Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

EPISTAKSIS POSTERIOR

PENYUSUN :
Nurul Aisyah Manshur, S.Ked K1B120067
Nur Wahda Kusmiah, S.Ked K1B121049

PEMBIMBING :
dr. Nancy Sendra, M.Kes., Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Nurul Aisyah Manshur, S.Ked (K1B120067)

Nur Wahda Kusmiah, S.Ked (K1B121049)

Judul : Epistaksis Posterior

Bagian : Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, Kepala dan Leher

Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan

THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada Agustus 2021.

Kendari, Agustus 2021


Pembimbing

dr. Nancy Sendra, M.Kes., Sp.THT-KL


Epistaksis Posterior

Nurul Aisyah Manshur, Nur Wahda Kusmiah, Nancy Sendra

A. PENDAHULUAN

Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap

lingkungan yang tidak menguntungkan. Dimana hidung mempunyai beberapa

fungsi yaitu sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat

digunakan paru-paru, mempengaruhi refleks tertcntu pada paru-paru dan

memodifikasi bicara.1

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang penyebabnya bisa

lokal atau sistemik. Epistaksis merupakan kegawatdaruratan dibidang THT-KL.

Diperkirakan, sekitar 60%penduduk pernah mengalami epistaksis dan 6%

diantaranya mencari bantuan medis. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila

tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal

dari bagian depan atau bagian belakang hidung. Terdapat 2 jenis epistaksis yaitu

epistaksis anterior yang berasal dari Pleksus Kiesselbach ataupun dari arteri

ethmoidalis anterior. Sedangkan epistaksis posterior berasal dari arteri

sphenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis dijumpai pada usia

dibawah 10 tahun dan usia diatas 40 tahun. Epistaksis bagian anterior umumnya

dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada

orang tua dengan perdarahan yang akut yang berat.2,3

B. Definisi

Epistaksis posterior merukapan perdarahan bagian posterior rongga

hidung yang dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina.

1
Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering

ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan

penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri sfenopalatina. 4

C. Anatomi

1. Rongga hidung

Gambar 1. Struktur anatomi dinding lateral hidung

Struktur ini membentang dari os internun di sebelah anterior

hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari

nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah, secara

anatomi membagi organ menjadi dua hidung.1 Rongga hidung atau kavum

nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh

septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu

atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan

lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan

kavum nasi dengan nasofaring.4

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding

medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum
2
nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawn. Bagian tulang adalah

1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila

dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago

septum (lamina kuadran gularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh

perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian

tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding

lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah

ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih

kecil lagiialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka

suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. sinus sfenoid. 4

2. Vaskularisasi hidung

Gambar 2. Vaskularisasi hidung

Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna dan

arteri karotis eksterna.2

1. Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari arteri karotis interna,

bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang

anterior lebih besar dibanding cabang posterior dan pada bagian medial

3
akan melintasi atap rongga hidung, untuk memperdarahi bagian superior

dari septum nasi dan dinding lateral hidung. 2

2. Arteri karotis eksterna bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri

maksilaris interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung

melalui arteri labialis superior. 2

3. Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri

sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri

sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka

media, memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral hidung.5

Bagian posterior dinding lateral hidung dikenal sebagai Plexus woodruf

yang terletak dibagian posterior konka inferior dimana arteri

sfenopalatina, nasalis posterior dan arteri faringeal posterior berada.

4. Pada bagian anterior septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang

arteri sfenopalatina, palatina mayor, ethmoidalis anterior dan labialis

superior (cabang dari arteri fasialis), membentuk plexus Kiesselbach atau

Little’s area.1 Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus

Kiesselbach. Karena ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini

rnerupakan subjek frauma fisik dan Iingkungan berulang, maka

merupakan lokasi epistaksis tersering.1

5. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar

hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus

kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga

merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai

ke intrakranial.4

4
D. Etiologi

Penyebab epistaksis dapat diklasifikasikan oleh factor lokal dan faktor

sistemik. faktor local terutama adalah trauma, sering karena kecelakaan lalu

lintas, olah raga, (seperti karena pukulan pada hidung) yang disertai patah tulang

hidung, mengorek hidung yang terlalu keras sehingga luka pada mukosa hidung,

adanya tumor di hidung, ada benda asing (sesuatu yang masuk ke hidung)

biasanya pada anak-anak, atau lintah yang masuk ke hidung, infeksi atau

peradangan hidung dan sinus (rinitis dan sinusitis). Penyebab sistemik artinya

penyakit yang tidak hanya terbatas pada hidung, yang sering meyebabkan

epistaksis adalah hipertensi, infeksi sistemik seperti penyakit demam berdarah

dengue atau cikunguya, kelainan darah seperti hemofili, autoimun trombositipenic

purpura dan penggunaan obat-obatan golongan antikoagulasi dan antiplatelets. 3

Faktor sistemik penyebab epistaksis yang paling sering terjadi adalah

akibat hipertensi. Hipertensi tidak berhubungan secara langsung dengan

epistaksis. Akumulasi plak pada arteriosklerosis pada pasien hipertensi membuat

terjadinya penurunan kemampuan hemostasis dan kekakuan otot dinding

pembuluh darah di hidung akibat terjadi proses degenerasi perubahan jaringan

fibrous di tunika media sehingga kemampuan pembuluh darah untuk konstriksi

berkurang. Ini merupakan faktor tersering pada epistaksis posterior. 3,5

Berdasarkan salah satu penelitian didapatkan bahwa sebanyak 5% pasien

epistaksis posterior dari 81 kasus epistaksis dimana faktor paling umum yang

terkait dengan epistaksis posterior adalah riwayat hipertensi pada 39 pasien dari

81 pasien (48%) dan epistaksis sebelumnya pada 30 (37%).6

E. Epidemiologi

5
Epistaksis merupakan kasus gawat darurat yang paling banyak ditemukan

di Bagian Telinga Hidung dan Tenggorok (THT). Diperkirakan setidaknya dalam

satu episode epistaksis terjadi pada lebih dari setengah populasi di dunia. Dari

kasus gawat darurat THT, 15% adalah epistaksis. Epistaksis merupakan salah satu

kasus yang sering dijumpai, 10 - 12% dari populasi dimana 10% diantaranya

memerlukan tindakan. Sekalipun kebanyakan kasus sembuh sendiri, beberapa

kasus membutuhkan intervensi. Perdarahan dari bagian posterior kavum nasi

disebut epistakis posterior berkisar antara 5 -10%, tampon hidung 48 – 83%

kurang berhasil, sehingga dilakukan penanganan melalui tindakan bedah.7.

Epistaksis posterior sering terjadi pada orang tua usia 50-80 tahun dan biasanya

disertai dengan riwayat penyakit hipertensi, aterosklerosis ataupun penyakit

kardiovaskuler.3

F. Patofisiologi

Pendarahan dari rongga hidung posterior sering disebut epistaxis

posterior. Hal ini biasanya diduga karena perdarahan dari pleksus Woodruff, yang

merupakan cabang terminal posterior dan superior dari arteri sphenopalatina dan

arteri ethmoidalis posterior. Ini sering sulit dikendalikan dan berhubungan dengan

pendarahan dari kedua lubang hidung atau ke nasofaring, di mana darah dapat

tertelan atau membuat batuk, yang dapat muncul sebagai hemoptisis. Ini dapat

menghasilkan aliran darah yang lebih besar ke faring posterior dan memiliki

risiko lebih tinggi untuk menutup jalan napas atau aspirasi karena meningkatnya

kesulitan dalam mengendalikan perdarahan.8

Pada pemeriksaan arteri kecil dan sedang pasien berusia menengah dan

lanjut terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi

jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstisial sampai

6
perubahan yang kompleks menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut

memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika

media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang

yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis

memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah

ini disebabkanoleh iskemia lokal atau trauma.5

G. Evaluasi

Diagnosis epistaksis posterior biasanya didapatkan saat perdarahan tidak

dapat berhenti dengan tampon anterior dan jika tidak dapat mengidentifikasi

sumber perdarahan anterior . Penemuan lain yang didapatkan saat curiga

epistaksis posterior yaitu jika perdarahan berat dari kedua lubang hidung atau

terlihat adanya aliran darah dibelakang tenggorokan.

a. Hal yang perlu diperhatikan pada epistaksis

1. Riwayat perdarahan sebelumnya

2. Lokasi perdarahan

3. Apakah perdarahan terutama mengalir ke dalam tenggorokan ( ke

posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien

duduk tegak

4. Lama perdarahan dan frekuensinya

5. Kecendrungan perdarahan

6. Riwayat gang. Perdarahan dalam keluarga

7. Hipertensi , Diabetes melitus, dan Penyakit Hati.

8. Penggunaan anti koagulan

9. Trauma hidung yang belum lama

10. Penggunaan obat-obatan seperti ( aspirin , Fenilbutazon). 1

7
b. Pemeriksaan Fisik & Pemeriksaan Penunjang

1. Rhinoskopi Anterior : Mengevaluasi perdarahan. Pemeriksaan harus

dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum,

mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha

inferior harus diperiksa dengan cermat.

2. Rhinoskopi posterior : Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi

posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret

hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma. Jarang dilakukan ,

namun bisa untuk menilai mild discharge.

3. Nasal Endoscopy

4. Monitoring Tekanan darah

5. CT Scan.9

H. Tatalaksana

Pada saat pasien dalam kondisi epistaksis dapat dilakukan pertolongan

pertama sebelum dibawa ke pelayanan Kesehatan atau RS terdekat.

a. Pertolongan pertama pasien epistaksis

1. Posisikan kepala menunduk dan duduk condong ke depan

2. Tekan cuping hidung selama 10-15 menit ( metode trotter)

3. Bernafas melalui mulut

4. Kompres pangkal hidung dengan air dingin

Jika perdarahan tidak berhenti , segera ke pusat pelayanan terdekat.11

8
Gambar 3. Penanganan Pertama Epistaksis

b. Langkah awal penanganan epistaksis

1. Posisikan pasien duduk tegak dengan dasar hidung sejajar dengan

lantai

2. Minta pasien untuk menghembuskan udara dari hidung untuk

menghilangkan darah dan gumpalan darah dari hidung

3. Jika perdarahan minimal cobalah untuk melokalisasi sumber

perdarahan yang spesifik menggunakan speculum hidung

4. Jika perdarahan masih banyak , berikan vasokonstriktor topical seperti

oxymetazoline

5. Cara lain gunakan tampon yang direndam di dalam larutan kokain.10

c. Kauterisasi

Epistaksis yang tidak hilang dengan penekanan dan pemberian topical

vasokonstriktor membutuhkan tindakan kauterisasi, Ini berguna pada

epistaksis anterior ketika titik perdarahan telah ditemukan, tidak dapat

dilakukan pada perdarahan aktif. Area tersebut pertama kali dibius secara

topikal dan titik perdarahan dikauter dengan silver nitrate.10

d. Tampon Hidung Anterior ( anterior nasal packing)

Pemasangan anteriornasal packing / tampon hidung anterior harus

dilakukan dengan hati-hati dan dengan teknik khusus. Forceps bayonet dan

9
spekulum nasal digunakan untuk melipat lembaran kasa sedalam mungkin

pada kavum nasi. Setiap lipatan harus di tekan sebelum lembaran baru

tambahkan diatasnya. Setalah cavum nasi tersisi dengan kasa, ujung kasa

dapat ditempelkan diatas lubang hidung dan di ganti berkala. Selain

mengunakan kasa untuk anteriornasal packing, dapat juga di gunakan spons

(Merocel atau Doyle Sponge). Tampon dimasukan dengan hati-hati pada dasar

cavum nasi karena akan mengembang apabila terkena darah atau cairan lain.

Pemberian jel lubrikan pada ujung tampon mempermudah pemasangan.

Setelah tampon terpasang, tetesi tampon dengan sedikit cairan vasokonstriktor

untuk mempercepat perhentian perdarahan. Tetesi saline kedalam lubang

hidung agar tampon dapat mengembang sempurna. Tampon dapat dilepas

setelah 2-3 hari terpasang dengan memastikan telah terjadi formasi

pembekuan darah yang adekuat.10

Gambar 4. Tampon Hidung Anterior.10

e. Tampon Posterior

1. Metode belloque

10
METODE BELLOQUE (
TRADITIONAL POSTERIOR PACKING)
1. Setelah mengoleskan anestesi
topikal, masukkan red rubber kateter
melalui hidung, pegang dengan hati-
hati di orofaring dengan forsep, dan
bawa keluar melalui mulut.

2. Buat tampon hidung posterior


dengan membungkus bola kapas di
bantalan kasa 4 x 4 inci dan ikat dua
jahitan panjang atau pita di sekitar
leher tampon. Biarkan satu tali
panjang sehingga bisa direkatkan ke
pipi sampai waktunya untuk melepas
tampon.

3. Sebagai alternativ, lipat kain kasa,


gulung menjadi silinder, dan ikat
dengan dua tali. Gunakan dua tali
panjang untuk mengikat tampon ke
ujung kateter, dan gunakan dua
lainnya untuk melepas tampon.

4. Sebagai pilihan, gunakan kateter


kedua yang telah melewati sisi yang
tidak berdarah dan dibawa keluar
mulut untuk menarik langit-langit ke
depan untuk membantu penempatan
tampon.

11
5. Lepaskan kateter “retraksi” opsional
setelah bungkus berada di posisi
yang tepat. Arahkan tampon secara
digital ke dalam nasofaring

6. Gunakan gulungan kain kasa untuk


mengamankan tampon ke hidung,
dan rekatkan tali ke pipi.

Note : Tampon dilepaskan dalam waktu


72-96 jam (3-5 hari )

2. Foley catheter

FOLEY CATETHER TECHNIQUE


1. Masukkan foley catheter dari hidung
hingga pharynx posterior

2. Lihat orofaring untuk memastikan


posis ujung kateter sudah masuk
atau belum

12
3. Isi ballon kateter dengan 5-7 ml air

4. Traksi/ Tarik kateter agar berada


dibelakang nasopharynx

5. Setelah foley kateter berada di


posterior nasopharynx, isi balon
kateter dengan 5-7 ml air

6. Untuk menjaga traksi, beri klem


umbilical di depan hidung. Berikan
kaca diantara tampon anterior dan
klem umbilical

13
Beragam sistem balon efektif dalam menangani perdarahan posterior

dan menimbulkan komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan

prosedur tampon . Konsepnya tetap sama, dengan memasukkan udara atau

cairan kedalam balon, balon akan mengembang dan memberikan penekanan

pada dinding lateral hidung dan septum.

Tipe terbaru dari balon nasal adalah double balloon, gabungan dari

balon dan Merocel yang mempunyai kemampuan untuk tetap berada di

tempatnya setelah balon mengempis dan dilepas. Beberapa balon nasal dapat

memberikan jalur pernafasan melalui lubang yang ada di tengahnya. 11

f. Ligasi arteri

1. Ligasi A. Carotis eksterna

Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid

superior untuk melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan

ligasi a. karotis eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan dibawah

anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas

mandibula yang menyilang pinggir anterior m.

sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma di elevasi, m.

Sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan

ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi

bifurkasio karotis kemudian a. karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan

untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal asendens, terutama

apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau nasofaring

2. Ligasi A. Maksillaris

Pendekatan transoral untuk ligasi a. maksilaris interna. Plane of

buccinator dimasuki melalui insisi gingivobukal. Jaringan lemak bukal

14
dibuang, dan identifikasi perlekatan m. temporalis ke prosessus

koronoid mandibula. Lakukan diseksi tumpul pada daerah ini dan

identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan, dijepit

atau diligasi. Prosedur ini berguna apabila pendekatan transantral tidak

dapat dilakukan oleh karena trauma sinus atau malignansi. Kelemahan

dari prosedur ini adalah lokasi ligasi terletak lebih ke proksimal

dibandingkan dengan pendekatan transantral sehingga lebih

memungkinkan untuk terjadinya kegagalan. Komplikasi utama

pendekatan ini adalah pembengkakan pipi dan trismus yang dapat

berlangsung selama tiga bulan.

Gambar 5. Ligase A. maksillaris interna

3. Ligasi A. Ethmoid

Setelah induksi anestesi, balutan dan bungkus dilepas. Pasien

diposisikan dengan bantal di bawah bahu dan hidung disiapkan dengan

larutan Moffett (dua ml kokain enam persen, satu ml 1:1000 adrenalin,

satu ml delapan persen natrium bikarbonat dan enam ml salin normal). 

Untuk menemukan arteri ethmoidalis anterior resesus frontal

pertama-tama diidentifikasi. Resesus frontal paling baik didekati dari

15
anterior ke posterior, dan instrumentasi mukosa reses diminimalkan

untuk mencegah stenosis di masa depan. Antrostomi meatus medium

dibuat untuk membantu akses dan bertindak sebagai penanda. Sel

agger nasi yang menonjol juga dihilangkan untuk memudahkan akses,

dan mungkin juga perlu untuk menghilangkan sepertiga anterior turbin

tengah untuk membantu visibilitas. Resesus frontal kemudian

ditempatkan dengan probing anterior yang lembut dengan pengisap

ujung tumpul di lateral turbinate tengah. Identifikasi resesus frontal

juga dapat dibantu dengan mengikuti tepi posterior prosesus uncinatus.

Pada 50 persen individu, bagian atas prosesus uncinatus masuk ke

dalam turbinate tengah atau dasar tengkorak dan melindungi akses

anterior ke resesus frontal. Arteri etmoidalis anterior terletak pada

penopang tulang horizontal di belakang resesus frontonasal, dan area

ini dapat dipersempit oleh sel udara agger nasi. Arteri biasanya

dipisahkan oleh satu sel udara (yang mungkin besar atau kecil). Dalam

hal ini ujung dari arteri ethmoidalis anterior diidentifikasi dan diikat

dengan klip dengan segera menghentikan pendarahan.

Gambar 6. Ligasi arteri ethmoid

4. Transnasal Endoscopic Sphenopalatine Artery Ligation (TESPAL)

16
Semua prosedur bedah dilakukan dengan bantuan endoskopi 0

°. Setelah kapas meresap dengan vasokonstriktor topikal dan

dekongestan difiksasi, injeksi agen vasokonstriktor yang mengandung

lidokain + epinefrin (Jetokain ampoule® Adeka, stanbul, Turki) 20

mg/mL Lidokain (+0,0125 mg/mL Epinefrin) dilakukan di meatus

media. Kemudian, flap diangkat ke arah posteroinferior dengan

membuat insisi vertikal pada ubun-ubun posterior superior sinus

maksilaris untuk mencapai foramen sphenopalatina (SPF) dan crista

ethmoidalis (CE). Dengan membuat antrostomi rahang atas, dinding

posterior sinus maksilaris digunakan sebagai penanda anatomi untuk

CE pada pasien ketika fontanel posterior tidak dapat dievaluasi

sepenuhnya atau CE tidak dapat ditemukan karena intensitas

perdarahan. CE diambil dengan bantuan kuret atau pukulan Kerrison

untuk melihat semua cabang arteri sphenopalatina (SPA) . SPA

dipotong dengan bantuan dua atau tiga hemoclips di lokasi paling

proksimal di mana ia keluar dari foramen. Pada pasien yang tidak pasti

apakah SPA sepenuhnya dipotong dengan hemoclips, elektrokoagulasi

bipolar diterapkan pada bagian paling proksimal dari arteri dan

packing ditempatkan di lokasi operasi.

Gambar 7. Transnasal Endoscopic Sphenopalatine Artery Ligation

(TESPAL)

17
g. Obat yang diperlukan untuk pasien epistaksis

1. Antibiotik.

Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat beresiko untuk

terjadinya infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik. Selain itu

antibiotik juga harus diberikan setiap pemasangan tampon untuk

mencegah terjadinya infeksi seperti rinosinusitis, otitis media,

septikemia, dan toxic shock syndrome.4

2. Asam traneksamat

Bekerja sebagai anti fibrinotilik yang dipercaya bisa

mengurangi perdarahan dan mencegah terjadinya perdarahan berulang

pada epistaxis.10

3. Vit.K

4. Analgetik.10

h. Cara Pelepasan Tampon

Cara pelepasan tampon sesuaikan posisi pasien dengan benar seperti

saat pemasangan tampon. Pelepasan tampon anterior dengan menggunakan

cairan saline untuk membasahi tampon sehingga mudah untuk diambil.

Cara pelepasan tampon posterior, pada foley catheter keluarkan air

pada balon kateter dengan spoit, pastikan jumlah yang dikeluarkan kurang

lebih sesuai dengan yang dimasukkan, kemudian klem kateter depan hidung

dan kelurkan secara perlahan.10 Setiap pemasangan tampon hidung harus

diberikan antibiotik dan tampon hidung dapat dipertahankan selama 3-5 hari

kemudian harus dilepaskan.

I. Komplikasi

18
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau

sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang

hebat dapat terjadi apirasi yang dalam ke saluran napas bawah, juga dapat

menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara

mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi

koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal

ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya. 4

Beberapa komplikasi pemasangan tampon hidung adalah aspirasi

rhinosinusitis, Otitis Media, Septikemia/toxic shock syndrome, Selain itu juga

dapat terjadi Hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah dari tuba

eustachius, dan air mata berdarah atau Bloody tears akibat mengalirnya darah

secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis. Komplikasi khusus pada

pemasangan tampon posterior (belloq) akan menimbulkan dampak seperti laserasi

palatum mole atau sudut bibir bila benang yang keluar dari mulut terlalu ketat

dilekatkan pada bibir dan pipi. Dampak lainnya adalah nekrosis mukosa hidung

atau septum bila kateter balon atau tampon balon dipompa terlalu keras.4

J. Kesimpulan

Epistaksis adalah suatu gejala yang disebabkan oleh kondisi atau kelainan

tertentu. Dapat bersifat ringan ataupun berat, epistaksis disebabkan oleh beberapa hal

yaitu factor local, sistemik dan apabila penyebab belum diketahui disebut idiopatik.

Prinsip penanganan epistaksis adalah mencari sumber perdarahan agar tidak

terjadi perdarahan berulang dan perdarahan berhenti.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams,G.,L., Boies,R.,L., Peter,A.,H. 2012. BOIES Buku Ajar Penyakit


THT. Edisi VI. Jakarta : EGC
2. Budiman, B.J., Hafiz A., 2021. Hipertensi dan Epistaksis : Adakah hubungannya?.
Jurnal Kesehatan Andalas 1 (2) : 75-79
3. Zulfiani V., Imanto M., Atina R., 2017. Pria Usia 66 Tahun Dengan Epistaksis
Posterior Et Causa hipertensi grade II. Jurnal Medula 7(4) : 55-57
4. Soepardi, EA. Iskandar N. Bashiruddin J. Restuti RD. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Badan penerbit FK UI.
Jakarta.
5. Husni, T.R., Hadi Z., 2019. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Epistaksis. Jurnal
Kedokteran Nanggroe Medika 2(2) : 26-32
6. Viducich, R.A., Blanda M.P., Gerson L.W., 1995. Posterior Epistaxis : Clinical
Features and Cute Complications. Annals of Emergency Medicine An International
Journal 25 (5)
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/7741333/
7. Marbun E.M., 2017. Etiologi, Gejala dan Penatalaksanaan Epistaksis.  J. Kedokt
Meditek 23 (62) : 71-76
8. Tabassom A., Cho, JJ., 2021. Epistaxis. Treasure Island (FL) : StatPearls Publishing
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK435997/
9. Hazarika, P.,Nayak, D.R., Balakrishnan, R. 2014. Ear Nose Throat and Head & Neck
Surgery. Third Edition, 275-276.
10. Robert J., James R Hadges., 2014. Clinical Procedure in Emergency Medicine.
Philadelphia: Elsevier.
11. Dhingra, P.L., Dhingra, Shruti,. 2018. Diseases of Ear, Nose and Throat Head and
Neck Surgery .7th Edition, 201-203. Elsevier.

20

Anda mungkin juga menyukai