Anda di halaman 1dari 39

KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI

(KIPI)
Wahyuni, S.ST, M.Biomed
KIPI atau reaksi samping atau adverse events
following immunization (AEFI) adalah semua
kejadian sakit yang terjadi setelah menerima
imunisasi
Mengetahui hubungan antara imunisasi
dengan KIPI diperlukan pencatatan &
pelaporan semua reaksi sampingan yang
timbul setelah pemberian imunisasi
(surveilans KIPI)
Surveilans KIPI sangat membantu program
imunisasi, khususnya untuk memperkuat
keyakinan masyarakat akan pentingnya upaya
pencegahan penyakit yang paling efektif
Himbauan WHO terhadap pemantauan KIPI tertuang
pada pertemuan WHO –SEARO tahun 1996 dengan
rekomendasi :
 Program Pengembangan Imunisasi (PPI) harus
mempunyai perencanaan secara rinci & terarah
sehingga dapat memberikan tanggapan segera pada
laporan KIPI
 Setiap KIPI berat harus dilakukan analisis oleh tim
yang terdiri dari : para ahli epidemiologi & profesi
(di Indonesia oleh Komite Nasional Pengkajian &
Penanggulangan KIPI= KN PP KIPI) dan temuan
tersebut harus disebar luaskan melalui jalur
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dan media
masa
 PPI harus segera memberikan tanggapan secara cepat &
akurat kepada media masa perihal KIPI yang terjadi.
 Pelaporan KIPI mengenai : Abses BCG harus dipantau demi
perbaikan penyuntikan yang benar di kemudian hari.
 PPI harus melengkapi petugas lapangan dengan formulir
pelaporan kasus, definisi KIPI yang jelas & instruksi yang
rinci perihal jalur pelaporan.
 PPI perlu mengkaji laporan kasus KIPI dari pengalaman
dunia internasional sehingga dapat memperkirakan
besarnya masalah KIPI yang dihadapi.
TUJUAN
1. Dapat menemukan kasus KIPI melalui jalur
lapangan yang efektif dan efisien.
2. Dapat mengetahui jenis dan pola kasus KIPI
dengan cepat dan tepat.
3. Dapat menangani kasus KIPI secara
komprehensif.
4. Memberikan pengertian tentang KIPI dan
menentramkan lingkungan masyarakat di
daerah sasaran program dan lingkungan
sekolah.
5. Menghimpun data KIPI di Indonesia.
KEBIJAKAN
1. Setiap kasus KIPI atau yang dilaporkan sebagai
KIPI oleh petugas maupun oleh masyarakat
harus dilacak, dicatat dan ditanggapi.
2. Setiap kasus KIPI sedapat mungkin diupayakan
pengobatannya di fasilitas pelayanan
pemerintah.
3. Untuk setiap kasus KIPI, masyarakat berhak
untuk mendapatkan penjelasan resmi atas hasil
penelitian resmi yang dilakukan pemerintah dan
penanggung jawab program.
4. PEMDA turut dalam penanggulangan KIPI
didaerahnya
DIFINISI KIPI
 Semua kejadian sakit & kematian yang terjadi dalam
masa 1 bulan setelah imunisasi.
 Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat
mencapai 42 hari (arthritis kronik pasca vaksinasi
rubella) atau bahkan sampai 6 bulan .
 Reaksi terhadap obat & vaksin dapat merupakan reaksi
simpang atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat
efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain
berupa efek farmakologi, efek samping, interaksi obat,
intoleransi, reaksi idiosinkrasi dan reaksi alergi yang
umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri
sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan
seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang
genetik.
 Kejadian yang bukan disebabkan efek samping
dapat terjadi karena kesalahan tekhnik pembuatan,
pengadaan & distribusi serta penyimpanan vaksin,
kesalahan prosedur&tehnik pelaksanaan imunisasi,
semata- mata kejadian yang timbul secara kebetulan.
 Persepsi awal dari petugas kesehatan adalah
menganggap semua kelainan dan kejadian yang
dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi alergi
terhadap vaksin.
 Akan tetapi telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety
Comittee, Institute of Medicine (IOM) USA
menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi
secara kebetulan saja (koinsidensi).
 Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering
adalah akibat kesalahan prosedur & tekhnik
pelaksanaan (programmatic error).
EPIDEMILOGI KIPI
 KIPI akan timbul setelah pemberian vaksin dalam jumlah
besar.
 Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan melalui
fase uji klinis yang lazim : fase 1,2,3, dan 4.
 Uji klinis fase 1 dilakukan pada binatang percobaan
sedangkan fase selanjutnya pada manusia.
 Uji klinis fase 2 untuk mengetahui keamanan vaksin
(reactogenicity and savety), sedangkan pada fase 3 selain
keamanan juga dilakukan uji efektivitas (imunogenisitas)
vaksin.
 Uji klinis 4 dengan sample besar yang dikenal sebagai
Post Marketing Surveillance (PMS). Tujuan PMS adalah
untuk mengetahui keamanan vaksin setelah pemakaian
yang cukup luas di masyarakat (program imunisasi).
 Telah terbukti pemberian imunisasi dapat
menurunkan angka kejadian suatu penyakit bahkan
melenyapkan penyakit. Contoh musnahnya
penyakit cacar. Pola eradikasi cacar dapat
diterapkan untuk penyakit lain yang berbahaya,
yaitu penyakit yang dapat menimbulkan kematian
& kecacatan.
 Pada saat insidens penyakit masih tinggi (jumlah
kasus banyak) imunisasi belum dilakukan,
sehingga KIPI belum menjadi masalah.
 Imunisasi telah menjadi program yang makin lama
cakupannya akan semakin meningkat dan
berakibat terhadap penurunan insidens penyakit.
Meningkatnya kasus KIPI dapat menurunkan
kepercayaan masyarakat terhadap program
imunisasi.
 Kepercayaan masyarakat akan timbul kembali
apabila kasus dapat diselesaikan dengan baik:
pelaporan & pencatatan yang baik, penanganan
kasus KIPI segera & pemberian ganti rugi yang
memadai. Cakupan imunisasi yang tinggi akan
tercapai kembali dengan diikuti penurunan angka
kejadian penyakit.
 Keberhasilan imunisasi akan diikuti dengan
pemakaian vaksin dalam dosis besar. Namun
pada perjalanan program imunisasi akan memacu
proses maturasi persepsi masyarakat sehubungan
dengan efek samping vaksin yang mungkin timbul
sehingga berakibat munculnya kembali penyakit
dalam bentuk kejadian luar biasa (KLB).
ETIOLOGI
 Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi
karena sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya
dengan imunisasi.
 Karena itu untuk menentukan KIPI diperlukan :
1. Besar frekwensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin
tertentu.
2. Sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik.
3. Derajad sakit resipien, apakah memerlukan
perawatan, menderita cacat atau menyebabkan
kematian.
4. Apakah penyebab dapat dipastikan, diduga atau tidak
terbukti.
5. Apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan
dengan vaksin, kesalahan produksi atau kesalahan
prosedur.
Komnas PP-KIPI mengelompokkan etiologi dalam 2
klasifikasi :
1. Klasifikasi Lapangan menurut WHO Western Pasific (1999)
untuk petugas kesehatan di lapangan
Memilah KIPI dalam 5 kelompok penyebab:
a. Kesalahan program/ tekhnik pelaksanaan
(programmatic errors)
 Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program
& tekhnik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan
program penyimpanan, pengelolaan & tata laksana pemberian
vaksin.
b. Reaksi suntikan
 Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik
baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi
KIPI. Reaksi langsung : rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada
bekas suntikan, sedangkan reaksi tidak langsung : rasa takut,
pusing, mual sampai sinkope.
c. Induksi vaksin (reaksi vaksin )
 Pada umumnya sudah dapat diprediksi karena merupakan
reaksi simpang vaksin & secara klinis biasanya ringan,
walaupun bisa terjadi hebat seperti reaksi anafilaksis
sistemik dengan resiko kematian.
d. Faktor kebetulan (koinsiden)
 Kejadian yang timbul secara kebetulan saja setelah
imunisasi. Indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan
ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan
pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik
serupa tetapi tidak mendapat imunisasi.
e. Penyebab tidak diketahui
 Apabila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum
dapat dikelompokkan kedalam salah satu penyebab, maka
sementara waktu dimasukkan ke dalam kelompok ini
sambil menunggu informasi lebih lanjut.
2 .Klasifikasi kausalitas menurut Institute Of Medicine
(IOM) 1991 membuat telaah & publikasi tentang KIPI
pertusis & rubella yang serius karena banyaknya laporan
KIPI yang dihubungkan vaksin pertusis & DPT.

Klasifikasi kausalitas KIPI tersebut terdiri dari 5


tingkatan :
a. Tidak terdapat hubungan kausal.
b. Bukti tidak cukup untuk menerima atau
menolak hubungan kausal.
c. Bukti memperkuat penolakan kausal.
d. Bukti memperkuat penerimaan hubungan
kausal.
e. Bukti memastikan hubungan kausal.
GEJALA KLINIS KIPI
 Gejala klinis dapat timbul secara cepat maupun lambat &
dapat dibagi menjadi gejela : lokal, sistemik, reaksi
susunan syaraf pusat serta reaksi lainnya.
 Keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi dari pada
obat disebabkan karena pada umumnya produk farmasi
diperuntukkan untuk orang sakit sedangkan vaksin untuk
orang sehat terutama bayi.
 Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman
tanpa efek samping  bila seorang anak telah mendapat
imunisasi perlu di observasi beberapa saat, sehingga
dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI (reaksi cepat).
 Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan tetapi
pada umumnya setelah pemberian, setiap jenis imunisasi
harus dilakukan observasi selama 15 menit.
Angka kejadian :
KIPI yang paling serius pada anak adalah
reaksi anafilaksis.
Angka kejadian anafilaktoid diperkirakan 2
dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang benar 2
reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus di antara 1
juta dosis.
Anak yang lebih besar dan orang dewasa
lebih banyak mengalami sinkop segera atau
lambat.
IMUNISASI PADA KELOMPOK RISIKO
 Maka harus diperhatikan apakah resipien termasuk dalam kelompok risiko.
Yang dimaksud kelompok risiko :
1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu harus segera
dilaporkan kepada Komda PP-KIPI setempat & KN PP KIPI dengan mengisi
formulir pelaporan yang telah tersedia untuk penanganan segera.
2. Bayi Berat Lahir Rendah
Hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah :
a. Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dari pada
bayi cukup bulan.
b. Bila BB bayi sangat kecil (< 1000 gram) imunisasi ditunda & diberikan
setelah bayi mencapai BB 2000 gram atau berumur 2 bulan. Imunisasi
Hepatitis B diberikan pada umur 2 bulan atau lebih, kecuali jika ibu
mengandung HbSAg.
c. Bila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan maka vaksin polio yang
diberikan suntikan Inactivated Polio Vaccine (IPV) bila vaksin tersedia
sehingga tidak menyebabkan penyebaran virus polio melalui tinja.
3. Pasien imuno kompromais
Keadaan ini dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau
sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi,
kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan
kontra indikasi untuk pasien imunokompromais dapat diberikan
IPV bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada
pengobatan kortisteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu
pendek.
Imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan
kortikosteroid sistemik dosis 2 mg / kg BB/hr atau prednisone 20
mg /hr selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan
pengobatan kortikosterid dihentikan atau 3 bulan setelah
pemberian kemoterapi selesai.
4. Pada resipien yang medapatkan human immunoglobulin.
Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan untuk
menghindarkan hambatan pembentukan respon imun.
5. Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan
infeksi. Walaupun responnya terhadap imunisasi tidak optimal,
dapat diberikan dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau
mati.
Pada umumnya tidak terdapat indikasi
kontra imunisasi untuk individu sehat
kecuali untuk kelompok risiko.
Pada tiap sediaan dapat petunjuk dari
produsen yang mencantumkan indikasi
kontra serta perhatian khusus terhadap
vaksin.
Petunjuk harus dibaca oleh setiap
pelaksana vaksinasi.
SURVEILANS KIPI

Membangun Imunization savety surveillance (surveilans


KIPI ) membutuhkan kerjasama yang saling
menguntungkan antara Program Imunisasi Departemen
Kesehatan dengan Balai Pengawasan Obat dan
Makanan sebagai dua mitra yang bertanggung
jawab terhadap keamanan vaksin.
Surveilans KIPI yang efektif melibatkan :
 Masyarakat/petugas kesehatan di lapangan bertugas melaporkan kasus
yang diduga menderita KIPI kepada petugas kesehatan Puskesmas
setempat.
 Supervisor tingkat Puskesmas ( petugas kesehatan/ Kepala Puskesmas) dan
Kabupaten/Kota melengkapi laporan kronologis kasus diduga KIPI.
 Tim KIPI tingkat Kabupaten/ Kota menilai laporan KIPI dan menginvestigasi
KIPI
 Komda PP KIPI-memeriksa informasi dari hasil telaah kasus KIPI di tingkat
Provinsi dan bertugas melakukan analisa KIPI secara teratur dan melakukan
umpan balik ke sistem dibawahnya.
 Komnas PP KIPI-memeriksa informasi hasil telaah kasus KIPI dari KOMDA PP
KIPI melakukan analisa KIPI secara teratur,meninjau keseluruhan pola dari
laporan dan pelacakann, membuat penilaian kausalitas KIPI pada kasus yang
belum dapat disimpulkan oleh Komda.
 Komnas PP KIPI terdi dari wakil Sub unit Imunisasi, BPOM ,Klinisi, Organisasi
profesi (IDAI, POGI,PAPDI) pakar dalam bidang mikrobiologi, virulogi, vaksin,
farmakologi, ahli epidemiologi , ahli forensic dan pakar hukum.
 Tujuan utama survailans KIPI untuk mendeteksi dini, merespon
kasus KIPI dengan cepat & tepat, mengurangi dampak negatif
imunisasi untuk kesehatn individu pada program imunisasi.
 Hal ini merupakan indikator kualitas program.
 Kegiatan surveilans KIPI meliputi :
 Mendeteksi ,memperbaiki & mencegah kesalahan progam
imunisasi.
 Mengidentifikasi peningkatan rasio KIPI yang tdk wajar pd
batch vaksin atau merek vaksin tertentu.
 Memastikan bahwa suatu kejadian yang diduga KIPI
merupakan koinsidens (suatu kebetulan )
 Menimbulkan kepercayaan masyarakat pada program
imunisasi & memberi respons yang tepat terhadap perhatian
org tua/masyarakat tentang keamanan imunisasi di tengah
kepedulian (masyarakat & professional) tentang adanya
risiko imunisasi.
 Memperkirakan angka kejadian KIPI ( rasio KIPI) pada suatu
populasi.
Prosedur surveilans KIPI pada dasarnya terdiri dari:
A. Penemuan kasus
B. Pelacakan kasus, dalam waktu 24 jam setelah laporan kasus
diterima.
C. Analisis kejadian, Kepala Puskesmas atau Komda PP-KIPI dapat
menganalisa data hasil pelacakan untuk menilai klasifikasi KIPI dan
dicoba utk mencari penyebab KIPI tersebut.
D. Tindak lanjut kasus
– Pengobatan ,kalau berat segera rujuk sesuai tata laksana medis.
– Komunikasi : mengakui ketidak pastian, investigasi menyeluruh ,
dan tetap memberi informasi ke masyarakat
Hindari membuat pernyataan yang terlalu dini tentang penyebab
dari kejadian sebelum pelacakan lengkap.
– Perbaikan mutu pelayanan : mengupayakan pelatihan
Setelah didapatkan kesimpulan penyebab dari hasil investigasi
kasus KIPI maka dilakukan tindak lanjut perbaikan.
E. Pelaporan dan Evaluasi
1. Pelaporan
 Identitas : Nama anak, tanggal dan tahun lahir (umur), jenis kelamin ,nama orang tua dan alamat
harus ditulis jelas.
 Jenis vaksin yang diberikan,dosis, nomer batch, siapa yang memberikan.
Vaksin sisa disimpan dan diperlakukan seperti vaksin yg masih utuh (perhatikan cold chain )
 Nama dokter yang bertanggung jawab.
 Adakah KIPI pada imunisasi terdahulu.
 Gejala klinis yang timbul dan atau diagnosis (bila ada), jika tidak terdeteksi dalam kolom laporan
tertulis. Pengobatan yang diberikan & perjalanan penyakit (sembuh, dirawat atau meninggal).
Sertakan hasil laboratorium yang pernah dilakukan serta penyakit yang menyertai.
 Waktu pemberian imunisasi (tanggal dan jam).
 Saat timbulnya gejala KIPI sehingga diketahui berapa lama interval waktu antara pemberian
imunisasi dengan terjadinya KIPI.
 Apakah ada gejala sisa setelah dirawat dan sembuh.
 Bagaimana cara menyelesaikan masalah KIPI (kronologi).
 Adakah tuntutan keluarga.

 Jumlah kasus KIPI akan meningkat sejalan dengan peningkatan pemakaian vaksin. Dalam menganalisa
hubungan antara KIPI dengan batch vaksin tertentu, pastikan angka pembanding atau denominator yang
digunakan akurat. Hasil analisa selalu ratio dan bukan jumlah laporan yang dievaluasi.
2. Hambatan Untuk Melapor
 Petugas kesehatan di daerah mungkin tidak melaporkan KIPI karena alasan:
– Tidak mempertimbangkan bahwa kejadian berhubungan dengan imunisasi.
– Tidak mengetahui tentang sistem pelaporan dan prosesnya.
– Penundaan, kurangnya perhatian atau waktu, tidak mampu menemukan
formulir laporan.
– Takut bahwa laporan akan membawa seseorg pada konsekuen hukuman
perorangan.
– Merasa bersalah telah menyebabkan bahaya dan merasa bertanggung jawab
terhadap kejadian tersebut.
– Segan untuk melaporkan KIPI karena merasa tidak yakin dengan diagnosa yang
dibuat.

 Hambatan ini dapat diatasi dengan:


– Meningkatkan kepedulian terhadap pentingnya pelaporan melalui sistem
pelaporan yang telah ada sehingga membuat pelaporan menjadi mudah
terutama pada situasi yang tidak pasti.
– Menekankan bahwa investigasi adalah untuk menemukan masalah pada sistem
sehingga segera dapat diatasi dan tidak untuk menyalahkan individu.
– Komda KIPI memberikan umpan balik yang positif terhadap laporan.
EVALUASI
 Evaluasi dilakukan oleh Komda PP KIPI setelah
menerima laporan.
 Pada kasus ringan tata laksana dapat
diselesaikan Puskesmas dan Komda PP KIPI
hanya perlu diberikan laporan.
 Kasus berat yang masih dirawat, sembuh dan
ada gejala sisa atau kasus meninggal dilakukan
evaluasi ketat dan apabila diperlukan Komnas
PP KIPI segera dilibatkan.
 Evaluasi akhir & kesimpulan disampaikan
kepada kepala Puskesmas untuk perbaikan
program yang akan datang.
TATA LAKSANA KASUS KIPI
Persiapan
1. Tempat
Untuk pelaksanaan imunisasi anak sekolah perlu disediakan ruangan
khusus untuk penanggulangan KIPI di setiap sekolah, misal: ruang UKS
atau ruang lain yang dilengkapi tempat berbaring.
2. Alat dan Obat
Alat dan obat perlu disiapkan, termasuk pengukuran tekana darah /
tensimeter, perlengkapan infus dan alat suntik steril serta
keamananpemberian suntikan perlu diperhatikan.
3. Rujukan
Tentukan sarana dan jalur komunikasi fasilitas kesehatan yang melayani
imunisasi ke tempat rujukan. Dipersiapkan juga rujukan ke rumah sakit bila
diperlukan.
4. Penerima vaksin (resepien)
Secara umum perhatikan :
a. Infeksi akut, bila ditemukan gejala demam yang mungkin disebabkan
oleh infeksi akut, sebaiknya imunisasi ditunda dulu.
b. Pendekatan secara psikologis dilakukan dengan memberikan
penerangan yang jelas kepada org tua tentang imunisasi dan
manfaatnya bagi perlindungan anak dimasa mendatang. Jelaskan
tentang kemungkinan terjadi reaksi KIPI dan juga segera menghubungi
petugas kesehatan yang terdekat.
5. Mengenal gejala klinis KIPI
Yang dapat dibagi menjadi gejala lokal & sistemik serta reaksi lainnya yang
dapat timbul secara cepat atau lambat. Pada umumnya makin cepat terjadi KIPI
makin berat gejalanya.
6.Prosedur pelayanan
Pelaksanaan setiap prosedur pelayanan secara benar akan membantu
mengurangi risiko KIPI. Pemahaman dasar tentang KIPI, terutama saat
terjadinya KIPI dan jenis vaksin yang diberikan akan sangat membantu
penatalaksanaanya kasus KIPI.
7. Pelaksana
Pelaksana imunisasi adalah tenaga kesehatan yang telah terlatih dan ditunjuk
oleh kepala Puskesmas.

Evaluasi medis…….??????
Petugas pelaksana perlu mengetahui tentang gejala klinis KIPI yang bervariasi
dalam rentang waktu yang berbeda-beda sesuai pengalaman emperik yang
sudah dibakukan atau dikodekan oleh Institute Of Medicine.
PENYELESAIAN MASALAH KIPI
A.MEDIKOLEGAL.
1. Dasar Hukum dan Sifat Hukum
a. Imunisasi merupakan tindakan medik dalam aspek preventif dan proteksi spesifik yang
ditujukan kepada orang (anak) sehat bukan terhadap anak sakit, dengan demikian imunisasi
ditujukan kepada Klien atau konsumen dan bukan pasien.
b. Dalam keadaan tertentu sebagaimana risiko tindakan medik lainnya, KIPI yang bersifat
cacat,darurat atau fatal menyebabkan kedudukan pasien tersebut berubah menjadi korban
(ketika dipersoalkan status hak-nya, maka akan berpotensi adanya gugatan hukum).
c. KIPI mencakup side–effect dan atau adverse effect serta after event tindakan medik berupa
imunisasi.
d. Difinisi dan klasifikasi serta pemastian adanya KIPI di sisi lain juga sebagai penerapan azas
praduga tidak bersalah terhadap dokter dan tenaga kesehatan, apabila terjadi kejadian
tersebut dokter harus tetap tenang dan bekerja sesuai profesi tanpa dibayangi fobia risiko
gugatan hukum.
e. Berbeda dengan program imunisasi masal yang dilaksanakan pemerintah (vaksin dalam
rangka program) beranah hukum publik ( hukum administrasi Negara), Imunisasi
perorangan oleh dokter swasta (vaksin non – program) memiliki ranah hukum perdata
(walaupun bisa juga memasuki ranah hukum pidana) & hukum disiplin profesi.
f. Dalam program imunisasi masal terdapat unsur kewajiban pemerintah yang memberikan
kewenangan publik kepada Departemen kesehatan yang secara hak tidak bisa dilawan,
mewajibkan setiap orang/ warga negara melakukan imunisasi (sesuai hak yang mengatur
pada Undang-Undang tentang Kesehatan).
2. Analisis Hukum
Ditinjau dari sisi subyek hukum, imunisasi swasta dilakukan oleh :
a) Dokter praktek swasta yang berijin praktek sah
b) Dokter pengganti
c) Perawat atau tenaga kesehatan yang bekerja di tempat praktek
dokter tersebut sebagai penyuntik vaksin ke klien/ pasien.
Bila terjadi gugatan/ pengaduan hukum kasus KIPI akibat programmatic
error yang disebabkan oleh suntikan perawat atau dokter pengganti,
secara tanggung renteng perdata (vicarious liability) dokter praktek
swasta tersebut dapat (ikut) digugat, kecuali hal itu benar-benar akibat
kesalahan yang bersumber dari kompetensi mereka.

Ditinjau dari kekuasaan hukum atau kewengan tata letak hukum :


a) Terhadap orang : imunisasi diajukan terhadap klien/ pasien baik bayi,
anak maupun dewasa sebagai adressat/ penerima imunisasi.
b) Terhadap ruang : melalui praktek dokter swasta, rumah sakit swasta
atau sarana kesehatan lainnya.
c) Terhadap waktu : setiap saat atau jangka wat tertentu ketika terjadi
kunjungan klien/ pasien pada hari dan jam praktek tertentu.
d) Terhadap benda : dengan vaksin yang telah diakui secara sah,
efektif dan efisien.

Harus dibedakan hak ini dengan 2 hal


1. Vaksin untuk penyakit yang pemberantasannya diprogramkan
Pemerintah maka pemerintah ikut sebagai salah satu pihak yang
bertanggung jawab.
2. Vaksin untuk penyakit yang pencegahannya belum menjadi
program Pemerintah (non program) maka secara product
liability, perusahaan vaksin/ perusahaan alat kesehatan terkait,
termasuk distributor resminya ikut menanggung risiko KIPI
termasuk santunan ganti ruginya.
3.Hubungan Hukum
Terdapat 3 jenis hubungan hukum :
a. Dokter dan Klien
Hal-hal yang diperlukan pada fase persiapan tersebuta
adalah :
1) Ketelitian atau hati-hati
a) Administrasi berupa jadwal imunisasi,prosedur tetap
pemberian imunisasi (SOP), standar pelayanan imunisasi &
standar dokumen ( rekam medik pasien), kesiapan/
kompetensi & kewenangan (ijin) dokter/ perawat.
b) Medis tekhnis berupa baku mutu & prosedur
penyimpanan vaksin (cold chain, lemari es) dan alat
kesehatan lain nya (sterilitas dll), sarana penanganan dan
perujukan KIPI “ berat –akut – bisa fatal “ seperti sarana
penanganan syok anafilaktik.
c) Pemberian informasi memadai tentang tujuan/ kegunaan,
risiko (termasuk KIPI), termasuk harga dari vaksin non
program yang umumnya masih di rasakan mahal oleh
konsumen.
2) Informed Consent
a) Informed consent dari orang tua atau pengampunya mutlak diperlukan
mengingat bayi / anak sekolah belum dianggap sebagai pribadi hukum mandiri
(belum dewasa).
b) Setelah proses pemberian informasi (termsuk penjelasan bahwa imunisasi
adalah hak anak sesuai dengan deklarasi World Health Assembly) dibuka
kemungkinan penolakan bagi orang tua tertentu. Penolakan ini harus tertulis
disertai alasannya .
c) Harus disertai pernyataan kewajiban kesediaan orang tua agar anaknya di
imunisasi serupa pada kesempatan atau tempat lainnya.
3) Indikasi Medik Untuk Imunisasi
a) Indikasi medik imunisasi vaksin adalah jelas, merupakan program pemerintah
bagi sasaran bayi/ anak terkait yang sehat & memenuhi syarat.
b) Rekam medis atau berkas laporan anak yang berkontra indikasi imunisasi
penting bagi alasan pembenaran atau pembelaan bagi dokter
c) Sebaliknya tidak adanya indikasi medik imunisasi akan memberatkan aduan bagi
dokter terhadap gugatan perdata atau bahkan pidana bila terjadi kelalaian berat
secara hukum.
b. Dokter dan Pasien
Bila KIPI muncul, klien berubah status menjadi pasien.
Tata laksana komprehensif KIPI dapat dikelompokkan menjadi :
1) KIPI dini atau ringan
Dalam kondisi tidak gawat/ darurat ditempuh proses informed
consent ulang kepada orang tua dalam rangka pengobatan (anak)
penderita KIPI di tempat praktek yg sama.
2) KIPI lanjut atau berat
Bila disertai kondisi gawat/ darurat tidak diperlukan informed-
consent, langsung saja dilakukan tindakan medis life saving, baik
ditempat praktek semula ataupun dikirim ke RS rujukan. Bila tidak
gawat atau kondisi sudah stsabil ikuti prosedur KIPI ringan.

KONDISI KIPI adalah :


Kelainan psikologik khas yang memerlukan kompetensi khusus untuk
menegakkannya. Dalam konteks imunisasi swasta diagnosis awalnya
harus dilakukan oleh dokter tersebut sesuai aturan hak kedokteran yang
umum berlaku.
 Permasalahan KIPI termasuk keterlambatan diagnosis/ penanganan.
 Rekam medis menjadi penting untuk kepastian hukum dan
perlindungan hukum dokter atau pasiennya.
c. Dokter dan Korban
Tatalaksana hampir sama dengan butir b, namun
telebih dahulu diperlukan penanganan segera untuk
memberikan “ ventilasi “ bagi keluarga korban,
berkoordinasi dengan teman sejawat atau organisasi
profesi setempat dalam rangka obyektivitas atau bahkan
pembelaan bila terjadi praduga tidak bersalah dari
pihak keluarga korban.

4. Peran Organisasi Profesi Dalam KIPI


Peran organisasi IDI/ IDAI :
a. Sebagai pembina keilmuan : khususnya dalam
pembutan SOP, standar pelayanan yang ditinjau dari
profesi masing-masing sebagaimana peran satuan
petugas imunisasi IDAI selama ini.
b. Sebagai pakar pemerintah dan produsen vaksin dalam
membuat rujukan suatu dokumen konsensus yang
berguna sebagai tolok ukur kejadian dan kemungkinan
KIPI.
c. Sebagai sumber pakar dalam lembaga, seperti : KOMNAS/
KOMDA KIPI yang bertugas memverifikasi dan memfasilitasi KIPI.
d. Sebagai sumber pakar dalam penyelesaian sengketa medik kasus
KIPI antara dokter dan kelompok korban. Baik melalui MKEK IDI
(Majelis yg meneliti kesalahan etik dokter) atau Makersi BP2A(yang
membela kepentingan anggota IDI). Proses negosiator, mediator,
konsiliator dan arbiter pada proses penyelesaian sengketa non
pengadilan , melalui jalur Badan Penyelesaian Sengketa Kosumen
atau lembaga lain yg berhak.
e. Sabagai lembaga yang mengkoordinir pemungutan dan atau
pengelolaan asuransi profesi khususnya bagi dokter praktek swasta
yang mungkin berguna bagi kasus KIPI di tempat praktek swasta
oleh dokter.
f. Dalam skala makro sesuai dengan substansi hukum administrasi
negara, IDI berfungsi sebagai lembaga independen terhadap
tindakan pengontrol pemerintah, seperti : pemprakarsa diadilinya
secara pidana perbuatan memperkaya diri sendiri dan kesalahan
prosedural pejabat tentang penyalah gunaan kewenangan di
bidang imunisasi.
KOMPENSASI
 Vaksin modern umumnya lebih efektif & dapat ditoleransi dengan
baik oleh anak, namun perlu diingat bahwa sebetulnya tidak ada
vaksin yang benar-benar aman.
 Semakin besar suatu program imunisasi untuk mencegah dan
mengontrol penyakit maka akan semakin bsr pula perhatian
terhadap kejadian ikutan yang dihubungkan dengan imunisasi
tersebut.
 Mengingat masalah KIPI masih akan terjadi, maka di berbagai Negara
maju telah dilakukan pemberian kompensasi bagi pasien dengan
membuat daftar kejadian yang termasuk kategori dapat diberikan
kompensasi atau tidak.
 Untuk selanjutnya mungkin perlu diperlukan pula pembuatan
semacam badan khusus bagi upaya kompensasi kasus KIPI berat di
Indonesia.
 Untuk itu berdasarkan data KIPI yang ada dapat dibuat daftar gejala
pada penerima imunisasi yang layak mendapat kompensasi. Saat ini
santunan untuk kasus KIPI diberikan berdasarkan pertimbangan
kebijaksanaan daerah setempat dan untuk kasus tertentu.
 Selama belum diperoleh kesimpulan dari data lokal, maka daftar dr.
National Childhood Vaccine Injury Act, USA (1986) dapat menjadi
acuan sementara.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai