer tahun 2007, gejala yang timbul antara lain :
1. Sakit kepala berat
2. Muntah proyektil
3. Pupil edema
4. Perubahan tiap kesadaran
5. Tekanan darah menurun, brakikardia
6. Anisokor
7. Suhu tubuh yang tak terkendali
8. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
9. Kebingungan/kecemasan
10. Iritabel
11. Pucat
12. Terdapat hematoma
13. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrorhea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal
E. PENATALAKSANAAN
1. Penanganan Pre Hospital
20% penderita cidera kepala meninggal karena kurang perawatan sebelum sampai
di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok, hipoksemia, dan
hiperkabia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (Airway, Breathing,
Circulation) dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat
memberatkan cidera tubuh yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada dan
pelvis.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas (airway). Jika penderita
dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat.
Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang
disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat
fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi
vertebra servikalis, yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang
berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust
sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada
sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau
suction jika tersedia. Untuk menjaga potensi jalan napas selanjutnya dilakukan
pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan
napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila
tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan
cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan
oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran
dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari
ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan
mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat
biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita
cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan diatas 100 mmHg
untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat
digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik.
Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat (RL) atau NaCl 0,9%,
sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan raguragu, karena
cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak
dibandingkan keadaan oedema otak akibat pemberian cairan yang berlebihan.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala
lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan
menaikkan tekanan intrakranial.
Setelah ABC stabil, segera siapkan transport ke rumah sakit untuk
mendapatkan penanganan selanjutnya. Selama dalam perjalanan, bisa terjadi
berbagai keadaan seperti syok, kejang, apnea, obstruksi napas, dan gelisah.
Dengan adanya resiko selama transportasi, maka perlu persiapan dan persyaratan
dalam transportasi, yaitu disertai tenaga medis, minimal perawat yang mampu
menangani ABC, serta alat dan obat gawat darurat (di antaranya ambubag,
orofaring dan nasofaring tube, suction, oksigen, cairan infus RL atau NaCl 0,9%,
infus set, spuit 5 cc, aquabidest 25 cc, diazepam ampul, dan chlorpromazine
ampul)
2. Penanganan di Rumah Sakit
1. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi : umumnya pasien dengan stupor atau
koma harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas.
2. Monitor tekanan darah : jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan
hemodinamik (hipotensi atau hipertensi), pemantauan paling baik dilakukan
dengan kateter arteri.
3. Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS
(Glasgow Coma Scale) < 8, bila memungkinkan.
4. Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (larutan RL) yang diberikan
kepada pasien dengan cedera kepala
5. Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50- 100% lebih tinggi dari normal. Pemberian
makanan enteral melalui pipa nasogastrik harus diberikan sesegera mungkin
6. Temperatur badan : demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati
secara agresif dengan asetaminofen atau kompres
7. Profilaksis ulkus peptik : pasien dengan ventilasi mekanik memiliki resiko
ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg
intravena setiap 8 jam.
8. CT Scan lanjutan: umumnya, scan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam
setelah cedera awal pada pasien dengan perdarahan intrakranial untuk menilai
perdarahan yang progresif
F. KONSEP POST CRANIOTOMY
a. PENGKAJIAN FOKUS
Menurut pengkajian Price tahun 2005 pada pasien dengan cidera kepala antara
lain:
1. Riwayat kesehatan : waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
2. Pemeriksaan fisik head to toe
3. Sistem respirasi : Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik), terdiri dari:
a. Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis.
b. Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada,
fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas
tambahan seperti ronchi, wheezing.
c. Circulation
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi, pucat, akral dingin, kapilari refill >2 detik, penurunan produksi
urin.
d. Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e. Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka
4. Kardiovaskuler
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK (Peningkatan Tekanan Intra
Kranial).
5. Sistem saraf
Kesadaran klien (nilai GCS)
6. Fungsi saraf kranial
Trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan
fungsi saraf kranial.
7. Fungsi sensori-motor
Adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi,
hipertesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
8. Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan
mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar tanyakan
pola makan.
9. Waspadai fungsi ADH, aldosteron
retensi natrium dan cairan.
10. Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
b. PATHWAY KEPERAWATAN

Trauma Kepala,
Fraktur depresi tulang
tengkorak

Pecahnya pembuluh
darah

Intracerebral
Haemorrhage (ICH)

Darah masuk ke
dalam jaringan otak

Darah membentuk
Penatalaksanaan
massa atau
Craniotomy
hematoma

Sel melepaskan Luka insisi Penekanan pada


Pada batang otak
reseptor nyeri pembedahan jaringan
Impuls ke syaraf Media masuknya Pola Nafas Tidak
Peningkatan TIK Oblongata tertekan
otak (thalamus) mikroorganisme Efektif

Soma sensori Resiko Infeksi Gangguan aliran darah Fungsi otak Refleks menelan
korteks otak : dan oksigen ke otak menurun menurun
nyeri
dipersepsikan

Resiko Perfusi Kerusakan


Nyeri Akut Anoreksia
Serebral Tidak neuromotorik
Efektif

Kelemahan otot
Defisit Nutrisi
progresif

Hambatan
Mobilitas Fisik
c. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif
2. Nyeri akut
3. Defisit nutrisi
4. Gangguan mobilitas fisik
5. Resiko perfusi serebral tidak efektif
6. Resiko infeksi

d. FOKUS INTERVENSI

N DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI


O KEPERAWATAN HASIL KEPERAWATAN
1 Pola nafas tidak Pola Napas (L.01004) Pemantauan Respirasi (I.01014)
efektif (D.0005) Setelah dilakukan intervensi
keperawatan selama 3x24 jam Observasi
maka pola napas membaik,  Monitor frekuensi, irama,
dengan kriteria hasil : kedalaman, dan upaya
 Kapasitas vital meningkat nafas
 Tekanan ekspirasi  Monitor pola napas (seperti
meningkat bradipnea, takipnea,
 Tekanan inspirasi hiperventilasi, kussmaul,
meningkat cheyne-stokes, biot,
 Dispnea menurun ataksik)
 Penggunaan otot bantu  Monitor kemampuan batuk
napas menurun efektif
 Frekuensi napas membaik  Monitor adanya produksi
 Kedalaman napas sputum
membaik  Monitor adanya sumbatan
jalan nafas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil X-Ray
Thorax
Terapeutik
 Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi
pasien
 Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
2 Nyeri Akut (D.0077) Tingkat Nyeri (L. 08066) Manajemen Nyeri (I. 8238)
Setelah dilakukan intervensi
keperawatan selama 3x24 jam Observasi
maka tingkat nyeri menurun,  Identifikasi PQRST nyeri
dengan kriteria hasil :  Identifikasi respon nyeri
 Keluhan nyeri menurun  Identifikasi faktor yang
 Pupil dilatasi menurun memperberat dan
 Muntah menurun memperingan nyeri
 Mual menurun  Identifikasi pengaruh nyeri
 Frekuensi nadi membaik pada kualitas hidup
 Pola napas membaik  Monitor efek samping
 Tekanan darah membaik penggunaan analgetik
Terapeutik
 Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(misalnya TENS, hipnosis,
kompres hangat/dingin,
biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi)
 Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(misalnya suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode
dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan
nyeri
 Ajarkan memonitor nyeri
secara mandiri
 Anjurkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
3 Defisit Nutrisi Status Nutrisi (L.03030) Manajemen Nutrisi (I.03119)
(D.0019) Setelah dilakukan intervensi
selama 3x24 jam maka status Observasi
nutrisi membaik dengan kriteria  Identifikasi status nutrisi
hasil :  Identifikasi alergi dan
 Kekuatan otot pengunyah intoleransi makanan
meningkat  Identifikasi makanan yang
 Kekuatan otot menelan disukai
meningkat  Identifikasi kebutuhan
 Serum albumin meningkat kalori dan jenis nutrien
 Nyeri abdomen menurun  Identifikasi perlunya
 Berat badan membaik penggunaan selang
 IMT membaik nasogastrik
 Frekuensi makan membaik  Monitor BB
 Membran mukosa  Monitor asupan makanan
membaik
Terapeutik
 Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika perlu
 Fasilitasi menentukan
pedoman diet
 Berikan makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
 Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
 Berikan suplemen
makanan, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan posisi duduk, jika
mampu
 Anjurkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
(misalnya pereda nyeri,
antiemetik) jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien
yang dibutuhkan

4 Gangguan mobilitas Mobilitas Fisik (L.05042) Dukungan Ambulasi (I.06171)


fisik (D.0054) Setelah dilakukan intervensi
selama 3x24 jam maka mobilitas Observasi
fisik meningkat dengan kriteria  Identifikasi adanya nyeri
hasil : atau keluhan fisik lainnya
 Pergerakan ekstremitas  Identifikasi toleransi fisik
meningkat melakukan ambulasi
 Kekuatan otot meningkat  Monitor frekuensi jantung
 Rentang Gerak (ROM) dan tekanan darah sebelum
meningkat memulai ambulasi
 Nyeri menurun Terapeutik
 Kecemasan menurun  Fasilitasi aktivitas ambulasi
 Kelemahan fisik menurun dengan alat bantu
 Fasilitas melakukan
mobilisasi fisik, jika perlu
 Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Edukasi
 Jelaskan dan tujuan
prosedur ambulasi
 Anjurkan melakukan
ambulasi dini
 Ajarkan ambulasi
sederhana yang dilakukan
(misalnay berjalan darti
tempat tidur ke kursi roda,
berjalan dari tempat tidur
ke kamar mandi, berjalan
sesuai toleransi)
5 Resiko Perfusi Perfusi Serebral (L.02014) Manajemen Peningkatan
Serebral Tidak Setelah dilakukan intervensi Tekanan Intrakarnial (I.06194)
Efektif (D. 0017) keperawatan selama 3x24 jam Observasi
maka perfusi serebral meningkat,  Identifikasi penyebab
dengan kriteria hasil : peningkatan TIK (mis.
 Lesi, gangguan
metabolisme, edema
serebral)
 Monitor tanda/gejala
peningkatan TIK (mis.
Tekanan darah meningkat,
tekanan nadi melebar,
bradikardia, pola napas
ireguler, kesadaran
menurun)
 Monitor MAP (Mean
Arterial Pressure)
 Monitor CVP (Central
Venous Pressure), jika
perlu
 Monitor PAWP, jika perlu
 Monitor PAP, jika perlu
 Monitor ICP (Intra Cranial
Pressure), jika tersedia
 Monitor CPP (Cerebral
Perfusion Pressure)
 Monitor gelombang ICP
 Monitor status pernapasan
 Monitor intake dan output
cairan
 Monitor cairan serebro-
spinalis (mis. Warna,
konsistensi)
Terapeutik
 Minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
 Berikan posisi semi fowler
 Hindari maneuver Valsava
 Cegah terjadinya kejang
 Hindari penggunaan PEEP
 Hindari pemberian cairan
IV hipotonik
 Atur ventilator agar PaCO2
optimal
 Pertahankan suhu tubuh
normal
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
sedasi dan antikonvulsan,
jika perlu
 Kolaborasi pemberian
diuretic osmosis, jika perlu
 Kolaborasi pemberian
pelunak tinja, jika perlu
6 Resiko Infeksi Tingkat Infeksi (L.14137) Pencegahan Infeksi (I.14539)
(D.0142) Setelah dilakukan intervensi
keperawatan selama 3x24 jam Observasi
maka tingkat infeksi menurun,  Monitor tanda dan gejala
dengan kriteria hasil : infeksi lokal dan sistemik
 Kebersihan tangan Terapeutik
meningkat  Batasi jumlah pengunjung
 Kebersihan badan  Berikan perawatan kulit
meningkat pada area edema
 Nyeri menurun  Cuci tangan sebelum dan
 Demam menurun sesudah kontak dengan
 Kadar sel darah putih pasien dan lingkungan
membaik pasien
 Kultur darah membaik  Pertahankan teknik aseptik
 Kultur urine membaik pada pasien beresiko tinggi
 Kultur area luka membaik
 Kultur feses membaik Edukasi
 Kadar sel darah putih  Jelaskan tanda dan gejala
membaik infeksi
 Ajarkan mencuci tangan
dengan benar
 Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka atau luka
operasi
 Anjurkan meningkatkan
asupan cairan

BAB III

RESUME ASKEP

Kasus Bedah Cidera Kepala Post Craniotomy


Seorang pasien (19 tahun) di rawat di bangsal bedah saraf dengan diagnose medis
post craniotomy setelah sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan
subdural hematoma pada region temporalis. Saat ini pasien post craniotomy hari ke-4, dari
hasil pengkajian ditemukan pasien semakin sulit untuk dibangunkan, nilai GCS turun dari 10
ke 5, tanda nuchal rigidity (+), tanda-tanda vital: tekanan darah 110/60 mmHg, HR 114
x/menit, suhu 39°C. Luka post operasi tertutup balutan, balutan bersih. Terapi Ceftriaxone
1x2 mg, Tramal 3x100 mg, Transamin 3x1 amp, IVFD NaCl 20 tts/ menit.

Nama Mahasiswa : Laela Dwi yuliani

NIM : G3A020033

Tempat Praktek :

Tanggal :

PENGKAJIAN

A. IDENTITAS
Nama : Tn. X (19 tahun)
Diagnosa Medik : Post Craniotomy
B. STATUS KESEHATAN
a. Alasan masuk Rumah Sakit/Keluhan Utama
Cidera Kepala
b. Faktor pencetus
Kecelakaan lalu lintas
c. Faktor yang memperberat
Subdural hematoma pada region temporalis
C. PENGKAJIAN POLA FUNGSI DAN PEMERIKSAAN FISIK
a. Neurosensori dan Kognitif
1) Sakit kepala
Lokasi nyeri : Temporalis
Nuchal Rigidity (+)
2) Mata : Penurunan penglihatan
3) Pendengaran : Penurunan pendengaran

b. Tanda (Obyektif)
1) Status mental
Kesadaran : Sopor
2) GCS :5
3) TTV
TD : 110/60 mmHg
HR : 114x/menit
S : 39°C

D. DATA PENUNJANG
Terapi :
Ceftriaxone 1x2 mg
Tramal 3x100 mg
Transamin 3x1 amp
IVFD NaCl 20 tts/ menit

ANALISA DATA

DATA SUBYEKTIF DAN


MASALAH ETIOLOGI
DATA OBYEKTIF
DS : -
DO :
S : 39°C Hipertermia Respon Trauma
HR : 114x/menit
Post op Craniotomy
DS :-
DO :
Post Op Craniotomy
TD : 110/60 mmHg
Penurunan Kapasitas Edema Serebral
S : 39°C
Adaptif Intrakranial (subdural hematoma)
HR : 114x/menit
Kesadaran : Sopor
GCS : 5
Nuchal Rigidity (+)
DS : - Resiko Perfusi Serebral Cidera Kepala
DO :
Kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan subdural
hematoma pada region
temporalis, Post
Craniotomy,
Tidak Efektif
TD : 110/60 mmHg
S : 39°C
HR : 114x/menit
Kesadaran : Sopor
GCS : 5
Nuchal Rigidity (+)

PATHWAY

Trauma kepala, Cidera


Jaringan, infeksi

Pecahnya pembuluh
Inflamasi
darah

Akumulasi monosit, Perdarahan


sel T dan fibrosis intraserebral

Pelepasan pirogen Darahmembentuk


Darah masuk ke
Merangsang vagus Penekanan
endogen (sitokin) jaringan otak
massa/hematoma jaringan otak

Interleukin-1, Peningkatan Tekanan Penurunan kapasitas


Interleukin-6 Intrakarnial adaptif intrakarnial

Gangguan aliran
Sinyal mencapai
darah dan O2 ke
sistem saraf pusat
otak
Pembentukan Resiko perfusi
prostaglandin otak serebral tidak efektif

Merangsang hipotalamus,
mengingkatkan titik
patokan suhu

Meningkatkan suhu basal

Hipertermi

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Hipertermia berhubungan dengan Respon Trauma (D.0130)


2. Penurunan kapasitas adaptif intrakarnial berhubungan dengan Edema Serebral
(D.0066)
3. Resiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan Cidera Kepala (D.0017)

INTERVENSI KEPERAWATAN

N WAKTU TUJUAN DAN KRITERIA


RENCANA
O (TGL/JAM) HASIL
1 4/01/2021 Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipertermia
09.00 keperawatan selama 3x24 jam (I.15506)
maka termoregulasi membaik, Tindakan
dengan kriteria hasil : Observasi
(L.14134)  Identifikasi penyebab
 Suhu tubuh membaik hipertermia
 Suhu kulit membaik  Monitor suhu
 Pengisian kapiler  Monitor kadar
membaik elektrolit
 Ventilasi membaik  Monitor komplikasi
 Tekanan darai akibat hipertermia
membaik
Terapeutik
 Sediakan lingkungan
yang dingin
 Longgarkan atau
lepaskan pakaian
 Berikan cairan oral
 Ganti linen setiap hari
atau lebih sering jika
mengalami
hiperhidrosis
 Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena

2 4/01/2021 Setelah dilakukan intervensi Manajemen Peningkatan


09.00 keperawatan selama 3x24 jam Tekanan Intrakarnial
maka kapasitas adaptif (I.06194)
intrakarnial meningkat, dengan Tindakan
kriteria hasil : Observasi
(L.06049)  Identifikasi penyebab
 Tingkat kesadaran peningkatan TIK
meningkat (edema serebral)
 Postur deserebrasi  Monitor tanda/gejala
menurun peningkatan TIK
 Papiledema menurun  Monitor MAP, CVP,
 Tekanan darah PAWP, PAP, ICP, CPP
membaik jika perlu
 Tekanan nadi membaik
Terapeutik
 Respon pupil membaik
 Minimalkan stimulus
 Refleks neurologis
dengan menyediakan
membaik
lingkungan yang
 Tekanan intrakarnial
tenang
membaik
 Cegah terjadinya
kejang
 Hindari pemberian
cairan IV Hipotonik
 Pertahankan suhu
tubuh normal

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
sedasi atau anti
konvulsan
 Kolaborasi pemberian
diuretik osmosis, jika
perlu

3 4/01/2021 Setelah dilakukan intervensi Manajemen Peningkatan


09.00 keperawatan selama 3x24 jam Tekanan Intrakarnial
maka perfusi serebral (I.06194)
meningkat, dengan kriteria Tindakan
hasil : Observasi
(L.02014)  Identifikasi penyebab
 Tingkat kesadaran peningkatan TIK
meningkat  Monitor tanda gejala
 Tekanan intrakarnial peningkatan TIK
menurun  Monitor MAP, CVP,
 Demam menurun PAWP, PAP, ICP, CPP
 Refleks saraf membaik jika perlu
 Monitor gelombang
ICP
 Monitor status
pernapasan
 Monitor intake dan
output cairan
 Monitor cairan serebro
spinalis (misalnya
warna, konsistensi)

Terapeutik
 Minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang
tenang
 Hindari manuver
valsava
 Cegah terjadinya
kejang
 Pertahankan suhu
tubuh normal

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
sedasi dan anti
konulsan, diuretik
osmosis, jika perlu
IMPLEMENTASI

N WAKTU TINDAKAN TANDA


RESPON PASIEN
O (TGL/JAM) KEPERAWATAN TANGAN
1 4/01/2021  Mengdentifikasi DS : -
09.15 penyebab hipertermia DO :
 Memonitor suhu S : 39°C
 Memonitor kadar HR : 114x/menit
elektrolit Post op Craniotomy
 Memonitor GCS : 5
komplikasi akibat
hipertermia
 Menyediakan
lingkungan yang
dingin
 Melonggarkan atau
lepaskan pakaian
 Memberikan cairan
oral
 Mengganti linen
setiap hari atau lebih
sering jika
mengalami
hiperhidrosis
 Menghindari
pemberian antipiretik
atau aspirin
 Mengkolaborasi
pemberian cairan dan
elektrolit intravena
(Pemberian IVFD
NaCl 20 tpm)

2 4/01/2021  Mengidentifikasi DS : -
09.30 penyebab DO :
peningkatan TIK TD : 110/60 mmHg
(edema serebral) S : 39°C
 Memonitor MAP, HR : 114x/menit
CVP, PAWP, PAP, Kesadaran : Sopor
ICP, CPP jika perlu GCS : 5
 Memonitor Nuchal Rigidity (+)
gelombang ICP
 Memonitor status
pernapasan
 Memonitor intake
dan output cairan
 Memonitor cairan
serebro spinalis
(misalnya warna,
konsistensi)
 Meminimalkan
stimulus dengan
menyediakan
lingkungan yang
tenang
 Mencegah terjadinya
kejang
 Menghindari
pemberian cairan IV
Hipotonik
 Mempertahankan
suhu tubuh normal
 Mengkolaborasi
pemberian sedasi
atau anti konvulsan
 Mengkolaborasi
pemberian diuretik
osmosis, jika perlu

3 4/01/2021  Mengidentifikasi DS :
10.00 penyebab DO :
peningkatan TIK TD : 110/60 mmHg
 Memonitor tanda S : 39°C
gejala peningkatan HR : 114x/menit
TIK Kesadaran : Sopor
 Memonitor MAP, GCS : 5
CVP, PAWP, PAP, Nuchal Rigidity (+)
ICP, CPP jika perlu
 Memonitor
gelombang ICP
 Memonitor status
pernapasan
 Memonitor intake
dan output cairan
 Memonitor cairan
serebro spinalis
(misalnya warna,
konsistensi)
 Meminimalkan
stimulus dengan
menyediakan
lingkungan yang
tenang
 Menghindari
manuver valsava
 Mencegah terjadinya
kejang
 Mempertahankan
suhu tubuh normal
 Mengkolaborasi
pemberian sedasi dan
anti konulsan,
diuretik osmosis, jika
perlu

BAB IV

APLIKASI JURNAL EVIDENCE BASED NURSING RISET

A. IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn. X (19 tahun)
Diagnosa Medik : Post Craniotomy

B. DATA FOKUS PASIEN

DATA SUBYEKTIF DAN


MASALAH ETIOLOGI
DATA OBYEKTIF
DS : -
DO :
S : 39°C Hipertermia Respon Trauma
HR : 114x/menit
Post op Craniotomy
DS :-
DO :
Post Op Craniotomy
TD : 110/60 mmHg
Penurunan Kapasitas Edema Serebral
S : 39°C
Adaptif Intrakranial (subdural hematoma)
HR : 114x/menit
Kesadaran : Sopor
GCS : 5
Nuchal Rigidity (+)
DS : -
DO :
Kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan subdural
hematoma pada region
temporalis, Post
Resiko Perfusi Serebral
Craniotomy, Cidera Kepala
Tidak Efektif
TD : 110/60 mmHg
S : 39°C
HR : 114x/menit
Kesadaran : Sopor
GCS : 5
Nuchal Rigidity (+)
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN JURNAL
EVIDENCE BASED NURSING RISET YANG DIAPLIKASIKAN
Penurunan kapasitas adaptif intrakarnial berhubungan dengan Edema Serebral
(D.0066)

D. EVIDENCE BASED NURSING PRATICE YANG DITERAPKAN PADA PASIEN


Effect of Music Therapy and Aromatherapy Massage on Autonomic Nervous System
Response among Severe Traumatic Brain Injury Patients

E. ANALISA SINTESA

Cidera kepala

Pecah pembuluh darah

Intracerebral hemoragik

Darah masuk ke jaringan otak

Hematoma

Penekanan pada jaringan

Peningkatan TIK Gangguan kesadaran

Terapi Non Farmakologi : Music


Therapy dan Aromatherapy
Massage
F. LANDASAN TEORI TERKAIT PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING
PRACTICE
TBI (Trauma Brain Injury) merupakan kelainan neurologis terbanyak di dunia,
pasien dengan cidera kepala mempunyai resiko kerusakan otak dan kematian, TBI
juga menyebabkan kerugian bertahun-tahun dan membuat beban dalam bidang sosial
maupun ekonomi di negara berkembang. Dari sudut pandang neurologi, musik
didefinisikan sebagai terapi alternatif yang bisa meningkatkan sistem saraf sensorik,
motorik, pemahaman kognitif dan tingkat emosional secara bersamaan. Studi
mengeksplorasi pendekatan perilaku dan humanistik, menunjukkan bahwa terapi
musik memiliki pengaruh positif terhadap parameter emosional dan sosial integrasi
individu. Beberapa rumah sakit telah mengembangkan terapi musik untuk mengatasi
berbagai jenis penyakit, khususnya dalam rehabilitasi neurologis. Neurorehabilitasi
membentuk rangkaian perawatan untuk pasien yang menderita TBI dan dapat
mengurangi potensi konsekuensi merugikan jangka panjang. Modul pemulihan
neurorehabilitasi difokuskan pada disfungsi motorik dan disfungsi psikologis. Terapi
musik telah digunakan sebagai metode terapeutik sejak zaman pra sejarah dan musik
diterjemahkan untuk mempermudah “kesejahteraan” dan dengan demikian dianggap
meningkatan kesehatan, emosi dan mengurangi stress, rangsangan musik pada jalur
kognitif kemungkinan dapat meningkatkan komponen emosional untuk kesadaran
pasien yang tidak bisa melakukan komunikasi verbal dan jatuh dalam kondisi tidak
sadar. Terapi musik juga dapat menyentuh tingkat kesadaran fisik, psikologi, spiritual
dan sosial. Intervensi musik bekerja melalui efek psikologis dan mekanisme
neurobiologi. Pada tahun 1993, Rausher et al memperkenalkan istilah Mozart pada
efek terapeutik dari terapi musik. Dalam sebuah meta-analysis, 84% orang yang
mendengarkan Mozart Music mengalami penurunan yang signifikan pada pasien
dengan IQ tinggi.
BAB V
PEMBAHASAN

A. JUSTIFIKASI PEMILIHAN TINDAKAN BERDASARKAN EVIDENCE


BASED NURSING PRACTICE
Karena adanya pengaruh pada terapi terhadap kesejahteraan pasien pertama
kali yang ditandaskan oleh Florence Nightingale pada awal tahun 1800-an. Hal itu
didefinisikan sebagai intervensi keperawatan yang mengurangi rasa sakit dan
kenyamanan pasien yang meningkat. Riset menunjukkan bahwa musik
menciptakan keseimbangan antara pikiran, tubuh dan jiwa, memiliki dampak
positif terhadap menghilangkan stres dan rasa sakit serta meningkatkan kualitas
hidup pasien atau orang yang sehat. Musik dianggap sebagai terapi non-
farmakologi, non-invasif, sederhana, murah, aman, dan metode efektif untuk
meringankan penderitaan pasien sebagai peningkatan respon otonom pada pasien
TBI yang parah. Selain itu, Reddy et al. (2017), menemukan bahwa terapi musik
sangat berperan dalam penurunan tingkat sistem saraf otonom (ANS) rangsangan
setelah TBI, yaitu menurunkan tekanan darah, detak jantung, dan suhu kulit.
Terapi pemijatan adalah teknik terapeutik, karena meningkatkan fungsi
hemodinamik. Pemijatan dianggap oleh banyak orang sebagai terapi untuk
meredakan ketegangan, mengurangi kelelahan dan meningkatkan kemampuan
tubuh untuk menyembuhkan diri. Pemijatan juga dapat menjadi media untuk
penggunaan minyak aromaterapi seperti minyak lavender, yang dapat diserap oleh
kulit atau terhirup oleh penguapan. Teknik ini dikenal sebagai pijat aromatherapy.

B. MEKANISME PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE PADA


KASUS
Sebelum dilakukan Music Therapy dan Aromatherapy Massage dilakukan
pengkajian dan pertimbangan etika, antara lain :
- Pengkajian pada pasien Tn. X usia 19 tahun dengan Post Craniotomy, GCS 5
- Persetujuan tertulis dari pasien atau keluarga pasien
- Menjelaskan prosedur lengkap tentang tujuan terapi
- Setiap pasien mempunyai hak untuk mendapatkan privasi dan hak untuk
menolak
- Perawat harus menjalani training program terlebih dahulu terkait pijat
terapeutik
- Percobaan penelitian yang dilakukan pada pasien TBI kategori berat, untuk
menguji kelayakan dan kejelasan alat

Music Therapy : Pasien mendengarkan musik yang merangsang otak


dari MP3 dengan durasi 30 menit selama 4 hari berturut-turut. Untuk mencegah
gangguan suara eksternal, pasien menggunakan earphone.

Aromatherapy Massage : Pasien dipijat oleh perawat dengan menggunakan 5


tetes minyak lavender ke telapak tangan dan dilakukan selama 4 hari berturut-
turut. Setiap sesi pemijatan terdiri dari ; pijat punggung selama 10 menit, pijat
tangan dan lengan selama 10 menit, pijat dada selama 5 menit, pijat perut selama
5 menit dan pijat kaki selama 10 menit. Terapi ini tidak boleh dilakukan pada area
yang meradang, ekimosis, petechiae, subchorionic hematoma, dan area kulit yang
ada luka.

C. HASIL YANG DICAPAI


Hasil yang didapatkan setelah diberikan intervensi pada Tn. X dengan terapi
nonfarmakologi Music Therapy dengan durasi 30 menit dan Aromatherapy
Massage dengan durasi 40 menit, yaitu :
a. Hari pertama Pre dengan GCS skor 5, setelah diberikan terapi masih tetap
skor 5
b. Hari kedua Pre dengan GCS skor 5, setelah diberikan terapi menjadi skor
6.
c. Hari ketiga Pre dengan GCS skor 6, setelah diberikan terapi menjadi skor
7.
d. Hari ketiga Pre dengan GCS skor 7, setelah diberikan terapi menjadi skor
8.
D. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ATAU HAMBATAN YANG DITEMUI
SELAMA APLIKASI EVIDANCE BASED NURSING PRACTICE
Kelebihan dan kekurangan dari mengaplikasikan Music Therapy yaitu terapi
ini sangat mudah untuk dilakukan oleh pasien atau keluarga pasien karena dengan
hanya mendengarkan musik via earphone, tetapi durasi dalam penelitian ini
dilakukan selama 30 menit, itu bisa saja membuat pasien merasa kurang nyaman.
Kelebihan dan kekurangan dari mengaplikasikan Aromatherapy Massage
yaitu terapi ini dapat membuat pasien menjadi rileks dan memberikan energi
positif. Tetapi disisi lain, tidak semua teknik pijat bisa dilakukan oleh sembarang
orang dan wajib menggunakan minyak aromaterapi yang tidak membuat alergi
atau iritasi pada kulit pasien.
BAB VI

PENUTUP

A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penulisan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
a. Hari pertama Pre dengan GCS skor 5, setelah diberikan terapi masih tetap skor 5
b. Hari kedua Pre dengan GCS skor 5, setelah diberikan terapi menjadi skor 6.
c. Hari ketiga Pre dengan GCS skor 6, setelah diberikan terapi menjadi skor 7.
d. Hari ketiga Pre dengan GCS skor 7, setelah diberikan terapi menjadi skor 8.

Kesimpulan : Adanya peningakatan kesadaran pada pasien

B. SARAN
Dapat disimpulkan bahwa penerapan musik dan pijat aromaterapi memiliki
efek terhadap kenaikan respon saraf saraf pasien TBI yang berat dalam meningkatkan
status kesadaran pasien trauma kepala berat, juga dapat memberikan rangsangan yang
positif pada respon-respon fisik dan psikososial. Oleh karena itu berdasarkan
kesimpulan ini peneliti menyarankan agar terapi musik dan pijat aromaterapi mulai di
budayakan dalam aplikasinya di rumah-rumah sakit di Indonesia karena sangat
bermanfaat untuk mempercepat proses penyembuhan pasien serta tidak membutuhkan
biaya yang besar dan yang paling utama terapi musik tidak mempunyai efek samping
negatif apapun bagi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Alaa Mostafa, et al. 2019. Effect of Music Therapy and Aromatherapy Massage on
Autonomic Nervous System Response among Severe Traumatic Brain Injury
Patients. IOSR Journal of Nursing and Health Science (IOSR-JNHS). Volume 8,
Issue 5 Ser. II. (Sep-Oct .2019)

Arslan S, Ozer N. Touching, Music Therapy and Aromatherapy’s Effect on the Physiological
Situation of the Patients in Intensive Care Unit. International Journal of Caring
Sciences. 2016;9(3):867- 75

Asrin, et al. 2007. PEMANFAATAN TERAPI MUSIK UNTUK MENINGKATKAN STATUS


KESADARAN PASIEN TRAUMA KEPALA BERAT. Jurnal Keperawatan Soedirman
(The Soedirman Journal of Nursing), Volume 2, No.2 Juli 2007

Caton-Richards M. Assessing the neurological status of patients with head injuries. .


Emergency nurse : the journal of the RCN Accident and Emergency Nursing
Association 2010;17(10):28-31.

Kramlich D. Introduction to complementary, alternative, and traditional therapies. Critical


care nurse. 2014;34(6):50-6; quiz 7. Epub 2014/12/03

Lemke DM. Sympathetic storming after severe traumatic brain injury. Critical care nurse.
2007;27(1):30-7; quiz 8. Epub 2007/01/25.

Mortimer DS, Berg W. Agitation in Patients Recovering From Traumatic Brain Injury:
Nursing Management. The Journal of neuroscience nursing : journal of the
American Association of Neuroscience Nurses. 2017;49(1):25-30. Epub 2016/12/13.

Rakesh, et al. 2020. Role of Music Therapy in Traumatic Brain Injury : A Systematic Review
and Meta-analysis. World Neurosurgery

RSUD Tugurejo. 2019. Apa itu Kraniotomi?.Semarang : rstugurejo.jatengprov.go.id

Wiart L, Luaute J, Stefan A, Plantier D, Hamonet J. Non pharmacological treatments for


psychological and behavioural disorders following traumatic brain injury (TBI). A
systematic literature review and expert opinion leading to recommendations. Annals
of physical and rehabilitation medicine. 2016;59(1):31-41. Epub 2016/01/19.
LAMPIRAN JURNAL

Anda mungkin juga menyukai