(KIPI)
Wahyuni, S.ST, M.Biomed
KIPI atau reaksi samping atau adverse events
following immunization (AEFI) adalah semua
kejadian sakit yang terjadi setelah menerima
imunisasi
Mengetahui hubungan antara imunisasi
dengan KIPI diperlukan pencatatan &
pelaporan semua reaksi sampingan yang
timbul setelah pemberian imunisasi
(surveilans KIPI)
Surveilans KIPI sangat membantu program
imunisasi, khususnya untuk memperkuat
keyakinan masyarakat akan pentingnya upaya
pencegahan penyakit yang paling efektif
Himbauan WHO terhadap pemantauan KIPI tertuang
pada pertemuan WHO –SEARO tahun 1996 dengan
rekomendasi :
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) harus
mempunyai perencanaan secara rinci & terarah
sehingga dapat memberikan tanggapan segera pada
laporan KIPI
Setiap KIPI berat harus dilakukan analisis oleh tim
yang terdiri dari : para ahli epidemiologi & profesi
(di Indonesia oleh Komite Nasional Pengkajian &
Penanggulangan KIPI= KN PP KIPI) dan temuan
tersebut harus disebar luaskan melalui jalur
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dan media
masa
PPI harus segera memberikan tanggapan secara cepat &
akurat kepada media masa perihal KIPI yang terjadi.
Pelaporan KIPI mengenai : Abses BCG harus dipantau demi
perbaikan penyuntikan yang benar di kemudian hari.
PPI harus melengkapi petugas lapangan dengan formulir
pelaporan kasus, definisi KIPI yang jelas & instruksi yang
rinci perihal jalur pelaporan.
PPI perlu mengkaji laporan kasus KIPI dari pengalaman
dunia internasional sehingga dapat memperkirakan
besarnya masalah KIPI yang dihadapi.
TUJUAN
1. Dapat menemukan kasus KIPI melalui jalur
lapangan yang efektif dan efisien.
2. Dapat mengetahui jenis dan pola kasus KIPI
dengan cepat dan tepat.
3. Dapat menangani kasus KIPI secara
komprehensif.
4. Memberikan pengertian tentang KIPI dan
menentramkan lingkungan masyarakat di
daerah sasaran program dan lingkungan
sekolah.
5. Menghimpun data KIPI di Indonesia.
KEBIJAKAN
1. Setiap kasus KIPI atau yang dilaporkan sebagai
KIPI oleh petugas maupun oleh masyarakat
harus dilacak, dicatat dan ditanggapi.
2. Setiap kasus KIPI sedapat mungkin diupayakan
pengobatannya di fasilitas pelayanan
pemerintah.
3. Untuk setiap kasus KIPI, masyarakat berhak
untuk mendapatkan penjelasan resmi atas hasil
penelitian resmi yang dilakukan pemerintah dan
penanggung jawab program.
4. PEMDA turut dalam penanggulangan KIPI
didaerahnya
DIFINISI KIPI
Semua kejadian sakit & kematian yang terjadi dalam
masa 1 bulan setelah imunisasi.
Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat
mencapai 42 hari (arthritis kronik pasca vaksinasi
rubella) atau bahkan sampai 6 bulan .
Reaksi terhadap obat & vaksin dapat merupakan reaksi
simpang atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat
efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain
berupa efek farmakologi, efek samping, interaksi obat,
intoleransi, reaksi idiosinkrasi dan reaksi alergi yang
umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri
sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan
seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang
genetik.
Kejadian yang bukan disebabkan efek samping
dapat terjadi karena kesalahan tekhnik pembuatan,
pengadaan & distribusi serta penyimpanan vaksin,
kesalahan prosedur&tehnik pelaksanaan imunisasi,
semata- mata kejadian yang timbul secara kebetulan.
Persepsi awal dari petugas kesehatan adalah
menganggap semua kelainan dan kejadian yang
dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi alergi
terhadap vaksin.
Akan tetapi telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety
Comittee, Institute of Medicine (IOM) USA
menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi
secara kebetulan saja (koinsidensi).
Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering
adalah akibat kesalahan prosedur & tekhnik
pelaksanaan (programmatic error).
EPIDEMILOGI KIPI
KIPI akan timbul setelah pemberian vaksin dalam jumlah
besar.
Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan melalui
fase uji klinis yang lazim : fase 1,2,3, dan 4.
Uji klinis fase 1 dilakukan pada binatang percobaan
sedangkan fase selanjutnya pada manusia.
Uji klinis fase 2 untuk mengetahui keamanan vaksin
(reactogenicity and savety), sedangkan pada fase 3 selain
keamanan juga dilakukan uji efektivitas (imunogenisitas)
vaksin.
Uji klinis 4 dengan sample besar yang dikenal sebagai
Post Marketing Surveillance (PMS). Tujuan PMS adalah
untuk mengetahui keamanan vaksin setelah pemakaian
yang cukup luas di masyarakat (program imunisasi).
Telah terbukti pemberian imunisasi dapat
menurunkan angka kejadian suatu penyakit bahkan
melenyapkan penyakit. Contoh musnahnya
penyakit cacar. Pola eradikasi cacar dapat
diterapkan untuk penyakit lain yang berbahaya,
yaitu penyakit yang dapat menimbulkan kematian
& kecacatan.
Pada saat insidens penyakit masih tinggi (jumlah
kasus banyak) imunisasi belum dilakukan,
sehingga KIPI belum menjadi masalah.
Imunisasi telah menjadi program yang makin lama
cakupannya akan semakin meningkat dan
berakibat terhadap penurunan insidens penyakit.
Meningkatnya kasus KIPI dapat menurunkan
kepercayaan masyarakat terhadap program
imunisasi.
Kepercayaan masyarakat akan timbul kembali
apabila kasus dapat diselesaikan dengan baik:
pelaporan & pencatatan yang baik, penanganan
kasus KIPI segera & pemberian ganti rugi yang
memadai. Cakupan imunisasi yang tinggi akan
tercapai kembali dengan diikuti penurunan angka
kejadian penyakit.
Keberhasilan imunisasi akan diikuti dengan
pemakaian vaksin dalam dosis besar. Namun
pada perjalanan program imunisasi akan memacu
proses maturasi persepsi masyarakat sehubungan
dengan efek samping vaksin yang mungkin timbul
sehingga berakibat munculnya kembali penyakit
dalam bentuk kejadian luar biasa (KLB).
ETIOLOGI
Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi
karena sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya
dengan imunisasi.
Karena itu untuk menentukan KIPI diperlukan :
1. Besar frekwensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin
tertentu.
2. Sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik.
3. Derajad sakit resipien, apakah memerlukan
perawatan, menderita cacat atau menyebabkan
kematian.
4. Apakah penyebab dapat dipastikan, diduga atau tidak
terbukti.
5. Apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan
dengan vaksin, kesalahan produksi atau kesalahan
prosedur.
Komnas PP-KIPI mengelompokkan etiologi dalam 2
klasifikasi :
1. Klasifikasi Lapangan menurut WHO Western Pasific (1999)
untuk petugas kesehatan di lapangan
Memilah KIPI dalam 5 kelompok penyebab:
a. Kesalahan program/ tekhnik pelaksanaan
(programmatic errors)
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program
& tekhnik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan
program penyimpanan, pengelolaan & tata laksana pemberian
vaksin.
b. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik
baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi
KIPI. Reaksi langsung : rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada
bekas suntikan, sedangkan reaksi tidak langsung : rasa takut,
pusing, mual sampai sinkope.
c. Induksi vaksin (reaksi vaksin )
Pada umumnya sudah dapat diprediksi karena merupakan
reaksi simpang vaksin & secara klinis biasanya ringan,
walaupun bisa terjadi hebat seperti reaksi anafilaksis
sistemik dengan resiko kematian.
d. Faktor kebetulan (koinsiden)
Kejadian yang timbul secara kebetulan saja setelah
imunisasi. Indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan
ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan
pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik
serupa tetapi tidak mendapat imunisasi.
e. Penyebab tidak diketahui
Apabila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum
dapat dikelompokkan kedalam salah satu penyebab, maka
sementara waktu dimasukkan ke dalam kelompok ini
sambil menunggu informasi lebih lanjut.
2 .Klasifikasi kausalitas menurut Institute Of Medicine
(IOM) 1991 membuat telaah & publikasi tentang KIPI
pertusis & rubella yang serius karena banyaknya laporan
KIPI yang dihubungkan vaksin pertusis & DPT.
Jumlah kasus KIPI akan meningkat sejalan dengan peningkatan pemakaian vaksin. Dalam menganalisa
hubungan antara KIPI dengan batch vaksin tertentu, pastikan angka pembanding atau denominator yang
digunakan akurat. Hasil analisa selalu ratio dan bukan jumlah laporan yang dievaluasi.
2. Hambatan Untuk Melapor
Petugas kesehatan di daerah mungkin tidak melaporkan KIPI karena alasan:
– Tidak mempertimbangkan bahwa kejadian berhubungan dengan imunisasi.
– Tidak mengetahui tentang sistem pelaporan dan prosesnya.
– Penundaan, kurangnya perhatian atau waktu, tidak mampu menemukan
formulir laporan.
– Takut bahwa laporan akan membawa seseorg pada konsekuen hukuman
perorangan.
– Merasa bersalah telah menyebabkan bahaya dan merasa bertanggung jawab
terhadap kejadian tersebut.
– Segan untuk melaporkan KIPI karena merasa tidak yakin dengan diagnosa yang
dibuat.
Evaluasi medis…….??????
Petugas pelaksana perlu mengetahui tentang gejala klinis KIPI yang bervariasi
dalam rentang waktu yang berbeda-beda sesuai pengalaman emperik yang
sudah dibakukan atau dikodekan oleh Institute Of Medicine.
PENYELESAIAN MASALAH KIPI
A.MEDIKOLEGAL.
1. Dasar Hukum dan Sifat Hukum
a. Imunisasi merupakan tindakan medik dalam aspek preventif dan proteksi spesifik yang
ditujukan kepada orang (anak) sehat bukan terhadap anak sakit, dengan demikian imunisasi
ditujukan kepada Klien atau konsumen dan bukan pasien.
b. Dalam keadaan tertentu sebagaimana risiko tindakan medik lainnya, KIPI yang bersifat
cacat,darurat atau fatal menyebabkan kedudukan pasien tersebut berubah menjadi korban
(ketika dipersoalkan status hak-nya, maka akan berpotensi adanya gugatan hukum).
c. KIPI mencakup side–effect dan atau adverse effect serta after event tindakan medik berupa
imunisasi.
d. Difinisi dan klasifikasi serta pemastian adanya KIPI di sisi lain juga sebagai penerapan azas
praduga tidak bersalah terhadap dokter dan tenaga kesehatan, apabila terjadi kejadian
tersebut dokter harus tetap tenang dan bekerja sesuai profesi tanpa dibayangi fobia risiko
gugatan hukum.
e. Berbeda dengan program imunisasi masal yang dilaksanakan pemerintah (vaksin dalam
rangka program) beranah hukum publik ( hukum administrasi Negara), Imunisasi
perorangan oleh dokter swasta (vaksin non – program) memiliki ranah hukum perdata
(walaupun bisa juga memasuki ranah hukum pidana) & hukum disiplin profesi.
f. Dalam program imunisasi masal terdapat unsur kewajiban pemerintah yang memberikan
kewenangan publik kepada Departemen kesehatan yang secara hak tidak bisa dilawan,
mewajibkan setiap orang/ warga negara melakukan imunisasi (sesuai hak yang mengatur
pada Undang-Undang tentang Kesehatan).
2. Analisis Hukum
Ditinjau dari sisi subyek hukum, imunisasi swasta dilakukan oleh :
a) Dokter praktek swasta yang berijin praktek sah
b) Dokter pengganti
c) Perawat atau tenaga kesehatan yang bekerja di tempat praktek
dokter tersebut sebagai penyuntik vaksin ke klien/ pasien.
Bila terjadi gugatan/ pengaduan hukum kasus KIPI akibat programmatic
error yang disebabkan oleh suntikan perawat atau dokter pengganti,
secara tanggung renteng perdata (vicarious liability) dokter praktek
swasta tersebut dapat (ikut) digugat, kecuali hal itu benar-benar akibat
kesalahan yang bersumber dari kompetensi mereka.