Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN PERIOPERATIF
CLEFT LIP AND PALATE ( CLP)

Oleh:
ROISATUL HUSNIYAH
NIM 1401460017

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN MALANG
2018
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Cleft Lip and Palate ( CLP) adalah kelainan bawaan yang timbul pada saat pembentukan
janin sehingga ada celah antara kedua sisi bibir hingga langit langit dan bahkan cuping
hidung. Dalam bahasa indonesia, kelainan ini sering disebut dengan bibir sumbing.
Kelainan ini dapat berupa celah pada bibir ( cleft lip), celah pada palatum atau langit langit
mulut ( cleft palate), atau gabungan dari keduanya ( cleft lip and palate). Kelainan ini
disebabkan oleh kelainan genetik yang berpengaruh pada tahap pembentukan embrio,
sehingga terdapat kelainan yang muncul setelah kelahiran. CLP adalah kelainan
multifaktoral, jadi kemunculannya dipengaruhi oleh faktor gen dan lingkungan. 

B. Penyebab
Penyebab terjadinya labioscisis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan ilmuwan
berpendapat bahwa labioscisis muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor genetik dan
faktor-faktor lingkungan. Di amerika serikat dan bagian barat eropa, para peneliti
melaporkan bahwa 40 % orang yang mempunyai riwayat keluarga labioscisis akan
mengalami labioscisis. Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan labioscisis
meningkat bila keturunan garis pertama ( ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai riwayat
labioscisis. Ibu yang mengkonsumsi alkohol dan narkotika kekurangan vitamin( terutama
asam folat) selama trimester pertama kehamilan, atau menderita diabetes akan lebih
cenderung melahirkan bayi / anak dengan labioscizis.
Menurut Mansjoer dan kawan kawan, hipotesis yang diajukan antara lain :
 Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional dalam hal
kuantitas ( pada gangguan sirkulasi feto- maternal) dan kualitas ( defisiensi asam folat,
vitamin c dan Zn)
 Penggunaan obat teratologik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal
 Infeksi, terutama pada infeksi toxoplasma dan klamidia
 Faktor genetik kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena
tidak terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu
( prosessus nasalis dan maksilaris ) pecah kembali.

C. Pathofisiologi
Menurut Dr. Dharma PTR Maluegha, SpBP terbentuknya celah terbagi oleh beberapa teori
yaitu :
1. Teori His dan Drusy mengatakan karena kegagalan bertemunya prominentia-
prominentia disekitar mulut yang terjadi pada trimester pertama kehamilan. Stark
mengatakan bahwa prominentia tersebut pasti bergabung, namun kemudian ada
kegagalan fusi ( tidak sempurna) masuknya mesoderm yang berasal dari neuro-
ectoderm kedalam prominentia tersebut. Akibatnya lapisan ectoderm yang tidak
didukung mesoderm akan pecah kembali baik seluruhnya maupun sebagian.
2. Teori Fusi merupakan teori klasik, akhir minggu ke 6 awal minggu ke-7. Procesus
maxillaris berkembang ke arah depan garis median, mendekati processus nasomedialis
kemudian bersatu.
3. Teori Hambatan perkembangan disebut juga teori penyusupan dari mesoderm.
Mesoderm mengadakan penyusupan menyebrangi celah sehingga bibir atas
berkembang normal ( Victor Veau dan Hochteter)
4. Teori mesodermal. Minggu ke 2 kehamilan, membrane brankhial memerlukan jaringan
mesodermal yang bermigrasi melalui puncak kepala dan kedua sisi kearah muka.

D. Klasifikasi
1. Klasifikasi yang diusulkan oleh Veau dibagi dalam 4 golongan yaitu :
 Golongan I : celah pada langit langit lunak
 Golongan II : celah pada langit- langit lunak dan keras dibelakang
foramen insisivum
 Golongan III : celah pada langit- langit lunak dan keras mengenai tulang
alveolar dan bibir pada satu sisi
 Golongan IV : celah pada langit langit lunak dan keras mengenai tulang
alveolar dan bibir pada dua sisi

Ket: A. celah pada langit langit lunak, B. celah pada langit- langit lunak dan keras
dibelakang foramen insisivum, C. celah pada langit- langit lunak dan keras mengenai
tulang alveolar dan bibir pada satu sisi, D. celah pada langit langit lunak dan keras
mengenai tulang alveolar dan bibir pada dua sisi ( young & greg. Cleft lip and
palate, 2011)

2. Klasifikasi dari American Cleft Association (1962) yaitu :


a. Celah langit langit primer
 Celah bibir : Unilateral, median atau bilateral dengan derajat luas celah 1/3,2/3,
dan 3/3
 Celah alveolar dengan segala variasinya
b. Celah langit langit sekunder
 Celah langit- langit lunak dengan variasinya
 Celah langit langit keras dengan variasinya
c. Celah mandibula
3. Klasifikasi celah bibir dan celah langit langit menurut Kernahan dan Stark (1958)
yaitu:
 Group I : celah langit langit primer. Dalam grup ini termasuk celah bibir, dan
kombinasi celah bibir dengan celah pada tulang alveolar. Celah terdapat dimuka
foramen insisivum
 Group II : celah yang terdapat dibelakang foramen insisivum. Celah langit langit
lunak dan keras dengan variasinya. Celah langit langit sekunder
 Group III : kombinasi celah langit langit primer dengan langit langit sekunder

Ket: (A) Celah bibir unilateral tidak komplit, (B) Celah bibir unilateral (C) Celah bibir
bilateral dengan celah langit-langit dan tulang alveolar, (D) Celah langit-langit.
(Stoll et al. BMC Medical genetics.2004, 154.)
E. Tanda dan gejala
Manifestasi klinis dari kelainan labioschisis antara lain :
1. Masalah asupan makanan
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita labioschisis. Adanya
labioscisis memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada payudara
ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labioschisis mungkin dapat
meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah
reflek hisap dan reflek menelan pada bayi dengan labioscisis tidak sebaik bayi normal,
dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu. Memegang bayi
dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu proses menyusu bayi. Menepuk-
nepuk punggung bayi secara berkala juga daapt membantu. Bayi yang hanya menderita
labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum biasanya dapat menyusui, namun
pada bayi dengan labioplatoschisis biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus.
Dot khusus (cairan dalam dot ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat
untuk bayi dengan labio-palatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian makan/
asupan makanan tertentu.
2. Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labioschisis mungkin mempunyai masalah tertentu yang
berhubungan dengan kehilangan, malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada arean
dari celah bibir yang terbentuk.
3. Infeksi telinga
Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga karena
terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan
dan penutupan tuba eustachius.
4. Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas pada
perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak dapat
menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas
nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of 6 speech). Meskipun telah dilakukan
reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/ rongga
nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal. Penderita
celah palatum memiliki kesulitan bicara, sebagian karena palatum lunak cenderung
pendek dan kurang dapat bergerak sehingga selama berbicara udara keluar dari hidung.
Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g,
s, sh, dan ch", dan terapi bicara (speech therapy) biasanya sangat membantu.

F. Penatalaksanaan
Idealnya, anak dengan labioschisis ditatalaksana oleh “tim labio-palatoschisis” yang
terdiri dari spesialistik bedah, maksilofasial, terapis bicara dan bahasa, dokter gigi,
ortodonsi, psikolog, dan perawat spesialis. Perawatan dan dukungan pada bayi dan
keluarganya diberikan sejak bayi tersebut lahir sampai berhenti tumbuh pada usia kira-kira
18 tahun. Tindakan pembedahan dapat dilakukan pada saat usia anak 3 bulan.

Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschisis yaitu :


1. Tahap sebelum operasi
Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh bayi menerima
tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan yang
dicapai dan usia yang memadai. Patokan yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi
umur > 10 minggu ( 3 bulan), > 10 pon (5 kg),> 10 g/dl, leukosit > 10.000/ul. jika bayi
belum mencapai rule of ten ada beberapa nasehat yang harus diberikan pada orang tua
agar kelainan dan komplikasi yang terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi
minum harus dengan dot khusus dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar
sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi
tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot
dengan besar lubang khusus ini tidak tersedia bayi cukup diberi minum dengan bantuan
sendok secara perlahan dalam posisi setengah duduk atau tegak untuk menghindari
masuknya susu melewati langit-langit yang terbelah.
Selain itu celah pada bibir harus direkatkan dengan menggunakan plester khusus non
alergenik untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak terlalu jauh akibat proses
tumbuh kembang yang menyebabkan menonjolnya gusi kearah depan (protrusio pre
maxilla) akibat dorongan lidah pada prolabium , karena jika hal ini terjadi tindakan
koreksi pada saat operasi akan menjadi sulit dan secara kosmetika hasil akhir yang
didapat tidak sempurna. Plester non alergenik tadi harus tetap direkatkan sampai waktu
operasi tiba.
2. Tahap sewaktu operasi
Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang diperhatikan adalah
soal kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan
oleh seorang ahli bedah Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah
usia 3 bulan. Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6
bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka pengucapan huruf
bibir sudah terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi pengucapan huruf bibir
tetap menjadi kurang sempurna.
Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 – 20 bulan mengingat
anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah. Palatoplasty dilakukan
sedini mungkin (15-24 bulan) sebelum anak mulai bicara lengkap sehingga pusat bicara
di otak belum membentuk cara bicara. Kalau operasi dikerjakan terlambat, sering hasil
operasi dalam hal kemampuan mengeluarkan suara normal atau tidak sengau sulit
dicapai. Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakan
speech teraphy karena jika tidak, setelah operasi suara sengau pada saat bicara tetap
terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme
kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila gusi juga terbelah
(gnatoschizis) kelainannya menjadi labiognatopalatoschizis, koreksi untuk gusi
dilakukan pada saat usia 8–9 tahun bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi.
3. Tahap setelah operasi.
Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari tiap-
tiap jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan
memberikan instruksi pada orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir sumbing
luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap menggunakan sendok atau dot khusus
untuk memberikan minum bayi. Banyaknya penderita bibir sumbing yang datang ketika
usia sudah melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk
keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap
terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan
speech teraphy pun tidak banyak bermanfaat.
Pre Operasi

Predisposisi Infeksi
(genetic, hormonal, (rubella, etyomegali
factor obat) virus, toxcoplasma)

Kegagalan perkembangan jaringan


lunak dan tulang pada trimester 1

Lobioskizis
Palatoskizis

Kegagalan penyatuan
prosessus Nasal Medial Kegagalan penyatuan
dan maksilaris susunan palato

Terbelahnya bibir Terbelahnya


palatum
Pada hidung Pembedahan

Pada bibir
Ketidaksempurnaan Ansietas
pembentrukan
rongga hidung
Kemampuan
menghisap lemah Kurang Resiko infeksi
pengetahuan
Penumpukan
sekret
Kegagalan
menghisap ASI
Post Operasi
Bersihan jalan
nafas tidak
Post operasi
Nutrisi kurang efektif
dari kebutuhan

Pembedahan Efek Anestesi

Terputusnya kontinuitas General

jaringan
Penurunan Kesadaran

Terputusnya kontinuitas Port de entry

saraf Ketidakmampuan Ketidakmampuan


mikroorganisme
Pelepasan mediator memposisikan mengontrol
Risiko infeksi
inflamasi kepala gerakan
Nyeri Akut Obstruksi Risiko Cedera

airway

Ketidakefektifan

Bersihan Jalan

Napas
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Asuhan keperawatan perioperatif terdiri dari 3 tahap yaitu mempunyai pra, intra dan pasca
operative, dimana perawat mempunyai peran integral dalam rencana asuhan kolaboratif
dengan pembedahan.
1. Perawatan Preoperatif
 Kelengkapan rekam medis dan status
 Memeriksa kembali persiapan pasien
 Informed concent
 Menilai keadaan umum dan TTV
 Memastikan pasien dalam keadaan puasa
Pada fase preoperatif ini perawat akan mengkaji kesehatan fisik dan emosional klien,
mengetahui tingkat resiko pembedahan, mengkoordinasi berbagai pemeriksaan
diagnostik, mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang mengambarkan kebutuhan
klien dan keluarga, mempersiapkan kondisi fisik dan mental klien untuk pembedahan.
2. Perawatan Intraoperatif
 Melaksanakan orientasi pada pasien
 Melakukan fiksasi
 Mengatur posisi pasien
 Menyiapkan bahan dan alat
 Drapping
 Membantu melaksanakan tindakan pembedahan
 Memeriksa persiapan instrument
Pada fase intraoperatif perawat melakukan 1 dari 2 peran selama pembedahan
berlangsung,yaitu perawat sebagai instrumentator atau perawat sirkulator. Perawat
instrumentator memberi bahan-bahan yang dibutuhkan selama pembedahan
berlangsung dengan menggunakan teknik aseptic pembedahan yang ketat dan terbiasa
dengan instrumen pembedahan.Sedangkan perawat sirkulator adalah asisten
instrumentator atau dokter bedah.
3. Perawatan Post Operasi
Pada fase postoperasi setelah pembedahan,perawatan klien dapat menjadi komplek
akibat fisiologis yang mungkin terjadi.klien yang mendapat anastesi umum cenderung
mendapat komplikasi yang lebih besar dari pada klien yang mendapat anastesi lokal.
Perawatan post operative meliputi :
 Mempertahankan jalan napas dengan mengatur posisi kepala.
 Melaksanakan perawatan pasien yang terpasang infus di bantu
dengan perawat anastesi
 Mengukur dan mencatat produksi urine
 Mengatur posisi sesuai dengan keadaan.
 Mengawasi adanya perdarahan pada luka operasi
 Mengukur TTV setiap 15 menit sekali

B. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan


Pre Operasi
1) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur tindakan operasi
Tujuan : Pasien mengerti tentang prosedur tindakan operasi
Kriteria Hasil :
 Pasien tidak cemas
 Pasien dapat menjelaskan tentang prosedur tindakan
operasi yang akan dilakukan
INTERVENSI RASIONAL
Bantu pasien mengekspresikan perasaan Ansietas berkelanjutan memberikan
marah kehilangan dan takut dampak serangan jantung
Kaji tanda – tanda ansietas verbal dan Reaksi verbal / non verbal dapat
non verbal menujukan rasa agitasi, marah dan
gelisah
Jelaskan tentang prosedur pembedahan Pasien dapat beradaptasi dengan
sesuai jenis operasi prosedur pembedahan yang akan
dilaluinya dan akan merasa nyaman
Beri dukungan pra bedah Hubungan emosional yang baik antara
perawat dan pasien akan
mempengaruhi penerimaan pasien
terhadap pembedahan.
Hindari konfrontasi Konfrontasi dapat meningkatkan rasa
marah, menurunkan kerjasama dan
mungkin memperlambat
penyembuhan
Orientasikan pasien terhadap prosedur Orientasi dapat menurunkan
rutin dan aktifitas yang diharapkan kecemasan
Berikan kesempatan kepada pasien Dapat menghilangkan ketegangan
untuk mengungkapkan kecemasannya terhadap kekewatiran yang tidak di
ekspresikan
Berikan privasi untuk pasien dengan Kehadiran keluarga dan teman –
orang terdekat teman yang dipilih pasien untuk
menemani aktivitas pengalihan akan
menurunkan perasaaan terisolasi
Kolaborasi pemberian anti cemas sesuai Meningkatkan relaksasi dan
indikasi seperti diazepam menurunkan kecemasan

2) Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur premedikasi anastesi


Tujuan : Ketidaktahuan prosedur pasien teradaptasi
Kriteria Hasil :
 Pasien kooperatif terhadap intervensi premedikasi
anastesi
 Persiapan prabedah dapat terlaksana secara optimal
INTERVENSI RASIONAL
Jelaskan prosedur rutin prabedah Untuk dapat mempersiapkan pasien yang
menjalani pembedahan dengan baik
Pemeriksaan tanda – tanda vital pra bedah Prosedur standar untuk membandingkan
hasil TTV sewaktu diruangan
Siapkan sarana kateter IV dan obat – obat Untuk pemberian cairan dan pemberian
premedikasi dan lakukan pemasangan premedikasi sebelum dilakukan tindakan
kateter IV dan pertimbangkan pemeberian operasi
agen premedikasi
Lakukan pemindahan dan pengaturan posisi Untuk menghindari cedera atau trauma yang
saat pemindahan pasien dari barngkar ke diakibatkan penempatan posisi yang salah
meja operasi

Post Operasi
1. Bersihan jalan napas tidak efektif  b.d. obstruksi jalan napas(spasme jalan napas).
Tujuan : Mempertahankan kepatenan jalan nafas setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ... x 24 jam.
Kriteria Hasil :
 Menunjukkan pembersihan jalan napas yang efektif dibuktikan dengan pertukaran
gas dan ventilasi tidak berbahaya.
 Mudah untuk bernapas.
 Kegelisahan, sianosis, dan dispnea tidak ada.
 Saturasi O2 dalam batas normal.
Intervensi :
a. Pantau frekuensi pernapasan, kedalaman, dan kerja pernapasan.
Rasional    :    pernapasan secara normal kadang-kadang cepat, tapi berkembangnya
distres pada pernapasan merupakan indikasi kompresi trakea karena edema atau
perdarahan.
b. Auskultasi suara napas, catat adanya suara ronki.
Rasional    :    ronki merupakan indikasi adanya obstruksi/spasme laryngeal yang
membutuhkan evaluasi dan intervensi yang cepat.
c. Periksa balutan leher setiap jam pada periode awal post operasi, kemudian tiap 4
jam.
Rasional    :    Pembedahan didaerah leher dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas
karena adanya edem post operasi.
2. Nyeri akut berhubungan dengan edema pasca operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selama ... x 24 jam diharapkan dapat
mengendalikan nyeri dan dapat berkurang
Kriteria hasil :
 Tidak ada rintihan
 ekspresi wajah rileks
 melaporkan nyeri dapat berkurang atau hilang., dari skala 7 berkurang menjadi 2.
Intervensi :
a. Kaji tanda-tanda adanya nyeri baik verbal maupun nonverbal, catat lokasi, intensitas
(skala 0-10), dan lamanya.
Rasional    :    bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri, menentukan pilihan intervensi
menentukan efektivitas terapi.
b. Memberikan pasien pada posisi semi fowler dan sokong kepala/leher dengan bantal
kecil.
Rasional    :    mencegah hiperekstensi leher dan melindungi integritas garis jahitan
c. Anjurkan pasien menggunakan teknik relaksasi, seperti imajinasi, musik yang
lembut, relaksasi progresif.
Rasional    :    membantu untyuk memfokuskan kembali perhatian dan membantu
pasien untuk mengatasi nyeri/rasa tidak nyaman secara lebih efektif.
d. Berikan analgesik narkotik yang diresepkan & evaluasi keefektifannya.
Rasional    :    Analgesik narkotik perlu pada nyeri hebat untuk memblok rasa nyeri.
3. Resiko tinggi terhadap komplikasi perdarahan berhubungan dengan tiroidektomi,
edema pada dan sekitar insisi, pengangkatan tidak sengaja dari para tiroid, perdarahan
dan kerusakan saraf laringeal.
Tujuan: mencegah terjadinya komplikasi perdarahan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ... x 24 jam.
Kriteria hasil :
 Tidak ada manifestasi dari perdarahan yang hebat
 Hiperkalemia
 Kerusakan saraf laryngeal
 Obstruksi jalan nafas
 Ketidak seimbangan hormon tiroid dan infeksi
Intervensi :
Perdarahan:
Pantau:
a. TD, nadi, RR setiap 2×24 jam.  Bila stabil setiap 4 jam.
b. Status balutan: inspeksi dirasakan dibelakang leher setiap 2x 24 jam, kemudian
setiap 8 jam setelahnya.
c. Beritahu dokter bila drainase merah terang pada balutan/penurunan TD disertai
peningkatan frekuensi nadi & nafas.
d. Tempatkan bel pada sisi tempat tidur & instruksikan klien untuk memberi tanda bila
tersedak atau sensasi tekanan pada daerah insisi terasa.  Bila gejala itu terjadi,
kendur-kan balutan, cek TTV, inspeksi insisi, pertahankan klien pada posisi semi
fowler, beritahu dokter.
Rasional    :    Untuk mendeteksi tanda-tanda awal perdarahan. Temuan ini
menandakan perdarahan berlebihan dan perlu perhatian medis segera.
DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin dan Kumala Sari, 2013.Asuhan Keperawatan Perioperatif : Konsep Proses
dan aplikasi. Cetakan Ketiga. Jakarta : Salemba Medika
Brunner And Suddarth,2010. Keperwatan Medikal Bedah. Edisi 8, Vol. 1 Jakarta : ECG
Dr. Soetomo.Tim RSUD.2011 Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit THT, Surabaya
Nanda , 2013, Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional, jilid II Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai