Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Farah (2019), Struma merupakan pembengkakan pada leher yang

disebabkan oleh pembeseran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid. Struma

dibagi menjadi dua, yaitu diffusa dan nodusa. Struma diffusa merupakan pembesaran

kelenjar tiroid terjadi secara bilateral atau keseluruhan sehingga terlihat keseluruhan

leher yang membengkak. Biasanya permukaannya rata dan batas pembesarannya agak

sulit ditemukan. Sedangkan struma nodusa, akan didapatkan satu atau lebih benjolan

yang menyebabkan permukaan kelenjar tiroid tidak rata. Letak dari benjolan tersebut

biasanya asimetris dan batas ukurannya dapat ditentukan. Jika dalam pemeriksaan

ditemukan beberapa benjolan maka disebut struma multinoduloar.

Menurut American Thyroid Association (2020) sekitar 10 juta orang di seluruh

dunia mengalami gangguan thyroid, baik kanker thyroid, struma nodusa non toxic,

maupun struma nodusa toxic. Pada hasil penelitian Riskesdas (2019) hanya terdapat

0,4% penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun atau lebih yang berdasarkan

wawancara terdiagnosis hipertiroid. Meskipun secara persentase terlihat kecil tetapi

secara kuantitas terlihat cukup besar. Jika pada tahun 2013 jumlah penduduk dengan

usia 15 tahun terdapat sebanyak 176.689.336 jiwa, maka ada lebih dari 700.000 orang

yang terdiagnosis hipertiroid. Survei IMS Health pada tahun 2015 mengatakan

Indonesia menduduki peringkat tertinggi di Asia tenggara dalam gangguan tiroid,

yakni sekitar 1,7 juta jiwa.

Penderita struma nodusa, biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak adanya

hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Jumlah nodul bermacam macam, mungkin

tunggal dan mungkin banyak terdapat nodul yang berkembang menjadi mutinodular

1
yang tidak berfungsi. Gejala awal yang ditemui adalah adanya benjolan di area leher

tampa adanya keluhan lain yang menyerupai. Kasus Struma nodusa non toksik, harus

dilakukan penanganan yang segera dan pengobatan, serta perawatan yang adekuat,

karena kemungkinan dapat menimbulkan keganasan. Disamping itu, keluhan klien

yang tidak nyaman, karena adanya tekanan mekanik nodul terhadap organ sekitar

serta adanya pertimbangan masalah kosmetik. Tindakan bedah, juga dapat dilakukan

pada satu nodul jinak. Sebaiknya, bila hasil BAJAH (Biopsi aspirasi jarum halus

positif ganas, maka perlu segera dilakukan tindakan pembedahan (Farah, 2019).

Paska operasi tiroidektomi, adalah salah satu tindakan operasi yang memerlukan

perawatan dan penanganan yang baik. Dalam hal ini, Peran perawat sebagai pemberi

asuhan keperawatan care provider dapat meningkatkan status kesehatan klien pre dan

paska operasi tiroidektomi. Hal ini dapat meminimalkan komplikasi yang mungkin

terjadi pada klien paska operasi tiroidektomi.Setiap klien yang mengalami

pembedahan berisiko mengalami komplikasi, termasuk tiroidektomi (Farah, 2019).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah dalam laporan ini

adalah “Bagaimanakah Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Post Op Struma Di

Ruangan ICU Rsud Prof.Dr.H.M.Anwar Makkatutu Bantaeng ?”

C. Tujuan

Tujuan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Tujuan Umum

Untuk mendeskripsikan studi kasus Asuhan Keperawatan pada pasien dengan

Post Op Struma yang di Rawat Di Rsud Prof.Dr.H.M.Anwar Makkatutu

Bantaeng.

2
2. Tujuan Khusus

a. Mengkaji pasien dengan Post Op Struma.

b. Menegakkan Diagnosis Keperawatan pada pasien dengan Post Op Struma

c. Menyusun Perencanaan Keperawatan pada pasien dengan Post Op Struma.

d. Melaksanakan Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Post Op Struma.

e. Mengevaluasi pasien dengan Post Op Struma.

D. Manfaat

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi:

1. Bagi teman sejawat

Diharapkan dapat menambah pengalaman, pengetahuan, dan membuka wawasan

berpikir, serta dapat mengaplikasikan hasil asuhan keperawatan pada pasien

dengan Post Op Struma.

2. Bagi rumah sakit

Diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan yang bermanfaat bagi

para perawat atau rumah sakit selaku pemberi pelayanan kesehatan tentang

bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Post Op Struma.

3. Bagi institusi

Diharapkan bisa memberikan sumbangan ilmu secara ilmiah dalam

mengembangkan wawasan konsep dan teori terhadap ilmu pengetahuan, serta

dapat dijadikan referensi dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien

dengan Post Op Struma.

3
BAB II

KONSEP DASAR

I. Konsep Dasar Medis Struma

A. Definisi

Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid disebut juga sebagai goiter. Struma atau

goiter, berasal dari bahasa latin yaitu “tumidum gutter” yang artinya tenggorokan yang

membesar. Definisi lain dari goiter adalah kelenjar tiroid yang membesar dua kali atau

lebih dari ukuran normalnya, beratnya dapat mencapai 40 gram atau lebih (Dewantini,

2019).

Struma didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar tiroid. Struma dapat meluas ke

ruang retrosternal dengan atau tanpa pembesaran anterior substansial. Karena hubungan

anatomi kelenjar tiroid ke trakea, laring, saraf laring, superior dan inferior, serta

esophagus, pertumbuhan yang abnormal dapat menyebabkan sebagai sindrom

komperhensif (Dewantini, 2019).

Berdasarkan data diatas, Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang

beratnya dapat mencapai lebih dari 40 gram yang dapat menyebabkan sindrom

komperhensif dikarenakan adanya hubungan anatomi antara kelenjar tiroid dan organ

yang berada disekitarnya.

B. Etiologi

Menurut Luh (2020), penyebab struma dapat terbagi:

1. Struma nodosa toxic

Struma nodosa toxic dapat dibedakan atas dua yaitu struma nodosa diffusa

toxic dan struma nodosa nodusa toxic. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah

kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma nodosa diffusa toxic akan

menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara

4
nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih

benjolan (struma nodosa multinodular toxic). Struma nodosa diffusa toxic

(tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi

oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah penyakit

Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic struma nodosa), bentuk tiroktosikosis yang

paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya. Perjalanan penyakitnya

tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap selama berbulan-bulan. Antibodi

yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor

tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.

2. Struma nodosa non toxic

Struma nodosa non toxic sama halnya dengan struma nodosa toxic yang dibagi

menjadi struma nodosa diffusa non toxic dan struma nodosa nodusa non toxic.

Struma nodosa non toxic disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma

nodosa ini disebut sebagai simpel struma nodosa, struma nodosa endemik, atau

struma nodosa koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang

sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh

zat kimia.

C. Manifestasi Klinis

Adapun menurut Tarwoto (2018), manifestasi klinis dari struma ada beberapa, yaitu:

1) Adanya pembesaran kelenjar tiroid

2) Pembesaran kelenjar limfe

3) Nyeri tekan pada kelenjar tiroid

4) Kesulitan menelan

5) Kesulitan bernafas

6) Kesulitan dalam bicara

5
7) Gangguan bodi image

Gejala secara umum yaitu kelelahan dan kelesuan, sering mengantuk, jadi

pelupa kesulitan belajar, kulit kering dan gatal, rambut dan kuku yang rapuh, wajah

bengkak, konstipasi, nyeri otot, penambahan berat badan, peningkatan sensitifitas

terhadap banyak pengobatan, menstruasi yang banyak, peningkatan frekuensi

keguguran pada wanita hamil (Tarwoto, 2012).

D. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Luh (2020), ada beberapa pemeriksaan diagnostik yang dapat

dilakukan untuk pemeriksaan struma nodusa, yaitu sebaga berikut :

1. Inspeksi

Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang

berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka.

Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen

yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakanpada

saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan.

2. Palpasi

Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk,

leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid

dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.

3. Tes Fungsi Hormon

Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara testes

fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan

triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum

mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH

plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH plasma sensitif

6
dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada pasien

hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien

peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal

penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium

radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam

menangkap dan mengubah yodida.

4. Foto Rontgen leher

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau

menyumbat trakea (jalan nafas).

5. Ultrasonografi (USG)

Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak

di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya

kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-

kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan

kemungkinan karsinoma.

6. Sidikan (Scan) tiroid

Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama

technetium-99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah

jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera

E. Penatalaksanaan Keperawatan

Menurut Luh (2020), ada beberapa penatalaksanaan keperawatan yang dapat

dilakukan untuk pemeriksaan struma nodusa, yaitu :

1. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid.

Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini

bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu

7
untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga

diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan

kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah

propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.

2. Terapi Yodium Radioaktif .

Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar

tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka

pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium

radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil

penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko

kanker, leukimia, atau kelainan genetik. Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk

kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya

diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.

3. Tiroidektomi

Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat kelenjar tiroid

adalah tiroidektomi, meliputi subtotal ataupun total. Tiroidektomi subtotal akan

menyisakan jaringan atau pengangkatan 5/6 kelenjar tiroid, sedangkan tiroidektomi

total, yaitu pengangkatan jaringan seluruh lobus termasuk istmus .Tiroidektomi

merupakan prosedur bedah yang relative aman dengan morbiditas kurang dari 5 %.

F. Komplikasi

Menurut Brunner & Suddarth (2018), ada beberapa komplikasi dari struma, yaitu :

1. Penyakit jantung hipertiroid

Gangguan pada jantung ini, terjadi akibat dari rangsangan yang berlebihan

pada jantung oleh hormon tiroid yang menyebabkan konraktilitas jantung

meningkat. Sehingga terjadi takikardi sampai dengan fibrilasi atrium jika

8
menghebat. Pasien dengan usia diatas 50 tahun, akan cenderung mendapatkan

komplikasi paya jantung.

2. Ovtalmopati graves

Ovtalmopati graves ini seperti eksoftalmus, terjadi penonjolan mata dengan

diplopa, aliran air mata yang berlebihan, serta peningkatan foto fobia dapat

mengganggu kualitas hidup pasien, sehingga aktifitas rutin pasien terganggu.

3. Dermopati graves

Dermopati tiroid adalah penebalan kulit, terutama kulit dibagian atas tibia

bawah (miksedema pretibia), yang disebabkan oleh glikosaminoglikans. Kulit sangat

menebal dan tidak dapat dicubit.

G. Patofiologi

Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan oleh tubuh unuk

pembentukan hormone thyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap oleh usus,

masuk ke dalam sirkulasi darah ditangkap paling banyak oleh kelenjar thyroid. Dalam

kelenjar, iodium dioksida berubah menjadi bentuk yang aktif distimulasi oleh TSH,

kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid.

Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin atau T4 dan

molekul yoditironin atau T3. Tiroksin atau T4 menunjukkan pengaturan umpan balik

yang negatif dari sekresi TSH dan bekerja secara langsung pada tirotropihypofisis,

sedangkan tyrodotironin atau T3 merupakan hormone metabolik yang tidak aktif..

Beberapa obat dan keadaan dapat mempengarui sintesis, pelepasan serta

metabolisme thyroid sekaligus dapat menghambat sintesis tiroksin atau T4 dan melalui

rangsangannya umpan balik negatif dapat meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar

hypofisis. Keadaan inilah yang menyebabkan pembesaran kelenjar thyroid. Thyroid

mulai membesar pada usia muda dan akan berkembang menjadi multinodular pada usia

9
dewasa. struma bisa tumbuh menjadi besar tanpa adanya gejala kecuali benjolan yang

ada di leher. Walaupun sebagian struma nodusa tidak mengganggu pernapasan

dikarenakan benjolan menonjol kebagian depan, tetapi sebagian struma yang lain dapat

menyebabkan penyempitan trakea apabila pembesaran yang terjadi secara bilateral

(Syaugi, 2019).

H. Pathway

Defisiensi iodium kelainan metab. Penghambat sintesa hormon


Kongenital oleh zat kimia oleh obat

Struma

Tindakan pembedahan

Resiko cedera pada terputusnya cedera pita suara


Trakea kontiunitas jaringan

kemungkinan pelepasan neutrotransmitter gangguan fungsi suara


terjadinya perdarahan mediator kimia (bradykinin,
serotonin, prostaglandin)
Gangguan
komunikasi verbal
resiko terjadi obstruksi merangsang ujung- ujung
saraf tepi

Bersihan jalan
napas tidak efektif dihantarkan ke hypothalamus dan
korteks cerebri
manipulasi pada tindakan
strumectomi subtotal Nyeri akut

resiko peningkatan pengeluaran


hormone tyroid

resiko terjadinya miedema

kemunduran proses metabolik

Risiko cedera
10
B. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian

1. Identifikasi pasien.

2. Kaji keluhan utama pasien.

Pada klien pre operasi mengeluh terdapat pembesaran pada leher. Kesulitan

menelan dan bernapas. Pada post operasi thyroidectomy keluhan yang dirasakan

pada umumnya adalah nyeri akibat luka operasi.

3. Riwayat penyakit sekarang.

Biasanya didahului oleh adanya pembesaran nodul pada leher yang semakin

membesar sehingga mengakibatkan terganggunya pernafasan karena penekanan

trakhea eusofagus sehingga perlu dilakukan operasi.

4. Riwayat penyakit dahulu.

Perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit

gondok, sebelumnya pernah menderita penyakit gondok.

5. Riwayat kesehatan keluarga.

Ada anggota keluarga yang menderita sama dengan klien saat ini.

6. Riwayat psikososial.

Akibat dari bekas luka operasi akan meninggalkan bekas atau sikatrik

sehingga ada kemungkinan klien merasa malu dengan orang lain.

7. Pemeriksaan fisik.

Pada umumnya keadaan penderita lemah dan kesadarannya composmentis

dengan tanda-tanda vital yang meliputi tensi, nadi, pernafasan dan suhu yang

berubah. Pada klien dengan pre operasi terdapat pembesaran kelenjar tiroid. Pada

post operasi thyroidectomy biasanya didapatkan adanya luka operasi yang sudah

ditutup dengan kasa steril yang direkatkan dengan hypafik serta terpasang drain.

11
Drain perlu diobservasi dalam dua sampai tiga hari. Biasanya pernafasan lebih sesak

akibat dari penumpukan sekret efek dari anestesi, atau karena adanya darah dalam

jalan nafas. Pada pemeriksaan reflek hasilnya positif tetapi dari nyeri akan

didapatkan ekspresi wajah yang tegang dan gelisah karena menahan sakit.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien

terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik berlangsung

aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada Post Op Struma

yaitu (SDKI DPP PPNI 2018) :

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

b. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d hipersekresi jalan napas

c. Gangguan komunikasi verbal b.d. gangguan muskuler

d. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya port de entry mikroorganisme.

e. Risiko cedera berhubungan dengan terpapar pathogen

f. Resiko ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

3. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang

didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang

diharapkan (SIKI DPP PPNI 2018).

a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik

Intervensi :

1) Kaji tanda-tanda adanya nyeri, baik verbal maupun nonverbal, catat lokasi,

intensitas (skala 0-10), dan lamanya.

2) Rasional : bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri, menentukan pilihan intervensi,

menetukan efektivitas terapi.

12
3) Letakkan pasien dalam posisi semi fowler dan sokong kepala/leher dengan bantal

pasir atau bantal kecil.

Rasional : mencegah hiperekstensi leher dan melindungi integritas garis jahitan.

4) Pertahankan bel pemanggil dan barang yang sering digunakan dalam jangkauan

yang mudah.

Rasional : membatasi ketegangan, nyeri otot pada daerah operasi.

5) Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi, seperti imajinasi, musik

yang lembut, relaksasi progresif.

Rasional : membantu untuk memfokuskan kembali perhatian dan membantu pasien

untuk mengatasi nyeri/rasa tidak nyaman.

6) Berikan obat analgetik dan/atau analgetik sprei tenggorok sesuai dengan

kebutuhannya.

Rasional : menurunkan nyeri dan rasa tidak nyaman, meningkatkan istirahat

b. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d hipersekresi jalan napas

Intervensi :

1) Pantau frekuensi pernapasan, kedalaman, dan kerja pernapasan.

Rasional : pernapasan secara normal kadang-kadang cepat, tetapi berkembangnya

distress pada pernapasan merupakan indikasi kompresi trakea karena edema atau

perdarahan.

2) Auskultasi suara napas, catat adanya suara ronki.

Rasional : ronki merupakan indikasi adanya obstruksi/spasme laringeal yang

membutuhkan evaluasi dan intervensi yang cepat.

3) Kaji adanya dyspnea, stridor, “berkokok” dan sianosis. Perhatikan kualitas suara.

Rasional : indikator obstruksi trakea/spasme laring yang membutuhkan evaluasi

dan intervensi segera.

13
4) Selidiki keluhan kesulitan menelan, penumpukan sekresi oral.

Rasional : merupakan indikasi edema/perdarahan yang membeku pada jaringan

sekitar daerah operasi.

5) Lakukan penilaian ulang terhadap balutan secara teratur, terutama bagian

posterior.

Rasional : jika terjadi perdarahan, balutan bagian anterior mungkin akan tampak

kering karena darah tertampung/terkumpul pada daerah yang tergantung. 6)

Berikan inhalasi uap, udara ruangan yang lembab.

b. Gangguan komunikasi verbal b.d. gangguan muskuler

1) Kaji fungsi bicara secara periodik, anjurkan untuk tidak berbicara terus menerus.

Rasional : suara serak dan sakit tenggorok akibat edema jaringan atau kerusakan

karena pembedahan pada saraf laringeal dan berakhir dalam beberapa hari.

Kerusakan saraf permanen dapat terjadi (jarang) yang menyebabkan paralisis, pita

suara dan/atau penekanan pada trakea.

2) Pertahankan komunikasi yang sederhana, beri pertanyaan yang hanya memerlukan

jawaban “ya” atau “tidak”.

Rasional : menurunkan kebutuhan berespons, mengurangi bicara.

3) Antisipasi kebutuhan sebaik mungkin. Kunjungi pasien secara teratur.

Rasional : menurunkan ansietas dan kebutuhan pasien untuk berkomunikasi.

4) Pertahankan lingkungan yang tenang.

Rasional : meningkatkan kemampuan mendengarkan komunikasi perlahan dan

menurunkan kerasnya suara yang harus diucapkan pasien untuk dapat didengarkan

c. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya port de entry mikroorganisme

Intervensi :

1) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.

14
2) Batasi jumlah pengunjung

3) Ajarkan teknik cuci tangan pada pasien dan keluarga

4) Cuci tangan sebelum dan setelah melakukan tindakan di tempat pasien

5) Terapkan universal precaution

6) Pakai sarung tangan steril sesuai indikasi

7) Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat (tindakan invasif)

8) Pastikan menggunakan teknik perawatan luka secara tepat

9) Dorong pasien untuk meningkatkan pemasukan nutrisi

10) Berikan antibiotik bila perlu

11) Ajarkan kepada pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi

d. Resiko cedera berhubungan dengan terpapar pathogen

1) Pantau tanda vital dan catat adanya peningkatan suhu tubuh, takikardia

(140-200/menit), disritmia, distress pernapasan, sianosis (berkembangnya edema

paru/GJK).

Rasional : manipulasi kelenjar selama tiroidektomi subtotal dapat mengakibatkan

peningkatan pengeluaran hormone yang menyebabkan krisi tiroid.

2) Pertahankan penghalang tempat tidur terpasang/diberi bantalan, tempat tidur pada

posisi yang rendah dan jalan napas buatan didekat pasien. Hindari penggunaan

restrein.

Rasional : menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang.

3) Pantau kadar kalsium darah.

Rasional : pasien dengan kadar kalsium kurang dari 7,5/100ml secara umum

membutuhkan terapi pengganti.

4) Berikan obat sesuai dengan indikasi: kalsium (glukonat, laktat).

Rasional : untuk memperbaiki kekurangan yang biasanya sementara tetapi

15
mungkin juga menjadi permanen. Catatan: gunakan dengan berhati-hati pada

pasien pengguna digitalis karena kalsium meningkatkan sensitivitas terhadap

digitalis, yang berpotensi menimbulkan toksik

e. Resiko ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

Intervensi :

1) Kaji adanya alergi makanan

2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang

dibutuhkan pasien

3) Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi

4) Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.

5) Monitor adanya penurunan BB dan gula darah

6) Monitor lingkungan selama makan

7) Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan

8) Monitor turgor kulit

9) Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb dan kadar Ht

10) Monitor mual dan muntah

11) Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva

12) Monitor intake nuntrisi

16
4. Implementasi

Implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasikan intervensi

keperawatan. Implementasi merupakan langkah keempat dari proses keperawatan

yang telah direncanakan oleh perawat untuk dikerjakan dalam rangka membantu klien

untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan dampak atau respons yang

ditimbulkan oleh masalah keperawatan dan kesehatan (Linawati 2018)

Tahap ini perawat mencari inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan

yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan

ditunjukan pada nursing orders untuk membantu pasien mencapai tujuan yang telah

ditetapkan (Linawati 2018).

5. Evaluasi

Evaluasi keperawatan adalah mengkaji respon pasien setelah dilakukan intervensi

keperawatan dan mengkaji ulang asuhan keperawatan yang telah diberikan. Evaluasi

keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk menentukan apakah

rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan dilanjutkan,

merevisi rencana atau menghentikan rencana (Linawati 2018).

17
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan data diatas, Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang

beratnya dapat mencapai lebih dari 40 gram yang dapat menyebabkan sindrom

komperhensif dikarenakan adanya hubungan anatomi antara kelenjar tiroid dan organ

yang berada disekitarnya.

B. Saran

Diharapkan kepada seluruh mahasiswa agar lebih memperdalam pengetahuan

mengenai Post Op Struma agar mempermudah pada saat pemberian asuhan keperawatan

kepada pasien.

18
DAFTAR PUSTAKA

American Thyroid Association. (2020). Optimal Thyroid Health For All. Diakses pada 09

Maret 2022, dari https://www.thyroid.org/

Brunner & Suddarth. (2018). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2.

Jakarta : EGC.

Dewantini, E. A. (2019). Pengalaman Pasien Struma Dengan Trakeostomi Di Rumah Jalan

Langsep Tajinan Kab. Malang Tahun 2019. Journal of Chemical Information and

Modeling, 53(9), 1689–1699.

Farah, N. (2019). Perbedaan struma diffusa dengan struma nodusa. Diakses pada 09 Maret

2022, dari https://www.alodokter.com/komunitas/topic/struma-3

Luh, G. N. (2020). Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Struma

Nodusa Non Toksik. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

PPNI (2018). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,

Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan

Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil

Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Riskesdas. (2019). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI Tahun

2013. Diakses pada 24 Mei 2021, dari https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset-

kesehatan-dasar-riskesdas/

Syaugi M Assegaf dkk. (2019). Gambaran Eutiroid Pada Pasien Struma Multi Nodusa

Toksik dibagian Bedah RSUP Prof.DR.R.D. Kandou Manado. Jurnal E-Clinic (ECI)

Tarwoto, N. S. (2018). KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH Gangguan Sistem

19
ENDOKRIN. Jakarta : Trans Info Media.

20

Anda mungkin juga menyukai