DOSEN PEMBIMBING:
Ns. Alfianur, S.Kep, M.Kep
Oleh:
Penanggung Jawab : Nia Rahmawati (18010021)
Anggota I : Iftiana (18010015)
Anggota II : Fitria (18010014)
Imunisasi melindungi anak terhadap beberapa penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I). Setiap tahun lebih dari 1,4 juta anak di dunia meninggal karena berbagai penyakit yang
sebenarnya dapat dicegah dengan imunisasi. Meskipun pada kenyataannya sekarang telah
banyak ibu yang membawa bayinya ke tenaga kesehatan untuk mendapatkan imuniasi, namun
hanya sebagian kecil dari mereka yang diberikan konseling. Di Desa Bagan Jaya 44,37% balita
tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap dengan alasan kurang pengetahuan 42,86% dan repot
57,1%. Target luaran yang diharapkan peningkatan pengetahuan antara sebelum dan setelah
penyuluhan, serta kesadaran ibu untuk membawa anaknya ke Posyandu untuk mendapatkan
imunisasi. Metode yang digunakan adalah penyuluhan. Hasil pengabdian terdapat peningkatan
pengetahuan dan kesadaran ibu untuk membawa anaknya mendapatkan imunisasi dalam upaya
pencegahan penyakit.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................
1.2 Tujuan Penulisan Lap.....................................................................................
A. Latar Belakang
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpapar dengan
penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Setiap tahun lebih
dari 1,4 juta anak di dunia meninggal karena berbagai penyakit sebenarnya dapat dicegah
dengan imunisasi. Beberapa penyakit menular yang termasuk ke dalam Penyakit yang
dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I) antara lain TBC, Difteri, Tetanus, Hepatitis B,
Pertusis, Campak, Polio, radang selaput otak, dan radang paru-paru. Anak yang telah
diberi imunisasi akan terlindungi dari berbagai penyakit berbahaya tersebut, yang dapat
menimbulkan kecacatan atau kematian (Kemenkes RI, 2016).
Berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015
menunjukkan AKB sebesar 22,23 per 1.000 kelahiran hidup, yang artinya sudah
mencapai target MDG 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. Begitu pula dengan
Angka Kematian Balita (AKABA) hasil SUPAS 2015 sebesar 26,29 per 1.000 kelahiran
hidup, juga sudah memenuhi target MDG 2015 sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup.
Hasil survei Riskesdas tahun 2013 didapatkan data cakupan imunisasi HB-0 (79,1%),
BCG (87,6%), DPT-HB-3 (75,6%), Polio-4 (77,0%), dan imunisasi campak (82,1%).
Survei ini dilakukan pada usia anak 1–23 bulan. Adapun cakupan pemberian imunisasi
sebesar 59,2% imunisasi lengkap, 32,1% imunisasi tidak lengkap, dan 8,7% tidak pernah
diimunisasi.
Imunisasi dasar pada bayi seharusnya diberikan pada anak sesuai dengan
umurnya. Pada kondisi ini, diharapkan sistem kekebalan tubuh dapat bekerja secara
optimal. Namun, pada kondisi tertentu beberapa bayi tidak mendapatkan imunisasi dasar
secara lengkap. Seperti kita ketahui, bahwa di masyarakat masih ada pemahaman yang
berbeda mengenai imunisasi, sehingga masih banyak bayi dan balita yang tidak
mendapatkan pelayanan imunisasi. Alasan yang disampaikan orangtua mengenai hal
tersebut, antara lain karena anaknya takut panas, sering sakit, keluarga tidak
mengizinkan, tempat imunisasi jauh, tidak tahu tempat imunisasi, serta sibuk/repot.
Karena itu, pelayanan imunisasi harus ditingkatkan di berbagai unit pelayanan
(Kemenkes RI, 2015).
Selain memiliki manfaat, imunisasi juga menimbulkan efek samping dalam
pelaksanaannya. Dalam dunia kesehatan, fenomena ini dikenal juga dengan istilah
adverse event atau lebih dikenal dengan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI).
Berdasarkan Riskesdas 2013, di dapatkan bahwa dari 91,3 persen anak di Indonesia yang
pernah diimunisasi, terdapat 33,4 persen yang pernah mengalami KIPI. Keluhan yang
sering terjadi adalah kemerahan dan bengkak, sedangkan keluhan demam tinggi dialami
6,8 persen anak.
Berdasarkan hasil observasi, meskipun pada kenyataannya sekarang telah banyak
ibu yang membawa bayinya ke tenaga kesehatan untuk mendapatkan imuniasi, namun
hanya sebagian kecil dari mereka yang diberikan konseling mengenai imunisasi. Akibat
dari kurangnya pengetahuan tentang imunisasi banyak ibu yang kemudian panik dan
menyalahkan tenaga kesehatan untuk efek samping dari imunisasi yang mungkin bisa
terjadi. Di Kabupaten Indragiri Hilir Desa Bagan Jaya 44,37% balita tidak mendapatkan
imunisasi dasar lengkap dengan alasan kurang pengetahuan 42,86% dan repot 57,1%.
Pengetahuan ibu terhadap imunisasi merupakan faktor yang sangat penting, agar
ibu dapat cepat tanggap dan tahu apa yang harus dilakukan ketika timbul efek samping
pada anaknya untuk mendapatkan cakupan kelengkapan imunisasi(Sarfaraz, 2017).
Kurangnya pengetahuan orang tua terutama ibu akan membawa sikap negatif dan rasa
takut akan efek samping imunisasi yang nantinya akan berdampak pada pandangan ibu
dan kemauan ibu untuk membawa anaknya ke fasilitas kesehatan guna mendapatkan
imunisasi. Sehingga ada ibu yang berpandangan bahwa imunisasi akan menjadi hal yang
merugikan bagi anaknya (Septiarini, 2015).
Pemberian informasi melalui penyuluhan atau pendidikan kesehatan tentang
imunisasi merupakan upaya promotif untuk meningkatkan pengetahuan tentang imunisasi
dan preventif untuk pencegahan penyakit, sehingga mampu menumbuhkan kesadaran
orangtua membawa anaknya ke Posyandu untuk mendapatkan imunisasi dasar secara
lengkap (Fitriani, 2013).
2. Sasaran keluarga
Sasaran keluarga adalah keluarga yang termasuk rentan terhadap masalah
kesehatan (vulnerable group) atau risiko tinggi (high risk group), dengan
prioritas :
3. Sasaran kelompok
Sasaran kelompok adalah kelompok masyarakat khusus yang rentan terhadap
timbulnya masalah kesehatan baik yang terikat maupun tidak terikat dalam
suatu institusi.
4. Sasaran masyarakat
Sasaran masyarakat adalah masyarakat yang rentan atau mempunyai risiko
tinggi terhadap timbulnya masalah kesehatan, diprioritaskan pada a. Masyarakat
di suatu wilayah (RT, RW, Kelurahan/Desa) yang mempunyai :
7. Falsafah
Falsafah adalah keyakinan terhadap nilai - nilai yang menjadi pedoman untuk
mencapai suatu tujuan atau sebagai pandangan hidup. Falsafah keperawatan
memandang keperawatan sebagai pekerjaan yang luhur dan manusiawi.
Penerapan falsafah dalam keperawatan kesehatan komunitas, yaitu:
1) Pelayanan keperawatan kesehatan komunitas merupakan bagian integral dari upaya
kesehatan yang harus ada dan terjangkau serta dapat di terima oleh semua orang.
2) Upaya promotif dan preventif adalah upaya pokok tanpa mengabaikan upaya kuratif
dan rehabilitatif.
3) Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada klien berlangsung secara berkelanjutan.
4) Perawat sebagai provider dan klien sebagai konsumer pelayan¬an kesehatan,
menjalin suatu.hubungan yang saling mendukung dan mempengaruhi perubahan
dalam kebijaksanaan dan pelayanan kesehatan.
5) Pengembangan tenaga keperawatan kesehatan masyarakat direncanakan
berkesinambungan.
6) Individu dalam suatu masyarakat ikut bertanggungjawab atas kesehatannya. la
harus ikut mendorong, medidik, dan berpartisipasi secara aktif dalam pelayanan
kesehatan mereka sendiri.
8. Filosofi
Menurut Helvie (1991) keperawatan komunitas memiliki filosofi sebagai berikut :
1) Kesehatan dan hidup produktif lebih lama adalah hak semua orang.
2) Semua penduduk mempunyai kebutuhan belajar kesehatan.
3) Beberapa klien tidak mengenal kebutuhan belajarnya dapat membantu meningkkan
kesehatannya.
6) Konsep dan nilai kesehatan berbeda pada setiap orang bergantung pada latar
belakang budaya, agama dan sosial klien.
7) Autonomi individu dan komunitas dapat diberikan prioritas yang berbeda pada
waktu yang berbeda.
8) Klien adalah fleksibel dan dapat berubah dengan adanya perubahan rangsang
internal dan eksternal.
11) Klien bergerak dalam arak berbeda sepanjang rentang sehat pada waktu yang
berbeda.
13) Pengetahuan dan teknologi kesehatan baru yang terjadi sepanjang waktu akan
merubah kebutuhan kesehatan.
7) Klien adalah masyarakat secara keseluruhan bark yang sakit maupun yang
sehat.
10) Perawat kesehatan komunitas tidak bekerja secara sendiri tetapi bekerja
secara tim
Komponen lingkungan fisik yang dikaji meliputi lingkungan sekolah dan tempa
yang mampu mepengaruhi kesehatan, batasan wilayah, luas daerah, denah atau peta
iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, dan kegiatan
penduduk hari. Lingkungan fisik juga dapat dikaji melalui wienshield.
Data yang dikaji dari subsistem layanan kesehatan dan sosial meliputi fasilitas di
komunitas dan di luar komunitas. Layanan kesehatan meliputi ketersediaan layanan
ke bentuk layanan, jenis layanan, sumber daya, karaktersirtik konsumen, statistik,
pemPada subsistem ekonomi dikaji pendapatan penduduk, rata-rata penghasilan
pekerjaan, jenis pekerjaan, sumber penghasilan, jumlah penduduk miskin,
keberadaan i toko/pusat pembelanjaan, dan tempat komunitas bekerja, dan bantuan
dana untuk peme kesehatan. Komponen ini mempermudah komunitas memproleh
bahan makanan dan seb Sementara itu pada komponen politik dan pemerintah dikaji
situasi polipemerintahan di komunitas, peraturan dan kebijakan pemerintah daerah
terkait k komunitas, dan adaya program kesehatan yang ditunjukan pada penigkatan
kesehatan ko Pengkajian subsistem komunikasi meliputi media informasi yang
dimanfaatkan, bakomunikasi sering dimanfaatkan masyarakat, orang-orang yang
berpengaruh, keiku dalam pendidikan kesehatan, bagaimana biasanya komunitas
memproleh informasi kesehatan, adakah perkumpulan atau wadah bagi komunitas
sebagai sarana untuk men informasi, dari siapa komunitas memproleh banyak
informasi tentang kesehatan, dan sarana komunikasi formal dan informal dalam
komunitas. Komponen pendidikan meliputi status pendidikan masyarakat, ketersedia
keterjangkauan sarana pendidikan, fasilitas pendidikan yang ada di komunitas, jenis
pen tingkat pendidikan, komunitas yang buta huruf. Pengkajian subsistem rekreasi
diarahkan pada kebiasaan komunitas berekreasi, akt luar rumah termasuk dalam
mengisi waktu luang dan jenis rekreasi yang dapat dima oleh komunitas, dan sarana
penyaluran bakat komunitas.
1. Windshield Survery
2. Observasi Partisipasi
Setiap kegiatan kehidupan di komunitas perlu diobservasi. Tentukan berapa lama observ
dilakukan, apa, dimana, waktu, dan tempat komunitas yang akan di observasi.
observasi dapat dilakukan menggunakan format observasi yang sudah disiapkan terlebih
kemudian catat semua yang terjadi, dengan tambahan penggunaan kamera atau video. I
yang penting diperoleh menyangkut aktivitas dan arti sikap atau tampilan yang ditem
komunitas. Observasi dilakukan terhadap kepercayaan komunitas, norma, nilai,
kekuatan proses pemecahan masalah di komunitas.
FGD merupakan diskusi kelompok terarah yang dilakukan untuk mendapatkan i yang
mendalam tentang perasaan dan pikiran mengenai satu topic melaui proses kelompok,
berdasarkan pengalaman subjektif kelompok sasaran terhadap satu institus tertentu FGD
bertujuan mengumpulkan data mengenai persepsi terhadap sesuatu, pelayanan yang dan
tidak mencari consensus serta tidak mengambil keputusan mengana yang harus dilakukan.
Peserta FGD terdiri dari 6-12 orang dan harus homogen, dikelompok.
Berdasarkan kesamaan jenis kelamin, usia, latar belakang social ekonomi (pendidik status
perkawinan, dsb). Lama diskusi maksimal 2 jam. Lokasi FGD harus memberika yang aman
dan nyaman sehingga menjamin narasumber berbicara terbuka dan wajar hubungan baik,
fleksibel, dan terbuka terhadap saran, perubahan, gangguan, dan kupartisipasi.
Perekam jalannya diskusi yang paling utama adalah pengamat merangkap (observer dan
recorder) hal yang perlu dicatat adalah tanggal diskusi, waktu diskusi d tempat diskusi,
jumlah peserta, tingkat partisipasi peserta, gangguan selama proses
Pendapat peserta apa yang membuat peserta menolak menjawab atau membuat peserta
kesimpulan diskusi, dan sebagainya. Pengguanaan alat perekam saat SGD berlangsu
mendapat izin dari responden terlebih dahulu.
Selain data primer, data skunder yang diperoleh melalui laporan/dokumen yan dibuat di
desa/kelurahan puskesmas, kecamatan, atau dinas kesehatan, musalnya laporan puskesmas,
monografi desa, profil kesehatan, dsb, juga perlu dikumpulkan dari ko Setelah dikumpulkan
melalui pengkajian, data selanjutnya dianalisis, sehingga pe diagnosis keperawatan dapat
dilakukan. Diagnosis dirumuskan terkait garis pertahan mengalami kondisi terancam.
Ancaman terhadap garis pertahanan fleksibel memu diagnosis potensial; terhadap garis
normal memunculkan diagnosis resiko dan terhadap pertahanan resisten memunculkan
diagnosis actual/gangguan.
Analisis data dibuat dalam matriks gangguan. Diagnosis keperawatan komunitas risiko
terdiri atas problem (p), etiologi (e) , dan sympto (s).
perkelahian antar- RT, kegiatan gotonbg royong , dan silaturahmi, rutin rw jarang di
penyuluhan kesehatan terkait kesehatan jiwa belum pernah dilakukan, masyaraka berkumpul
dengan melakukan kegiDiagnosis keperawatan komunitas disusun berdasarkan jenis diagnosis
sebagai berikut.
1. Diagnosis sejahtera
Diagnosis sejahtera/ wellness digunakan bila komunitas mempunyai potensi untuk data
maladapti. Perumusan diagnosis keperawatan komunitas potensial, hanya dari komponen
problem (p) saja, tanpa komponen etiologi (e).
Diagnosis risiko digunakan bila belum terdapat paparan masalah kesehatan, tetap
ditemukan beberapa data maladaptive yang memungkinkan timbul data yang tidak positif
seperti berjudi.
D. Implementasi
Perawat komunitas harus memiliki pengetahuan yang memadai agar dapat membuat
perubahan dengan baik, termasuk pengetahuan tentang teori dan model berubah. Peruba
terjadi di masyarakat sebaiknya dimulai dari tingkat individu, keluarga, masyarakat, da di
masyarakat. Ada beberapa model berubah (Ervin, 2002), yaitu :
Proses berubah terjadi pada saat individu, keluarga, dan komunitas tidak lagi nyaman
kondisi yang ada. Model ini terdiri dari :
Refreezing meliputi bagaimana membuat suatu program menjadi stabil melalui pemanta
evaluasi.
Contoh : pada kasus flu burung, saat unfreezing berubah menjadi refreezing, perawat ko
Strategi berubah ini sangat cocok digunakan oleh perawat komunitas dalam mengka
individu, kelompok, dan masyarakat dalam membuat keputusan untuk berubah. Str
merupakan strategi untuk melakukan perubahan di komunitas, bukan tahap proses Menurut
model ini untuk melakukan perubahan diperlukan strategi perubahan yaitu :
a. Rational empiris, dikatakan bahwa untuk melakukan perubahan di komunitas, perlu terda
dan pertimbangan tentang seberapa besar keuntungan yang diperoleh dengan adanya pe
tersebut. Contoh : adanya kebiasaan merokok yang banyak terjadi di masyarakat, t remaja,
diperlukan peran perawat komunitas untuk memfasilitasi perubahan dengan mem
promosi kesehatan bahaya merokok melalui media,seperti poster, leaflet, modul data
kesakitan dan kematian akibat merokok atau mengajak melihat langsung kondisi korba
rokok. Dengan adanya fakta, diharapkan terjadi perubahan pada individu.
c. Power coercive yaitu strategi perubahan yang menggunakan sanksi baik politik maupu
ekonomi. Misalnya sanksi terhadap perokok yang merokok di tempat umum berupa de
kurungan.
Mengukur adanya perubahan masyarakat pada tingkat induvidu, dapat diketa tingkat
kesadaran individu terhadap perubahan, bagaimana individu mengerti tentang yang
dihadap, tingkat partisipasi individu, dan adanyan perubahan dalam bentuk ting yang
ditampilkan. Adanya role model yang ada dimasyarakat dapat dijadikan pendoron
mengubah norma dan praktik individu dalam perubahan masyarakat.
Pada tingkat masyarakat, perubahan lebih difokuskan pada kelompok dan termasuk adanya
perubahan kebijakan yang berhubungan dengan masalah yang te masyarakat, adanya
dukungan dan partisipasi dalam kegiatan masyarakat serta aktivitas. Berhubungan dengan
penyelesaian masalah. Perubahan dimasyarakat dapat dievaluasi pengembangan koalisi,
partisipasi masyarakat dalam dukungan untuk mencapai tujuan perubahan nilai dan norma
yang berlaku di masyarakat.
1. Latar belakang yang berisi kriteria komonitas, data yang perlu dikaji lebih lanju
implementasi yang akan dilakukan,dan masalah keperawatan komonitas yang terkait
implementasi saat ini.
2. Proses keperawatan komonitas yang berisi diagnose keperawatan komonitas, tujuan um
tujuan khusus.
3. Implementasi tindakan keperawatan, yang berisi topik kegiatan, target kegiatan, metode
kegiatan, media dan alat bantu yang dipergunakan , waktu dan tempat pelaksanaan
4. pengorganisasian petugas kesehatan beserta tugas, susunan acara, setting tempat acara.
5. Kriteria evaluasi, yang berisi evaluasi struktur, evaluasi proses, dan evaluasi hasil dan
coordinator puskesmas dengan melakukan diskusi tentang permasalahan yang terkait
pelaksanaan perkesmas serta melakukan penilaian setia akhir tahun membandingkan hasil
pelaksanaan kegiatan dengan rencana yang telah disusun. Pem masalah perkesmas dapat
dilakukan dengan cara mengadakan kegiatan :
Lokakarya mini tribulanan dilakukan setiap 3 bulan sekali, dipimpin oleh camat dan oleh
staf puskesmas dan unit penunjangnya, instansi lintas- sektor tingkat kecamata membahas
masalah dalam pelaksanaan puskesmas termasuk perkesmas terkait dengan sektor dan
pemasalahan yang terjadi untuk mendapatkan penyelesaiannya.
Refleksi diskusi kasus merupakan metode yang digunakan dalam merefleksikan pen dalam
satu kelompok diskusi untuk berbagai pengetahuan dan pengalaman yang didasa standar
yang berlaku. Proses diskusi ini memberikan ruang dan waktu bagi peserta disku
merefleksikan pengalaman masing-masing serta kemampuannya tanpa tekanan ke
terkondisi, setiap peserta saling mendukung, member kesempatan belajar terutama bag
yang tidak terbiasa dan kurang percaya diri dalammenyampaikan pendapat (WHO.200
dilakukan minimal seminggu sekali, dihadapi oleh perawat perkesmas di puskesma
membahas masalah teknis perkesmas.
a. Kasus yang disajikan oleh penyaji merupakan pengalaman yang terkait asuhan kepera
komonitas yang menarik untuk dibahas dan di diskusikan, perlu penanganan dan pe
masalah.
b. Posisi duduk sebaiknya melingkar tanpa dibatasi oleh meja atau benda lainnya aga dapat
bertatapan dan berkomonikasi secara bebas.
c. Tidak boleh ada interupsi dan hanya satu orang saja yang berbicara dalam satu saat,
lainya memperhatiakan dan mendengarkan.
d. Tidak diperkenakan ada dominasi, kritik yang dapat memojokkan peserta lainnya.
e. Peserta berbagi ( sharing) pengalaman selama satu jam dan dilakukan secara rutin.
f. Setiap anggota secara bergiliran mendapat kesempatan sebagai fasilitator, penyaji, dan
peserta diskusi.
g. Selama diskusi, diusahakan agar tidak ada peserta yang tertekan atau terpojok. Yang dih
justru dukungan dan dorongan dari setiap peserta agar terbiasa menyampaikan pendapa
masing-masing.
E. Evaluasi Tindakan Keerawatan Komunitas
Evaluasi dapat berupa evaluasi struktur, proses, dan hasil. Evaluasi program me
proses mendapatkan dan menggunakan informasi sebagai dasar proses pengambilan ke
dengan cara meningkatkan pelayanan kesehatan. Evaluasi proses difokuskan pada kegiatan
yang dilakukan untuk mendapatkan hasil. Evaluasi hasil dapat diukur perubahan
pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan perubahan prilaku masyarak Evaluasi
terdiri atas evaluasi formatif, menghasilkan informasi untuk umpan balik program
berlangsung. Sementara itu, evaluasi sumatif dilakukan setelah program sel mendapatkan
informasi tentang efektifitas pengambilan keputusan. Pengukuran program dapat dilakukan
dengan cara mengevaluasi kesuksesan dalam pelaksanaan Pengukuran efektivitas program
dikomonitas dapat dilihat berdasarkan: