OLEH :
LAELA DWI YULIANTI
G3A020033
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut RSUD Tugurejo Provinsi Jawa Tengah tahun 2019, craniotomy berasal dari
kata cranium yang artinya tulang kepala atau tengkorak, dan tomia yang artinya memotong.
Kraniotomi adalah suatu prosedur pembedahan yang dilakukan dengan membuka sebagian
tulang kepala untuk mendapatkan akses ke rongga kepala dan prosedur penanganan penyakit
seperti mengangkat gumpalan darah di otak (akibat cidera atau stroke), memperbaiki tulang
kepala yang patah, mengangkat tumor otak, nanah dan penyakit lainnya yang berada di
rongga kepala. Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan beratnya trauma yang
terjadi, pada tingkat kesadaran segera setelah cedera otak, ataupun berdasarkan kerusakan
struktur dari jaringan otak yang dijumpai pada pemeriksaaan CT-Scan. Penggolongan yang
dipakai pada sebagian besar pusat pelayanan kesehatan adalah berdasarkan tingkat kesadaran
setelah cedera otak, dengan skor glasgow coma scale (GCS), dibagi menjadi cedera otak
ringan bila GCS 14–15, cedera otak sedang bila GCS 9–13 dan cedera otak berat bila GCS
≤8. Penggolongan ini selain untuk menentukan penatalaksanaan yang akan dilakukan, juga
berguna dalam menentukan prognosis. Angka kejadian cidera kepala 58% laki-laki lebih
banyak dibandingkan perempuan. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi
dikalangan usia produktif sedangkan untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah,
disamping itu penanganan terhadap penderita yang belum sesuai dan rujukan yang terlambat
akan menyebabkan penderita meninggal dunia. Karena selain penanganan di lokasi kejadian
dan selama perjalanan korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat
darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Salah satu data
menurut Tanriono et al 2017, penelitian yang dilakukan di ICU RSU Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode Juli 2016- Juli 2017, hasil mendapatkan 30 orang post kraniotomi di ICU
dengan penyakit yang mendasari dilakukannya kraniotomi terbanyak ialah cidera kepala
(77%), jenis kelamin laki-laki 90(%) dan usia 15-24 tahun (37%). Lama perawatan post
kraniotomi di ICU rata-rata 2 hari (27%), 11 orang meninggal dunia (36%) pada > 72 jam di
rawat di ICU yang disebabkan oleh sepsis (55%). Tindakan kraniotomi dapat dilakukan
dengan berbagai teknik, mulai dari teknik kraniotomi konvensional, hingga teknik yang lebih
canggih menggunakan bantuan mikroskop khusus ataupun kamera endokopi. Teknik
kraniotomi dipilih tergantung dari jenis, lokasi, ukuran penyakit yang ditangani. Perawatan
post operasi yang utama termasuk penilaian berkelanjutan pada area tingkat kesadaran,
hemoragik, suhu, nyeri, kejang, mual dan terapi cairan. Setelah prosedur bedah saraf, perawat
harus memantau tanda-tanda vital dan penilaian fisik. Karena keadaan seperti ini dapat
menyebabkan peningkatan TIK dan menyebabkan cidera otak tambahan (Brooks, 2015).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan aplikasi
Evidence Based Nursing Practice pada pasien dengan Post Craniotomy.
B. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Melaporkan pengelolaan kasus dan aplikasi Evidance Based Nursing Practice
Post Craniotomy pada Tn. X.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan adalah diharapkan penulis mampu :
a. Mendeskripsikan konsep Craniotomy
b. Mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Post Craniotomy
Craniotomy
c. Melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan Post Craniotomy
d. Mahasiswa mampu menerapkan Evidance Based Nursing Practice Music
Therapy and Aromatherapy Massage pada pasien Post Craniotomy
e. Melakukan evaluasi hasil aplikasi Evidence Based Nursing Practice
BAB II
KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
Craniotomy berasal dari kata cranium yang artinya tulang kepala atau
tengkorak, dan tomia yang artinya memotong. Kraniotomi adalah suatu prosedur
pembedahan yang dilakukan dengan membuka sebagian tulang kepala untuk
mendapatkan akses ke rongga kepala dan prosedur penanganan penyakit seperti
mengangkat gumpalan darah di otak (akibat cidera atau stroke), memperbaiki tulang
kepala yang patah, mengangkat tumor otak, nanah dan penyakit lainnya yang berada
di rongga kepala. (RSUD Tugurejo Jateng, 2019)
Bedah kraniotomi merupakan pembedahan dengan pembuatan lubang di
kranium untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Kraniotomi
berpengaruh pada anatomi tubuh bagian kulit, periosteum, tulang, dura mater,
arachnoid mater, pia mater, subdural, dan cairan serebrospinal (George dan
Charlemen, 2017).
B. ETIOLOGI
Etiologi dari cedera kepala antara lain :
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan saat berkendara
2. Kecelakaan pada saat olahraga
3. Cedera akibat kekerasan
4. Cedera akibat benturan
C. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula
dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang
dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 %
dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak
mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses
metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio
berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal Cerebral Blood Flow (CBF) yaitu 50-60 ml/menit/100 gr. Jaringan otak yang
merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan menyebabkan oedema paru.
Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P,
disritmia fibrilasi atrium dan ventrikel dan takikardia. Akibat adanya perdarahan otak
akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler ini akan
menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu
besar.
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Mansjoer tahun 2007, gejala yang timbul antara lain :
1. Sakit kepala berat
2. Muntah proyektil
3. Pupil edema
4. Perubahan tiap kesadaran
5. Tekanan darah menurun, brakikardia
6. Anisokor
7. Suhu tubuh yang tak terkendali
8. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
9. Kebingungan/kecemasan
10. Iritabel
11. Pucat
12. Terdapat hematoma
13. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrorhea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal
E. PENATALAKSANAAN
1. Penanganan Pre Hospital
20% penderita cidera kepala meninggal karena kurang perawatan sebelum sampai
di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok, hipoksemia, dan
hiperkabia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (Airway, Breathing,
Circulation) dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat
memberatkan cidera tubuh yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada dan
pelvis.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas (airway). Jika penderita
dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat.
Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang
disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat
fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi
vertebra servikalis, yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang
berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust
sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada
sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau
suction jika tersedia. Untuk menjaga potensi jalan napas selanjutnya dilakukan
pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan
napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila
tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan
cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan
oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran
dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari
ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan
mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat
biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita
cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan diatas 100 mmHg
untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat
digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik.
Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat (RL) atau NaCl 0,9%,
sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan raguragu, karena
cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak
dibandingkan keadaan oedema otak akibat pemberian cairan yang berlebihan.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala
lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan
menaikkan tekanan intrakranial.
Setelah ABC stabil, segera siapkan transport ke rumah sakit untuk
mendapatkan penanganan selanjutnya. Selama dalam perjalanan, bisa terjadi
berbagai keadaan seperti syok, kejang, apnea, obstruksi napas, dan gelisah.
Dengan adanya resiko selama transportasi, maka perlu persiapan dan persyaratan
dalam transportasi, yaitu disertai tenaga medis, minimal perawat yang mampu
menangani ABC, serta alat dan obat gawat darurat (di antaranya ambubag,
orofaring dan nasofaring tube, suction, oksigen, cairan infus RL atau NaCl 0,9%,
infus set, spuit 5 cc, aquabidest 25 cc, diazepam ampul, dan chlorpromazine
ampul)
2. Penanganan di Rumah Sakit
1. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi : umumnya pasien dengan stupor atau
koma harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas.
2. Monitor tekanan darah : jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan
hemodinamik (hipotensi atau hipertensi), pemantauan paling baik dilakukan
dengan kateter arteri.
3. Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS
(Glasgow Coma Scale) < 8, bila memungkinkan.
4. Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (larutan RL) yang diberikan
kepada pasien dengan cedera kepala
5. Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50- 100% lebih tinggi dari normal. Pemberian
makanan enteral melalui pipa nasogastrik harus diberikan sesegera mungkin
6. Temperatur badan : demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati
secara agresif dengan asetaminofen atau kompres
7. Profilaksis ulkus peptik : pasien dengan ventilasi mekanik memiliki resiko
ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg
intravena setiap 8 jam.
8. CT Scan lanjutan: umumnya, scan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam
setelah cedera awal pada pasien dengan perdarahan intrakranial untuk menilai
perdarahan yang progresif
F. KONSEP POST CRANIOTOMY
a. PENGKAJIAN FOKUS
Menurut pengkajian Price tahun 2005 pada pasien dengan cidera kepala antara
lain:
1. Riwayat kesehatan : waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
2. Pemeriksaan fisik head to toe
3. Sistem respirasi : Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik), terdiri dari:
a. Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis.
b. Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada,
fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas
tambahan seperti ronchi, wheezing.
c. Circulation
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi, pucat, akral dingin, kapilari refill >2 detik, penurunan produksi
urin.
d. Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e. Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka
4. Kardiovaskuler
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK (Peningkatan Tekanan Intra
Kranial).
5. Sistem saraf
Kesadaran klien (nilai GCS)
6. Fungsi saraf kranial
Trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan
fungsi saraf kranial.
7. Fungsi sensori-motor
Adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi,
hipertesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
8. Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan
mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar tanyakan
pola makan.
9. Waspadai fungsi ADH, aldosteron
retensi natrium dan cairan.
10. Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
b. PATHWAY KEPERAWATAN
Trauma Kepala,
Fraktur depresi tulang
tengkorak
Pecahnya pembuluh
darah
Intracerebral
Haemorrhage (ICH)
Darah masuk ke
dalam jaringan otak
Darah membentuk
Penatalaksanaan
massa atau
Craniotomy
hematoma
Soma sensori Resiko Infeksi Gangguan aliran darah Fungsi otak Refleks menelan
korteks otak : dan oksigen ke otak menurun menurun
nyeri
dipersepsikan
Kelemahan otot
Defisit Nutrisi
progresif
Hambatan
Mobilitas Fisik
c. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif
2. Nyeri akut
3. Defisit nutrisi
4. Gangguan mobilitas fisik
5. Resiko perfusi serebral tidak efektif
6. Resiko infeksi
d. FOKUS INTERVENSI
BAB III
RESUME ASKEP
NIM : G3A020033
Tempat Praktek :
Tanggal :
PENGKAJIAN
A. IDENTITAS
Nama : Tn. X (19 tahun)
Diagnosa Medik : Post Craniotomy
B. STATUS KESEHATAN
a. Alasan masuk Rumah Sakit/Keluhan Utama
Cidera Kepala
b. Faktor pencetus
Kecelakaan lalu lintas
c. Faktor yang memperberat
Subdural hematoma pada region temporalis
C. PENGKAJIAN POLA FUNGSI DAN PEMERIKSAAN FISIK
a. Neurosensori dan Kognitif
1) Sakit kepala
Lokasi nyeri : Temporalis
Nuchal Rigidity (+)
2) Mata : Penurunan penglihatan
3) Pendengaran : Penurunan pendengaran
b. Tanda (Obyektif)
1) Status mental
Kesadaran : Sopor
2) GCS :5
3) TTV
TD : 110/60 mmHg
HR : 114x/menit
S : 39°C
D. DATA PENUNJANG
Terapi :
Ceftriaxone 1x2 mg
Tramal 3x100 mg
Transamin 3x1 amp
IVFD NaCl 20 tts/ menit
ANALISA DATA
PATHWAY
Pecahnya pembuluh
Inflamasi
darah
Gangguan aliran
Sinyal mencapai
darah dan O2 ke
sistem saraf pusat
otak
Pembentukan Resiko perfusi
prostaglandin otak serebral tidak efektif
Merangsang hipotalamus,
mengingkatkan titik
patokan suhu
Hipertermi
DIAGNOSA KEPERAWATAN
INTERVENSI KEPERAWATAN
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
sedasi atau anti
konvulsan
Kolaborasi pemberian
diuretik osmosis, jika
perlu
Terapeutik
Minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang
tenang
Hindari manuver
valsava
Cegah terjadinya
kejang
Pertahankan suhu
tubuh normal
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
sedasi dan anti
konulsan, diuretik
osmosis, jika perlu
IMPLEMENTASI
2 4/01/2021 Mengidentifikasi DS : -
09.30 penyebab DO :
peningkatan TIK TD : 110/60 mmHg
(edema serebral) S : 39°C
Memonitor MAP, HR : 114x/menit
CVP, PAWP, PAP, Kesadaran : Sopor
ICP, CPP jika perlu GCS : 5
Memonitor Nuchal Rigidity (+)
gelombang ICP
Memonitor status
pernapasan
Memonitor intake
dan output cairan
Memonitor cairan
serebro spinalis
(misalnya warna,
konsistensi)
Meminimalkan
stimulus dengan
menyediakan
lingkungan yang
tenang
Mencegah terjadinya
kejang
Menghindari
pemberian cairan IV
Hipotonik
Mempertahankan
suhu tubuh normal
Mengkolaborasi
pemberian sedasi
atau anti konvulsan
Mengkolaborasi
pemberian diuretik
osmosis, jika perlu
3 4/01/2021 Mengidentifikasi DS :
10.00 penyebab DO :
peningkatan TIK TD : 110/60 mmHg
Memonitor tanda S : 39°C
gejala peningkatan HR : 114x/menit
TIK Kesadaran : Sopor
Memonitor MAP, GCS : 5
CVP, PAWP, PAP, Nuchal Rigidity (+)
ICP, CPP jika perlu
Memonitor
gelombang ICP
Memonitor status
pernapasan
Memonitor intake
dan output cairan
Memonitor cairan
serebro spinalis
(misalnya warna,
konsistensi)
Meminimalkan
stimulus dengan
menyediakan
lingkungan yang
tenang
Menghindari
manuver valsava
Mencegah terjadinya
kejang
Mempertahankan
suhu tubuh normal
Mengkolaborasi
pemberian sedasi dan
anti konulsan,
diuretik osmosis, jika
perlu
BAB IV
A. IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn. X (19 tahun)
Diagnosa Medik : Post Craniotomy
E. ANALISA SINTESA
Cidera kepala
Intracerebral hemoragik
Hematoma
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penulisan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
a. Hari pertama Pre dengan GCS skor 5, setelah diberikan terapi masih tetap skor 5
b. Hari kedua Pre dengan GCS skor 5, setelah diberikan terapi menjadi skor 6.
c. Hari ketiga Pre dengan GCS skor 6, setelah diberikan terapi menjadi skor 7.
d. Hari ketiga Pre dengan GCS skor 7, setelah diberikan terapi menjadi skor 8.
B. SARAN
Dapat disimpulkan bahwa penerapan musik dan pijat aromaterapi memiliki
efek terhadap kenaikan respon saraf saraf pasien TBI yang berat dalam meningkatkan
status kesadaran pasien trauma kepala berat, juga dapat memberikan rangsangan yang
positif pada respon-respon fisik dan psikososial. Oleh karena itu berdasarkan
kesimpulan ini peneliti menyarankan agar terapi musik dan pijat aromaterapi mulai di
budayakan dalam aplikasinya di rumah-rumah sakit di Indonesia karena sangat
bermanfaat untuk mempercepat proses penyembuhan pasien serta tidak membutuhkan
biaya yang besar dan yang paling utama terapi musik tidak mempunyai efek samping
negatif apapun bagi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Alaa Mostafa, et al. 2019. Effect of Music Therapy and Aromatherapy Massage on
Autonomic Nervous System Response among Severe Traumatic Brain Injury
Patients. IOSR Journal of Nursing and Health Science (IOSR-JNHS). Volume 8,
Issue 5 Ser. II. (Sep-Oct .2019)
Arslan S, Ozer N. Touching, Music Therapy and Aromatherapy’s Effect on the Physiological
Situation of the Patients in Intensive Care Unit. International Journal of Caring
Sciences. 2016;9(3):867- 75
Lemke DM. Sympathetic storming after severe traumatic brain injury. Critical care nurse.
2007;27(1):30-7; quiz 8. Epub 2007/01/25.
Mortimer DS, Berg W. Agitation in Patients Recovering From Traumatic Brain Injury:
Nursing Management. The Journal of neuroscience nursing : journal of the
American Association of Neuroscience Nurses. 2017;49(1):25-30. Epub 2016/12/13.
Rakesh, et al. 2020. Role of Music Therapy in Traumatic Brain Injury : A Systematic Review
and Meta-analysis. World Neurosurgery