Anda di halaman 1dari 47

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

GANGGUAN PENDENGARAN KONGENITAL KARENA RUBELLA

PENYUSUN :
1. Andi Abdul Azis, S.Ked (K1B1 21 013)
2. Nilam Nabilah Kusuma, S.Ked (K1B1 21 026)

PEMBIMBING :

dr. Sophian Sujana, M.Kes., Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA LABORATORIUM KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2021

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Gangguan Pendengaran Kongenital Karena Rubella


Nama : Andi Abdul Azis, S.Ked
Stambuk : K1B1 21 013
Nama : Nilam Nabilah Kusuma, S.Ked
Stambuk : K1B1 21 026
Program studi : Profesi Dokter
Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada

bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Fakultas

Kedokteran Universitas Halu Oleo

Menyetujui,
Pembimbing

dr. Sophian Sujana, M.Kes., Sp.THT-KL


GANNGUAN PENDENGARAN KONGENITAL KARENA RUBELLA
Andi Abdul Azis, Nilam Nabilah Kusuma, Sophian Sujana

A. Pendahuluan

Pendengaran memainkan peran penting dalam perkembangan manusia.

Sistem pendengaran perifer sepenuhnya terbentuk saat lahir, sedangkan sistem

pendengaran pusat membutuhkan dua tahun untuk sempurna. Identifikasi awal

dan habilitasi dalam kasus-kasus gangguan pendengaran adalah hal yang

terpenting untuk menunjang perkembangan bicara, yang disebut juga sebagai

periode kritis dan periode optimal. Selain itu juga penting dalam

perkembangan fungsi kognitif pada anak1.

Tuli sensonneural adalah jenis gangguan pendengaran yang terletak

pada koklea, saraf vestibulokoklear (N.VIII), nukleus koklea, kompleks olivari

superior, lateral lemnikus, sampai dengan otak. Tuli sensorineural dapat terjadi

akuisita maupun kongenital. Tuli kongenital sering dikaitkan dengan infeksi

kehamilan dengan virus seperti rubella atau sitomegalovirus (CMV)1.

Rubella adalah salah satu virus yang dapat menyebabkan tuli kongenital

Apabila terjadi infeksi rubella selama kehamilan terutama selama trimester

pertama, maka virus dapat menginfeksi janin dan menyebabkan sindroma

rubella kongenital (SRK), aborsi, dan cacat lahir berat. Sebanyak 20% dari bayi

yang lahir dari ibu yang terinfeksi dalam trimester pertama kehamilan dapat

berisiko terjadi SRK. SRK merupakan kumpulan beberapa gejala cacat bawaan

atau trias SRK yang paling umum adalah tuli sensorineural, katarak, dan

kelainan jantung1.
B. Anatomi Telinga

Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.

1. Telinga Luar

Gambar 1 . Telinga Luar

Telinga luar merupakan bagian telinga yang terdapat di lateral dari

membran timpani, terdiri dari aurikulum dan meatus akustikus eksternus

(MAE). Aurikulum merupakan tulang rawan fibro elastis yang dilapisi

kulit, berbentuk pipih dan permukaannya tidak rata. Melekat pada tulang

temporal melalui otot-otot dan ligamen. Bagiannya terdiri heliks, antiheliks,

tragus, antitragus dan konka. Daun telinga yang tidak mengandung tulang

rawan ialah lobulus2.

MAE merupakan tabung berbentuk S, dimulai dari dasar konka

aurikula sampai pada membran timpani. MAE dibagi menjadi dua bagian

yaitu pars cartilage yang berada di sepertiga lateral dan pars osseus yang

berada di dua pertiganya. Pars cartilage berjalan ke arah posterior superior,

merupakan perluasan dari tulang rawan daun telinga, tulang rawan ini
melekat erat di tulang temporal, dilapisi oleh kulit yang merupakan

perluasan kulit dari daun telinga , kulit tersebut mengandung folikel rambut,

kelenjar serumen dan kelenjar sebasea. Kelenjar serumen memproduksi

bahan seperli lilin berwarna coklat merupakan pengelupasan lapisan

epidermis, bahan sebaseus dan pigmen disebut serumen atau kotoran

telinga. Pars osseus berjalan ke arah anteroinferior dan menyempit di

bagian tengah membentuk ismus. Kulit pada bagian ini sangat tipis dan

melekat erat bersama dengan lapisan subkutan pada tulang. Didapatkan

glandula sebasea dan glandula seruminosa, tidak didapatkan folikel rambut2.

2. Telinga tengah

Ruang telinga tengah disebut juga kavum tympani (KT) atau tympanic

cavity. Dilapisi oleh membran mukosa, topografinya di bagian medial

dibatasi oleh promontorium, lateral oleh MT, anterior oleh muara tuba

Eustachius, posterior oleh aditus ad antrum dari mastoid, superior oleh

tegmen timpani fossa kranii, inferior oleh bulbus vena jugularis. Batas

superior dan inferior MT membagi KT menjadi epitimpanium atau atik,

mesotimpanum dan hipotimpanum2.

Gambar 2. Skema hubungan membran timpani dan osikel


Telinga tengah terdapat tiga tulang pendengaran, susunan dari luar

ke dalam yaitu maleus, incus dan stapes yang saling berikatan dan

berhubungan membentuk artikulasi. Prosesus longus maleus melekat pada

membran timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus melekat pada

stapes. Stapes terletak tingkap lonjong atau foramen ovale yang

berhubungan dengan koklea2.

Tuba Eustachius menghubungkan telinga tengah ke bagian belakang

mulut kita. Saluran ini berfungsi sebagai jalur drainase untuk cairan yang

dihasilkan di telinga tengah. Sewaktu terbuka sesaat, saluran ini

memungkinkan tekanan di telinga tengah menjadi sama dengan tekanan

atmosfer. Saluran ini hampir selalu dalam keadaan tertutup. Apabila saluran

tersebut menutup atau membuka terus-menerus selama beberapa jam, akan

dapat timbul masalah-masalah fisiologis. Penyamaan tekanan dapat terjadi

secara spontan tanpa gerakan rahang apabila tekanan udara sekitar

berkurang. Udara di telinga tengah biasanya secara perlahan diserap ke

dalam jaringan sehingga tekanan di bagian dalam gendang telinga

berkurang. Apabila karena suatu hal tuba Eustachius tidak membuka,

perbedaan tekanan akan menyebabkan gendang telinga cekung ke dalam

dan mengurangi kepekaan telinga. Perbedaan tekanan sekitar 8kPa atau1/12

atmosfer di gendang telinga menyebabkan nyeri. Penyebab umum gagalnya

sistem untuk menyamakan tekanan ini adalah tersumbatnya tuba Estachius

oleh cairan kental akibat flu dan pembengkakan jaringan di sekitar pintu

masuk tuba2.
3. Telinga dalam

Gambar 3. Telinga dalam

Telinga dalam terdiri atas dua bagian yaitu koklea yang berperan

sebagai organ auditus atau indera pendengaran dan kanalis semisirkularis

sebagai alat keseimbangan. Kedua organ tersebut saling berhubungan

sehingga apabila salah satu organ tersebut mengalami gangguan maka yang

lain akan terganggu2.

Gambar 4. Koklea potongan melintang

Koklea adalah organ pendengaran berbentuk menyerupai rumah

siput dengan dua dan satu setengah putaran pada aksis memiliki panjang

lebih kurang 3,5 centimeter. Sentral aksis disebut sebagai modiolus dengan

tinggi lebih kurang 5 milimeter, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari
arteri vertebralis. Struktur duktus koklea dan ruang periotik sangat

kompleks membentuk suatu sistem dengan tiga ruangan yaitu skala

vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala vestibuli dan skala tympani

berisi cairan perilimfe sedangkan skala media berisi endolimf. Skala

vestibuli dan skala media dipisahkan oleh membran reissner, skala media

dan skala timpani dipisahkan oleh membran basilar2.

Gambar. Endolimfe dan Perilimfe

Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfe sedangkan

skala media berisi cairan endolimfe. Komposisi ion pada cairan skala media

serupa dengan cairan intraseluler yaitu kaya kalium dan rendah natrium

sedangkan cairan pada skala vestibuli dan skala timpani serupa dengan

cairan ekstraseluler yaitu kaya natrium dan rendah kalium. Komposisi ion

perilimfe penting dalam fungsi sel-sel rambut3.

Cairan perilimfe pada telinga dalam berhubungan dengan cairan

serebrospinal pada kavum kranii melalui akuaduktus koklearis yang

menghubungkan ruang perilimfe dengan ruang cairan kranial. Ruang

endolimfatikus berhubungan dengan sakus endolimfe melalui duktus

endolimfe. Sakus endolimfe adalah ruang diantara dua lapisan duramater.


Membran Reissner memiliki komplians yang sangat tinggi sehingga

perubahan tekanan yang sangat kecil sekalipun dapat menyebabkan

perubahan volume yang besar pada ruang endolimfe3.

Gambar 6. Inner dan Outer hair cell menggunakan mikroskop elektron

Stereosilia ("rambut" yang menonjol dari ujung-ujung sel rambut),

merupakan struktur yang kaku karena setiap stereosilia ini memiliki jaringan

protein yang kaku. Setiap sel rambut memiliki sekitar 100 stereosilia pada

tepi apikalnya. Stereosilia ini menjadi semakin panjang pada sisi sel rambut

yang menjauhi modiolus, dan ujung-ujung stereosilia yang pendek akan

dilekatkan oleh filamen tipis ke sisi belakang stereosilia di dekatnya yang

lebih panjang. Oleh karena itu, setiap silia membelok ke arah silia yang

lebih panjang, ujung stereosilia yang lebih kecil akan tertarik ke luar dari

permukaan sel rambut. Hal ini menyebabkan mekanisme transduksi yang

membuka 200 sampai 300 kanal penghantar kation, yang memungkinkan

ion kalium yang bermuatan positif bergerak dengan cepat dari cairan skala

media masuk ke stereosilia, sehingga menyebabkan depolarisasi pada

membran sel rambut. Jadi, bila serat basilar berbelok ke arah skala vestibuli,

sel-sel rambut akan berdepolarisasi, dan dalam arah yang berlawanan akan

mengalami hiperpolarisasi, dengan menimbulkan potensial reseptor sel


rambut bolak-balik. Hal ini kemudian merangsang ujung-ujung saraf koklea

yang bersinaps dengan dasar sel-sel rambut. Diduga bahwa neurotransmiter

kerja cepat akan dilepaskan oleh sel-sel rambut pada sinapssinapsnya

selama depolarisasi3.

Sel rambut luar pada apeks koklea berukuran lebih panjang

dibandingkan pada bagian basal. Stereosilia sel rambut dalam pada basal

koklea berukuran lebih pendek dibandingkan dengan apeks koklea. Stria

vaskularis berada diantara ruang perilimfe dan endolimfe disepanjang

dinding koklea. Stria vaskularis banyak mengandung pembuluh darah dan

mitokondria pada selnya yang mengindikasikan terlibatnya aktivitas

metabolik3.

Sel-sel rambut (stereosilia) bagian luar terdapat lebih banyak tiga

sampai empat kali daripada sel-sel rambut bagian dalam, tetapi kurang lebih

90 persen serat saraf auditorik dirangsang oleh sel-sel bagian dalam bukan

sel-sel bagian luar. Meskipun demikian, jika sel-sel bagian luar dirusak

sementara sel-sel bagian dalam tetap berfungsi sempurna, timbul kehilangan

pendengaran yang cukup berat. Oleh karena itu, telah diajukan bahwa sel-sel

rambut luar dengan cara tertentu mengatur sensitivitas sel-sel rambut dalam

di berbagai tinggirendah bunyi, merupakan fenomena yang disebut

"penyesuaian reseptor. Untuk mendukung konsep ini, sejumlah besar serat

saraf berjalan retrograd dari batang otak ke sekitar sel-sel rambut luar.

Perangsangan serat saraf ini sebenarnya dapat menyebabkan pemendekan

sel rambut luar dan mungkin juga mengubah derajat kekakuannya. Efek ini
menunjukkan bahwa mekanisme saraf retrograd untuk mengatur sensitivitas

telinga di berbagai tinggi-rendah bunyi, diaktivasi melalui sel-sel rambut

luar3.

Gambar 5. Perangsangan sel-sel rambut oleh gerakan maju-mundur

Gambar 5. Kanalis Semisikularis

Kanalis Semisirkularis terdiri atas tiga bagian pada setiap aparatus

vestibular, yaitu kanalis semisirkularis anterior, posterior, dan lateral

(horizontal), tersusun saling tegak lurus satu sama lain, sehingga ketiga

kanalis ini merepresentasikan ketiga bidang dalam ruang. Bila kepala

tunduk kira-kira 30 derajat ke depan, kanalis semisirkularis lateral kira-kira

ada pada bidang horizontal sesuai dengan permukaan bumi; kemudian


kanalis anterior ada pada bidang vertikal yang arah proyeksinya ke depan

dan 45 derajat ke luar, dan kanalis posterior ada pada bidang vertikal yang

berproyeksi ke belakang dan 45 derajat ke luar. Pada ujung akhir setiap

kanalis semisirkularis terdapat pembesaran yang disebut ampula, dan

kanalis serta ampula ini terisi oleh cairan yang disebut endolimfe. Aliran

cairan di dalam kanalis dan ampulanya merangsang organ sensorik ampula.

Memperlihatkan pada setiap ampula terdapat tonjolan kecil yang disebut

krista ampularis. Pada puncak krista ini terdapat jaringan longgar massa

gelatinosa, yang disebut kupula. Bila kepala seseorang mulai memutar ke

suatu arah, inersia cairan di dalam satu atau lebih kanalis semisirkularis

akan mempertahankan cairan untuk tetap tak bergerak sementara kanalis

semisirkularis berputar searah dengan kepala. Hal ini menyebabkan cairan

mengalir dari kanalis menuju ke ampula, membengkokkan kupula ke satu

sisi, Putaran kepala dalam arah yang berlawanan menyebabkan kupula

membengkok ke sisi yang berlawanan pula3.

C. Fisiologi Pendegaran

Gambar 6. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga (auricula) dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
tulang ke koklea melewati Meatus Acusticus Eksternus . Getaran tersebut

menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui

rangkaian tulang pendengaran Maleus menuju Incus kemudian menuju stapes

yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran

dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi

getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang

menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli

bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong

endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara basilaris dan

membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan

terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan

terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini

menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan

neurotransmiter ke dalam sinaps yang akan menimbulkan potensial aksi pada

saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks

pendengaran (area 39 - 40) di lobus temporalis4.

D. Embriologi Perkembangan Telinga Pada janin

1. Telinga Luar

External auditory meatus dibentuk dari bagian dorsal celah faring

pertama. Di awal bulan ke-3, sel-sel epitel di dasar meatus berproliferasi,

membentuk lempeng epitel padat yaitu meatal plug (sumbat liang telinga).

Di bulan ke-7, sumbat ini luruh, dan lapisan epitel dasar meatus ikut

membentuk gendang telinga definitif. Terkadang, meatal plug menetap


hingga lahir, yang menyebabkan tuli kongenital/bawaan lahir5.

Gendang telinga dibentuk dari (1) lapisan epitel ektoderm di dasar

meatus pendengaran, (2) lapisan endoderm di tympanic cavity, dan (3)

lapisan intermediet jaringan ikat yang membentuk stratum fibrosum. Bagian

utama gendang telinga melekat erat ke tangkai malleus, dan sisanya

membentuk pemisah antara external auditory meatus dan tympanic cavity5.

Auricle (daun telinga) terbentuk dari enam proliferasi mesenkim di

ujung dorsal pharyngeal arches pertama dan kedua, yang mengelilingi celah

faring pertama. Penebalan ini (auricular hillocks), tiga di masingmasing sisi

external meatus, kemudian menyatu dan membentuk definitive auricle.

Karena penyatuan auricular hillocks merupakan proses yang rumit, kelainan

perkembangan auricle cukup sering dijumpai. Mulamula telinga luar ada di

regio bawah leher, namun seiring berkembangnya mandibula, telinga luar

naik ke samping kepala setinggi mata5.

2. Telinga Tengah

Tympanic cavity, yang berawal dari endoderm, berasal dari kantong

faring pertama (saccus pharyngealis pertama). Kantong ini meluas ke arah

lateral dan berkontak dengan dasar pharyngeal cleft pertama. Bagian

distalnya, tubotympanic recess, melebar dan membentuk tympanic cavity

primitive dan bagian proksimalnya tetap sempit dan membentuk auditory

tube (Eustachian tube), yang menghubungkan tympanic cavity dengan

nasopharynx5.

Malleus dan incus berasal dari tulang rawan (cartilage) pharyngeal


arch pertama, dan stapes berasal dari tulang rawan pharyngeal arch kedua.

Walaupun tulang-tulang pendengaran ini muncul selama paruh pertama

kehidupan janin, tulangtulang ini tetap terbenam dalam mesenkim hingga

bulan ke-8, saat jaringan sekitarnya menghilang. Lapisan epitel endoderm

pada tympanic cavity primitif kemudian meluas di sepanjang dinding ruang

yang baru terbentuk. Kini tympanic cavity setidaknya dua kali lebih besar

dari sebelumnya. Saat tulang-tulang pendengaran terbebas sepenuhnya dari

mesenkim di sekitarnya, epitel endoderm menghubungkan tulangtulang

tersebut ke dinding rongga seperti mesenterium. Ligamen penunjang

tulangtulang pendengaran ini terbentuk di dalam mesenterium tersebut

Malleus berasal dari pharyngeal arch pertama, ototnya, m. tensor tympani,

disarafi oleh mandibular branch of the trigeminal nerve. Stapedius muscle,

yang menempel pada stapes, disarafi oleh facial nerve, saraf pharyngeal arch

kedua5.

Selama tahap akhir kehidupan janin, tympanic cavity meluas secara

dorsal melalui vakuolisasi jaringan sekitar untuk membentuk tympanic

antrum. Setelah kelahiran, epitel tympanic cavity menginvasi tulang dari

mastoid process yang sedang terbentuk dan terbentuk kantong udara

berlapis epitel (pneumatisasi) 5.

3. Telinga Dalam

Ciri pertama dari perkembangan telinga bisa ditemukan pada embrio

sekitar hari ke-22 ketika terjadi penebalan pada permukaan ektoderm di

setiap sisi rhombencephalon. Penebalan ini, disebut otic placodes, yang


secara cepat akan berinvaginasi dan membentuk otic atau auditory vesicles

(otocysts). Selama perkembangan selanjutnya, setiap vesikel dibagi menjadi

(1) komponen ventral yang membentuk saccule dan cochlear duct dan (2)

komponen dorsal yang membentuk utricle, semicircular canals, dan

endolymphatic duct. Secara bersama-sama, struktur epitel ini membentuk

membranous labyrinth5.

Di minggu ke-6 perkembangan, sakulus membentuk kantong keluar

berbentuk tubulus di kutub bawahnya. Kantong keluar, cochlear duct,

menembus mesenkim sekitar secara spiral hingga akhir minggu ke-8, saat

duktus telah menyelesaikan 2,5 putaran. Hubungannya dengan bagian lain

sakulus kemudian hanya berupa saluran sempit yang disebut ductus

reuniens5.

Mesenkim sekitar duktus koklearis segera berdiferensiasi menjadi

tulang rawan. Pada minggu ke-10, selubung tulang rawan mengalami

vakuolisasi, dan terbentuk dua ruang perilifmatik yaitu scala vestibule dan

scala tympani. Duktus koklearis kemudian dipisahkan dari scala vestibule

oleh vestibular membrane dan dari scala tympani oleh basilar membrane.

Dinding lateral duktus koklearis tetap melekat pada tulang rawan di

sekitarnya melalui spiral ligament, sementara sudut medialnya terhubung

dengan dan sebagian ditunjang oleh prosesus tulang rawana panjang yaitu

modiolus, yang kelak menjadi sumbu tulang koklea5.

Pada awalnya, sel-sel epitel cochlear duct tampak sama. Namun pada

perkembangan selanjutnya, sel-sel ini membentuk dua bubungan: inner


ridge, bakal spiral limbus, dan outer ridge. Outer ridge membentuk satu

baris hair cells dalam dan tiga atau empat baris hair cells luar yang

merupakan sel-sel sensori sistem pendengaran. Sel-sel ini dilapisi oleh

tectorial membrane, substansi gelatinosa fibrilar yang melekat pada spiral

limbus dan ujungnya terletak di hair cells. Sel-sel sensori dan tectorial

membrane bersama-sama membentuk organ of Corti. Impuls yang diterima

oleh organ ini disalurkan ke spiral ganglion dan kemudian ke sistem saraf

oleh auditory fibers of cranial nerve VIII5.

Selama minggu ke-6 perkembangan, semicircular canals muncul

sebagai kantong luar gepeng dari bagian utrikulus otic vesicle. Bagian

tengah dinding kantong luar ini pada akhirnya melekat satu sama lain dan

lenyap, menyebabkan terbentuknya tiga semicircular canals. Sementara

salah satu ujung dari setiap kanal mengalami dilatasi untuk membentuk crus

ampullare, ujung lainnya, crus nonampullare, tidak melebar. Namun karena

dua crus nonampullare menyatu, hanya lima krus yang masuk ke utrikulus,

tiga dengan ampula, dan dua tanpa ampula5.

Sel-sel di ampula membentuk sebuah krista, crista ampullaris, yang

mengandung sel-sel sensorik untuk mempertahankan keseimbangan. Area

sensorik serupa, maculae acusticae, terbentuk di dinding utrikulus dan

sakulus. Impuls yang dihasilkan di dalam sel-sel sensorik krista dan makula

sebagai hasil dari perubahan posisi tubuh dibawa ke otak oleh vestibular

fibers of cranial nerve VIII5.

Selama pembentukan otic vesicle, sekelompok kecil sel memisah


dari dindingnya dan membentuk statoacoustic ganglion. Sel lain dari

ganglion ini berasal dari krista neuralis. Kemudian ganglion terbagi menjadi

bagian cochlear dan vestibular, yang masing-masing memasok sel-sel

sensorik sakulus, utrikulus, organ of Corti, dan semicircular canals5.

E. Gangguan Pendegaran Kongenital

Gangguan Pendengaran kongenital merupakan ketulian yang terjadi

pada bayi disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun

saat lahir. Prevalensi tuli kongenital di seluruh dunia dilaporkan berkisar antara

1–3 kejadian dari 1000 bayi lahir hidup. Salah satu penyebab tuli kongenital

adalah infeksi rubela dan CMV saat kehamilan6.

Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan

berdasarkan saat terjadinya gangguan pendengaran yaitu pada masa pranatal,

perinatal dan postnatal 4.

1. Pranatal

Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester

pertama sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa

tersebut dapat menyebabkan ketulian pada bayi lnfeksi bakteri maupun virus

pada ibu hamil seperti Toksoplasmosis, Rubela, cytomegalovirus, Herpes

dan Sifilis (TORCHS) dapat berakibat buruk pada pendengaran bayi yang

akan dilahirkan4.

Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi

mengganggu proses organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea

seperti salisilat, kina, neomisin, dihidrostreptomisin, gentamisin, barbiturat,


thalidomide. Selain itu malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia

liang telinga dan aplasia koklea juga akan menyebabkan ketulian4.

2. Perinatal

Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan

faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran / ketulian seperti prematur,

berat badan lahir rendah (< 2500 gram), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir

tidak menangis). Umumnya ketulian yang terjadi akibat faktor pranatal dan

perinatal adalah tuli sensorineural bilateral dengan derajat ketulian berat

atau sangat berat4.

3. Postnatal

Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis,

infeksi otak (meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga tengah, trauma

temporal juga dapat menyebabkan tuli saraf atau tuli konduktif4.

F. Rubella

1. Definisi Rubella

Rubella dikenal masyarakat luas sebagai campak jerman,

,merupakan penyakit infeksi virus. Infeksi rubella jika terjadi pada bayi,

anak, atau orang dewasa tidak berakibat fatal, tetapi jika terjadi pada ibu

hamil dan virus tersebut menginfeksi janin yang sedang dalam kandungan

akan berakibat fatal dan dapat menyebabkan Congenital Rubella Syndrome

(CRS) 7.

Congenital Rubella Syndrome (CRS) adalah suatu kumpulan gejala

penyakit terdiri dari katarak (kekeruhan lensa mata), penyakit jantung


bawaan, gangguan pendengaran, dan keterlambatan perkembangan,

termasuk keterlambatan bicara dan disabilitas intelektual. Sindrom rubella

kongenital disebabkan infeksi virus rubella pada janin selama masa

kehamilan akibat ibu tidak mempunyai kekebalan terhadap virus rubella7.

2. Etiologi

Etiologi dari CRS adalah virus rubella. Tahun 1941, CRS untuk

pertama kalinya dilaporkan oleh Norman Greg (spesialis mata dari

Australia). Norman menemukan katarak kongenital pada bayi yang ibunya

terinfeksi Rubella di trimester awal kehamilannya7.

3. Penyebaran

Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan yaitu melalui

droplet yang dikeluarkan oleh seseorang yang terinfeksi rubella, setelah

terkena droplet, virus ini akan mengalami replikasi di nasofaring dan di

daerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke-5 sampai hari

ke-7 setelah terpajan virus rubella. Dalam ruangan tertutup, virus rubella

dapat menular ke setiap orang yang berada di ruangan yang sama dengan

penderita. Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 14–21 hari. Masa

penularan 1 minggu sebelum dan 4 hari setelah onset ruam (rash). Pada

episode ini, Virus rubella sangat menular7.

Ketika infeksi virus rubella terjadi selama awal kehamilan, maka

resiko resiko serius lebih sering terjadi yaitu abortus, lahir mati dan

sebagainya. Resiko infeksi kongenital dan defek meningkat selama

kehamilan 12 minggu pertama dan menurun setelah kehamilan diatas 12


minggu dengan defek jarang terjadi pada kehamilan 20 minggu.Jika infeksi

terjadi pada bulan pertama kehamilan, risiko terkena CRS sebesar 43

persen. Risiko tersebut meningkat menjadi 51 persen jika infeksi terjadi

pada 3 bulan pertama kehamilan, Risiko menurun jika infeksi terjadi setelah

3 bulan pertama kehamilan (23 persen) 7.

Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia

berlangsung. Infeksi rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses

pembelahan terhambat. Dalam sekret faring dan urin bayi dengan CRS,

terdapat virus rubella dalam jumlah banyak yang dapat menginfeksi bila

bersentuhan langsung. Virus dalam tubuh bayi dengan CRS dapat bertahan

hingga beberapa bulan atau kurang dari 1 tahun setelah kelahiran7.

Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh

kerusakan sel akibat virus rubella dan akibat pembelahan sel oleh virus.

Infeksi plasenta terjadi selama viremia ibu, menyebabkan daerah nekrosis

yang tersebar secara fokal di epitel vili korealis dan sel endotel kapiler. Sel

ini mengalami deskuamasi ke dalam lumen pembuluh darah, virus rubella

kemudian masuk ke dalam sirkulasi janin sebagai emboli sel endotel yang

terinfeksi. Hal ini selanjutnya mengakibatkan infeksi dan kerusakan organ

janin. Selama kehamilan muda mekanisme pertahanan janin belum matang

dan gambaran khas embriopati pada awal kehamilan adalah terjadinya

nekrosis seluler tanpa disertai tanda peradangan7.

Sel yang terinfeksi virus rubella memiliki umur yang pendek. Organ

janin dan bayi yang terinfeksi memiliki jumlah sel yang lebih rendah
daripada bayi yang sehat. Virus rubella juga dapat memicu terjadinya

kerusakan dengan cara apoptosis. Jika infeksi maternal terjadi setelah

trimester pertama kehamilan, frekuensi dan beratnya derajat kerusakan janin

menurun drastis. Perbedaan ini terjadi karena janin terlindung oleh

perkembangan respon imun janin, baik yang bersifat humoral maupun

seluler, dan adanya antibodi maternal yang ditransfer secara pasif7.

Risiko transmisi ke janin bervariasi, tergantung saat infeksi ibu,

risiko tertinggi dalam 10 minggu pertama kehamilan. Infeksi janin bersifat

kronis, persisten sepanjang kehamilan dan setelah lahir. Tingkat infeksi

janin bervariasi sesuai saat infeksi ibu selama hamil. Jika infeksi terjadi

pada 1-12 minggu, risiko infeksi janin sebesar 81%; pada 13–16 minggu,

risiko infeksi janin sebesar 54%; pada 17-22 minggu, risiko infeksi janin

sebesar 36%; pada 23–30 minggu, risiko infeksi janin sebesar 30%; lalu

meningkat hingga 60% pada 31-36 minggu; dan 100% pada bulan terakhir

kehamilan8.

Dari beberapa studi menunjukkan bahwa rute infeksi virus rubella

adalah melalui organ sistemik pada janin manusia. Fakta ini telah

dikonfirmasi oleh tes imunohistokimia dan deteksi langsung dari RNA virus

di beberapa organ. Perubahan histopatologi yang utama diamati dalam

hepar. Hepar embrio memiliki peran yang sangat penting dalam proses

hematopoiesis selain sumsum tulang. Temuan antigen virus di sel epitel

glomerulus dan tubulus proksimal pada ginjal juga menunjukkan ekskresi

virus dalam urin7.


4. Manifestasi Klinis

Rubella merupakan penyakit infeksi diantaranya 20–50% kasus

bersifat asimptomatis. Gejala rubella hampir mirip dengan penyakit lain

yang disertai ruam. Gejala klinis untuk mendiagnosis infeksi virus rubella

pada orang dewasa atau pada kehamilan adalah7:

a. Infeksi bersifat akut yang ditandai oleh adanya ruam makulopapular.

0
b. Suhu tubuh >37,2 C

c. Artralgia/artrhitis, limfadenopati, konjungtivitis.

CRS yang meliputi 4 defek utama yaitu7 :

a. Gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila infeksi terjadi

sebelum umur kehamilan 8 minggu. Gejala ini dapat merupakan satu-

satunya gejala yang timbul.

b. Gangguan jantung meliputi PDA, VSD dan stenosis pulmonal.

c. Gangguan mata : katarak dan glaukoma. Kelainan ini jarang berdiri

sendiri.

d. Retardasi mental dan beberapa kelainan lain antara lain:

-  Purpura trombositopeni ( Blueberry muffin rash )

-  Hepatosplenomegali, meningoensefalitis, pneumonitis, dan lain-lain.

G. Gangguan Pendengaran Karena Infeksi Rubella

1. Definisi

Gangguan pendegaran kongenital karena infeksi rubella adalah

gangguan pendengaran pada bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh

infeksi virus rubella yang didapatkan dari ibu hamil yang terinfeksi
rubella6.

Risiko infeksi dan cacat kongenital paling besar terjadi selama

trimester pertama kehamilan. Bayi dengan CRS biasanya menunjukkan

satu atau lebih gejala berupa gangguan pendengaran, kelainan mata,

kelainan jantung, retardasi mental dan cacat seumur hidup lainnya.

Gangguan pendengaran adalah kelainan tunggal yang paling sering9.

2. Epidemiologi

Di seluruh dunia, lebih dari 100.000 bayi lahir dengan CRS setiap

tahun, gangguan pendengaran kongenital merupakan gejala yang paling

umum pada kasus ini, terjadi pada sekitar 60% kasus, terutama ketika

infeksi terjadi pada bulan ke-4 kehamilan. Dalam sebuah penelitian di

Brasil, rubella kongenital dianggap sebagai penyebab gangguan

pendengaran pada 32% pasien dengan tuli, dan dalam penelitian yang

dilakukan di Afrika sub-Sahara, rubella dianggap sebagai salah satu

penyebab gangguan pendengaran10.

3. Patomekanisme

Patogenesis terjadinya defek akibat infeksi rubela pada masa fetal

karena kombinasi kerusakan seluler akibat induksi virus rubela dan efek

virus pada pembelahan sel. Infeksi plasenta yang terjadi saat viremia pada

ibu hamil menyebabkan nekrosis di epitel vili-vili korion dan di sel-sel

endotel kapiler. Nekrosis tersebut menyebabkan deskuamasi di dalam

lumen pembuluh darah dan ditransportasikan ke sirkulasi fetal sebagai

emboli sel endotel yang terinfeksi, yang akhirnya akan menyebabkan


infeksi dan kerusakan organ fetal. Pada masa kehamilan awal, mekanisme

pertahanan fetal belum matang/imatur, sehingga timbul gambaran khas

embriopati rubela pada masa awal kehamilan yaitu nekrosis seluler tanpa

adanya respon inflamasi. Sel-sel yang terinfeksi rubela memiliki masa

hidup yang lebih singkat dibandingkan sel normal. Kerusakan jaringan

akibat virus rubela juga dapat diinduksi karena proses apoptosis pada saat

virus bereplikasi, sehingga terjadi kematian sel6.

Mekanisme gangguan pendengaran akibat rubella belum

sepenuhnya dijelaskan, Gangguan pendengaran pada RSK dapat

disebabkan oleh kegagalan perkembangan sistem pendengaran. Kelainan

mungkin ada pada koklea (telinga bagian dalam), N. VIII atau jalur

pendengaran berikutnya. Mekanisme gangguan pendengaran akibat virus

rubella kemungkinan disebabkan oleh hipoksia akibat kerusakan endotel

vaskular. Endotelium yang rusak dapat bertindak sebagai sumber emboli

dan menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil. Kerusakan

lapisan intima juga terjadi pada arteri sistemik besar dan sedang sehingga

menyebabkan kerusakan koklea dan kematian sel organ corti serta stria

vaskularis dan perubahan komposisi endolimfe koklea akibat kerusakan

stria vaskularis11.

4. Gejala Klinis

a. Pranatal

Ibu hamil akan mengalami demam disertai ruam selama

trimester awal kehamilan sehingga pasien kemungkinan terinfeksi virus


rubella pada saat terjadi gangguan organogenesis. Gejala meningkat

pada ibu hamil yang tidak pernah mendapat vaksin rubella selama

hamil. Virus rubella menyebabkan defisiensi pembentukan sel,

mempengaruhi gangguan pembentukan organ. Virus menembus

plasenta dan mencapai sirkulasi darah janin. Kerusakan plasenta ini

menyebabkan nekrosis pada epitel vili korionik dan sel endotel kapiler.

Sel endotel akan mengalami deskuamasi ke dalam lumen pembuluh

darah, kemudian virus diangkut ke sirkulasi janin berupa sel endotel

yang terinfeksi virus rubella. Sel endotel yang terinfeksi dapat

menyebabkan penyumbatan pembuluh darah kecil serta infeksi dan

kerusakan pada berbagai organ janin11.

b. Perinatal

Dampak kelainan kongenital setelah kelahiran terutama dapat

berupa katarak mata atau strabismus, kelainan jantung dan tuli.

Biasanya anak lahir dengan berat badan rendah, trombositopeni,

purpura, mikroftalmi, glaukoma, kornea yang keruh, retionopati

pigmentosa, tuli dan gambaran radiolusen pada tulang12.

c. Postnatal

Bayi dan anak dengan gangguan pendengaran sering

memberikan gejala berupa keterlambatan bicara (speech delayed ).

Gagal atau tidak berkembangnya kemampuan berbica tidak

berkembangnya kemampuan berbicara dan berbahasa merupakan tanda

yang menunjukkan adanya gangguan pendengaran dan perlu dievaluasi.


Adapun beberapa gejala atau tanda lain pada anak yang mengalami

gangguan  pendengaran antara lain13:

 Perubahan perilaku misalnya menjadi menarik diri atau frustasi.

 Telinga merah pada bayi dan/atau menarik telinganya.

 Perkembangan bicara dan komunikasi yang tertunda.

 Salah mendengar dan salah mengucapkan kata-kata.

 Tidak mendengar apa yang terjadi jika ada kebisingan latar

belakang.

 Tidak merespon saat dipanggil.

 Masalah dengan konsentrasi, kelelahan dan frustrasi yan

mempengaruhi perilaku mereka.

 Kesulitan membaca dan belajar.

 Menginginkan volume TV lebih tinggi dari anggota keluarga anda

yang lain.

5. Diagnosis

a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis

Untuk dapat melakukan deteksi dini pada seluruh bayi dan anak

relatif sulit, karena akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya

yang besar. Program skrining sebaiknya diprioritaskan pada bayi dan

anak yang mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan pendengaran.

Untuk maksud tersebut Joint Commitee on lnfant Hearing (2000)

menetapkan pedoman registrasi resiko tinggi terhadap ketulian sebagai

berikut4:
1) Untuk bayi 0-28 hari

a) Riwayat keluarga dengan tuli sensorineural sejak lahir

b) lnfeksi masa hamil: Toksoplasma, Rubela, Cytomegalovirus,

Herpes, Sifilis (TORCHS)

c) Kelainan kraniofasial termasuk kelainan pada pinna & liang

telinga

d) Berat badan lahir < 1500 gr = 3.3. lbs

e) Hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar

(exchange tranfusion)

f) Obat ototoksik

g) Meningitisbakterialis

h) Nilai Apgar 0-4 pada menit pertama; 0-6 pada menit kelima

i) Ventilasi mekanik 5 hari atau lebih di NICU (Neonatal ICU)

j) Sindroma yang berhubungan Riwayat keluarga dengan tuli

sensorineural/Konduktif sejak lahir

2) Untuk bayi 29 hari-2 tahun

a) Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan

pendengaran, keterlambatan bicara, berbahasa dan atau

keterlambatan perkembangan.

b) Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang

menetap sejak masa anak anak

c) Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma

tertentu yang diketahui mempunyai hubungan dengan tuli


sensorineural, konduktif atau gangguan fungsi tuba Eustachius.

d) lnfeksi post-natal yang menyebabkan gangguan pendengaran

sensorineural termasuk meningitis bakterialis.

e) lnfeksi intrauterin seperti toksoplasma, rubella, virus

cytomegalo, herpes, sifilis.

f) Adanya faktor risiko tertentu pada masa neonatus, terutama

hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi

pulmonal yang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya

yang merlukan extracorporeal Membrane Oxygenation

(ECMO).

g) Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan

pendengaran yang progresif seperti Usher syndrome,

neurofibromatosis, osteopetrosis.

h) Adanya kelainan neurodegeneratif seperti Hunter syndrome,

dan kelainan neuropati sensomotorik misalnya Friederich's

ataxia, Cha rrot- Marie Tooth syndrome

i) Trauma kapitis

j) Otitis media yang berulang atau menetap disertai efusi telinga

tengah minimal 3 bulan.

b. Pemeriksaan Telinga

Pemeriksaan fisik pada telinga luar termasuk inspeksi untuk

sinus atau fistula preaurikular, bentuk dan ukuran aurikula dan patensi

dari liang telinga. Kanalis akustikus eksternus harus dibersihkan dari


serumen untuk penilaian pendengaran yang lebih akurat. Pemeriksaan

otoskopi sangat dibutuhkan karena merupakan pemeriksaan awal untuk

menentukan jika dibutuhkan suatu tindakan khusus berkaitan dengan

kebersihan telinga, karena pada pemeriksaan OAE keadaan liang

telinga harus bersih. Usia neonatus yang dapat diperiksa minimal adalah

2 hari, sedangakan pada bayi baru lahir biasanya liang telinganya

dipenuhi oleh verniks caseosa sehingga harus dibersihkan lebih dahulu.

Membran tympani dilihat untuk memastikan tidak adanya gangguan

telinga tengah14.

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Penegakan diagnosis infeksi rubella pada ibu

Pemeriksaan serologis digunakan untuk mendiagnosis infeksi

virus rubella kongenital dan pascanatal (sering dikerjakan di anak-

anak dan orang dewasa muda) dan untuk menentukan status

imunologik terhadap rubella7.

Pemeriksaan terhadap wanita hamil yang pernah bersentuhan

dengan penderita rubella, memerlukan upaya diagnosis serologis

secara tepat dan teliti. Jika penderita memperlihatkan gejala klinis

yang semakin memberat, maka harus segera dikerjakan pemeriksaan

imunoasai enzim (ELISA) terhadap serum penderita untuk

menetukan adanya IgM spesifik-rubella, yang dapat dipastikan

dengan memeriksa dengan cara yang sama setelah 5 hari kemudian.

Penderita tanpa gejala klinis tetapi terdiagnosis secara serologis


merupakan sebuah masalah khusus. Mereka mungkin sedang

mengalami infeksi primer atau re-infeksi karena telah mendapatkan

vaksinasi dan memiliki antibodi. Pengukuran kadar IgG rubella

dengan ELISA juga dapat membantu membedakan infeksi primer

dan re-infeksi. Secara spesifik, ada 5 tujuan pemeriksaan serologis

rubella, yaitu7:

a. Membantu menetapkan diagnosis rubella kongenital. Dalam hal

ini dilakukan imunoasai IgM terhadap rubella.

b. Membantu menetapkan diagnosis rubella akut pada penderita

yang dicurigai. Untuk itu perlu dilakukan imunoasai IgM

terhadap penderita.

c. Memeriksa ibu dengan anamnesis ruam “rubellaform” di masa

lalu, sebelum dan pada awal kehamilan. Sebab ruam kulit

semacam ini, dapat disebabkan oleh berbagai macam virus yang

lain.

d. Memantau ibu hamil yang dicurigai terinfeksi rubella selama

kehamilan sebab seringkali ibu tersebut pada awal kehamilannya

terpajan virus rubella (misalnya di BKIA dan Puskesmas).

e. Mengetahui derajat imunitas seseorang pascavaksinasi. Adanya

antibodi IgG rubella dalam serum penderita menunjukkan bahwa

penderita tersebut pernah terinfeksi virus dan mungkin memiliki

kekebalan terhadap virus rubella. Penafsiran hasil IgM dan IgG

ELISA untuk rubella sebagai uji saring untuk kehamilan adalah


sebagai berikut: sebelum kehamilan, bila positif ada perlindungan

(proteksi) dan bila negatif berarti tidak diberikan, kehamilan

muda (trimester pertama).

Kadar IgG ≥15 IU/ml, umumnya dianggap dapat melindungi

janin terhadap rubella. Setelah vaksinasi; bila positif berarti ada

perlindungan dan bila negatif berarti tidak ada7.

Tabel 1. Penafsiran hasil IgM dan IgG ELISA untuk rubella7

IgM IgG Penafsiran


- - Tak ada perlindungan; perlu dipantau lebih
lanjut
+ ≤15 Infeksi akut dini (<1 minggu)
IU/ml
+ ≥15 Baru mengalami infeksi (1–12 minggu)
IU/ml
- + Imun, tidak perlu pemantauan lebih lanjut

2) Penegakan diagnosis infeksi rubella pada anak

Infeksi rubela kongenital. Bayi dengan bukti laboratorium

infeksi tetapi tanpa gejala atau tanda klinis. Jika kemudian ada tanda

atau gejala yang diidentifikasi seperti gangguan pendengaran, maka

diagnosis confirmed Diagnosis laboratorium menggunakan tes

serologi deteksi IgM atau peningkatan antibodi 4 kali; antibodi IgM

spesifik menunjukkan infeksi rubela baru terjadi. Tes IgM paling

membantu pada bayi kurang dari 2 bulan, meskipun dapat terdeteksi

selama 12 bulan. Bayi dengan gejala yang konsisten tetapi hasil

segera setelah lahir negatif harus diuji ulang pada usia satu bulan,
karena sekitar 20% bayi terinfeksi mungkin tidak memiliki titer yang

terdeteksi sebelum usia satu bulan8.

IgG antibodi spesifik pada individu sehat menunjukkan

kekebalan terhadap rubela. Pemantauan IgG spesifik rubela

(misalnya pada 3, 6, dan jika perlu pada usia 12 bulan) juga dapat

mengkonfirmasi infeksi baru rubela kongenital pasca-lahir jika IgG

spesifik rubela tetap tinggi. Antibodi rubela maternal memiliki waktu

paruh sekitar 30 hari, harus menurun hingga 4 hingga 8 kali lipat

pada usia 3 bulan dan harus hilang 6 sampai 12 bulan setelahnya8.

Konfirmasi laboratorium infeksi rubela kongenital atau

sindrom pada bayi harus memenuhi salah satu kriteria berikut8:

 Untuk bayi < 6 bulan, terdeteksi antibodi IgM rubela

 Untuk bayi ≥6 bulan tetapi < 12 bulan, terdeteksi IgM rubela

dan antibodi IgG, atau pemeriksaan serial antibodi IgG rubela

menetap/meningkat, ditentukan setidaknya 2 kali pemeriksaan

dengan paling tidak berjarak 1 bulan serta dalam kondisi tidak

diberikan vaksin rubela.

 Untuk bayi >12 bulan, deteksi virus rubela oleh kultur virus atau

Polymerase Chain Reaction (PCR) dalam sampel klinis yang

tepat (tenggorokan, nasofaring, atau usapan hidung, darah, urin,

atau spesimen cairan serebrospinal).

3) Pemeriksaan Pendegaran Bayi dan Anak


Pada prinsipnya metode tes pendengaran pada anak

dibedakan menjadi tes yang subyektif berdasarkan pada pengamatan

perilaku anak terhadap rangsang suara (behavioral observation

audiometry, visual re-inforcement audiometry) dan tes yang non

behavioral atau obyektif dengan menggunakan alat elektrofisologik

(Auditory brainstem response/ABR, Auditory Steady State

Response/ASSR, Otoacoustic Emission / OAE) 15.

Saat ini baku emas pemeriksaan skrining pendengaran pada

bayi adalah pemeriksa Otoacoustic Emession (OAE) dan Auditory

brainstem response ABR4.

a) BERA/ABR

Auditory brainstem response (ABR) merupakan suatu

pemeriksaan untuk menilai fungsi nervus VIII dan jalur

pendengaran di batang otak. Caranya dengan merekam potensial

listrik yang dikeluarkan sel koklea selama menempuh perjalanan

mulai telinga dalam hingga nukleus tertentu dibatang otak.

Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan elektroda

permukaan yang dilekatkan pada kulit kepala atau dahi dan

prosesus mastoid atau lobulus telinga. Prinsip pemeriksaan ABR

adalah menilai perubahan potensial listrik di otak setelah

pemberian rangsangan sensoris berupa bunyi. Rangsangan bunyi

yang diberikan melalui head phone atau insert probe akan

menempuh perjalanan melalui koklea (gelombang I), nukleus


koklearis (gelombang II), nukleus olivarius superior (gelombang

III), lemnikus lateralis (gelombang IV), kolikulus inferior

(gelombang V) kemudian menuju ke korteks auditorius di lobus

temporalis otak. Yang penting dicatat adalah gelombang I,III

dan V. ABR konvensional merupakan click evoked ABR air

conduction, dan frekuensi yang diberikan sebesar 2000-

4000Hz, dengan intensitas dapat mencapai 105 dB. ABR

membutuhkan waktu yang lebih lama dan tenaga terlatih dalam

mengoperasikan alat maupun menginterpretasikan hasil16.

Cara melakukan pemeriksaan BERA, menggunakan tiga

buah elektroda yang diletakkan di verteks atau dahi dan di

belakang kedua telinga (pada prosesus mastoideus), atau pada

kedua lobulus aurikular yang dihubungkan dengan preamplifier.

Untuk menilai fungsi batang otak pada umumnya digunakan

bunyi rangsang Click, karena dapat mengurangi

artefak.Rangsang ini diberikan melalui head phone secara

unilateral dan rekaman dilakukan pada masing-masing telinga.

Reaksi yang timbul akibat rangsang suara sepanjang jalur saraf

pendengaran dapat dibedakan menjadi beberapa bagian.

Pembagian ini berdasarkan waktu yang diperlukan mulai dari

saat pemberian rangsang suara sampai menimbulkan reaksi

dalam bentuk gelombang, yailu : Early response timbul dalam

waktu kurang dari 10 mili detik, merupakan reaksi dari batang


otak. Middle Response antara 10 - 50 mili detik, merupakan

reaksi dari talamus dan korteks auditorius primer, Late Response

antara 50 - 500 mili detik, merupakan reaksi dari area auditorius

primer dan sekitamya4.

Penilaian BERA4:

 Masa laten absolut gelombang I,lll,V

 Beda masing-masing masa laten absolut ( interwave latency

I - V, I - lll, lll - V )

 Beda masa laten absolut telinga kanan dan kiri.(interaural

Iatency)

 Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi (Latensy

intensity function )

 Rasio amplitudo gelombang V/I, yaitu rasio antara nilai

puncak gelombang V ke puncak gelombang l. yang akan

meningkat Dengan menurunnya intensitas.

Salah satu faktor penting dalam menganalisa gelombang

BERA adalah menentukan masa laten, yaitu waktu (milidetik)

yang diperlukan sejak stimulus diberikan sampai terjadi evoked

potential untuk masing-masing gelombang (gel I sampai V).

Dikenal 3 jenis masa laten: (1) masa laten absolut dan (2) masa

laten antar gelombang (intervawe latency atau interpeak latency)

dan (3) masa laten antar telinga (interaunl latency) Masa laten

absolut gelombang-l adalah waktu yang dibutuhkan sejak


pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I Masa laten

antar gelombang adalah selisih waktu antar gelombang,

misalnya masa laten antar gelombang I - lll, lll - V, I - V Masa

laten antar telinga yaitu membandingkan masa laten absolut

gelombang yang sama pada kedua telinga. Hal lain yang perlu

diperhatikan adalah pemanjangan masa laten fisiologik yang

terjadi bila intensitas stimulus diperkecil. Terdapatnya

pemanjangan masa laten pada beberapa frekuensi menunjukkan

adanya suatu gangguan konduksi4.

b) Otoaccoustic Emission (OAE)

Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas

rendah yang dihasilkan pada koklea yang normal, baik secara

spontan maupun respon dari rangsang akustik. Skrining

pendengaran pada bayi-bayi dapat dilakukan dengan

menggunakan alat emisi otoakustik, karena metoda ini obyektif,

aman, tidak memerlukan prosedur yang invasif atau pengobatan

sebelum dilakukan pemeriksaan, pemeriksaannya cepat, hanya

memerlukan waktu beberapa detik sampai menit; caranya

mudah, tidak memerlukan keahlian khusus, biaya alat yang

relatif murah15.

Otoacoustic emissions adalah sinyal akustik dari proses

mekanik sel- Outer Hair Cells (OHC) didalam koklea yang

menginformasikan kondisi baik tidaknya koklea. Emisi


dikategorikan sebagai ada atau tidak adanya stimulus yang dapat

membangkitkan respon OAE hingga memiliki makna klinis

Bunyi klik dengan intensitas sedang atau kombinasi yang sesuai

dari dua gelombang suara dapat mencetuskan pergerakan OHC,

kemudian terjadi biomekanik dari membran basilaris sehingga

menghasilkan amplifikasi energi intrakoklear dan tuning

koklear. Pergerakan OHC menimbulkan energi mekanis dalam

koklea yang diperbanyak keluar melalui sistem telinga tengah

dan membran timpani menuju liang telinga17.

Getaran membrana timpani menghasilkan sinyal OAE,

yang dapat diukur dengan mikrofon. Amplifikasi yang

dihasilkan oleh pergerakan OHC di dalam koklea sebesar 50 dB,

kemudian energi residu yang mencapai saluran telinga sebesar 0

-15 dB17.

Tujuan utama pemeriksaan OAE adalah untuk menilai

keadaan koklea, khususnya fungsi OHC. Hasil pemeriksaan

dapat berguna untuk skrining pendengaran, khususnya pada bayi

baru lahir, anak atau individu dengan gangguan perkembangan

pendengaran, memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam

rentang tertentu, skrining gangguan pada telinga tengah dengan

derajat sedang atau berat, pemeriksaan pada gangguan

pendengaran fungsional17.

Perangkat OAE menggunakan teknologi TEOAEs atau


DPOAE. Perangkat TEOAEs memancarkan satu klik singkat

yang mencakup rentang frekuensi yang luas sedangkan DPOAE

memancarkan dua nada singkat pada dua frekuensi terpisah17.

Targeted newborn hearing screening digunakan untuk

mendeteksi pendengaran bayi, memvalidasi tes lain, dan menilai

fungsi OHC koklea. Distortion Product Otoacoustic Emissions

digunakan untuk menilai kerusakan di belakang koklea,

umumnya pada penderita ototoksisitas obat dan kerusakan yang

disebabkan oleh kebisingan17.

Spontaneous otoacoustic emissions adalah suara yang

dipancarkan tanpa stimulus akustik. Stimulus Frequency

Otoacoustic Emissions (SFOAEs) adalah suara yang

dipancarkan sebagai respons terhadap nada kontinu. Kedua alat

ini tidak digunakan secara klinis17.

Hasil dibagi menjadi tiga kategori, yaitu bayi tanpa

faktor risiko pendengaran dengan respons pass bilateral

dianggap memiliki pendengaran normal dan dikeluarkan dari

analisis selanjutnya, informasi tentang kehilangan pendengaran

genetik yang progresif tetap diberikan kepada keluarga. Bayi

tanpa faktor risiko dengan respon refer satu atau kedua sisi

disarankan untuk melakukan tes TEOAEs ulang satu minggu

setelah keluar. Dalam hal respon pass, anak-anak dianggap

memiliki pendengaran normal, sedangkan dalam kasus respons


refer yang baru, anak-anak dirujuk untuk dilakukan skrining

tahap dua. Bayi dengan respons pass bilateral tetapi dengan

faktor risiko riwayat keluarga dengan SNHL, kehamilan atau

neuropati auditori dilakukan pemeriksaan ulang17.

6. Tatalaksana

a. Tatalaksana Untuk Ibu Penderita Infeksi Rubella

Sindrom rubela kongenital tidak memilki tatalaksana spesifik,

hanya bersifat suportif7. Infeksi rubella sendiri bersifat self limiting

disease. Penanganan pasien dengan CRS dilakukan sesuai defek yang

timbul pada pasien. Pemberian hyperimmune immunoglobulin

dilaporkan dapat mengurangi terjadinya viremia maternal sehingga

mengurangi jumlah transmisi virus. Pencegahan merupakan hal yang

utama untuk mengendalikan insiden CRS, salah satunya dengan

program imunisasi6.

b. Tatalaksana Untuk Anak

1) Habilitasi

Setelah diketahui seorang anak menderita ketulian upaya

habilitasi pendengaran harus dilaksanakan sedini mungkin.

Ameican Joint Committee on lnfant Hearing (2000)

merekomendasikan upaya habilitasi sudah harus dimulai sebelum

usia 6 bulan. Penelitian-penelitian telah membuktikan bahwa bila

habilitasi yang optimal sudah dimulai sebelum usia 6 bulan maka

pada usia 3 tahun perkembangan wicara anak yang mengalami


ketulian dapat mendekati kemampuan wicara anak normal4.

Pemasangan alat bantu dengar (ABD) merupakan upaya

pertama dalam habilitasi pendengaran yang akan dikombinasikan

dengan terapi wicara atau terapi audio verbal. Sebelum proses

belajar harus dilakukan penilaian tingkat kecerdasan oleh Psikolog

untuk melihat kemampuan belajar anak. Anak usia 2 tahun dapat

memulai pendidikan khusus di Taman Latihan dan Observasi

(TLO), dan melanjutkan pendidikannya di SLB-B atau SLB-C bila

disertraidengan retiardasi mental. Proses habilitasi pasien

tunarungu membutuhkan kerjasama dari beberapa disiplin, antara

lain dokter spesialis THT, Audiologist, Ahli madya audiologi, Ahli

terapi wicara, Psikolog Anak, guru khusus untuk tunarungu dan

keluarga penderita4.

2) Alat Bantu Dengar

Alat bantu dengar (ABD) adalah suatu perangkat elektronik

yang berguna untuk memperkeras (amplifikasi) suara yang masuk

ke dalam telinga, sehingga si pemakai dapat mendengar lebih jelas

suara yang ada disekitarnya. Alat bantu dengar biasanya diberikan

pada pasien yang masih memiliki kemampuan untuk mendengar

sehingga dengan alat bantu dengar dapat memperjelas suara yang

didengar4.

Berbagai variasi model, tipe dan harga alat bantu dengar


tersedia. Pemilihan alat bantu dengar untuk anak-anak tergantung

individu. Alat bantu dengar yang terbaik untuk anak-anak

ditentukan berdasarkan hasil evaluasi audiologi, usia anak-anak,

derajat dan tipe gangguan pendengaran, dan keinginan

pasien/keluarga. Model alat bantu dengar yang tersedia termasuk

Bone Conduction, Behind-The-Ear, in-the-ear dan Completely-in-

the-canal. Kebanyakan alat bantu dengar yang cocok untuk anak-

anak adalah Behind-The-Ear, karena Ear mold yang dipasangkan

ke telinga dengan mudah dibuat kembali bila anak tumbuh. Alat in-

the-ear dan Completely-in-the-canal secara kosmetik lebih cocok

kepada remaja; alat ini hanya cocok untuk gangguan pendengaran

dibawah 60 dB14.

Beberapa pasien yang tidak dapat memperoleh manfaat dari

alat bantu dengar konduksi udara standar dapat memperoleh

keuntungan dari alat yang mentransmisikan suara langsung ke

tulang tengkorak. Alat bantu dengar konduksi tulang dapat

ditempatkan pada tulang tengkorak dengan bantuan Headband

akan tetapi ini tidak nyaman, tidak praktis dan tidak dapat

diperoleh kualitas pendengaran yang baik. Alat bantu dengar

hantaran tulang digunakan untuk anak-anak atresia liagn telinga

atau otore kronik14.

3) Implant Koklea
Merupakan perangkat elektronik yang mempunyai

kemampuan menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan

kemampuan mendengar dan berkomunikasi yang diberikan pada

pasien tuli saraf berat dan total bilateral4.

Implant koklea merupakan perangkat yang ditanam secara

pembedahan yang dapat menstimulasi saraf koklea sehingga dapat

membantu pendengaran. Alat ini terdiri dari sebuah prosesor

eksternal bertenaga baterai, sebuah receiver yang ditanam dibawah

kulit kepala dan sebuah elektroda yang dimasukkan secara

langsung kedalam koklea melalui pembedahan. Implant koklea

disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) America

Serikat untuk pemakaian pada anak-anak paling muda 12 bulan14.

lndikasi pemasangan implan koklea adalah keadaan tuli

saraf berat bilateral atau tuli total bilateral (anak maupun dewasa)

yang tidak/sedikit mendapat manfaat dengan alat bantu dengar

konvensional, usia 12 bulan sampai 17 tahun, tidak ada

kontraindikasi medis dan calon pengguna mempunyai

perkembangan kognitif yang baik. Sedangkan kontraindikasi

pemasangan implan koklea antara lain tuli akibat kelainan pada

jalur saraf pusat (tuli sentral), proses penulangan koklea, koklea

tidak berkembang4.

7. Pencegahan
Pencegahan CRS dapat dilakukan berupa jaga kebersihan diri dan

lingkungan, cuci tangan sebelum dan sesudah makan, setelah bepergian

atau kontak dengan penderita. Hindari kontak langsung sebisa mungkin

dengan penderita khususnya ibu hamil yang belum menerima Vaksin

rubela dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, Apabila

terdapat anggota keluarga yang terkena virus rubela, maka pindahkan

keruangan yang terpisah dan jauh dari keluarga misalnya dibawa ke rumah

sakit. Vaksin atau imunisasi sangat penting untuk mencegah atau

menghilangkan penyakit, mencegah kecacatan fisik dan mental yang

diberikan pada ibu sebelum hamil18.

Imunisasi Rubella (MR) diberikan kepada anak untuk

melindunginya dari penyakit kelainan bawaan, seperti gangguan

pendengaran, gangguan penglihatan, kelainan jantung dan retardasi mental

yang disebabkan adanya infeksi Rubella pada saat kehamilan. Imunisasi

MR sangat penting dan aman diberikan kepada anak19.

8. Prognosis

Prognosis dari rubella postnatal baik dengan sembuh sempurna

sedangkan congenital rubella syndrome prognosisnya buruk dengan

disertai kerusakan organ multiple yang berat7.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pratiningrum M, Purnami N. Ketulian Pada Syndroma Rubella Kongenital

(Laporan Dua Kasus). Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr.

Soetomo Surabaya : Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala dan Leher, 2011.

2. Nugroho PS., Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran Perifer.

Jurnal THT-KL. Mei – Agustus 2009 ; 2(2) : 76 - 85

3. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta :

EGC. 2014.

4. Soepardi AE, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DR. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed.7. Jakarta :

Balai Penerbit FKUI. 2017.

5. Yuliana. Hand Out Ear Anatomy. Fakultas Kedokteran Universitas

Denpasar : Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar. 2017.

6. Nugroho D. Muyassaroh. Tuli Kongenital Diduga Akibat Infeksi Rubela dan

Sitomegalovirus. Medica Hospitalia: Journal of Clinical Medicine. Mei 2014

;  2(2) :130-6.

7. Fitriany J, Husna Y. Sindrom Rubella Kongenital. Averrous :Jurnal

Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh. Mei 2018; 4(1) : 93-106

8. Kurniawan R. Sindrom Rubela Kongenital. Cermin Dunia Kedokteran. 2019 ;

46(3) : 193-197.
9. KEMENKES RI. Pedoman Surveilans Congenital Rubella Syndrome. Jakarta

: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018

10. Caroça C, Vicente V, Campelo P, Chasqueira M, Caria H, Silva S, Paço J..

Rubella in Sub-Saharan Africa and sensorineural hearing loss: a case control

study. BMC public health. 2017; 17(1) : 1-7.

11. Izzattisselim S, Purnami N. Polymerase Chain Reaction and Serology Test to

Detect Rubella Virus in Congenital Rubella Syndrome Patients with Hearing

Loss. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease. Januari-April

2020 ; 8(1) : 16-23.

12. Soegijanto S. Kumpulan makah penyakit tropis dan infeksi indonesia jilid 6.

Surabaya: Airlangga University Press. 2007.

13. National  National Deaf Children’s Children’s Society Society (NDCS).

(NDCS). Does My Chield Have A Hearing Loss?. www.ndcs.org.uk [diakses

17 September 2021]

14. Aditiawati, Erwin H, Athiah M. Clinical Approaches and Intervention. of

Growth and Developmental Disorders in Daily Practices. Fakutas

Kedokteran Universitas Sriwijaya : Departemen Ilmu Kesehatan Anak. 2013.

15. Azwar A. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran pada Anak. Jurnal

Kedokteran Syiah Kuala. April 2013 ; 13(1) : 59-64.

16. Rundjan L, Amir I, Suwento R., Mangunatmdja I. Skrining Gangguan

Pendengaran Pada Neonatus Risiko Tinggi. Sari Pediatri. Maret 2005 ; 6(4) :

149-154
17. Kusumagani H. Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir Dengan Otoacoustic

Emissions Dan Auditory Brainstem Response. Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga : Dept. / SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher. 2020.

18. Muhammad IAS, Ratna DPS. Infeksi Rubela Pada Wanita Hamil. MEDULA,

Medicalprofession Journal of Lampung University. Juli 2019 ; 9(1) : 66-70.

19. Ratna DPS. Kehamilan dengan Infeksi TORCH. JK Unila Jurnal

Kedokteran Universitas Lampung. Maret 2019; 3(1): 176-181

Anda mungkin juga menyukai