Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA TN. M DENGAN DIAGNOSA MEDIS EPIDURAL


HEMATOMA DI RUANG ICU dr. Doris SYLVANUS
PALANGKA RAYA

Oleh :
Yoga Pratama
NIM : 2018.C.10a.0992

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2021/2022

i
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan Ini Disusun Oleh:


Nama : Yoga Pratama
NIM : 2018.C.10a.0992
Program Studi : S1 Keperawatan
Judul : “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Tn. M
dengan diagnosa medis Epidural Hematoma di ruang ICU dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya”.

Telah melaksanakan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk


menempuh Praktik Praklinik Keperawatan IV (PPK IV) Pada Program Studi
Sarjana Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

Laporan keperawatan ini telah disahkan oleh :

Pembimbing Lahan Pembimbing Praktik

Syamsudin, S.Kep., Ners Nia Pristina., S.Kep, Ners

Ketua Prodi Sarjana Keperawatan

Meilitha Carolina, Ners, M.Kep.

ii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan
Pendahuluan yang berjudul “Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan
pada Tn. M dengan diagnosa medis Epidural Hematoma di ruang ICU dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya”. Laporan pendahuluan ini disusun guna melengkapi
tugas Praktik Praklinik Keperawatan IV (PPK IV).
Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes., selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners, M.Kep., selaku Ketua Program Studi Sarjana
Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Ika Paskaria, S.Kep., Ners selaku Koordinator Praktik Pra Klinik
Keperawatan III Program Studi Sarjana Keperawatan.
4. Bapak Syamsudin, S.Kep., Ners selaku Pembimbing Lahan yang telah
banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian
asuhan keperawatan ini
5. Ibu Nia Pristina, S.Kep., Ners selaku Pembimbing Akademik yang telah
banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian
asuhan keperawatan ini.
6. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksaan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan
ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Palangka Raya, 6 Oktober 2021

(Penyusun)

iii
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN...................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................8
1.4 Manfaat......................................................................................................10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit.........................................................................................12
2.1.1 Definisi..................................................................................................12
2.1.2 Anatomi Fisiologi..................................................................................12
2.1.3 Etiologi..................................................................................................17
2.1.4 Patofisiologi (Pathway).........................................................................17
2.1.5 Manifestasi Klinis..................................................................................20
2.1.6 Komplikasi.............................................................................................20
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................21
2.1.8 Penatalaksanaan Medis..........................................................................21
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan..............................................................22
2.2.1 Pengkajian Keperawatan.......................................................................22
2.2.2 Diagnosa Keperawatan..........................................................................24
2.2.3 Intervensi Keperawatan.........................................................................25
2.2.4 Implementasi Keperawatan...................................................................32
2.2.5 Evaluasi Keperawatan...........................................................................32
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian..................................................................................................37
3.2 Diagnosa.....................................................................................................47
3.3 Intervensi....................................................................................................48
3.4 Implementasi..............................................................................................55
3.5 Evaluasi......................................................................................................55
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan.................................................................................................69
4.2 Saran...........................................................................................................70
DAFTAR PUSTAKA
SAP
LEAFLET
JURNAL

iv
BAB 1
PENDAHULUANN

1.1 Latar Belakang


Epidural Hematoma (EDH) adalah penumpukan darah di antara tulang
tengkorak dengan duramater, kejadiannya 1-5 % dari seluruh pasien cedera kepala
(Ndoumbe, 2016). Tanda gejala EDH adalah penurunan kesadaran diikuti oleh
lucid interval beberapa jam kemudian dan kadang disertai tanda neurologis fokal
(Ndoumbe, 2016). Cedera otak sekunder akibat epidural hematoma diakibatkan
iskemia atau hipoksia. Iskemia memungkinkan terjadinya penurunan ATP
sehingga mengakibatkan kegagalan pompa membran sel. Sel akan mati dan
menjadi bengkak (edema sitotoksik). Hipoksia menyebabkan kehilangan neuron
yang akan menimbulkan atropi kortek pada pasien. Hipoksia atau iskemia pada
cedera kepala berat mengakibatkan tekanan intrakranial akan meningkat sehingga
cerebral perfusion pressure akan berkurang. (Mendelow, 2010)
Dalam penelitian sebelumnya mortalitas pasien EDH berkisar 2,7 – 10,1 %
(Gupta, 2016; Bir, 2015). Terdapat faktor yang menimbulkan mortalitas meskipun
sudah dilakukan kraniotomi. Faktor tersebut seperti dilatasi pupil, nilai GCS
pasien awal, usia pasien, kecepatan penambahan volume perdarahan, serta ukuran
dan lokasi hematoma (Cheung, 2007).
Menurut Vik (2008), peningkatan tekanan intrakranial merupakan penyebab
utama menyebabkan kematian dan disabilitas pasien cedera kepala, peningkatan
TIK ini menimbulkan iskemia, herniasi serebral dan kematian. Tindakan
resusitasi, anamnesis, dan pemeriksaan fisik umum serta neurologis harus
dilakukan secara serentak (Mansjoer, 2012). Kraniotomi merupakan operasi untuk
membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan
memperbaiki kerusakan otak (Stocchetti, 2015). Kraniotomi merupakan tindakan
yang diindikasikan untuk mengatasi hematoma atau perdarahan otak,
pengambilan sel atau jaringan intrakranial yang mengganggu sistem neorologik
dan fisiologis, pembenahan letak anatomi intrakranial, dan mengatasi peningkatan
tekanan intrakranial yang tidak terkontrol (Wani, 2008).

5
Menurut RISKESDAS tahun 2016 jumlah penderita cedera kepala di
Sumatera Barat tepatnya di kota Padang menempati angka tertinggi yaitu 22%.
Berdasarkan data rekam medis RSUP Dr. M.Djamil Padang pada tahun 2018
sudah dilakukan kraniotomi evukuasi hematoma sebanyak 47 kasus atas indikasi
epidural hematoma dengan mortalitas yang cukup tinggi yaitu 36%. Di ICU
RSUP Dr. M.Djamil Padang, didapatkan data 2 bulan terakhir dari bulan Juli-
Agustus 2019 terdapat 108 orang pasien, diantaranya 26 orang pasien kraniotomi,
dan 8 orang pasien kraniotomi atas indikasi epidural hematoma.
Perawatan pasca bedah pada pasien kraniotomi dilakukan di ruang perawatan
intensif (ICU). Faktor yang memperburuk keadaan pasien pasca kraniotomi
selama di rawat di ICU seperti penurunan kesadaran, edema serebri, dilatasi pupil,
peningkatan tekanan intrakranial, kejang, demam, nyeri hebat, terjadinya cedera
lain akibat penggunaan alat-alat life support (ventilator, monitor, CVP, dan
lainnya), dan gangguan pernapasan akibat penggunaan sedasi selama proses
operasi dilakukan (Urban, 2010). Maka dibutuhkan dilakukannya monitoring
hemodinamik dan pernafasan yang intensif (Bir, 2015). Penatalaksanaan untuk
memperbaiki perfusi serebral dan perbaikan aliran darah ke otak, dengan cara
menurunkan tekanan intrakranial yang meningkat, mempertahankan volume
intravaskuler normal, memelihara MAP (Mean Arterial Blood Pressure) yang
normal, dan mempertahankan hiperventilasi (Urden, 2010).
Tindakan stabilisasi kardiovaskular dan fungsi pernapasan untuk
mempertahankan perfusi serebral adekuat, hemoragi terkontrol, hipovolemia
diperbaiki, dan nilai gas darah dipertahankan pada nilai yang diinginkan
(Smeltzer, 2008). Pasien pasca operasi biasanya diberi obat sedasi untuk
mengendalikan rasa sakit, gelisah, dan kejang yang berefek terjadinya penurunan
kesadaran dan ketidaknyamanan akan peralatan life support pada tubuh pasien
(Morton, 2009). Hal ini dapat memicu cedera lain yang dapat timbul akibat
ketidaktepatan selama mengawasi pasien. Sehingga dibutuhkan alat untuk
menjaga pasien dari resiko cedera atau komplikasi berkelanjutan dari
penatalaksaan perawatan yang dilakukan.
Restrain fisik adalah membatasi gerak yang bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan dan kondisi (misalnya, hipoksemia) atau mencegah komplikasi dengan

6
membatasi gerakan pasien atau akses ke tubuhnya (Gerald, 2003). Restrain
dibutuhkan untuk mencegah terjadinya cedera, hebat, terjadinya cedera lain
akibat penggunaan alat-alat life support (ventilator, monitor, CVP, dan lainnya),
dan gangguan pernapasan akibat penggunaan sedasi selama proses operasi
dilakukan (Urban, 2010). Maka dibutuhkan dilakukannya monitoring
hemodinamik dan pernafasan yang intensif (Bir, 2015). Penatalaksanaan untuk
memperbaiki perfusi serebral dan perbaikan aliran darah ke otak, dengan cara
menurunkan tekanan intrakranial yang meningkat, mempertahankan volume
intravaskuler normal, memelihara MAP (Mean Arterial Blood Pressure) yang
normal, dan mempertahankan hiperventilasi (Urden, 2010).
Tindakan stabilisasi kardiovaskular dan fungsi pernapasan untuk
mempertahankan perfusi serebral adekuat, hemoragi terkontrol, hipovolemia
diperbaiki, dan nilai gas darah dipertahankan pada nilai yang diinginkan
(Smeltzer, 2008). Pasien pasca operasi biasanya diberi obat sedasi untuk
mengendalikan rasa sakit, gelisah, dan kejang yang berefek terjadinya penurunan
kesadaran dan ketidaknyamanan akan peralatan life support pada tubuh pasien
(Morton, 2009). Hal ini dapat memicu cedera lain yang dapat timbul akibat
ketidaktepatan selama mengawasi pasien. Sehingga dibutuhkan alat untuk
menjaga pasien dari resiko cedera atau komplikasi berkelanjutan dari
penatalaksaan perawatan yang dilakukan.
Restrain fisik adalah membatasi gerak yang bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan dan kondisi (misalnya, hipoksemia) atau mencegah komplikasi dengan
membatasi gerakan pasien atau akses ke tubuhnya (Gerald, 2003). Restrain
dibutuhkan untuk mencegah terjadinya cedera, pencegahan pencabutan alat yang
tidak disengaja, dan pengendalian gelisah (Morton, 2009). Dalam penelitian Bir
(2015), telah menunjukkan bahwa restrain yang tidak tepat dapat mengakibatkan
cidera fisik dan psikologis pada pasien.
Restrain fisik mengacu pada pembatasan pergerakan pasien. Di unit
perawatan intensif (ICU), restrain fisik adalah metode yang kontroversial
digunakan untuk mengontrol perilaku pasien dengan delirium dan agitasi,
mencegah pasien mengeluarkan perangkat medis melekat pada tubuh mereka
(Kandeel, 2013). Dalam penelitian Acevedo (2018) menyatakan bahwa tanda vital

7
dan perangkat pendukung (tabung dan saluran) dapat dipertahankan tanpa
menggunakan pengekangan fisik pada pasien. Saat ini, metode baru sedang
dikembangkan untuk mengurangi penggunaan pengekangan fisik.
Studi telah memperkirakan prevalensi restrain fisik sebanyak 50 per 1000
pasien di 40 ICU di Amerika Serikat 10% dan 76% di Kanada (Rose, 2018). Di
Taiwan, penggunaan pengekangan fisik di ICU telah dilaporkan antara 39,1% dan
69,9% (Huang, 2009). Salah satu studi di Turki melaporkan bahwa 95% perawat
menerapkan restrain fisik (Akansel, 2007). Penelitian lain menunjukkan bahwa
tingkat penggunaan restrain fisik adalah 84,7% (Martin, 2005). Meskipun
penggunaan restrain fisik meluas, sebelumnya penelitian telah mengidentifikasi
masalah lain yang dapat muncul akibat penggunaan restrain. Masalah sirkulasi
adalah salah satunya komplikasi yang dapat dipengaruhi oleh durasi penggunaan
restrain dan jenis restrain yang digunakan (Konrad, 2005).

Dengan demikian pemeriksaan lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui latar


belakang terjadinya Epidural Hematoma. Epidural Hematoma disebabkan oleh
bermacam penyebab yang memerlukan perawatan spesifik juga. Tulisan ini akan
membahas tentang implikasi perawatan terkini dalam penatalaksanaan Epidural
Hematoma.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
masalah yaitu : Bagaimana pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan pada
Tn.M yang komprehensif dengan diagnosa medis Epidural Hematoma di ruang
ICU dr. Doris Sylvanus Palangka Raya?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulis studi kasus ini adalah untuk memberikan Asuhan
Keperawatan pada Tn. M dengan diagnosa medis Epidural Hematoma dengan
menggunakan proses keperawatan dari pengkajian sampai dengan evaluasi
keperawatan.
1.3.2 Tujuan Khusus

8
1.3.2.1 Mahasiswa dapat melengkapi Laporan Pendahuluan dan Asuhan
Keperawatan pada Tn. M dengan diagnosa medis Epidural Hematoma
1.3.2.2 Mahasiswa dapat mengidentifikasi pengkajian pada Tn. M dengan
diagnosa medis Epidural Hematoma di RSUD Dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya
1.3.2.3 Mahasiswa dapat merumuskan diagnosa pada Tn. M dengan diagnose
medis Epidural Hematoma di RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
1.3.2.4 Mahasiswa dapat merencanakan tindakan keperawatan sesuai dengan
masalah pada Tn. M dengan diagnosa medis Epidural Hematoma di RSUD
Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
1.3.2.5 Mahasiswa mampu mengimplementasikan rencana tindakan keperawatan
pada Tn. M dengan diagnosa medis Epidural Hematoma di RSUD Dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2.6 Mahasiswa mampu membuat evaluasi dari hasil tindakan keperawatan
yang dilakukan pada Tn. M dengan diagnosa medis Epidural Hematoma di
RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
1.3.2.7 Mahasiswa dapat mendokumentasikan hasil dari laporan pendahuluan dan
asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan pada Tn. M dengan diagnosa
medis Epidural Hematoma di RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan dengan menerapkan proses keperawatan dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Program Studi S1
Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya.
1.4.2 Bagi Klien dan Keluarga
Klien dan keluarga mengerti cara perawatan pada penyakit Epidural
Hematoma secara benar dan bisa melakukan keperawatan di rumah dengan
mandiri.
1.4.3 Bagi Institusi
1.4.3.1 Bagi Institusi Pendidikan

9
Sebagai sumber bacaan, referensi dan tolak ukur tingkat kemampuan
mahasiswa dalam penguasaan terhadap ilmu keperawatan dan pendokumentasian
proses keperawatan khususnya bagi mahasiswa STIKes Eka Harap dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Epidural
Hematoma sehingga dapat diterapkan di masa yang akan datang.
1.4.3.2 Bagi Institusi Rumah Sakit
Memberikan gambaran pelaksanaan Asuhan Keperawatan dan
Meningkatkan mutu pelayanan perawatan di Rumah Sakit kepada pasien dengan
Epidural Hematoma melalui Asuhan Keperawatan yang dilaksanakan secara
komprehensif.
1.4.4 Bagi IPTEK
Dengan adanya laporan studi kasus diharapkan dapat menimbulkan ide-ide
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang keperawatan
terutama penembangan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan dengan konsep
pendekatan proses pelayanan perawatan yang berguna bagi status kesembuhan
klien.

10
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Konsep penyakit
2.1.1 Definisi
Beberapa pengertian mengenai epidural hematoma (EDH) sebagai berikut:
 Epidural hematom adalah salah satu akibat yang ditimbulkan dari sebuah
trauma kepala (Greenberg et al, 2013).
 Epidural hematom adalah hematom/perdarahan yang terletak antara
durameter dan tubula interna/lapisan bawah tengkorak, dan sering terjadi
pada lobus temporal dan pareteral. Kadang-kadang, hematoma epidural
mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital
atau fossa posterior (Smeltzer&Bare, 2014).
 Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency
dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri
yang lebih besar,sehingga menimbulkan perdarahan (Anderson, 2015).

2.1.2 Anatoimi fisilogi


2.1.2.1 Anatomi

Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100 - 200 milyar sel aktif
yang saling berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan
intelektual kita. Otak terdiri dari sel - sel otak yang disebut neuron. Otak
merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi meskipun neuron - neuron
di otak mati tidak men- galami regenerasi kemampuan adaptif atau
plastisitas. Pada otak dalam situasi ter- tentu bagian - bagian otak dapat
mengambil alih fungsi dari bagian-bagian yang rusak. Otak sepertinya

11
belajar kemampuan baru. Ini merupakan mekanisme paling penting yang
berperan dalam pemulihan stroke (Feigin, 2006). Secara garis besar sistem
saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sis-
tem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla spinalis. Sistem saraf
disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari SST adalah
menghantarkan informasi bolak balik antara SSP dengan bagian tubuh
lainnya (Noback dkk, 2005). Otak merupakan bagian utama dari sistem
saraf dengan komponen bagi- annya adalah :

1) Cerebrum

Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang
hemisfer kanan dan kiri serta tersusun dari korteks. Korteks ditandai
dengan sulkus (celah) dan girus. Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus,
yaitu:

a) Lobus Frontalis Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi


intelektual yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak
dan nalar, bicara (ar- ea broca di hermisfer kiri), pusat penghidit dan
emosi. Bagian ini mengan- dung pusat pengontrolan gerakan
volunter di gyrus presentralis (area motor- ik primer) dan terdapat
area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah
broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga menga- tur
gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif
(Purves dkk, 2004).

b) Lobus Temporalis Lobus temporalis mencakup bagian korteks


serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura lateral dan sebelah
posterior dari fisura parieto-oksipitalis (White, 2008). Lobus ini
berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran dan
berperan dalam pembentukan dan perkembangan emosi.

c) Lobus Parietalis Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran


sensor- ik di gyrus post sentralis (area sensorik primer) untuk rasa
raba dan pen- dengaran (White, 2008).

d) Lobus Oksipitalis Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat

12
penglihatan dan area asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan
memproses rangsang penglihatan dari nervus optikus dan
mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain dan
memori (White, 2008)

e) Lobus Limbik Lobus limbik untuk mengatur emosi manusia, memori


emosi dan bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui
pengendalian atas susunan endokrin dan susunan autonom (White,
2008).

Gambar 2.1 Lobus dan cerebrum, (Sumber: White, 2008)

2) Cerebellum
Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih
banyak neu- ron dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki
peran koordinasi yang pent- ing dalam fungsi motorik yang
didasarkan pada informasi somatosensori yang diterima inputnya 40
kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum terdiri dari tiga
bagian fungsional yang berbeda yang menerima dan menyampaikan
in- formasi ke bagian lain dari sistem saraf pusat. Cerebellum

13
merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot.
Mengendalikan kontraksi otot otot volunter secara optimal. Bagian -
bagian dari cerebellum adalah lobus anteri- or, lobus medialis dan
lobus fluccolonodularis (Purves, 2004).

Gambar 2.2 Cerebellum, (Sumber: Raine, 2009)


3) Meningen Otak
Selaput otak (meningen) terdiri atas tiga lapisan yaitu:
1. Durameter
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat
tebal dan kuat, pada bagian tengkorak terdiri atas selaput (perios)
tulang tengkorak dan durameter tropia bagian dalam. Durameter
mengandung rongga yang mengalirkan darah dari vena otak, dan
dinamakan sinus vena.

Persarafan ini terutama berasal dari cabang nervus trigeminus, tiga


saraf servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan
nervus vagus. Reseptor-reseptor nyeri dalam duramater diatas
tentorium mengirimkan impuls melalui n.trigeminus, dan suatu nyeri
kepala dirujuk ke kulit dahi dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari
bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior berjalan melalui
tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang

14
kepala dan leher.

Pendarahan Duramater : Banyak arteri mensuplai duramater,


yaitu; arteri karotis interna, arteri maxillaries, arteri paringeal
asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Dari segi klinis,
yang paling penting adalah arteri meningea media, yang umumnya
mengalami kerusakan pada cedera kepala. Arteri meningea media
berasal dari arteri maxillaries dalam fossa temporalis, memasuki
rongga kranialis melalui foramen spinosum dan kemudian terletak
antara lapisan meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini
kemudian terletak antara lapisan meningeal dan endosteal
duramater. Arteri ini kemudian berjalan ke depan dan ke lateral
dalam suatu sulkus pada permukaan atas squamosa bagian os
temporale. Cabang anterior (frontal) secara mendalam berada dalam
sulkus atau saluran angulus antero-inferior os parietale,
perjalanannya secara kasar berhubungan dengan garis gyrus
presentralis otak di bawahnya. Cabang posterior melengkung kearah
belakang dan mensuplai bagian posterior duramater. Vena -vena
meningea terletak dalam lapisan endosteal duramater. Vena
meningea media mengikuti cabang-cabang arteri meningea media
dan mengalir kedalam pleksus venosus pterygoideus atau sinus
sphenoparietalis. Vena terletak di lateral arteri.
2. Arachnoidea
Arachnoidea yaitu selaput tipis yang membentuk sebuah balon
yang berisi cairan otak meliputi seluruh susunan saraf sentral, otak,
dan medulla spinalis. Arachnoidea berada dalam balon yang berisi
cairan. Ruang sub arachnoid pada bagian bawah serebelum
merupakan ruangan yang agak besar disebut sistermagna. Ruangan
tersebut dapat dimasukkan jarum kedalam melalui foramen magnum
untuk mengambil cairan otak, atau disebut fungsi sub oksipitalis.
Arachnoidea mater merupakan membran tidak permeable, halus,
menutupi otak dan terletak diantara pia mater di interna dan
duramater di eksterna. Arachnoidea mater dipisahkan dari duramater

15
oleh suatu ruang potensial, ruang subdural, terisi dengan suatu
lapisan tipis cairan, dipisahkan dari piamater oleh ruang
subarachnoidea, yang terisi dengan cairan serebrospinal. Permukaan
luar dan dalam arachnoidea ditutupi oleh sel-sel mesothelial yang
gepeng. Pada daerah-daerah tertentu, arachnoidea terbenam kedalam
sinus venosus untuk membentuk villi arachnoidalis. Villi
arachnoidalis bertindak sebagai tempat cairan serebrospinal berdifusi
kedalam aliran darah. Arachnoidea dihubungkan ke piamater oleh
untaian jaringan fibrosa halus yang menyilang ruang
subarachnoidea yang berisi cairan. Cairan serebrospinal dihasilkan
oleh pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga dan
keempat otak. Cairan ini keluar dari ventrikulus memasuki
subarachnoid, kemudian bersirkulasi baik kearah atas diatas
permukaan hemispherium serebri dan kebawah disekeliling medulla
spinalis.
3. Piameter
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak.
Piameter berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan
ikat. Tepi flak serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan
sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari flak serebri
tentorium memisahkan serebrum dengan serebelum.
Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang ditutupi
oleh sel-sel mesothelial gepeng. Secara erat menyokong otak,
menutupi gyri dan turun kedalam sulki yang terdalam. Piamater
meluas keluar pada saraf-saraf cranial dan berfusi dengan epineurium.
Arteri serebralis yang memasuki substansi otak membawa sarung pia
mater bersamanya. Piamater membentuk tela choroidea dari atap

16
ventrikulus otak ketiga dan keempat, dan berfusi dengan ependyma
untuk membentuk pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis,
ketiga, dan keempat otak.

17
18

2.1.3 Etiologi
Epidural hematom terjadi karena laserasi atau robekan pembuluh darah
yang ada diantara durameter dan tulang tengkorak akibat benturan yang
menyebabkan fraktur tengkorak seperti kecelakaan kendaraan dan trauma
(Japardi, 2015). Perdarahan biasanya bersumber dari robeknya arteri meningica
media (paling sering), vena diploica (karena fraktur kalvaria), vena emmisaria,
dan sinus venosus duralis (Bajamal, 2017).

2.1.3.1 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang biasanya dijumpai pada orang yang menderita
epidural hematom diantaranya adalah mengalami penurunan kesadaran sampai
koma secara mendadak dalam kurun waktu beberapa jam hingga 1-2 hari, adanya
suatu keadaan “lucid interval” yaitu diantara waktu terjadinya trauma kepala dan
waktu terjadinya koma terdapat waktu dimana kesadaran penderita adalah baik,
tekanan darah yang semakin bertambah tinggi, nadi semakin bertambah lambat,
sakit kepala yang hebat, hemiparesis, dilatasi pupil yang ipsilateral, keluarnya
darah yang bercampur CSS dari hidung (rinorea) dan telinga (othorea), susah
bicara, mual, pernafasan dangkal dan cepat kemudian irregular, suhu meningkat,
funduskopi dapat memperlihatkan papil edema (setelah 6 jam kejadian), dan foto
rontgen menunjukan garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalan arteri
meningea media atau salah satu cabangnya (Greenberg et al, 2013).

2.1.4 Patofosiologi
Epidural hematom secara khas timbul sebagai akibat dari sebuah luka atau
trauma atau fraktur pada kepala yang menyebabkan laserasi pada pembuluh darah
arteri, khususnya arteri meningea media dimana arteri ini berada diantara
durameter dan tengkorak daerah temporal. Rusaknya arteri menyebabkan
perdarahan yang memenuhi epidural. Apabila perdarahan terus mendesak
durameter, maka darah akan memotong atau menjauhkan daerah durameter
dengan tengkorak, hal ini akan memperluas hematoma. Perluasan hematom akan
menekan hemisfer otak dibawahanya yaitu lobus temporal ke dalam dan ke

18
19

bawah. Seiring terbentuknya hematom maka akan memberikan efek yang cukup
berat yakni isi otak akan mengalami herniasi. Herniasi menyebabkan penekanan
saraf yang ada dibawahnya seperti medulla oblongata yang menyebabkan
terjadinya penurunan hingga hilangnya kesadaran. Pada bagian ini terdapat nervus
okulomotor yang menekan saraf sehingga menyebabkan peningkatan TIK,
akibatnya terjadi penekanan saraf yang ada diotak (Japardi, 2015 dan Mcphee et
al, 2014).

19
Patway Epidural Hematoma

Non Trauma Trauma

Ekstra Kranial Tulang Kranial Intra Kranial

Terputusnya kontinuitas jaringan kulit, Jaringan otak rusak


otot, dan vaskular (kontusio laserasi

Gangguan suplai darah Meningkatkan


Perdarahan Port de entry kuman  Perubahan autoregulasi
mediator nyeri
 Oedem serebral

Risiko Perubahan Risiko infeksi


Iskemia Nyeri akut kejang
syok sirkulasi
CSS
Penurunan RR
Hipoksia Jaringan Gangguan neurologis Inflamasi
Pola nafas vokal
Peningkatan TIK
 Mual Risiko ketidakefektifan tidak efektif
 Papilodema perfusi jaringan otak Defisit neurologis Pelepasan mediator kimia
Gilus medialis lobus  Pandangan kabur
temporalis tergeser  Penurunan fungsi
pendengaran Gangguan persepsi Eksudat purulen
Risiko kekurangan
Herniasi unkus  Nyeri kepala sensori
volume cairan
Akumulasi sekret

Mesenfalon
Kompresi medula Ketidakefektifan
Risiko Cidera Tonsil cerebrum
oblongata bersihan jalan nafas
Gangguan
Imobilisasi Hambatan mobilitas Supine terlalu lama Kerusakan integritas kulit
fisik
20
2.1.5 Manifestasi klinis
1. Penurunan kesadaran sampai koma
2. Keluarnya darah yang bercampur CSS/cairan serebrospinal dari hidung
(rinorea) dan telinga (othorea)
3. Nyeri kepala yang berat
4. Susah bicara
5. Dilatasi pupil dan ptosis
6. Mual
7. Hemiparesis
8. Pernafasan dalam dan cepat kemudian dangkal irregular
9. Battle sign
10. Peningkatan suhu
11. Lucid interval (mula-mula tidak sadar lalu sadar dan kemudian
tidak sadar).

2.1.6 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada cedera kepala menurut Wijaya (2013) yaitu :
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang beberapa waktu
setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang ini terjadi
sekitar 10℅ penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya
luka tembus dan pada sekitar 40℅ penderita yang memiliki luka tembus di
kepala.
2. Edema Paru
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah
edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis atau
akibat dari sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat
dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing.
Peningkatan pada tekanan darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem
saraf simpatis pada peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh
umum ini menyebabkan lebih bnyak darah dialirkan ke paru-paru.
Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru-paru berperan dalam proses
dengan memungkinkan cairan berpindah ke dalam alveolus. Kerusakan
difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut (Hudak dan Gallo 2010).
3. Afasia

21
Adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena
terjadinya cedera pada area bahasa dan otak. Penderita tidak mampu
memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang
mengendalikan fungsi bahasa adalah Lobus Temprolis sebelah kiri dan
bagian lobus frontalis di sebelahnya.
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doengoes (2015), pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan
pada kasus epidural hematom yaitu sebagai berikut:
1. CT Scan : untuk mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler pergeseran otak. CT Scan merupakan pilihan primer dalam
hal mengevaluasi trauma kepala. Sebuah epidural hematom memiliki
batas yang kasar dan penampakan yang bikonveks pada CT Scan dan
MRI. Tampakan biasanya merupakan lesi bikonveks dengan densitas
tinggi yang homogen, tetapi mingkin juga tampok sebagai ndensitas yang
heterogen akibat dari pencampuran antara darah yang menggumpal dan
tidak menggumpal.
2. MRI : memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih
jelas karena mampu melakukan pencitraan dari berbagai posisi apalagi
dalam pencitraan hematom dan cedera batang otak.
3. Angiografi serebral : untuk menunjukan kelainan sirkulasi serebral seperti
pergeseran jaringan otak karena edema dan trauma.
4. EEG : untuk memperlihatkan gelombang patologis.
5. Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan/edema), dan
adanya fragmen tulang.
6. BAER (brain auditory evoked respons) : untuk menentukan fungsi
korteks dan batang otak.
7. PET (positron emmision topography): untuk menunjukan metabolisme
otak.
8. Pungsi lumbal : untuk menduga kemungkinan perdarahan subarachnoid.
9. AGD : untuk melihat masalah ventilasi/oksigenasi yang meningkatkan
TIK.

2.1.9 Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan epidural hematom terdiri dari:

a. Terapi Operatif.
Terapi operatif bisa menjadi penanganan darurat yaitu dengan melakukan

22
kraniotomi. Terapi ini dilakukan jika hasil CT Scan menunjukan volume
perdarahan/hematom sudah lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari 1 cm
atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm.
Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom untuk menghentikan
sumber perdarahansedangkan tulang kepala dikembalikan. Jika saat
operasi tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak
dikembalikan (Bajamal, 1999).
b. Terapi Medikamentosa.
Terapi medikamentosa dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. mengelevasikan kepala pasien 30o setelah memastikan tidak ada


cedera spinal atau posisikan trendelenburg terbalik untuk
mengurangi TIK.
2. Berikan dexametason (pemberian awal dengan dosis 10 mg
kemudian dilanjutkan dengan dosis 4 mg setiap 6 jam).
3. Berikan manitol 20% untuk mengatasi edema serebri.
4. Berikan barbiturat untuk mengatasi TIK yang meninggi.

2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
1. Anamnesa
Identitas meliputi : Nama, jenis kelamin, umur : EDH biasanya sering terjadi
pada usia produktif dihubungkan dengan angka kejadian kecelakaan yang
rata-rata sering dialami oleh usia produktif, pekerjaan, pendidikan, status
perkawinan, agama, kebangsaan, suku, alamat, tanggal dan jam MRS, no
register, serta identitas yang bertanggung jawab.
Keluhan Utama : keluhan utama biasanya nyeri kepala setelah kecelakaan,
dapat menjadi lucid interval (kehilangan kesadaran secara mendadak) ketika
EDH tidak ditangani dengan segera.
2. Riwayat penyakit sekarang : Berisi tentang kejadian yang mencetuskan EDH,
kondisi paseien saat ini serta uapaya yang sudah dilakukan pada pasien.
3. Riwayat penyakit dahulu :
Terdiri dari penyakit yang pernah dialami, alergi, imunisasi, kebiasaan/pola
hidup, obat-obatan yang digunakan
4. Riwayat penyakit keluarga : Tanyakan pada keluarga pasien tentang apakah
di dalam keluarga ada yang menderita penyakit yang diderita oleh pasien
5. Genogram

23
6. Pengkajian keperawatan ( 11 Pola Gordon)
7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum, tanda vital
b. Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas
berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinana karena aspirasi),
cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
c. Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia,takikardia yang diselingi dengan
bradikardia,disritmia).
d. Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran,
baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak
akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
a) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori).
b) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
c) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada
mata.
d) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Pengkajian saraf kranial :
Pengkajian saraf kranial yang ditemui pada Epidural Hematom :

1. Saraf I : klien akan mengalami gangguan penciuman/anosmia

24
unilateral dan bilateral
2. Saraf II : klien yang mengalami hematom palpebra akan
mengalami penurunan lapang pandang dan mengganggu fungsi
saraf optikus
3. Saraf III, IV, dan VI : klien mengalami gangguan anisokoria

4. Saraf V : klien mengalami gangguan koordinasi kemampuan


dalam mengunyah
5. Saraf VII : persepsi pengecapan mengalami perubahan

6. Saraf VIII ; pendengaran mengalami perubahan

7. Saraf IX dan X : kemampuan menelan kurang baik dan


kesulitan dalam membuka mulut
8. Saraf XI : klien tidak mampu mobilisasi
9. Saraf XII : indra pengecapan mengalami perubahan
e. Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
f. Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera.
Gangguanmenelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
g. Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat
pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis
yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di
otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan
tonus otot
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Risiko Perfusi Jaringan Serebral tidak efektif berhubungan dengan
Penurunan aliran darah ke otak (D.0017) Hal.51
2. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan Kerusakan neuromuskuler
(D.0005) Hal.26
3. Nyeri Akut berhubungan dengan Terputusnya kontinuitas jaringan,
penekanan reseptor nyeri (D.0077) Hal.172
4. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan Akumulasi secret
(D.0001) Hal.18

25
5. Resiko Cedera berhubungan dengan Penurunan kesadaran (D.0136) Hal.
294
6. Risiko Infeksi berhubungan dengan Port de entry kuman (D.0142) Hal. 304
7. Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan Penurunan kesadaran dan
motoric (D.0109) Hal. 240

26
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Perencanaan keperawatan pada klien dengan Epidural Hematoma menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI, 2018) meliputi :
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi
1. Risiko Perfusi Jaringan Setelah dilakukan Intervensi 1x7 Jam Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial (SIKI I.06194 Hal. 205)
Serebral tidak efektif maka Perfusi Perifer Serebral Observasi :
berhubungan dengan membaik, dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. Lesi, gangguan metabolisme, edema
Penurunan aliran darah ke (SLKI L.02014 Hal.86) serebral)
otak (D.0017) Hal.51 2. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. Tekanan darah meningkat,tekanan nadi
1) Tingkat kesadaran meningkat (5) melebar, bradikardia, pola napas ireguler, kesadaran menurun)
2) Tekanan intra kranial menurun 3. Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
(5) 4. Monitor CVP (Central Venous Pressure), jika perlu
3) Sakit kepala menurun (5) 5. Monitor PAWP, jika perlu
4) Agitasi menurun (5) 6. Monitor PAP, jika perlu
5) Demam menurun (5) 7. Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika tersedia
6) Tekanan darah sistolik membaik 8. Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)
(5) 9. Monitor gelombang ICP
7) Tekanan darah diastolik membaik 10.Monitor status pernapasan
(5) 11.Monitor intake cairan dan output cairan
8) Gelisah Menurun (5) 12.Monitor cairan serebro-spinalis (mis. Warna, konsistensi)
9) Kecemasan Menurun (5) Terapeutik :
10) Kognitif Meningkat (5) 2. Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
3. Berikan posisi semi fowler
4. Hindari manuver Valsava
5. Cegah terjadinya kejang
6. Hindari penggunaan PEEP
7. Hindari pemberian IV hipotonik
8. Atur ventilator agar PaCO2 optimal
9. Pertahankan suhu tubuh normal

27
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu
3. Kolaborasai pemberian pelunak tinja, jika perlu
2. Pola Nafas Tidak Efektif Setelah dilakukan intervensi 1 x 7 Manajemen Jalan Nafas (SIKI I. 01011 Hal.186)
jam maka jalan napas klien Observasi :
berhubungan dengan
membaik, dengan kriteria hasil: 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
Kerusakan neuromuskuler (SLKI L.01004 Hal.95) 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing, ronkhi kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
(D.0005) Hal.26 1. Ventilasi semenit meningkat (5) Terapeutik :
2. Kapasitas vital meningkat (5) 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika
3. Diameter toraks anterior-posterior curiga trauma cervical)
meningkat (5) 2. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
4. Tekanan aspirasi meningkat (5) 3. Berikan minum hangat
5. Tekanan inspirasi meningkat (5) 4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
6. Dipsnue menurun (5) 5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
7. Penggunaan otot bantu napas 6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum
menurun (5) 7. Penghisapan endotrakeal
8. Pemanjangan fase ekspirasi 8. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
menurun (5) 9. Berikan oksigen, jika perlu
9. Ortopnea menurun (5) Edukasi :
10. Pernapasan pursed-lip menurun 1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
(5) 2. Ajarkan teknik batuk efektif
11. Pernapasan cuping hidung Kolaborasi :
menurun (5) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
12. Frekuensi napas membaik (5)
13. Kedalaman napas membaik
(5)
14. Ekskursi dada membaik (5)

28
Setelah dilakukan Intervensi 1x7 Jam Manajemen Nyeri (SIKI I.08238 Hal.201)
3 Nyeri Akut berhubungan
maka Nyeri Klien menurun, dengan Observasi :
dengan Terputusnya Kriteria Hasil : 1. Indetifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
(SLKI L.08066 Hal.145) 2. Identifikasi skala nyeri
kontinuitas jaringan,
1. Keluhan Nyeri Menurun (5) 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
penekanan reseptor nyeri 2. Gelisah Menurun (5) 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
3. TTV Membaik (5) 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
(D.0077) Hal.172
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik :
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
2. Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

4. Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan intervensi 1 x 7 Manajemen Jalan Nafas (SIKI I. 01011 Hal.186)

29
efektif berhubungan dengan jam maka jalan napas klien Observasi :
membaik, dengan kriteria hasil: 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
Akumulasi secret (D.0001)
(SLKI L.01004 Hal.95) 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing, ronkhi kering)
Hal.18 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
1. Ventilasi semenit meningkat (5) Terapeutik :
2. Kapasitas vital meningkat (5) 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika
3. Diameter toraks anterior- curiga trauma cervical)
posterior meningkat (5) 2. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
4. Tekanan aspirasi meningkat (5) 3. Berikan minum hangat
5. Tekanan inspirasi meningkat (5) 4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
6. Dipsnue menurun (5) 5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
7. Penggunaan otot bantu napas 6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum
menurun (5) 7. Penghisapan endotrakeal
8. Pemanjangan fase ekspirasi 8. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
menurun (5) 9. Berikan oksigen, jika perlu
9. Ortopnea menurun (5) Edukasi :
10. Pernapasan pursed-lip menurun 1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
(5) 2. Ajarkan teknik batuk efektif
11. Pernapasan cuping hidung Kolaborasi :
menurun (5) 1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
12. Frekuensi napas membaik (5)
13. Kedalaman napas membaik (5)
14. Ekskursi dada membaik (5)
Setelah dilakukan Intervensi 1x7 Jam Pencegahan Cedera (SIKI I.14537 Hal. 275)
5. Risiko Cedera berhubungan
maka Risiko Cedera membaik, Observasi :
dengan Penurunan kesadaran dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi area lingkungan yang berpotensi menyebabkan cedera
(SLKI L.14136 Hal.135) 2. Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cedera
(D.0136) Hal. 294
Terapeutik :
1. Pola Istirahat/Tidur Membaik (5) 1. Sediakan pencahayaan yang memadai

30
2. Frekuensi Nadi Membaik (5) 2. Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan lingkungan ruang rawat (mis. penggunaan
3. Frekuensi Napas Membaik (5) telepon,tempat tidur, penerangan ruangan dan lokasi kamar mandi
4. Ekspresi Wajah Kesakitan 3. Sediakan pispot atau urinal untuk eliminasi tempat tidur, jika perlu
Menurun (5) 4. Pastikan bel panggilan atau telepon mudah dijangkau
5. Kejadian Cedera Menurun (5) 5. Pertahankan posisi tempat tidur di posisi terendah saat digunakan
6. Fraktur Menurun (5) 6. Pastikan roda tempat tidur atau kursi roda dalam keadaan terkunci
7. Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan kebijakan fasilitas pelayanan
kesehatan
8. Diskusikan bersama keluarga yang dapat mendampingi pasien
Edukasi :
1. Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien dan keluarga
2. Anjurkan bergantian posisi secara perlahan dan duduk selama beberapa menit
sebelum berdiri
Setelah dilakukan Intervensi 1x7 Jam Pencegahan Infeksi (SIKI I.14539 Hal.278)
6. Risiko Infeksi berhubungan
maka Risiko Infeksi menghilang Observasi :
dengan Port de entry kuman dengan kriteria hasil : 1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
(SLKI L.14137 Hal.139) Terapeutik
(D.0142) Hal. 304
1. Kebersihan badan 1. Batasi jumlah pengunjung
Meningkat (5) 2. Berikan perawatan kulit pada area edema
2. Nyeri menurun (5) 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
3. Kemerahan Menurun (5) 4. Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
4. Bengkak menurun (5) Edukasi
5. Kultur area luka Membaik (5) 1. Jelaskan tandan dan gejala infeksi
2. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
3. Ajarkan etika batuk
4. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
5. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
6. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi

31
1. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
Setelah dilakukan Intervensi 1x7 Jam Dukungan Perawatan Diri (SIKI I.11348 Hal.36)
7. Defisit Perawatan Diri
maka Perawatan diri pasien bersih Observasi :
berhubungan dengan dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai diri
(SLKI L.11103 Hal.81) 2. Monitor tingkat kemandirian
Penurunan kesadaran dan
1. Mempertahankan kebersihan diri 3. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian,berhias, dan makan
motoric (D.0109) Hal. 240 Meningkat (5) Terapeutik
2. Mempertahankan kebersihan 1. Siapkan keperluan pribadi (mis. parfum, sikat gigi, dan sabun mandi
mulut Meningkat (5) 2. Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak mampu melakukan perawatan diri
3. Minat melakukan perawatan diri 3. Jadwalkan rutinitas perawatan diri
Meningkat (5) Edukasi
1. Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai kemampuan

32
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan yang
pelaksanaannya berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada
langkah sebelumnya (intervensi). Implementasi atau tindakan adalah pengelolaan
dan perwujudan dan rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap
perencanaan. Pada tahap ini, perawat sebaiknya tidak bekerja sendiri, tetapi perlu
melibatkan secara integrasi semua profesi kesehatan yang menjadi tim perawatan
(Setiadi, 2010).

2.2.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana
evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan
pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya. Tahap evaluasi menentukan
kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil yang diinginkan dan respon pasien
terhadap keefektifan intervensi keperawatan, kemudian mengganti rencana
perawatan jika diperlukan. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah
tujuan dalam rencana keperawatan tercapai dengan baik atau tidak dan untuk
melakukan pengkajian ulang.

32
33

Anda mungkin juga menyukai