Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIK PROFESI NERS

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS


PADA NY. P DENGAN DIAGNOSA COB POST CRANIOTOMI DI
RUANG ICU RSUP DR. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

Untuk Memenuhi Tugas Laporan Ujian Praktek Klinik Keperawatan Kritis


Dosen Pembimbing: Ns. Harmilah, S.Pd., S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.MB
Perseptor Klinik: Agus Herianto, S.Kep., Ns

DISUSUN OLEH :

LARASATI P07120522029
MUHAMMAD AMIN KUTBI P07120522031

PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN V


JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENKES YOGYAKARTA
TAHUN 2023
LEMBAR PENGESAHAN

Resume Asuhan Keperawatan Kritis pada Ny. P Dengan


Diagnosa Medis COB Post Craniotomi Di Ruang ICU RSUP Dr.
Soeradji Tirtonegoro Klaten disusun untuk Memenuhi Tugas
Praktek Klinik Profesi Ners Stase Keperawatan Kritis.

Nama : Larasati dan Muhammad Amin Kutbi


Hari/Tgl : Senin-Rabu 13-15 Februari 2023
Tempat : Ruang ICU

Mengetahui,

PERSEPTOR AKADEMIK PERSEPTOR KLINIK

( Ns. Harmilah, S.Pd., S.Kep., M.Kep., Sp.MB ) (Agus Herianto, S.Kep., Ns)
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan asuhan keperawatan dengan judul “Asuhan
Keperawatan Pasien Ny. P Dengan Diagnosa COB Post Craniotomi Di
Ruang ICU RSUP Soeradji Tirtonegoro”. Laporan ini disusun untuk
memenuhi tugas praktik klinik Kepertawatan Kritis Ucapan terima kasih
saya sampaikan kepada :
1. Bapak Bondan Palestin, SKM., M.Kep., Sp.Kom. selaku Ketua
Jurusan Keperawatan Poltekkes Kementerian Kesehatan Yogyakarta.
2. Ibu Ns. Harmilah, S.Pd, S.Kep, M.Kep, Sp.MB selaku Ka.Prodi
Profesi Ners Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
3. Ibu Ns. Harmilah, S.Pd, S.Kep, M.Kep, Sp.MB selaku dosen
pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan demi
terselesaikannya laporan ini.
4. Bapak Agus Herianto, S.Kep., Ns selaku dosen pembimbing lapangan
yang telah memberikan bimbingan demi terselesainya laporan ini.
Saya berharap semoga laporan ini dapat membantu pembaca untuk
lebih mengetahui tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Diagnosa COB Post Craniotomi. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan laporan ini, masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharap dan saran dari berbagai pihak agar laporan ini lebih
sempurna.

Yogyakarta, Februari

Kelompok
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Cedera otak berat (COB) adalah penyakit yang diakibatkan
karena adanya benturan atau pukulan keras pada kepala yang
mengakibatkan penurunan kesadaran, cedera otak berat didefenisikan
dengan adanya GCS kurang dari 8.(Luluk Maria Ulkhaq et al.,2019).
Kondisi pasien yang mengalami penurunan kesadaran dan pendarahan di
otak dapat menyebabkan pasien mengalami masalah keperawatan
penurunan adaptif tekanan intrakranial, penurunan tekanan intrakranial
menyebabkan pasien mengalami gangguan pola nafas sehingga harus
menggunakan alat bantu nafas berupa ETT dan ventilator sehingga pasien
mengalami masalah bersihan jalan nafas tidak efektif karena
memungkinkan adanya sputum pada ETT dan mulut pasien, gangguan
imobilisasi fisik dan penurunan kesadaran menyebabkan pasien
mengalami kesulitan menelan makanan yang berakibat kurangnya asupan
nutrisi sehingga pasien mengalami defisit nutrisi dan pasien dapat juga
berindikasi melakukan operasi sehingga muncul masalah risiko infeksi
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Sampai dengan saat ini asuhan
keperawatan terhadap pasien dengan diagnosa medis cedera otak berat
masih diperlukan penelitian lebih intensif.
Cedera otak berat merupakan masalah kesehatan yang serius di
masyarakat karena pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia.
Penyebab cedera otak berat antara lain : pukulan langsung sehingga
menyebabkan kerusakan pada otak pada sisi pukulan, rotasi yang hebat
pada leher dapat menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih
otak dan batang otak sehingga menyebabkan pendarahan intraserebral,
penyebab lain dari cedera otak berat yaitu tabrakan dan peluru (Alam,
2020). 36% pasien cedera otak berat diindikasi mengalami penurunan
kesadaran, hipoksia dan gagal nafas. Intubasi trakea awal dan ventilasi
mekanik merupakan standart yang harus dilakukan pada pasien dengan
cedera otak berat. Upaya tersebut demi mencegah kejadian hipoksia dan
peningkatan tekanan intrakranial karena hiperkapnia yang tidak terkontrol
dan terjadi vasodiatasi pembuluh darah otak (Kusuma, 2019).
Perawat berfungsi sebagai pelaksana asuhan keperawatan secara
komprehensif melakukan tindakan asuhan keperawatan mulai dari
pengkajian, menentukan diagnosa keperawatan, menentukan rencana
asuhan keperawatan, implementasi, evaluasi dan dokumentasi. Tugas
utama perawat pada kasus cedera otak berat yaitu melaksanakan tindakan
keperawatan antara lain : pemantauan peningkatan tekanan intrakranial,
melakukan pemantauan status dan pola pernafasan pasien, melakukan
pemantauan kebutuhan nutrisi pasien, melakukan edukasi terkait
perkembangan kondisi pasien sampai dengan pemantauan pemeriksaan
fisik secara keseluruhan hingga mengacu pada tindakan kolaborasi dengan
tenaga medis lain untuk menentukan terapi atau melaksanakan operasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut : “Bagaimana Laporan Pendahuluan dan Asuhan
Keperawatan Kritis Pada Ny.P Dengan COB Post Craniotomi Di Ruang
ICU RSUP Soeradji Tirtonegoro”

C. Tujuan
1. Melakukan Pengkajian Keperawatan Kritis Pada Ny.P Dengan COB Post
Craniotomi Di Ruang ICU RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten.
2. Merumuskan Diagnosa Keperawatan Kritis Pada Ny.P Dengan COB Post
Craniotomi Di Ruang ICU RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten.
3. Menyusun Intervensi Keperawatan Kritis Pada Ny.P Dengan COB Post
Craniotomi Di Ruang ICU RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten.
4. Melaksanakan Implementasi Keperawatan Kritis Pada Ny.P Dengan
COB Post Craniotomi Di Ruang ICU RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten.
5. Melaksanakan Evaluasi Keperawatan Kritis Pada Ny.P Dengan COB
Post Craniotomi Di Ruang ICU RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten.
6. Melaksanakan Dokumentasi Keperawatan Kritis Pada Ny.P Dengan
COB Post Craniotomi Di Ruang ICU RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Penyakit
A. Cidera Otak Berat
1. Pengertian
Cedera Otak Berat (COB) Adalah sebuah trauma yamg
terjadi pada daerah otak  disertai atau tanpa perdarahan
instertitial otak, namun kontinuitas benak tidak  terputus.
cedera kepala ialah suatu suasana diama terjadinya benturan
dibagian kepala yang mengakibatkan kehilangan kesadaran.
(Putri 2016). Cedera Otak Berat merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok
usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas.
2. Klasifikasi COB
Menurut Kusuma (2019), klasifikasi COB dibedakan menjadi 2
periode yaitu periode primer dan periode skunder :
1. Cedera periode otak primer
Cedera otak periode primer berhubungan dengan kerusakan ada
parenkim (jaringan otak dan pembuluh darah) otak selama
trauma, yang mana kompresi pada jaringan otak.
2. Cedera otak periode sekunder
Pada cedera otak periode skunder melibatkan proses yang
kompleks, merupakan kejadian ikutan atau komplikasi dari
cedera otak primer setelah beberapa jam atau hari. Intubasi
trakea awal dan ventilasi mekanik merupakan standar yang
harus dilakukan pada pasien dengan cedera otak traumatik
berat. Upaya tersebut demi mencegah kejadian hipoksia dan
peningkatan tekanan intrakranial karena hiperkapnia yang tidak
terkontrol dan terjadi vasodilatasi pembuluh darah otak.
3. Pemeriksaan penunjang COB
Menurut Alam (2020), pemeriksaan yang dilakukan pada pasien
penderita cedera otak adalah :
a. CT- Scan (dengan / tanpa kontras)
Bertujuan untuk mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. Aniografi Cerebral,
Bertujuan untuk menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan,
trauma.
c. X-ray
Bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan struktur tulang
(fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema)
d. AGD (Analisa Gas Darah)
Bertujuan untuk mendeteksi ventilasi atau masalah
pernafasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan intrakranial.
e. Elektrolit
Bertujuan untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan intrakranial
f. Hemoglobin
Sebagai salah satu pertanda adanya perdarahan yang hebat
g. Leukosit
Merupakan salah satu indicator berat ringannya cedera otak
4. Penatalaksaan medis COB
Prioritas pertama pada pasien cedera otak berat adalah
menstabilkan cervical spine, membebaskan dan menjaga airway,
memastikan ventilasi yang adekuat (breathing), dan membuat akses
vena untuk jalur resusitasi cairan (circulation). Langkah
selanjutnya adalah menilai level kesadaran dan pemeriksaan pupil
(disability). Langkah tersebut sangat krusial pada pasien cedera
kepala untuk mencegah terjadinya hipoksia dan hipotensi, yang
merupakan sebab utama terjadinya cedera otak berat.
Selanjutnya dilakukan survei sekunder setelah pasien stabil.
Pemeriksaannya meliputi pemeriksaan neurologis lengkap.
Keparahan cedera berat diklasifikasikan secara klinis dengan GCS
skor 3-8. Prinsip umum penanganan awal cedera otak adalah
perfusi serebral yang stabil dan adekuat, oksigenasi yang adekuat,
mencegah hiperkapni dan hipokapni, mencegah hipoglikemi dan
hiperglikemia, serta mencegah cedera istrogeni
B. Craniotomi
1. Pengertian
Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang
kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitif. Kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak
untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan
darah atau menghentikan perdarahan. Pembedahan craniotomi
dilakukan untuk mengangkat tumor, hematom, luka, atau
mencegah infeksi pada daerah tulang tengkorak. Jadi post
kraniotomi adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan tulang
tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK,
mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan.
2. Indikasi operasi
a. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
b. Mengevakuasi bekuan darah.
c. Mengontrol bekuan darah,
d. Pembenahan organ-organ intrakranial
e. Tumor otak
f. Perdarahan (hemorrage)
g. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
h. Peradangan dalam otak 
3. Manifestasi klinis

a. Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian


yang spesifik dari otak):
1. Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia,
nistagmus, diplopia, kebutaan, tanda-tanda papil edema
2. Perubahan bicara, misalnya: aphasia
3. Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri,
halusinasi sensorik.
4. Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan,
dan paralisis.
5. Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia,
retensia urin, dan konstipasi.
6. Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus
b. Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK,
obstruksi dari CSF):
1. Sakit kepala
2. Nausea atau muntah proyektil
3. Pusing
4. Perubahan mental
5. Kejang
4. Pemeriksaan penunjang
Prosedur diagnostik pra operasi dapat meliputi :
1. Tomografi komputer (pemindaian CT): Untuk menunjukkan
lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran
ventrikel, dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan otak,
hemoragik. Catatan : pemeriksaan berulang mungkin
diperlukan karena pada iskemia/infark mungkin tidak
terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.
2. Pencitraan resonans magnetik (MRI): Sama dengan scan CT,
dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi dipotongan
lain.
3. Electroencephalogram (EEG): Untuk memperlihatkan
keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
4. Angiografy Serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak  akibat edema, perdarahan
trauma
5. Sinar-X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
(fraktur), pergeseran struktur  dari garis tengah (karena
perdarahan,edema), adanya fragmen tulang
6. Brain Auditory Evoked Respon (BAER): menentukan
fungsi korteks dan batang otak 
7. Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan
perubahan aktivitas metabolisme pada otak 
8. Fungsi lumbal, CSS: dapat menduga kemungkinan adanya
perdarahan subarachnoid
9. Gas Darah Arteri (GDA): mengetahui adanya masalah
ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK 
5. Penatalaksaan
a. Preoperasi
Pada penatalaksaan bedah intrakranial praoperasi pasien
diterapi dengan medikasi antikonvulsan (fenitoin) untuk
mengurangi resiko kejang pasca operasi. Sebelum
pembedahan, steroid (deksametason) dapat diberikan untuk 
mengurangai edema serebral. Cairan dapat dibatasi. Agens
hiperosmotik  (manitol) dan diuretik (furosemid) dapat
diberikan secara intravena segera sebelum dan kadang selama
pembedahan bila pasien cenderung menahan air  yang
terjadi pada individu yang mengalami disfungsi intrakranial.
Kateter  urinarius menetap di pasang sebelum pasien dibawa
ke ruang operasi untuk  mengalirkan kandung
kemih selama pemberian diuretik dan untuk 
memungkinkan keluaran urinarius dipantau. Pasien dapat
diberikan antibiotik  bila serebral sempat terkontaminasi
atau diazepam pada pra operasi untuk menghilangkan
ansietas. Kulit kepala di cukur segera sebelum pembedahan
(biasanya di ruang operasi) sehingga adanya abrasi superfisial
tidak semua mengalami infeksi.
b. Pasca Operasi
1) Mengurangi Edema Serebral
Terapi medikasi untuk mengurangi edema serebral
meliputi pemberian manitol, yang meningkatkan
osmolalitas serum dan menarik air bebas dari area otak
(dengan sawar darah-otak utuh). Cairan ini kemudian
dieksresikan melalui diuresis osmotik. Deksametason dapat
diberikan melalui intravena setiap 6 jam selama 24 sampai
72 jam; selanjutnya dosisnya dikurangi secara bertahap.
2) Meredakan Nyeri dan Mencegah Kejang
Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu di atas 37,5
C dan untuk nyeri. Sering kali pasien akan mengalami sakit
kepala setelah kraniotomi, biasanya sebagai akibat
syaraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi
selama pembedahan. Codein, diberikan lewat parenteral,
biasanya cukup untuk  menghilangkan sakit kepala.
Medikasi antikonvulsan (fenitoin, diazepam) diresepkan
untuk pasien yang telah menjalani kraniotomi
supratentorial, karena resiko tinggi epilepsi setelah
prosedur bedah neuro supratentorial. Kadar serum dipantau
untuk mempertahankan medikasi dalam rentang terapeutik.
3) Memantau Tekanan Intrakranial
Kateter ventrikel, atau beberapa tipe drainase,
sering dipasang pada pasienyang menjalani pembedahan
untuk tumor fossa posterior. Kateter  disambungkan ke
sistem drainase eksternal. Kepatenan kateter diperhatikan
melalui pulsasi cairan dalam selang. TIK dapat dikaji
dengan menyusun sistem dengan sambungan stopkok ke
selang bertekanan dan tranduser. TIK  dalam dipantau
dengan memutar stopkok. Perawatan diperlukan untuk 
menjamin bahwa system tersebut kencang pada semua
sambungan dan bahwa stopkok ada pada posisiyang tepat
untuk menghindari drainase cairan serebrospinal, yang
dapat mengakibatkan kolaps ventrikel bila cairan terlalu
banyak dikeluarkan. Kateter diangkat ketika tekanan
ventrikel normal dan stabil. Ahli bedah neuro diberi tahu
kapanpun kateter tanpak tersumbat. Pirau ventrikel kadang
dilakuakan sebelum prosedur bedah tertentu untuk 
mengontrol hipertensi intrakranial, terutama pada pasien
tumor fossa posterior.
6. Komplikasi Pasca Operasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pascabedah
intrakranial atau kraniotomi adalah sebagai berikut :
a. Peningkatan tekanan intrakranial
b. Perdarahan dan syok hipovolemik 
c. Ketidakseimbangan cairan dan elekrolit
d. Infeksi
e. Kejang
f. Edema cerebral.
g. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
h. Hipovolemik syok.
i. Hidrocephalus.
j. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes
Insipidus).
k. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
l. Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah
operasi.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Pengkajian Primer (Primary Survey)
a. Airway (Jalan Nafas)
1) Pasien terpasang intubasi
2) Terdapat secret / sputum di paru-paru
3) Suara nafas tidak normal: snoring
b. Breathing (Pernafasan)
1) Observasi adanya pernafasan efektif
2) Periksa warna kulit
3) Identifikasi pola pernafasan tidak normal
4) Observasi adanya penggunaan otot bantu nafas
c. Circulation (Sirkulasi)
1) Observasi denyut nadi, kualitas dan karakternya
2) Observasi adanya gangguan irama jantung
3) Observasi pengisian kapiler, warna kulit dan suhu tubuh
d. Disability (Susunan Saraf Pusat)
1) Tingkat kesadaran pasien menurun
2) Cek respon pupil pasien
3) Observasi sistem neurologi menurun
e. Exprosure (Kontrol Lingkungan)
1) Buka baju penderita lihat kemungkinan cedera yang timbul tetapi
cegah hipotermi/kedinginan

2. Pengkajian Sekunder (Secondary Survey)


a. Keluhan utama : tingkat kesadaran menurun, tekanan darah meningkat
dengan nadi melebar, bradikardi, pola nafas ireguler, respon pupil
melambat atau tidak sama, reflek neurologis terganggu.
b. Riwayat penyakit sekarang : berisi tentang kapan terjadinya penyakit
muncul, GCS, penyebab penyakit, upaya yang dilakukan untuk
menghilangkan rasa sakit sebelum masuk rumah sakit.
c. Riwayat penyakit dahulu : riwayat peyakit diabetes melitus, epilesi,
hipertensi dan riwayat penyakit pembekuan darah dapat memperparah
kondisi pasien
3. Pemeriksaan fisik
a. B1 (Breathing)
Saat pemeriksaan sistem pernafasan didapatkan pola nafas tidak
teratur normalnya 12-24 x/menit, terdapat sumbatan nafas berupa
sputum berlebih, adanya suara nafas tambahan (mengi, wheezing, atau
ronkhi), frekuensi nafas berubah, pada pasien COB karena pasien
diindikasi dengan GCS kurang dari 8 (penurunan kesadaran)
menyebabkan pasien mengalami gangguan pernafasan sehingga
biasanya pasien terpasang alat bantu nafas.
b. B2 (Blood)
Pada pasien cedera otak berat ditemukan penurunan tekanan
intrakranial yang ditandai dengan tekanan darah meningkat (nilai
normal 120/80 mmHg) dengan tekanan nadi (pulse pressure) melebar
(nilai normal 40-60 mmHg). Suhu meningkat, observasi CRT dengan
nilai normal < 2 detik, dan terdapat cedera kepala.
c. B3 (Brain)
Saat pemeriksaan neurologis didapatkan penurunan tingkat kesadaran,
GCS kurang dari 8, respon pupil melambat atau tidak sama, reflek
neurologis terganggu. Klien sering didapatkan dengan keadaan umum
lesu/lemah, tingkat kesadaran coma, dan tidak jarang didapatkan postur
desebrasi (ektensi).
d. B4 (Bladder)
Pada pasien cedera otak berat inspeksi integritas kulit alat kelamin,
normalnya berwarna merah muda, tidak ada Fluor Albus/ Leukorea
(keputihan patologis pada perempuan), tidak ada Hidrokel (kantung
yang berisi cairan yang mengelilingi testis yang menyebabkan
pembengkakan skrotum.
e. B5 (Bowel)
Saat pengkajian didapatkan bising usus hiperaktif, otot pengunyah
lemah, otot menelan lemah karena pasien dengan diagnosa cedera otak
berat mengalami penurunan tingkat kesadaran. Didapatkan membran
mukosa pucat, sariawan, dan saat pemeriksaan darah didapatkan hasil
nilai serum albumin menurun.

f. B6 (Bone)

Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia


dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi. Saat pemeriksaan darah
didapatkan hasil nilai leukosit menurun, nilai hemoglobin menurun dan
nilia procalsitanine menurun. Pada pasien cedera otak berat tidak
jarang ditemukan adanya fraktur pada tengkorak pasien.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respon pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik berlangsung aktual maupun potensial. Berdasarkan perumusan
diagnosa keperawatan menurut SDKI (2017) menggunakan format problem,
etiology, sign and symptom (PES). Diagnosa keperawatan pada masalah
Cedera otak berat post craniotomi, dalam buku Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (2017) yang sering muncul yaitu:
1. Nyeri akut (D.0077)
2. Pola nafas tidak efektif (D.0005)
3. Gangguan perfusi serebral tidak efektif (D.0017)
4. Gangguan persepsi sensori (D.0085)
5. Gangguan mobilitas fisik (D.0054)
6. Resiko infeksi (D.0142)
C. Intervensi Keperawatan
Dx keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (I.08238)
(D.0077) keperawatan selama …. Observasi
diharapkan tingkat nyeri 1. Identifikasi nyeri dengan PQRST
menurun, dengan kriteria 2. Identifikasi faktor yang
hasil : (L.08066) memperberat dan memperingan
1. Keluhan nyeri menurun nyeri
2. Gelisah menurun 3. Monitor keberhasilan terapi
3. Meringis menurun komplementer napas dalam
4. Kesulitan tidur menurun 4. Monitor efek samping penggunaan
dengan frekuansi 6-8 jam analgetik
5. Frekuensi nadi membaik Terapeutik
dengan usia dewasa tua 1. Berikan teknik non farmakologis
adalah 60 – 100x/menit untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
6. Pola napas membaik hipnosis, terapi musik, aromaterapi,
7. Tekanan darah membaik kompres hangat/dingin
dengan usia dewasa tua Edukasi
adalah 130/80 – 140/90 1. Jelaskan strategi meredakan nyeri
2. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
3. Ajarkan teknik nonfarmakologis
akupresur
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik
Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas (I.01011)
efektif (D.0005) keperawatan selama …. Observasi
diharapkan pola nafas 1. Monitor pola napas (frekuensi,
membaik, dengan kriteria kedalaman, usaha napas)
hasil : (L.01004) 2. Monitor bunyi napas tambahan
1. Dispnea menurun (misalnya: gurgling, mengi,
2. Penggunaan otot bantu wheezing, ronchi kering)
napas menurun 3. Monitor sputum (jumlah, warna,
3. Pemanjangan fase aroma)
ekspirasi menurun Terapeutik
4. Frekuensi napas 1. Pertahankan kepatenan jalan napas
membaik dengan head-tilt dan chin-lift (jaw
5. Kedalaman napas thrust jika curiga trauma fraktur
membaik servikal)
2. Posisikan semi-fowler atau fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lendir kurang
dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep McGill
8. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak ada kontraindikasi
2. Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
Gangguan perfusi Setelah dilakukan tindakan Manajemen peningkatan tekanan
serebral tidak keperawatan selama ... x 24 intrakranial (I.06194)
efektif (D.0017) jam, diharapkan perfusi Observasi
selebral meningkat dengan 1. Identifikasi penyebab peningkatan
kriteria hasil : (L.02014) TIK (misalnya: lesi, gangguan
1. Tingkat kesadaran metabolism, edema serebral)
meningkat 2. Monitor tanda/gejala peningkatan
2. Sakit kepala menurun TIK (misalnya: tekanan darah
3. Gelisah menurun meningkat, tekanan nadi melebar,
4. Kecemasan menurun bradikardia, pola napas ireguler,
5. Tekanan intracranial kesadaran menurun)
membaik 3. Monitor MAP (mean arterial
6. Tekanan darah sistolik pressure)
membaik 4. Monitor CVP (central venous
7. Tekanan darah diastolic pressure)
membaik 5. Monitor PAWP, jika perlu
6. Monitor PAP, jika perlu
7. Monitor ICP (intra cranial pressure)
8. Monitor gelombang ICP
9. Monitor status pernapasan
10. Monitor intake dan output cairan
11. Monitor cairan serebro-spinalis
(mis. Warna, konsistensi)
Terapeutik
1. Minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang
2. Berikan posisi semi fowler 45
derajat
3. Hindari manuver valsava
4. Cegah terjadinya kejang
5. Hindari penggunaan PEEP
6. Hindari pemberian cairan IV
hipotonik
7. Atur ventilator agar PaCO2 optimal
8. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian sedasi dan
antikonvulsan, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian diuretik
osmosis, jika perlu
3. Kolaborasi pemberian pelunak tinja,
jika perlu
Gangguan persepsi Setelah dilakukan asuhan Manajemen halusinasi (I.09288)
sensori (D.0085) keperawatan selama …x 24 Observasi
jam persepsi sensori 1. Monitor perilaku yang
dengan, kriteria hasil : mengindikasikan halusinasi
(L.09083) 2. Monitor dan sesuaikan tingkat
1. Verbalisasi mendengar aktivitas dan stimulasi lingkungan
bisikan menurun 3. Monitor isi halusinasi (mis:
2. Vernalisasi melihat kekerasan atau membahayakan diri)
bayangan menurun Terapeutik
3. Verbalisasi merasakan 1. Pertahankan lingkungan yang aman
sesuatu melalui indera 2. Lakukan Tindakan keselamatan
perabaan menurun Ketika tidak dapat mengontrol
4. Verbalisasi merasakan perilaku (mis: limit setting,
sesuatu melalui indera pembatasan wilayah, pengekangan
penciuman menurun fisik, seklusi)
5. Verbalisasi merasakan 3. Diskusikan perasaan dan respons
sesuatu melalui indera terhadap halusinasi
pengecapan menurun 4. Hindari perdebatan tentang validitas
6. Distorsi sensori menurun halusinasi
7. Perilaku halusinasi Edukasi
menurun 1. Anjurkan memonitor sendiri situasi
8. Respons sesuai stimulus terjadinya halusinasi
membaik 2. Anjurkan bicara pada orang yang
dipercaya untuk memberi dukungan
dan umpan balik korektif terhadap
halusinasi
3. Anjurkan melakukan distraksi (mis:
mendengarkan music, melakukan
aktivitas dan Teknik relaksasi)
4. Ajarkan pasien dan keluarga cara
mengontrol halusinasi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat
antipsikotik dan antiansietas, jika
perlu
Gangguan Setelah dilakukan asuhan Dukungan Mobilisasi (I. 05173)
mobilitas fisik keperawatan selama …x 24 Observasi
(D.0054) jam gangguan mobilitas 1. Identifikasi adanya nyeri atau
fisik meningkat dengan, keluhan fisik lainnya
kriteria hasil : (L.05042) 2. Identifikasi toleransi fisik
1. Pergerakan ekstremitas melakukan pergerakan
meningkat 3. Monitor frekuensi jantung dan
2. Kekuatan otot meningkat tekanan darah sebelum memulai
3. Rentang gerak (ROM) mobilisasi
meningkat 4. Monitor kondisi umum selama
melakukan mobilisasi
Terapeutik
1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
alat bantu (mis. pagar tempat tidur)
2. Fasilitasi melakukan pergerakan,
jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan
pergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
mobilisasi
2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (mis. duduk di
tempat tidur, duduk disisi tempat
tidur, pindah dari tempat tidur ke
kursi)
Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Infeksi (I.14539)
(D.0142) keperawatan selama ... x 24 Observasi
jam, diharapkan tingkat 1. Monitor tanda dan gejala infaksi
infeksi dapat menurun lokal dan sistemik
dengan kriteria hasil : Terapeutik
(L.14137) 1. Batasi jumlah pengunjung
1. Kebersihan tangan 2. Berikan perawatan kulit pada area
meningkat edema
2. Kebersihan badan 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah
meningkat kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
3. Kemerahan menurun
4. Pertahankan teknik aseptik pada
4. Nyeri menurun
pasien berisiko tinggi
5. Bengkak menurun Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Ajarkan etika batuk
3. Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
4. Ajarkan cara memeriksa kondisi
luka atau luka operasi
5. Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
6. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian imunisasi,
jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Aeni, N. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien yang Mengalami Cidera Otak
Sedang dengan Masalah Jaringan Perfusi Serebral di RSUD Bangil Pasuruan
Alam, Y. P. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Cidera Otak Sedang
dengan Masalah Nyeri Akut (Di Ruang MELATI RSUD Bangil Pasuruan).
http://repo.stikesicme- jbg.ac.id/id/eprint/4563%0Ahttp://repo.stikesicme-
jbg.ac.id/4563/1/KTI SEMHAS YUSUF .pdf
Alfian, L. W., Hunaifi, I., & Rosyidi, R. M. (2021). Manajemen Terkini Amnesia
Pasca Cedera Otak. 10(3), 572–580.
Hendra. (2021). Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Tn.K 
Dengan Medis diagnosa Cob Pots Op Craniotomy di ruang intensive
care unit ICU RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
Padila. (2019). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.
Pierre, L., dan Kondamudi, N.P. (2020). Subdural Hematoma. [Updated 2020 Aug
10]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.

PPDS Ilmu Bedah Saraf. (2016). Modul Trauma. Universitas Airlangga.


Rendy M. (2019). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit
Dalam.Yogyakarta: Nuha Medika.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai