KEPERAWATAN PERIOPERATIF
CLEFT LIP AND PALATE ( CLP)
Oleh:
ROISATUL HUSNIYAH
NIM 1401460017
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN MALANG
2018
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Cleft Lip and Palate ( CLP) adalah kelainan bawaan yang timbul pada saat pembentukan
janin sehingga ada celah antara kedua sisi bibir hingga langit langit dan bahkan cuping
hidung. Dalam bahasa indonesia, kelainan ini sering disebut dengan bibir sumbing.
Kelainan ini dapat berupa celah pada bibir ( cleft lip), celah pada palatum atau langit langit
mulut ( cleft palate), atau gabungan dari keduanya ( cleft lip and palate). Kelainan ini
disebabkan oleh kelainan genetik yang berpengaruh pada tahap pembentukan embrio,
sehingga terdapat kelainan yang muncul setelah kelahiran. CLP adalah kelainan
multifaktoral, jadi kemunculannya dipengaruhi oleh faktor gen dan lingkungan.
B. Penyebab
Penyebab terjadinya labioscisis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan ilmuwan
berpendapat bahwa labioscisis muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor genetik dan
faktor-faktor lingkungan. Di amerika serikat dan bagian barat eropa, para peneliti
melaporkan bahwa 40 % orang yang mempunyai riwayat keluarga labioscisis akan
mengalami labioscisis. Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan labioscisis
meningkat bila keturunan garis pertama ( ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai riwayat
labioscisis. Ibu yang mengkonsumsi alkohol dan narkotika kekurangan vitamin( terutama
asam folat) selama trimester pertama kehamilan, atau menderita diabetes akan lebih
cenderung melahirkan bayi / anak dengan labioscizis.
Menurut Mansjoer dan kawan kawan, hipotesis yang diajukan antara lain :
Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional dalam hal
kuantitas ( pada gangguan sirkulasi feto- maternal) dan kualitas ( defisiensi asam folat,
vitamin c dan Zn)
Penggunaan obat teratologik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal
Infeksi, terutama pada infeksi toxoplasma dan klamidia
Faktor genetik kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena
tidak terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu
( prosessus nasalis dan maksilaris ) pecah kembali.
C. Pathofisiologi
Menurut Dr. Dharma PTR Maluegha, SpBP terbentuknya celah terbagi oleh beberapa teori
yaitu :
1. Teori His dan Drusy mengatakan karena kegagalan bertemunya prominentia-
prominentia disekitar mulut yang terjadi pada trimester pertama kehamilan. Stark
mengatakan bahwa prominentia tersebut pasti bergabung, namun kemudian ada
kegagalan fusi ( tidak sempurna) masuknya mesoderm yang berasal dari neuro-
ectoderm kedalam prominentia tersebut. Akibatnya lapisan ectoderm yang tidak
didukung mesoderm akan pecah kembali baik seluruhnya maupun sebagian.
2. Teori Fusi merupakan teori klasik, akhir minggu ke 6 awal minggu ke-7. Procesus
maxillaris berkembang ke arah depan garis median, mendekati processus nasomedialis
kemudian bersatu.
3. Teori Hambatan perkembangan disebut juga teori penyusupan dari mesoderm.
Mesoderm mengadakan penyusupan menyebrangi celah sehingga bibir atas
berkembang normal ( Victor Veau dan Hochteter)
4. Teori mesodermal. Minggu ke 2 kehamilan, membrane brankhial memerlukan jaringan
mesodermal yang bermigrasi melalui puncak kepala dan kedua sisi kearah muka.
D. Klasifikasi
1. Klasifikasi yang diusulkan oleh Veau dibagi dalam 4 golongan yaitu :
Golongan I : celah pada langit langit lunak
Golongan II : celah pada langit- langit lunak dan keras dibelakang
foramen insisivum
Golongan III : celah pada langit- langit lunak dan keras mengenai tulang
alveolar dan bibir pada satu sisi
Golongan IV : celah pada langit langit lunak dan keras mengenai tulang
alveolar dan bibir pada dua sisi
Ket: A. celah pada langit langit lunak, B. celah pada langit- langit lunak dan keras
dibelakang foramen insisivum, C. celah pada langit- langit lunak dan keras mengenai
tulang alveolar dan bibir pada satu sisi, D. celah pada langit langit lunak dan keras
mengenai tulang alveolar dan bibir pada dua sisi ( young & greg. Cleft lip and
palate, 2011)
Ket: (A) Celah bibir unilateral tidak komplit, (B) Celah bibir unilateral (C) Celah bibir
bilateral dengan celah langit-langit dan tulang alveolar, (D) Celah langit-langit.
(Stoll et al. BMC Medical genetics.2004, 154.)
E. Tanda dan gejala
Manifestasi klinis dari kelainan labioschisis antara lain :
1. Masalah asupan makanan
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita labioschisis. Adanya
labioscisis memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada payudara
ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labioschisis mungkin dapat
meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah
reflek hisap dan reflek menelan pada bayi dengan labioscisis tidak sebaik bayi normal,
dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu. Memegang bayi
dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu proses menyusu bayi. Menepuk-
nepuk punggung bayi secara berkala juga daapt membantu. Bayi yang hanya menderita
labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum biasanya dapat menyusui, namun
pada bayi dengan labioplatoschisis biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus.
Dot khusus (cairan dalam dot ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat
untuk bayi dengan labio-palatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian makan/
asupan makanan tertentu.
2. Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labioschisis mungkin mempunyai masalah tertentu yang
berhubungan dengan kehilangan, malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada arean
dari celah bibir yang terbentuk.
3. Infeksi telinga
Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga karena
terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan
dan penutupan tuba eustachius.
4. Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas pada
perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak dapat
menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas
nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of 6 speech). Meskipun telah dilakukan
reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/ rongga
nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal. Penderita
celah palatum memiliki kesulitan bicara, sebagian karena palatum lunak cenderung
pendek dan kurang dapat bergerak sehingga selama berbicara udara keluar dari hidung.
Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g,
s, sh, dan ch", dan terapi bicara (speech therapy) biasanya sangat membantu.
F. Penatalaksanaan
Idealnya, anak dengan labioschisis ditatalaksana oleh “tim labio-palatoschisis” yang
terdiri dari spesialistik bedah, maksilofasial, terapis bicara dan bahasa, dokter gigi,
ortodonsi, psikolog, dan perawat spesialis. Perawatan dan dukungan pada bayi dan
keluarganya diberikan sejak bayi tersebut lahir sampai berhenti tumbuh pada usia kira-kira
18 tahun. Tindakan pembedahan dapat dilakukan pada saat usia anak 3 bulan.
Predisposisi Infeksi
(genetic, hormonal, (rubella, etyomegali
factor obat) virus, toxcoplasma)
Lobioskizis
Palatoskizis
Kegagalan penyatuan
prosessus Nasal Medial Kegagalan penyatuan
dan maksilaris susunan palato
Pada bibir
Ketidaksempurnaan Ansietas
pembentrukan
rongga hidung
Kemampuan
menghisap lemah Kurang Resiko infeksi
pengetahuan
Penumpukan
sekret
Kegagalan
menghisap ASI
Post Operasi
Bersihan jalan
nafas tidak
Post operasi
Nutrisi kurang efektif
dari kebutuhan
jaringan
Penurunan Kesadaran
airway
Ketidakefektifan
Bersihan Jalan
Napas
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Asuhan keperawatan perioperatif terdiri dari 3 tahap yaitu mempunyai pra, intra dan pasca
operative, dimana perawat mempunyai peran integral dalam rencana asuhan kolaboratif
dengan pembedahan.
1. Perawatan Preoperatif
Kelengkapan rekam medis dan status
Memeriksa kembali persiapan pasien
Informed concent
Menilai keadaan umum dan TTV
Memastikan pasien dalam keadaan puasa
Pada fase preoperatif ini perawat akan mengkaji kesehatan fisik dan emosional klien,
mengetahui tingkat resiko pembedahan, mengkoordinasi berbagai pemeriksaan
diagnostik, mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang mengambarkan kebutuhan
klien dan keluarga, mempersiapkan kondisi fisik dan mental klien untuk pembedahan.
2. Perawatan Intraoperatif
Melaksanakan orientasi pada pasien
Melakukan fiksasi
Mengatur posisi pasien
Menyiapkan bahan dan alat
Drapping
Membantu melaksanakan tindakan pembedahan
Memeriksa persiapan instrument
Pada fase intraoperatif perawat melakukan 1 dari 2 peran selama pembedahan
berlangsung,yaitu perawat sebagai instrumentator atau perawat sirkulator. Perawat
instrumentator memberi bahan-bahan yang dibutuhkan selama pembedahan
berlangsung dengan menggunakan teknik aseptic pembedahan yang ketat dan terbiasa
dengan instrumen pembedahan.Sedangkan perawat sirkulator adalah asisten
instrumentator atau dokter bedah.
3. Perawatan Post Operasi
Pada fase postoperasi setelah pembedahan,perawatan klien dapat menjadi komplek
akibat fisiologis yang mungkin terjadi.klien yang mendapat anastesi umum cenderung
mendapat komplikasi yang lebih besar dari pada klien yang mendapat anastesi lokal.
Perawatan post operative meliputi :
Mempertahankan jalan napas dengan mengatur posisi kepala.
Melaksanakan perawatan pasien yang terpasang infus di bantu
dengan perawat anastesi
Mengukur dan mencatat produksi urine
Mengatur posisi sesuai dengan keadaan.
Mengawasi adanya perdarahan pada luka operasi
Mengukur TTV setiap 15 menit sekali
Post Operasi
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d. obstruksi jalan napas(spasme jalan napas).
Tujuan : Mempertahankan kepatenan jalan nafas setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ... x 24 jam.
Kriteria Hasil :
Menunjukkan pembersihan jalan napas yang efektif dibuktikan dengan pertukaran
gas dan ventilasi tidak berbahaya.
Mudah untuk bernapas.
Kegelisahan, sianosis, dan dispnea tidak ada.
Saturasi O2 dalam batas normal.
Intervensi :
a. Pantau frekuensi pernapasan, kedalaman, dan kerja pernapasan.
Rasional : pernapasan secara normal kadang-kadang cepat, tapi berkembangnya
distres pada pernapasan merupakan indikasi kompresi trakea karena edema atau
perdarahan.
b. Auskultasi suara napas, catat adanya suara ronki.
Rasional : ronki merupakan indikasi adanya obstruksi/spasme laryngeal yang
membutuhkan evaluasi dan intervensi yang cepat.
c. Periksa balutan leher setiap jam pada periode awal post operasi, kemudian tiap 4
jam.
Rasional : Pembedahan didaerah leher dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas
karena adanya edem post operasi.
2. Nyeri akut berhubungan dengan edema pasca operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selama ... x 24 jam diharapkan dapat
mengendalikan nyeri dan dapat berkurang
Kriteria hasil :
Tidak ada rintihan
ekspresi wajah rileks
melaporkan nyeri dapat berkurang atau hilang., dari skala 7 berkurang menjadi 2.
Intervensi :
a. Kaji tanda-tanda adanya nyeri baik verbal maupun nonverbal, catat lokasi, intensitas
(skala 0-10), dan lamanya.
Rasional : bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri, menentukan pilihan intervensi
menentukan efektivitas terapi.
b. Memberikan pasien pada posisi semi fowler dan sokong kepala/leher dengan bantal
kecil.
Rasional : mencegah hiperekstensi leher dan melindungi integritas garis jahitan
c. Anjurkan pasien menggunakan teknik relaksasi, seperti imajinasi, musik yang
lembut, relaksasi progresif.
Rasional : membantu untyuk memfokuskan kembali perhatian dan membantu
pasien untuk mengatasi nyeri/rasa tidak nyaman secara lebih efektif.
d. Berikan analgesik narkotik yang diresepkan & evaluasi keefektifannya.
Rasional : Analgesik narkotik perlu pada nyeri hebat untuk memblok rasa nyeri.
3. Resiko tinggi terhadap komplikasi perdarahan berhubungan dengan tiroidektomi,
edema pada dan sekitar insisi, pengangkatan tidak sengaja dari para tiroid, perdarahan
dan kerusakan saraf laringeal.
Tujuan: mencegah terjadinya komplikasi perdarahan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ... x 24 jam.
Kriteria hasil :
Tidak ada manifestasi dari perdarahan yang hebat
Hiperkalemia
Kerusakan saraf laryngeal
Obstruksi jalan nafas
Ketidak seimbangan hormon tiroid dan infeksi
Intervensi :
Perdarahan:
Pantau:
a. TD, nadi, RR setiap 2×24 jam. Bila stabil setiap 4 jam.
b. Status balutan: inspeksi dirasakan dibelakang leher setiap 2x 24 jam, kemudian
setiap 8 jam setelahnya.
c. Beritahu dokter bila drainase merah terang pada balutan/penurunan TD disertai
peningkatan frekuensi nadi & nafas.
d. Tempatkan bel pada sisi tempat tidur & instruksikan klien untuk memberi tanda bila
tersedak atau sensasi tekanan pada daerah insisi terasa. Bila gejala itu terjadi,
kendur-kan balutan, cek TTV, inspeksi insisi, pertahankan klien pada posisi semi
fowler, beritahu dokter.
Rasional : Untuk mendeteksi tanda-tanda awal perdarahan. Temuan ini
menandakan perdarahan berlebihan dan perlu perhatian medis segera.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin dan Kumala Sari, 2013.Asuhan Keperawatan Perioperatif : Konsep Proses
dan aplikasi. Cetakan Ketiga. Jakarta : Salemba Medika
Brunner And Suddarth,2010. Keperwatan Medikal Bedah. Edisi 8, Vol. 1 Jakarta : ECG
Dr. Soetomo.Tim RSUD.2011 Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit THT, Surabaya
Nanda , 2013, Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional, jilid II Jakarta: EGC