Anda di halaman 1dari 14

1

LAPORAN PENDAHULUAN
EPISTAKSIS
I. Konsep Epistaksis
1.1 Definisi Epistaksis
Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung.
Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada
anak-anak dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada pelanan
kesehatan primer dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit dan
spesialis THT.

Penyebab terjadinya epiktasis dibagi menjadi dua: secara lokal dan sistemik.
Secara lokal, epistaksis dapat disebabkan oleh trauma, fraktur, reaksi
imunologik, kelainan anatomis hidung, pengunaan nasal spray, benda asing,
tumor intranasal, dan sebagainya. Sedangkan penyebab sistemik terjadinya
epistaksis adalah kelainan vaskuler, keganasan hematologik, blood
dyscrasia, alergi, malnutrisi, alcohol, hipertensi, obat-obatan dan infeksi.

Kebanyakan kasus epistaksis terjadi pada bagian anterior hidung, yang


mana perdarahan berasal dari anastomosis pembuluh darah arteriol di
septum nasi (Pleksus Kiesselbach). Epiktasis posterior umumnya berasal
dari kavum nasal posterior melalui arteri spenopalatina. Epistaksis anterior
secara klinis dapat terlihat jelas. Sedangkan epistaksis posterior bisa
berlangsung asimptomatik atau dapat secara diam-diam mengakibatkan
mual, hematemesis, anemia, hemoptysis atau melena.

1.2 Etiologi Epistaksis


Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput
mukosa hidung. 80 perdarahan berasal dari pembluh darah Pleksus
Kiesselbach (area little). Pleksus Kiesselbach terletaj di spetu nasi bagian
anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah
yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab local
dan umum atau kelainan sistemik.
1.2.1 Lokal
a. Trauma. Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma
biasanya mengeluarkan sekeret dengan kuat, bersin, mengorek
hidung, trauma seperti dipukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu
iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan
dapat juga menyebabkan epistaksis.

b. Infeksi. Infeksi hidung dan sinus paranasalis, rhinitis, sinusitis,


serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis, dan lepra.
c. Neoplasma. Epistaksis yang berhbungan dengan neoplasma
biasanya sedikit dan intermitten, kadang-kadang ditandai
dengan mucus yang bernoda darah. Hemangioma karsinoma
serta angiofibroma dapat menyebabkan eistaksis berat.
2

d. Kelainan konginetal. Kelainan konginetal yang sering


menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telengiektasis
kherediter (Osles;s disease). Pasien ini juga menderita
telengiektsis di wajah, tangan atau bahkan di takrus
gastrointestinal dan atau pembuluh darah paru.
e. Sebab sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum.
Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi
presdiposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi,
bila mengalami deviasi atau erforasi, akan terpapar aliran udara
perafasan yang cenderung mengeringkan sekeresi hidung.
Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan
jari menimbulkantrauma digital. Pengeluaran krusta berulang
menyebabkan erosi membrane mukosa spetum dan kemudian
perdarahan.
f. Pengaruh lingkungan. Misalnya tinggal di daerah yang snagat
tinggi, tekanan udara rendah, atau lingkungan yang sangat
kering.
1.2.2 Sistemik
a. Kelainan darah, misalnya trombositopenia, hemophilia, dan
leukemia, obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin, dan
fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.
b. Penyakit kardiovaskuler. Hipertensi dan kelainan pembuluh
darah, seperti pada arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis
hepatis, diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis.
Epistaksis akibat hipertensi bias any hebat, sering kambuh, dan
prognosisnya tidak baik.
c. Infeksi akut, demam berdarah, influenza, morbili, demam
tifoid.
d. Gangguan endokrin. Pada wanita hamil, menarche, menopause
sering terjadi epistaksis, kdang-kadang beberapa wanita
mengalami perdarahan persisten dari hidung menyertai fase
menstruasi.
e. Defisiensi vitamin C dan K
f. Alkoholisme
g. Penyakit von Willebrand

1.3 Tanda gejala Epistaksis


Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan
dari lubang hidung dan dengan warna darah berwarna merah segar.

Dan pada epistaksis posterior jika dilakukan pemeriksaan perdarahaan


berasal dari dinding nasal lateral dan seringkali menunjukkan gejala yang
tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, dan biasanya
epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan
yang terjadilebih hebat. Sehingga jarang berhenti spontan. Perdarahan yang
hebat dapat menimbulkan syok dan anemia ini disebabkan karena lebih
3

banyak penyebab epistaksis posrerior dari penyakit kardiovaskuler atau


penyakit sistemik lainnya.

1.4 Patofisiologi Epistaksis


Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan
lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis
interstitial sampai perubahan lengkap menjadi jaringan parut. Perubahan
tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena
hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang
banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi
perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan
lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia
lokal atau trauma5.
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada
anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi
ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis
dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung
postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari
bagian depan konka inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan
melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap
efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus,
ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan
menimbulkan perdarahan5,6.

2.
Epistaksis
posterior

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri


etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan
sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Penelitian
yang dilakukan Thorton melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari
dinding nasal lateral5,6.

1.5 Pemeriksaan Penunjang Epistaksis


Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan
4

pemeriksaan penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan


pemeriksaan lainnya untuk memperkuat diagnosis epistaksis.
1.5.1 Pemeriksaan darah tepi lengkap.
1.5.2 Fungsi hemostatis
1.5.3 EKG
1.5.4 Tes fungsi hati dan ginjal
1.5.5 Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
1.5.6 CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan
adanya rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.

1.6 Komplikasi Epistaksis


Bisa diakibatkan oleh epistaksis itu sendiri atau akibat usaha
penanggulangan epistaksis :
1.6.1 Aspirasi darah ke saluran nafas bawah syok, anemia, gagal
ginjal
1.6.2 Hipotensi hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner,
dan infark miokard
1.6.3 Infeksi
1.6.4 Adanya tampon sumbatan drainase rinosinusitis, otitis
media, septicemia, toxic shock syndrome
1.6.5 Hemotimpanum mengalirnya darah melalui tuba eustasius
dan airmata berdarah (bloody tears) yang terjadi karena darah
mengalir secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis

1.6.6 Tampon posterior laserasi palatum molle atau sudut bibir


(akibat gesekan benang)1,6.
I.7 Penatalaksanaan Epistaksis
Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan epistaksis
adalah :
1.7.1 Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah
berulangnya epistaksis.
1.7.2 Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi
duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan dengan
meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam
keadaan syok.
1.7.3 Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk
menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas
yang telah dibasahi dengan adrenalin 1:10.000 dan lidokain atau
pantokain 2%. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung
untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada
saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 - 5
menit. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah sumber
perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.
1.7.4 Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah
perkiraan jumlah dan kecepatan perdarahan.
1.7.5 Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus
cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini
harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor
5

koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa


protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur
diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila
terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan
pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell)
disamping penggantian cairan5.
A. Epistaksis Anterior
a. Kauterisasi

Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi


lokal dengan menggunakan tampon kapas yang telah
dibasahi dengan kombinasi lidokain 2% topikal dengan
epinefrin 1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 2% topikal
dan penilefrin 0.5 %5,6.

Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 10 15


menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi. Kauterisasi
secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat
(Nitras Argenti AgNO3) 20 30% atau dengan asam triklorasetat 10%.
Setelah itu, area tersebut diberikan krim antibiotik5,6.

Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan


tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya
nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum,
karena dapat menimbulkan perforasi5.

b. Tampon Anterior

Apabila kauter tidak dapat mengontrol


epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak
dapat diidentifikasi, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior dengan
menggunakan kapas atau kain kassa yang
diberi vaselin atau salep antibiotik. Tampon
dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun
dengan teratur dan harus dapat menekan
perdarahan. Tampon ini dipertahankan selama
2x24 jam dan kepada pasien diberikan
antibiotik spektrum luas. Selama itu dilakukan
pemeriksaan untuk mencari faktor penyebab
epistaksis. Bila perdaahan masih belum
berhenti, dipasang tampon baru5,6
6

B. Epistaksis Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis
posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon posterior, balon tamponad,
ligasi arteri dan embolisasi1,5,6.

1. Tampon Posterior

Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau
setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat
menutup koana dan terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya
darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior.
Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan
menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band).

Masukkan kateter karet kecil melalui hidung ke dalam faring, kemudian


ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat
diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali
melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui
nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring
akan mempermudah tindakan ini3,5.

Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat
pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang
keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa
didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak
bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien.
Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 3 hari3,5,6.
7

2. Tampon Balon

Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan


dibandingkan dengan pemasangan tampon posterior
konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol
epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu:
kateter Foley dan tampon balon yang dirancang
khusus. Setelah bekuan darah dari hidung
dibersihkan, tentukan asal perdarahan.

Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor.


Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai
balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan
salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup
rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau
bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya
dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain
kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal
mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior3,5.

3. Ligasi Arteri

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan
meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber
perdarahan dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi
sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada
beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa
hidung1,3,5.

a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk


melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis
eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi
horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir
anterior m. sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi,
m. sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke
8

arah bawah menuju


selubung karotis. Lakukan
identifikasi bifurkasio
karotis kemudian a.
karotis eksterna
dipisahkan. Dianjurkan
untuk melakukan ligasi
dibawah a. faringeal
asendens, terutama
apabila epistaksis berasal
dari bagian posterior
hidung atau nasofaring.
Arteri karotis eksterna
diligasi dengan benang
3/0 silk atau linen5.

b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna

Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan


transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu
dilakukan insisi Caldwell Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah
dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior
dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian
inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk
jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium posterior.
Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk
melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan
jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan
hemostat, klip alligator, bayonet forsep dengan bipolar elektrokauter dan
nervehook. Setelah a. maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi
dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya.
Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi salep
antibiotik selama 24 jam5.
9

AI. Rencana asuhan klien dengan gangguan Epistaksis


2.1 Pengkajian
2.1.2 Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan,
pekerjaan
2.1.3 Riwayat Penyakit sekarang
2.1.4 Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh sulit bernafas,
tenggorokan.
2.1.5 Riwayat penyakit dahulu :
- Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau
trauma
- Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
- Pernah menedrita sakit gigi geraham
2.1.6 Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota
keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit
klien sekarang.
2.1.7 Riwayat spikososial
Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih
Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
2.1.8 Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa
memperhatikan efek samping
b. Pola nutrisi dan metabolisme :
biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan
pada hidung
10

c. Pola istirahat dan tidur


selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien
sering pilek
d. Pola Persepsi dan konsep diri
klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep
diri menurun
e. Pola sensorik
daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek
terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).

2.1.1 Pemeriksaan fisik:


a. status kesehatan umum : keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah
dan bengkak).

Data subyektif :
Mengeluh badan lemas
Data Obyektif
Perdarahan pada hidung/mengucur banyak
Gelisah
Penurunan tekanan darah
Peningkatan denyut nadi
Anemia

2.1.2 Pemeriksaan penunjang


Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan
pemeriksaan lainnya untuk memperkuat diagnosis epistaksis.
Pemeriksaan darah tepi lengkap.
Fungsi hemostatis
EKG
Tes fungsi hati dan ginjal
Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya
rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.
2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1 : Nyeri akut (NANDA, 2015).
2.1.1 Definisi
Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan actual atau potensial yang
digambarkan sebagai kerusakan.
2.1.2 Batasan karakteristik
Perubahan selera makan
Perubahan tekanan darah
Perubahan frekuensi jantung
Perubahan frekuensi pernafasan
Diaforesis
Perilaku distraksi
Sikap melindungi area nyeri
Sikap melindungi
11

Dilatasi pupil
Melaporkan nyeri secara verbal
Gangguan tidur

2.2.2 Faktor yang berhubungan


Agen cedera (fisik, biologis, kimiawi)

Diagnosa 2 : Resiko infeksi (NANDA, 2016).


2.3.2 Definisi
Mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik
2.4.2 Faktor resiko
Penyakit kronis
Pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat

Pengetahuan yang tidak cukup untuk menghindari pemanjanan


pathogen
Prosedur invasive
Malnutrisi

2.1 Perencanaan
Diagnosa 1 : Nyeri akut
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil
a. Nyeri terkontrol
b. Klien melaporkan nyeri berkurang
2.3.2 Intervensi dan Rasional
1. Beri penjelasan tentang penyebab nyeri
R/ Akibat pembedahan terjadi trauma jaringan sehingga terjadi
pelepasan mediator kimia yaitu prostaglandin, bradikinin dan
histamin yang kemudian berikatan dengan nosiceptor sehingga
menimbulkan sensasi nyeri.
2. Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi
R/ Relaksasi: meningkatkan sekresi endorphin dan enkafelin
pada sel inhibitor kornu dorsalis medulla spinalis yang dapat
menghambat transmisi nyeri. Distraksi: meningkatkan aktifitas
dalam sistem kontrol pada tulang untuk mencegah transmisi
terus menerus stimulus nyeri ke otak.
3. Berikan posisi yang nyaman
R/Merelaksasikan semua jaringan sehingga mengurangi nyeri
4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik
R/ Analgesik menekan sistem syaraf pusat pada talamus dan
korteks cerebri.
5. Observasi keluhan nyeri, tensi, nadi, respirasi, skala nyeri
R/Nyeri merupakan respon subyektif yang dapat dikaji dengan
menggunakan skala nyeri, tanda, tanda vital dapat meningkat
dengan adanya nyeri.
Diagnosa 2 : Resiko infeksi
2.3.3 Tujuan dan Kriteria hasil
12

I. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi


II. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya
infeksi
2.3.4 Intervensi dan Rasional
1. Jelaskan kepada pasien masalah yang dapat terjadi bila
luka tidak terawat dengan baik yaitu infeksi

R/ Infeksi terjadi karena masuknya mikroorganisme sekunder


akibat adanya lukaterbuka.
2. Pertahankan hidrasi dan nutrisi yang adekuat
R/ Membantu meningkatkan daya tahan tubuh terhadap
penyakit dan mengurangi resiko infeksi akibat sekresi yang
stasis.
3. Lakukan perawatan luka secara steril
R/ Teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi
kontaminasi kuman.
4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotik
sesuai indikasi
R/ Menghambat perkembangan dan pertumbuhan kuman.
5. Pantau luka operasi setiap hari
R/ Mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi yang
mungkin timbul sebagai dampak adanya luka bekas
operasi.
6. Observasi tanda dan gejala infeksi, keluhan dan TTV
(suhu, nadi)
R/ Memberikan deteksi dini terjadinya proses
infeksi, peningkatan suhu dan nadi pembengkakan sebagai
indikator adanya infeksi.

III. Daftar Pustaka


Adams, Geoge L., et al, BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6, Jakarta : EGC,
hal 224-233.
13

Ballenger, JJ. 1994. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher,
jilid 1 edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara.
Kliegman, Robert., et al, 2007, Nelson Textbook of Pediatri 18th Edition, Part.
XVIII Respiratory System, Saunders Elsevier : US, hal. 1745-1746.

Munir, Delfitri dkk, 2006, Epistaksis, Jurnal USU- Majalah Kedokteran


Nusantara Volume 39 No. 3, hal.275-277.

Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk., 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher Edisi 6, Jakarta : FKUI, hal. 155-159.

Daudia, A., Jaiswal, V. & Jones, N.S., 2008, Guidelines for The Management of
Idiopathic Epistaxis in Adults: how we do it, Clinical Otolaryngology 33,
pp.607628.

Bertrand, B., 2005, Guidelines to the Management of Epistaxis, B-ENT 1, pp.27-


43 .

Banjarmasin, 3 April 2017


14

Preseptor akademik, Preseptor klinik,

(.................................................................) (......................................................)

Anda mungkin juga menyukai