Anda di halaman 1dari 29

TUGAS

“IMUNISASI”

Dosen pengampuh : Ibu Hj RAHMAWATI HADEDE,SST.,M.KES

Di susun oleh :

Nama : HIJRAWATI

Tingkat : 2

AKADEMI KEBIDANAN SYEKH YUSUF GOWA 2022


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-nya, sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini berjudul “IMUNISASI”. Makalah ini disusun secara
sistematika sehingga pembaca dapat membaca dengan seksama.
Terselesaikannya makalah ini bukan karena usaha kami sendiri,
semua tidak terlepas dari uluran tangan yang diberikan oleh berbagai
pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari amatlah terbatas pengetahuan dan kemampuan
dalam membuat makalah ini. Tentulah masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak sangat kami harapkan. Dan kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.

Sungguminasa, 02 Februari 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
D. MANFAAT

BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
B. TUJUAN IMUNISASI
C. MANFAAT IMUNISASI
D. JENIS-JENIS IMUNISASI
E. MACAM-MACAM IMUNISASI DASAR

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan kematian pada bayi dengan
memberikan vaksin. Dengan imunisasi, seseorang menjadi kebal terhadap penyakit
khususnya penyakit infeksi. Dengan demikian, angka kejadian penyakit infeksi akan
menurun, kecacatan serta kematian yang ditimbulkannya akan berkurang (Cahyono,
2010).

Vaksin yang pertama kali dibuat adalah vaksin cacar (smallpox). Pada tahun 1778,
Edward Jenner, berhasil mengembangkan vaksin cacar dari virus cacar sapi atau
cowpox. Sebelum ditemukan vaksin cacar, penyakit ini sangat ditakuti masyarakat
karena sangat mematikan, bahkan penyakit ini sempat menyebar ke seluruh dunia
dan menelan banyak jiwa (Achmadi, 2006).

Namun saat ini, kejadian penyakit cacar jarang ditemukan karena WHO telah
berhasil memberantasnya melalui program imunisasi. Tidak hanya cacar (smallpox),
angka kejadian penyakit-penyakit infeksi lain juga menurun dengan ditemukannya
vaksin terhadap penyakit-penyakit tersebut (Depkes, 2006). Strategisnya imunisasi
sebagai alat pencegahan, menjadikan imunisasi sebagai program utama suatu
negara. Bahkan merupakan salah satu alat pencegahan penyakit yang utama di
dunia. Di Indonesia, imunisasi merupakan andalan program kesehatan (Achmadi,
2006). Imunisasi bayi dan anak dipandang sebagai perlambang kedokteran
pencegahan dan pelayanan kesehatan. Angka cakupan imunisasi sering dipakai
sebagai indikator pencapaian pelayanan kesehatan (Marimbi, 2010).

Pada tahun 1974, WHO mencanangkan Expanded Programme on Immunization


(EPI) atau Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan
penularan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu
dengan cara meningkatkan cakupan imunisasi pada anak-anak di seluruh belahan
dunia. Hasil dari program EPI ini cukup memuaskan, dimana terjadi peningkatan
angka cakupan imunisasi dunia dari 5% menjadi 80% (Ali, 2003). Di Indonesia, PPI
mulai diselenggarakan tahun 1977 dan berfokus pada campak, tuberkulosis, difteri,
tetanus, pertusis, polio. Sementara imunisasi hepatitis B dimasukkan terakhir karena
vaksin hepatitis B baru tersedia pada tahun 1980-an (Depkes, 2005).

Salah satu indikator keberhasilan program imunisasi adalah tercapainya Universal


Child Immunization (UCI). Pencapaian UCI merupakan gambaran cakupan imunisasi
pada bayi (0-11 bulan) secara nasional hingga ke tingkat pedesaan. WHO dan
UNICEF menetapkan indikator cakupan imunisasi adalah 90% di tingkat nasional
dan 80% di semua kabupaten. Pada tahun 1990, Indonesia telah mencapai target
UCI, dimana paling sedikit 80% bayi di setiap desa telah mendapatkan imunisasi
dasar lengkap sebelum berumur satu tahun (Depkes, 2005).
Persentase desa/kelurahan UCI di Indonesia, selama 6 tahun terakhir belum
menunjukkan perkembangan yang bermakna. Pencapaian tertinggi terjadi pada
tahun 2005 yaitu sebesar 76,23%. Capaian tahun 2009 hanya sebesar 69,76%
desa/kelurahan UCI di Indonesia, lebih rendah dibandingkan tahun 2008 sebesar
74,02%. Angka tersebut juga masih di bawah target UCI tahun 2009 sebesar 98%
dan standar pelayanan minimal yang menetapkan target 100% desa/kelurahan UCI
pada tahun 2010 untuk setiap kabupaten/kota (Profil Kesehatan Indonesia, 2010).

Berdasarkan data Profil Kesehatan Jawa Tengah (2009), pencapaian UCI desa di
Jawa Tengah dari tahun 2007 sampai dengan 2009 mengalami peningkatan yaitu
pada tahun 2007 sebesar 83,64%, tahun 2008 meningkat menjadi 86,83% dan
tahun 2009 meningkat kembali menjadi 91,95%. Bila dibandingkan target SPM tahun
2010 sebesar 100%, pencapaian desa/kelurahan UCI tahun 2009 belum mencapai
target. Sedangkan, pencapaian program imunisasi di Jawa Tengah sudah cukup
tinggi bila dilihat dari cakupan jenis imunisasi, dimana jumlah sasaran bayi pada
tahun 2009 adalah 577.750. Sedang capaian masing-masing jenis imunisasi adalah
BCG (102,05%), DPT+HB 1 (100,89%), DPT+HB 3 (99,04%), Polio 4 (99,14%),
Campak (96,59%).

Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah dengan


pencapaian UCI belum mencapai target. Dari total 167 desa/kelurahan, yang
mencapai UCI sebanyak 165 desa/kelurahan (98,80%), sehingga masih terdapat
dua desa non UCI. Padahal berdasarkan SPM, target cakupan UCI desa/kelurahan
tahun 2010 adalah 100% untuk setiap kabupaten/kota (Dinkes Sukoharjo, 2010).
Sedangkan tahun 2009, Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu daerah di
Jawa Tengah dengan pencapaian UCI belum mencapai target. Dari total 167
desa/kelurahan, yang mencapai UCI sebanyak 165 desa/kelurahan (98,80%),
sehingga masih terdapat dua desa non UCI. Padahal berdasarkan SPM, target
cakupan UCI desa/kelurahan tahun 2010 adalah 100% untuk setiap kabupaten/kota
(Dinkes Sukoharjo, 2010). Sedangkan tahun 2009, pencapaian UCI sebesar 91%,
namun angka ini belum mencapai target UCI pada tahun tersebut (98%). Hasil ini
juga dianggap lebih rendah apabila dibandingkan dengan capaian tahun 2008 yaitu
sebesar 99% (Dinkes Sukoharjo, 2009). Selanjutnya, pencapaian jenis imunisasi
tahun 2010 dengan sasaran sebesar 13.636 bayi, diketahui bahwa yang mendapat
imunisasi BCG sebesar 13.801 bayi (101,9%), imunisasi DPT1+HB1 sebesar 13.829
bayi (102%), imunisasi DPT3+HB3 sebesar 13.843 bayi (102%), imunisasi Polio 4
sebesar 13.871 bayi (102,4%), dan imunisasi campak sebesar 13.812 bayi (101,4%)
(Dinkes Sukoharjo, 2010). Capaian jenis imunisasi yang melebihi angka 100%
diperoleh dari penggabungan kunjungan imunisasi selama satu tahun yang berasal
dari Kabupaten Sukoharjo dan dari luar Kabupaten Sukoharjo.

Berdasarkan Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, Kecamatan


Bulu merupakan Kecamatan di Kabupaten Sukoharjo yang mempunyai persentase
cakupan UCI terendah pada tahun 2010. Persentasi desa/kelurahan UCI selama 3
tahun terakhir di Kecamatan ini mengalami penurunan. Pada tahun 2008,
persentase cakupan desa/kelurahan UCI di Kecamatan Bulu mencapai 100%. Pada
tahun 2009, persentase cakupan desa/kelurahan UCI turun menjadi 92% dan pada
tahun 2010 mengalami penurunan kembali menjadi 91,66%.

Terjadinya penurunan persentase cakupan desa/kelurahan UCI di Puskesmas Bulu


artinya masih ada bayi yang belum mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap
yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang berperan
penting terhadap pemberian imunisasi dasar secara lengkap pada bayi adalah
orangtua, khususnya ibu. Menurut penelitian Ningrum (2006), pengetahuan dan
motivasi ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan kelengkapan imunisasi dasar
pada bayi. Ibu dengan pengetahuan dan motivasi yang baik akan meningkatkan
kelengkapan imunisasi dasar pada bayi. Riskesdas (2010), juga menyebutkan
bahwa pendidikan, pekerjaan, dan tingkat pengeluaran per kapita berhubungan
dengan persentase anak umur 12-23 bulan yang mendapatkan imunisasi dasar.
Semakin tinggi tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran per kapita keluarga
maka semakin tinggi cakupan imunisasi pada anak.
B. Rumusan Masalah

1. Pengertian imunisasi

2. Tujuan imunisasi

3. Manfaat imunisasi

4. Jenis-jenis imunisasi

5. Macam-macam imunisasi

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian imunisasi

2. Memahami Tujuan imunisasi

3. Memahami Manfaat imunisasi

4. Memahami Jenis-jenis imunisasi

5. Memahami Macam-macam imunisasi

D. Manfaat

Agar mahasiswa dapat mengetahui, memahami, dan mengaplikasikan rumusan


masalah yang tersebut diatas.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa,
tidak terjadi penyakit. (Ranuh, 2008, p10) Imunisasi merupakan usaha memberikan
kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh. Agar
tubuh membuat zat anti untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan
kedalam tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin BCG, DPT dan campak) dan
melalui mulut (misalnya vaksin polio) (Hidayat, 2008, p54).

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, resisten. Imunisasi berarti anak di berikan
kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal terhadap suatu penyakit tapi
belum kebal terhadap penyakit yang lain. (Notoatmodjo, 2003) Imunisasi merupakan
suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu penyakit. (Atikah, 2010, p1).

B. Tujuan Imunisasi

Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi agar dapat
mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit
yang sering berjangkit.

Secara umun tujuan imunisasi antara lain:

1. Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular.


2. Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular.
3. Imunisasi menurunkan angka mordibitas (angka kesakitan) dan mortalitas
(angka kematian) pada balita

C. Manfaat Imunisasi

a. Untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan


kemungkinan cacat atau kematian.
b. Untuk keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila
anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin
bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.
c. Untuk negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang
kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara.
D. Jenis-Jenis Imunisasi

Imunisasi telah dipersiapkan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan efek-efek


yang merugikan. Imunisasi ada 2 macam, yaitu:

a. Imunisai aktif

Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahakan (vaksin) agar
nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan suatu ingatan
terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan
meresponnya. Contoh imunisasi aktif adalah imunisasi polio dan campak. Dalam
imunisasi aktif, terdapat beberapa unsur-unsur vaksin, yaitu:

1. Vaksin dapat berupa organisme yang secara keseluruhan dimatikan,


eksotoksin yang didetoksifikasi saja, atau endotoksin yang terikat pada
protein pembawa seperti polisakarida, dan vaksin dapat juga berasal dari
ekstrak komponen-komponen organisme dari suatu antigen. Dasarnya
adalah antigen harus merupakan bagian dari organisme yang dijadikan
vaksin.
2. Pengawet, stabilisator atau antibiotik. Merupakan zat yang digunakan agar
vaksin tetap dalam keadaan lemah atau menstabilkan antigen dan
mencegah tumbuhnya mikroba. Bahanbahan yang digunakan seperti air
raksa dan antibiotik yang biasa digunakan.
3. Cairan pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur jaringan
yang digunakan sebagai media tumbuh antigen, misalnya antigen telur,
protein serum, dan bahan kultur sel.
4. Adjuvan, terdiri dari garam alumunium yang berfungsi meningkatkan sistem
imun dari antigen. Ketika antigen terpapar dengan antibodi tubuh, antigen
dapat melakukan perlawanan juga, dalam hal ini semakin tinggi perlawanan
maka semakin tinggi peningkatan antibodi tubuh.

b. Imunisasi pasif

Merupakan suatu proses meningkatkan kekebalan tubuh dengan cara pemberian zat
imunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat
berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapat bayi dari ibu melalui plasenta)
atau binatang (bisa ular) yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang sudah
masuk dalam tubuh yang terinfeksi. Contoh imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS
(Anti Tetanus Serum) pada orang yang mengalami luka kecelakaan. Contoh lain
adalah yang terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi tersebut menerima
berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah plasenta selama masa kandungan,
misalnya antibodi terhadap campak.

E. Macam-Macam Imunisasi Dasar


1. Imunisasi Bacillus Celmette-Guerin (BCG)

a. Fungsi

Imunisasi BCG berfungsi untuk mencegah penularan Tuberkulosis (TBC)


tuberkulosis disebabkan oleh sekelompok bakteria bernama Mycobacterium
tuberculosis complex. Pada manusia, TBC terutama menyerang sistem pernafasan
(TB paru), meskipun organ tubuh lainnya juga dapat terserang (penyebaran atau
ekstraparu TBC). Mycobacterium tuberculosis biasanya ditularkan melalui batuk
seseorang. Seseorang biasanya terinfeksi jika mereka menderita sakit paru-paru
dan terdapat bakteria didahaknya. Kondisi lingkungan yang gelap dan lembab juga
mendukung terjadinya penularan. Penularan penyakit TBC terhadap seorang anak
dapat terjadi karena terhirupnya percikan udara yang mengandung bakteri
tuberkulosis. Bakteri ini dapat menyerang berbagai organ tubuh, seperti paru-paru
(paling sering terjadi), kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput
selaput otak (yang terberat). Infeksi primer terjadi saat seseorang terjangkit bakteri
TB untuk pertama kalinya. Bakteri ini sangat kecil ukurannya sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berkembang.

Komplikasi pada penderitaan TBC, sering terjadi pada penderita stadium lanjut.
Berikut, beberapa komplikasi yang bisa dialami:

 Hemomtasis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat


mengakibatkan kematian karena syok hipofolemik atau tersumbatnya jalan
nafas.
 Lobus yang tidak berfungsi akibat retraksi bronchial.
 Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat) pada proses pemulihan atau retraksi pada paru.
 Pneumotorak spontan (adanya udara di dalam rongga pleura): kolaps
spontan karena kerusakan jaringan paru.
 Penyebaran infeksi ke organ lainnya seperti otak, tulang, persendian, ginjal
dan sebagainya.
 Insufiensi kardio pulmoner.

Menurut Nufareni (2003), Imunisasi BCG tidak mencegah infeksi TB tetapi


mengurangi risiko TB berat seperti meningitis TB atau TB miliar. Faktor-faktor yang
mempangaruhi efektifitas BCG terhadap TB adalah perbedaan vaksin BCG,
lingkungan, faktor genetik, status gizi dan faktor lain seperti paparan sinar ultraviolet
terhadap vaksin.

b. Cara pemberian dan dosis

Vaksin BCG merupakan bakteri tuberculosis bacillus yang telah dilemahkan. Cara
pemberiannya melalui suntikan. Sebelum disuntikan, vaksin BCG harus dilarutkan
terlebih dahulu. Dosis 0,05 cc untuk bayi dan 0,1 cc untuk anak dan orang dewasa.
Imunisasi BCG dilakukan pada bayi usia 0-2 bulan, akan tetapi biasanya diberikan
pada bayi umur 2 atau 3 bulan. Dapat diberikan pada anak dan orang dewasa jika
sudah melalui tes tuberkulin dengan hasil negatif.

Imunisasi BCG disuntikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas. Disuntikan
ke dalam lapisan kulit dengan penyerapan pelan-pelan. Dalam memberikan suntikan
intrakutan, agar dapat dilakukan dengan tepat, harus menggunakan jarum pendek
yang sangat halus (10 mm, ukuran 26). Kerjasama antara ibu dengan petugas
imunisasi sangat diharapkan, agar pemberian vaksin berjalan dengan tepat.

c. Kontra indikasi

Imunisasi BCG tidak boleh diberikan pada kondisi:

 Seorang anak menderita penyakit kulit yang berat atau menahun, seperti
eksim, furunkulosis, dan sebagainya.
 Imunisasi tidak boleh diberikan pada orang atau anak yang sedang menderita
TBC.

d. Efek samping

Setelah diberikan imunisasi BCG, reaksi yang timbul tidak seperti pada imunisasi
dengan vaksin lain. Imunisasi BCG tidak menyebabkan demam. Setelah 1-2 minggu
diberikan imunisasi, akan timbul indurasi dan kemerahan ditempat suntikan yang
berubah menjadi pastula, kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak perlu
pengobatan khusus, karena luka ini akan sembuh dengen sendirinya secara
spontan. Kadang terjadi pembesaran kelenjar regional diketiak atau leher.
Pembesaran kelenjar ini terasa padat, namun tidak menimbulkan demam.

2. Imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus)

a. Fungsi

Imunisasi DPT bertujuan untuk mencegah 3 penyakit sekaligus, yaitu difteri,


pertusis, tetanus. Difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheria. Difteri bersifat ganas, mudah menular dan menyerang
terutama saluran napas bagian atas. Penularannya bisa karena kontak langsung
dengan penderita melalui bersin atau batuk atau kontak tidak langsung karena
adanya makanan yang terkontaminasi bakteri difteri. Penderita akan mengalami
beberapa gejala seperti demam lebih kurang 380 C, mual, muntah, sakit waktu
menelan dan terdapat pseudomembran putih keabu-abuan di faring, laring dan
tonsil, tidak mudah lepas dan mudah berdarah, leher membengkak seperti leher sapi
disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher dan sesak napas disertai bunyi
(stridor). Pada pemeriksaan apusan tenggorok atau hidung terdapat kuman difteri.
Pada proses infeksi selanjutnya, bakteri difteri akan menyebarkan racun kedalam
tubuh, sehingga penderita dapat menglami tekanan darah rendah, sehingga efek
jangka panjangnya akan terjadi kardiomiopati dan miopati perifer. Cutaneus dari
bakteri difteri menimbulkan infeksi sekunder pada kulit penderita.

Difteri disebabkan oleh bakteri yang ditemukan di mulut, tenggorokan dan hidung.
Difteri menyebabkan selaput tumbuh disekitar bagian dalam tenggorokan. Selaput
tersebut dapat menyebabkan kesusahan menelan, bernapas, dan bahkan bisa
mengakibatkan mati lemas. Bakteri menghasilkan racun yang dapat menyebar
keseluruh tubuh dan menyebabkan berbagai komplikasi berat seperti kelumpuhan
dan gagal jantung. Sekitar 10 persen penderita difteri akan meninggal akibat
penyakit ini. Difteri dapat ditularkan melalui batuk dan bersin orang yang terkena
penyakit ini.

Pertusis, merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman Bordetella


Perussis. Kuman ini mengeluarkan toksin yang menyebabkan ambang rangsang
batuk menjadi rendah sehingga bila terjadi sedikit saja rangsangan akan terjadi
batuk yang hebat dan lama, batuk terjadi beruntun dan pada akhir batuk menarik
napas panjang terdengar suara “hup” (whoop) yang khas, biasanya disertai muntah.
Batuk bisa mencapai 1-3 bulan, oleh karena itu pertusis disebut juga “batuk seratus
hari”. Penularan penyakit ini dapat melalui droplet penderita. Pada stadium
permulaan yang disebut stadium kataralis yang berlangsung 1-2 minggu, gejala
belum jelas. Penderita menunjukkan gejala demam, pilek, batuk yang makin lama
makin keras. Pada stadium selanjutnya disebut stadium paroksismal, baru timbul
gejala khas berupa batuk lama atau hebat, didahului dengan menarik napas panjang
disertai bunyi “whoops”. Stadium paroksismal ini berlangsung 4-8 minggu. Pada bayi
batuk tidak khas, “whoops” tidak ada tetapi sering disertai penghentian napas
sehingga bayi menjadi biru (Muamalah, 2006). Akibat batuk yang berat dapat terjadi
perdarahan selaput lendir mata (conjunctiva) atau pembengkakan disekitar mata
(oedema periorbital). Pada pemeriksaan laboratorium asupan lendir tenggorokan
dapat ditemukan kuman pertusis (Bordetella pertussis).

Batuk rejan adalah penyakit yang menyerang saluran udara dan pernapasan dan
sangat mudah menular. Penyakit ini menyebabkan serangan batuk parah yang
berkepanjangan. Diantara serangan batuk ini, anak akan megap-megap untuk
bernapas. Serangan batuk seringkali diikuti oleh muntah-muntah dan serangan
batuk dapat berlangsung sampai berbulan-bulan. Dampak batuk rejan paling berat
bagi bayi berusia 12 bulan ke bawah dan seringkali memerlukan rawat inap dirumah
sakit. Batuk rejan dapat mengakibatkan komplikasi seperti pendarahan, kejang-
kejang, radang paru-paru, koma, pembengkakan otak, kerusakan otak permanen,
dan kerusakan paru-paru jangka panjang. Sekitar satu diantara 200 anak di bawah
usia enam bulan yang terkena batuk rejan akan meninggal. Batuk rejan dapat
ditularkan melalui batuk dan bersin orang yang berkena penyakit ini.

Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman Clostridium tetani.
Kuman ini bersifat anaerob, sehingga dapat hidup pada lingkungan yang tidak
terdapat zat asam (oksigen). Tetanus dapat menyerang bayi, anak-anak bahkan
orang dewasa. Pada bayi penularan disebabkan karena pemotongan tali puat tanpa
alat yang steril atau dengan cara tradisional dimana alat pemotong dibubuhi ramuan
tradisional yang terkontaminasi spora kuman tetanus. Pada anak-anak atau orang
dewasa bisa terinfeksi karena luka yang kotor atau luka terkontaminasi spora kuman
tetanus, kuman ini paling banyak terdapat pada usus kuda berbentuk spora yang
tersebar luas di tanah.

Penderita akan mengalami kejang-kejang baik pada tubuh maupun otot mulut
sehingga mulut tidak bisa dibuka, pada bayi air susu ibu tidak bisa masuk,
selanjutnya penderita mengalami kesulitan menelan dan kekakuan pada leher dan
tubuh. Kejang terjadi karena spora kuman Clostridium tetani berada pada lingkungan
anaerob, kuman akan aktif dan mengeluarkan toksin yang akan menghancurkan sel
darah merah, toksin yang merusak sel darah putih dari suatu toksin yang akan
terikat pada syaraf menyebabkan penurunan ambang rangsang sehingga terjadi
kejang otot dan kejang-kejang, biasanya terjadi pada hari ke 3 atau ke 4 dan
berlangsung 7-10 hari. Tetanus dengan gejala riwayat luka, demam, kejang
rangsang, risus sardonicus (muka setan), kadang-kadang disertai perut papan dan
opistotonus (badan lengkung) pada umur diatas 1 bulan.

Tetanus disebabkan oleh bakteri yang berada di tanah, debu dan kotoran hewan.
Bakteri ini dapat dimasuki tubuh melalui luka sekecil tusukan jarum. Tetanus tidak
dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain. Tetanus adalah penyakit yang
menyerang sistem syaraf dan seringkali menyebabkan kematian. Tetanus
menyebabkan kekejangan otot yang mula-mula terasa pada otot leher dan rahang.
Tetanus dapat mengakibatkan kesusahan bernafas, kejang-kejang yang terasa
sakit, dan detak jantung yang tidak normal. Karena imunisasi yang efektif, penyakit
tetanus kini jarang ditemukan di Australia, namun penyakit ini masih terjadi pada
orang dewasa yang belum diimunisasi terhadap penyakit ini atau belum pernah
disuntik ulang (disuntik vaksin dosis booster).

b. Cara pemberian dan dosis

Cara pemberian imunisasi DPT adalah melalui injeksi intramuskular. Suntikan


diberika pada paha tengah luar atau subkutan dalam dengan dosis 0,5 cc.

Cara memberiakn vaksin ini, sebagai berikut:

1. Letakkan bayi dengan posisi miring diatas pangkuan ibu dengan seluruh kaki
telanjang.
2. Orang tua sebaiknya memegang kaki bayi.
3. Pegang paha dengan ibu jari dan jari telunjuk.
4. Masukkan jarum dengan sudut 90 derajat.
5. Tekan seluruh jarum langsung ke bawah melalui kulit sehingga masuk ke
dalam otot. Untuk mengurangi rasa sakit, suntikkan secara pelan-pelan.
Pemberian vaksin DPT dilakukan tiga kali mulai bayi umur 2 bulan sampai 11
bulan dengan interval 4 minggu. Imunisasi ini diberikan 3 kali karena pemberian
pertama antibodi dalam tubuh masih sangat rendah, pemberian kedua mulai
meningkat dan pemberian ketiga diperoleh cukupan antibodi. Daya proteksi
vaksin difteri cukup baik yiatu sebesar 80-90%, daya proteksi vaksin tetanus 90-
95% akan tetapi daya proteksi vaksin pertusis masih rendah yaitu 50-60%, oleh
karena itu, anak-anak masih berkemungkinan untuk terinfeksi batuk seratus hari
atau pertusis, tetapi lebih ringan.

c. Efek samping

Pemberian imunisasi DPT memberikan efek samping ringan dan berat, efek ringan
seperti terjadi pembengkakan dan nyeri pada tempat penyuntikan dan demam,
sedangkan efek berat bayi menangis hebat kerana kesakitan selama kurang lebih
empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan syok.

3. Imunisasi campak

a. Fungsi

Imunisai campak ditujukan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit


campak. Campak, measles atau rubelal adalah penyakit virus akut yang disebabkan
oleh virus campak. Penyakit ini sangat infeksius, menular sejak awal masa
prodromal sampai lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam. Infeksi disebarkan
lewat udara (airborne).

Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet melalui udara, menempel dan
berkembang biak pada epitel nasifaring. Tiga hari setelah infasi, replikasi dan
kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi vitemia yang pertama.
Virus menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua
setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya giant cells dan proses peradangan
merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronchial paru. Juga terdapat
udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi dan
penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3C =
coryza, cough and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Gejala
panas, batuk, pilek makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi
(pada hari penderita kontak dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam
makulopapuler warna kemerahan. Virus juga dapat berbiak pada susunan syaraf
pusat dan menimbulkan gejala klinik ensefalitis. Setelah masa konvalesen menurun,
hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi semakin gelap, berubah
menjadi desquamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disababkan karena pada
awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit.

b. Gejala klinis
 Panas meningkat dan mencapai puncaknya pada hari ke 4-5, pada
saat ruam keluar.
 Coryza yang terjadi sukar dibedakan dengan common cold yang berat.
Membaik dengan cepat pada saat panas menurun.
 Conjunctivitis ditandai dengan mata merah pada conjunctiva disertai
dengan keradangan disertai dengan keluhan fotofobia.
 Cough merupakan akibat keradangan pada epitel saluran nafas,
mencapai puncak pada saat erupsi dan menghilang setelah beberapa
minggu.
 Munculnya bercak koplik (koplik’s spot) umumnya pada sekitar 2 hari
sebelum munculnya ruam (hari ke 3-4) dan cepat menghilang setelah
beberapa jam atau hari. Koplik’s spot adalah sekumpulan noktah putih
pada daerah epitel bukal yang merah, merupakan tanda klinik yang
patognomonik untuk campak.
 Ruam makulopapular semula berwarna kemerahan. Ruam ini muncul
pertama pada daerah batas rambut dan dahi, serta belakang telinga,
menyebar ke arah perifer sampai pada kaki. Ruam umumnya saling
rengkuh sehingga pada muka dan dada menjadi confluent. Ruam ini
membedakan dengan rubella yang ruamnya diskreta dan tidak
mengalami desquamasi. Telapak tangan dan kaki tidak mengalami
desquamasi.

Diagnosis ditetapkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta


pemeriksaan serologik atau virologik yang positif yaitu bila terdapat demam tinggi
terus menerus 38,50 o C atau lebih disertai batuk, pilek, nyeri menelan, mata merah
dan silau bila kena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti diare. Pada hari ke 4-5
demam, timbul ruam kulit, didahului oleh suhu yang meningkat lebih tinggi dari
semula. Pada saat ini anak dapat mengalami kejang demam. Saat ruam timbul,
batuk dan diare bertambah parah sehingga anak mengalami sesak napas atau
dehidrasi. Gejala klinik terjadi setelah masa tunas 10-12 hari, terdiri dari tiga
stadium:

a. Stadium prodromal, berlangsung 2-4 hari, ditandai dengan demam


yang diikuti dengan batuk, pilek, farings merah, nyeri menelan,
stomatitis, dan konjungtivitis. Tanda patognomonik timbulnya
enantema mukosa pipi di depan molar tiga disebut bercak koplik.
b. Stadium erupsi, ditandai dengan timbulnya ruam mukulo-papular yang
bertahan selama 5-6 hari. Timbulnya ruam dimulai dari batas rambut
kebelakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher, dan akhirnya
ke ekstremitas.
c. Stadium penyembuhan (konvalesens), setelah tiga hari ruam
berangsur-angsur menghilang sesuai urutan timbulnya. Ruam kulit
menjadi kehitaman dan mengelupas yang akan menghilang setelah 1-
2 minggu.
d. Sangat penting untuk menentukan status gizi penderita, untuk
mewaspadai timbulnya komplikasi. Gizi buruk merupakan risiko
komplikasi berat.

c. Cara pemberian dan dosis

Pemberian vaksin campak hanya diberikan satu kali, dapat dilakukan pada umur 9-
11 bulan, dengan dosis 0,5 CC. Sebelum disuntikan, vaksin campak terlebih dahulu
dilarutkan dengan pelarut steril yang telah tersedia yang derisi 5 ml cairan pelarut.
Kemudian suntikan diberikan pada lengan kiri atas secara subkutan. Cara
pemberian:

a. Atur bayi dengan posisi miring di atas pangkuan ibu dengan


seluruh lengan telanjang.
b. Orang tua sebaiknya memegang kaki bayi, dan gunakan jari-jari
tangan untuk menekan ke atas lengan bayi.
c. Cepat tekan jarum ke dalam kulit yang menonjol ke atas dengan
sudut 45 derajat. d. Usahakan kestabilan posisi jarum.

d. Efek samping

Hingga 15 % pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan selama 3 hari
yang dapat terjadi 8-12 hari setelah vaksinasi.

e. Kontraindikasi

Pemberian imunisasi tidak boleh dilakukan pada orang yang mengalami


immunodefisiensi atau individu yang diduga menderita gangguan respon imun
karena leukimia, dan limfoma.

4. Imunisasi polio

a. Fungsi

Merupakan imunisasi yang bertujuan mencegah penyakit poliomyelitis. Pemberian


vaksin polio dapat dikombinasikan dengan vaksin DPT. Terdapat 2 macam vaksin
polio:

1. Inactivated Polio Vaccine (IPV = Vaksin Salk), mengandung virus


polio yang telah dimatikan dan diberikan melalui suntikan.
2. Oral Polio Vaccine (OPV = Vaksin Sabin), mengandung vaksin
hidup yang telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau
cairan.

Bentuk trivalen (Trivalen Oral Polio Vaccine; TOPV) efektif melawan semua bentuk
polio, sedangkan bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan satu jenis polio.
Poliomielitis adalah penyakit pada susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh satu
dari tiga virus yang berhubungan, yaitu virus polio tipe 1, 2, atau 3. Struktur virus ini
sangat sederhana, hanya terdiri dari RNA genom dalam sebuah caspid tanpa
pembungkus. Ada 3 macam serotipe pada virus ini, tipe 1 (PV1), tipe 2 (PV2), dan
tipe 3 (PV3), ketiganya sama-sama bisa menginfeksi tubuh dengan gejala yang
sama. Penyakit ini ditularkan orang ke orang melalui fekal-oral-route. Ketika virus
masuk kedalam tubuh, partikel virus akan dikeluarkan dalam feses selama beberapa
minggu. Gaya hidup dengan sanitasi yang kurang akan meningkatkan kemungkinan
terserang poliomyelitis. Kebanyakan poliomyelitis tidak menunjukan gejala apapun.
Infeksi semakin parah jika virus masuk dalam sistem aliran darah. Kurang dari 1%
virus masuk dalam sistem syaraf pusat, akan tetapi virus lebih menyerang dan
menghancurkan sistem syaraf motorik, hal ini menimbulkan kelemahan otot dan
kelumpuhan (lumpuh layu akut = acute flaccid paralysis/ AFP). Kelumpuhan dimulai
dengan gejala demam, nyeri otot dan kelumpuhan terjadi pada minggu pertama
sakit. Kematian bisa terjadi jika otot-otot pernapasan terinfeksi dan tidak segera
ditangani.

Polio dapat menyebabkan gejala yang ringan atau penyakit yang sangat parah.
Penyakit ini dapat menyerang sistem pencernaan dan sistem syaraf. Polio
menyebabkan demam, muntah-muntah, dan kakuatan otot dan dapat menyerang
syaraf-syaraf, mengakibatkan kelumpuhan permanen. Penyakit ini dapat
melumpuhkan otot pernapasan dan otot yang mendukung proses penelanan,
menyebabkan kematian. Diantara dua sampai lima persen penderita polio akan
meninggal akibat penyakit ini dan sekitar 50% pasien yang masih bertahan hidup
menderita kelumpuhan seumur hidup. Polio dapat ditularkan jika tinja penderita
mencemari makanan, air atau tangan.

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan terserang poliomyelitis antara lain


dikarenakan malnutrisi, tonsilektomi, kurangnya sanitasi lingkungan, karena suntikan
dan juga virus bisa ditularkan melalui plasenta ibu, sedangkan antibodi yang
diberikan pasif melalui plasenta tidak dapat melidungi bayi secara adekuat.

b. Cara pemberian dan dosis

Imunisasi dasar polio diberiakn 4 kali (polio I, II, III dan IV) dengan interval tidak
kurang dari 4 minggu. Imunisasi ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio
IV, kemudian pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD (12
tahun). Di Indonesia umumnya diberikan vaksin Sabin. Vaksin ini diberikan
sebanyak 2 tetes (0,1 ml) langsung kemulut anak atau dengan atau dengan
menggunakan sendok yang berisi air gula. Setiap membuka vial baru harus
menggunakan penetes (dropper) yang baru. Cara pemakaian:

1. Orang tua memegang bayi dengan lengan kepala di sangga dan


dimiringkan ke belakang.
2. Mulut bayi dibuka hati-hati menggunakan ibu jari atau dengan
menekan pipi bayi dengan jari-jari.
3. Teteskan dengan 2 tetes vaksin dari alat tetes ke dalam lidah.
Jangan biarkan alat tetes menyentuh bayi.

c. Efek samping

Pada umunya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa paralisis yang
disebabkan oleh vaksin jarang terjadi.

d. Kontra indikasi

Pemberian imunisasi polio tidak boleh dilakukan pada orang yang menderita
defisiensi imunitas. Tidak ada efek yang berbahaya yang timbul akibat pemberian
polio pada anak yang sedang sakit. Namun, jika ada keraguan, misalnya sedang
menderita diare, maka dosis ulang dapat diberikan setelah sembuh.

5. Imunisasi hepatitis B

a. Fungsi Imunisasi

Hepatitis B, ditujukan untuk memberi tubuh berkenalan terhadap penyakit hepatitis


B, disebakan oleh virus yang telah mempengaruhi organ liver (hati). Virus ini akan
tinggal selamanya dalam tubuh. Bayi-bayi yang terjangkit virus hepatitis berisiko
terkena kanker hati atau kerusakan pada hati. Virus hepatitis B ditemukan didalam
cairan tubuh orang yang terjangkit termasuk darah, ludah dan air mani.

b. Penularan

Virus hepatitis B biasanya disebarkan melalui kontak dengan cairan tubuh (darah, air
liur, air mani) penderita penyakit ini, atau dari ibu ke anak pada saat melahirkan.
Kebanyakan anak kecil yang terkena virus hepatitis B akan menjadi ”pembawa
virus”. Ini berarti mereka dapat memberikan penyakit tersebut pada orang lain
walaupun mereka tidak menunjukan gejala apapun. Jika anak terkena hepetitis B
dan menjadi ”pembawa virus”, mereka akan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
terkena penyakit hati dan kanker nantinya dalam hidup.

Ibu yang terjangkit Hepatitis B dapat menularkan virus pada bayinya. Hepatitis B
dapat menular melalui kontak antara darah dengan darah, sebagai contoh apabila
luka pada tubuh kita telah terkontaminasi cairan yang dikeluarkan oleh penderita
hepatitis B, seperti jarum suntik atau pisau yang terkontaminasi, tranfusi darah dan
gigitan manusia, hal ini termasuk hubungan seksual. Penyakit ini bisa menjadi kronis
dan menimbulkan Cirrhosis hepatitis, kenker hati dan menimbulkan kematian.

Secara umum orang yang dapat atau berisiko tertular hapatitis B, dapat diidentifikasi
dari perilakunya. Individu yang dimaksud, termasuk dalam beberapa kriteria, seperti
para pengguna narkoba suntik, pasangan seks orang yang terinfeksi hepatitis, bayi
yang dilahirkan dari ibu yang terifeksi hepatitis, orang yang suka berganti-ganti
pasangan seks. Laki-laki homoseksual, atau laki-laki yang berhubungan seks
dengan laki-laki juga berisiko tertular penyakit ini, jika seorang petugas kesehatan
tidak menggunakan standar perlindungan diri dengan tepat. Petugas kesehatan
yang sedang merawat pasien dalam kondisi terinfeksi hepatitis, harus menggunakan
standar perlindungan diri, seperti sarung tangan, dan jangan pernah menyentuh
cairan tubuh dari pasien secara langsung.

c. Gejala

Gejala mirip flu, yaitu hilangnya nafsu makan, mual, muntah, rasa lelah, mata kuning
dan muntah serta demam, urine menjadi kuning dan sakit perut.

d. Cara pemberian dan dosis

Imunisasi diberikan tiga kali pada umur 0-11 bulan melalui injeksi intramuskular.
Kandungan vaksin adalah HbsAg dalam bentuk cair. Terdapat vaksin Prefill Injection
Device (B-PID) yang diberikan sesaat setelah lahir, dapat diberikan pada usia 0-7
hari. Vaksin B-PID disuntikan dengan 1 buah HB PID. Vaksin ini, menggunakan
Profilled Injection Device (PID), merupakan jenis alat suntik yang hanya diberikan
pada bayi. Vaksin juga diberikan pada anak usia 12 tahun yang dimasa kecilnya
belum diberi vaksin hepatitis B. Selain itu orang –orang yang berada dalam rentan
risiko hepatitis B sebaiknya juga diberi vaksin ini.

Cara pemakaian:

1. Buka kantong alumunium atau plastik dan keluarkan alat plastik PID.
2. Pegang alat suntik PID pada leher dan tutup jarum dengan memegang
keduanya diantara jari telunjuk dan jempol, dan dengan gerakan cepat
dorong tutup jarum ke arah leher. Teruskan mendorong sampai tidak
ada jarak antara tutup jarum dan leher.
3. Buka tutup jarum, tetap pegang alat suntik pada bagian leher dan
tusukan jarum pada anterolateral paha secara intremuskular, tidak
perlu dilakukan aspirasi.
4. Pijat reservior dengan kuat untuk menyuntik, setelah reservior kempis
cabut alat suntik.

e. Efek samping

Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan disekitar tempat
penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari.

f. Kontra indikasi

Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Sama halnya seperti vaksinvaksin lain,


vaksin ini tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat yang disertai kejang.
6. KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi)

a. Definisi KIPI

Kejadian ikutan paska imunisasi adalah sebagai reaksi simpangan yang dikenal
sebagai kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI) atau events following immunization
(AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek
vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau
kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak
dapat ditentukan.

Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (artritis
kronik paska vaksinasi rubela), atau bahkan sampai 6 bulan (infeksi virus campak
vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi paska vaksinasi campak, dan polio
paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi
atau resipien imunodefisiensi paska vaksinasi polio).

Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang
(adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin.
Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping
(side-effect), interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang
umumnya secara klinis sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Efek farmakologi,
efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin
sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan sesorang terhadap unsur
vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein
telur (vaksin campak, gendong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan
preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin.

Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena
kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpangan vaksin,
kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian
yang timbul secara kebetulan.

Persepsi awam dan juga kalangan petugas kesehatan, menganggap semua


kalainan dan kejadian yang dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi alergi
terhadp vaksin. Akan tetapi telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Comittee,
Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi
secara kebetulan saja (koinsidensi). Kejadian yang memang akibat imunisasi
tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (programmatic
erros).

b. Epidemiologi KIPI

Kejadian ikutan paska imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin dalam jumlah
besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan melalui fase uji klinis yang
lazim, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Uji klinis fase 1 dilakukan pada binatang percobaan
sedangkan fase selanjutnya pada manusia. Uji klinis fase 2 untuk mengetahui
keamanan vaksin (reactogenicity and safety), sedangkan pada fase 3 selain
keamanan juga dilakukan uji efektivitas (imunogenisitas) vaksin.

Pada jumlah penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum tampak, maka
untuk menilai KIPI diperlukan uji klinis fase 4 dengan sampel besar yang dikenal
sebagai Post Marketing Surveilance (PMS). Tujuan PMS adalah untuk memonitor
dan mengetahui keamanan vaksin setalah pemakaian yang cukup luas di
masyarakat (dalam hal ini program imunisasi). Data PMS dapat memberikan
keuntungan bagi program apabila semua KIPI (terutama KIPI barat) dilaporkan, dan
masalahnya segera diselesaikan. Sebaliknya akan merugikan apabila program tidak
segera tanggap terhadap masalah KIPI yang timbul sehingga terjadi keresahan
masyarakat terhadap efek samping vaksin dengan segala akibatnya.

Menurut National Childhood Vaccine Injury dari Committe of the Institute of Medicine
(IOM) di USA sangat sulit mendapatkan data KIPI oleh karena:

a. Mekanisme biologis gejala KIPI kurang dipahami.


b. Data KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan kurang akurat.
c. Surveilans KIPI belum luas dan menyeluruh 4. Surveilans KIPI
belum dilakukan untuk jangka panjang.

Mengingat hal tersebut, maka sangat sulit menentukan jumlah kasus KIPI yang
sebenarnya. Kejadian ikutan paska imunisai dapat ringan sampai berat, terutama
pada imunisai masal atau setelah penggunaan lebih dari 10.000 dosis.

c. Klasifikasi KIPI

Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP KIPI) Mengelompokkan


etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi:

1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999) untuk petugas


kesehatan dilapangan. Sesuai dengan manfaatnya dilapangan maka Komnas
PP KIPI memakai kriteria WHO Western Pacific untuk memilah KIPI dalam
lima kelompok penyebab, yaitu:

 Kesalahan program/ teknik pelaksanaan (programmatic errors)


Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah
program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi
kesalahan program penyimpanan, penggelolaan, dan tata
laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi
pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:
1. Dosis antigen (terlalu banyak).
2. Lokasi dan cara menyuntik.
3. Sterilisasi semprit dan jarum suntik.
4.Jarum bekas pakai.
5.Tindakan aseptik dan antiseptik.
6. Kontaminasi vaksin dan peralatan suntik.
7.Penyimpanan vaksin.
8.Pemakaian sisa vaksin.
9.Jenis dan jumlah pelarut vaksin.
10.Tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk
pemakaian, indikasi kontra dan lain-lain).

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana parlu diperhatikan apabila terdapat


kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.

Mencegah program error (VSQ 1996)

1. Alat suntik steril untuk setiap suntikan

2. Pelarut vaksin yang sudah disediakan oleh produsen vaksin

3. Vaksin yang sudah dilarutkan segera dibuang setelah 6 jam

4. Lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin

5. Pelatihan vaksinasi dan supervisi yang baik

6. Program error dilacak, agar tidak terulang kesalahan yang


sama

b. Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung
maupun tidak langsung dan harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan
langsung misalnya nyeri sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan,
sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai
sinkop. Reaksi ini tidak berhubungan dengan kandungan yang terdapat pada vaksin,
sering terjadi pada vaksinasi masal.

a. Syncope/ fainting

1. Seringkali pada anak > 5 tahun

2. Terjadi beberapa menit post imunisasi

3. Tidak perlu penanganan khusus

4. Hindari stres saat anak menunggu

5. Hindari trauma akibat jatuh/ posisi sebaiknya duduk

b. Hiperventilasi akibat ketakutan

1. Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell, pingsan


2. Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (pasien tersebut
perlu diperiksa)

c. Beberapa anak takut jarum, gemetar, dan histeris

d. Penting penjelasan dan penanganan

Pencegahan reaksi KIPI Reaksi suntikan dengan:

a. Teknik penyuntikan yang benar

b. Suasana tempat penyuntikan yang tenang

c. Atasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih


besar.

Pencegahan reaksi KIPI Reaksi suntikan dengan:

a. Teknik penyuntikan yang benar

b. Suasana tempat penyuntikan yang tenang

c. Atasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar

c. Induksi vaksin (reaksi vaksin)

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi
terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya
ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi
anafilaktik sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi
dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen
sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan
dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat ataupun
vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanaggapi dengan baik oleh
pelaksana imunisasi.

1. Reaksi lokal

a. Rasa nyeri ditempat suntikan

b. Bengkak kemerahan di tempat suntikan sekitar 10%

c. Bengkak pada suntikan DPT dan tetanus sekitar 50%

d. BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi dan


sembuh setelah beberapa bulan

2. Reaksi sistemik

a. Demam pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi lain
seperti iritabel, malaise, gejala sistemik.
b. MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus vaksin.
Terjadi demam dan atau ruam dan konjungtivitis pada 5%-15% dan lebih
ringan dibandingkan infeksi campak tetapi berat pada kasus imunodefisiensi.

c. Pada mumps terjadi reaksi vaksin pambengkakan kelenjar parotis,


rubela terjadi rasa nyeri sendi 15% dan pembengkakan limfe.

d. OPV kurang dari 1% diare, pusing dan nyeri otot.

3. Reaksi vaksin berat

a. Kejang

b. Trombositopenia

c. Hypotemic hyperesponsive episode/ HHE

d. Persistent inconsolable csreaning bersifat self-imiting dan tidak


merupakan masalah jangka panjang

e. Anafilaksis, potential menjadi fatal tetapi dapat disembuhkan tanpa


dampak jangka panjang

f. Ensefalopati akibat imunisasi campak atau DPT

d. Faktor kebetulan (koinsiden)

Kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah imunisasi. Indikator
faktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat
bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan katakteristik serupa tetapi
tidak mendapat imunisasi.

e. Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam
salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam kelompok ini
sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi
tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.

2. Klasifikasi kausalitas manurur IOM 1991 dan 1994 untuk telaah


Komnas PP KIPI.

Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit


berbeda dengan laporan Committee Institute of Medicine (1991) dan menjadi
dasar klasifikasi saat ini, yaitu: a. Tidak terdapat bukti hubungan kausal
(unrelated) b. Buktu tidak cukup untuk memerima atau menolak hubungan
kausal (unlikely) c. Bikti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible)
d. Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal (probable) e. Bukti
memastikan hubungan kausal (very like/ certain).
d. Gejala klinis KIPI

Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi
menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada
umumnya makin cepat terjadi KIPI makin berat gejalanya.

e. Angka kejadian KIPI

KIPI yang paling serius pada anak adalah reaksi anafilaktoid. Angka kejadian reaksi
anafilaktoid pada DPT diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis, tetapi yang benar-benar
reaksi anafilaktik hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan
orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode
hipotonik-hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam
setelah imunisasi. Kasus KIPI polio berat dapat terjadi 1 per 2,4 juta dosis vaksin
(CDC Vaccine Information Statement 2000), sedangkan kasus KIPI hepatitis B pada
anak dapat berupa demam ringan sampai sedang terjadi 1/14 dosis vaksin, dan
pada dewasa 1/100 dosis (CDC Vaccine Information Statement 2000). Kasus KIPI
campak berupa demam terjadi pada 1/6 dosis, ruam kulit ringan 1/20 dosis, kejang
yang disebabkan demam 1/3000 dosis, dan reaksi alergi serius 1/1.000.000 dosis.

f. Imunisasi pada kelompok berisiko

Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien
termasuk dalam kelompok risiko. Yang dimaksud dengan kelompok risiko adalah:

1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu.

2. Bayi berat lahir rendah. Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang
bulan sama dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada
bayi kurang bulan.

a. Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah


daripada bayi cukup bulan.

b. Apabila berat badan bayi yang sangat kecil (>1000 gram)


imunisasi ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000
gram atau berumur 2 bulan, kecuali untuk imunisasi hepatitis B pada
bayi dengan ibu yang HbsAg positif.

c. Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka


vaksin polio yang diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia,
sehingga tidak menyebabkan penyebaran virus polio melalui tinja.

3. Pasien imunokompromais

Pada pasien imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau
sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka
panjang), jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien
imunikompromais, untuk polio dapat diberikan IPV bila vaksin tersedia. Imunisasi
tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam
waktu pendek. Imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan
kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/ kg berat badan/ hari atau prednison 20 mg/ hari
selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid
dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.

4. Pada resipien yang mendapatkan humman imunoglobin imunisasi


virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan untuk menghindarkan hambatan
pembentukan respons imun.

5. Responnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang tetapi


kasus HIV memerlukan imunisasi. Ada pertimbangan bila diberikan terlambat
mungkin tidak akan berguna karena penyakit sudah lanjut dan efek imunisai tidak
ada atau kurang. Apabila diberikan dini, vaksin hidup akan mengaktifkan sistem
imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga memperberat virus HIV.
Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau yang
mati sesuai jadwal anak sehat.

6. Jadwal imunisasi

Jadwal Umur Pemberian Vaksin


vaksin Bulan Tahun
La 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 2 3 5 6 10 1
hir 2
BCG
POLIO 0 1 2 3 4 5
Hepatitis B 1 2
DPT 1 2 3 4 5 6
Campak 1 2

Keterangan Jadwal Imunisasi

vaksinasi Jadwal Pemberian Ulangan/Booster Imunisasi Untuk


Usia Melawan
BCG Waktu lahir - Tuberkulosis
Hepatitis B Waktu lahir: 1 tahun – pada bayi Hepatits B
Dosis 1 yang lahir dari ibu
1 bulan – dosis 2 dengan Hepatitis B
6 bulan – dosis 3
DPT dan Polio 3 bulan – dosis 1 18 bulan – booster 1 Difteria, pertusis,
4 bulan – dosis 2 6 tahun – booster 2 tetanus, dan polio
5 bulan – dosis 3 12 tahun – booster 3
campak 9 bulan - Campak
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hampir seluruh responden yang tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap,


pengetahuan rendah, memiliki sikap negatif, mendapatkan pelayanan imunisasi
yang baik, tidak mengalami hambatan dalam memperoleh imunisasi, mempunyai
motivsi dan informasi yang cukup tentang imunisasi. Variabel yang tidak mempunyai
hubungan bermakna dengan pemberian imunisasi dasar lengkap adalah pendidikan
orang tua, pekerjaan, peleyanan imunisasi dan hambatan orang tua. Sedangkan
variabel pengetahuan, siakp motivasi orang tua dan informasi imunisasi tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan pemberian imunisasi dasar lengkap pada
bayi . penyuluhan individu dapat dilaksanakan pada waktu kegiatan imunisasi,
sedangkan penyuluhan kelompok dapat dilaksanakan pada waktu-waktu tertenu
sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Penyuluhan juga dapat dilakuan
dengan cara penyebaran leaflet, pemasangan poster maupun melalui media sosial.
Materi penyuluhan yang dapat diberikan diantaranya adalah tentang arti pentingnya
imunisasi, efek samping dari imunisasi serta kandungan dari imunisasi yang
diberikan kepada bayi sehingga dapat mengubah anggapan negatif dari masyarakat
tentang imunisasi. diantaranya adalah tentang arti pentingnya imunisasi, efek
samping dari imunisasi serta kandungan dari imunisasi yang diberikan kepada bayi
sehingga dapat mengubah anggapan negatif dari masyarakat tentang imunisasi
penyuluhan kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/121/jtptunimus-gdl-rokhaelisy-6023-2-babii.pdf

file:///C:/Users/User/Downloads/196-361-2-PB.pdf

Anda mungkin juga menyukai