Anda di halaman 1dari 299

Volume 01, No.

2 September 2017

ENT UPDATE
Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

Editor :
dr. I DG Arta Eka Putra Sp.THT-KL (K)
dr. I Putu Yupindra Pradiptha

PROGRAM STUDI THT-KL


FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga ENT UPDATE
Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana No.2 dapat diselesaikan dengan baik.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
penyusunan buku ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberi balasan atas segala bantuan
yang telah diberikan.
Kami menyadari bahwa buku yang telah disusun masih jauh dari sempurna sehingga
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga buku ini
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Denpasar, September 2017

Editor

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………….…………………………………2
Daftar Isi……………………………………………………….……………………………..3

Gangguan Pendengaran Pada Pasien Dengan Multidrug Resistant Tuberkulosis …..…4


I Made Sudipta

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Akibat Kerja ………………………………….17


Luh Made Ratnawati

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Kolestatoma Kongenital………………………………37


Eka Putra Setiawan

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Papilomatosis Laring Pada Anak………..…………. 73


IDG Arta Eka Putra

Tuli Sensorineural Mendadak Pada Pasien Meningitis Suis……………….…………. 102


I Made Wirandha

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tumor Neuroektodermal Primitif Di Regio Sinonasal


………………………………………………………………………………………………129
I Gde Ardika Nuaba

Tuli Sensorineural Mendadak Bilateral Pada Evans Sindrom………...……………….147


Komang Andi Dwi Saputra

Tuli Mendadak Sensorineural Unilateral Pada Penderita Mumps…………...………..166


Sari Wulan Dwi Sutanegara

Penatalaksanaan Abses Esofagus Akibat Benda Asing di Esofagus…………..………191


I Wayan Sucipta

Penatalaksanaan Kelainan Kantung Mata (Blepharoplasti)………..………………… 219


U Tei Dominica Fredlina, Agus Rudi Astutha

Pseudoangina Ludovici Dengan Komplikasi Mediastinitis Akut Dan Perikarditis


Bakterial……………………………………………………………..…………………….245
I Ketut Suanda

Penatalaksanaan Benda Asing Gigi Palsu Di Esofagus Dengan Esofagotomi


Servikal……………………………..……………………………………………………..275
Wayan Suardana

3
Gangguan Pendengaran Pada Pasien Dengan Multidrug Resistant Tuberkulosis
Oleh:
I Made Sudipta
SMF Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

I. Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi yang
bertanggung jawab pada lebih dari dua juta penduduk meninggal dunia dan sekitar
sembilan juta kasus baru tiap tahunnya. Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR
TB) merupakan penyakit yang berbahaya bagi kesehatan, dimana penanganan
kasus MDR TB ini tergolong sulit karena membutuhkan waktu perawatan yang
lama, dana yang besar dan juga efek samping pengobatan yang banyak jika
dibandingkan dengan TB drug-sensitive. Menurut World Health Organization
melaporkan kasus TB sebagian besar diantaranya terdapat di Asia (55%) dan
Afrika (30%) sedangkan Indonesia menempati peringkat kelima di dunia setelah
India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria pada tahun 2008.1,2
Penatalaksanaan yang tidak optimal dan infeksi tuberkulosis yang terus
menyebar di masyarakat menyebabkan adanya suatu resistensi terhadap anti
tuberkulosis khususnya pada MDR TB. Hal ini telah menjadi hambatan serius
untuk pengendalian TB global dan masalah yang paling penting dalam
perkembangannya.2
Pengobatan pasien dengan MDR TB terdiri dari dua tahap yaitu tahap awal
dan tahap lanjutan. Pengobatan pasien ini memerlukan waktu sekitar 18-24 bulan,
yaitu dengan waktu yang lebih lama daripada pasien TB bukan MDR. Pada tahap
awal pasien akan diberikan obat anti tuberkulosis (OAT) lini kedua minimal
empat jenis OAT yang masih sensitif. Salah satunya adalah OAT jenis injeksi
yaitu kanamisin. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada
tahap awal dilanjutkan kecuali OAT injeksi. Pemberian OAT injeksi jangka
panjang pada pasien dengan MDR TB akan menyebabkan adanya suatu efek
ototoksisitas dan nefrotoksisitas sebagai efek sampingnya, dalam hal ini terutama
golongan aminoglikosida. Obat dengan efek ototoksisitas ini akan mempunyai
potensi untuk menimbulkan kerusakan pada struktur-struktur di telinga dalam
yang dapat memberikan gejala berupa gangguan pendengaran, tinnitus dan
gangguan keseimbangan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai gangguan

pendengaran yang terjadi pada pasien dengan MDR TB.3


4
II. Tinjauan Pustaka
2.1. Anatomi dan Fisiologi Mendengar
Telinga terbagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, tengah dan dalam.
Telinga luar terdiri dari daun telinga, kanalis akustikus eksternus dan membran
timpani. Kanalis akustikus eksternus dibagi menjadi dua bagian dengan sepertiga
luarnya tersusun atas kartilago yang mengandung folikel rambut dan kelenjar
seruminosa, sedangkan dua per tiga bagian dalam merupakan bagian tulang yang
dilapisi oleh epitel.4,5
Telinga tengah berisi tulang-tulang pendengaran yaitu malleus, incus dan
stapes. Ketiga tulang pendengaran tersebut menghubungkan membran timpani
dengan telinga dalam melalui oval window. Terdapat dua otot pada telinga tengah
yaitu muskulus tensor timpani yang terletak pada tulang di bagian atas tuba
Eustachius, dimana otot ini dipersarafi oleh cabang nervus trigeminus dan
muskulus stapedius yang dipersarafi oleh nervus fasialis. Aktifitas dari kedua otot
ini adalah mengencangkan kaitan tulang-tulang pendengaran, sehingga

mengurangi transmisi sejumlah suara.4

5
Gambar 1. Anatomi Telinga6

Telinga dalam terdiri dari dua bagian yang berada pada tulang temporal
yaitu organ vestibuler untuk proses keseimbangan dan koklea untuk proses
pendengaran. Koklea merupakan tabung berbentuk rumah siput yang mengandung
organ sensori untuk pendengaran. Koklea memiliki tiga buah kanal yang
mengandung cairan yaitu skala vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala
media berada di koklea bagian tengah, dipisahkan dari skala vestibuli oleh
membran vestibuli dan dari skala timpani oleh membran basalis. Skala vestibuli
dan skala timpani berisi cairan perilimfa sedangkan skala media berisi cairan
endolimfa. Komposisi ion pada cairan skala media serupa dengan cairan
intraseluler, yaitu kaya potasium dan rendah sodium sedangkan cairan pada skala
vestibuli dan skala timpani serupa dengan cairan ekstraseluler yaitu kaya sodium
dan rendah potasium. Komposisi ion perilimfa penting dalam fungsi sel-sel
rambut.5,7
Cairan perilimfa pada telinga dalam berhubungan dengan cairan
serebrospinal melalui akuaduktus koklearis. Membran reissner memiliki komplian
yang sangat tinggi, sehingga perubahan tekanan yang sangat kecil sekalipun dapat
menyebabkan perubahan volume yang besar pada ruang endolimfa.
Ketidakseimbangan tekanan pada kedua sistem tersebut dapat mengakibatkan
timbulnya gangguan pendengaran dan keseimbangan.5
Organ Corti terletak pada membran basalis dan banyak mengandung sel
sensori yaitu sel rambut luar maupun sel rambut dalam. Di antara barisan sel
rambut luar dan sel rambut dalam terdapat suatu saluran Corti yang dibentuk oleh

6
pilar sel rambut luar dan sel rambut dalam. Sel rambut luar berbentuk silindris
sedangkan sel rambut dalam berbentuk seperti labu. Sel rambut luar pada apeks
koklea berukuran lebih panjang dibandingkan pada bagian basal. Stria vaskularis
merupakan struktur penting yang berada diantara ruang perilimfa dan endolimfa
disepanjang dinding koklea. Stria vaskularis banyak mengandung pembuluh darah
dan mitokondria pada selnya yang mengindikasikan terlibatnya aktivitas
metabolik.5
Membran basalis berukuran panjang sekitar 150 µm di basal koklea dan
lebar 450 µm di apeks, mengandung jaringan ikat dan membentuk basal skala
media. Pada bagian basal, membran basalis mempunyai struktur yang lebih kaku
dibandingkan apeks. Perubahan struktur secara gradual ini menyebabkan suara
yang mencapai telinga menghasilkan gelombang pada membran basalis yang
berjalan dari basal menuju apeks koklea.5
Koklea diinervasi oleh serat saraf aferen auditorius, eferen dan autonomik.
Koklea diperdarahi oleh arteri labirin yang berasal dari arteri serebelum anterior
inferior dan berjalan mengikuti nervus vestibulokoklearis pada meatus akustikus
internus. Arteri labirin merupakan arteri terminal dan hanya mengandung sedikit
bahkan tidak ada pembuluh darah kolateral ke koklea.5

Gambar 2. Penampang Koklea5

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun


telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Setelah memasuki meatus akustikus eksterna, bunyi akan menggetarkan
membran timpani selanjutnya dirambatkan melalui tulang pendengaran. Tulang
pendengaran akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan oval window.
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang akan

7
menggerakkan oval window sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membrana basalis yang mendorong endolimfa,
sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basalis dan membran
tektoria.5
Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini akan menimbulkan
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinaps
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke
nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus

temporalis.4,5,7

Gambar 3. Mekanisme Mendengar8

2.2. Definisi
Ototoksik didefinisikan sebagai suatu kerusakan pada sistem pendengaran
atau keseimbangan yang disebabkan oleh pemakaian obat-obatan atau bahan
kimia tertentu.9
Obat ototoksik didefinisikan sebagai obat yang mempunyai potensi
menimbulkan reaksi toksik pada struktur-struktur di telinga dalam seperti koklea,
vestibulum, kanalis semisirkularis dan otolith. Kerusakan pada struktur-struktur
tersebut dapat menimbulkan gejala berupa gangguan pendengaran, tinnitus dan
gangguan keseimbangan.3

8
2.3. Epidemiologi
Secara global diperkirakan terdapat sekitar 630.000 kasus multidrug
resistant tuberkulosis (MDR TB). Selama tahun 2011 kasus MDR TB di Indonesia
dilaporkan sejumlah 260 kasus dan diperkirakan pada tahun 2013 akan terdeteksi
1.800 kasus. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa pada tahun
2010 Indonesia menduduki urutan ke 8 untuk kasus MDR TB.10
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RS. Dr. Moewardi pada Januari
2011 sampai Juni 2013 bahwa dari 114 pasien MDR TB sekitar 59,6% mengalami
gangguan pendengaran dan jenis kelamin terbanyak adalah perempuan. Pada
penelitian yang dilakukan di RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode
Januari-Desember 2013 dari 86 pasien MDR TB terdapat 72 pasien dengan hasil
audiometri nada murni normal sebelum terapi. Selama pengobatan MDR TB
didapatkan sebanyak 15 pasien (20,8%) mengalami tinnitus ataupun penurunan
pendengaran dan jenis kelamin yang tebanyak adalah laki-laki. Menurut
Nizamuddin dkk. dari 84 pasien MDR TB sekitar 22,7% mengalami gangguan

pendengaran dengan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki.1,3,10

2.4. Etiologi
Aminoglikosida merupakan antibiotik yang sangat penting untuk
pengobatan pasien dengan MDR-TB. Obat-obatan golongan ini diantaranya
adalah streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin,
netilmisin, sisomisin dan lividomisin dimana obat-obat ini dapat berefek
ototoksik. Kanamisin dan amikasin cenderung mengakibatkan kerusakan pada
koklea dibandingkan sistem vestibular sedangkan streptomisin dan gentamisin

lebih sering menimbulkan kerusakan pada sistem vestibular.9

2.5. Patofisiologi
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa terapi aminoglikosida pada
MDR TB berisiko untuk terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan
dimana hal tersebut bersifat irreversible atau permanen. Kerusakan pada koklea
dapat menimbulkan penurunan pendengaran permanen. Mekanisme ototoksisitas
aminoglikosida itu diperantarai oleh gangguan sintesis protein mitokondria dan
formasi radikal bebas yang diikuti destruksi sel rambut koklea terutama pada
lapisan luar.2,3
Selain memiliki efek antibiotik, aminoglikosida juga dapat memberikan
efek yang merugikan berupa penurunan pendengaran dimana aminoglokosida

9
dapat menghasilkan radikal bebas di telinga bagian dalam dengan mengaktifkan
nitric oxide sintetase (NOS) yang dapat meningkatkan konsentrasi oksida nitrat
membentuk radikal peroksinitrit dekstruktif yang dapat secara langsung
merangsang kematian sel. Apoptosis adalah mekanisme utama kematian sel dan
terutama diperantarai oleh kaskade mitokondria intrinsik. Fenomena ini
menyebabkan kerusakan permanen pada sel-sel rambut koklea khususnya sel
rambut luar yang akhirnya dapat berakibat pada kehilangan pendengaran yang
bersifat permanen.3,8,11
Gangguan pendengaran akibat pemberian aminoglikosida biasanya terjadi
setelah 3 sampai 4 hari tetapi dapat pula terjadi segera setelah dosis pertama.
Gangguan pendengaran biasanya bersifat bilateral akan tetapi ada pula penelitian
yang mendapatkan adanya gangguan pendengaran bersifat unilateral. Bagian basal
koklea lebih rentan mengalami kerusakan dibandingkan bagian apeks. Gradien
“cochleotopic” ini menyebabkan gangguan pendengaran terjadi pada frekuensi
tinggi dimana jika kerusakan ini terus berlanjut maka akan dapat menyebabkan

kerusakan yang lebih luas.3,12


2.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan fungsi pendengaran. Anamnesis meliputi riwayat pasien dengan
MDR TB dan apakah ada keluhan penurunan pendengaran sebelum menjalani
terapi dengan aminoglikosida atau tidak. Pemeriksaan fisik diperlukan untuk
mengetahui kondisi telinga pasien untuk menyingkirkan kemungkinan gangguan
pendengaran konduktif yang dapat disebabkan oleh serumen ataupun perforasi
membran timpani. Pemeriksaan fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan
audiometri nada murni.3
Pasien yang telah menjalani terapi dengan aminoglikosida ditandai dengan
terjadinya ketulian pada frekuensi tinggi, dimana kondisi ini tidak disadari oleh
penderita hingga akhirnya terjadi ketulian 30 dB pada frekuensi 3.000 sampai
4.000 Hz. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nizamuddin dkk. tahun 2015
didapatkan data pasien dengan MDR-TB yang diterapi menggunakan
aminoglokosida sekitar 22,7% mengalami gangguan pendengaran pada frekuensi
tinggi (4000-8000 Hz) kemudian diikuti dengan penurunan pendengaran secara

progresif pada frekuensi rendah (500, 1000, 2000 dan 3000 Hz) pada 10,5%. 1,9

10
2.7. Monitoring dan Evaluasi
Gangguan pendengaran atau keseimbangan yang bersifat permanen yang
dapat terjadi pada pasien MDR TB yang diterapi dengan golongan aminoglikosida
dapat memberikan dampak pada pasien dalam hal komunikasi, edukasi dan sosial
yang serius. Seringkali pemberian terapi ini mempertimbangkan apakah
keuntungan dari pemakaian obat ini lebih banyak daripada kerugiannya, sehingga
selalu dilakukan pertemuan tim ahli klinis untuk penentuan terapi pasien MDR

TB.3,13
Hingga saat ini belum ada terapi yang dapat menyembuhkan kerusakan
akibat obat-obatan ototoksik, akan tetapi dapat dilakukan monitoring dan evaluasi
sehingga dapat meminimalkan cedera akibat obat-obatan ini. Monitoring terhadap
fungsi pendengaran pada ototoksisitas memiliki dua tujuan utama yaitu
mendeteksi perubahan awal ambang pendengaran yang mungkin terkait dengan
obat atau pengobatan sehingga perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat dan
intervensi audiologi ketika terjadi gangguan pendengaran terutama pada frekuensi
komunikasi. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien MDR TB yaitu

dengan konseling, strategi komunikasi dan pemberian alat bantu dengar.3


Evaluasi dan monitoring fungsi pendengaran sebaiknya dilakukan tiap
minggu atau 2 minggu sekali dan dapat dilanjutkan walaupun pengobatan telah
dihentikan karena aminoglikosida dapat menyebabkan gangguan pendengaran
yang tertunda sampai beberapa bulan setelah pengobatan. Terdapat tiga
pendekatan yang dapat digunakan untuk monitoring fungsi pendengaran yaitu
audiometri nada murni, audiometri frekuensi tinggi (HFA) dan emisi otoakustik
(OAE). Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara terpisah atau kombinasi.3
Pemeriksaan audiometri nada murni dapat dilakukan untuk menilai adanya
gangguan pendengaran pada pasien MDR TB yaitu dengan mengetahui hasil
audiometri nada murni sebelum dan selama pemberian terapi MDR TB. Secara
khusus, metode pemeriksaan dengan HFA dan OAE lebih berpotensi untuk
mengetahui perubahan awal akibat penggunaan obat ototoksik.3,14
Pemeriksaan audiometri frekuensi tinggi (HFA) terdiri dari pemeriksaan
ambang dengar hantaran udara pada frekuensi lebih dari 8000 Hz, hingga 16 – 20
kHz. Manfaat dari pemeriksaan ini adalah dapat mendeteksi penggaruh
aminoglokosida sebelum gangguan pendengaran terbukti terjadi pada frekuensi
komunikasi. Saat ini HFA telah digunakan secara luas dalam program
pemeriksaan terhadap ototoksisitas, namun belum dibakukan. Pemeriksaan HFA
mungkin tidak dapat dilakukan pada semua pasien. Banyak pasien dengan

11
gangguan pendengaran dalam rentang frekuensi komunikasi mungkin tidak
memiliki pendengaran yang dapat diukur pada frekuensi tinggi. Riwayat
gangguan pendengaran sebelumnya berpotensi membatasi kegunaan HFA,
terutama dengan grafik audiogram terjadi sloping pada frekuensi tinggi.14
Pemeriksaan Evoked Otoacustic Emission (EOAE), merupakan respon
koklea yang timbul dengan adanya stimulus suara. Pemeriksaan EOAE yang
paling sering digunakan adalah Transient-evoked otoacoustic emission (TEOAE),
Distorsi produk otoacoustic emission (DPOAE) dan Stimulus frequency
otoacustic emission (SFOAE). Pemeriksaan DPOAE dapat mendeteksi perubahan
yang terjadi lebih awal dari TEOAE. DPOAE dapat diukur pada frekuensi yang
lebih tinggi dari TEOAE. DPOAE dapat mengetahui adanya gangguan

pendengaran sensorineural yang lebih berat dibandingkan dengan TEOAE. 14

III. Pembahasan
Terapi obat golongan aminoglikosida pada pasien dengan MDR TB sangat
penting dalam pengobatan akan tetapi beresiko terhadap adanya gangguan
pendengaran dan keseimbangan yang bersifat permanen. Banyak literatur
menjelaskan hal tersebut dan hingga kini masih menjadi masalah dalam
pengobatan pasien MDR TB. Menurut Yulianti dkk. dan Vasconcelos dkk.
ototoksisitas diakui sebagai efek samping dalam hubungannya dengan dosis
aminoglikosida yang diberikan pada pasien MDR TB oleh karena pengobatan
pada pasien tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama yaitu sekitar 18-24
bulan.3,15
Secara epidemiologi kejadian ototoksisitas pada pasien MDR TB ini pada
tiap sentra adalah berbeda jika ditinjau dari jenis kelamin. Penelitian yang
dilakukan oleh Reviono dkk. jenis kelamin terbanyak yang mengalami gangguan
pendengaran adalah perempuan. Hal berbeda didapatkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Yulianti dkk. dan Nizamuddin dkk. jenis kelamin laki-laki yang
terbanyak mengalami gangguan pendengaran akibat penggunaan terapi
amoniglikosida.1-3
Menurut Mustikaningtyas dkk. mekanisme terjadinya gangguan
pendengaran akibat ototoksik belum dapat diketahui dengan pasti. Hal tersebut
diduga terjadi karena aminoglikosida dapat memberikan efek yang merugikan
berupa penurunan pendengaran melalui proses biokimia yang penting yang dapat
menimbulkan kerusakan pada sel rambut dan akhirnya dapat menyebabkan
kematian sel. Menurut Yulianti dkk. dan Reviono dkk. mekanisme ototoksisitas

12
aminoglikosida diperantarai oleh gangguan sintesis protein mitokondria dan
formasi radikal bebas yang diikuti destruksi sel rambut koklea terutama pada

lapisan luar.2,3,16
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan fungsi pendengaran. Anamnesis meliputi riwayat pasien dengan
MDR TB dan keluhan lain yang dialami pasien yang ada kaitannya dengan
gangguan penurunan pendengaran baik sebelum, selama ataupun sesudah
menjalani terapi dengan aminoglikosida. Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan
telinga, hidung dan tenggorok. Pemeriksaan fungsi pendengaran baik dengan cara
sederhana menggunakan garpu tala hingga pemeriksaan dengan audiometri nada
murni untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran ataupun dengan
EOAE untuk mengetahui fungsi koklea. Menurut Mustikaningtyas dkk.
audiometri nada murni merupakan salah satu pemeriksaan gold standard untuk
mengetahui fungsi pendengaran dengan cepat, tepat dan akurat. Audiometri
frekuensi tinggi (HFA) dapat mendeteksi penggaruh aminoglokosida sebelum
gangguan pendengaran terbukti terjadi pada frekuensi komunikasi. Menurut
Petersen dkk. HFA lebih mahal dibandingkan dengan audiometri nada murni
walaupun HFA ini dapat mendeteksi adanya gangguan pendengaran akibat
ototoksik lebih dini.16,17

Penatalaksaan gangguan pendengaran pada pasien MDR TB akibat


aminoglikosida ini yang paling penting yaitu dengan konseling, strategi
komunikasi dan pemberian alat bantu dengar. Menurut Yulianti dkk. gangguan
pendengaran akibat terapi aminoglikosida pada pasien MDR TB ini memberikan
dampak yang serius dalam hal komunikasi, edukasi dan sosial sehingga sangat
dipertimbangkan pada manfaat yang didapat oleh pasien dengan terapi tersebut
melalui pertemuan tim ahli klinis saat penentuan terapi pasien dengan MDR TB
mengingat efek samping yang akan didapat oleh pasien cukup banyak. Monitoring
dan evaluasi secara berkala sangat dianjurkan pada pasien MDR TB yang
memperoleh terapi obat-obat golongan aminoglikosida ini. Terutama dalam hal
terjadinya gangguan pendengaran dimana pada penelitian yang dilakukan oleh
Yulianti dkk. evaluasi dan monitoring fungsi pendengaran sebaiknya dilakukan
tiap minggu atau 2 minggu sekali dan dapat dilanjutkan walaupun pengobatan
telah dihentikan karena aminoglikosida dapat menyebabkan gangguan

pendengaran yang tertunda sampai beberapa bulan setelah pengobatan.3,13


Menurut Yulianti dkk. gangguan pendengaran mulai dirasakan pasien
paling banyak pada bulan ke-3 yaitu sebanyak 53,3%. Pada penelitian yang
13
dilakukan oleh Reviono dkk. sebanyak 57,6% dari 33 pasien mengalami gangguan
pendengaran dan sebanyak 54,2% dengan terapi streptomisin akan tetapi tidak ada
hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi streptomisin dengan gangguan
pendengaran. Pemberian terapi aminoglikosida pada pasien MDR TB tidak dapat
dihentikan oleh karena pada prinsipnya semua pasien MDR TB harus
mendapatkan pengobatan dengan mempertimbangkan kondisi klinis awal.
Penetapan untuk memulai pengobatan pada pasien MRD TB dengan kondisi
khusus diputuskan oleh tim ahli klinis. Untuk mengurangi tingkat gangguan
pendengaran akibat obat-obat golongan aminoglikosida ini terdapat beberapa
strategi yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan tindakan monitoring

terhadap fungsi pendengaran pada pasien MDR TB.3,9,13

IV. Kesimpulan
Penanganan TB yang tidak optimal dan infeksi yang terus berkembang
menyebabkan adanya suatu resistensi terhadap anti tuberkulosis yang disebut
dengan MDR TB. Pengobatan kasus MDR TB memerlukan waktu perawatan yang
lama, dana yang besar dan juga efek samping pengobatan yang banyak jika
dibandingkan dengan TB drug-sensitive. Salah satu efek samping yang
ditimbulkan adalah adanya gangguan pendengaran dan sistem keseimbangan yang
bersifat permanen. Hal tersebut dapat menyebabkan dampak yang serius dalam hal
komunikasi, edukasi dan sosial sehingga sangat dipertimbangkan pada manfaat
yang didapat oleh pasien dengan terapi tersebut melalui pertemuan tim ahli klinis.
Monitoring dan evaluasi secara berkala sangat dianjurkan pada pasien MDR TB
yang memperoleh terapi obat-obat golongan aminoglikosida ini untuk mengurangi
tingkat gangguan pendengaran.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Nizamuddin S, Farhan AK, Abdur RK, Chand MK. Assesment of hearing


loss in multi-drug resistant tuberculosis (MDR-TB) patients undergoing
Aminoglycoside treatment. Int J Res Med Sci. 2015; 3(3):1734-40
2. Reviono, Widayanto, Harsini, Jatu A, Yusup SS. Streptomisin dan
Insidens Penurunan Pendengaran Pada Pasien Dengan Multidrug Resistant
Tuberkulosis di Rumah Sakit Dr. Moewardi. J Respir Indo. 2013;
33(3):167-72
3. Yulianti, Sally M. Gangguan pendengaran penderita Tuberkulosis
Multidrug Resistant. ORLI. 2015; 45(2):83-9
4. Dhingra PL. Anatomy of Ear. Dalam: Diseases of Ear, Nose and Throat. Edisi
ke-3. India: Reed Elsevier India Private Limited, 2004; h.3-15
5. Moller, A R. Hearing: Anatomy, Physiology and Disorder of Auditory

System. 2nd edition. London: Elsievier inc. 2006; h. 3-17.


6. Gacek R. Richard, Mark RG. Anatomy of the Auditory and Vestibular
Systems. Dalam: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. Sixteenth Edition. London: BC Decker Inc. 2003: h. 2-24.

7. Bailey, BJ & Jhonson, JT. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th
edition Vol. I. 2006; h. 2238-2244.

8. Deretsky Z. Mechanism of Hearing. 2010. (diakses tanggal 22 Desember


2016). Diunduh dari: http://www.nsf.gov/news/special_repots/linguistics
9. Rybak LP, John T. Ototoxicity. Dalam: Manual of Otorhinolaryngology Head
and Neck Surgery. London: BC Decker Inc. 2002; h. 121-27
10. Reviono, P. Kusnanto, Vicky E, Helena P, Dyah N. Multidrug Resistant
Tuberculosis (MDR-TB): Tinjauan Epidemiologi dan Faktor Risiko Efek
Samping Obat Anti Tuberkulosis. MKB. 2014; 46(4):189-96
11. Zafar H. Serial Audiometries Inclusion: A Dire Need To Manage
MDR/CDR-TB Patients In Order To Reduce The Emergence Of
Ototoxicity. ISRA Medical Journal. 2013; 5(2):160-61
12. Harris T, Soraya B, H Simon S, Lucretia P, Greetje DJ, Johannes JF.
Aminoglycoside-induced hearing loss in HIV-positive and HIV-negative
multidrug-resistant tuberculosis patients. S Afr Med J. 2012; 102(6):363-
66
13. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Manajemen Terpadu Pengendalian
Tuberkulosis Resistan Obat. 2011

15
14. American Academy of Audiology Position Statement and Clinical Practice
Guidlines Ototoxicity Monitoring. 2008.

15. VasconcelosKAD, Afranio LK, Antonio RN, Silviana F, Marco Antonio


DMTDL. Audiometric evaluation of oatients treated for pulmonary
tuberculosis. J Bras Pneumol. 2012; 38(1):81-7
16. Mustikaningtyas E, Nyilo P. Hearing Disorder In Multidrug-Resistant
Tuberculosis Patients At The Outpatients Unit, Pulmonary Department,
DR. Soetomo Hospital Surabaya. Folia Medica Indonesiana. 2013; 49(4):
363-67
17. Petersen L, C Rogers. Aminoglycoside-induced hearing deficits-a review
of cochlear ototoxicity . South African Family Practice. 2015; 57(2):77-82

16
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN RINITIS AKIBAT KERJA
Oleh :
Luh Made Ratnawati

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

PENDAHULUAN
Rinitis Akibat Kerja (RAK) menurut EAACI Task Force on Occupational
Rhinitis 2009 adalah inflamasi hidung baik bersifat persisten atau sementara yang
ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore, gatal dan atau gangguan
aliran udara hidung dan atau hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi
lingkungan kerja. Gejala yang ditimbulkan oleh RAK akan memberikan dampak
pada kualitas hidup pekerja seperti gangguan tidur yang menyebabkan kelelahan,
penurunan konsentrasi di tempat kerja, serta mengantuk saat bekerja. Keluhan
tersebut dapat mempengaruhi keadaan fisik, emosi, fungsi sosial dan dapat
menimbulkan stress sehingga merugikan kinerja perusahaan dan kesehatan
pekerja.1
Menurut penelitian, diperkirakan 15% pekerja di seluruh dunia menderita
RAK. Pekerja industri adalah pekerja terbanyak yang menderita RAK (48%),
disusul oleh pekerja administrasi (29%) dan pekerja pengolahan bahan jadi (13%).
Jenis pekerjaan yang diketahui berisiko tinggi adalah pekerja laboratorium
farmasi, tukang kayu, pekerja industri makanan dan pekerja kesehatan.
Peningkatan konsentrasi substansi dan lamanya waktu pajanan semakin
meningkatkan resiko menderita RAK.2,3
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya penyakit atau gangguan
pada saluran nafas akibat debu. Faktor tersebut adalah faktor debu yang meliputi
ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya larut dan sifat kimiawi, serta lama
paparan. Faktor individu meliputi mekanisme pertahanan paru, anatomi dan
fisiologi saluran nafas serta faktor imunologis. Penilaian paparan pada manusia
perlu dipertimbangkan antara lain sumber paparan atau jenis pabrik, lamanya
paparan, paparan dari sumber lain, pola aktivitas sehari-hari dan faktor penyerta
yang potensial seperti umur, gender, etnis, kebiasaan merokok serta faktor

alergen.4
Menurut penelitian, bahan yang diduga menyebabkan RAK dibagi menjadi
senyawa berberat molekul besar (protein) dan berberat molekul rendah. Contoh
dari senyawa berberat molekul besar adalah antigen binatang, biji kopi, biji jarak,

17
enzim proteolitik, gandum dan kontaminannya, antigen serangga, gum
Arabic/gum acacia, psyllium dan lateks. Sedangkan contoh senyawa berberat
molekul rendah adalah diisosianat, asam anhidrida, colophony dan asam

plikatik.3,5

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi
Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil sepanjang tulang piramid
hidung. Hidung bagian dalam terdiri dari kerangka tulang yang dilapisi mukosa
respiratorius. Septum nasi membagi kavitas nasi menjadi dua sisi yang tersusun
atas kartilago dan tulang yang dilapisi mukosa dan sebagian kecil terbungkus
kulit. Secara aerodinamik hidung dibagi menjadi: vestibulum yang dilapisi epitel
skuamus bertatah, regio ismus tempat resistensi sekitar 50% aliran pernapasan,
kavitas nasi dengan konka inferior, medius dan superior yang dilapisi epitel torak

berlapis semu bersilia.6


Adanya konka nasalis menyebabkan peningkatan permukaan mukosa

kavitas nasi sekitar 150 sampai 200 cm2 yang mengatur kelembaban, regulasi
suhu dan filtrasi udara inspirasi. Aliran udara hidung berubah dari laminar ke
turbulen tergantung kecepatan inspirasi dan situasi anatomi. Mukosa olfaktorius
berada di atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum yang
mengandung sel reseptor penciuman. Pada dinding lateral hidung terdapat konka
inferior, media dan superior. Celah diantara konka dan dinding lateral hidung
dinamakan meatus, terdiri dari meatus superior, meatus medius dan meatus
inferior. Meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis, pada meatus
medius terdapat kompleks osteomeatal tempat bermuaranya sinus maksilaris,
sinus etmoidalis anterior dan sinus frontalis, sedangkan sinus etmoidalis posterior
dan sinus sfenoidalis mengalir melalui meatus superior.6

18
Gambar 1. Rongga hidung.7

Mukosa dilapisi oleh epitel toraks bertingkat bersilia, sel goblet, sel basal
serta kelenjar submukosa. Sel goblet dan kelenjar submukosa menghasilkan palut
lendir, imunoglobulin A, laktoferin dan lisozim yang berfungsi menyaring partikel
yang terhirup, pembersihan hidung dan sebagai pertahanan terhadap infeksi. Pada
epitel toraks terjadi proses metabolisme aktif yang dilengkapi mitokondria dengan
konsentrasi tinggi serta beberapa enzim yang dapat mencerna mediator endogen
ataupun partikel terinhalasi yang bersifat toksik.6
Transpor mukosilia tergantung konsistensi dari mukus dan efektifitas
gerakan silia dengan gerakan sekitar 1000 kali per menit yang menggerakkan
lapisan gel superfisial dan debris yang terperangkap dengan kecepatan 3 hingga
25 mm per menit. Infeksi bakteri atau virus seperti juga inflamasi akibat alergi
akan menurunkan bersihan mukosilia. Partikel alergen di udara akan terhirup
melalui hidung. Mayoritas partikel berukuran lebih besar dari 5 mm akan
terdeposit pada permukaan mukosa hidung dan kemudian ditranspor dari hidung
ke faring selama 15-30 menit. Selama proses tersebut, partikel dengan ukuran
yang besar tidak terjadi penetrasi langsung ke mukosa hidung tetapi substansi
antigen yang larut dalam air akan terurai dan terserap secara cepat melalui mukosa

hidung.6
Rongga hidung dipersarafi oleh dua struktur utama yaitu nervus olfaktorius
atau CN.І yang berfungsi untuk penghidu dan nervus trigeminus atau CN.V yang
berfungsi sebagai reseptor sensasi iritasi. Selain itu, nervus glossofaringeus dan
19
nervus vagus berfungsi sebagai reseptor sensasi iritasi di hipofaring dan laring.
Dalam hal mengenali makanan yang melibatkan kombinasi sensasi rasa dan bau,
pengenalan berbagai zat inhalan juga melibatkan rangsangan nervus olfaktorius
dan nervus trigeminus. Nervus trigeminus dapat memberikan sensasi berupa rasa
segar atau dingin misalnya respons terhadap mentol sampai rasa terbakar atau
menyengat misalnya amonia dan klorin. Cabang terminal nervus trigeminus
termasuk ion channel neuron nosiseptif diameter kecil yaitu serabut C dan A
yang mengandung beberapa jenis ion channel. Serabut C juga mengeluarkan
neuropeptida vasoaktif yang selanjutnya dapat dilepaskan sebagai bagian dari

refleks nosiseptif.8-10

2.2. Definisi
Rinitis menurut International Consensus Report on the Diagnosis and
Management of Rhinitis tahun 1994 merupakan suatu proses inflamasi mukosa
hidung yang ditandai dengan dua atau lebih gejala yaitu hidung tersumbat, rinore,
bersin- bersin, gatal di hidung dan gangguan penghidu selama lebih dari 1 jam per
hari. Rinitis diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu rinitis alergi, rinitis
infeksi yang bersifat akut atau kronik dan kelompok “lain-lain” yang terdiri dari
rinitis idiopatik, sindrom rinitis non alergi eosinofilik (NARES), RAK, rinitis
hormonal, rinitis medikamentosa, rinitis atrofi dan rinitis yang disebabkan faktor
rangsangan makanan atau emosional.11,12
RAK adalah episode serangan bersin-bersin, hidung beringus, hidung
tersumbat dan rasa gatal pada hidung yang berhubungan dengan pekerjaan.
Biasanya RAK disebabkan oleh zat-zat di tempat kerja dengan berat molekul
tinggi, berat molekul rendah dan iritan yang melalui mekanisme imunologi atau
nonimunologi.5,13,14 EAACI Task Force on Occupational Rhinitis 2009
mengajukan definisi RAK yang disesuaikan dengan definisi asma akibat kerja
yaitu inflamasi hidung baik bersifat persisten atau sementara yang ditandai dengan
kongesti hidung, bersin-bersin, rinore, gatal dan/atau gangguan aliran udara

hidung dan/atau hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja.1

2.3. Klasifikasi
EAACI Task Force on Occupational Rhinitis mengajukan pembagian
rinitis di lingkungan kerja yang hampir menyerupai konsep klasifikasi asma akibat
kerja atau occupational asthma yang telah dianut sebelumnya. Pembagian ini
bertujuan untuk kepentingan klinis dan penelitian epidemiologi. Rinitis di

20
lingkungan kerja dibagi menjadi: (i) RAK disebabkan oleh zat alergen atau iritan
di lingkungan kerja pada pekerja yang sebelumnya tidak memiliki gejala rinitis,
11. eksaserbasi rinitis oleh pajanan lingkungan kerja: didefinisikan sebagai rinitis
baik alergi maupun nonalergi yang terjadi pada pekerja yang sebelumnya sudah
memiliki gejala rinitis dan bertambah berat setelah terpajan zat alergen atau iritan

di lingkungan pekerjaan.1
RAK alergi merupakan reaksi hipersensitif dengan karakteristik klinis
berupa hipersensitifitas hidung oleh agen spesifik di lingkungan kerja yang
muncul setelah periode laten. Reaksi alergi tidak terjadi pada pajanan pertama
terhadap suatu zat. Interval terjadinya sensitisasi berlangsung dari beberapa

minggu sampai beberapa tahun.5,13-15


RAK dengan perantara IgE disebabkan oleh bahan-bahan dengan berat
molekul tinggi atau high molecular weight/HMW yang berasal dari hewan atau
tanaman seperti urin tikus percobaan laboratorium, wol, serangga dan tungau,
debu, tepung gandum, lateks, alergen tumbuh-tumbuhan, misalnya daun
tembakau, kopi, merica, enzim biologis yang digunakan pada industri pembuatan
detergen, obat- obatan, protein ikan dan makanan laut.3,5,14
RAK tanpa perantara IgE diinduksi oleh bahan-bahan dengan berat
molekul rendah atau low molecular weight/LMW seperti diisosianat pada cat,
anhidrides pada plastik dan cat, bahan dari debu kayu, metal, colophony yang
terdapat pada pabrik elektronik, obat-obat, bahan kimia seperti tinta, katun, serat
sintetik, garam persulfat yang dapat menginduksi pengeluaran IgE spesifik dengan
cara berikatan dengan protein untuk membentuk ikatan hapten-protein.1,5,14,15

21
Rinitis yang berhubungan dengan kerja

Rinitis yang disebabkan oleh kerja = Rinitis yang tereksaserbasi oleh kerja=
Rinitis Akibat Kerja (RAK) Rinitis Eksaserbasi Kerja

1. RAK alergi (dengan periode laten)


* diperantarai oleh IgE
* tidak diperantarai IgE
1. RAK non alergi (tanpa periode laten)
* terpapar tunggal: RUDS
* terpapar multipel:RAK yang diinduksi bahan iritan
* rinitis korosif
RUDS: Reactive Upper Airways Dysfunction Syndrome

Gambar 2. Klasifikasi RAK.1

RAK non alergi dengan Reactive Upper Airways Dysfunction


Syndrome/RUDS merupakan reaksi rinitis nonimunologi yang terjadi setelah satu
kali pajanan terhadap kadar iritan yang tinggi.1,13
RAK terinduksi iritan juga dapat dipergunakan untuk gejala rinitis yang
disebabkan berbagai pajanan iritan berulang tanpa harus disertai adanya pajanan
yang jelas terhadap iritan dalam konsentrasi tinggi seperti gas, kabut, uap, uap air
dan debu termasuk asap rokok, nitrogen oksida, sulfur oksida, ozon, peroxyacetyl
nitrite, hypochlorite, ammonia, chlorine gas, formaldehyde, glycol ethers.1,14,15

22
Rinitis korosif merupakan RAK terinduksi iritan yang terparah ditandai
dengan inflamasi persisten mukosa hidung berupa atropi, ulserasi atau perforasi
mukosa hidung dan epistaksis.1
Gejala rinitis yang memburuk karena pekerjaan dicetuskan oleh berbagai
kondisi kerja seperti agen iritan yang berasal dari kimia, debu, asap, faktor fisik
karena perubahan temperatur, emosi, mantan perokok, bau parfum dan lain-lain.
Gambaran klinisnya serupa dengan RAK, tapi mekanisme yang mempengaruhi
timbulnya rinitis sulit untuk diselidiki.1

2.4. Epidemiologi
Menurut penelitian, diperkirakan 15% pekerja di seluruh dunia menderita
RAK. Pekerja industri adalah pekerja terbanyak yang menderita RAK (48%),
disusul oleh pekerja administrasi (29%) dan pekerja pengolahan bahan jadi (13%).
Jenis pekerjaan yang diketahui berisiko tinggi adalah pekerja laboratorium
farmasi, tukang kayu, pekerja industri makanan dan pekerja kesehatan. Para
pekerja yang memiliki riwayat alergi individu atau keluarga lebih rentan terhadap
rinitis akibat kerja. Peningkatan konsentrasi alergen dalam lingkungan dan

lamanya waktu pajanan semakin meningkatkan resiko menderita RAK.2,5

2.5. Patofisiologi
Inflamasi mukosa hidung pada RAK dapat disebabkan oleh dua
mekanisme, yaitu: (1) mekanisme imunologi melalui sensitisasi oleh zat dengan
berat molekul tinggi dengan jalur yang diperantarai IgE atau konjugasi hapten-
protein oleh zat dengan berat molekul rendah, baik episodik maupun persisten, (2)
mekanisme nonimunologi oleh karena inflamasi iritasi.5,13
Menurut pembagian Allergic Rinitis and Its Impact on Asthma tahun 2008
rinitis alergi dapat digolongkan dalam 2 klasifikasi yaitu intermiten bila gejala
kurang dari 4 hari per minggu atau dalam kurun waktu kurang dari 4 minggu dan
persisten bila gejala ditemukan lebih dari 4 hari per minggu dan dalam kurun
waktu lebih dari 4 minggu.16
RAK merupakan reaksi alergi hipersensitifitas tipe I yang merupakan
respons yang diperantarai IgE yang terdiri dari tiga fase: sensitisasi, fase cepat dan
fase lambat. Selama fase sensitisasi alergen yang berasal dari lingkungan sekitar
mengalami kontak dan melekat dengan mukosa epitelium dari membran hidung

23
dan mengawali terjadinya presentasi antigen terhadap sel imun. Antigen
presenting cells seperti makrofag dan sel dendrit mencerna dan memecahkan
alergen menjadi peptida kecil yang kemudian mempresentasikan kepada sel
limfosit Th0. Limfosit Th0 mengenali peptida antigen dan mengawali
diferensiasinya menjadi Th1 dan Th2 serta melepaskan produk-produk inflamasi.
Rinitis alergi biasanya melibatkan sel limfosit Th2. Limfosit Th2 mengeluarkan
sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10 dan IL13. IL4, IL10 dan IL13
mempromosikan proliferasi limfosit B yang menghasilkan antibodi IgE. Antigen
peptida dan antibodi IgE memegang peranan penting pada alergi fase cepat. IgE
yang berada di sirkulasi darah melekat pada reseptor sel mastosit dan basofil yang
memiliki afinitas yang tinggi, sehingga menyebabkan degranulasi. Degranulasi sel
mastosit merupakan saat yang penting dalam mengawali fase cepat dan proses
pelepasan histamin, prostaglandin, triptase, leukotrien dan faktor kemotaktik
lainnya yang merangsang pengeluaran sel inflamasi seperti eosinofil, basofil dan

neutrofil.5

Mediator yang dilepaskan sel mastosit akan memberikan efek terhadap


pembuluh darah seperti vasodilatasi, penebalan mukosa, peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi rinore. Efek pada ujung saraf vidianus akan
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin selain itu kelenjar mukosa
dan sel goblet juga akan mengalami hipersekresi. Jika pajanan dihentikan, reaksi
akan hilang dalam beberapa jam. Jika pajanan terjadi terus menerus, akan terjadi
reaksi fase lambat yang ditandai dengan edema mukosa serta sumbatan hidung
yang lebih berat. Reaksi ini dimulai 4 sampai 12 jam setelah pajanan awal dan
dihubungkan dengan terbentuknya sel inflamasi seperti eosinofil, basofil dan
neutrofil yang mengikuti reaksi fase akut. Reaksi fase lambat akan berakhir
setelah 72 jam pajanan dihentikan. Hal ini menjelaskan mengapa tidak terjadi
perbaikan gejala pada pekerja pada saat libur akhir pekan, sehingga dapat
membingungkan dalam menegakkan diagnosis RAK. Cuti dengan jangka waktu
yang lebih lama mungkin diperlukan agar kecurigaan adanya penyebab di tempat
kerja dapat diyakini. Pada pekerja dengan alergi, biasanya bereaksi terhadap
beberapa alergen di rumah, di luar rumah serta di tempat kerja. Hal ini merupakan

salah satu penyebab sulitnya menegakkan RAK.2,5

24
Gambar 3. Mekanisme imunologi pada rinitis alergi.17

Eosinofil melepaskan mediator yang menyebabkan disfungsi epitel hidung


sehingga menyebabkan sumbatan hidung, pernapasan yang berat serta gangguan
tidur dan mendengkur. Inflamasi lokal akan bertambah dengan pengaruh sekresi
yang terus-menerus dari sitokin yang berbeda yaitu faktor nekrosis tumor alfa atau
TNF , yang dihasilkan oleh sel mastosit, makrofag, eosinofil dan limfosit yang
merangsang serabut sensoris di mukosa hidung. Perangsangan saraf ini akan
menyebabkan hipereaktif dan hipersensitif dari mukosa hidung meskipun terpajan
dengan rangsangan nonalergi seperti udara dingin dan asap rokok. Hal ini juga

25
menjelaskan mengapa pekerja yang menderita RAK, gejala akan muncul di luar

lingkungan kerja ketika mereka terpajan dengan zat iritan.5

2.6. Gejala Klinis


Riwayat hidung tersumbat, rinore jernih, bersin, hidung gatal serta ingus di
belakang hidung, dengan menitikberatkan hubungan antara gejala yang muncul di
tempat kerja dengan hilangnya gejala pada saat libur atau jika pekerja menjalani
cuti lebih dari tiga hari. Jika pekerja terpajan terus-menerus, gejala akan menetap
sepanjang hari yang ditandai dengan sumbatan hidung yang terus menerus sebagai
gejala yang dominan karena reaksi alergi fase lambat atau RAFL.15

2.7. Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Anamnesis secara rinci riwayat hidung tersumbat, rinore jernih, bersin,
hidung gatal serta ingus di belakang hidung, dengan menitikberatkan hubungan
antara gejala yang muncul di tempat kerja dengan hilangnya gejala pada saat libur
atau jika pekerja menjalani cuti lebih dari tiga hari. Jika pekerja terpajan terus-
menerus, gejala akan menetap sepanjang hari yang ditandai dengan sumbatan
hidung yang terus menerus sebagai gejala yang dominan karena reaksi alergi fase
lambat. Riwayat menderita penyakit saluran napas pada usia anak-anak dan
kemungkinan adanya atopi perlu ditanyakan. Kebiasaan individu seperti merokok,

alkohol, hobi serta akivitas di waktu luang lainnya juga perlu ditelusuri.5,10,15

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pekerja yang menderita RAK memiliki sekret hidung
encer dan bening serta edema konka. Mukosa hidung biasanya terlihat pucat,
berwarna merah muda atau hiperemis. Pemeriksaan rutin seperti rinoskopi atau
endoskopi serat optik perlu untuk melihat rongga hidung, faring dan struktur
glotis serta ada atau tidaknya polip hidung. Sekresi pus dari muara sinus,
hiperplasi limfoid, neoplasma, perubahan pita suara perlu dilihat untuk
membedakannya dengan RAK. Stigmata lain seperti rinokonjungtivitis alergi,

kemosis atau allergic shiner perlu diperiksa.5,10,15

26
Riwayat pekerjaan dan klinis

Pemeriksaan hidung

Tes imunologi

(tes cukit kulit atau antibodi Ig E


spesifik)

Tidak tersedia Tersedia

Negatif Positif

Berdasarkan
riwayat klinik

Tes provokasi hidung di laboratorium

Kemungkinan
Positif Negatif Tidak dapat Rinitis Akibat
dikerjakan Kerja

Berdasarkan
riwayat klinik

Workplase assessment dari:

Gejala-gejala klinik

Patensi hidung

Inflamasi hidung

Hiperresponsif nonspesifik

Bukan Rinitis
Rinitis Akibat Positif Negatif Akibat Kerja
Kerja

Gambar 4. Algoritme diagnosis RAK.1

27
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
A. Uji Tusuk Kulit
Salah satu metode pemeriksaan alergi yang paling sering digunakan adalah uji
tusuk kulit atau skin prick test. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk
membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit di kulit. Uji
tusuk kulit banyak dipakai karena sederhana, mudah, cepat dan cukup aman
sehingga sering dipakai sebagai pemeriksaan penyaring. Kelebihan cara ini
adalah pemeriksaan dapat dilakukan dengan beberapa jenis alergen pada waktu
yang bersamaan dan hasil pemeriksaan didapatkan dalam 15-20 menit.11,19
Kekurangan teknik ini untuk mendiagnosis RAK adalah sulit mendapatkan
ekstrak alergen spesifik yang dicurigai dari tempat kerja, sehingga perlu
dilanjutkan dengan uji provokasi hidung dengan menggunakan alergen yang
diambil langsung dari lingkungan kerja dan tidak memerlukan ekstrak yang
khusus.

B. Uji Provokasi Hidung


Uji provokasi hidung adalah menginduksi gejala rinitis seperti bersin,
hidung tersumbat, sekresi hidung dan gejala lainnya dengan cara menempatkan
alergen definitif atau iritan yang dicurigai sebagai penyebab rinitis pada mukosa
hidung dan reaksi yang timbul dimonitor. Beberapa penelitian terdahulu
menggunakan metode uji provokasi hidung dan metode ini dianggap merupakan
standar baku emas dalam menegakkan RAK. Akan tetapi kesulitan yang dihadapi
adalah tidak semua zat di tempat kerja dapat digunakan pada uji provokasi,
terutama zat-zat iritan. Metode uji provokasi juga berisiko untuk terjadinya reaksi
yang hebat pada saluran napas atas dan bawah, karena dipajankan langsung

dengan bahan yang diperkirakan sebagai penyebab penyakitnya.11,19

C. Rinomanometri
Rinomanometri merupakan metode yang sangat objektif dan akurat dalam
menilai perubahan nilai tahanan hidung sebelum dan sesudah uji provokasi
dengan alergen yang dicurigai. Rinomanometri yang dianggap paling fisiologis
adalah rinomanometri anterior aktif, karena mengukur secara bersamaan aliran
udara pada satu hidung dengan pneumotachometer dan tekanan nasofaring pada
hidung kontralateral dengan manometer yang dihubungkan dengan cuping hidung
kontralateral. Pemeriksaan dikatakan positif jika setelah uji provokasi dilakukan,

28
aliran udara menurun lebih dari 40% dan jika tahanan hidung meningkat lebih dari
60%. Interpretasi dilakukan dengan membandingkan gejala yang muncul setelah
pemeriksaan serta mengukur kualitas serta beratnya sekresi cairan hidung
sebelum, selama tes dan sesudahnya. Rinomanometri akustik merupakan
pemeriksaan yang sangat bermanfaat dalam mendiagnosis RAK karena sederhana,
mudah dilakukan, tidak invasif dibandingkan dengan rinomanometri anterior dan

posterior.20,21

D. Peak Nasal Inspiratory Flow Meter


Peak Nasal Inspiratory Flow atau PNIF merupakan alat untuk mengukur
derajat sumbatan hidung dengan mengukur kecepatan aliran udara melalui hidung
pada saat inspirasi maksimal. Alat ini cukup sederhana, berukuran kecil dan
ringan, mudah digunakan, interpretasi hasilnya cukup mudah. Selain itu juga
mudah untuk dibawa dan sering digunakan untuk monitoring penderita rinitis.
Alat ini juga memberikan informasi yang akurat terhadap sumbatan hidung dan
respon terhadap pengobatan. Keterbatasan alat ini yaitu hanya dapat mengukur
kecepatan aliran udara sedangkan tekanan transnasal tergantung usaha pasien pada
saat inspirasi maksimal. Nilai normal pada orang Eropa yang ditetapkan dengan
alat ini adalah 100–300 liter per menit, dengan keakuratan 10%.22 Pengukuran
aliran udara hidung maksimum dengan PNIF meter dilakukan sebelum, selama
dan sesudah pergantian kerja.13 PNIF meter pada uji provokasi dikatakan positif
bila didapatkan sedikitnya dua gejala yaitu bersin-bersin, rinore, hidung buntu dan
penurunan PNIF lebih dari 20%.19,23

E. Pemeriksaan Sitologi Mukosa Hidung


Respons lain yang dapat diukur adalah penilaian jumlah eosinofil, basofil,
neutrofil dan sel lainnya serta mengukur mediator-mediator lokal yang dilepaskan
oleh sel mastosit yang berdegranulasi. Bahan pemeriksaan diperoleh dari usapan,
kerokan, bilasan atau biopsi. Pemeriksaan sitologi ini dilakukan untuk melihat
adanya eosinofil sebagai parameter rinitis alergi atau neutrofil sebagai parameter
rinitis iritan. Dari penelitian sebelumnya polymononuclear neutrophils atau PMNs
telah terbukti berhubungan dengan iritasi inflamasi, sedangkan eosinofil

berhubungan dengan respons alergi.24

29
F. Pemeriksaan IgE dan Bersihan Mukosilia
Pemeriksaan IgE total jarang digunakan untuk skrining pada rinitis, karena
nilai prediksinya yang rendah dan sebaiknya tidak digunakan sebagai alat
diagnostik. Berbeda dengan IgE total, pemeriksaan IgE spesifik sangat berguna
untuk menegakkan diagnosis. Adanya antibodi IgE spesifik tergantung pada
tersedianya ekstrak alergen yang berhubungan untuk dilakukan uji imunologi.12
Pemeriksaan bersihan mukosilia dapat dilakukan karena rinitis mengurangi
aktivitas mukosilia yang berpengaruh terhadap pertahanan terhadap bakteri. 25

2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan RAK adalah sama dengan rinitis alergi pada umumnya,
yaitu dengan menghindari alergen (allergen avoidance). Pencegahan ditujukan
untuk mengurangi kontak terhadap alergen penyebab terutama pada pekerja yang
peka dengan alergen di tempat kerja. Pemeriksaan atau skrining prakerja untuk
mengenali tanda atopi, memperbaiki lingkungan kerja serta memodifikasi teknik-
teknik industri seharusnya dapat mengurangi prevalensi penyakit RAK.
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker serta topi pelindung
merupakan suatu usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi/menghindari
kontak dengan alergen.1,14
Pengobatan medikamentosa RAK terdiri atas antihistamin, dekongestan,
steroid nasal topikal, zat antikolinergik, imunoterapi dan terapi pembedahan
tergantung pada penyebabnya. Antihistamin generasi kedua (non sedatif) seperti
loratadine, terfenadine, cetirizine, desloratadine memiliki efek farmakokinetik,
farmakodinamik dan potensi yang berbeda-beda. Antihistamin tersebut di atas
merupakan obat yang direkomendasikan khususnya kepada tenaga kerja,
mengingat mereka harus tetap aktif dalam pekerjaannya tanpa khawatir terganggu

oleh rasa kantuk.14,26


Dekongestan oral dapat diberikan tetapi perlu diperhatikan efek
sampingnya. Pemberian steroid topikal hidung dapat diberikan pada pekerja
dengan keluhan utama hidung tersumbat. Obat semprot hidung natrium
kromoglikat sebagai stabilisator mastosit dapat pula diberikan tanpa efek samping.
Pemberian kortikosteroid sistemik jangka panjang tidak dianjurkan mengingat
efek samping yang mungkin terjadi. Ipratropium bromida sebagai obat
antikolinergik diberikan pada pekerja dengan keluhan utama hidung berair.1,14,26

30
Cara pengobatan dengan imunoterapi dilakukan pada alergi inhalan
dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan
cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi
adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE.16 Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. Tindakan
pembedahan berupa konkotomi parsial yaitu pemotongan sebagian konka inferior
perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi dan tidak berhasil dikecilkan dengan
cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.14,16

2.9. Komplikasi
Komplikasi RAK umumnya sama dengan rinitis alergi lainnya, yaitu:

1. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,


akumulasi sel-sel inflamasi dalam hal ini eosinofil dan limfosit T CD4+,
hiperplasia epitel, hiperplasia sel goblet dan metaplasia skuamosa.
2. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para
nasal. Terjadi akibat edema ostium sinus oleh proses alergi dalam mukosa
yang menyebabkan sumbatan ostium sehingga terjadi penurunan oksigenasi
dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan
bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi
barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa

yang dilepas sel eosinofil, akibatnya sinusitis akan semakin parah.11,14,26

III. PEMBAHASAN
RAK adalah suatu episode serangan bersin-bersin, hidung yang beringus
dan tersumbat disertai rasa gatal yang berhubungan dengan pekerjaan. RAK
biasanya disebabkan oleh zat-zat di tempat kerja dengan berat molekul tinggi,
rendah dan iritan yang melalui mekanisme imunologi atau nonimunologi. Definisi
RAK menurut EAACI Task Force on Occupational Rhinitis (2009) yang
disesuaikan dengan definisi asma akibat kerja yaitu inflamasi hidung baik bersifat
persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin,
rinore, gatal dan/atau gangguan aliran udara hidung dan/atau hipersekresi yang
disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. Sedangkan, menurut International
Consensus Report on the Diagnosis and Management of Rhinitis (1994)
merupakan suatu proses inflamasi mukosa hidung yang ditandai dengan dua atau

31
lebih gejala yaitu hidung tersumbat, rinore, bersin- bersin, gatal di hidung dan

gangguan penghidu selama lebih dari 1 jam per hari.1,11,12


EAACI Task Force on Occupational Rhinitis membagi rinitis di
lingkungan kerja hampir menyerupai konsep klasifikasi asma akibat kerja atau
occupational asthma yang bertujuan untuk kepentingan klinis dan penelitian
epidemiologi. RAK alergi merupakan reaksi hipersensitif dengan karakteristik
klinis berupa hipersensitifitas hidung oleh agen spesifik di lingkungan kerja yang
muncul setelah periode laten. RAK dengan perantara IgE disebabkan oleh bahan-
bahan dengan berat molekul tinggi atau high molecular weight/HMW, sedangkan
RAK tanpa perantara IgE diinduksi oleh bahan-bahan dengan berat molekul
rendah atau low molecular weight/LMW. RAK non alergi dengan Reactive Upper
Airways Dysfunction Syndrome/RUDS merupakan reaksi rinitis nonimunologi
yang terjadi setelah satu kali pajanan terhadap kadar iritan yang tinggi.
Menurut penelitian de Bernardo dkk, diperkirakan 15% pekerja di seluruh
dunia menderita RAK. Pekerja terbanyak yang menderita RAK adalah pekerja
industry (48%), disusul oleh pekerja administrasi (29%) dan pekerja pengolahan
bahan jadi (13%). Jenis pekerjaan yang diketahui berisiko tinggi adalah pekerja
laboratorium farmasi, tukang kayu, pekerja industri makanan dan pekerja
kesehatan.2,5
Menurut pembagian Allergic Rinitis and Its Impact on Asthma (2008),
rinitis alergi dapat digolongkan dalam 2 klasifikasi yaitu intermiten bila gejala
kurang dari 4 hari per minggu atau dalam kurun waktu kurang dari 4 minggu dan
persisten bila gejala ditemukan lebih dari 4 hari per minggu dan dalam kurun
waktu lebih dari 4 minggu. Patofisiologi rinitis alergi merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I melalui aktivasi mastosit yang bergantung pada IgE. Urutan
kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut; fase sensitisasi yaitu waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada
permukaan mastosit dan basofil, kemudian diikuti fase aktivasi yaitu waktu
selama terjadi pemaparan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas
isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Berikutnya adalah fase
efektor yaitu waktu terjadinya respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
bahan-bahan yang dilepas mastosit dengan aktivitas farmakologik. Reaksi fase
lambat akan berakhir setelah 72 jam pajanan dihentikan. Menurut Arandelovic
dkk, pada pekerja dengan alergi biasanya dapat bereaksi terhadap beberapa

32
alergen di rumah, di luar rumah serta di tempat kerja. Hal ini merupakan salah

satu penyebab sulitnya menegakkan RAK. 2,5,16,17


Riwayat hidung tersumbat, rinore yang jernih, bersin, hidung gatal serta
ingus di belakang hidung, dengan menitikberatkan hubungan antara gejala yang
muncul di tempat kerja dengan hilangnya gejala pada saat libur atau jika pekerja
menjalani cuti lebih dari tiga hari. Jika pekerja terpajan terus-menerus, gejala akan
menetap sepanjang hari yang ditandai dengan sumbatan hidung yang terus
menerus sebagai gejala yang dominan karena reaksi alergi fase lambat. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan sekret hidung yang encer dan bening serta edema
konka, mukosa hidung biasanya pucat, merah muda atau hiperemis. Pemeriksaan
rutin seperti rinoskopi atau endoskopi diperlukan untuk melihat rongga hidung,
faring dan struktur glotis serta ada atau tidaknya polip hidung. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan antara lain: uji tusuk kulit (skin prick test), uji
provokasi hidung, rinomanometri, Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF),
pemeriksaan sitologi mukosa hidung serta pemeriksaan IgE dan bersihan

mukosilia.5,10,15,19-22,24,25

Penatalaksanaan RAK adalah sama dengan rinitis alergi pada umumnya,


yaitu dengan menghindari zat alergen (allergen avoidance). Gautrin dkk,
menyebutkan bahwa Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker serta
topi pelindung merupakan suatu usaha yang dapat dilakukan untuk
mengurangi/menghindari kontak dengan alergen. Pengobatan medikamentosa
RAK terdiri atas antihistamin, dekongestan, steroid nasal topikal, zat
antikolinergik, imunoterapi dan terapi pembedahan tergantung pada penyebabnya.
Cara pengobatan dengan imunoterapi dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu
intradermal dan sublingual. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG
blocking antibody dan penurunan IgE. Tindakan pembedahan perlu dilakukan
pada beberapa pasien yang mengalami komplikasi, dimana tindakan yang

dilakukan tergantung komplikasi yang terjadi.1,14,16,26


Komplikasi yang terjadi akibat RAK umumnya sama dengan rinitis alergi
lainnya, yaitu: polip hidung, otitis media yang sering residif terutama pada anak-
anak, sinusitis paranasal yang merupakan inflamasi pada satu atau lebih mukosa
sinus paranasal dan dapat terjadi karena edema ostium sinus oleh proses alergi
dalam mukosa sehingga menyebabkan sumbatan ostium.11,14,26

33
IV. KESIMPULAN
RAK adalah inflamasi hidung baik bersifat persisten atau sementara yang
ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore, gatal dan atau gangguan
aliran udara hidung dan/atau hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi
lingkungan kerja. RAK dibagi menjadi alergi dan non alergi. RAK alergi dibagi
menjadi RAK yang diperantarai IgE dan yang tidak diperantarai IgE, sedangkan
RAK non alergi dibagi menjadi RAK yang terpapar tunggal, multipel dan rinitis
korosif.
RAK merupakan reaksi alergi hipersensitifitas tipe I yang merupakan
respons yang diperantarai IgE yang terdiri dari tiga fase: sensitisasi, fase cepat dan
fase lambat. Diagnosis RAK ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Riwayat hidung tersumbat, rinore jernih, bersin, hidung gatal serta
ingus di belakang hidung, dengan menitikberatkan hubungan antara gejala yang
muncul di tempat kerja dengan hilangnya gejala pada saat libur atau jika pekerja
menjalani cuti lebih dari tiga hari. Pada pemeriksaan fisik ditemukan sekret
hidung yang encer dan bening serta edema konka, mukosa hidung biasanya pucat,
merah muda atau hiperemis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara
lain: uji tusuk kulit (skin prick test), uji provokasi hidung, rinomanometri, Peak
Nasal Inspiratory Flow (PNIF), pemeriksaan sitologi mukosa hidung serta
pemeriksaan IgE dan bersihan mukosilia.
Pencegahan RAK ditujukan untuk mengurangi kontak terhadap alergen
penyebab terutama pada pekerja yang peka dengan alergen di tempat kerja.
Pengobatan medikamentosa RAK terdiri atas antihistamin, dekongestan, steroid
nasal topikal, zat antikolinergik, imunoterapi dan terapi pembedahan tergantung
pada penyebabnya.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Moscato G, Vandenplas O, Van Wijk RG, Malo JL, Perfetti L, Quirce S, dkk.
EAACI Position Paper on Occupational Rhinitis. Respiratory Research.
2009;10:20-1.
2. DeBenardo R. Occupational rhinitis. Produced by the Occupational Health &
Special Project Program, Division of Environmental Epidemiology.
Occupational Airways. Connecticut. 2001;7(1):1-4.
3. LaDou J. Current occupational and environment medicine. 3rd Ed. Boston:
McGraw Hill; 2004. h. 291-304
4. Yunus F. Dampak debu industri pada paru pekerja dan pengendaliannya
(tesis). Jakarta: Universitas Indonesia; 1997.
5. Arandelovic M, Stankovic I, Jovanovic J, Borisov S, Stankovic S. Allergic
rhinitis - Possible occupational disease - Criteria cuggestion. Acta Fac. Med.
Naiss. 2004;21(2):65-71.
6. Ballenger JJ. Anatomy and physiology of the nose and paranasal sinuses.
Dalam: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-
16. BC Decker Inc. Hamilton, Ontario; 2003. h. 547-60.
7. Putz R, Pabst R. Atlas anatomi manusia: Sobotta. Dalam: Suyono JY,
penyunting Bahasa Indonesia. Edisi ke-21. Jakarta: EGC; 2000. h. 90-1.
8. Meggs WJ. Neurogenic inflammation and sensitivity to environmental
chemical. Environmental Health Perspectives. 1993;101:234-8.
9. Sarin S, Undem B, Sanico A, Togias A. The role of the nervous system in
rhinitis. J Allergy Clin Immunol. 2006;118:999-1014.
10. Shusterman D. Toxicology of nasal irritants. Current allergy and asthma
reports. Environ Health Perspect. 2003;3:258–65.
11. Airaksinen L. Occupational rhinitis: Diagnosis and health-related quality of
life (disertasi). Helsinki: University of Helsinki; 2010.
12. Bachert C. Persistent rhinitis: Allergic or nonallergic?. Allergy.
2006;5(76):11-5.
13. Baratawidjaya KG, Rengganis I. Rinitis alergi. Dalam: Baratawidjaya KG,
Rengganis I, penyunting. Alergi Dasar. Edisi ke-1. Jakarta: Interna Publising;
2009. h. 233-63.
14. Gautrin D, Desrosiers M, Castano R. Occupational rhinitis. Curr Opin
Allergy Clin Immunol. 2006;6(2):77-84.

35
15. Drake-Lee A, Ruckley R, Parker A. Occupational rhinitis: A poorly
diagnosed condition. J Laryngol & Otol. 2002;116(8):580-5.
16. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, dkk.
Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA). Allergy. 2008;63(68):8-
160.
17. Kumar V, Abbas AK. Diseases of the immune system. Dalam: Schmitt W,
Gruliow R, penyunting. Pathologic Basis of Disease. Edisi ke-8.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. h. 254-62.
18. Irawati N. Tes cukit: persiapan, metode dan interpretasinya. Kongres
Nasional XIII Perhati-KL. Bali; 2015.
19. Rajakulasingam K. Nasal provocation testing. Dalam: Adkinson JR, Busse
WW, Bochner BS, Holgate ST, Simons ER, Lemaske RF, penyunting.
Middleton’s Allergy: Principle and Practice. Edisi ke-6. Philadelphia:
Elsevier Inc; 2003. h. 1281-94.
20. Hytonen ML, Sala EL, Malmberg HO, Nordman H. Acoustic rhinometry in
the diagnosis of occupational rhinitis. Am J Rhinol. 1996;10:393-7.
21. Nathan RA, Eccles R, Howarth PH, Steinsva SK, Alkis TA. Objective
monitoring of nasal patency and nasal physiology in rhinitis. J Allergy Clin
Immunol. 2005;115:442-59.
22. Starling RS, Peake HL, Salome CM, Toelle BG, Marks GB, Lean L.
Repeatability of peak nasal inspiratory flow measurements and utility for
assessing the severity of rhinitis. Allergy. 2005;60:795-800.
23. Eire MA, Pineda F, Losada SV, Cuesta CG, Villalva MM. Occupational
rhinitis and asthma due to cedroarana (Cedrelinga catenaeformis Ducke)
wood dust allergy. J Investig Allergol Clin Immunol. 2006;16(6):385-7.
24. Howarth PH, Persson CGA, Meltzer EO. Objective monitoring of nasal
airway inflammation in rhinitis. J Allergy Clin Immunol. 2005;159:414-41.
25. Fahrudin I. Rinitis akibat kerja dan faktor-faktor yang berhubungan. Studi
pada pekerja yang terpajan debu tepung gandum di bagian pengepakan PT X
tahun 2005 (tesis). Jakarta: Universitas Indonesia; 2006.
26. Walusiak J. Occupational upper airway disease. Curr Opin Allergy Clin
Immunol. 2006;6:167-72.

36
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KOLESTEATOMA KONGENITAL
Oleh
Eka Putra Setiawan
Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

I PENDAHULUAN
Kolesteatoma kongenital terlihat sebagai massa putih di dalam telinga
tengah dengan membran timpani yang utuh (intak). Lokasi kolesteatoma
kongenital paling sering ditemukan yakni kavum timpani, mastoid dan apeks
petrosus dari tulang temporal.1
Kolesteatoma kongenital merupakan kasus yang sangat jarang ditemukan,
dengan persentase di seluruh dunia berkisar 2% dari seluruh kasus kolesteatoma.
Studi terbaru melaporkan terjadi peningkatan persentase kasus kolesteatoma
kongenital dari 3,7% menjadi 24% dari keseluruhan kasus kolesteatoma.1
Sampai saat ini penyebab pasti terjadinya kolesteatoma kongenital masih
menjadi perdebatan para ahli. Terbentuknya Kolesteatoma kongenital diduga
disebabkan oleh karena kegagalan epidermoid formation didalam celah telinga
tengah. Selama pembentukan mukosa telinga tengah, terjadi akumulasi epitel
skuamosa yang berkeratin pada minggu ke-3 dan ke-5 usia perkembangan janin.
Sel-sel skuamosa yang terperangkap pada kavum telinga tengah terus tumbuh
perlahan membentuk kolesteatoma.2
Gejala klinis kolesteatoma kongenital sangat tergantung dari letak
kolesteatoma, ukuran dan komplikasi yang ditimbulkannya. Kolesteatoma yang
terbatas pada kuadran anterosuperior dari membran timpani tidak menimbulkan
gejala (asimptomatis). Gejala dapat muncul jika terjadi perluasan atau
menyebabkan kerusakan pada daerah sekitarnya. Gejala klinis yang timbul dapat
berupa gangguan pendengaran otitis media efusi, gangguan keseimbangan,
kelumpuhan saraf fasialis, fistula retroaurikula, maupun gejala akibat perluasan ke

intrakranial.2
Diagnosis kolesteatoma kongenital sering ditegakkan pada saat operasi
sedang berlangsung. Derlacki and Clemis menyatakan bahwa kriteria diagnosis
kolesteatoma kongenital adalah jika ditemukan massa putih di belakang membran
timpani yang utuh (meliputi pars flasida dan pars tensa yang normal), tidak ada
riwayat otore atau perforasi membrane timpani, dan tidak ada riwayat operasi
telinga sebelumnya.2

37
Penatalaksanaan kolesteatoma kongenital melalui operasi bertujuan untuk
mengangkat kolesteatoma secara komplit. Adanya sisa kolesteatoma harus
dihindari karena akan menyebabkan terjadinya rekurensi.2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga
Telinga terdiri tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam. Struktur anatomi telinga seperti diperlihatkan pada gambar 1. Telinga luar
terdiri dari daun telinga (auricularis) dan liang telinga (meatus akustikus
eksternus) yaitu dari meatus sampai membrane timpani.3

Keterangan:
1. Bagian kartilago
2. Kelenjar parotis
3. Bagian tulang
4. Dinding lateral epitimpanum
5. Antrum mastoid.
6. Epitimpanum
7. Fosa artikulus temporomandibular
8. Nervus facialis,
vestibularis, dan auditorius
9. Tuba Eustachius
10. Bone of timpanic ring.
11. Fissure of Santorini
pada kanalis akustikus eksternus.

Gambar 1. Anatomi telinga 3

Daun telinga merupakan bingkai kartilago yang simetris kanan dan kiri
yang berfungsi untuk memfokuskan atau melokalisir suara. Daun telinga terdiri
dari mangkuk konka, tragus di depan, antihelik di atas dan belakang serta

antitragus di bawah. Helik terbentang dari krus helik sampai ke lobulus


mengelilingi antihelik, konka dan antitragus. Di antara helik dan antihelik terdapat
fosa skapoid. Fossa triangularis berada di antara krus superior dan krus inferior
dari antihelik. Daun telinga tertanam pada kranium oleh kulit, kartilago, otot
telinga dan ligamen ekstrinsik.3.4
Kanalis akustikus eksternus memiliki panjang 24 mm dengan kapasitas
volume 1-2 ml. Sepertiga lateral daripada liang telinga terbentuk dari
fibrokartilago, sementara dua pertiga medial adalah tulang. Selama masa balita

38
bentuk kanalis akustikus eksternus lurus tapi kemudian berbentuk seperti huruf
“S” saat berumur 9 tahun.3,4
Kanalis akustikus eksternus mempunyai hubungan yang penting dengan
segmen mastoid dari nervus fasialis, yang berada di belakang dari kanalis ini
ketika berjalan ke bawah menuju foramen stilomastoid. Sendi temporomandibula
berada di depan dari kanalis akustikus eksternus sehingga proses penyakit yang
mengenai sendi temporomandibula bisa menyebabkan nyeri alih telinga.3,4
Kanalis akustikus eksternus dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis yang
berlanjut ke kulit daun telinga dan epitel yang menutupi membran timpani.
Lapisan subkutan dari liang telinga pars kartilago mengandung folikel rambut,
kelenjar sebaseus dan serumenosa dengan ketebalan mencapai 1 mm. Kulit liang
telinga pars oseus tidak memiliki elemen subkutan dan ketebalannya hanya 0,2
1. Epitel dari kanalis akustikus eksternus mempunyai kemampuan bermigrasi
ke lateral membuat liang telinga tetap tidak tersumbat oleh debris. Tingkat migrasi
dari epitel itu adalah 0,07 mm/hari dan diduga terjadi di lapisan sel basal. Kelenjar
serumenosa adalah kelenjar keringat apokrin yang termodifikasi dikelilingi oleh

sel mioepitel dan tersusun sebagai unit apopilosebaseus.3,4


Telinga luar membantu transmisi suara yang efektif ke membran timpani
dengan bertindak sebagai resonator fungsional. Kontribusi akustik dari telinga luar
adalah memperbesar transmisi suara pada frekuensi percakapan. Kedalaman liang
telinga dan lekukan liang telinga melindungi membran timpani dan struktur
telinga tengah dan telinga dalam. Rambut di kanalis akustikus eksternus bagian
luar mencegah masuknya kotoran, debu dan serangga, sementara kelenjar sebasea
berfungsi menghasilkan serumen. Serumen adalah hasil produki kelenjar sebasea,
seruminosa, epitel kulit yang terlepas dan partikel debu. Serumen menyediakan
lapisan hidrofobik bagi liang telinga. Manfaat anti bakterial dari serumen telah
dibuktikan secara in vitro, sedangkan efek in vivo masih belum jelas. Mungkin
yang paling penting adalah pH dari serumen, yang secara normal bersifat asam

dan merupakan lingkungan yang tidak disukai oleh kuman.3


Telinga tengah bersama dengan tuba Eusthacius, aditus, antrum dan sel-sel
mastoid disebut celah telinga tengah. Dilapisi oleh membran mukosa dan terisi
oleh udara. Ruang antara membran timpani dan bagian yang menonjol dari labirin
tulang di bagian pars petrosa tulang temporal berisi rantai tulang pendengaran
dengan ototnya, apertura tuba Eustachius, dan sistem vaskular.3,4

39
Kavum timpani dibagi menjadi epitimpanum, mesotimpanum, dan
hipotimpanum. Hipotimpanum adalah bagian dari telinga tengah yang terletak
lebih rendah dari apertura tuba Eustachius dan round window niche atau RWN.
Bagian dari telinga tengah ini berisi berbagai trabekula tulang dan tulang yang
melapisi bulbus jugularis. Mesotimpanum di bagian superior dibatasi oleh bagian
horizontal dari kanalis fasialis dan di bagian inferior oleh RWN. Daerah ini berisi
oval window dan round window, stapes, otot stapedius posterior, dan kanal untuk
otot tensor timpani di anterior. Pada oval window, kaki stapes dilekatkan oleh
ligamentum annularis. RWN membentuk cekungan yang dalam, sering ditutupi
oleh konfigurasi membran mukosa yang menutupi membran round window. RWM
adalah membran fibrosa yang ditutupi oleh lapisan mukosa yang berbentuk ginjal.
Di mesotimpanum ada dua cekungan tulang penting secara klinis. Cekungan yang
berada di lateral segmen vertikal dari kanalis fasialis disebut facial recess. Ruang
di sebelah medial dari kanalis fasialis disebut sinus timpani. Ini merupakan dua
cekungan yang penting secara klinis karena merupakan tempat bersarangnya
infeksi kronis telinga tengah dan harus ditangani dengan pembedahan. Facial
recess juga menyediakan akses ke ruang telinga tengah dan RWN dalam prosedur
pembedahan dimana dinding kanal telinga dipertahankan misalnya, mastoidektomi
dinding kanal utuh, implan koklea. Sebuah proyeksi tulang dari kanalis fasialis
(eminensia piramidalis) berisi tendon otot stapedius sebelum masuk ke leher
stapes. Bagian yang paling anterior dari ruang telinga tengah disebut
protimpanum, di superior dibatasi oleh orifisium tuba Eustachius dan di anterior

oleh kanalis arteri karotis internal.3,4


Epitimpanum merupakan bagian dari telinga tengah yang dibatasi oleh
atap telinga tengah di bagian superior yang disebut tegmen timpani. Tulang ini
berlanjut ke posterior sebagai tegmen mastoid. Dinding medial epitimpanum
dibentuk oleh tonjolan tulang kanalis semisirkularis bagian lateral dan superior.
Kepala dan leher maleus beserta persendiannya dengan badan dan prosesus brevis
serta sebagian prosesus longus dari inkus menempati sebagaian besar ruang dalam
epitimpanum. Ruang epitimpanum dihubungkan ke posterior oleh aditus ad
antrum ke kavum mastoid.3,4
Tulang-tulang pendengaran terdiri dari maleus, inkus dan stapes. Kepala
maleus dan badan inkus berfungsi sebagai unit suspensi oleh ligamentum di
epitimpanum. Ujung prosesus longus inkus berartikulasi pada sudut kanan dengan
kepala stapes. 5

40
Tuba Eustachius merupakan hubungan yang penting antara nasofaring dan
telinga tengah, yang bertanggung jawab terhadap proses pneumatisasi telinga tengah
dan mastoid serta mempertahankan tekanan normal antara telinga tengah dengan
atmosfer. Kerangka tiga seperempat medial tuba Eustachius merupakan tulang rawan

yang dikelilingi oleh jaringan lunak, lemak dan epitel saluran napas. 3
Di dalam telinga tengah terdapat dua otot, yaitu m. tensor timpani dan m.
stapedius. Mukosa telinga tengah, aditus, antrum dan sel-sel udara mastoid
merupakan kelanjutan mukosa nasofaring. Secara histologi tuba Eustachius
dilapisi oleh epitel bersilia, yang pseudostratified columnar pada bagian kartilago
dan yang columnar pada bagian tulang. Kavum timpani dilapisi oleh epitel
kolumnar besilia di bagian anterior dan inferior sedangkan pada bagian posterior
oleh epitel kuboid. Epitimpanum dilapisi oleh epitel tidak bersilia.3,4,5
Telinga dalam merupakan organ pendengaran dan keseimbangan yang
terdiri dari labirin tulang dan labirin membran. Labirin membran berisi endolimfa
sedangkan labirin tulang berisi perilimfa. Labirin tulang terdiri dari vestibulum,
kanalis semisirkularis dan koklea. Labirin membran terdiri dari duktus koklearis,
utrikulus, sakulus, duktus semisirkularis, duktus endolinfatikus dan sakus
endolinfatikus. Vestibulum adalah suatu ruangan kecil yang berbentuk oval
dengan ukuran sekitar 5x3 mm, memisahkan koklea dari kanalis semisirkularis.
Pada vestibulum terdapat lima muara kanalis semisirkularis, dimana kanalis
superior dan posterior bersatu membentuk krus komunis sebelum memasuki
vestibulum. Koklea terletak di depan vestibulum menyerupai rumah siput dengan
panjang sekitar 30-35 mm. Koklea membentuk dua setengah sampai dua
tigaperempat kali putaran dengan modiolus sebagai sumbunya yang berisi berkas
saraf dan suplai darah dari arteri koklearis. Serabut saraf ini berjalan ke lamina
spiralis ossea untuk mencapai sel-sel sensori organ Corti. Koklea bagian tulang
dibagi dua oleh suatu sekat. Bagian dalam sekat ini adalah lamina spiralis ossea
dan bagian luarnya adalah lamina spiralis membranasea, sehingga ruang yang
mengandung perilimfe terbagi dua yaitu skala vestibuli dan skala timpani. Duktus
koklearis berbentuk segitiga, dihubungkan dengan labirin tulang oleh jaringan ikat
penyambung periosteal dan mengandung end organ dari nervus koklearis dan

organ Corti.6,7

41
Gambar 2. Hubungan antar bagian di dalam telinga3

2.2. Vaskularisasi, Aliran Limfe dan Inervasi Telinga


Arteri aurikularis posterior dan cabang aurikulotemporal dari arteri
temporalis superfisialis berasal dari arteri karotis eksterna mengalirkan darah ke
aurikula dan liang telinga lateral. Cabang aurikularis profunda dari arteri
maksilaris memberi darah bagi aspek yang lebih medial dari liang telinga dan

permukaan luar dari membran timpani. 5


Vaskularisasi telinga tengah dilayani oleh 6 arteri, yaitu cabang anterior a.
maksilaris yang melayani membran timpani, cabang stilomastoid a. aurikularis
posterior yang melayani telinga tengah dan sel-sel udara mastoid, cabang petrosal
a. meningeal interna, cabang timpani superior a. meningeal interna, cabang a.
pterigoid dan cabang timpani a. karotis interna.5
Telinga dalam memperoleh vaskularisasi dari arteri labirin yang
merupakan cabang antero-inferior arteri serebelaris. Vena aurikularis posterior dan
temporalis superfisialis mengaliri liang telinga. Vena aurikularis posterior
bersambung dengan sinus sigmoid. Telinga tengah mengalirkan darah vena
melalui fleksus venosus pterigoideus dan sinus petrosus superior. Aliran darah
vena telinga dalam melalui v. auditori interna, v. akuaduktus koklearis dan v.
akuaduktus vestibularis. 5
Aliran limfa dari telinga tengah mengalir ke retrofaring dan kelenjar
parotis, sedangkan aliran limfa tuba Eustachius ke kelompok retrofaring.5

42
Aurikula dan kanalis akustikus eksternus disarafi oleh cabang aurikulo
temporal dari divisi mandibular nervus trigeminus, nervus aurikularis mayor dari
pleksus servikalis, cabang aurikula dari nervus vagus yaitu nervus Arnold serta
cabang dari nervus fasialis dan glosofaringeus. Bagian lateral, medial dan
posterior telinga disarafi oleh nervus aurikularis mayor. Nervus Arnold mensarafi
pars oseus liang telinga bawah, pars kartilago liang telinga posterior superior dan
segmen yang sesuai dari membran timpani dan simba konka. Liang telinga bagian
posterior superior disarafi oleh cabang dari nervus fasialis. Kontribusi nervus
trigeminus dan glosofaringeus tidak bisa digambarkan dengan baik.5,6
Persarafan utama telinga tengah dilayani oleh pleksus timpanikus dan saraf
dari Jacobson, yang menerima utama dari n. glosofaringeus. Pleksus timpanikus
memberikan persarafan pada permukaan medial membran timpani, kavum
timpani, sel-sel udara mastoid dan bagian tulang tuba Eustachius. Nervus korda
timpani merupakan cabang n. fasialis yang memasuki telinga tengah melalui
kanalikulus posterior dan berjalan ke permukaan medial membran timpani di
antara lengan maleus dan prosesus longus inkus di atas perlekatan tendon tensor
timpani. Korda timpani juga memberikan saraf pengecapan pada duapertiga
anterior lidah dan mensuplai serat-serat sekretomotor untuk glandula saliva

submaksilaris dan sublingualis.5,6

2.3 KOLESTEATOMA
2.3.1 Definisi
Kolesteatoma adalah suatu kista epitel yang dilapisi oleh epitel skuamosa
berlapis yang berisi deskuamasi keratin yang terperangkap dalam rongga
timpanomastoid dan dapat juga terperangkap dimanapun diantara bagian
pneumatik dari tulang temporal.7
Istilah kolesteatoma pertama sekali dikemukakan oleh Johannes Müller
pada tahun 1838 untuk menjelaskan apa yang kita sebut sebagai kista epidermal
pada tulang temporal yang berpneumatisasi. Friedmann pada tahun 1959
mendefinisikan kolesteatoma sebagai suatu struktur kistik yang dilapisi oleh
stratified squamous cell epithelium, terletak di atas stroma fibrous dengan
ketebalan yang bervariasi, yang dapat mengandung beberapa elemen dari mukosa
asalnya.8
Schuknecht (1974) seperti yang dikutip oleh Dornelles, dkk (2005)
mendefinisikan kolesteatoma sebagai akumulasi eksfoliasi keratin di dalam

43
telinga tengah atau pada area pneumatisasi tulang temporal, yang berasal dari
keratinized squamous epithelium. Secara informal kolesteatoma dapat
dikarakteristikkan sebagai “kulit di tempat yang salah”.9 Kolesteatoma telinga
tengah yang acquired (didapat) pertama sekali diterangkan oleh Curveilhier
(1829) dimana karakteristiknya adalah adanya invasi keratinized squamous
epithelium ke kavum timpani, yang berbeda dari columnar pseudostratified
ciliated epithelium, dengan sel goblet yang terdapat pada tuba auditorius atau
simple, cubic atau columnar squamous cell epithelium pada telinga tengah.
Berbeda dari namanya, kolesteatoma tidak mengandung lemak atau kolesterol di
dalam matriksnya.8

2.3.2 Klasifikasi Kolesteatoma


Kolesteatoma dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni kolesteatoma
kongenital dan kolesteatoma akuisita. Kolesteatoma akuisita kemudian dibagi lagi
menjadi dua yakni pimer dan sekunder. Kolesteatoma juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan lokasinya, antara lain kolesteatoma atik yang berasal dari retraksi pars
flasida dan biasanya meluas sampai aditus atau mastoid. Kolesteatoma sinus yang
berasal dari retraksi di bagian posterosuperior atau perforasi pada bagian pars
tensa. Kolesteatoma tensa yakni kolesteatoma yang berasal dari retraksi pada
bagian pars tensa.3
Kolesteatoma Kongenital
Kolesteatoma kongenital terjadi karena perkembangan dari proses inklusi
pada masa embrional atau dari sel-sel epitel embrional. Pada keadaan ini,
kolesteatoma ditemukan di bagian belakang dari membran timpani yang intak,
tanpa berlanjut ke saluran telinga luar, serta tanpa adanya faktor-faktor lain seperti
perforasi membran timpani, adanya riwayat infeksi pada telinga, otore dan riwayat
operasi telinga sebelumnya. Kolesteatoma tampak berupa kista epitel berwarna
putih yang timbul di dalam telinga tengah tanpa kontak dengan telinga luar, sering
pada bagian anterior mesotimpanum atau daerah sekitar tuba Eustachius (Gambar
3).3
Pada koleostoma kongenital, teori yang sering digunakan ialah teori
kegagal-an invousi. Pada teori kegagalan involusi, penebalan epitel ektodermal
pada bagian proksimal ganglion genikulatum terjadi selama masa per-kembangan
fetus. Involusi yang seharusnya terjadi pada waktu 33 minggu intrauterin tidak
terjadi. Epitel ini berasal dari jaringan ektodermal yang terbentuk pada minggu ke

44
10 intrauterin tanpa fungsi khusus. Bila tidak diresorbsi, maka struktur ini akan
tertinggal dan diperkirakan dapat membentuk kolesteatoma.3

Gambar 3. Kolesteatoma Kongenital (tampak


massa putih kecil yang terdapat di tengah-tengah
membran timpani kanan)3

Kolesteatoma akuisital
Kolesteatoma akuisita (didapat) dibagi menjadi primer dan sekunder.
a. Kolesteatoma akuisital primer
Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membrana timpani,
namun timbul akibat retraksi dari membran timpani pars flaksida akibat adanya
tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba (Teori Invaginasi).8
Kolesteatoma akuisital primer berawal dari retraksi pars flaksida di bagian medial
membran timpani yang terlalu dalam sehingga mencapai epitimpanum. Saat
proses ini berlanjut, dinding lateral dari epitimpanum secara perlahan
terkikis, menghasilkan defek pada dinding lateral epitimpanum yang perlahan
meluas. Membran timpani terus yang mengalami retraksi di bagian medial sampai
melewati pangkal dari tulang-tulang pendengaran hingga ke epitimpanum

posterior. Destruksi pada tulang-tulang pendengaran umum terjadi.8


b. Kolesteatoma akuisital sekunder
Merupakan kolesteatoma yang terbentuk setelah adanya perforasi
membran timpani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat masuknya epitel kulit
dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran tympani ke telinga tengah
(Teori Invasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi
infeksi yang berlangsung lama (Teori Implantasi). 8
Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan
kuman (infeksi), yang paling sering adalah Proteus dan Pseudomonas aeruginosa.
Sebaliknya infeksi dapat memicu respons imun lokal yang mengakibatkan
produksi berbagai mediator inflamasi dan berbagai sitokin. Sitokin yang
diidentifikasi terdapat pada matriks kolesteatoma adalah interleukin-1 (IL-1), 9

45
interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor-α (TNF-α), tumor growth factor (TGF).
Zat-zat ini dapat menstimulasi sel-sel keratinosit matriks kolesteatoma bersifat
hiperproliferatif, destruktif, dan mampu berangiogenesis.8
Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ di sekitarnya
serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap
tulang diperhebat oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri.
Proses nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirintitis,
meningitis, dan abses otak. 8
Terdapat empat teori yang berperan dalam etiopatogenesis dari
kolesteateoma akuisital primer yakni : 1) Invaginasi membran timpani, 2) migrasi
epitel melalui perforasi membrane timpani, 3) hiperplasia sel basal, dan 4)
metaplasia skuamosa. Sedangkan teori terjadinya kolesteatoma akuisital sekunder
ada 3 yaitu teori implantasi, teori metaplasia, dan teori invasi epitelial. 9,10
Teori Invaginasi
Teori ini diterima secara luas sebagai mekanisme penyebab terjadinya
kolesteatoma akuisital primer atau kolesteatoma atik. Pada teori ini dijelaskan
membran timpani mengalami retraksi ke bagian medial sebagai akibat tekanan
negatif pada telinga tengah yang kemungkinan disebabkan oleh disfungsi tuba
eustachius, inflamasi, atropi membran timpani, dan pneumatisasi mastoid yang
lemah. Sebagai akibat dari terjadinya retraksi yang progresif ke bagian dalam,
terbentuk kantong retraksi (retraction pocket) atau kista epitel skuamosa dalam
telinga tengah yang kemudian terbentuk lapisan deskuamasi epitel dengan kristal
kolestrin mengisi kantong. Kantong retraksi ini dapat berkembang karena
akumulasi debris, infeksi, inflamasi, dan akhirnya terbentuk kolesteatoma.
Sehingga bila ditemukan kasus dengan kantong retraksi khususnya pada bagian

atik, perlu dipertimbangkan kemungkinan terdapat kolesteatoma didalamnya. 9,10


Teori Invasi/Migrasi Epitel
Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan
permukaan luar dari membran timpani mempunyai kemampuan bermigrasi ke
telinga tengah melalui perforasi marginal atau perforasi atik. Ini didukung oleh
bukti percobaan yang menunjukkan bahwa sel epitel bermigrasi sepanjang
permukaan sampai ia menemukan epitel permukaan lain, dimana pada tempat
tersebut mereka berhenti bermigrasi, ini dinamakan inhibisi kontak. Bila mukosa
telinga tengah hancur karena infeksi, maka ini akan menyebabkan migrasi epitel
dari perforasi marginal. Menyokong teori ini van Blitterswijk dkk menyatakan

46
bahwa cytokeratin (CK) 10, yang merupakan intermediate filament protein dan
marker untuk epitel skuamosa, ditemukan pada epidermis liang telinga dan

matriks kolesteatoma tetapi tidak ada di mukosa telinga tengah. 9,10


Teori Metaplasia
Metaplasia dari lapisan epitel telinga tengah terjadi akibat infeksi atau peradangan
yang kronis. Teori ini melibatkan perubahan atau transformasi dari epitel selapis
kubis (cuboidal epithelium) menjadi epitel berlapis skuamosa berkeratin akibat
dari otitis media kronik atau rekuren. Epitel skuamosa berkeratin telah ditemukan
pada biopsi telinga tengah anak-anak dengan otitis media dan juga pada tikus
percobaan yang mengalami penurunan vitamin A. Beberapa faktor lain yang dapat
menyebabkan metaplasia, yaitu merokok, vitamin A, progesteron, serta variasi
kadar CO2, O2. 9,10
Teori Implantasi
Teori implantasi menjelaskan formasi kolesteatoma sebagai implantasi
iatrogenik kulit ke dalam telinga tengah atau gendang telinga akibat dari
pembedahan, benda asing atau trauma tekanan. Kolesteatoma dapat timbul
sekunder dari miringitomi oleh karena pemasangan tabung ventilasi atau dari
prosedur timpanoplasti. Pada teori ini kolesteatoma timbul akibat migrasi epitel
atau penempatan yang salah dari miringotomi atau perubahan letak flap membran
timpani ke dalam telinga tengah pada saat timpanoplasti. Kolesteatoma akuisita
sekunder juga diperkirakan timbul dari perkembangan perforasi akibat otitis media

akut nekrotik ketika masa kanak-kanak 9,10

(A) (B)
Gambar 4. A. Kolesteatoma akuisital primer, B Kolesteatoma akuisital sekunder3

47
2.4 KOLESTEATOMA KONGENITAL
2.4.1 Patogenesis Kolesteatoma Kongenital
Patogenesis kolesteatoma kongenital masih merupakan perdebatan para
ahli. Terdapat 4 teori tentang terbentuknya kolesteatoma kongenital yaitu teori
Epithelial rest, teori Invaginasi, teori kontaminasi amnion, dan teori migrasi.
Namun teori yang paling banyak dianut adalah teori Epithelial rest.11,12
Teori Epithelial rest
Teori ini didasarkan atas observasi Teed yang menemukan adanya struktur
epidermoid di telinga tengah pada fetus umur 5 bulan. Sel squamousa secara
umum ditemukan pada telinga tengah pada masa pertumbuhan. Epidermoid
formation (EF) bergerak ke tempat asalnya pada masa awal perkembangan
embriologis melalui pertumbuhan ke dalam sel ektodermal. Struktur ini berasal
dari celah brachial (brachial groove) yang pertama yang kemudian bergabung ke
dalam kantong pharyngeal (pharyngeal pouch). Pada fase primer tersebut
ektoderem dan endoderm terletak berdekatan tanpa mengintervensi sel
mesenkimal. Pada beberapa minggu kemudian epidermoid formation (EF)
menjadi semakin besar dan merupakan bagian yang paling aktif, sehingga mejadi
fokus dalam beberapa tahapan pada perkembangan telinga tengah dan membran
timpani pada masa selanjutnya. Dari cincin timpani (Tympanic Ring) di sekitar
precursor EF, lapisan tengah membran timpani diproduksi oleh konsentrasi
jaringan mesenkimal. Proses osifikasi dari cincin timpani terletak pada cabang
anterior dekat dengan prekursor EF dan menyebar dari titik tersebut menuju
struktur yang berbentuk seperti sepatu kuda. Perkembangan berikutnya pada

minggu ke 10 hingga minggu ke 33 yang pada akhirnya akan diabsorbsi. 11,12


Pada fase selanjutnya terjadi proses pembersihan dari jaringan mesenkimal
primitive. Kegagalan dari proses ini memberikan alasan logis bahwa kolesteatoma
kongenital merupakan hasil dari perkembangan EF yang terus menerus berlanjut
pada masa fetus. Pada stadium awal telinga tengah di isi oleh jaringan mesenkimal
primitive dimana jaringan ini secara perlahan lahan di absorbsi secara keseluruhan
atau terkadang masih menyisakan sisa jaringan dalam jumlah sedikit. Proses
pembersihan yang tidak sempurna ini sebagai awal terbentuknya kolesteatoma
yang menentukan lokasi maupun arah perkembangan dari kolesteatoma di telinga

tengah selanjutnya. 11,12

48
Teori Invaginasi
Teori ini menyatakan bahwa terjadi migrasi dari sel epitel skuamosa
normal dari eksternal kanal ke dalam cincin timpani dan telinga tengah sebagai
sumber dari kolesteatoma kongenital. Teori ini berdasarkan atas terjadinya
inflamasi pada membran timpani yang terletak dekat dengan malleus
menyebabkan ivaginasi epitel yang akan berkembang menjadi kolestetoma. Proses
ini terjadi pada masa inntra uterin atau selama masa perkembangan anak.11,12
Teori Kontaminasi Cairan Amnion
Kolesteatoma berkembang dari inokulasi telinga tengah dengan sel-sel
epidermal yang ada di cairan amnion, yang memasuki anterosuperior
mesotimpanum melalui tuba eustachius. 11,12
Teori Migrasi
Anulus timpanikus mempunyai peranan yang penting dalam mengatur
proliferasi dan migrasi dari kulit liang telinga selama masa perkembangan janin.
Hilangnya jaringan ikat dari anulus timpanikus menyebabkan lapisan ektodermal
bermigrasi dari liang telinga ke telinga tengah dan membentuk kolesteatoma. 11,12

2.4.2 Histopatologi
Berdasarkan histopatologi, kombinasi dari material keratin dan stratified
squamous epithelium merupakan hasil pemeriksaan patologi untuk kolesteatoma.
Adanya epitel skuamosa di telinga tengah adalah abnormal. Pada keadaan normal
telinga tengah dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia di bagian anterior dan inferior
kavum timpani serta epitel kuboidal di bagian tengah dari kavum timpani dan di
atik. Tidak seperti yang terdapat pada epidermis kulit, epitel skuamosa ini tidak
mempunyai struktur adneksa. Hal ini mungkin karena letaknya berbatasan dengan
jaringan granulasi atau fibrosa yang mengalami inflamasi, dan juga reaksi giant
cell pada material keratin.13,14
Secara histologis kolesteatoma dapat dibagi dua yaitu matriks (epithelium)
dan peri-matriks (underlying connective tissue). Matriks kolesteatoma mempunyai
4 lapisan yang berbeda yaitu basal, spinosus, granulous dan stratum korneum,
seperti yang terdapat pada kulit yang tipis. Peri-matriks ditandai oleh adanya
jaringan ikat longgar yang terbuat dari kolagen dan serat elastis, fibroblas and sel
inflamasi. Analisis histologis dari matriks kolesteatoma memperlihatkan pola
yang berbeda yaitu atrofi, akantosis, hiperplasia lapisan basal dan epithelial

cones.13,14

49
Penampang mikroskopis dari matrik kolesteatoma kongenital terdiri dari
epidermis, sel basal, sel maplhigian, satu lapisan sel granular. Jika dibandingkan
dengan kolesteatoma aquisitial, terdapat perbedaan yang signifikan terhadap
ketebalan pada inti sel dimana sel epitel dari kolesteatoma congenital terdiri dari
empat lapisan, sedangkan pada kolesteatoma aquisital terdiri dari 9 sampai dengan
lima belas lapisan. Komponen sel pada koleteatoma kongenital menunjukkan
ukuran inti sel yang lebih kecil dan sitoplasma tanpa nukleuolus, sedangkan pada
kolesteatoma akuisitial inti sel dan sitoplasma tampak lebih besar dan nucleolus
yang menonjol pada sel. Tidak seperti kolesteatoma aquisitial, pertumbuhan ke
bawah dari epitel tidak pernah terlihat dari sel basal pada koleteatoma

kongenital.13,14

Gambar 5. Penampang mikroskopis kolesteatoma yang menunjukkan massa


keratin di tengah-tengah (cystic content) yang dikelilingi oleh lapisan tipis
epithelium skuamous berlapis (matriks) dan jarigan ikat fibrosa (perimatriks)15

2.4.3 Mekanisme Destruksi Tulang Oleh Kolesteatom


Destruksi tulang pada telinga tengah dapat ditemukan intraoperatif pada
pasien kolesteatoma kongenital. Kolesteatom ini dapat mendekstruksi tulang
dengan beberapa cara yaitu stress mekanik (penekanan) dan sekresi enzim oleh
jaringan granulasi.16,17
Destruksi tulang oleh kolesteatoma terutama pada incus telah ditemukan
pada 80% pasien dengan fistula labirin. Kasus yang terjadi pada sisi lateral kanalis
semicularis ditemukan pada 10% pasien dengan kolesteatoma. Destruksi tulang
oleh kolesteatoma biasa terjadi pada scutum dan ossicular chains. Beberapa
penelitian mengemukakan bahwa destruksi tulang diakibatkan faktor mekanik.

50
Sebagai contoh, produksi yang berlebihan dan akumulasi dari keratin debris pada
telinga tengah dan kavitas mastoid meningkatkan tekanan pada telinga tengah dan
mastoid yang mengakibatkan berkurangnya suplai darah pada telinga tengah dan
kavitas mastoid sihingga menyebabkan dekstruksi tulang. Beberapa factor
humoral dapat menstimulasi dan memegang peranan penting pada pathogenesis
dekstruksi tulang oleh kolesteatoma, seperti endotoksin yang diproduksi bakteri,
EGF (epithelial growth factor) dan reseptornya serta TNFα (tumor necrosis factor
α) yang disekresikan oleh sel epitel pada kolesteatoma. Inflamasi pada subepitel
sering dijumpai pada pasien kolesteatoma. Sel yang mengalami inflamasi dapat
memproduksi protein, asam fosfat, osteoclast activating factors dan kolagenase

yang dapat meresobsi tulang.17


Meskipun hiperproliferasi adalah kunci karakteristik pada kolesteatoma,
proliferasi dari epitel kolesteatoma tidak sebesar pada sel kanker dan lebih seperti
program kematian sel dan perubahan akhir sel epitel. Apoptosis yang merupakan
regulasi dengan menginduksi dan faktor inhibitor. FasL, Fas dan TNF α
menginduksi aktifasi apoptosis tetapi juga menghambat proses apoptosis. FasL
selain menginduksi apoptosis juga menginaktifasi osteoblas, sehingga terjadilah

resobsi tulang.18,19

51
Gambar 6. Mekanisme dekstuksi tulang oleh kolesteatoma. 17

Mekanisme awal dekstruksi tulang oleh kolesteatoma diawali penekanan


akibat akumulasi keratin dan produksi buangan lainnya menyebabkan stress
mekanik. Stress mekanik menginduksi produksi MIF (Macrofage Migration
Inhibitory Factor).17
MIF menginduksi MMPs (Matriks Metalloproteinase). MMPs bekerja
pada angiogenesis dan proliferasi sel. Degradasi matriks ekstraseluler adalah dasar
untuk pembentukan kolesteatoma dan ini akibat induksi yang diaktifasi oleh
MMPs. MMps berperan dalam dekstruksi tulang dan degradasi ECM. Pada waktu
yang sama MIF juga meningkatkan produksi faktor pro-inflamasi termasuk sitokin
dan kemokin oleh sel makrofag. Khususnya IL-1, IL-6 dan TNFα memegang
peranan pada dekstruksi tulang. Selain itu osteoklas dan osteoblas diaktifasi oleh
sitokin dan kemokin lewat MIF. Jadi kemungkinan MIF memegang adalah faktor

peranan kunci pada mekanisme dekstruksi tulang oleh kolesteatom. 17

2.3.5 Staging
Para penulis telah berusaha membagi tipe atau stadium dari kolesteatom
kongenital yang menggambarkan lokasi, luas dari kolesteatom dan koneksi dengan
jaringan sekitar. Namun belum ada satu kesepakatan tentang tipe stadium yang
dimaksud. Potsic dkk, membagi kolesteatom menjadi 4 stadium yaitu; 1.
Mengenai satu kuadran tidak mengenai tulang pendengaran dan mastoid. 2.
Multipel kuadran tidak mengenai tulang pendengaran dan mastoid. 3. Mengenai

tulang pendengaran tidak mengenai mastoid. 4. Telah mengenai mastoid.20

52
Sedangkan Nelson dkk membagi kolesteatom kongenital menjadi 3 tipe
yaitu: 1. Lesi terbatas di telinga tengah tanpa kerusakan tulang pendengaran,
kecuali manubrium maleus. 2. Lesi telah mengenai tulang pendengaran, kuadran
posterosuperior maupun atik. 3. Lesi telah mengenai mastoid.21

2.4.4 Gejala Klinis


Gejala klinis dari kolesteatoma kongenital sangat tergantung dari letak,
ukuran, histologi dan komplikasi yang ditimbulkanya. Presentasi paling umum
dari kolesteatoma kongenital adalah massa pada telinga tengah, berwarna putih
terletak di belakang membran timpani yang intak dan sering ditemukan tanpa
sengaja saat melakukan pemeriksaan otologi rutin maupun prosedur miringotmi.22
Gejala dapat muncul jika terjadi perluasan atau menyebabkan kerusakan
pada daerah sekitarnya. Gejala klinis yang timbul dapat berupa gangguan
pendengaran, otitis media efusi, gangguan keseimbangan, kelumpuhan saraf
fasialis, fistula retroaurikuler, meningitis, maupun gejala akibat perluasan ke
intrakranial.22
Gangguan pendengaran juga merupakan gejala yang terjadi pada
kolesteatoma yang besar dan mengisi ruang telinga tengah dengan epitel
deskuamasi dengan atau tanpa sekret mukopurulen, sehingga menyebabkan
kerusakan osikular yang akhirnya menyebabkan terjadinya tuli konduktif yang
berat.22
Pusing dan nyeri kepala adalah gejala umum relatif pada kolesteatoma,
tetapi tidak akan terjadi apabila tidak ada fistula labirin akibat erosi tulang atau
jika kolesteatoma mendesak langsung pada stapes footplate. Pusing dan nyeri
kepala adalah gejala yang mengkhawatirkan karena merupakan pertanda dari
perkembangan komplikasi yang lebih serius.22
Pada pemeriksaan fisik ditemukan lokasi yang paling umum dari
koleteatoma kongenital adalah kuadran superior anterior membran timpani, diikuti
oleh kuadran posterior-superior. Lesi ditemukan pada usia dewasa mungkin
berada di posterior mesotympanum, sebagai dampak dari pertumbuhan terus

kolesteatoma.22

2.4.5 Kriteria Diagnosis


Secara umum, kolesteatoma kongenital terjadi karena perkembangan dari
proses pada masa embrional. Karena itu kolesteatoma tersebut ditemui di belakang

53
dari membran tympani yang intak, tanpa berlanjut ke saluran telinga luar dengan
tidak adanya faktor-faktor yang lain seperti perforasi dari membran tympani atau
adanya riwayat infeksi pada telinga maupun tindakan operasi. Beberapa pakar
yang mengemukakan kriteria diagnosis kolestetoma kongenital adalah Derlacki
dan Clemis seperti dikutip Mc Gill dkk yang menyatakan bahwa kriteria diagnosis
kolesteatoma kongenital adalah jika ditemukan adanya massa putih di belakang
membran timpani yang utuh, tidak ada riwayat otitis media, otore maupun

perforasi membran timpani dan riwayat operasi telinga sebelumnya.23

Namun definisi ini telah berubah setelah diketahui bahwa hampir 70%
anak akan mengalami sekurang-kurangnya satu kali episode otitis media. Oleh
karena itu Levenson, dkk (1989) membuat modifikasi definisi kolesteatoma
kongenital yaitu:24
12. Terdapatnya masa putih pada membran tympani yang normal
13. Pars tensa dan flaccida yang normal
14. Tidak adanya riwayat otore ataupun perforasi sebelumnya
15. Tidak ada riwayat tindakan otologi sebelumnya
16. Riwayat otitis media sebelumnya bukan merupakan kriteria eksklusi

2.4.6 Pemeriksaan Penunjang


Kolesteatoma kongenital di daerah tulang temporal sering ditemukan
secara tidak sengaja pada saat melakukan pemeriksaan CT-Scan pada daerah
temporal atau setelah adanya komplikasi seperti penurunan pendengaran,
kelumpuhan saraf fasialis, fistula retro aurikuler, otitis media efusi (OME) dan
komplikasi meningitis.25
Kolesteatoma di telinga tengah juga dapat terdeteksi saat melakukan
otoskopi, dimana terlihat seperti mutiara dibelakang membran timpani yang utuh.
Saat ini diagnosis kolesteatoma kongenital telah dapat di diagnosis lebih awal
karena semakin meningkatnya kemampuan diagnosis dengan berbagai sarana
penunjang dan semakin meningkatnya pemeriksaan skrining pendengaran. 25
Pemeriksaan CT-Scan diperlukan untuk memastikan lokasi dan perluasan
kolesteatoma. Pemeriksaan ini tidak harus dilakukan pada semua kasus, tapi hanya
untuk kasus dimana batas posterior atau superior dari kolesteatoma tidak dapat
terlihat dengan otoskop. Gambaran kolesteatoma terlihat berupa gambaran

54
hipodens dengan batas yang jelas dan dapat juga disertai gambaran destruksi pada
tulang.(gambar 7) 25,26
MRI digunakan apabila ada masalah sangat spesifik yang diperkirakan
dapat melibatkan jaringan lunak sekitarnya, seperti keterlibatan atau invasi dural,
abses epidural atau subdural, herniasi otak ke rongga mastoid, peradangan pada
labirin membran atau saraf fasialis serta trombosis sinus sigmoid.25,26

A B
Gambar.7 A Kolesteatoma Kongenital (tanda panah). Tampak massa hipodens di
dalam epitimpanum dibelakang membrane timpani yang intak
B. Kolesteatoma Kongenital (tanda panah). Tampak erosi tulang di
dalam epitimpanum anterior oleh karena kolesteatoma

2.4.7 Penatalaksanaan
Gold standar penatalaksanaan kolesteatoma kongenital adalah pembedahan
(operasi) yang bertujuan untuk mengangkat kolesteatoma secara komplit. Adanya
sisa kolesteatoma harus dihindari karena akan menyebabkan terjadinya rekurensi.
Pemilihan jenis operasi disesuaikan dengan stadium atau tipe kolesteatoma
tersebut. Operasi dapat hanya berupa timpanomastoidektomi hingga
mastoidektomi radikal dinding runtuh.27
Dalam keadaan tertentu, ahli bedah dapat membuat keputusan untuk
menggunakan teknik canal wall up atau canal wall down. Jika pasien memiliki
beberapa episode kekambuhan dari kolesteatoma dan keinginan untuk
menghindari operasi berulang, teknik canal wall down adalah yang paling sesuai.
Beberapa pasien yang tidak dapat dilakukan tindakan canal-wall down dapat
dilakukan prosedur operasi dengan tertutup (canal wall-up) dengan kemungkinan
bahwa mereka memahami bahwa penyakit lebih mungkin kambuh dan mereka
mungkin membutuhkan beberapa serial prosedur pembedahan. Meskipun semua

55
kelebihan dan kekurangan kedua teknik operasi itu menjadi relatif di tangan ahli
bedah yang berpengalaman, tiap ahli bedah telinga mempunyai alasan sendiri
mengapa memilih satu teknik dari teknik yang lain. Hal yang jelas berbeda adalah
bahwa timpanoplasti dinding utuh (canal wall-up) berusaha maksimal
mempertahankan bentuk fisiologis liang telinga dan telinga tengah.27,28
Prosedur Canal wall down
Canal wall down adalah tindakan membuang seluruh sel-sel mastoid di
rongga mastoid, meruntuhkan seluruh dinding kanalis akustikus eksternus
posterior, pembersihan total sel-sel mastoid yang memiliki drainase ke kavum
timpani.
2. Mastoidektomi radikal
Prosedur ini membersihkan dan mengangkat semua kolesteatoma, termasuk
dinding posterior liang telinga, sehingga meninggalkan kavum mastoid
berhubungan langsung dengan liang telinga. Pada cara ini dilakukan pembersihan
total sel-sel mastoid di sudut sinodura, di daerah segitiga Trautmann, di sekitar
kanalis fasialis, di sekitar liang telinga yaitu prosesus zigomatikus, juga di
prosesus mastoideus sampai ke ujung mastoid. Kemudian membuang inkus dan
maleus, hanya stapes atau sisa stapes yang dipertahankan, sehingga membentuk
kavitas yang merupakan gabungan rongga mastoid, kavum timpani dan liang
telinga. Mukosa kavum timpani juga dibuang seluruhnya, muara tuba eustachius

ditutup dengan tandur jaringan lunak.27


Kerugian cara ini adalah kesulitan rekonstruksi membran timpani,
sehingga terdapat kesulitan dalam usaha memperbaiki pendengaran penderita
namun dengan teknik ini dapat dicapai suatu safe ear. Untuk kasus kolesteatoma
yang lebih lanjut dengan perluasan yang hebat, mastoidektomi radikal perlu
dipertimbangkan tanpa melihat kemungkinan mempertahankan fungsi
pendengaran.27
2. Mastoidektomi radikal modifikasi
Operasi ini bertujuan untuk eradikasi penyakit sehingga epitimpani,
antrum mastoid dan liang telinga menjadi satu rongga yang berhubungan langsung
dengan dunia luar melalui meatus akustikus eksternus. Tindakan ini seperti
mastoidektomi radikal, kecuali tetap mempertahankan osikel dan membran
timpani yang ada untuk mempertahankan fungsi transformasi suara. Teknik
operasi ini adalah dengan membersihkan seluruh rongga mastoid, merendahkan
dinding posterior liang telinga, dan diikuti dengan tindakan timpanoplasti. Dengan

56
operasi ini fungsi pendengaran dapat dipertahankan. Indikasi utama operasi ini
adalah adanya kolesteatoma di atik dan antrum dengan mesotimpanum normal dan

defek hanya pada pars flaksida.27,28

Gambar 8. Canal wall down28

57
Prosedur Canal Wall Up
Kolesteatoma dibuang dengan pendekatan kombinasi melalui mastoid dan liang
telinga, tanpa menghancurkan dinding posterior liang telinga. Intact canal wall
pada prinsipnya adalah mengangkat secara komplit matriks kolesteatoma tanpa
merusak anatomi liang telinga luar. Pendekatan secara kombinasi transkanal dan
transmastoid dapat mengeluarkan massa kolesteatoma yang menerobos facial
recess. Kolesteatoma di sinus timpani sulit dikeluarkan karena lapang pandang
yang terbatas pada daerah ini. Timpanoplasti dinding utuh merupakan modifikasi
dari mastoidektomi radikal, bedanya adalah mukosa kavum timpani dan sisa
tulang-tulang pendengaran dipertahankan setelah proses patologis dibersihkan.
Tuba eustachius tetap dipertahankan dan dibersihkan agar terbuka. Kemudian
kavitas operasi ditutup dengan fasia m.temporalis baik berupa free fascia graft dan

dilakukan juga rekonstruksi tulang-tulang pendengaran.28

2.4.8 Komplikasi
Komplikasi dari kolesteatoma kongenital seperti parese nervus fasialis, tuli
saraf, gangguan keseimbangan, fistel labirin, trauma pada sinus sigmoid, bulbus
jugularis dan kebocoran likuor serebrospinal. Komplikasi dari tindakan operasi
padamastoidektomi radikal maupun mastoidektomi dengan modifikasi dibagi
berdasarkan komplikasi segera dan komplikasi lambat. Infeksi pasca-operasi dapat
dimasukkan sebagai komplikasi segera.26
Komplikasi lambat termasuk kolesteatoma rekuren, reperforasi, lateralisasi
tandur, stenosis liang telinga luar, displasi atau lepasnya prostesis tulang
pendengaran yang dipasang. Trauma nervus fasialis yang paling sering terjadi
adalah pada pars vertikalis saat melakukan mastoidektomi, bisa juga terjadi pada
pars horizontal saat manipulasi daerah di dekat stapes atau mengorek daerah
bawah inkus baik dari arah mastoid ataupun dari arah kavum timpani. Trauma
dapat lebih mudah terjadi bila topografi daerah sekitarnya tidak dikenali dengan
baik, misalnya pada kelainan letak kongenital, jaringan parut karena operasi
sebelumnya, destruksi kanalis fasialis karena kolesteatoma. 26
Trauma operasi terhadap labirin sulit diketahui dengan segera, sebab
vertigo pasca-operasi dapat terjadi hanya karena iritasi selama operasi dan belum
tentu karena cedera operasi. Manipulasi di daerah aditus ad antrum dan sekitarnya

58
pada lapangan operasi yang ditutupi oleh jaringan kolesteatoma dan matriks
koleteatoma dapat menyebabkan fistel labirin. 26
Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan memperburuk
system konduksi telinga tengah sehingga sedapat mungkin langsung di
rekonstruksi. Trauma terhadap dinding sinus dan duramater yang mengakibatkan
terjadi perdarahan dan bocornya cairan cerebrospinal, bila tidak luas dapat
ditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan tandu komposit sampai
kebocoran berhenti. Trauma pada sinus lateralis, sinus sigmoid, bulbus jugularis

dan vena emissari dapat menyebabkan perdarahan hebat. 26

2.4.9 Prognosis
Mengeliminasi kolesteatoma kongenital hampir selalu berhasil, namun
mungkin juga memerlukan beberapa kali pembedahan. Karena pada umumnya
pembedahan dilakukan dengan teknologi yang lebih modern, komplikasi dari
pertumbuhan tidak terkendali dari kolesteatoma sekarang ini jarang terjadi.
Radikal mastoiddektomi dinding runtuh menjanjikan tingkat kekambuhan yang
sangat rendah dari kolesteatoma. Pembedahan ulang pada kolesteatoma terjadi
pada 5% kasus, yang bila dibandingkan dengan tingkat kekambuhan timpanoplasti

dinding utuh yang mencapai 20-40%.21

III. LAPORAN KASUS


Pasien perempuan umur 21 tahun datang ke poliklinik RSUP Sanglah
Denpasar pada tanggal 7 Februari 2017 dengan keluhan telinga kanan keluar
cairan berwarna putih sejak 1 bulan yang lalu. Kadang-kadang juga keluar darah
dan disertai nyeri di dalam liang telinga kanan. Pendengaran pada telinga kanan
dirasakan berkurang sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu. Demam tidak ada,
riwayat trauma pada telinga kanan tidak ada, riwayat keluar cairan dari telinga
tidak ada, riwayat wajah mencong tidak ada, pusing berputar tidak ada, tidak ada
sakit kepala hebat yang disertai mual dan muntah, riwayat operasi di telinga
sebelumnya tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik, status umum didapatkan keadaan umum baik,
kesadaran compos mentis. Pada status lokalis THT-KL didapatkan pada telinga
kanan : daun telinga tidak ada kelainan, nyeri tekan tragus tidak ada, nyeri tarik
daun telinga tidak ada, retroaurikula tidak ada kelainan, liang telinga sempit dan
terdapat sekret, terdapat jaringan granulasi yang menutupi liang telinga, asal

59
jaringan granulasi sukar ditentukan, membran timpani tidak dapat dinilai. Pada
telinga kiri : daun telinga tidak ada kelainan, retroaurikula tidak ada kelainan,
liang telinga lapang secret tidak ada, membrane timpani intak reflex cahaya ada.
Pada pemeriksaan hidung dan tenggorok dalam batas normal. Pada leher
tidak ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan
penala frekwensi 512 Hz kesan tuli konduktif telinga kanan (Tabel 1) Tabel 1.
Hasil Pemeriksaan dengan garputala 512 Hz
Tes Penala Telinga Kanan Telinga Kiri
Rinne Negative Positif
Weber Lateralisasi ke kanan
Schwabach Memanjang Sesuai pemeriksa

Hasil pemeriksaan rontgen mastoid posisi schuller didapatkan pada mastoid kanan
tampak air cell menghilang. Tampak area lusen dengan sebagian tampak sklerotik
pada periantral triangle. Kesan mastoiditis kronis desktra dengan kecurigaan
adanya kolesteatoma. (Gambar 8)

Gambar 9. Hasil rontgen Schuller

60
Kemudian dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala. Dari hasil pemeriksaan
tomografi komputer didapatkan air cell pada mastoid kanan menghilang kesan
mastoiditis kronis dekstra. (Gambar 9)

Gambar 10. Hasil CT Scan potongan axial

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Pasien ini di diagnosis dengan suspek Otitis Media
Supuratif Kronik (OMSK) dekstra tipe berbahaya, dengan diagnosis banding
kolesteatoma kongenital. Pasien direncanakan dilakukan tindakan operasi
mastoidektomi radikal dengan anestesi umum.
Persiapan pra-operasi, didapatkan hasil pemeriksaan darah yakni :
Haemoglobin : 13,27gr%, Leukosit: 9300/mm3, Hematokrit: 45%, Trombosit:
336.000/mm3, pTT: 12,2, APTT: 27,6. Pemeriksaan foto thoraks : cord an pulmo
tak tampak kelainan. Pada pemeriksaan fungsi keseimbangan dan saraf fasialis
tidak ditemukan kelainan.
Pada pemeriksaan Audiometri didapatkan telinga kanan dengan tuli
konduktif derajat sedang dengan ambang dengar 51,25 dB, sedangkan telinga kiri
didpatkan pendengaran normal (normal hearing) dengan ambang dengar 13,5 dB.

61
Gambar 11. Audiogram sebelum operasi
Pada tanggal 21 April 2017 pasien dilakukan tindakan operasi. Operasi
dimulai dengan pasien tidur terlentang di meja operasi dalam pengaruh anestesi
umum dan teknik hipotensi. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada
lapangan operasi dan dipasang duk steril. Dilakukan evaluasi telinga kanan
dengan menggunakan mikroskop, terlihat liang telinga sempit dan terdapat
jaringan granulasi, membran timpani tidak dapat dinilai. Dibuat penandaan pada 3
2. dari sulkus retroaurikula dekstra dan dilakukan infiltrasi pada daerah
penandaan dengan epinefrin 1:200.000. Insisis pada daerah penandaan tegak lurus
terhadap kulit dan tangensial terhadap liang telinga. Dipasang retractor dan
korteks mastoid dipaparkan.
Dibuat garis imajiner membentuk segitiga Mc Ewen sebagai penanda
dalam melakukan pengeboran pada korteks mastoid. Tampak korteks mastoid
destruksi oleh kolesteatoma yang memenuhi rongga mastoid. Dinding posterior
liang telinga sebagian telah mengalami destruksi. Jaringan granulasi keluar
melalui dinding liang telinga yang terdestruksi ke liang telinga. Jaringan granulasi
dibersihkan semaksimal mungkin. Dilakukan evaluasi kembali membran timpani,
didapatkan membran timpani intak.
Dilakukan timpanoplasti dinding runtuh, pembersihan kolesteatoma pada
rongga mastoid dan kavum timpani, tampak osikel maleus yang masih tersisa,
dinding posterior liang telinga diruntuhkan, dilakukan meatoplasti sehingga
kavum mastoid dengan liang telinga luar menyatu dengan tetap mempertahankan
membran timpani.

62
Gambar 12 . Kolesteatoma pada kavum mastoid sampai ke kavum timpani

Luka operasi dijahit lapis demi lapis dan rongga operasi diberi tampon
sofratul. Dipasang perban dan dilakukan balut tekan dengan menggunakan
elastomol. Operasi selesai. Lama operasi berkisar 4 jam. Jaringan yang berasal
dari kavum mastoid dan kavum timpani dilakukan pemeriksaan patologi anatomi.
Diagnosis pasca operasi adalah kolesteatoma kongenital post
mastoidektomi radikal. Terapi post operasi diberikan ceftriaxone 2x1gram iv,
deksametason 3 x5mg iv diberikan secara tapering off, tramadol drip 100mg
dalam 500cc NaCl 0,9% per 8 jam (selama 1 hari). Pada follow up segera setelah
operasi tidak ditemukan adanya lei saraf fasialis
Pada tanggal 22 April 2017, keadaan umum baik, sadar, keluhan pusing
tidak ada, wajah mencong tidak ada, demam tidak ada, kemudian dilakukan
pelepasan elastomol. Pada tanggal 23 April 2017 drain dibuka, tidak terdapat
darah merembes dari luka operasi, kemudian dilakukan rawat luka. Terapi
dilanjutkan ceftriaxone 2x1gram iv, deksametason 3 x5mg iv diberikan secara
tapering off, parasetamol 3x500mg io.
Pada tanggal 24 April 2017 keadaan umum baik, keluhan tidak ada, luka
operasi terawat baik, tidak ada darah merembes dari liang telinga dan pasien
dipulangkan dan diberikan terapi levofloxacin 1x500 mg io, parasetamol 3x500

63
mg io. Pada tanggal 28 April 2017 pasien kontrol ke poli THT-KL, dilakukan
perawatan luka, aff hecting luka operasi dan pelepasan tampon eksternal pada
liang telinga kanan.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi menunjukkan gambaran kolesteatoma.
Pada Tanggal 5 Mei 2017 dilakukan pelepasan tampon sofratul pada liang telinga
kanan, dilanjutkan dengan pemberian ofloxacin tetes telinga 2x 6 tetes pada
telinga kanan.

Gambar 13. Penampang mikroskopis kolesteatoma

Pada tanggal 2 Juni 2017 pasien kontrol kembali dengan kondisi liang
telinga bersih dan luka paska operasi yang sudah kering. Kemudian dilakukan
pemeriksaan audiometri evaluasi dengan hasil : telinga kanan dengan pendengaran
normal yakni 17,5dB

64
Gambar 14. Audiogram paska operasi

IV. DISKUSI
Telah dilaporkan satu kasus seorang perempuan berumur 21 tahun dengan
diagnosis kolesteatoma kongenital. Kolesteatoma kongenital berasal dari sisa
epithelial yang terperangkap di dalam tulang temporal selama embriogenesis dan
dapat ditemukan pada semua kelompok umur dari anak-anak sampai dengan
dewasa.
Kasus kolesteatoma kongenital merupakan kasus yang relatif jarang terjadi
dimana kolesteatoma kongenital mengalami pertumbuhan yang progresif dan
umumnya muncul pada usia yang lebih lanjut dengan dominan pada laki-laki.
Goh, dkk19 melaporkan hasil penelitian retrospektif dari tahun 1999 sampai
dengan 2008 terdapat 5 kasus kolesteatoma kongenital atau sebesar 12,2% dengan
rentang usia 5-18 tahun. Didapatkan laki-laki lebih banyak yakni 3 laki-laki dan 2
perempuan Sedangkan penelitian oleh Park Ho, dkk29 dari tahun 1995 sampai
dengan 2006 diperoleh 35 kasus kolesteatoma kongenital telinga tengah dengan
rentang usia 1-13 tahun, dengan perbandingan laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan yakni 3,4:1. Kojima,dkk30 melaporkan 48 kasus kolesteatoma
kongenital dengan rentang usia 2-62 tahun dengan rata-rata 16,7 tahun.

Gejala klinis pada pasien ini berupa keluar secket dari liang telinga yang
kadang-kadang diserta darah dan terjadi penurunan pendengaran. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Park Ho,dkk29 penurunan pendengaran merupakan
keluhan terbanyak dan keluhan yang menyebabkan pasien datang untuk berobat.

65
Diperoleh persentase 29% untuk keluhan penurunan pendengaran, otalgia sebesar
20%, tinnitus 11,4%, dan rasa penuh ditelinga sebesar 8,5%. Penelitian oleh
Kojima, dkk30 didapatkan 60,3% pasien datang dengan keluhan utama penurunan
pendengaran sementara 17,5% didapatkan pasien dengan keluhan otalgia.
Steward,dkk31 mendapatkan bahwa penurunan pendengaran dan otore merupakan
keluhan terbanyak dilaporkan masing-masing 73% dan 55%. Otore terjadi akibat
adanya kolesteatoma yang mendestruksi dinding posterior liang telinga sehingga
terbentuk jaringan granulasi. Kolesteatoma dapat mengalami infeksi sehingga
menimbulkan gejala seperti OMSK.
Diagnosis sebelum operasi diduga OMSK tipe berbahaya dekstra karena
dalam perjalanan penyakit terdapat jaringan granulasi pada liang telinga kanan
yang mengakibatkan keluar sekret dan kadang-kadang disertai darah sejak 1 tahun
yang lalu. Membran timpani sulit untuk dinilai sampai saaat operasi. Kolesteatoma
kongenital sering terlambat didiagnosis karena pada awalnya sering tidak
memberikan gejala (asimtomatik). Biasanya pasien datang setelah ada komplikasi
yang sulit dibedakan dengan OMSK tipe berbahaya. Penelitian oleh Park
Ho,dkk29 diperoleh sebanyak 17 kasus (63%) dari 27 kasus kolesteatoma
congenital, pasien didiagnosis kolesteatoma congenital setelah lesi meluas ke
mastoid.
Pada pasien ini hasil rontgen Schuller didapatkan gambaran aircell
mastoid menghilang, tampak area lusen dengan sebagian tampak sklerotik pada
periantral triangle mengesankan suatu mastoiditis kronis dengan kecurigaan
adanya kolesteatoma. Hasil tomografi computer temporal terlihat gambaran air
cell yang menghilang kesan mastoiditis kronis dekstra.
Foto polos posisi Schuller masih digunakan untuk menilai keadaan telinga
tengah dalam tulang temporal. Posisi Schuller menggambarkan penampakan
lateral dari mastoid. Pada posisi ini terlihat perluasan pneumatisasi mastoid,
lempeng tegmen yang membatasi sel mastoid dengan jaringan otak, dan lempeng
sinus yang menandai batas sel mastoid dengan sinus lateral. Kolesteatoma
ditandai dengan erosi tulang yang tampak sebagai radiolusen dibatasi oleh tulang
sklerotik. Pemeriksaan penunjang CT Scan diperlukan untuk menentukan lokasi
kolesteatoma serta perluasannya. Gambaran kolesteatoma akan terlihat berupa
gambaran hipodens dengan batas yang jelas serta mendestruksi tulang baik berupa

erosi pada tegmen maupun sinus sigmoid.26

66
Berdasarkan temuan operasi dimana membran timpani yang masih utuh
ditegakkan diagnosis kolesteatoma kongenital telinga kanan, Ini sesuai dengan
kriteria Derlacki dan Clemis seperti dikutip Mc Gill, dkk23 yang kemudian

dimodifikasi oleh Levenson24 menyatakan bahwa diagnosis kolesteatoma


kongenital ditegakkan jika ditemukan kolesteatoma dengan membrane timpani
utuh, tidak ada riwayat otore maupun operasi telinga sebelumnya.
Pada temuan operasi didapatkan kolesteatoma memenuhi kavum mastoid
dan juga kavum timpani. Berdasarkan patogenesis koesteatoma kongenital
menurut teori Epithelial rest, kolesteatoma di mastoid dapat terjadi akibat sisa
epitel terperangkap pada saat penutupan celah neural yang terjadi pada minggu
ketiga dan keenam usia jani. Kolesteatoma kongenital di mastoid sering
ditemukan pada kavum mastoid sesuai dengan kasus ini dimana usia pasien 21
tahun.14
Gold standar penatalaksanaan kolesteatoma kongenital adalah pembedahan
atau operasi yang bertujuan untuk mengangkat kolesteatoma secara sempurna.
Pada pasien ini dilakukan tindakan operasi timpanoplasti dengan dinding runtuh
(canal wall down) karena pada pasien ini lesi mengenai dan mendestruksi mastoid
dan tulang pendengaran serta dinding posterior dari liang telinga, membran
timpani utuh dan tidak dilakukan rekonstruksi tulang pendengaran.

Tindakan operasi pada kasus kolesteatoma kongenital sangat variatif.


Pemilihan jenis operasi disesuaikan dengan stadium, tempat dan tipe
kolesteatoma. Operasi dapat berupa timpanomastoidektomi sampai dengan radikal
mastoidektomi. Potsic dkk,20 membagi kolesteatom menjadi 4 stadium dan
berkaitan dengan pemilihan tindakan operasi yakni stadium 1: mengenai satu
kuadran tidak mengenai tulang pendengaran dan mastoid, stadium 2: multipel
kuadran tidak mengenai tulang pendengaran dan mastoid, stadium 3: mengenai
tulang pendengaran tidak mengenai mastoid, dan stadium 4: telah mengenai
mastoid. Tindakan operasi disesuaikan berdasarkan stadiumnya. Pada stadium 1
dan 2 dapat dilakukan timpanomastoidektomi. Stadium 3 dilakukan
timpanomastoidektomi yang diperluas tapi kadang juga memerlukan
timpanomastoidektomi dengan dinding utuh. Pada stadium 4 dilakukan radikal
mastoidektomi dengan dinding runtuh.
Park Ho, dkk29 melakukan operasi pada 17 kasus kolesteatoma stadium 4
dengan timpanoplasti dinding utuh sebanyak 10 kasus (59%) dan timpanoplasti

67
dinding runtuh sebanyak 7 kasus (41%). Sedangkan penelitian yang dilakukan
Inokuchi dkk,32 diperoleh 23 kasus kolesteatoma kongenital. Dimana prosedur
tindakan pembedahan terbanyak yakni timpanomastoidektomi. Sebanyak 57%
kasus dilakukan tindakan canal wall down dan 9% kasus dilakukan prosedur canal
wall up. Keuntungan canal wall down adalah angka kekambuhan maupun residu
kolesteatoma lebih rendah dibandingkan canal wall up.
Pemeriksaan audiometri sebelum dilakukan operasi didapatkan tuli
konduktif derajat sedang (51,25 dB) dengan gap hantaran udara dan hantaran
tulang sebesar 26,25 dB. Ini melebihi kemampuan amplifikasi membrane timpani
dan tulang-tulang pendengaran yang berkisar antara 25-30 dB. Tuli konduktif
sebesar 30-50 dB kemungkinan telah terdapat diskontinuitas rangkaian tulang
pendengaran atau mungkin akibat adanya jaringan granulasi di liang telinga luar
yang berfungsi sebagai sumbatan telinga.
Pada pemeriksaan audiometri paska operasi didapatkan pendengaran
normal pada telinga kanan yakni 17,5 dB. Gap antara hantaran udara dan hantaran
tulang didapatkan 23,75 dB. Pada pasien ini didapatkan perbaikan sebesar 17,5
dB. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Park Ho dkk,29
didapatkan rata-rata gap hantaran tulang dan hantaran udara pada pasien
kolesteatom kongenital stadium 4 adalah 37,5 dB. Pada pemeriksaan 3 bulan
pasca operasi Park Ho, dkk juga mendapatkan perbaikan gap hantaran tulang
dengan hantaran udara pada stadium 4 sebesar 6,7 dB.
Kontrol pasien yang telah menjalani operasi mastoidektomi radikal perlu
dilakukan secara berkala dalam jangka panjang. Pada masa awal paska operasi
perlu diperhatikan proses epitelisasi kavitas operasi. Jaringan granulasi dapat
menghambat proses epitelisasi. Pemberian antibiotik lokal dan steroid dapat
menghambat terjadinya infeksi maupun pembentukan jaringan granulasi. Pada
jangka panjang pasien harus rutin datang untuk membersihkan kavitas dari
deskuamasi epitel maupun serumen. Disamping itu perlu diperhatikan adalah
komplikasi yang muncul seperti infeksi berulang, terbentuknya kolesteatoma atau
adanya sisa kolesteatoma.

68
V. KESIMPULAN
Dilaporkan satu kasus perempuan berusia 21 tahun dengan diagnosis
kolesteatoma kongenital. Pasien datang dengan keluhan penurunan pendengaran
sejak 1 tahun yang lalu dan dari hasil rongten Shuller dan CT Scan mastoid
didapatkan adanya mastoiditis kanan dan kecurigaan kolesteatoma. Dari
pemeriksaan audiometri didapatkan tuli konduktif dengan derajat sedang.
Dilakukan timpanoplasti dinding runtuh dengan temuan kolesteatoma memenuhi
kavum mastoid dan kavum timpani dengan membrane timpani masih intak.
Evaluasi paska operasi diperoleh perbaikan pendengaran paska operasi menjadi
normal hearing.

69
DAFTAR PUSTAKA
1. Amanda L, dkk. Congenital Cholesteatoma. Arch Otolaryngol Head Neck
Surg.2012;138:280-6
2. Kiltai PJ, Nelson M, Castellon et al. The natural history of cholesteatoma.
Arch otolaryngol head neck surg 2002;128:804-9
3. Gacek RR, Gacek MR. Anatomy of the Auditory and Verstibular System.
In Snow Jr. J B, Ballenger J J, editors. Ballenger’s Otorhinolaryngology

Head and Neck Surgery. 16th ed. Williams & Wilkins; 1996.p.1-24.
4. Moller AR. Hearing : Anatomy, Fisiology, and Disorder of the Auditory

System. 2nd ed. Texas: Elsevier; 2000.p.3-10.


5. Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat. 4th ed. India: Reed Elsevier
India Private Limited; 2009.p.1-9,66-73
6. Austin DF. Anatomy and Embriology of The Ear. Dalam: Diseases of the
Nose, Throat, Ear, Head and Neck. Ballenger JJ, penyunting. Edisi ke-1.
Philadelphia: Lea and Febiger Company; 1996. p. 101-51.
7. Mills JH, Khariwala SS, Weber PC. Anatomy and Physiology of Hearing.
Dalam: Bailey BJ, editors. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. Edisi ke-
4. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2006. p. 1883-1903.
8. Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Emedicine. Available at
http://emedicine.medscape.com/article. Diakses 10 Juni 2017.
9. Magalhaes SLB. Growth of cholesteatoma by implantation of epi-thelial tissue
along the femoral bone of rats. Rev. Bras. Otorrinolaryngol. 2005;71(2):188-
91.
10. Barbara Pedruzi, Marta Mion, Comachio Fransesco. Congenital
Intratympanic Cholesteatoma in an Adult Patient: A Case Report and Rivew
Literature.Int Adv Otol.2016;12(1):119-24
11. Bennett M, Warren F, Jackson GC, Kaylie D. Kongenital Cholesteatoma:
Theories, Facts, and 53 Patients. Otolaryngol Clin N Am 2006; 39: 1081–
94.
12. Mc Gill TJ, Kongenital cholesteatoma. In: Nadol JB, McKenna MJ, Galia
RJ editors. Surgery of the ear and temporal bone. 2nd ed, Lippincott
Williams & Wilkins. 2005: p.337-44.
13. Alma Maniu, dkk. Molecular Biology of Cholesteatoma. Rom J Morphol
Embryol.2014;55(1):7-13
14. Gacek RR. Congenital Cholesteatoma. In: Ear surgery. Springer-Verlag.

70
Berlin Jermany. 2008: hal.55-60.
15. Chin Lung Kuo, dkk. Udates and Knowledge Gaps in Cholesteatoma
Reasearch. Biomed Reasearch International. 2015:1-17
16. Anju Cauhan, dkk. Cholesteatoma congenital isolated mastid process: A
Case report. Otorinolaryngology online journal. 2015;5: 1-5
17. Kiltai PJ, Nelson M, Castellon et al. The natural history of cholesteatoma.
Arch otolaryngol head neck surg 2002;128:804-9
18. Goh BS, Faizah AR, Saim L, Salina H, Asma A. Kongenital
cholesteatoma: Delayed diagnosis and its consequences. Med j Malaysia
2010;65(3):189-91
19. Shen Wei Dong, dkk. Congenital Cholesteatoma of Middle Ear-A Report
of 10 Cases. Journal of Otology.2007;2(2):119-123
20. Potsic WP, Samadi DS, Marsh RR, Wetmore RF. A Staging system for
kongenital cholesteatoma. Arch otolaryngol head neck surg 2002; 128:
1009-12.
21. Nelson M, dkk. Kongenital cholesteatoma. Classification, management,
and outcome. Aurch otolaryngol head neck surg. 2002;128:810-4.
22. Isaacson G. Diagnosis of pediatric cholesteatoma. Journal of Pediatric
Surgery United Kingdom.2007; 120:603-8.
23. Derlacki EL, Clemis JD. Kongenital cholesteatoma of the middle ear and
mastoid. Ann OtolRhinol Laryngol 1965; 74(3):706–27.
24. Levenson MJ, Michaels L, Parisier SC, Juarbe C. Chongenital
cholesteatoma in children: an embriological correlation. Laryngoscope
1988;98:949-55.
25. Robert Y, Carcasset S, Rocourt N, Hennequin C, Dubrulle F, Lemaitre L.

Kongenital cholesteatoma of the temporal bone: MR findings and


comparison with CT. AJNR Am J Neurodiol 1995;16:755-761.
24. Zarandy M, Rutka J. Cholesteatoma and its Complications. Disease of the
Inner ear. A Clinical, Radiologic and Pathologis Atlas.2010;94:9-17
27. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronik Pengetahuan Daar Terapi Medik
Mastoidektomi. Balai Penerbit FK UI, Jakarta.2005
28. Meyer TA, Strunk TL, Lambert. Cholesteatoma. Head And Neck Surgery-
Otolaryngology, Lippincot Williams & Wilkins, Texas. 2009

71
29. Park Ho K, Park SN, Chang ki-H, Jung MK, Yeo SW. Congenital middle
ear cholesteatoma in children: retrospective review of 35 cases. J Korean
med sci.2009;24:126-31
30. Kojima,dkk. Congenital Middle Ear Cholesteatoma Experince in 48 cases.
Nippon Jibiinkok Gakkai Kaiho.2003;106:856-65
31. Steward DL, Choo DI, Pensak ML. Selective indication for the
management of extensive anterior epytimpanic cholesteatoma via
transmastoid/middle fossa approach. Laryngoscope 2000;110:1660-6
32. Inokuchi Go, dkk. Congenital Cholesteatoma : Posterior Lesions and the
Satging System. Annals of Otology, Rhinology & Larynglogy.
2010;119(7): 490-94

72
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
PAPILOMATOSIS LARING PADA ANAK
Oleh
IDG Arta Eka Putra
Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

I. PENDAHULUAN
Papilomatosis laring merupakan tumor jinak proliferatif yang paling sering
terjadi pada saluran napas anak dan merupakan penyebab kedua terbanyak suara
parau pada anak. Papilomatosis dapat muncul disepanjang traktus respiratorius
dan karena kecendrungannya dapat berulang, sehingga sering disebut juga
Papilomatosis Respiratorik Rekuren (PPR) / Reccurent Respiratory
Papillomatosis (RRP). PPR pertama kali diperkenalkan pada akhir tahun 1800
oleh Sir Morrel Mackenzie untuk membedakan penyakit ini dari tumor laiinya.1,2
Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) merupakan penyebab utama
terjadinya papilomatosis pada laring pertama kali dibuktikan oleh Ullman pada
tahun 1923. Subtipe 6 dan 11 terdekteksi pada kasus papiloma laring
menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) pada tahun 1989. HPV 6
dan 11 merupakan tipe tersering yang ditemukan pada kasus papilomatosis
respiratorik rekuren.2,3
Papilomatosis dapat terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering terjadi
pada anak. Sebagian besar papilomatosis laring pada anak terdiagnosis pada umur
antara 2-4 tahun. Tujuh puluh lima persen anak-anak telah terdiagnosis sebelum
mereka berumur 5 tahun. Di Amerika didapatkan angka insiden pada anak-anak
sebesar 4,3 per 100.000 sedangkan pada orang dewasa sebesar 1,8 per 100.000. Di
Denmark didapatkan angka insiden kasus papilomatosus laring sebesar 3,84 per
100.000 per tahun. Dimana pada kasus anak-anak didapatkan 3,62 per 100.000
sedangkan kasus dewasa 3,94 per 100.000.4
Kasus papilomatosis laring pada anak di Departemen THT RSCM divisi
laring-faring sejak bulan Juni 2011-Mei 2013 terhitung berjumlah 11 pasien.
Sebanyak 75% pasien penderita papilomatosis laring berusia kurang dari 5 tahun
dan distribusi sama anatara laki-laki dan perempuan.5
Papilomatosis laring merupakan jenis tumor yang berkembang cepat,
walaupun tidak ganas. Papilomatosis laring pada anak dapat menjadi masalah
yang serius bila menyumbat jalan napas, selain itu rekurensi merupakan masalah
terbesar pada kasus ini karena papillomatosis laring mempunyai kemampuan

73
untuk tumbuh kembali setelah pengangkatan dan dapat meluas ke struktur
trakeobronkial. Perjalanan penyakit ini bervariasi, beberapa pasien mengalami
remisi spontan dan yang lainnya mengalami pertumbuhan agresif papilomatosis,
yang membutuhkan prosedur pembedahan berulangkali selama bertahun-tahun.2,3

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi Laring
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran napas bagian atas dan
terletak setinggi vertebra servikalis IV-VI dimana pada anak-anak dan wanita
letaknya relatif lebih tinggi. Bentuknya menyerupai limas segitiga, dengan bagian
atas lebih besar daripada bagian bawah. Bagian atas laring adalah aditus laring,
sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid.6
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang yakni tulang hyoid dan
beberapa tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U yang permukaan
atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendon dan
otot-otot. Tulang hyoid terdiri dari korpus, dua kornu mayor dan dua kornu minor.
Perlekatan os hyoid ke mandibula dan tengkorak oleh ligamentum stilohyoid dan
otot-otot digastrikus, stilohyoid, milohyoid, hyoglosus, dan geniohyoid akan
mempertahankan posisi laring pada leher dan mengangkat laring selama proses
menelan dan fonasi. Perlekatan m. Sternohyoid dan m. Omohyoid pada os hyoid
penting untuk gerakan laring bagian inferior. Sewaktu menelan kontraksi otot-otot
ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas sedangkan bila laring dalam keadaan
diam maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu
menggerakkan lidah. 6

74
Gambar 1. Kartilago dan Ligamen dari laring dan Tulang Hyoid 6

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago


tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago
kuneiformis dan kartilago tritiseal.6

2.1.1 Kartilago Laring


Kartilago Tiroid
Kartilago tiroid merupakan tulang rawan hialin dan yang terbesar di laring.
Terdiri dari dua ala atau sayap yang bertemu di anterior dan membentuk sudut
lancip. Sudut bervariasi menurut jenis kelamin, 90 derajat pada pria dewasa dan
120 derajat pada wanita. Pada pria bagian superior sudut tersebut membentuk
penonjolan subkutan disebut Adam’s apple atau jakun. Bagian atas ala dipisahkan
dengan lekukan yang dalam, insisura tiroid superior. Setiap ala berbentuk segi
empat dan pada setiap sudut posterior terdapat penonjolan atau kornu. Kornu
superior adalah perlekatan ligamentum superior tirohyoid lateral. Kornu
inferior berhubungan dengan permukaan postero-lateral krikoid membentuk
sendi krikotiroid. 6
Kartilago Krikoid
Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring.
Merupakan kartilago hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring).
Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit daripada bagian posterior.
Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya dengan kornu

75
inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui artikulasio
krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I melalui
ligamentum krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat dilakukan tindakan
trakeostomi, krikotomi atau koniotomi pada konus elastikus. Kartilago
krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI – VII dan pada
anak-anak setinggi vertebra servikalis III - IV. 6
Kartilago Epiglotis
Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding
anterior aditus laringeus tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh
ligamentum tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara.
Sedangkan bagian atas menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen
faring sehingga membatasi basis lidah dan laring. Kartilago epiglotis
mempunyai fungsi sebagai pembatas yang mendorong makanan ke sebelah
laring. 6
Kartilago Aritenoid
Kartilago aritenoid merupakan tulang rawan hialin yang berpasangan,
berbentuk piramid, bersendian dengan tulang rawan krikoid. Permukaan sendi
mendatar pada sumbu longitudinal atau sumbu panjang dan cekung. Pada
sumbu horisontal atau sumbu pendek. Permukaan aritenoid mempunyai
ukuran panjang dan lebar yang sama (5,8 mm pada pria dan 4,5 mm pada
wanita). Ligamentum vokalis meluas dari prosesus vokalis menuju tendon
komisura anterior. Di posterior, ligamentum krikoaritenoid posterior meluas
dari batas superior lamina krikoid menuju permukaan medial kartilago
aritenoid. Kedua ligamentum terletak pada garis yang menghubungkan kedua
aritenoid pada keadaan adduksi, oleh karena itu ligamen tersebut berfungsi
sebagai kawat pemandu, pada pergerakan posterolateral ke anteromedial
selama adduksi. Dasar piramid mempunyai dua penonjolan. Prosesus
muskularis untuk perlekatan m. krikoaritenoid mengarah ke posterolateral.
Prosesus vokalis mengarah ke anterior dan berbeda dengan korpus, dibentuk
oleh tulang rawan elastik. Batas posterior superior konus elastikus melekat
pada prosesus vokalis. 6

Kartilago Kornikulata dan Kuneiform


Kartilago Kornikulata dan kuneiform merupakan kartilago fibroelastik
yang kecil. Sepasang kartilago kornikulata atau yang disebut dengan kartilago

76
Santorini melekat pada kartilago aritenoid di daerah apeks, sedangkan
sepasang kartilago kuneiformis atau disebut juga kartilago Wrisberg, terdapat
di dalam plika ariepiglotis, dan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum
hiotiroid lateral. 6
2.1.2 Ligamentum
Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan
artikulasi krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah
ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum
krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum
kornikulofaringeal, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum hioepiglotisa,
ligamentum ventrikularis, ligamentum vokale yang menghubungkan kartilago
aritenoid dengan kartilago tiroid dan ligamentum tiroepiglotisa.6

2.1.3 Otot -Otot


Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-
otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara
keseluruhan, sedangkan otot-otot intrinsik menyebabkan gerakan pada bagian-
bagian tertentu dari laring yang berhubungan dengan gerakan pita suara.6
Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak suprahioid dan ada yang
terletak infrahioid. Otot-otot ekstrinsik suprahioid adalah muskulus
digastrikus, muskulus geniohioid, muskulus stylohioid, dan muskulus
milohioid. Sedangkan otot infrahioid adalah muskulus sternohioid, muskulus
omohioid, dan muskulus tirohioid. Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid
berfungsi menarik laring ke bawah sedangkan yang infrahioid menarik laring
ke atas.6
Otot-otot intrinsik laring ialah muskulus krikoaritenoid lateral, muskulus
tiroepiglotisa, muskulus vokalis, muskulus tiroaritenoid, muskulus
ariepiglotisa, dan muskulus krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian lateral
laring. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior adalah
muskulus aritenioid transversum, muskulus aritenoid oblik dan muskulus
krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot aduktor
kecuali muskulus krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abduktor.6
Batas atas rongga laring adalah aditus laring sedangkan batas bawahnya
adalah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas anteriornya
adalah permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotis, ligamentum

77
tiroepiglotis, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus
kartilago krikoid. Batas lateralnya adalah membran kuadrangularis, kartilago
aritenoid, konus elastikus dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas
posteriornya adalah muskulus aritenoid transverses dan lamina kartilago
krikoid. Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan
ventrikulare, maka terbentuklah plika vokalis dan plika ventrikularis. Bidang
antara plika vokalis kanan dan kiri disebut rima glotis, sedangkan antara kedua
plika ventrikularis disebut rima vestibuli. Plika vokalis dan plika ventrikularis
membagi rongga laring menjadi 3 bagian, yakni vestibulum laring, glotis dan
subglotis. Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat di atas plika
ventrikularis, daerah ini disebut supraglotis. Antara plika vokalis dan plika
ventrikularis pada tiap sisinya disebut ventrikulus laring Morgagni. Rima
glotis terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian
interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plika vokalis
dan terletak di bagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak di
antara kedua puncak kartilago aritenoid dan terletak di bagian posterior.
Daerah subglotis adalah rongga laring yang terletak di bawah plika vokalis.6

2.1.4 Inervasi Laring


Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu nervus
laringis superior dan nervus laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan
campuran saraf motorik dan sensorik. Nervus laringis superior mempersarafi
muskulus krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada mukosa laring di
bawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak di atas muskulus konstriktor
faring medial, di sebelah medial arteri karotis interna dan eksterna, kemudian
menuju kornu mayor tulang hioid dan setelah menerima hubungan dengan
ganglion servikal superior, membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus
eksternus dan ramus internus. Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar
muskulus konstriktur faring inferior dan menuju ke muskulus krikotiroid,
sedangkan ramus internus tertutup oleh muskulus tirohioid terletak di sebelah
medial arteri tiroid superior, menembus membran hiotiroid dan bersama-sama
dengan arteri laringis superior menuju ke mukosa laring. Nervus laringis
inferior merupakan lanjutan dari nervus rekuren setelah saraf itu memberikan
cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan cabang
dari nervus vagus. Nervus rekuren kanan akan menyilang arteri subklavia

78
kanan di bawahnya, sedangkan nervus rekuren kiri akan menyilang arkus
aorta. Nervus laringis inferior berjalan di antara cabang-cabang arteri tiroid
inferior dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada
permukaan medial muskulus krikofaring. Di sebelah posterior dari sendi
krikoaritenoid, saraf ini bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus
posterior. Ramus anterior akan mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian
lateral sedangkan ramus posterior mempersarafi otot-otot intrinsik laring
bagian superior dan mengadakan anastomosis dengan nervus laringis superior
ramus internus.6

2.1.5 Vaskularisasi Laring

Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang yaitu arteri laringis


superior dan arteri laringis inferior. Arteri laringis superior merupakan cabang
dari arteri tiroid superior. Arteri laringis superior berjalan agak mendatar
melewati bagian belakang membran tirohioid bersama-sama dengan cabang
internus dari nervus laringis superior kemudian menembus membran ini untuk
berjalan ke bawah di submukosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus
piriformis, untuk memperdarahi mukosa dan otot-otot laring. Arteri laringis
inferior merupakan cabang dari arteri tiroid inferior dan bersama-sama dengan
nervus laringis inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk ke laring
melalui daerah pinggir bawah dari muskulus konstriktor faring inferior. Di
dalam laring arteri itu bercabang-cabang, memperdarahi mukosa dan otot serta
beranastomosis dengan arteri laringis superior. Pada daerah setinggi membran
krikotiroid, arteri tiroid superior juga memberikan cabang yang berjalan
mendatar sepanjang membran itu hingga mendekati tiroid. Vena laringis
superior dan vena laringis inferior sejajar dengan arteri laringis superior dan
inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior.6

2.1.6 Aliran Limfe

Pembuluh limfa untuk laring banyak jumlahnya, kecuali pada daerah


lipatan vokal. Pada area ini mukosanya tipis dan melekat erat dengan
ligamentum vokale. Di daerah lipatan vokal pembuluh limfa dibagi dalam
golongan superior dan inferior. Pembuluh eferen dari golongan superior
berjalan melalui dasar sinus piriformis dan arteri laringis superior, kemudian
ke atas dan bergabung dengan kelenjar dari bagian superior rantai servikal

79
dalam. Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan ke bawah dengan
arteri laringis inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal dalam dan
beberapa di antaranya menjalar hingga sejauh kelenjar supraklavikular.6

Gambar 2. Vaskularisasi, aliran limfe dan Inervasi Laring2

2.2 PAPILOMATOSIS LARING


2.2.1 Etiopatogenesis
Papilomatosis laring pada anak merupakan suatu penyakit yang disebabkan
oleh infeki HPV terutama HPV tipe 6 dan 11, yang ditandai dengan adanya lesi
eksofitik pada saluran napas.3
Lesi papilomatosis umumnya berwarna merah muda atau putih, berupa lesi
sessile atau eksofitik, dengan dasar bertangkai atau luas, dengan proyeksi seperti
daun pakis kecil. Secara histologis, papilomatosis laring terdiri dari proyeksi
beberapa epitel skuamosa berlapis non-keratinisasi seperti jari yang melapisi inti
vaskularisasi jaringan ikat stroma. Epitel basal dapat normal atau mengalami
hiperplasia dan gambaran mitotik umumnya terbatas pada lapisan ini. Diferensiasi
selular umumnya abnormal, dengan ekspresi dan produksi keratin yang bervariasi.
Derajat atipia dapat menandakan kecenderungan premalignansi.3
Papilomatosis laring memiliki predileksi letak anatomi yaitu pada
sambungan antara epitel skuamosa dan epitel bersilia. Secara umum papilomatosis
paling sering terjadi pada limen vestibuli, permukaan nasofaring pada palatum

80
molle, pada zona tengah dari permukaan laring epiglotis, batas atas dan bawah
dari ventrikel, permukaan bawah pita suara, karina, dan bronchial spurs.3

Gambar 3. Papilomatosis laring.7

81
Gambar 4. Gambaran histopatologi papilomatosis laring.7

HPV yang diduga sebagai agen penyakit ini merupakan virus DNA dengan
kapsid ikosahedral yang tidak berselaput, terdiri dari double stranded asam
deoksiribonukleat sirkuler dengan 7900 pasang basa.8 Genom HPV terdiri dari 3
regio, yakni upstream regulatory region dan dua regio yang dinamakan berdasarkan
fase infeksi di mana mereka terekspresi, yaitu early region (E) dan late region (L).9
Penelitian terkini menunjukkan HPV melekat pada lapisan basal, di mana
DNA virus kemudian memasuki sel dan mengelaborasi RNA untuk memproduksi
protein-protein virus. Besar kemungkinan imunitas inang berperan penting dalam
patogenesis lesi yang diinduksi HPV. Respon humoral dan selular mungkin
terkompromais pada anak-anak dengan papilomatosis laring. Peranan sitokin, seperti
interleukin-2, interleukin-4, dan interleukin-10 dan ekspresi dari antigen MHC dalam
malfungsi dari respon imun termediasi sel pada anak dengan papilomatosis laring
telah teridentifikasi. Papilomatosis dengan ekspresi yang rendah dari antigen-antigen
ini dapat mengelabui sistem imun dan menyebabkan perjalanan penyakit menjadi
lebih cepat.3
Hingga tahun 1990, HPV telah diduga namun belum dapat dipastikan sebagai
penyebab dari papilomatosis laring. Ketidakpastian ini dikarenakan ketidakmampuan
peneliti dalam mengembangbiakkan virus tersebut secara in vitro dan kegagalan
dalam mengidentifikasi partikel viral secara konsisten pada lesi papilomatosis dengan
mikroskop elektron atau antibodi HPV. Saat ini, dengan menggunakan probe virus,
DNA HPV telah dapat diidentifikasi pada hampir setiap lesi papilomatosis yang
dipelajari. Tipe HPV yang paling sering teridentifikasi pada saluran napas adalah

HPV 6 dan HPV 11.10

82
Gambar 5. Proses infeksi HPV.2
Subtipe virus spesifik diduga berkorelasi dengan tingkat keparahan dan
gambaran klinis penyakit. Anak-anak yang terinfeksi HPV 11 cenderung mengalami
obstruksi saluran napas lebih dini pada proses perjalanan penyakitnya serta lebih
banyak memerlukan tindakan trakeotomi dalam penanganannya. Hingga saat ini,
sedikitnya terdapat 90 tipe HPV yang telah dapat diidentifikasi.3
Mekanisme pasti dari transmisi HPV belum jelas hingga saat ini. Beberapa
penelitian menemukan adanya hubungan antara kejadian papilomatosis laring pada
anak dengan infeksi HPV pada genitalia ibu. Beberapa penelitian retrospektif dan
prospektif akhir-akhir ini menemukan bahwa HPV mungkin ditransmisikan secara
vertikal dari ibu kepada anaknya. Metode yang paling mungkin untuk terjadinya
transmisi fetal-maternal adalah kontak langsung pada jalan lahir.10 Beberapa peneliti
juga mengemukakan bahwa lesi HPV pada genital yang baru didapat cenderung untuk
melepaskan virus dibandingkan lesi lama, yang menjelaskan mengapa insidennya
lebih tinggi pada anak-anak dengan ibu usia muda dengan status sosioekonomi
rendah, yang juga memiliki risiko tinggi terinfeksi penyakit menular seksual seperti
HPV.3
Walaupun pada suatu penelitian HPV dapat diisolasi dari sekret nasofaring pada
30% bayi yang terpapar HPV pada jalan lahir, papilomatosis laring hanya
bermanifestasi pada sebagian kecil bayi-bayi tersebut. Beberapa faktor lain yang juga

83
diduga berpengaruh terhadap perkembangan penyakit ini adalah imunitas pasien,
lama paparan dan volume virus saat terpapar, serta trauma lokal.3
Dengan demikian, maka diskusi antara ibu yang berisiko dengan dokter
kandungannya mengenai kemungkinan transmisi HPV juga diperlukan.10 Penelitian
mengenai faktor predisposisi lainnya juga menemukan pasien anak dengan displasia
bronkopulmoner yang memerlukan intubasi endotrakeal dalam jangka waktu lama
diduga rentan pula terhadap munculnya papilomatosis laring.3

2.2.2 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik THT-KL
lengkap serta pemeriksaan penunjang lain .11,12
Gejala yang khas pada pasien anak dengan papilomatosis laring berupa trias
disfonia yang progresif, stridor, dan distress pernapasan. Walaupun suara serak pada
anak sering diabaikan atau baru diperhatikan saat sudah mencapai tingkat tertentu,
seorang anak dengan perubahan suara yang bersamaan dengan munculnya gejala
obstruksi saluran napas wajib dilakukan laringoskopi untuk menyingkirkan adanya
neoplasia. Umumnya stridor pada awalnya muncul saat inspirasi lalu menjadi bifasik.
Gejala lainnya yang juga dapat muncul meliputi batuk kronis, pneumonia rekuren,
gagal tumbuh dan berkembang, dispneu, dan disfagia. Pada kasus tanpa distress
pernapasan, riwayat penyakit penderita harus dicermati secara seksama. Informasi
mengenai onset gejala, kemungkinan trauma saluran napas termasuk riwayat intubasi
terdahulu, juga karakteristik tangis anak sangatlah penting. Mekanisme struktur laring
yang sangat presisi menyebabkan suara serak dapat muncul bahkan pada lesi yang
kecil sekalipun dan dapat menjadi penanda awal dari perjalanan penyakit. Walaupun
secara histologi sama, suara serak yang ditimbulkan akibat adanya papillomatosis
laring berbeda-beda. Hal ini tergantung dari ukuran dan lokasi dari lesi. Suara low-
pitched, kasar, fluttering menandakan lesi subglotis, sedangkan suara high-pitched,
terputus-putus, afonia menyiratkan suatu lesi glotis. Suatu stridor high-pitched juga
dapat menandakan adanya lesi glotis atau subglotis. Neonatus dengan stridor sejak

lahir juga perlu dipikirkan kemungkinannya menderita papilomatosis.3


Anak-anak dengan gejala yang mengarah pada papilomatosis laring harus
menjalani pemeriksaan yang terstruktur dan menyeluruh. Laju dan derajat distress
pernapasan pada anak merupakan hal pertama yang dievaluasi. Gejala takipneu,

84
napas cuping hidung, tarikan otot-otot bantu pernapasan, adanya sianosis dan
penampakan air hunger pada anak perlu dievaluasi untuk mengetahui apakah ada
risiko perburukan obtruksi jalan napas. Pulse oximetry dapat membantu analisis
kuantitatif mengenai status respiratorius anak. Bila keadaan anak sudah sangat lemah
maka pemeriksaan tambahan tidak boleh dilakukan di tempat selain kamar operasi,
instalasi rawat darurat, atau unit terapi intensif, di mana perlengkapan resusitasi untuk
intubasi saluran napas, endoskopi evaluasi, dan kemungkinan trakeotomi tersedia.
Pada anak yang stabil dan teroksigenasi dengan baik, pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan sebagaimana biasanya. Dokter harus mengevaluasi secara saksama hidung,
rongga mulut, leher dan dada untuk menentukan kemungkinan lokasi obstruksi. Anak
dengan papilomatosis laring tidak akan menunjukkan banyak perubahan dengan
perubahan posisi.3
Pemeriksaan fisik terhadap pasien dengan papilomatosis laring dapat dikerjakan
dengan pemeriksaan laringoskopi indirek dengan kaca laring atau laringoskop kaku
atau laringoskop serat optik. Kebanyakan dokter menemukan bahwa visualisasi
dengan laringoskop serat optik fleksibel jauh lebih baik daripada menggunakan kaca
laring atau laringoskop kaku pada anak. Kerjasama pasien sangat diharapkan
walaupun sudah dengan penggunaan anestesi topikal. Pasien yang berumur 1 hingga
6 tahun merupakan kelompok yang cukup sulit untuk pemeriksaan ini, sehingga
butuh kesabaran dan keterampilan yang baik dari pemeriksa. Pemeriksaan seksama
pada faring, hipofaring, laring, dan area subglotis menyediakan informasi yang
penting dalam membuat diagnosis papilomatosis laring serta estimasi ukuran lumen,
mobilitas pita suara, dan urgensi dari intervensi operatif. Pasien anak dengan
papilomatosis laring perlu kontrol dan menjalani pemeriksaan endoskopi secara
teratur untuk menetapkan derajat agresivitas penyakitnya. Mereka perlu disarankan
untuk kembali kontrol atau menghubungi tempat pelayanan kesehatan yang terkait
sesegera mungkin bila keluarga menemukan adanya tanda-tanda distress
pernapasan.3
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi identifikasi HPV pada
lesi melalui pemeriksaan imunohistokimia, isolasi DNA virus, teknik hibridisasi in
situ, dan polymerase chain reaction (PCR), juga rontgen thoraks serta CT Scan leher
dan dada untuk mengetahui penyebaran penyakit ke arah distal. Penyebaran penyakit

85
ke trakea dan paru dimanifestasikan sebagai massa padat atau kistik pada rontgen
atau CT Scan.11,13

2.2.3 Diagnosis banding


Diagnosis papilomatosis laring pada anak sulit ditegakkan pada fase awal
penyakit. Penyakit ini sering keliru didiagnosis sebagai laringotrakeobronkhitis, asma
bronkhial, laringomalasea, paralisis pita suara, nodul pita suara atau kista laring
kongenital.3,13

2.2.4 Penatalaksanaan
Hingga saat ini belum ada suatu modalitas tunggal yang secara konsisten efektif
dalam mengeradikasi papilomatosis laring. Terapi papilomatosis laring saat ini
meliputi pembedahan dan beberapa modalitas terapi ajuvan.2,3,14
Karena kasus ini relatif jarang dan berkembang secara perlahan, banyak kasus
yang tidak terdeteksi hingga muncul distress pernapasan karena papilloma dapat
mengobstruksi jalan napas. Implikasinya adalah diperlukannya tindakan trakeotomi
pada kebanyakan pasien anak. Sebagian besar peneliti menyarankan bahwa tindakan
trakeotomi sebaiknya dihindari kecuali pada kasus yang sangat memerlukannya. Bila
trakeotomi tidak dapat terhindarkan, maka dekanulasi harus segera dilakukan begitu
penyakit ini telah dapat ditangani secara efektif dengan endoskopi.3,14
Standar penatalaksanaan papilomatosis laring saat ini adalah pembedahan, yang
bertujuan untuk membersihkan papiloma secara total dengan preservasi struktur yang
normal serta mempertahankan kualitas suara seoptimal mungkin. Tujuan dari terapi
pada kasus dengan penyakit yang ekstensif adalah untuk meminimalisir gangguan
akibat adanya tumor, mengurangi kecepatan penyebaran penyakit, menjaga keamanan
dan kepatenan saluran napas, meningkatkan kualitas suara dan menambah interval
waktu antara prosedur pembedahan. Sangat dianjurkan untuk dapat mengambil
sebanyak mungkin jaringan patologis dengan tetap mempertahankan bagian yang
secara anatomi dan morfologi normal, serta menghindari komplikasi stenosis

subglotis dan glotis, pembentukan jaringan parut dan menutupnya jalan napas.2,3,14
Terapi pembedahan berupa ekstirpasi lesi dengan teknik mikrolaringoskopi
dapat menggunakan forsep, laser CO2, phono-microsurgical, laser flash-scan, dan
mikrodebrider.3,13

86
Laser CO2 merupakan instrumen yang sering dipakai dalam penanganan
papilomatosis yang melibatkan laring, faring, trakea, rongga hidung dan mulut.13
Laser CO2 dapat membantu dalam mendestruksi jaringan secara tepat dan menjaga
hemostasis selama operasi serta dapat memperpanjang periode bebas penyakit pada
beberapa kasus.13,16 Ketika dipasangkan dengan mikroskop operasi, laser tersebut
menguapkan lesi dan menimbulkan perdarahan minimal. Ketika digunakan dengan
teknik tanpa sentuhan, akan meminimalkan kerusakan pita suara dan membatasi
terbentuknya jaringan parut. Laser CO2 memiliki emisi panjang gelombang sebesar
10.600 nm dan mengubah energi cahaya menjadi energi thermal, yang mendestruksi
jaringan secara terkontrol dengan penguapan air. Laser ini juga mengkauterisasi
permukaan jaringan. Walaupun penggunaan laser CO2 menjanjikan suatu presisi dan
hemostasis yang baik, namun umumnya diperlukan beberapa kali prosedur.
Laringoskopi laser berinterval direkomendasikan untuk menghindari trakeotomi dan
mempreservasi anatomi pita suara normal sehingga fonasi anak tetap baik.3
Penggunaan laser CO2 pada pita suara harus sangat berhati-hati karena
berpotensi membentuk jaringan parut pasca operasi akibat transfer panas yang tidak
dikehendaki. Papiloma yang berada di komisura anterior perlu dibersihkan secara
saksama dan hati-hati untuk mencegah aposisi antara dua permukaan mukosa yang
terluka. Ahli bedah yang kurang berhati-hati dalam menggunakan laser sehingga
melukai lapisan jaringan yang lebih dalam akan menghadapi konsekuensi timbulnya
jaringan parut yang luas dan fungsi pita suara yang abnormal. Bahkan penggunaan
laser yang agresif dapat menimbulkan perlukaan pada jaringan yang normal sehingga
rentan terhadap perlekatan oleh virus. Untuk meminimalisir hal tersebut, eksisi
dengan skalpel dapat dilakukan dengan prinsip phono-microsurgical, submucosal
infusion, dan instrumentasi mikro tetapi pendekatan ini baru direkomendasikan pada

pasien papilomatosis laring dewasa.17,18


Kebanyakan ahli bedah saat ini melengkapi atau pada beberapa kasus
mengganti laser CO2 dengan mikrodebrider endoskopik dengan tujuan debulking
papilomatosis laring secara cepat. Walaupun teknik ini relatif baru, tapi dengan
pengembangan shaver blades yang lebih kecil (< 2 mm) diharapkan pasien
mendapatkan suatu keuntungan dalam hal jaringan parut laring yang lebih sedikit,
prosedur yang lebih aman, lebih cepat dan dapat mengurangi biaya.3

87
Teknik yang digunakan baik pada laser maupun mikrodebrider dapat
dimodifikasi tergantung dari area yang terkena, jumlah prosedur pembedahan
sebelumnya, dan derajat obstruksi saluran napas.3
Beberapa terapi ajuvan yang diteliti dalam penanganan papilomatosis laring
saat ini meliputi cidofovir, interferon-α, terapi fotodinamik, indole-3-carbinol,
asiklovir, asam retinoat, dan estrogen.2,35 Terapi ajuvan diberikan bila pasien telah
menjalani operasi lebih dari 4 kali dalam setahun, terdapat penyebaran penyakit ke
lokasi yang lebih distal dan/atau pertumbuhan kembali lesi yang cepat disertai dengan
gangguan jalan napas.3
Cidofovir intralesi adalah anti virus yang sering digunakan. Cidofovir
merupakan suatu analog nukleotida yang memiliki aktivitas antiviral dan dapat
menginduksi apoptosis pada sel yang terinfeksi HPV. Sebagai tambahan pasien anak
umumnya memerlukan infiltrasi cidofovir berulang pada laring dengan anestesi
umum. Hal ini meningkatkan risiko bahaya pada saluran napas dan menambah biaya
serta morbiditas dari terapi ini.3
Interferon-α merupakan suatu jenis protein yang diproduksi sel sebagai respon
terhadap berbagai stimuli, termasuk suatu infeksi virus. Enzim-enzim yang terbentuk
menghentikan replikasi RNA dan DNA virus dan mengubah membran sel sehingga
penetrasi virus menjadi lebih sulit. Mekanisme pasti mengenai cara interferon-α
menimbulkan reaksi tersebut belum dapat dipahami secara jelas. Interferon-α
tampaknya memodulasi repon imun inang dengan meningkatkan produksi protein
kinase dan endonuklease yang menghambat sintesis protein virus. Efek samping dari
interferon-α yang umum terjadi dikelompokkan dalam dua kategori, yakni reaksi akut
(demam dan gejala seperti flu, meriang, sakit kepala, mialgia, dan mual yang
berkurang seiring perjalanan terapi) dan reaksi kronis (penurunan laju pertumbuhan
anak, elevasi transaminase hepar, leukopenia, diplegia spastik, dan kejang demam).
Timbulnya trombositopenia telah pula dilaporkan, juga bercak kemerahan pada kulit,
kulit kering, alopesia, pruritus generalis, dan kelelahan. Interferon-α yang diproduksi
dengan teknik DNA rekombinan menunjukkan efek samping yang lebih sedikit dan
memiliki efikasi yang lebih baik daripada interferon-α yang didapat dari tuaian pada
bank darah. Terapi dimulai dengan dosis 5 juta unit/m2 luas permukaan tubuh yang
diadministrasikan melalui injeksi subkutan setiap hari selama 28 hari kemudian
dilanjutkan dengan 3 hari setiap minggunya selama sedikitnya 6 bulan percobaan.

88
Setelah 6 bulan, pada anak dengan respon yang baik, apabila efek samping yang

timbul cukup parah, maka dosis dapat diturunkan menjadi 3 juta unit/m2 3 hari dalam

seminggu, dengan sapihan yang berlanjut setelahnya.3,19


Terapi fotodinamik didasarkan pada transfer energi pada bahan yang
fotosensitif. Bahan orisinal yang digunakan adalah dihematoporfirin ether (DHE),
yang memiliki kecenderungan untuk terkonsentrasi dalam papiloma daripada jaringan
normal di sekitarnya. Pasien umumnya diinjeksi secara intravenous dengan dosis 4,25
mg/kg BB sebelum foto aktivasi dengan argon pump dye laser. Sedikit penurunan
laju pertumbuhan papilomatosis laring namun signifikan secara statistik, terutama
pada pasien dengan derajat penyakit yang parah, terlihat pada penggunaan fototerapi
dan DHE. Kekurangan dari terapi ini adalah pasien menjadi sangat fotosensitif dalam
periode 2 sampai 8 minggu.3
Ketertarikan saat ini telah berfokus pada indole-3-carbinol kimia murni (I3C)
yakni suatu suplemen makanan yang belum disetujui FDA tapi telah menunjukkan
aktivitas dalam menghambat formasi papiloma pada tikus. Zat kimia ini ditemukan
dengan konsentrasi tinggi dalam sayur kol, brokoli, dan kol kembang. Sebuah
penelitian kecil di RS Yahudi Long Island menunjukkan hasil yang menjanjikan
walaupun terdapat perdebatan mengenai jumlah zat aktif yang sebaiknya diberikan
pada pasien.3
Obat antiviral lainnya yang juga diteliti dalam penanganan papilomatosis laring
adalah asiklovir. Terdapat postulasi yang menyebutkan bahwa asiklovir mungkin
efektif dalam penanganan papilomatosis laring bila ada penyakit lain yang menyertai,
seperti infeksi simultan oleh virus herpes simpleks.3 Bentuk terapi lain seperti

kemoterapi dan terapi hormonal belum dapat dibuktikan tingkat keberhasilannya.13


Usaha pencegahan penyakit papilomatosis laring juga telah dilakukan. Saat ini
vaksin kuadrivalen (HPV tipe 6,11,16,18) sedang dalam studi klinis tahap ketiga.
Hasil dari penelitian sebelumnya tentang vaksin HPV 16 dan 18 untuk mencegah
displasia serviks pada wanita usia subur menunjukkan hasil yang cukup baik. Apabila
ditemukan hasil yang serupa pada vaksin kuadrivalen ini, maka diharapkan adanya
reduksi suseptibilitas neonatus terhadap virus pada ibu-ibu yang tervaksinasi.3,,20

89
2.2.5 Komplikasi

Walaupun merupakan suatu penyakit yang jinak, penyakit ini memiliki


konsekuensi morbiditas karena mengenai saluran napas dan risikonya beralih menjadi
suatu keganasan pada papilomatosis kronis yang invasif.3 Penyebaran penyakit dapat
terjadi pada lokasi dari laring ke trakea sampai paru. Kashima melaporkan
penyebaran penyakit ke trakea sebanyak hingga 26% pasien dan penyebaran ke
bronkopulmonalis sebanyak kurang dari 5% pasien.21
Perkembangan papiloma menjadi karsinoma sel skuamosa dapat terjadi namun
jarang. Karsinoma sel skuamosa paling sering terjadi pada penyebaran paru distal.
Apakah ini merupakan transformasi dari tumor atau akibat dari metaplasia atau
displasia skuamosa yang ditimbulkan oleh eksisi bedah yang berulang masih belum
jelas.3,12
Komplikasi penyakit dan prosedur bedah termasuk stenosis posterior glotis,
stenosis anterior glotis (pada sekitar 20-30% kasus), stenosis subglotis, atau stenosis
trakea. Komplikasi intraoperatif termasuk pneumothoraks dan terbakarnya jalan
napas, yang dapat mengakibatkan cedera trakea atau cedera paru. Sebaiknya prosedur
pembedahan rekonstruksi untuk memperbaiki komplikasi yang terjadi dilakukan saat
penyakit telah dorman selama beberapa tahun.3

2.2.6 Prognosis
Pasien anak yang terdiagnosis dengan papilomatosis laring memiliki prognosis
yang bervariasi. Umumnya pasien anak dengan papilomatosis laring membutuhkan
eksisi bedah sesering setiap 2 hingga 4 minggu. Terkadang anak-anak menjalani
sebanyak total 150 operasi, hingga kemudian penyakit tersebut menjadi dorman pada
masa remaja, walaupun hal ini tidak selalu terjadi.9 Banyak dari anak-anak dengan
derajat penyakit yang berat akhirnya mendapatkan komplikasi seperti penyebaran
penyakit ke trakea hingga bronkopulmonalis, transformasi tumor, serta stenosis glotis
atau trakea. Papilomatosis laring pada neonatus diduga merupakan faktor prognosis
yang buruk dengan tingginya mortalitas dan perlunya tindakan trakeotomi.3
Penyakit ini harus dimonitor secara saksama untuk menentukan agresivitasnya.
Beberapa ahli bedah menindaklanjuti pasien di klinik, menilai kebutuhan prosedur
pembedahan berikutnya berdasarkan gejala obstruksi jalan napas pasien dan pada apa
yang diamati dengan laringoskopi serat optik fleksibel. Bagi anak-anak yang

90
kemungkinan besar memiliki penyakit agresif, bronkoskopi rutin awal di ruang
operasi dengan interval 4-6 minggu dapat digunakan untuk menilai perkembangan
penyakit. Praktik ini dapat mengurangi kebutuhan pemeriksaan serat optik di
klinik.3,8,9
Angka rekurensi papilomatosis laring dapat mencapai 70%. Hingga saat ini
belum diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi rekurensi
papilomatosis laring. Diagnosis dini dan penanganan yang tepat diduga merupakan
faktor yang berpengaruh terhadap rekurensi.3
Kematian pada pasien umumnya dihubungkan dengan komplikasi akibat
prosedur pembedahan yang berulang atau gagalnya sistem pernapasan karena
penyebaran penyakit ke arah distal.3

I. LAPORAN KASUS
Pasien perempuan inisial SN berusia 6 tahun datang ke Poli THT-KL RSUP
Sanglah Denpasar pada tanggal 7 Oktober 2016 dengan keluhan suara serak disertai
sesak. Suara serak dikeluhakan oleh orang tuanya sejak umur 2 tahun dan makin lama
dirasakan semakin bertambah berat dan suara semakin hilang. Keluhan sesak muncul
sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan sesak disertai dengan nafas berbunyi. Pasien tidak
mengeluhkan adanya batuk lama. Tidak ada keluhan pada makan dan minum serta
tidak ada penurunan berat badan. Pasien tidak memiliki riwayat adanya penyakit
asma, jantung, nyeri ulu hati, tuberkulosis paru, alergi, trauma, atau operasi pada
daerah leher dan dada.
Pasien lahir spontan pervaginam, langsung menangis tidak biru atau sesak.
Berdasarkan pernyataan ibu pasien, ibu pasien menyangkal adanya riwayat keputihan
ataupun menderita kutil pada kelamin. Riwayat kebiasaan berganti pasangan
disangkal.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 7 Oktober 2017 didapatkan keadaan umum
pasien baik, kompos mentis, berat badan 20 kg. Pemeriksaan telinga, hidung,
tenggorok dalam batas normal. Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening.
Didapatkan adanya stridor, tapi tidak terdapat retraksi. Pada pemeriksaan
laringoskopi tidak langsung didapatkan massa padat putih pada plika vokalis dengan
pergerakan kedua plika vokalis normal. Kemudian dilanjutkan pemeriksaan

91
laringoskopi serat optik (gambar 6) didapatkan gambaran massa putih dengan
permukaan berbenjol-benjol pada plika vokalis, plika ventrikularis, dan rima glottis.

Gambar 6. Hasil pemeriksaan laringoskopi fleksibel tampak massa berbenjol-benjol


pada plika vokalis, rima glotis(tanda panah)

Pasien didiagnosis dengan papilloma laring dan direncanakan untuk dilakukan


ekstirpasi (pengangkatan massa) papilloma laring dengan terlebih dahulu dilakukan
trakeostomi sebelum tindakan pada tanggal 18/11/2016. Dilakukan pemeriksaan
laboratorium dengan hasil White Blood Cell (WBC) : 5,42 x 103/μL, Hemoglobin

(Hb): 13,37gr/dL, Platelet (Plt): 215 x 103/ μL, waktu perdarahan : 2,00 detik, waktu
pembekuan : PPT: 13,7 detik, aPTT: 33,1 detik, INR: 1,12. Dilakukan pemeriksaan
rontgen dada tidak ditemukan adanya kelainan pada jantung dan paru. Kemudian
pasien dikonsulkan ke sejawat anestesi untuk kelayakan operasi. Dari teman sejawat
anestesi didapatkan status fisik ASA 2.
Pada tanggal 14 November 2016, pasien datang ke poli IGD dengan keluhan
sesak bertambah berat disertai nafas berbunyi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
sesak nafas dengan stridor inspirasi, tampak retraksi otot pernafasan pada
suprasternal, epigastrium, dan interkostal. Penderita didiagnosis obstruksi laring
stadium tiga dengan penyebab papiloma laring. Konsultasi ke bagian anestesi untuk
tindakan segera trakeostomi pada pasien di ruang operasi OK IRD RSUP Sanglah.
Tindakan trakeostomi dilakukan dibawah pengaruh anestesi umum dengan
posisi kepala hiperekstensi, desinfeksi lapangan operasi dan lapangan operasi
dipersempit dengan duk steril. Infiltrasi larutan kombinasi lidokain 1:100.000
epinefrin daerah leher dua jari diatas fosa jugularis, insisi secara vertikal mulai dari
prominensia kartilago tiroid sampai dua jari di atas fosa jugularis, diperdalam secara
tumpul sampai strap muscle, teridentifikasi tiroid kemudian disisihkan keatas dengan

92
hak, identifikasi trakea dengan aspirasi uji trakea dengan spuit berisi aquabides,
positif berisi gelembung udara. Insisi trakea bentuk U kemudian dilakukan insersi
kanul trakeostomi, perdarahan dirawat dan operasi selesai.

Gambar 7. Foto pasien setelah menjalani trakeostomi (14 November 2016)


Pada tanggal 16 November 2016 pasien dilakukan ekstirpasi massa
papilloma laring dengan menggunakan laringoskopi dan cunam biopsi. Pada temuan
operasi didapatkan massa putih kemerahan berbenjol-benjol di daerah plika vokalis
kanan dan kiri dari anterior sampai posterior, plika ventrikularis kanan dan kiri,
tampak pula massa memenuhi rima glotis. Massa diangkat hingga bersih dan jaringan
dikirim ke patologi anatomi.

Gambar 8. Operasi ekstirpasi massa papiloma (16 November 2016) Pasien


dirawat total selama 4 hari setelah operasi trakeostomi. Selama
perawatan diberikan pengobatan dengan antibiotik seftriakson 2x 500 mg (iv),
analgetik parasetamol 3x Cth 1 ¾ dan dilakukan perawatan kanul trakeostomi setiap
hari. Pada tanggal 18 November 2016 pasien kemudian dipulangkan dengan
pengobatan oral sefiksim sirup 3x Cth ½, parasetamol sirup 3x Cth 1 ¾ dan kanul

93
trakeostomi dipertahankan. Pasien disarankan untuk kontrol kembali ke poli THT-KL
setelah 3 hari.
Paska operasi hari ke 7, pasien kontrol ke poliklinik THT-KL divisi laring
faring. Keadaan pasien baik, tak tampak sesak maupun sianosis, masih terpasang
kanul trakeostomi dan terawat baik. Pasien membawa hasil patologi anatomi. Hasil
patologi anatomi tanggal 21 November 2016 menggambarkan epitel skuamous
berlapis yang hiperplastik tanpa tanda displasia membentuk struktur papilomatik.
Pada stroma sub epitel tampak sebaran sel radang limpoplasmasitik dan
polimorfonuklear neutrophil. Disimpulkan sebagai suatu gambaran morfologi yang
sesuai untuk papilloma skuamosa laring.

Gambar 9. Hasil pemeriksaan histopatologi sesuai dengan gambaran morfologi suatu


papilloma skuamosa laring
Pada tanggal 14 Desember 2016 dilakukan evaluasi ulang dengan melakukan
pemeriksaan laringoskopi fleksibel didapatkan masih terdapat sisa massa berwarna
putih pada plika vokalis sinistra 1/3 anterior. Pasien direncanakan dilakukan operasi
kembali yakni ekstirpasi massa papilloma laring (tanggal 30 Januari 2017).

Gambar 10. Hasil pemeriksaan laringoskopi fleksibel setelah dilakukan operasi


ekstirpasi massa papilloma laring

94
Pada tanggal 30 Januari 2017 dilakukan operasi kedua pengangkatan massa
papilloma. Massa terlihat berwarna putih pada daerah plika vokalis kiri. Massa
diangkat hingga bersih. Pasien dirawat selama satu hari setelah operasi. Pasien
diperbolehkan pulang tanggal 1 Februari 2017 diberikan pengobatan sefiksim sirup
3x Cth ½, parasetamol sirup 3x Cth 1 ¾. Kanul trakeostomi tetap dipertahankan.
Satu minggu paska operasi tanggal 7 Februari 2017 pasien kontrol. Suara
serak masih dirasakan tapi terdapat perbaikan dibandingkan sebelum operasi.
Keluhan lain tidak dirasakan pasien.
Pada tanggal 21 Februari 2017 dilakukan evaluasi ulang dengan pemeriksaan
laringoskopi fleksibel tidak didapatkan gambaran massa papiloma pada plika vokalis,
plika ventrikularis dan rima glottis. Kemudian pasien dilakukan dekanulasi. Pasien
disarankan untuk tetap kontrol setiap bulan untuk evaluasi. Apabila keluhan serak
semakin bertambah atau terdapat sesak nafas, pasien diminta untuk langsung berobat.

Gambar 11. Hasil pemeriksaan laringoskopi fleksibel setelah dilakukan operasi


ekstirpasi kedua (21 Februari 2017)
Pada tanggal 20 April 2017 pasien kontrol ke poli THT-KL keadaan umum
pasien baik, tidak ada sesak. Suara serak masih ada tetapi terdapat perubahan kualitas
suara dari pada sebelumnya. Keluhan lain tidak dirasakan pasien. Evaluasi
laringoskop fleksibel tidak tampak gambaran massa pada plika vokalis, epiglottis, dan
aritenoid.
Pada tanggal 6 Juni 2017 pasien kontrol ke poli THT-KL. Keadaan pasien
baik, tak tampak sesak, suara serak sudah mengalami perbaikan. Keluhan lain tidak
dirasakan pasien. Evaluasi laringoskop fleksibel tidak tampak gambaran massa pada
plika vokalis, epiglottis, dan aritenoid.

95
IV. PEMBAHASAN
Dilaporkan satu kasus papilomatosis laring pada anak, perempuan berusia 5
tahun yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik THT-KL, termasuk
pemeriksaan laringoskopi tidak langsung dan laringoskopi fleksibel (serat optik).
Diagnosis pasti ditegakkan dari hasil biopsi pada saat operasi.
Berdasarkan waktu terjadinya, kasus papilomatosis laring pada pasien ini
merupakan papilomatosis laring tipe juvenilis (ditetapkan pada pasien yang telah
terdiagnosa pada usia kurang atau sama dengan 12 tahun). Papilomatosis laring tipe
juvenilis biasanya berupa lesi multipel, bersifat agresif dan mudah kambuh. Namun
pailomatosis tipe ini dapat regresi secara spontan pada usia pubertas. Papilomatosis
laring pada anak umumnya terdiagnosa pada umur 2 hingga 4 tahun Mayoritas dari
pasien ini (75%) telah terdiagnosa pada umur kurang dari 5 tahun. Distribusi pada
anak laki-laki dan perempuan cenderung berimbang.22 Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Amstrong dkk, kasus papilomatosis respiratorik rekuren pada anak di
Atlanta didapatkan sebanyak 21 kasus. Distribusi berdasarkan jenis kalamin tidak
didapatkan perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan yakni sebesar
1,1:1. Sebesar 42% kasus telah terdiagnosa sebelum umur 5 tahun. Penelitian juga
dilakukan di Seattle didapatkan 14 kasus papilomatosis respiratorik rekuren pada anak
dan telah terdiagnosa sebelum umur 5 tahun dengan persentase 21%.23
Gambaran klinik dari papilomatosis laring berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas. Tanda pasti papilomatosis laring pada anak adalah adanya trias yakni suara
parau yang progresif, stridor dan distress pernapasan. Suara parau pada anak
cenderung diabaikan atau baru diterima ketika derajatnya sudah parah yang diikuti
dengan gejala obstruksi jalan napas atas. Kebanyakan pasien terutama pada anak
datang dengan dengan obstruksi jalan nafas dan sering salah diagnosis sebagai asma,
bronkitis kronis atau laringotrakeobronkitis.2 Pada kasus ini pasien datang dengan
keluhan suara parau disertai sesak. Suara parau makin lama dirasakan semakin
memberat dan suara semakin menghilang. Sesak kemudian dikeluhkan sejak 1 bulan
yang lalu disertai suara nafas berbunyi.
Berdasarkan penelitian oleh Long dan Sani, suara parau atau disfonia
merupakan keluhan utama dan keluhan yang paling sering ditemukan dari
papilomatosis laring yakni sebesar 90% kemudian diikuti batuk (30%), stridor(30%)
dan aphonia (10%).24 Dari penelitian oleh Poenaru dkk, gambaran klinis yang sering

96
ditemukan pada papilomatosis laring adalah suara serak (95,65%), batuk kronis
(65,21%), stridor (56,52%) dan dipsnea (47,82%).25
Kejadian papilomatosis laring pada anak diduga terjadi akibat transmisi HPV
pada saat kelahiran. Risiko transmisi infeksi HPV dari Ibu ke Anak diperkirakan
berkisar 1:80 hingga 1:500. Risiko ini meningkat pada anak pertama yang lahir
pervaginam pada ibu yang menderita infeksi HPV genital. Kashima menemukan
bahwa anak pertama yang lahir pervaginam pada ibu primigravida cenderung
mengalami fase kala dua yang panjang sehingga mengakibatkan pajanan virus yang
lebih lama dan meningkatkan risiko infeksi pada anak pertama mereka.21
Pada kasus, pasien merupakan anak pertama yang lahir spontan secara
pervaginam. Tetapi belum dapat dipastikan adanya riwayat ibu pasien menderita
infeksi HPV genital seperti kondiloma. Shah dkk, memperkirakan risiko seorang anak
terinfeksi penyakit ini dari ibu yang memiliki lesi kondiloma aktif dan melahirkan
secara normal sebesar 1:400.21 Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Silverberg dkk,
anak-anak yang lahir dari seorang ibu yang menderita kondiloma aktif akan memiliki
peningkatan risiko sebesar 231 kali terjadinya papilomatosis bila dibandingkan
dengan anak yang lahir dari ibu yang sehat.26
Gambaran papilomatosis laring terlihat sebagai massa multinodular seperti
kembang kol (cauliflower) yang tumbuh eksofitik, dasar bertangkai atau luas,
berwarna merah muda atau putih.3 Pada kasus, gambaran makroskopis melalui
pemeriksaan laringokopi fleksibel tampak massa berawarna putih berdungkul-
dungkul pada plika vokalis dekstra dan sinistra, commisura anterior, tampak massa
berwarna merah muda dengan permukaan yang berdungkul-dungkul pada plika
ventrikularis, dan tampak massa putih seperti kembang kol pada rima glottis.
Papiloma laring memiliki predileksi yakni tempat bertemunya (junctional site) antara
epitel skuamosa dan epitel silia respiratorik seperti di laring (plika vokalis, plika
ventrikularis, dan epiglottis), trakea (carina).13 Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Poenaru dkk, menunjukkan papilomatosis laring tipe juvenilis terbanyak
ditemukan pada komisura anterior dan plika vokalis (78,26%), diikuti plika vokalis,
commisura anterior dan posterior, plika ventrikularis dan permukaan epiglottis
(13,04%), serta area subglotik (8,69%)25
Banyak faktor telah dikemukakan sebagai factor resiko penyebab terjadinya
papilloma laring, namun infeksi HPV yang diyakini merupakan penyebab utama

97
terjadinya penyakit ini. Melalui pemeriksaan in situ hybridization dan polymerase
chain reaction (PCR), DNA HPV dapat teridentifikasi pada hampir setiap
pemeriksaan lesi papilloma. Tipe yang paling sering ditemukan pada kasus
papilomatosis adalah sub tipe 6 dan 11, tipe yang sama yang bertanggung jawab
sebagai penyebab kondiloma genital. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Lenny dkk, dari 15 sampel jaringan papilloma, dilakukan pemeriksaan PCR dan
analisis sequen DNA didapatkan 9 isolat HPV tipe 6, 4 isolat HPV tipe 11 dan 2
isolat tipe HPV lainnya.26 Pada kasus, pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
untuk identifikasi HPV dengan PCR karena keterbatasan biaya.
Papilomatosis laring pada anak merupakan penyakit dengan potensi
morbiditas tinggi. Papiloma laring yang tumbuh secara agresif dapat menyebabkan
terjadinya obstruksi jalan napas. Pada kasus, pasien mengalami obstruksi laring
derajat 3 dan dilakukan penanganan trakeostomi. Berdasarkan kiriteria Jackson,
obstruksi laring dibagi menjadi 4 derajat atau stadium yakni Stadium 1 ditandai
dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal, tanpa sianosis, Stadium 2
ditandai dengan gejala sesuai Jackson 1 tetapi lebih berat disertai retraksi retraksi
epigastrium, dan pasien tampak mulai gelisah, Stadium 3 ditandai dengan gejala
sesuai Jackson 2 disertai retraksi intercostal dan infraklavikula, stridor terdenganr saat
inspirasi dan ekspirasi, Stadium 4 ditandai gejala Jackson 3 disertai pasien sangat
geliah, tampak sangat ketakutan, dan sianosis.
Penanganan untuk obstruksi laring pada prinsipnya diupayakan agar jalan
napas lancar kembali. Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi anti
alergi, antibiotika dan oksigen dilakukan pada obstruksi laring stadium 1. Stadium 2
dan 3 diperlukan penanganan tindakan operasi dapat berupa intubasi endotrakea atau
trakeostomi sedangkan stadium 4 diperlukan penanganan krikotirotomi.
Tidak ada modalitas yang secara efektif ditunjukkan dalam eradikasi
papilomatosis laring. Standar terapi saat ini yakni terapi pembedahan dengan tujuan
mengangkat seluruh papiloma dan atau memperbaiki dan mempertahankan jalan
napas. Terapi bedah harus berdasarkan prinsip pemeliharaan jaringan normal untuk
mencegah penyulit seperti stenosis laring. Penatalaksanaan papilomatosis pada pasien
ini yakni ekstirpasi massa papiloma dengan menggunakan laringoskopi dan cunam
biopsi. Pada pasien ini dipilih teknik dengan menggunakan instrumen bedah karena
teknik ini tidak merusak struktur yang lebih dalam dengan menghindari trauma panas.
Penggunaan instrumen bedah dapat dipilih sebagai modalitas ideal pada lesi

98
papilloma di plika vokalis atau pada struktur yang tidak dapat dicapai dengan laser.
Pada kasus papilloma laring yang rekuren, terapi bedah dengan dengan menggunakan
laser CO2 merupakan pilihan. Keuntungan penggunaan laser CO2 adalah dapat
membantu dalam mendestruksi jaringan secara cepat teapat dan menjaga hemostasis
selama operasi serta dapat memperpanjang periode bebas penyakit pada beberapa
kasus. Laser CO2 merupakan instrumen yang direkomendasikan karena laser dapat
meminimalisir dilakukannya trakeostomi, meminimalkan kerusakan pada plika
vokalis, dan membatasi skar sehingga mengizinkan anak untuk dapat
mengembangkan fonasi yang baik dengan anatomi plika vokalis yang normal. 25
Pemberian terapi ajuvan seperti cidofovir, interferon-α, terapi fotodinamik,
indole-3-carbinol, asiklovir, asam retinoat dan estrogen tidak diberikan pada pasien
ini. Berdasarkan kepustakaan terapi ajuvan diberikan bila pasien telah menjalani
operasi lebih dari 4 kali dalam setahun, terdapat penyebaran penyakit ke lokasi yang
lebih distal, atau rekurensi yang cepat disertai dengan gangguan jalan napas.
Pemberian terapi ajuvan sampai saat ini belum memberikan bukti ilmiah yang
memadai terhadap tingkat keberhasilan dalam mengeradikasi papiloma sehingga
masih terus dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai terapi ajuvan untuk kasus
papilloma laring.25
Sebagaimana dalam kepustakaan disebutkan setelah operasi, pasien harus
istirahat suara total dalam minggu pertama, bicara ringan pada minggu kedua dan
secara bertahap menggunakan suara pada minggu-minggu berikutnya. Pada kasus ini
pasien disarankan untuk kontrol ke poli THT-KL setiap bulannya untuk memonitor
dan mengevaluasi perkembangan penyakit. Monitoring dan evaluasi harus dilakukan
pada kasus dengan papilomatosis laring karena mengingat tingkat rekurensi yang
tinggi. Merujuk pada kecenderungan rekurensi dan potensinya menimbulkan
obstruksi jalan napas, maka pengawasan dan dukungan orang tua atau keluarga
pasien papilomatosis laring serta edukasi sangatlah bernilai dalam keselamatan pasien
anak dengan penyakit ini.

99
DAFTAR PUSTAKA

1. Derkay, CS, Wiatrak. Reccurent Respiratory Papillomatosis.


Laringoscope.2008;118:1236-47
1. Ridley R. Recurrent Respiratory Papillomatosis. Grand Rounds Presentation.
University of Texas Dept of Otolaryngology;2008:1-11.
2. Derkay, CS.Recurrent respiratory Papillomatosis. Dalam : Bailey BJ, Johnson JT,
Newlands SD, penyunting.Head and Neck Surgery-Otolaryngology.Edisi ke-
4.2006.Lippincott Williams & Wilkins:Philadelphia,hal:1167-80.
3. Derkay CS. Task Force on Recurrent Respiratory Papillomatosis.Arch
Otolaryngol Head Neck Surg.1995;121:1386-91.
4. Donne, AJ dkk. Prevalence and Management of Reccurent Respiratory
Papillomatosis in the UK (cross sectional study). Clin Otolaryngol.2011;42:86-91
5. Deutsch ES, Yang JY, Reilly JS. Laryngoscopy. Dalam: Snow JB, Ballenger
JJ, penyunting.Ballenger’s Otorhinolaryngology.Edisi ke-16.2003.BC Decker
Inc:Ontario,hal:1542-43.
6. Probst R, Greven G, Iro H. Embryology, Anatomy, and Physiology of The
Larynx and Trachea. Basic Otorhinolaryngology: A Step by Step Learning
Guide.Edisi ke-2.2006. Georg Thieme Verlag:Stuttgart,hal.338-45.
7. Wiatrak BJ, Wiatrak DW, Broker TR, Lewis L. RRP: A Longitudinal Study
Comparison Severity Associated with HPV types 6 and 11 and other risk factors
in large pediatric population. Laringoscope.2004;114:1-23
8. Aaltone LM, Rihkanen H, Vaheri A. Human Papillomavirus in Larynx.
Laringoscope.2002;112:700-07
9. Silverberg MJ, Thorsen P, Lindeberg dkk. Condyloma in Pregnancy is strongly
Predictive of Juvenile Onset Resccurent Respiratory Papillomatosis.Obstet
Gynecol.2003;101:645-52
10. Martin RHG, dkk. Laryngeal Papillomatosis Morphological Study by Light
and Electron Microscopy of the HPV-6. Rev Bras
Otorhinolaryngol.2008;74(4):539-43.
11. Bastian RW.Benign Vocal Fold Mucosal Disorders. Dalam: Cummings CW,
penyunting.Cumming’s Otolaryngology Head and Neck Surgery.Edisi ke-
4.2005.Elsevier Mosby:Baltimore,hal:2150-86.

100
12. Rebeiz EE, Shapsay SM.Benign Lesion of the Larynx.Dalam : Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD, penyunting.Head and Neck Surgery-
Otolaryngology.Edisi ke-4.2006.Lippincott Williams &
Wilkins:Philadelphia,hal:617-26.
13. Lee JH, Smith RJ. Recurrent Respiratory Papillomatosis : Pathogenesis to
Treatment. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg.2005;13:354-9.
14. Rosen CA. Benign Vocal Fold Lesion and Phonomicrosurgery. Dalam Bailey
BJ, Johnson JT, Newlands SD, Penyunting Head and Neck Surgery-
Otolaryngology.Edisi ke-4.2006.Lippincot Williams&&Wilkins:philadelpia,
hal:836-46
15. Alexander RE, Fried MP. Surgical therapy For Recurrent Respiratory
Papillomatosis.ENT J.2007;86(2):68-9
16. Dean C, Sataloff RT, Hawkshaw M. Reccurent Vocal Fold Papilloma: Resection
Using Cold Instrumets. ENT J.1998;77-882-84
17. Roy S, Vivero RJ. Reccurent Respiratory Papillomatosis. ENT J;2008;37:18-9
18. Pransky SM, Albright JT, Magit Ae. Long Term Follow up of RRP management
with Intralesion Cidofovir. Laryngoscope.2002;113:1583-87
19. Kristic M, dkk. Etiopathogenesis of Reccurent Laryngeal papillomatosis And
Contemporary Treatment And Strategy.Acta Medica J.2014;53(4):64-71
20. Bishai D, Kashima H, Shah K. The cost of Juvenile Onset Reccurent Respiratory
Papillomatosis. Arch Otolaryngol Head and Neck Surg. 2000;126(8):935-9
21. Larson DA, Derkay CS. Epidemiology of Reccurent Respiratory Papillomatosis.
APMIS.2010;118:450-54
22. Amstrong LR,dkk. Incidence and Prevalence of Reccurent Respiratory
Papillomatosis among Children in Atlanta and Seattle. Clinical Infection Disease
J.2000;31:107-9
23. Long YT, Sani A. Reccurent Respiratory Papillomatosis.Asian Journal of
Surgery.2003;26(2):112-16
24. Poenaru M, dkk. The use of combined treatment with CO2 laser, microsurgery
and interferon alpha in Juvenile Reccurent Laringeal
Papillomatosis.TMJ.2006;56(1):48-54
25. Mustafa M, dkk. Transmission and Prevention of Reccurent Respiratory
Papillomatosis.IOSR of Journal Medical Sciences.2015;14(9);86-91

101
TULI SENSORINEURAL MENDADAK
PADA PASIEN MENINGITIS SUIS
Oleh:
I Made Wirandha

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan
Tuli sensorineural mendadak didefinisikan sebagai tuli sensorineural pada satu
atau kedua telinga yang berlangsung secara cepat dalam periode 72 jam dengan
kriteria audiometri berupa penurunan pendengaran > 30 dB sekurang-kurangnya pada
3 frekuensi audiometri berturut-turut..1 Sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun
1944, kejadiannya meningkat setiap tahun. Di Amerika Serikat, kejadian tuli
sensorineural mendadak ditemukan pada 5-20 per 100.000 penduduk per tahun
dengan 4000 kasus tiap tahunnya.
Tuli sensorineural mendadak merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan
yang memerlukan penanganan segera walaupun beberapa kepustakaan menyatakan
bahwa tuli sensorineural mendadak dapat pulih spontan. Angka pemulihan pasien
yang tidak mendapat pengobatan adalah 28-65%, sebagian besar dalam 2 minggu
setelah munculnya gejala.2 Masalah yang umum ditemukan pada kasus tuli
sensorineural mendadak adalah keterlambatan diagnosis, sehingga pengobatan
tertunda yang akhirnya menyebabkan kehilangan pendengaran permanen. Oleh sebab
itu, penting untuk mengenali dan mendeteksi kelainan ini sejak dini agar dapat
menunjang pemulihan fungsi pendengaran dan meningkatkan kualitas hidup pasien.3,4
Meningitis Suis adalah meningitis yang disebabkan oleh infeksi streptococcus
suis yang didapat melalui paparan babi yang terkontaminasi atau daging babi yang
terkontaminasi. Selama beberapa tahun terakhir, jumlah infeksi streptococcus suis
dilaporkan ke manusia telah meningkat secara signifikan, dengan kebanyakan kasus
berasal di Asia Tenggara, dimana kepadatan babi yang tinggi. Di Bali, konsumsi
daging babi sangat tinggi karena merupakan makanan kegemaran masyarakat bali dan
merupakan salah satu sarana upacara orang Bali yang mayoritas beragama Hindu.
Kejadian meningitis suis dilaporkan meningkat pada beberapa bulan terakhir di Bali
yang menghebohkan masyarakat Bali. Gejala meningitis suis ini umumnya sama
dengan meningitis akibat bakteri dan dilaporkan hampir lebih dari 50% pasien dengan

102
meningitis suis megalami keluhan penurunan pendengaran. Berikut dilaporkan serial
kasus tuli mendadak pada pasien meningitis suis.

Tinjauan Pustaka
2.1. Anatomi telinga dan fisiologi pendengaran
Telinga terbagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga
luar terdiri dari daun telinga dan kanalis akustikus eksternus. Telinga tengah terdiri
dari membran timpani, maleus, inkus, stapes, muskulus tensor timpani dan muskulus
stapedius. Terdapat korda timpani yang merupakan cabang nervus fasialis berjalan
melintasi kavum telinga tengah membawa serabut pengecap. Tuba Eustachius
menghubungkan kavum telinga tengah dengan faring yang akan membuka oleh
kontraksi muskulus tensor veli palatini.1,7

A B

Gambar 1. A. Gambar skematik telinga, B. Penampang melintang koklea7

Telinga dalam terdiri dari koklea dan organ vestibuler yang berada pada
tulang temporal. Koklea merupakan tabung yang mengandung organ sensori untuk
pendengaran. Koklea memiliki tiga buah kanal yang mengandung cairan yaitu skala
vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media berada di koklea bagian tengah,
dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh
membran basilaris. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfe
sedangkan skala media berisi cairan endolimfe.7
Cairan perilimfe pada telinga dalam berhubungan dengan cairan serebrospinal
pada kavum kranii melalui akuaduktus koklearis, yang menghubungkan ruang
perilimfe dengan ruang cairan kranial. Membran Reisnner memiliki komplians yang

103
sangat tinggi sehingga perubahan tekanan yang sangat kecil sekalipun dapat
menyebabkan perubahan volume yang besar pada ruang endolimfe. Gangguan
keseimbangan tekanan pada kedua sistem tersebut akan menyebabkan gangguan
pendengaran dan keseimbangan.1,7
Organon Corti terletak pada membran basiler dan banyak mengandung sel
sensori, sel rambut luar maupun sel rambut dalam. Diantara barisan sel rambut luar
dan sel rambut dalam terdapat suatu saluran Corti. Sel rambut luar berbentuk silindris
sedangkan sel rambut dalam berbentuk seperti labu. Sel rambut luar pada apeks
koklea memiliki ukuran lebih panjang dibandingkan pada bagian basal. Stereosilia sel
rambut dalam pada basal koklea berukuran lebih pendek dibandingkan dengan apeks
koklea. Stria vaskularis beradadiantara ruang perilimfe dan endolimfe di sepanjang
dinding koklea. Stria vaskularis banyak mengandung pembuluh darah dan
mitokondria pada selnya yang mengindikasikan terlibatnya aktivitas metabolik.7
Membran basiler berukuran panjang sekitar 150 μm di basal koklea dan lebar
450 μm di apeks, mengandung jaringan ikat dan membentuk basal skala media. Pada
bagian basal, membran basiler mempunyai struktur yang lebih kaku dibandingkan
apeks. Perubahan struktur secara gradual ini menyebabkan suara yang mencapai
telinga menghasilkan gelombang pada membran basiler yang berjalan dari basal

menuju ke apeks koklea.7


Koklea diinervasi oleh serat saraf aferen auditoris, eferen dan autonomik.
Koklea diperdarahi oleh arteri labirintin yang berasal dari arteri serebelum anterior
inferior dan berjalan mengikuti nervus kranialis VIII pada meatus akustikus internus.
Arteri labirintin merupakan arteri terminal dan hanya mengandung sedikit bahkan
tidak ada suplai pembuluh darah kolateral ke koklea.7

Proses mendengar dimulai dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun


telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.
Setelah memasuki meatus eksterna, bunyi akan menggetarkan membran timpani
selanjutnya dirambatkan melalui osikula auditiva. Tulang pendengaran akan
mengamplifikasi getaran melalui gaya ungkit tulang pendengaran dan perkalian
perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah
diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang akan menggerakkan tingkap lonjong
sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Gerakan diteruskan melalui
membran Reissner yang mendorong endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak

104
relatif antara membran basilaris dan membran tektorial. Proses ini merupakan
rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel–sel
rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari
badan sel. Keadaan ini akan menimbulkan depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi
pada saraf auditorius sampai ke korteks pendengaran pada area 39-40 di lobus

temporalis.7

2.2. Tuli sensorineural mendadak

2.2.1. Definisi dan kekerapan


Tuli sensorineural mendadak didefinisikan sebagai tuli sensorineural pada satu
atau kedua telinga yang berlangsung secara cepat dalam periode 72 jam dengan
kriteria audiometri berupa penurunan pendengaran > 30 dB sekurang-kurangnya pada
3 frekuensi audiometri berturut-turut. Di Amerika Serikat kejadian tuli sensorineural
mendadak ditemukan pada 5-20 tiap 100.000 orang per tahun dengan 4000 kasus baru
tiap tahunnya. Pada beberapa penelitian didapatkan sebanyak 7500 kasus di Amerika,
Eropa dan Jepang.8 Distribusi penderita laki-laki dan perempuan hampir sama. Tuli
sensorineural mendadak dapat ditemukan pada semua kelompok usia, umumnya pada
rentang usia 40-50 tahun, dengan puncak insidensi pada dekade keenam.Gejala
vestibular didapatkan pada 28-57% pasien.3,8
2.2.2. Etiologi dan Patogenesis
Penyebab tuli sensorineural mendadak sampai saat ini belum dapat diketahui
secara pasti. Dilaporkan etiologi dari ketulian mendadak hanya dapat ditegakkan pada
10 % kasus tersebut. Penyebab tuli sensorineural mendadak dapat dilihat pada tabel 1
:

Tabel 1 . Penyebab tuli sensorineural mendadak1


Penyebab Tuli Sensorineural Mendadak
Koklea Inflamasi ( Virus, bakteri, spiroseta)
Trauma
Vaskular
Hematologi (anemia, emboli, gangguan koagulasi
Gangguan jaringan ikat(poliarteritis nodosa, sindrom cogan)
Hidrop endolimfe (penyakit Meniere)
Gangguan metabolic
Ototoksisitas
Retrokoklea dan Meningitis
105
sistem saraf pusat Multiple sklerosis
Sarkoidosis
Friedreich’s ataksia
Amiotrofik lateral sklerosis
Sindrom Vogt-Konayagi-Harada
Xeroderma pigmetosum
Tumor (neuroma Akustik)
Idiopatik

Beberapa teori terjadinya tuli sensorineural mendadak idiopatik adalah


rusaknya nervus vestibulokoklearis oleh infeksi virus, kelainan vaskular, atau rupture
membran labirin.8,9 Dugaan penyebab ketulian mendadak idiopatik antara lain infeksi
virus, imunologis, kelainan vaskuler dan ruptur membran intra koklearis namun tidak
satupun diantaranya yang dapat menjelaskan dengan pasti proses patofisiologi dari
ketulian mendadak idiopatik.1,3,8,9
Infeksi virus diduga sebagai salah satu penyebab tuli sensorineural mendadak.
Wilson menyajikan data dengan pemeriksaan serokonversi virus pada pasien tuli
sensorineural mendadak, kebanyakan tuli sensorineural mendadak disebabkan oleh
virus Herpes. Pemeriksaan serologis terhadap pasien dengan ketulian sensorineural
mendadak idiopatik menunjukkan adanya peningkatan titer antibodi terhadap
sejumlah virus. Pemeriksaan histopatologi tulang temporal pada pasien tuli
sensorineural mendadak ini ditemukan kerusakan koklea akibat luka dari infeksi
tersebut, kehilangan sel-sel rambut dan sel-sel pendukung, atropi membran tektorial,
atropi stria vaskularis.1
Teori gangguan vaskular merupakan teori yang paling banyak berkembang.
Pembuluh darah koklea merupakan end artery dengan sirkulasi yang tidak kolateral
dan fungsinya secara halus untuk mengubah supply darah sehingga bila terjadi
gangguan pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami kerusakan dan
terjadi iskemik. Gangguan pembuluh darah ini dapat disebabkan seperti emboli,
trombosis, kurangnya aliran darah, vasospasme dan hiperkoagulasi atau viskositas
yang meningkat. Iskemia mengakibatkan degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria
vaskularis dan ligamen spiralis. Kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat dan
penulangan.3,8
Pada teori kerusakan membran intrakoklea dikatakan terdapat membran tipis
yang memisahkan telinga dalam dari telinga tengah dan ada membran halus yang
memisahkan ruang perilimfe dengan endolimfe dalam koklea. Robekan salah satu
atau kedua membran tersebut secara teoritis dapat menyebabkan tuli sensorineural.
Kebocoran cairan perilimfe ke dalam telinga tengah melalui tingkap bundar dan
106
tingkap lonjong didalilkan sebagai penyebab ketulian dengan membentuk hidrops
endolimfe relatif atau menyebabkan robeknya membran intrakoklea. Robekan
membran intrakoklea memungkinkan terjadinya percampuran perilimfe dan

endolimfe sehingga mengubah potensial endokoklea.1,9


Tuli sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun diperkenalkan oleh
McCabe pada tahun 1979.1 Pada kondisi ini ditemukan adanya kehilangan
pendengaran progresif. Adanya aktivitas imun pada koklea mendukung konsep teori
ini. Gangguan pendengaran pada sindrom Cogan, SLE dan kelainan reumatik
autoimun lainnya telah lama diketahui.3 Sebagai pendukung lain teori ini, terdapat
sebuah studi prospektif pada 51 pasien tuli sensorineural mendadak dan ditemukan
beberapa kelainan yang berkaitan dengan sistem imun (multiple immune-mediated
disorders).3,9

2.2.3. Diagnosis
Diagnosis tuli sensorineural mendadak ditegakkan berdasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik dan THT, audiometri nada murni, pemeriksaan
penunjang lainnya. Pada anamnesis didapatkan keluhan pasien berupa penurunan
pendengaran secara tiba-tiba, dalam beberapa jam atau hari, pada satu atau dua
telinga. Selain itu juga dapat disertai dengan keluhan tinitus dan vertigo tipe
vestibuler perifer. Riwayat penyakit terdahulu perlu ditanyakan terutama penyakit
yang dapat menjadi faktor resiko serta riwayat penggunaan obat-obatan yang bersifat
ototoksik.1,9 Pada pemeriksaan THT tidak didapatkan kelainan pada kanalis
akustikus eksterna dan membran timpani. Melalui pemeriksaan tes penala didapatkan
hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke arah telinga yang sehat dan Scwabach
memendek. Pada pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan kelainan tuli
sensorineural derajat ringan sampai berat, baik pada frekuensi rendah, sedang, tinggi
atau pada seluruh frekuensi.10
Pemeriksaan penunjang perlu dikerjakan untuk dapat menyingkirkan setiap
kemungkinan penyebab tuli sensorineural mendadak. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan berdasarkan riwayat penyakit dan kecurigaan diagnosis seperti contohnya
pemeriksaan darah lengkap, gula darah, profil lipid, faal hemostasis, rontgen dada,
dan Elektrokardiografi.10

107
2.2.4 Penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak.
Penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak seharusnya berdasarkan
penyebabnya, akan tetapi karena sebagian besar kasus tuli sensorineural mendadak
adalah idiopatik sehingga pengobatan dilakukan secara empiris.1,3,4
Berbagai penelitian penggunaan kortikosteroid pada pasien tuli mendadak
telah dipublikasikan. Terdapat bukti laboratorium yang menunjukkan adanya cascade
inflamasi kematian sel pada pasien tuli mendadak yang dimodifikasi oleh terapi
steroid. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sintetik oral, intravena
dan/atau intratimpani, meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason.
Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek antiinflamasi dan kemampuan dalam
meningkatkan aliran darah koklea. Untuk hasil pengobatan yang maksimal, dosis
terapi prednison oral yang direkomendasikan adalah 1 mg/kg/hari dosis tunggal
dengan dosis maksimum 60 mg/hari selama 10-14 hari. Dosis ekuivalen prednison 60
mg setara dengan metilprednisolon 48 mg dan deksametason 10 mg.3 Sebuah data
yang representatif menggunakan regimen pengobatan dengan dosis maksimum
selama 4 hari diikuti tapering off 10 mg setiap dua hari.3,8
Beberapa ahli THT merekomendasikan terapi kortikosteroid intratimpani
sebagai pengganti terapi kortikosteroid sistemik atau “salvage therapy” pada pasien
yang tidak mengalami perbaikan dengan kortikosteroid sistemik.3,8 Keuntungan
terapi kortikosteroid intratimpani adalah memberikan steroid konsentrasi tinggi
langsung pada jaringan target (perilimfe) dengan efek samping sistemik minimal.2-4
Hal ini didukung oleh Parnes dkk, yang mempublikasikan dan mendemonstrasikan
kadar steroid yang tinggi di telinga dalam setelah aplikasi terapi steroid intratimpani.3
Sebuah studi mengenai terapi kombinasi kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan
kortikosteroid intratimpani menunjukkan hasil perbaikan fungsi pendengaran secara
signifikan.20 Steroid intratimpani yang biasa diberikan adalah deksametason atau
metilprednisolon. Konsentrasi kortikosteroid yang digunakan bervariasi, sebagian
besar studi menganjurkan deksametason 10-24 mg/mL dan metilprednisolon 30
mg/mL atau lebih.1,3,20
Terapi oksigen hiperbarik sebagai terapi tambahan dalam kasus tuli
mendadak. Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari 1 ATA
(atmosphere absolute).3 Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea
dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan tekanan
parsial yang lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap
108
keadaan iskemik.3,21 Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki efek yang
kompleks pada imunitas tubuh, transpor oksigen dan hemodinamik, peningkatkan
respons normal pejamu terhadap infeksi dan iskemia, serta mengurangi hipoksia dan
edema.1 Menurut guideline AAO-HNS, terapi oksigen hiperbarik sebaiknya
dilakukan dalam 2 minggu hingga 3 bulan dari saat diagnosis tuli mendadak. Pasien
usia muda memberikan respons lebih baik dibandingkan pasien yang lebih tua (usia
bervariasi antara 50-60 tahun).3 Hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam terapi
oksigen hiperbarik ini adalah manfaat dan risiko efek samping. Terapi ini memiliki
efek samping berupa kerusakan pada telinga, sinus dan paru akibat perubahan
tekanan, miopia yang memburuk sementara, klaustrofobia, dan keracunan oksigen.3,4
Selain infeksi virus, penyebab tuli mendadak lainnya adalah iskemia koklea
akibat kelainan vaskular, seperti perdarahan, emboli, dan vasospasme. Agen
vasoaktif, trombolitik, vasodilator atau antioksidan telah dicoba untuk meningkatkann
aliran darah koklea, tetapi belum ada bukti keberhasilan terapi. Ekstrak Ginkgo biloba
yang mengandung flavones dan terpenes dapat mencegah perkembangan radikal
bebas dan berperan sebagai vasodilator. Pentoksifilin menghambat agregasi trombosit
dan meningkatkan fleksibilitas eritrosit dan leukosit sehingga memperbaiki viskositas
darah, terutama pembuluh kapiler. Dekstran dapat memperbaiki mikrosirkulasi karena
memiliki efek antitrombotik. HES (hydroxyethylstarch) mengurangi hematokrit dan

agregasi platelet.1,3

2.2.5 Prognosis
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor yaitu usia,derajat
gangguan pendengaran, metode pengobatan yang digunakan, saat memulai
pengobatan, ada tidaknya gejala vestibular dan faktor predisposisi lainnya.22-3 Usia
lanjut, gangguan pendengaran sangat berat dan adanya gejala vestibular subjektif
dikaitkan dengan rendahnya tingkat kesembuhan.23 Usia lanjut, hipertensi, diabetes,
dan hiperlipidemia berkaitan dengan disfungsi mikrovaskuler di koklea, yang
merupakan faktor prognosis buruk. Saat mulai pengobatan lebih dini berhubungan
dengan prognosis baik bagi pemulihan fungsi pendengaran. Derajat gangguan
pendengaran awal mempengaruhi potensi pemulihan pendengaran.22 Vertigo dapat
digunakan sebagai indikator tingkat keparahan lesi dan berkaitan dengan prognosis
yang buruk.22-3 Namun 28-65% pasien tuli mendadak yang tidak diobati dapat

109
mengalami pemulihan spontan. Pasien tuli mendadak yang telah mendapat
pengobatan namun ketulian tetap bersifat permanen dan menimbulkan kecacatan,
membutuhkan rehabilitasi auditorik.2
Keberhasilan pengobatan tuli sensorineural mendadak dinilai berdasarkan
rata-rata ambang pendengaran menurut Siegel yaitu a) Pulih total jika ambang dengar
rata-rata < 25 dB, b) Pulih sebagian jika terjadi perbaikan > 15 dB dengan ambang
dengar rata-rata 25-45 dB, c) Pulih ringan jika perbaikan > 15 dB dengan ambang
dengar rata-rata > 45 dB, d) tidak ada pemulihan jika perbaikan < 15 dB.

2.3 Meningitis Suis


2.3.1. Definisi dan Epidemiologi
Meningitis suis adalah suatu peradangan selaput otak yang mengenai lapisan piameter
dan ruang subaraknoid termasuk cairan serebrospinal yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Streptococcus suis yang menyebar masuk kedalam darah dan berpindah ke
cairan otak.5 Streptococcus suis bersifat patogen pada babi kemudian dapat
menyebabkan infeksi sistemik berat pada manusia. Streptococcus Suis dilaporkan
pertama kali pada tahun 1954 setelah terjadi meningitis, sepsis dan artritis purulen
pada anak babi oleh dokter hewan. Empat belas tahun kemudian kasus pertama pada
manusia dilaporkan di Denmark dan kemudian di tempat lain juga ditemukan di
Hongkong dan Eropa Utara.5,6 Jumlah kasus pada manusia terinfeksi S. Suis terus
meningkat pada tahun berikutnya. Pada review artikel yang dipublikasi tahun 2007
dilaporkan sebanyak 409 kasus terimfeksi S. Suis manusia. Dimana kebanyakan kasus
didapatkan paling banyak di Asia Tenggara. Selain pada babi, S. Suis dapat pula
diisolasi dari binatang lain seperti kucing, anjing, rusa dan kuda dan merupakan
kuman komensal pada usus halus. Babi sehat dapat membawa multipel serotipe dari
S. Suis di hidung, tonsil, saluran nafas atas, saluran genital dan saluran cerna. Dari 35
serotipe hanya beberapa yang menyebabkan infeksi pada babi yaitu serotipe 1-9 dan
17. S. Suis serotipe 2 merupakan serotipe yang paling patogen pada manusia dan
babi.5
Sejak pertama kali kasus S.Suis di Denmark dilaporkan peningkatan kasus di
beberapa negara. Dilaporkan 151 kasus meningitis Suis di Vietnam dalam periode 10
tahun.13 Dilaporkan pula kasus infeksi sporadis dimana terjangkitnya infeksi S. Suis
di provinsi Sinchuan China selama bulan Juli dan Agustus sebanyak 215 kasus dan 38
kasus menyebabkan kematian. Kasus tersebut menekankan infeksi S.Suis sebagai

110
penyakit zoonosis yang berbahaya. S. Suis serotipe 2 merupakan penyebab tersering
pada manusia.24 Infeksi S. Suis pada manusia banyak dilaporkan di negara yang
banyak mengkonsumsi daging babi. Kejadian tertinggi terjadi pada kelompok umur
47-55 tahun dan jarang terjadi pada anak-anak. Rasio kejadian pada pria dan wanita
yaitu 3,5 : 1 sampai 6,5 : 1 yang mendukung terjadinya infeksi berhubungan dengan
pekerjaan. Peternak dan pekerja yang berhubungan dengan babi mempunyai risiko
tertinggi terkena meningitis suis dimana dilaporkan terjadi 3 kasus per 100.000
populasi, risiko lebih rendah pada tukang daging dimana terjadi 1,2 kasus per 100.000
populasi di negara maju. Tetapi kejadian tersebut tidak sesuai di asia tenggara dimana
populasi babinya tinggi.5,17,26

2.3.2 Patogenesis
Pada penelitian di Provinsi Sinhuan, China risiko terjadinya infeksi S. Suis terjadi
pada orang yang memotong dan memproses daging babi serta pada para peternak
babi. Mengkonsumsi daging babi yang tidak dimasak sempurna juga merupakan
faktor risiko terjangkitnya infeksi S.Suis pada manusia. Masih menjadi perdebatan
bagaimana S. suis menyerang host dan bagaimana dapat melintasi sawar darah otak.
Serangkaian faktor virulensi potensial dari S. Suis serotipe 2 telah diidentifikasi,
termasuk polisakarida kapsul, faktor protein ekstraseluler, protein released-
muramidase, suilysin, adhesins, hyaluronate lyase, dan antigen permukaan 1. Kecuali
kapsul polisakarida, tidak satu pun faktor tersebut terbukti penting untuk virulensi

dari S. Suis.5,6
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui aliran darah (hematogen) karena
adanya infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsilitis, endokarditis, pneumonia,
infeksi. Meningitis S. Suis sebagian besar terjadi akibat penyebaran hematogen
melalui proses bakteri melekat pada sel epitel mukosa port of entry, menembus
rintangan mukosa dan memperbanyak diri dalam aliran darah serta menimbulkan
bakteremi. Bakteremi dapat berlanjut masuk ke dalam cairan serebrospinal (melewati
sawar darah otak) dan memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal, menimbulkan
peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.17

2.4.3 Diagnosis
Diagnosis dari meningitis suis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksan penunjang. Pada anamnesis didapatkan keluhan meningitis berupa
111
demam tinggi (94%), nyeri kepala hebat, mual, muntah (82%), diare, leher kaku,
penurunan kesadaran, kejang dan kelainan fokal neurologi. Serta pada meningitis suis
dilaporkan lebih dari 50% kasus terjadi penurunan pendengaran tipe sensorineural.
Penurunan pendengaran pada meningitis Suis adalah tipe sensorineural, pada
frekuensi tinggi, dapat profound dimana penurunan pendengaran sampai lebih dari 80
dB pada pemeriksaan audiometri. 5,13,14
Pada pemeriksaan fisik dapat didapatkan penurunan kesadaran yang dapat
dinilai dengan Glaslow Coma Scale. Terdapat pula tanda-tanda rangsang meningeal
dimana
dapat diperiksa dengan beberapa parasat antara lain pemeriksaan kaku kuduk, tanda
Kernig, tanda Brudzinski I dan Brudzinski II.16,17
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah dengan kultur darah atau dari
cairan serebrospinal melalui lumbal pungsi dengan menggunakan standar teknologi
mikrobiologi dapat mengidentifikasi Streptococcus suis beserta serotipenya.
Identifikasi Streptococcus Suis dapat pula dilakukan bila hasil kultur meragukan yaitu
dengan teknik molekular yang spesifik dengan PCR Serotipe Suis serotipe 2.5,6,16,17

2.4.4. Penatalaksanaan Meningitis Suis


Sama seperti penatalaksanaan meningitis bakteri lainnya, pemberian antibiotik
spektrum luas dapat diberikan sampai menunggu hasil kultur dan sensitivitas
antibiotik. Data dari penelitian sebelumnya masih sensitif terhadap penisilin,
seftriakson dan vancomysin. Antibiotik yang resisten pada eritromisin, tetrasiklin, dan
kloramphenikol.25
Penggunaan deksametason sebagai pengobatan tambahan untuk mengurangi
angka kematian dan memperbaiki hasil meningitis bakteri masih kontroversial. Pada
penelitian di vietnam, pemberian deksametason signifikan menurunkan risiko
kematian dan kecacatan. Pada suatu analisis multivariat lainnya didapatkan hasil yang
signifikan dimana terjadi kasus penurunan pendengaran yang berat pada pasien diatas
50 tahun terjadi saat tidak diberikan kortikosteroid.15,25

2.4.5. Prognosis
Prognosis dari Meningitis suis adalah baik dimana jarang dilaporkan sampai
menyebabkan kematian dibandingkan dengan meningitis bakteri yang disebabkan
jenis bakteri lainnya seperti Streptococcus pneumoniae.5,15

112
3. LAPORAN KASUS
Kasus pertama, Pasien IKS, laki-laki, usia 32 tahun, Suku Bali, alamat Karangasem
Bali, pekerjaan supir hotel, pasien dikonsulkan teman sejawat Neurologi RSUP
Sanglah pada tanggal 28 April 2017 dengan Meningitis suis dan dengan penurunan
pendengaran secara tiba-tiba yang dirasakan sejak kemarin terutama pada telinga
kanan. Pusing berputar ada, pasien belum dapat duduk lama, mendenging ada. Nyeri
telinga tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada. Pasien telah dirawat oleh TS
Neurologi di RS Sanglah Denpasar sejak tanggal 22 April 2017 dimana pasien
merupakan rujukan dari RSUD Karangasem dengan kesadaran menurun sejak + 2
hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga dikatakan gelisah sampai pasien
membenturkan kepalanya ke tembok. Pasien juga memukul-mukul badan dan
kepalanya. Riwayat demam ada sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan tidak
turun dengan pemberian obat penurun panas. Riwayat trauma kepala tidak ada,
riwayat keluar cairan dari telinga dan nyeri telinga tidak ada, riwayat gigi berlubang
tidak ada, penurunan berat badan tidak ada, kelemahan separuh tubuh tidak ada,
kontak dengan penderita TB tidak ada. Riwayat sosial : os bekerja sebagai driver di
salah satu hotel di karangasem. Beternak babi atau ternak babi dekat tempat tinggal
tidak ada. Tetapi pasien ada riwayat makan olahan babi di desanya satu hari sebelum
MRS.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 28 April 2017 didapatkan keadaan umum
baik, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 84x/mnt, respirasi

22x/mnt, temperatur aksila 36,50C. Status lokalis THT-KL, pemeriksaan telinga tidak
didapatkan kelainan, kanalis akustikus eksterna kanan kiri lapang, kedua membran
timpani intak dan refleks cahaya kedua telinga positif. Pemeriksaan hidung dan
tenggorok tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan
adanya pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan tes penala
menggunakan garputala 512 Hz didapatkan Rinne positif pada kedua telinga dan
Weber didapatkan lateralisasi ke telinga kiri. Oleh bagian Neurologi pasien telah
dilakukan CT-Scan Kepala, Thorak foto, Pemeriksaan Darah lengkap dan Kimia
darah, Lumbal punksi serta kultur cairan Cerebrospinal. Hasil CT Scan kepala : sesuai
gambaran meningoencephalitis, edema sereberi. Thoraks AP didapatkan dengan
kardiomegali. Hasil pemeriksaan darah lengkap : WBC :37,51 ; Netrofil : 92,65 ;
Hemoglobin : 14.06; dan trombosit : 192.000. Laju endap darah : 77,9. Hasil kimia

113
darah :SGOT : 19,8; SGPT : 22,2 ; BUN : 9,6 ; Serum Kreatinin : 0,90 GDS : 134 ;
Natrium : 145; Kalium : 4,4 ; CRP kualitatif 410,75. Hasil lumbal pungsi didapatkan
pada pemeriksaan PCR TB :hasil negatif; Hasil pemeriksaan kultur dan uji
sensitivitas antibiotika didapatkan hasil terisolasi bakteri Streptococcus suis II dari
spesimen LCS penderita. Ceftriakson dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi
antibiotika. Pasien didiagnosis dengan suspek tuli sensorineural mendadak kanan et
causa meningitis suis. Pasien diberikan Oksigen 2-4 liter per menit selama 15 menit
diulang setiap 6 jam, IVFD Dextran 10% 500 cc selama 4 jam kemudian dilanjutkan
dengan NaCl 0,9% 20 tetes per menit, Metilprednisolon 2x62,5 mg intravena. Untuk
terapi oral diberikan Pentoksifilin 2x400 mg, Mecobalamin 3x500 µgr dan BioATP
3x1 tablet. Oleh TS neurologi di berikan Ceftriakson 2 x 2 gram; Ranitidin 2 x 50 mg,
Parasetamol 3 x 500 mg dan Haloperidol 0,5 mg intramuskular kalau gelisah. Pada
tanggal 3 mei 2017 pemeriksaan timpanometri dan audiometri baru dapat dikerjakan
karena kondisi pasien. Pada pemeriksaan Timpanometri didapatkan tipe A pada
kedua telinga.

Gambar 4. Timpanogram tanggal 3 Mei 2017


Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan Audiometri dan didapatkan hasil tuli
Sensorineural sangat berat pada telinga kanan (AC=82,5dB/BC=71,25dB) dan tuli
sensorineural ringan pada telinga kiri (AC=32,5dB/BC=26,25dB).

114
Gambar 5. Audiogram tanggal 3 Mei 2017

Pasien didiagnosis dengan tuli sensorineural mendadak dekstra dan sinistra et


causa Meningitis suis. Selanjutnya pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam dan
kardiologi untuk kelayakan terapi hiperbarik. Dari hasil konsultasi tidak didapatkan
adanya kontraindikasi untuk dilakukan terapi hiperbarik. Pasien kemudian dimulai
dilakukan terapi hiperbarik selama 10 kali. Terapi oksigen hiperbarik seri I dilakukan
pada tanggal 11 mei sampai dengan 17 mei 2017 dan dilakukan sebanyak 5 sesi setiap
serinya. Pada tanggal 17 Mei 2017 dilakukan pemeriksaan Audiometri evaluasi
setelah pasien menjalani terapi oksigen hiperbarik seri I dengan keluhan
pendengarannya masih seperti dulu tetapi keluhan mendengingnya berkurang. Hasil
audiometri didapatkan tuli sensorineural sangat berat pada telinga kanan (AC= 90
dB/BC=80 dB) dan normal hearing pada telinga kiri (AC=17,5 dB/BC= 4 dB).

115
Gambar 6. Audiogram tanggal 17 Mei 2017

Pada tanggal 18 mei 2017 pasien diperbolehkan pulang dan mendapatkan


terapi oral yaitu Pentoksifilin 2x400 mg, Mecobalamin 3x500 µgr, BioATP 3x1 tablet
dan Metilprednisolon 3x4 mg. Pasien disarankan untuk menjalani terapi oksigen
hiperbarik seri II lewat poliklinik. Pada tanggal 26 Mei 2015 pasien telah
menyelesaikan terapi oksigen hiperbarik seri II dan kontrol ke poliklinik THT-KL.
Pasien mengatakan bahwa pendengarannya dirasakan tidak membaik dan keluhan
mendengingnya telah hilang namun pasien masih dapat berkomunikasi dengan
normal. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan audiometri evaluasi dengan hasil tuli
sensorineural derajat berat telinga kanan (AC= 88,75dB/BC= 80 dB) dan normal
hearing pada telinga kiri (AC=17,5 dB/BC= 4 dB). Pasien disarankan menggunakan
Alat Bantu Dengar untuk membantu pendengaran telinga kanan.

116
Gambar 7. Audiogram tanggal 26 Mei 2017

Kasus ke dua, Pasien EPA, perempuan 53 tahun, Alamat Jalan Ratna no 4 A


Tabanan, pasien datang ke poli THTKL RS Sanglah tanggal 7 April 2017,
dikonsulkan dari RSUD Tabanan dengan tuli sensorineural mendadak derajat sedang
dekstra sinistra et causa Meningitis suis dan untuk dilakukan terapi hiperbarik. Pasien
mengeluh pendengarannya berkurang sejak 7 hari yang lalu secara tiba-tiba.
Kemudian dirawat di RSUD Tabanan selama 5 hari. Mendenging ada pusing berputar
tidak ada tetapi pasien masih merasa lemas, riwayat keluar cairan tidak ada, mual
tidak ada muntah tidak ada. Sebelumnya pasien riwayat dirawat dengan Meningitis
suis di RSUD Tabanan dengan penurunan kesadaran. Dirawat di ICU RSUD Tabanan
selama 5 hari dan di bangsal selama 1 minggu. Riwayat sosial : beternak babi tidak
ada, kontak dengan pasien TB tidak ada, penurunan berat badan tidak ada. Setelah
kondisi membaik pasien diperbolehkan pulang. Tetapi 3 hari setelah pulang pasien
mengeluh tiba-tiba pendengarannya menurun dan kembali dirawat di RSUD Tabanan,
keluhan mendenging ada, pusing berputar tidak ada. Riwayat CT Scan di RSUD
Tabanan tanggal 20 Maret 2017 dengan hasil : lesi hipodens berdensitas cairan di
fossa posterior suspek cisterna magna, edema serebri ringan. Thorak AP dengan hasil

3. dalam batas normal. Hasil kimia darah dalam batas normal. Hasil darah
lengkap WBC :22,34 ; Netrofil : 84,23 ; Hemoglobin : 13.14; dan trombosit :

117
164.000. Laju endap darah : 54,3. Hasil kimia darah :SGOT : 24; SGPT : 18; BUN :
26,0 ; Serum Kreatinin : 0,90 GDS : 134 ; Natrium : 138; Kalium : 4,0. Hasil
pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas antibiotika didapatkan hasil terisolasi bakteri
Streptococcus suis II
dari spesimen LCS penderita. Ceftriakson dapat dipertimbangkan sebagai pilihan
terapi antibiotika. Kemudian pada riwayat dirawat di RSUD Tabanan dengan tuli
mendadak didapatkan hasil timpanometri tipe A/tipe A dan hasil audiometri tuli
sensorineural derajat sedang telinga kanan ( AC= 46.67dB/BC= 44,5dB) dan tuli
sensorineural derajat sedang telinga kiri (AC= 43,75 dB/ BC= 42,5dB).

Gambar 8. Audiogram tgl 3 April 2017

Riwayat pengobatan meningitis di RSUD Tabanan mendapatkan Ceftriakson


2 x 2 gram; Dexametason 4 x 10 mg; Ranitidin 2 x 50 mg, Parasetamol 3 x 500 mg.
Dan riwayat pengobatan tuli sensorineural mendadak pasien diberikan Oksigen 2-4
liter per menit selama 15 menit diulang setiap 6 jam, IVFD Dextran 10% 500 cc
selama 4 jam kemudian dilanjutkan dengan NaCl 0,9% 20 tetes per menit,
Metylprednisolon 2x62,5 mg intravena. Untuk terapi oral diberikan Pentoksifilin
2x400 mg, Mecobalamin 3x500 µgr dan BioATP 3x1 tablet. Kemudian pasien
dipulangkan dengan terapi mecobalamin dan dirujuk ke RS Sanglah Denpasar untuk
terapi hiperbarik. Pasien kemudian dilakukan thorak foto, EKG , cek darah lengkap
dan kimia darah. Kemudian pasien dikonsulkan ke TS Penyakit dalam dan TS
Kardiologi untuk kelayakan hiperbarik. Tidak ada kontraindikasi kemudian dilakukan
hiperbarik 10 seri dengan 5 seri I dan 5 seri II.

118
Kemudian pasien dilakukan terapi oksigen hiperbarik seri I selama 5 x dari
tanggal 11 April 2017 sampai tanggal 17 April 2017. Pada tanggal 17 April 2017
pasien kontrol ke poliklinik THTKL dengan keluhan pendengaran membaik dan
keluhan mendenging membaik. Kemudian dilakukan Timpanometri dan Audiometri
evaluasi dengan hasil timpanometri : tipe A/tipe A dan hasil Audiometri : tuli
sensorineural derajat ringan telinga kanan (AC= 37,5dB/BC=28,75dB) dan tuli
sensorineural derajat ringan telinga kiri (AC= 28,75dB/ BC= 26,25dB).

Gambar 9. Audiogram tanggal 17 April 2017

Kemudian pasien dilanjutkan untuk terapi oksigen hiperbarik seri II selama 5 kali dari
tanggal 1 Mei sampai tanggal 5 Mei 2017. Pasien kemudian kontrol kembali
poliklinik THTKL untuk evaluasi yang kedua post hiperbarik. Keluhan pendengaran
sudah membaik dan pasien hanya mengeluhkan mendenging kadang-kadang saja.
Hasil Audiometri Normal hearing pada telinga kanan (AC = 25 dB/ BC= 18,75 dB)
dan normal hearing pada telinga kiri (AC=20 dB/BC=18,75 dB)

119
Gambar 7. Audiogram tanggal 5 Mei 2017

IV. PEMBAHASAN
Definisi tuli sensorineural mendadak menurut De Kleyn adalah tuli sensorineural
lebih dari 30 dB yang terjadi secara mendadak dalam waktu kurang dari 72 jam,
minimal terjadi pada tiga frekuensi yang berurutan.1,3
Pada Meningitis suis hampir 50% terdapat keluhan penurunan pendengaran.
Kebanyakan pasien Meningitis suis terjadi pada kelompok umur 47 – 55 tahun dan
jarang dilaporkan pada anak-anak. Laki-laki lebih sering daripada wanita dengan
rasio 3,5 : 1.5 Faktor risiko tersering pada pekerja atau peternak yang berhubungan
langsung dengan babi dimana dilaporkan 3 kasus per 100.000 populasi. Kemudian
pada pemotong atau pengolah daging babi sebanyak 1,2 kasus per 100.000 populasi.
Dan juga mengkonsumsi daging babi yang tidak matang sempurna juga merupakan
faktor risiko terjadinya Meningitis suis.5,17 Dilaporkan ada 35 serotipe dari
Streptococcus suis penyebab dari Meningitis suis namun hanya serotipe 1-9 dan 14
yang menyebabkan infeksi pada manusia. Streptococus suis serotipe 2 merupakan
serotipe yang paling sering ditemukan pada kasus Meningitis suis pada manusia.17,26
Bakteri ini dapat diidentifikasi dengan kultur menggunakan Vitek 2 Gram-Positive
Identification (GPI card) dan API 20 STREP atau dengan teknik molekular dengan
PCR menggunakan gen 16rRNA yang didapat dari isolasi cairan serebrospinal.

120
Identifikasi Streptococcus Suis sering dikelirukan dengan Streptococcus viridans,
Aerococcus viridans dan Streptococcus pneumonia.16,24
Pada pasien IKS seorang laki-laki berumur 32 tahun memiliki faktor risiko
mengkonsumsi makanan bali (lawar) dan daging babi yang tidak matang sempurna
karena makanan yang dimakan menggunakan darah babi yang tidak matang
sempurna. Pasien IKS telah didiagosa dengan Meningitis suis berdasarkan klinis dan
pemeriksaan penunjang yang mendukung untuk Meningitis suis. Di bagian
mikrobiologi RS Sanglah diidentifikasi Streptococcus suis serotipe 2 dari isolasi
kultur cairan cerebrospinal pasien dan diidentifikasi menggunakan Vitek 2 Gram-
positive Identification card. Keluhan tuli mendadak dirasakan saat pasien sedang
dirawat setelah pasien sadar baik, dan mengeluh tuli pada telinga kanan. Pada
pemeriksaan fisik dengan otoskop telinga normal kanan dan kiri, pemeriksaan penala,
tes Rinne positif kanan dan kiri, tes Weber terdapat lateralisasi ke kanan,serta tes
Scwabach memendek di kedua telinga. Pada pemeriksaan timpanometri didapatkan
tipe A pada kedua telinga dan pemeriksaan audiometri didapatkan tuli sensorineural
derajat berat pada telinga kanan dan tuli sensorineural derajat ringan pada telinga kiri.
Pada telinga kanan bertururt-turut pada frekwensi 500, 1000, 3000, 4000 adalah 80
dB, 80 dB, 85 dB dan 85 dB. Dan pada telinga kiri berturut-turut 40 dB, 30 dB, 30
dB, dan 30 dB.
Pada pasien EPA, seorang perempuan berumur 52 tahun memiliki faktor
risiko mengkonsumsi olahan daging babi yang dibeli di warung. Pasien tidak
memiliki riwayat kotak langsung dengan babi maupun mengolah langsung daging
babi. Pasien dirawat dengan penurunan kesadaran hari setelah mengkonsumsi daging
babi dan setelah dirawat TS neurologi didiagnosis dengan Meningitis Suis sesuai
klinis dan pemeriksaan penunjang. Dimana hasil kultur CSF dikirim dari RS Tabanan
ke RS Sanglah dengan menggunakan Vitek 2 Gram-Positive Identifiation ditemukan
Streptococcus suis serotipe 2.
Keluhan tuli mendadak dirasakan saat pasien telah dipulangkan 2 hari setelah
perawatan meningitis, pada kedua telinga sehingga pasien segera memeriksakan ke
dokter dan dirawat kembali oleh dokter THTKL. Pada pemeriksaan fisik dengan
otoskop telinga normal kanan dan kiri, pemeriksaan penala, tes Rinne positif kanan
dan kiri, tes Weber tidak terdapat lateralisasi, namun tes Scwabach memendek di
kedua telinga. Pada pemeriksaan timpanometri didapatkan tipe A pada kedua telinga

121
dan pemeriksaan audiometri didapatkan tuli sensorineural derajat sedang pada kedua
telinga. Pada telinga kanan bertururt-turut pada frekwensi 500, 1000, 3000, 4000
adalah 50 dB, 50 dB, 40 dB dan 30 dB. Pada telinga kiri berturut turut 50 dB, 45 dB,
45dB, dan 40 dB.
Terjadinya keluhan tuli sensorineural mendadak pada pasien dengan
meningitis suis dapat terjadi bersamaan atau beberapa hari kemudian. Ini
berhubungan dengan masa inkubasi dari Stretococcus suis dimana penelitian di China
dilaporkan dari 3 jam sampai 14 hari. Pada penelitian lain dilaporkan masa inkubasi
Streptococcus suis 60 jam sampai 1 minggu. Etiologi tuli sensorineural mendadak
sebagian besar adalah idiopatik, hanya 10-15% saja yang diketahui sebagai
kemungkinan penyebab terjadinya tuli sensorineural mendadak. Terdapat empat teori
utama yang menyebabkan terjadinya tuli sensorineural mendadak yaitu kelainan
vaskular, virus, ruptur membran koklea dan penyakit autoimun.11,12 Patogenesis
terjadinya tuli sensoriseural mendadak pada pasien Meningitis suis masih belum jelas.
Penyebabnya bisa karena bakteri streptococus sendiri, eksotoksin yang dihasilkan
oleh bakteri Streptococcus suis atau imun tubuh yang dihasilkan tubuh sendiri untuk
melawan bakteri. Streptococous suis dipercaya masuk ke perilimpa melalui
aquaductus koklea akibat lisis karena eksotoksin, kongesti kapiler atau hidrop pada
koklea sehingga merusak sel-sel rambut koklea.8
Pada pasien IKS keluhan tuli baru dirasakan setelah pasien sadar baik yaitu 9
hari setelah diperkirakan kontak dengan babi yang dicurigai sebagai penyebab
meningitis. Sedangkan pada pasien EPA keluhan tuli dirasakan setelah 12 hari setelah
kontak dengan daging babi.
Penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak seharusnya berdasarkan
penyebabnya, akan tetapi karena sebagian besar kasus tuli sensorineural mendadak
adalah idiopatik sehingga pengobatan dilakukan secara empiris.1,3,4
Berbagai penelitian penggunaan kortikosteroid pada pasien tuli mendadak
telah dipublikasikan. Terdapat bukti laboratorium yang menunjukkan adanya cascade
inflamasi kematian sel pada pasien tuli mendadak yang dimodifikasi oleh terapi
steroid. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sintetik oral, intravena
dan/atau intratimpani, meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason.
Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek antiinflamasi dan kemampuan dalam
meningkatkan aliran darah koklea.15

122
Beberapa ahli THT merekomendasikan terapi kortikosteroid intratimpani
sebagai pengganti terapi kortikosteroid sistemik atau “salvage therapy” pada pasien
yang tidak mengalami perbaikan dengan kortikosteroid sistemik.3,8 Keuntungan
terapi kortikosteroid intratimpani adalah memberikan steroid konsentrasi tinggi
langsung pada jaringan target (perilimfe) dengan efek samping sistemik minimal.2,4
Hal ini didukung oleh Parnes dkk, yang mempublikasikan dan mendemonstrasikan
kadar steroid yang tinggi di telinga dalam setelah aplikasi terapi steroid intratimpani.3
Sebuah studi mengenai terapi kombinasi kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan
kortikosteroid intratimpani menunjukkan hasil perbaikan fungsi pendengaran secara
signifikan.20
Terapi lain yang dilakukan untuk tuli mendadak adalah dengan terapi oksigen
hiperbarik. Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari 1 ATA
(atmosphere absolute).3 Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea
dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan tekanan
parsial yang lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap
keadaan iskemik.3,21 Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki efek yang
kompleks pada imunitas tubuh, transpor oksigen dan hemodinamik, peningkatkan
respons normal pejamu terhadap infeksi dan iskemia, serta mengurangi hipoksia dan
edema.1 Menurut guideline AAO-HNS, terapi oksigen hiperbarik sebaiknya

dilakukan dalam 2 minggu hingga 3 bulan dari saat diagnosis tuli mendadak.5
Sama seperti penatalaksanaan meningitis bakteri lainnya, pemberian antibiotik
spektrum luas dapat diberikan sampai menunggu hasil kultur dan sensitivitas
antibiotik. Data dari penelitian sebelumnya masih sensitif terhadap penisilin,
seftriakson dan vancomysin. Antibiotik yang resisten pada eritromisin, tetrasiklin, dan
kloramphenikol.13
Penggunaan deksametason sebagai pengobatan tambahan untuk mengurangi
angka kematian dan memperbaiki hasil meningitis bakteri masih kontroversial. Pada
penelitian di vietnam, pemberian deksametason signifikan menurunkan risiko
kematian dan kecacatan. Pada suatu analisis multivariat lainnya didapatkan hasil yang
signifikan dimana terjadi kasus penurunan pendengaran yang berat pada pasien diatas
50 tahun terjadi saat tidak diberikan kortikosteroid.13
Pada pasien ini baik pada pasien IKS dan EPA sama- sama mendapatkan
modalitas terapi sesuai dengan penanganan tuli sensorineural mendadak yaitu
pemberian oksigen, metilprednisolon 2 x 62,5 mg secara intravena dan ditapering Off.
123
Penderita juga diberikan preparat neutropik yaitu mekobalamin. Pemberian vitamin
dapat menurunkan radikal bebas pada telinga dalam yang bersifat toksik terhadap
organ sensorik. Hemodilusi pada penatalaksanaan tuli mendadak bertujuan untuk
menurunkan viskositas darah sehingga memperbaiki aliran darah ke koklea. Pada
kedua penderita diberikan pentoxifilin 2 x 400 mg intra oral. Kemudian pada kedua
pasien ini juga dilakukan terapi oksigen hiperbarik 2 seri sebanyak 10 kali. Untuk
penanganan Meninigitis suis oleh TS Neurologi diberikan terapi dengan antibiotik
spektrum luas yang sesuai dengan hasil kutur yang sensitif dengan bakteri
Streptococcus Suis.
Walaupun modalitas terapi yang diberikan pada kedua pasien sama namun
hasil yang didapat ternyata berbeda dimana pasien IKS tidak terdapat perbaikan
pendengaran sedangkan pada pasien EPA terdapat perbaikan20.
Menurut Usher dkk seperti yang dikutip oleh Codrut melaporkan semakin
berat derajat ketulian semakin buruk prognosisnya. Codrut dkk melaporkan tidak
terdapat perbaikan pada 9 pasien dengan dengan tuli derajat berat. Onset pemberian
terapi sangat mempengaruhi kesembuhan gejala tuli sensorineural mendadak. Tiong
menyebutkan prognosis yang paling baik ditemukan pada penderita dengan perbaikan
20 dB yang mendapat pengobatan kurang dari 2 minggu setelah munculnya gejala
tuli. Jadi semakin cepat mendapatkan terapi setelah timbulnya gejala semakin baik
prognosisnya.11 Kasapolgu dkk melaporkan onset pasien yang diberikan terapi dalam
onset kurang dari 5 hari mempunyai prognosis yang baik dibandingkan dengan onset
yang lebih dari 5 samapi 15 hari. Adanya vertigo merupakan faktor prognostik yang
buruk. Moskowitz dkk seperti yang dikutip oleh Codrut melaporkan hanya 14 %
penderita tuli sensorineural mendadak dengan vertigo yang mengalami perbaikan
pendengaran. Karena adanya vertigo menandakan kerusakan yang lebih luas.
Kasapoglu F, melaporkan adanya vertigo merupakan prognosis buruk untuk
perbaikan tuli sensorineural. Sedangkan untuk tinnitus dilaporkan tidak signifikan
untuk perbaikan tuli sensorineural.13
Pada pasien IKS didapatkan hasil pemeriksaan audiometri dimana pada
telinga kanan didapatkan tuli sensorineural derajat berat sedangkan telinga kiri
dengan tuli sensorineural derajat ringan. Sedangkan pada pasien EPA didapatkan
hasil audiometri tuli sensorineural derajat sedang pada kedua telinga. Pada pasien
EPA juga mendapatkan terapi penanganan tuli mendadak segera setelah ada keluhan
tuli karena saat itu pasien dalam keadaan sadar. Pasien mendapatkan terapi 1 hari
124
setelah keluhan tuli muncul sedangkan pada pasien IKS karena kesadarannya tidak
baik dan juga karena tuli unilateral sehingga terlambat mengetahui adanya ketulian.
Pasien baru menyadari setelah sadar baik dan kemungkinan terlambat mendapatkan
pengobatan tuli mendadak. Pada pasien IKS juga terdapat keluhan vertigo berat
sedangkan pada pasien EPA hanya mengeluh tinitus.
Berdasarkan penelitian Kasapoglu F dkk, berdasarkan tipe audiogram
kehilangan pendengaran diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu tipe asenden
(pada frekuensi 250-500 Hz), tipe desenden (frekuensi 4000-8000), tipe flat, tipe total
atau subtotal. Pada pasien IKS termasuk pada kelompok tipe desenden sedangkan
pada pasien EPA termasuk pada kelompok tipe asenden. Prognosis untuk kehilangan
tipe asenden memiliki prognosis yang baik dibandingkan dengan kehilangan
pendengaran tipe desenden. Hal ini berdasarkan pada tingkat kerusaka yang terjadi
pada vaskularisasi koklea. Tipe asenden terjadi kerusakan pada basal koklea artinya
darah yang terganggu suplai aliran darah yang lebih luas. Sedangkan usia tidak
mempengaruhi prognosis.11,13
Keberhasilan pengobatan tuli sensorineural mendadak dinilai berdasarkan
rata-rata ambang pendengaran menurut Siegel yaitu a) Pulih total jika ambang dengar
rata-rata < 25 dB, b) Pulih sebagian jika terjadi perbaikan > 15 dB dengan ambang
dengar rata-rata 25-45 dB, c) Pulih ringan jika perbaikan > 15 dB dengan ambang
dengar rata-rata > 45 dB, d) tidak ada pemulihan jika perbaikan < 15 dB.11,13,19
Pada pasien IKS pada telinga kanan termasuk tidak ada pemulihan
sedangkan pada pasien EPA termasuk pada kelompok pulih total dimana pada
audiometri terakhir didapatkan ambang dengar Normal Hearing.

3. KESIMPULAN
Tuli sensorineural mendadak merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan yang
memerlukan penanganan segera. Meningitis Suis adalah meningitis yang disebabkan
oleh infeksi Streptococcus suis yang didapat melalui paparan babi yang
terkontaminasi atau daging babi yang terkontaminasi. Dilaporkan hampir lebih dari
50% pasien dengan Meningitis suis mengalami keluhan penurunan pendengaran
supaya mendapat perhatian serius dari bagian Neurologi dan THT. Karena apabila
terlambat diagnosis dan penanganan akan menyebabkan ketulian permanen.
Patogenesis terjadinya kehilangan pendengaran mendadak pada Meningitis suis masih
belum diketahui dengan jelas. Telah dilaporkan serial kasus pasien dengan tuli
125
sensorineural mendadak pada meningitis suis yang diterapi dengan medikamentosa
dan terapi oksien hiperbarik dengan hasil yang bervariasi dimana ditentukan dari
derajat kehilangan pendengaran audiogram pertama, jenis audiogram, onset
pemberian terapi dan adanya vertigo. Masyarakat tidak pelu resah karena Meningitis
suis penyakit yang dapat diobati karena masih sensitif terhadap antibiotik dan
prognosisnya baik. Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi kontak langsung
dengn babi dengan menggunakan alat pelindung diri dan mengolah daging babi
dengan matang sempurna.

126
DAFTAR PUSTAKA

1. Hashisaki. Sudden Sensory Hearing Loss. Dalam Bailey’s: Otolaryngology


Head and Neck Surgery. 5th edition. Philadelphia. Lippincott Williams and
Wilkins. 2014; h.2589-94.
2. Hae JH, Kyoun JP et al. Streptococcus suis Meningitis with Bilateral
Sensorineural Hearing Loss, Korean J Lab Med, 2011; 31: 205-211
3. Lun ZR, Wang QP et al. Streptococcus suis : an emerging zoonotic pathogen.
Lancet Infect Dis 2007; 7: 201-9
4. Plaza G, Durio E, Herraiz C, Rivera T, Garcia-Berrocal JR. Consensus on
diagnosis and treatment of sudden hearing loss. Ata Otorrinolaingol Esp.
2011;62(2):144-157
5. Van Wolfswinkel M, M. Lahri, Wismans PJ, Petit PLJ, Early small bowel
perforation and cochleovestibler impairment as rare complications of thypoid
fever. Travel Medicine and Infectious Disease 2009;7:265-8
6. Mai NT, Hoa NT, Nga TV, Linh le D, Chau TT, Sinh DX, et al.
Streptococcus suis meningitis in adults in Vietnam. Clin Infect Dis
2008;46:659-67.
7. Ma E, Chung PH, So T, Wong L, Choi KM, Cheung DT, et al. Streptococcus
suis infection in Hong Kong: an emerging infectious disease? Epidemiol
Infect 2008;136:1691-7.
8. Huang YT, Teng LJ, Ho SW, Hsueh PR. Streptococcus suis infection. J
Microbiol Immunol Infect 2005;38:306-13.
9. Clements, M.R., Hamilton, D.V., Clifton-Hadley,F.A. & O'reilly, J.F.
Streptococcus suis type IIinfection. A new industrial disease?
Practitioner,1982:2: 226-32.
10. Hickling P. & Cormack,F.C.V. . Meningitis caused by group R haemolytic
streptococci. BritishMedical Journal, 1976; 2, 1299.
13. Jacky M, Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuli Mendadak, Departeen Telinga
Hidung Tenggorok-kepala Leher Fakultas kedokteran Unand/RS. Dr. M.
Djamil Padang 2010
14. Conlin AE, Parnes LS. Treatment of Sudden Sensorineural Hearing Loss.
Arch Otolaryngology Head Neck Surgery. June 2007; 573-81.
15. Kasapoglu F, Tuzemen G, Hizalan I, Erisen L, Onart S, Coskun H, Ozmen A.
Prognosis in Sudden Hearing Loss: Is it the Disease or the Treatment that

127
Determines the Prognosis? Department of Otorhinolarynglogy- Head and
Neck Surgery, Turkey. 2009; 5(2) 187-94.
16. Halaby T, Hoitsma E, Hupperts R, Spanjaard L, Luirink M, Jacobs J.
Streptococcus suis meningitis, a poacher’s risk. Eur J Clin Microbiol Infect
Dis 2000;19:943-5.
24. Greenwood BM. Corticosteroids for acute bacterial meningitis. N Engl J Med
2007;357:2507-9.
25. Durand F, Perino CL, Recule C, Brion JP, Kobish M, Guerber F, et al.
Bacteriological diagnosis of Streptococcus suis meningitis. Eur J Clin
Microbiol Infect Dis 2001;20:519-21.
26. Heidt MC, Mohamed W, Hain T, Vogt PR, Chakraborty T, Do-mann E.
Human infective endocarditis caused by Streptococcus suis serotype 2. J Clin
Microbiol 2005;43:4898-901.
27. Donsakul K, Dejthevaporn C, Witoonpanich R. Streptococcus suis infection:
clinical features and diagnostic pitfalls. Southeast Asian J Trop Med Public
Health 2003;34:154-8.
28. Wisselink HJ, Joosten JJ, Smith HE. Multiplex PCR assays for simultaneous
detection of six major serotypes and two virulence-associated phenotypes of
Streptococcus suis in tonsillar specimens from pigs. J Clin Microbiol
2002;40:2922-9.
29. Yu H, Jing H, Chen Z, Zheng H, Zhu X, Wang H, et al. Human Streptococcus
suis outbreak, Sichuan, China. Emerg Infect Dis 2006;12:914-20.

128
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN TUMOR
NEUROEKTODERMAL PRIMITIF DI REGIO SINONASAL
Oleh :
I Gde Ardika Nuaba
Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

1. PENDAHULUAN
Tumor neuroektodermal primitif (TNEP) termasuk kelompok sarkoma
Ewing. Namun, TNEP menunjukkan perilaku klinis yang lebih agresif dari
sarkoma Ewing dan bermetastasis sangat cepat. Sarkoma Ewing biasanya terjadi
pada tulang dan biasanya tidak berdiferensiasi, sedangkan tumor neuroektodermal
cenderung terjadi pada jaringan lunak.3,4
Angka kejadian TNEP adalah 1% dari semua sarcoma. Kejadiannya sangat
jarang, dapat terjadi pada usia baru lahir sampai 20 tahun dan angka kejadiannya
adalah 2,9 dari 1 juta penduduk. TNEP kebanyakan timbul di daerah
torakopulmonal, pelvis, abdomen dan ekstremitas.5 Sekitar 20% kasus tumbuh di
daerah kepala dan leher, termasuk sinus paranasal, foramen jugulare, rongga
mulut, maksila, mandibula, temporal, esophagus dan orbita.1,2
Diagnosis TNEP tidak dibuat berdasarkan satu faktor, tetapi dari gabungan
keadaan klinis dan ultrastruktural, imunohistokimia dengan pemeriksaan
sitogenetik untuk menyingkirkan tumor sel bulat kecil yang lain.4,6 Diagnosis
banding yang termasuk dalam tumor sel bulat kecil adalah neuroblastoma,
limfoma dan rabdomiosarkoma.7
Belum ada protokol untuk pengobatan TNEP pada anak, tetapi karena
karakteristik tumor yang bersifat maligna dan termasuk dalam kelompok sarkoma
Ewing, maka penatalaksanaan TNEP sebaiknya mengacu pada penatalaksanaan
sarkoma Ewing, yaitu reseksi dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi untuk
mengatasi tumor yang mungkin tersisa ataupun adanya metastasis yang tidak
terdeteksi.7,8 Karena kejadiannya yang sangat jarang, maka diagnosis dan
penatalaksanaannya masih merupakan suatu tantangan. Hal inilah yang mendasari
dilaporkannya kasus ini.

129
1. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal
Hidung luar berbentuk piramida yang terdiri dari enam bagian yaitu
pangkal hidung, batang hidung, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan nares
anterior. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan. Rongga
hidung berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi
di bagian tengah menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Septum terdiri dari tulang

dan tulang rawan yang dilapisi oleh mukosa.9 Pada dinding lateral terdapat konka
nasi. Konka nasi inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah.
Kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi konka superior,
yang terkecil adalah konka suprema. Konka suprema biasanya rudimenter. Konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid sedangkan konka lainnya merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara
konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.
Meatus inferior terletak diantara konka inferior dan dasar hidung, terdapat muara
dari duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka inferior dan
media. Pada meatus medius terdapat muara dari sinus frontalis, maksilaris dan
etmoidalis anterior. Meatus superior merupakan ruang diantara konka media dan
superior. Pada meatus ini bermuara sinus etmoidalis posterior dan sfenoidalis.
Hidung dibatasi di bagian inferior oleh dasar rongga hidung yang dibentuk
oleh os maksila dan os palatum, bagian superior oleh lamina kribriformis dan
bagian posterior oleh os sfenoid.9

130
Gambar 2.1 Anatomi dinding lateral rongga hidung.10

Secara histologi dan fungsional, terdapat dua mukosa rongga hidung yaitu
mukosa pernafasan dan penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian
besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
bersilia dan diantaranya terdapat sel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum. Mukosa ini dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu tidak bersilia dan dibentuk oleh tiga macam sel yaitu sel
penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu.9
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Pada orang sehat, rongga terutama
berisi udara. Ada 4 pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid.9,11,12 Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari
invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia
3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.11,12 Sinus maksila dan etmoid
sudah ada saat anak lahir sedangkan sinus frontal mulai berkembang pada anak
berusia 8 tahun sebagai perluasan dari sinus etmoid anterior dan sinus sfenoid
mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dari bagian postero-superior rongga
hidung.9,13,14 Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia
antara 15-18 tahun. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang
mengalami modifikasi, bersilia dan mampu menghasilkan mukus yang disalurkan
ke dalam rongga hidung.14

131
Gambar 2.2 Anatomi sinus paranasal.15
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar.9,11,12 Dinding
anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infratemporal maksilaris, dinding medialnya ialah
dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding
inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.9 Ostium sinus maksila berada
di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infundibulum etmoid.7
Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior.9,13 Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus
etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior.13 Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil
dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus
etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di
posterosuperior dari perlekatan konka media.9,13 Di bagian terdepan sinus etmoid
anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan
dengan sinus frontal.9
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Batas-
batasnya adalah sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,
sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan arteri karotis interna serta di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons.13,14 Sinus frontal terletak pada
tulang frontal mulai terbentuk sejak fetus bulan keempat yang berasal dari sel-sel
resessus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Pneumatisasi tulang frontal
bagian atas dan bawah membentuk sinus frontal dimulai sejak tahun pertama
kehidupan dan mulai berkembang pada usia 8 tahun dan akan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun.11

132
2.2 Epidemiologi

Angka kejadian TNEP adalah 1% dari semua sarkoma.5 Kejadiannya


sangat jarang, dapat terjadi pada usia baru lahir sampai 20 tahun dan puncaknya
pada usia 10 dan 15 tahun, angka kejadiannya adalah 2,9 dari 1 juta penduduk.
Beberapa literatur melaporkan TNEP biasanya terjadi pada usia belasan tahun,
lebih sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan laki-laki : perempuan 1,5 :
5.6 Angka kejadian TNEP sinonasal yang pernah dilaporkan adalah sekitar 4−17%
dari semua kasus tumor jaringan lunak pada anak. TNEP kebanyakan timbul di
daerah torakopulmonal, pelvis, abdomen dan ekstremitas. Sekitar 20% kasus
tumbuh di daerah kepala dan leher, termasuk sinus paranasal, foramen jugulare,
rongga mulut, maksila, mandibula, temporal, esophagus dan orbita.1,2,3

2.3 Diagnosis
TNEP sering memberikan gejala dan tanda yang tidak khas, sehingga
sering mempersulit diagnosis dan penatalaksanaan. Tumor tumbuh pada kavum
nasi dan sinus paranasal dengan gejala yang tidak spesifik seperti obstruksi
hidung, rinore dan epistaksis. Oleh sebab itu tumor sudah berkembang dan meluas
ke jaringan sekitar atau bahkan sudah terdapat metastasis saat penyakit
terdiagnosis. Benjolan pada wajah adalah keluhan utama yang dilaporkan pada
beberapa kasus pada anak. Tumor di kavum nasi sering salah didiagnosis sebagai
radang sinus biasa dan diobati secara empiris. Bila pengobatan gagal dan timbul
gejala yang baru, barulah akhirnya dipikirkan kemungkinan diagnosis yang lain
dan dicari kelainan utama yang mendasarinya.5 Bila ada gejala klinis seperti
gangguan penglihatan, proptosis atau epistaksis berulang, diagnosis dapat lebih
cepat ditegakkan dibandingkan dengan gejala yang tidak spesifik, seperti adanya
sumbatan hidung atau sakit kepala.6 Oleh karena gambaran klinis yang sering
tidak khas, menyebabkan kesulitan membuat diagnosis, maka pemeriksaan
imunohistokimia dan sitogenetik penting untuk dilakukan. Jadi diagnosis TNEP
ditegakkan berdasarkan radiologi, histopatologi, imunohistokimia, sitogenetik dan
pemeriksaan dengan mikroskop elektron. Jadi diagnosis TNEP ditegakkan
berdasarkan radiologi, histopatologi, imunohistokimia, sitogenetik dan
pemeriksaan ultrastruktural.1,2,4
Gambaran TNEP pada pemeriksaan tomografi komputer biasanya
menunjukkan massa yang heterogen dan pada pemeriksaan MRI tampak
gambaran isointens, seperti pada gambaran neoplasma sel bulat yang lain. Hal

133
inilah yang menjelaskan kenapa masih diperlukan pemeriksaan histologi.
Pemeriksaan radiologi tersebut dapat menilai perkembangan tumor dan
perencanaan untuk pendekatan reseksi tumor, selain itu juga dapat menilai adanya
rekurensi ataupun metastasis tumor.7 Secara histopatologi gambaran sarkoma
Ewing atau TNEP serupa, terdiri atas sel malignan kecil seragam, bulat dengan
sitoplasma sedikit. Dapat dilihat adanya aktivitas mitotik dan nekrosis, tetapi sel
tumor umumnya rata dan bulat, tidak memiliki spindel dan pleomorfik. Tidak
dijumpai adanya roset Homer-Wright pada sarkoma Ewing. Secara sederhana,
pada sarkoma Ewing terdapat glikogen dan ketiadaan bukti diferensiasi
neuroektodermal. Sebaliknya, TNEP dapat membentuk roset dan mempunyai
suatu kecenderungan ekspresi marker neuroendokrin yang lebih besar pada
pemeriksaan imunohistokimia.16
Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron, tampak gambaran
neurosekretori yang berhubungan dengan mikrotubuler dan mikrofilamen,
gabungan kompleksnya dan gambaran sel kecil menambah kecenderungan untuk
mendiagnosis TNEP.17
Pada pemeriksaan imunohistokimia, kesatuan nosologik sarkoma Ewing
dan TNEP didukung oleh keberadaan imunoreaktivitas yang kuat terhadap CD99
(O13; HBA71; 12E7; RBF-1) dan yang paling utama adalah adanya translokasi
kromosomal konsisten (11;12;q24;q12), yang menuju ke arah peleburan gen ES
(ESG) di kromosom 22 ke FLI-1 atau gen ERG di kromosom 11 dan produksi
suatu transkrip chimeric. Perubahan genetik ini dapat dideteksi oleh RT-PCR
dengan material blok parafin atau segar. CD99 mengenali suatu protein membran
sel yang belum diketahui fungsinya (P30/32 MIC 2;013), yang merupakan produk
MIC2, suatu gen pseudoautosomal pada lengan pendek kromosom X dan Y.
Marker lain yang telah dideteksi dalam keluarga tumor ini, beberapa menunjukkan
suatu diferensiasi garis neuroepithelial yang meliputi neuronspesifik endase,
synaptophysin, protein S100, PGP95, sekretogranin II, vimentin dan keratin.
Reaktivitas keratin telah dideteksi pada lima kasus dan kemungkinan itu sangat
luas. Translokasi 11;22, muncul hampir mendekati 90% kasus, dapat dideteksi
oleh RTPCR/ chromosomal insitu suppression hybridization dan transkrip protein
dapat diidentifikasi dengan antibodi anti-FLI-1 yang baru-baru ini diproduksi.
Pendapat bahwa tumor dengan marker neuroepitel yang mudah dideteksi
mempunyai suatu tampilan klinis lebih agresif dibanding yang lainnya, belum
dapat diperkuat. Lagipula, usaha untuk membagi tumor ini berdasarkan fenotipik
telah gagal. Fakta yang ada bahwa secara statistik mengatakan tumor yang terletak

134
di dalam tulang lebih memperlihatkan suatu fenotip undiferensiasi (sehubungan
dengan konsep sarkoma Ewing yang asli), sedangkan tumor yang terletak di
jaringan lunak cenderung menunjukkan berbagai derajat diferensiasi

neuroepitelial.16 Kesepakatan diagnostik adalah jika sedikitnya satu marker


neuroendokrin positif, maka didiagnosis sebagai TNEP. Akan tetapi, tumpang
tindih antara histologi, imunofenotip dan translokasi kromosomal yang dilihat,
membenarkan pertimbangan bahwa tumor ini saling terkait sebagai satu

kesatuan.3

2.4 Diagnosis Banding


Diagnosis TNEP tidak dibuat berdasarkan satu faktor, tetapi dari gabungan
keadaan klinik dan ultrastruktural, imunohistokimia dengan atau tanpa
pemeriksaan sitogenetik untuk menyingkirkan neuroblastoma, serta tumor sel
bulat kecil yang lain. Neuroblatoma biasanya terjadi pada kelompok usia yang
lebih muda dan dapat dideteksi dengan melihat adanya peningkatan konsentrasi
katekolamin dan metabolismenya di dalam urin. Pada pemeriksaan
imunohistokimia dengan mikroskop, neuroblastoma menunjukkan elemen sel
yang matur, seperti sel-sel ganglion dan neurofil yang tidak ditemukan pada
TNEP. Diagnosis banding yang termasuk dalam tumor sel bulat kecil selain
neuroblastoma ialah limfoma, rabdomiosarkoma, melanoma dan karsinoma

sinonasal tidak berdiferensiasi.4,7

2.5 Penatalaksanaan
Belum ada protokol untuk pengobatan TNEP pada anak, tetapi karena
karakteristik tumor yang bersifat maligna dan termasuk dalam kelompok sarkoma
Ewing, maka penatalaksanaan TNEP sebaiknya mengacu pada penatalaksanaan
sarkoma Ewing, yaitu reseksi dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi untuk
mengatasi tumor yang mungkin tersisa ataupun adanya metastasis yang tidak
terdeteksi. Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan untuk memperpanjang
angka kelangsungan hidup. Harus dilakukan reseksi tumor secara total, derajat
diferensiasi neural tidak mempengaruhi hasil operasi.7,8
Beberapa pengamatan pada pasien sarkoma Ewing telah menunjukkan bahwa
pasien dengan tumor yang bersisa minimal atau tanpa sisa setelah menjalani
kemoterapi preoperasi, mempunyai prognosis yang lebih baik.7 Tumor masif yang
nekrosis setelah induksi dengan kemoterapi juga menunjukkan prognosis yang
lebih baik. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang baik pada pemakaian
135
kemoterapi seperti vinkristin, doksorubisin dan siklofosfamid yang diberi
bergantian dengan ifosfamid dan etoposid. Kombinasi ifosfamid dan etoposid
telah menunjukkan hasil yang baik pada sarkoma Ewing. Dan pada uji coba yang
lain, menunjukkan peningkatan hasil bila ifosfamid-etoposid dipakai bergantian
dengan siklofosfamid.7,18 Protokol kemoterapi adalah pemakaian vinkristin,
doksorubisin, siklofosfamid atau ifosfamid, etoposid selama 6-9 bulan dan setelah
terapi, pasien harus kontrol selama beberapa tahun. Penelitian terbaru pada uji
klinik dari Children’s Oncology group study (Amerika serikat) dan Euro-Ewing
99 (Eropa) menunjukkan peningkatan hasil dengan pemberian kemoterapi yang
intensif untuk kelompok sarkoma Ewing.7 Radioterapi sebagai terapi tunggal
diberikan pada pasien dengan kasus tumor yang tidak dapat direseksi untuk
mempertahankan fungsi. Dosis radioterapi pada kelompok sarkoma Ewing yang
direkomendasikan pada kasus tumor yang bersisa adalah 45 Gy ditambah 10,8 Gy
booster. Untuk tumor yang bersisa minimal, disarankan 45 Gy ditambah 5,4 Gy
booster. Tidak disarankan untuk melakukan radioterapi pada pasien yang tidak
terbukti adanya tumor sisa setelah dilakukan reseksi.7

2.6 Prognosis
TNEP dikenal sebagai tumor yang sangat agresif dan memiliki
kecenderungan untuk bermetastasis dan juga rekuren. Kecenderungan metastasis
pada kelompok sarkoma Ewing adalah ke paru (50%), tulang (25%), tulang
belakang (20%), kelenjar limfe dan hati.5,18 Angka kelangsungan hidup secara
umum tidak baik, angka kelangsungan hidup 5 tahun untuk pasien yang
mengalami metastasis adalah 22% dan 55% pada pasien tanpa metastasis. Faktor
prognostik tergantung pada letak tumor, ukuran tumor dan ada tidaknya
metastasis. Pasien yang berumur kurang dari 15 tahun dan dengan tumor yang
terlokalisir memiliki prognosis yang lebih baik. Karena tingginya angka rekurensi,
maka pasien harus difollow up secara ketat untuk menemukan secepat mungkin
adanya tanda rekurensi dan juga metastasis. Kejadian rekurensi pernah dilaporkan
terjadi setelah 17 tahun bebas dari penyakit.5,19

LAPORAN KASUS
Pasien dengan inisial VDAS, perempuan, usia 18 bulan, suku Timor Leste,
datang ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah pada tanggal 5 Nopember 2016.
Pasien dikeluhkan tumbuh benjolan pada hidung sisi kiri sejak 3 bulan sebelum ke
rumah sakit. Awalnya benjolan tersebut kecil lalu semakin lama semakin

136
membesar. Sejak 2 bulan sebelum ke rumah sakit benjolan meluas hingga keluar
melalui lubang hidung sisi kiri serta meluar ke pipi kiri dan ke gusi rahang atas.
Riwayat hidung beringus ada, keluar darah dari hidung ada. Riwayat alergi dan
bersin tidak ada. Benjolan pada leher tidak ada. Riwayat kehamilan dan persalinan
yaitu usia kehamilan 37 minggu, tidak ada penyakit selama hamil, persalinan
normal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran


kompos mentis, nadi 84x/menit, pernafasan 24x/menit, temperatur aksila 36,5°C.
Status lokalis THT-KL, pada pemeriksaan telinga tidak didapatkan kelainan.
Pemeriksaan hidung didapatkan kavum nasi kanan sempit dan pada kavum nasi
kiri tampak massa penuh menonjol hingga ke nares anterior kiri, berwarna coklat
kehitaman dengan ukuran 2x2 cm . Mukosa hidung kanan merah muda dengan
konka dekongesti. Mukosa hidung kiri dan septum sulit dievaluasi. Pemeriksaan
tenggorok tampak benjolan pada gusi rahang atas. Pada pemeriksaan leher tidak
didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah bening. Diagnosis kerja pasien saat
itu adalah tumor sinonasal sinistra.

Gambar 3.1 Tampak massa penuh menonjol hingga ke nares anterior kiri.

Pemeriksaan penunjang yang selanjutnya dilakukan berupa CT scan fokus hidung


dan sinus paranasal irisan axial coronal dengan kesan bulging solid mass pada
kavum nasi kiri yang meluas ke perinasal kiri dan wajah sisi kiri serta destruksi
dinding sinus maksilaris kiri.

137
Gambar 3.2 CT scan fokus hidung dan sinus paranasal irisan axial coronal

Pasien kemudian direncanakan untuk tindakan ekstirpasi tumor


pendekatan maksilektomi rinotomi lateralis dengan anestesi umum. Dalam rangka
persiapan tindakan, dilakukan pemeriksaan laboratorium lengkap dan foto toraks
PA.

Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan hasil leukosit 10,59x103 /μL,

hemoglobin 14,7 g/dL, hematokrit 43%, trombosit 353x103 /μL. Pada


pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 35,3 U/L, SGPT 15,80 U/L, albumin
4,4 g/dL, BUN 3 mg/dL, kreatinin 0,26 g/dL, glukosa acak 94 mg/dL, natrium
137 mmol/L, kalium 4,3 mmol/L. Pada pemeriksaan faal hemostasis didapatkan
BT 3,00 menit, CT 11,00 menit, PPT 12,4 detik, APTT 24,3 detik dan INR 0,98.
Foto toraks PA didapatkan hasil cor dan pulmo tak tampak kelainan. Pasien
kemudian dikonsulkan ke sejawat pediatri dan anestesi untuk evaluasi sebelum
dilakukan tindakan operasi. Dari hasil konsultasi tidak didapatkan adanya
kontraindikasi untuk dilakukan tindakan. Pada tanggal 24 Nopember 2016
dilakukan tindakan ekstirpasi tumor dengan anestesi umum, menggunakan
pendekatan rinotomi lateralis sinistra. Temuan operasi berupa massa tumor rapuh
memenuhi kavum nasi sinistra, kavum sinus maksilaris sinistra, destruksi dinding
sinus maksilaris sinistra sampai gusi rahang atas. Kemudian dilakukan
pemasangan tampon sinus dan tampon anterior, lalu luka insisi dijahit. Pasca
operasi pasien mendapat terapi medikamentosa berupa IVFD NaCl 0,9% 10
tetes/menit, Ceftriaxon 2x250 mg iv, Asam tranexamat 3 x 250 mg iv, dan drip
analgetik sesuai sejawat anestesi.

138
Gambar 3.3 Ekstirpasi tumor dengan pendekatan rinotomi lateralis

139
Gambar 3.4 Massa tumor yang telah diekstirpasi

Tanggal 26 Nopember 2016 dilakukan evaluasi dan aff tampon, kemudian


pasien diperbolehkan pulang dari rumah sakit dan selanjutnya kontrol ke
poliklinik THT. Pada tanggal 1 Desember 2016 pasien datang kontrol ke
poliklinik THT. Dilakukan aff jahitan. Pasien juga membawa hasil pemeriksaan
histopatologi dengan hasil berupa gambaran potongan jaringan tumor yang
sebagian ditutupi oleh epitel permukaan berupa epitel respiratorius mengandung
massa tumor yang terdiri dari sel-sel neoplastik yang tersusun membentuk struktur
solid dipisahkan septa jaringan ikat fibrous tipis, sebagian membentuk struktur
pseudo-aveolar diantara stroma jaringan ikat, sebagian tampak diskohesif. Sel-sel
tersebut berukuran kecil sampai sedang, berbentuk bulat relatif uniform,
sitoplasma sebagian bervakuola, inti bulat ovoid. N/C ratio tinggi, pleomorfik
ringan, kromatin sebagian vesikuler sebagian hiperkromatik, anak inti discernible
namun tidak prominent, membran inti ireguler, mitosis 32/10 HPF. Tampak pula
apoptotic bodies, nekrosis koagulatif dan invasi perineural. Sebagian epitel
permukaan mengalami ulserasi. Pada beberapa fokus tampak sel-sel neoplastik
yang infiltratif diantara jaringan otot. Didiagnosis sebagai suatu malignant small
round cell tumor, diagnosis banding primitive neuroectodermal tumor.

140
Gambar 3.5 Pemeriksaan patologi anatomi tampak sel-sel berukuran kecil
sampai sedang, berbentuk bulat relatif uniform.
Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan imunohistokimia dengan hasil
petanda mesenkimal (Vimetin) positif kuat, petanda CD 99 positif kuat, NSE
positif lemah sampai sedang, S100 dan limfoblast (TDT) negatif, menyimpulkan
kesan TNEP. Pasien kemudian dikonsulkan ke bagian pediatri untuk menjalani
kemoterapi sebanyak 6 seri dengan regimen kemoterapi berupa Ifosfamide dan
Etopuside, sedangkan radioterapi untuk pasien ini tidak dilakukan karena
pertimbangan usia dan lokasi tumor yang ditakutkan akan merusak organ-organ di
sekitar di daerah sinonasal.

Gambar 3.6 Pasca operasi minggu pertama.


Sampai kasus ini dilaporkan, pasien sudah menjalani kemoterapi sebanyak
4 kali yang dilakukan selang 3 minggu. Pemeriksaan fisik THT pada hidung tidak
didapatkan benjolan pada kavum nasi kiri.

141
A B
Gambar 3.7 A. Pasca kemoterapi kedua, B. Pasca kemoterapi keempat.

IV. PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini dikemukakan kasus TNEP pada sinonasal yang terjadi
pada seorang perempuan berusia 18 bulan, yang datang dengan keluhan utama timbul
benjolan pada hidung kiri. TNEP merupakan kasus yang sangat jarang, lebih sering
terjadi pada laki-laki, dapat terjadi pada usia baru lahir sampai 20 tahun. Pada
penelitian Ghosh dkk didapatkan kasus PNET lebih sering terjadi pada perempuan
usia 9 tahun sampai 40 tahun.17 Keluhan utama pasien yaitu timbul benjolan pada
hidung kiri sejak sekitar 3 bulan sebelum ke rumah sakit. Awalnya benjolan tersebut
kecil lalu semakin lama semakin membesar, benjolan meluas hingga keluar melalui
lubang hidung sisi kiri serta meluas ke pipi kiri dan ke gusi rahang atas serta
dikeluhakan rinore dan epistaksis. Penelitian Ghosh dkk pada tahun 2009 dilaporkan
gejala TNEP di daerah sinonasal yang tidak spesifik seperti obstruksi hidung, rinore
dan epistaksis. Benjolan pada wajah adalah keluhan utama yang dilaporkan pada
beberapa kasus pada anak. Beberapa keluhan lain yang dilaporkan, yaitu neuropati,
eksoftalmus, anosmia dan nyeri kepala.17 Gambaran klinis yang didapatkan pada
pasien berupa massa tumor yang memenuhi kavum nasi kiri, yang tampak menonjol
hingga ke nares anterior kiri berwarna coklat kehitaman dengan ukuran 2x2 cm.
Pemeriksaan dengan CT scan fokus hidung dan sinus paranasal irisan axial coronal

142
memberi kesan kesan bulging solid mass pada kavum nasi kiri yang meluas ke
perinasal kiri dan wajah sisi kiri serta terdapat destruksi dinding sinus maksilaris kiri.
Hal ini sesuai dengan literatur bahwa pemeriksaan pencitraan yang menemukan
heterogenous enhancing soft tissue mass dengan atau tanpa erosi tulang dan dapat
terjadi kalsifikasi intratumor.7 Pada saat dilakukan ekstirpasi tumor, didapatkan
temuan massa tumor rapuh memenuhi kavum nasi sinistra, kavum sinus maksilaris
sinistra, destruksi dinding sinus maksilaris sinistra sampai gusi rahang atas.
Kemudian dilakukan pemeriksaan patologi anatomi yang didiagnosis sebagai suatu
malignant small round cell tumor, diagnosis banding primitive neuroectodermal
tumor. Dilanjutkan dengan pemeriksaan imunohistokima dengan hasil petanda
mesenkimal (Vimetin) positif kuat, petanda CD 99 positif kuat, NSE positif lemah
sampai sedang, S100 dan limfoblast (TDT) negatif, menyimpulkan kesan TNEP. Hal
ini sesuai dengan literatur, secara histologis, TNEP terdiri dari kumpulan sel kecil,
bulat, berwarna keabuan. Meskipun demikian, ciri histologis yang didapat dengan
pemeriksaan mikroskop cahaya saja tidak dapat membedakan dengan tumor sel bulat
lain. Pada periksaan dengan menggunakan mikroskop elektron, menunjukkan granula
neurosekretori dengan mikrotubular serta mikrofilamen. Juga terdapat tonjolan
dendritik pendek diantara sel-sel TNEP; karakteristik tersebut yang tidak terdapat
pada sarcoma Ewing. Rosette formation pada sel tumor tidak terdapat pada TNEP,
yang mana terlihat pada tumor sel bulat lain. Profil imunohistokimia dapat
membedakan TNEP dengan tumor sel bulat lain. TNEP positif untuk MIC-2,
vimentin, S-100, neuron-specific enolase, desmin, CD 99, CD 75 dan protein
neurofilamen. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron dan imunohistokimia
memainkan peranan penting dalam membedakan TNEP dengan tumor lain yang
memiliki kemiripan histologis, seperti limfoma non-Hodgkin, neuroblastoma dan
rabdomyosarkoma dan lain-lain. TNEP secara tipikal positif untuk CD 75, aktin dan
desmin yang tidak positif untuk limfoma.16

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah tindakan pembedahan berupa


ekstirpasi tumor dengan anestesi umum, kemudian pasien dikonsulkan ke sejawat
pediatri untuk dilakukan kemoterapi. Pasien direncanakan menjalani kemoterapi
sebanyak 6 seri, untuk kemudian dievaluasi kembali. Regimen kemoterapi yang
diberikan berupa Ifosfamide dan Etopuside yang diberikan selang 3 minggu. Pasien
tidak menjalani radioterapi dengan pertimbangan usia dan lokasi tumor yang
ditakutkan akan merusak organ-organ di sekitar di daerah sinonasal. Reseksi dengan

143
kombinasi radioterapi dan kemoterapi untuk mengatasi tumor yang mungkin tersisa
ataupun adanya metastasis yang tidak terdeteksi. Beberapa pengamatan pada pasien
sarkoma Ewing telah menunjukkan bahwa pasien dengan tumor yang bersisa minimal
atau tanpa sisa setelah menjalani kemoterapi preoperasi, mempunyai prognosis yang
lebih baik. Tumor masif yang nekrosis setelah induksi dengan kemoterapi juga
menunjukkan prognosis yang lebih baik. Kombinasi ifosfamid dan etoposid telah
menunjukkan hasil yang baik pada sarkoma Ewing. Dan pada uji coba yang lain,
menunjukkan peningkatan hasil bila ifosfamid-etoposid dipakai bergantian dengan
siklofosfamid. Protokol kemoterapi adalah pemakaian vinkristin, doksorubisin,
siklofosfamid atau ifosfamid, etoposid selama 6-9 bulan dan setelah terapi, pasien
harus kontrol selama beberapa tahun. Penelitian terbaru pada uji klinik dari
Children’s Oncology group study (Amerika serikat) dan Euro-Ewing 99 (Eropa)
menunjukkan peningkatan hasil dengan pemberian kemoterapi yang intensif untuk
kelompok sarkoma Ewing. Radioterapi sebagai terapi tunggal diberikan pada pasien
dengan kasus tumor yang tidak dapat direseksi untuk mempertahankan fungsi. Tidak
disarankan untuk melakukan radioterapi pada pasien yang tidak terbukti adanya

tumor sisa setelah dilakukan reseksi.7,8

2. KESIMPULAN
Dilaporkan satu kasus tumor neuroektodermal primitif di regio sinonasal
pada pasien perempuan berusia 18 bulan. Kasus ini merupakan kasus yang sangat
jarang terjadi. Korelasi gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, dan
histopatologi merupakan prasyarat keberhasilan penatalaksanaan pasien. Diagnosis
ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia.
Penatalaksanaan yang direkomendasikan antara lain dengan pembedahan, kemoterapi
dan terapi radiasi.

144
DAFTAR PUSTAKA

1. Wetmore RF, Muntz HR, McGill TJ. Soft tissue tumor in children. Dalam : Potsic
WP, Healy GB, Lusk RP, eds. Pediatric otolaryngology: principles and practice
pathway. New York: Thieme; 2000. h.103-10.
2. Moras K, Roy P, Albert RR. Primitive neuroectodermal tumor of the maxillacase
report and review of literature. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg 2005; 25:21-
4.
3. Brandwein M, Gesler. Sinonasal and nasopharyngeal surgical pathology. Dalam :
Silverberg SG, ed. Principles and practice of surgical pathology and
cytopathology. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2006. h.806-7.
4. Thompson LDR. Ewing sarcoma and primitive neuroectodermal tumor. Ear Nose
Throat J 2001; 21:12-4.
5. Calvarho CM, Valette G, Nicholas G, Marianowski R. Maxillar localization of a
congenital peripheral primitive neuroectodermal tumor a case report. Int J Pediatr
Otolaryngol 2006; 1:27-32.
6. Stafford EM. Primitive neuroectodermal tumors [homepage on the internet]. c2009
7. Rosai. Soft tissue tumor extrasceletal Ewing sarcoma/PNET. In: Rosai,
Ackerman’s, eds. Surgical pathology. 9th ed. Toronto: Mosby; 2004. h. 2324-5.
8. Jones JE, McGill T. Peripheral primitive neuroectodermal tumors of the head and
neck. Arch Otol 1995; 121:1392-5.
9. Ballenger JJ. Anatomy and physiology of the nose and paranasal sinuses. Dalam:
Snow BJ, Ballenger JJ, penyunting. Ballenger’s otorhinolaryngology head and
neck surgery. Edisi ke-16. Spanyol: BC Decker Inc; 2003. h. 547-61.

10. Putz R, Pabst R. Sobotta. Atlas anatomi manusia jilid 1. Edisi ke-21. Jakarta: EGC;
2000.

11. Duque CS, Casiano RR. Surgical anatomy and embryology of the frontal sinus.
Dalam: Kountakis S Senior B, Draf W, penyunting. The frontal sinus. Berlin:
Springer; 2005. h. 83-7.

12. Leung RM, Walsh WE, Kern RC. Sinonasal anatomy and physiology. Dalam:
Ferguson BJ, Ryan MW. penyunting. Bailey's head and neck surgery-
otolaryngology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2014. h.
359- 64.

145
13. Bolger WE. Anatomy of the paranasal sinuses. Dalam: Kennedy DW, Bolger WE,
Zinreich SJ, penyunting. Diseases of the sinuses diagnosis and management.
Hamilton: BC Decker; 2001. h. 1-13.

14. Krouse JH, Stachler RJ. Anatomy and physiology of the paranasal sinuses. Dalam:
Brook I, penyunting. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor
and Francis; 2006. h. 95-106.

15. Probst R, Grevers G, Iro H. Anatomy, physiology, and immunology of the nose,
paranasal sinuses, and face. Dalam: Probst R, Grevers G, Iro H, penyunting. Basic
otorhinolaryngology a step-by-step learning guide. Stuttgart: Georg Thieme Verlag;
2006. h. 4-6.

16. Toda T, Atari E, Sadi AM, Kiyuna M, Kojya S. Primitive neuroctodermal tumor in
sinonasal region. Aurius Nasus Larynx 1999; 26:83-90.

17. Ghosh A, Saha S, Pal S, Saha PV, Chattopadhyay S. Peripheral primitive


neuroectodermal tumor of head-neck region: our experience. Indian J Otolaryngol
Head and Neck Surg. 2009;61:235-239

18. Iseri M, Ozturk M, Filinte D, Corapcioglu F. A peripheral primitive neuroectodermal


tumor arising from the middle turbinate and transnasal endoscopic approach for its
surgical treatment. Int J Pediatr Otolaryngol 2007; 7:180-4.

19. Benoit MM, Bhattacharyya, Faquin W, Cunningham M. Cancer of the nasal cavity in
the pediatric population. Pediatrics 2007; 121(1):141-5.

146
TULI SENSORINEURAL MENDADAK BILATERAL
PADA EVANS SINDROM

Komang Andi Dwi Saputra


Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT KL
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar

1. PENDAHULUAN

Tuli mendadak atau sudden sensorineural hearing loss didefinisikan sebagai kehilangan
pendengaran lebih dari 30 dB dalam 3 frekuensi berturut-turut dalam onset 3 hari, sering
unilateral dan bersifat idiopatik. Tuli mendadak merupakan salah satu kasus
kegawatdaruratan di bidang THT yang memerlukan penanganan segera, walaupun
beberapa kepustakaan menyatakan bahwa tuli mendadak dapat sembuh spontan,angka
pemulihan pasien yang tidak mendapat pengobatan adalah 25-65% , sebagian besar dalam
2 minggu setelah gejala muncul.1
Prevalensi tuli mendadak di Amerika Serikat 5-30 tiap 100.000 orang penduduk per
tahun. Distribusi penderita laki-laki dan perempuan hampir sama, dengan puncak usia 50-
60 tahun.1
Tuli sensorineural mendadak dapat disebabkan oleh infeksi virus, neoplasma, ruptur
membran koklea, autoimun, oklusi vaskuler, neurologi, psikogenik dan idiopatik. Diagnosis
ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, penala, audiometri dan penunjang.
Pengobatan tuli sensorineural mendadak masih kontroversial. Sampai saat ini keberhasilan
pemberian antiinflamasi, vasodilator, antivirus maupun terapi oksigen hiperbarik masih terus
diteliti. Faktor usia, onset pemberian terapi, derajat tuli sensorineural dan adanya gejala
penyerta dikatakan mempengaruhi prognosis tuli sensorineural mendadak.1,2
Evans sindrom adalah kondisi yang didefinisikan sebagai kombinasi (baik secara
bersamaan atau berurutan) dari idiopatik trombositopenia purpura (ITP) dan autoimun
hemolitik anemia (AIHA) dengan tes antiglobulin langsung yang positif (DAT) dan tidak
adanya etiologi yang diketahui. Evans sindrom merupakan penyakit langka meskipun
frekuensi pastinya tidak diketahui. Hasil penelitian di Malaysia menyatakan dari 220 pasien
ITP dan 102 AIHA terdapat 12 orang mengidap Evans sindrom. Gejalanya meliputi anemia
hemolitik yaitu pucat, lesu, sakit kuning, gagal jantung, dan gejala trombositopenia antara
lain petechiae, memar, perdarahan mukokutan. Pemeriksaan fisik didapatkan limfadenopati,
hepatomegali ataupun splenomegali. Komplikasi yang sering dijumpai adalah perdarahan
dan sepsis. Namun dilaporkan juga komplikasi yang
jarang yaitu gangguan pendengaran akibat Evans sindrom. Berikut dilaporkan satu kasus
tuli sensorineural mandadak bilateral pada laki-laki usia 57 tahun dengan Evans sindrom. 3,4

147
PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Telinga terbagi menjadi telinga luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri dari daun
telinga dan kanalis akustikus eksternus. Sepertiga luar kanalis akustikus eksternus tersusun
atas kartilago yang mengandung folikel rambut dan kelenjar seruminosa. Sedangkan dua
pertiga bagian dalam merupakan bagian tulang yang dilapisi epitel.1,2
Telinga tengah terdiri dari membran timpani, maleus, inkus, stapes, otot tensor timpani
dan otot stapedius. Nervus korda timpani yang merupakan cabang nervus fasialis berjalan
melintasi kavum timpani membawa serabut pengecap. Tuba eustachius menghubungkan
kavum timpani dengan faring yang membuka oleh kontraksi otot tensor veli palatini.2
Telinga dalam terdiri dari organ vestibuler dan koklea yang berada pada tulang
temporal. Koklea merupakan tabung berbentuk rumah siput yang mengandung organ
sensori untuk pendengaran. Koklea memiliki tiga buah kanal yang mengandung cairan yaitu
skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala media berada di koklea bagian tengah
dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh membran
basilaris. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfe sedangkan skala media
berisi cairan endolimfe. Komposisi ion pada cairan skala media serupa dengan intraseluler
yaitu kaya kalium dan rendah natrium. Sedangkan cairan pada skala vestibuli dan skala
timpani serupa dengan ekstraseluler yaitu rendah kalium dan tinggi natrium. Komposisi ion
perilimfe sangat penting untuk sel-sel rambut.5
Cairan perilimfe pada telinga dalam berhubungan dengan cairan serebrospinal pada
kavum kranii melalui aquaduktus koklearis yang menghubungkan ruang perilimfe dengan
ruang cairan kranial. Ruang endolimfatikus berhubungan dengan sakus endolimfe melalui
duktus endolimfe. Sakus endolimfe adalah ruang diantara dua lapisan duramater. Membran
Reissner memiliki komplians yang sangat tinggi sehingga perubahan tekanan yang sangat
kecil sekalipun dapat menyebabkan perubahan volume yang besar pada ruang endolimfe.
Gangguan keseimbangan tekanan pada kedua sistem tersebut akan menyebabkan
gangguan pendengaran dan keseimbangan.1,5
Organon korti terletak pada membran basiler dan banyak mengandung sel sensori, sel
rambut luar dan sel rambut dalam. Diantara barisan sel rambut luar dan sel rambut dalam
terdapat suatu saluran Corti. Sel rambut luar berbentuk silindris sedangkan sel rambut
dalam berbentuk seperti labu. Sel rambut luar pada apeks koklea berukuran lebih panjang
dibandingkan bagian basal. Stereosilia sel rambut dalam pada basal koklea berukuran lebih
pendek dibandingkan dengan apeks koklea. Stria vaskularis berada diantara ruang perilimfe

148
dan endolimfe disepanjang dinding koklea. Stria vaskularis banyak mengandung pembuluh
darah dan mitokondria pada selnya yang mengindikasikan terlibatnya aktivitas metabolik.2
Membran basilar berukuran panjang sekitar 150µm di basal koklea dan lebar 450 µm di
apeks. Mengandung jaringan ikat dan membentuk basal skala media. Pada bagian basal,
membran basiler mempunyai struktur yang lebih kaku dibandingkan apeks. Perubahan
struktur secara gradual ini menyebabkan suara yang mencapai telinga ini menghasilkan
gelombang pada membran basiler yang berjalan dari basal menuju apeks koklea.2,5
Koklea diinervasi oleh serat saraf aferen auditorius, eferen dan otonomik. Koklea
diperdarahi oleh arteri labirin yang berasal dari arteri serebelum anterior inferior dan
berjalan mengikuti nervus kranialis VIII pada meatus akustikus internus. Arteri labirin
merupakan arteri terminal dan hanya mengandung sedikit bahkan tidak ada suplai
pembuluh darah kolateral ke koklea.

2.2 Fisiologi pendengaran


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getar tersebut
menggetarkan membran timpani kemudian diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian
tulang pendengaran yang akan mengampiflikasi getaran melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.
Energi getar yang telah diampiflikasi ini diteruskan ke stapes yang menggerakan tingkap
lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui
membran Reissner yang mendorong endolimfe sehingga akan menimbulkan gerak relatif
antara membran basilaris dan membran tektorial. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel rambut sehingga kanal ion terbuka
dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini akan menimbulkan
proses depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinaps
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius , dilanjutkan ke nukleus
auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporal.2

Tidak seluruh getaran di alam bisa didengar oleh manusia. Frekuensi sonik adalah
frekuensi yang dapat dipersepsi manusia sebagai bunyi. Rentang frekuensi sonik antara
20Hz - 20.000Hz. Frekuensi sonik yang sangat diperlukan untuk percakapan sehari-hari
adalah antara 500 Hz sampai 2.000 Hz. Frekuensi kurang dari 20 Hz disebut subsonik dan
diatas 20.000 Hz disebut supersonik. Kedua frekuensi tersebut tidak dapat didengar
manusia.2

149
2.3 Definisi dan Kekerapan
Tuli sensorineural mendadak didefinisikan sebagai tuli sensorineural pada satu atau
kedua telinga yang berlangsung sangat cepat dalam periode 72 jam dengan kriteria
audiometri berupa penurunan pendengaran 30 dB sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi
yang berurutan. Gangguan pendengaran yang terjadi bervariasi dalam intensitas dan
frekuensi. Di Amerika Serikat kejadian tuli mendadak ditemukan 5-20 kasus tiap 100.000
orang pertahun dengan 4.000 kasus baru tiap tahunnya. Tuli biasanya bersifat unilateral.
Tuli mendadak bilateral terjadi pada 1-5% kasus. Distribusi laki-laki dan perempuan hampir
sama. Tuli mendadak dapat terjadi pada semua kelompok umur. Umumnya terjadi pada
rentang umur 40-54 tahun.2,5
Evans sindrom pertama kali dijelaskan pada tahun 1951 oleh Robert Evans yang
mempresentasikan tentang hubungan antara anemia hemolitik yang didapat dan purpura
trombositopenia primer. Evans sindrom dapat didefinisikan sebagai kombinasi dari idiopatik
trombositopenia purpura (ITP) dan autoimun anemia hemolitik (AIAH) dengan tes
antiglobulin langsung yang positif (DAT) dan tidak adanya etiologi yang diketahui yang
mendasarinya. Kondisi ini umumnya berjalan kronis dan ditandai oleh seringnya
eksaserbasi dan remisi, kadang-kadang bersama dengan trombositopenia. Evans sindrom
merupakan penyakit yang langka dan frekuensi pastinya tidak diketahui. Sebuah penelitian
pada pasien dewasa dengan imunositopenia yang dilakukan pada tahun1950-1958
ditemukan 399 kasus AIAH dan 367 kasus trombositopenia , hanya 6 dari 766 pasien
tersebut tergolong Evans sindrom.6
Tuli sensorineural mendadak merupakan komplikasi yang sangat jarang pada penyakit
autoimun. Pada Evans sindrom, komplikasi ini dicurigai timbul akibat proses sistemik yang
menyebabkan iskemia pada koklea.

2.4 Etiologi dan Patogenesis


Penyebab tuli sensorineural mendadak masih belum diketahui secara jelas. Banyak
teori dugaan penyebab yang dikemukakan oleh para ahli. Penyebab tuli sensorineural
dibagi atas gangguan di koklea (inflamasi, trauma, gangguan vaskular, hematologi,
gangguan jaringan ikat, hidrops endolimfe, gangguan metabolik, ototoksisitas), gangguan di
retrokoklea dan sistem saraf pusat ( meningitis, multiple sclerosis, sarkoidosis dan
idiopatik).7,8
Ada empat teori utama yang mencoba menjelaskan penyebab tuli mendadak antara lain
infeksi virus, kelainan vaskular, kerusakan membran intrakoklea dan kelainan imunologi.
Ketulian mendadak dapat ditemukan pada infeksi virus seperti mumps, rubella dan
influenza. Pada pemeriksaan serologis didapatkan peningkatan titer antibodi terhadap

150
sejumlah virus. Pemeriksaan histopatologi tulang temporal pasien yang mengalami tuli
sensorineural mendadak menunjukkan atrofi organ korti, atrofi stria vaskularis, membran
tektorial serta hilangnya sel rambut dan sel penyokong koklea.7,8,9
Iskemia koklea diperkirakan merupakan penyebab tuli mendadak yang tersering.
Keadaan ini disebabkan karena spasme, trombosis atau perdarahan arteri auditiva interna.
Pembuluh darah koklea merupakan end artery sehingga bila terjadi gangguan pada
pembuluh darah ini maka koklea sangat mudah mengalami kerusakan. Pada kasus emboli,
trombosis, vasospasme dan hiperkoagulasi terjadi iskemia yang berakibat degenerasi luas
pada sel ganglion stria vaskularis dan ligamen spiralis. Kemudian diikuti oleh pembentukan
jaringan ikat dan penulangan. Kebocoran cairan perilimfe ke dalam telinga tengah melalui
tingkap bundar dan tingkap lonjong didalilkan sebagai penyebab ketulian dengan
membentuk hidrops endolimfe relatif atau menyebabkan robekan membran intrakoklea.
Robekan membran intrakoklea memungkinkan terjadinya pencampuran perilimfe dan
endolimfe sehingga terjadi perubahan potensial endokoklea.9,11
Adanya reaksi silang antara antibodi dengan antigen telinga dalam dan terbentuknya
komplek imun pada stria vaskularis, sakus dan duktus endolimfatikus menguatkan teori
bahwa salah satu penyebab tuli mendadak adalah autoimun. Konsep autoimun ini pertama
kali diperkenalkan oleh McCabe pada tahun 1979.10,12,13,16
Walaupun Evans sindrom muncul sebagai panyakit yang disebabkan oleh pengaturan
imunitas, sampai saat ini patofisiologi yang jelas masih belum diketahui. Kebanyakan
penelitian hanya mempunyai sedikit jumlah pasien dan interpretasi hasil penelitian sulit
dibuat.6,10
Pada penelitian Wang et al (1983) yang menggunakan 6 anak yang menderita penyakit
ini menemukan adanya penurunan persentase dari IgG, IgM, IgA dan sel T4, serta
peningkatan persentase sel T8 dan penurunan yang nyata dari rasio T4:T8 dibandingkan
orang normal dan pasien dengan ITP kronis. Hal ini berhubungan dengan sitopenia pada
pasien. Abnormalitas tersebut tetap ada selama di follow up 1 tahun. Penelitian Krakantza
et al (2000) yang menemukan penurunan rasio CD4/CD8 pada anak umur 12 tahun dengan
Evans sindrom, menariknya penurunan rasio tersebut tetap bertahan walaupun telah
dilakukan splenektomi. Mereka juga menemukan kenaikan produksi interleukin 10 dan
interferon ᵞ sehingga mereka mengemukakan ini disebabkan oleh aktivasi autoreaksi,
produksi antibodi sel B. Bagaimanapun, abnormalitas dari imunitas selular masih belum
jelas seperti yang terlihat pada keadaan autoimun dan infeksi virus dan keadaan ini tidak
spesifik dengan Evans sindrom.16,17
Sekalipun frekuensi dari hemopoesis sel spesifik autoantibodi pada pasien Evans
sindrom diketahui, namun masih sedikit sekali informasi yang menyatakan tentang target

151
antigen. Apoptosis limfosit yang teraktivasi sangat berpengaruh pada homeostatis imunitas
tubuh. Protein permukaan sel Fas (CD95) dan ligannya memainkan peranan penting dalam
mengatur apoptosis limfosit. Rusaknya permukaan fas dan ligannya menyebabkan
penumpukan jumlah limfosit tua dan menyebabkan penyakit autoimun pada tikus. Hasil
beberapa penelitian menyatakan rusaknya fase apoptosis limfosit oleh karena mutasi gen
fas yang menyebabkan sindrom autoimun limfoproliferatif berat pada manusia. Teachey et
al juga menunjukkan 12 anak menggunakan menggunakan tes definitif untuk ALPS. Dan
hasilnya menunjukkan bahwa 58% orang dengan Evans sindrom bisa memiliki ALPS. Pada
pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan AIHA dan ITP. Pemeriksaan bisa menunjukkan
limfadenopati, hepatomegali dan atau splenomegali. Limfadenopati dan organomegali
mungkin kronis atau intermiten dan pada beberapa kasus bisa tampak selama episode
eksaserbasi akut. Hitung jumlah darah bisa menunjukkan sitopenia dan apusan darah
mengarah ke AIHA seperti polikromasia, sferosit dan untuk membuang penyebab yang lain
seperti keganasan, mikroangiopati hemolitik, kongenital hemolitik dan trombositopeni. Ciri
dari hemolitik harus ditemukan termasuk peningkatan retikulosit, hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi dan penurunan hepatoglobulin. Tes antiglobulin langsung biasanya hampir
menunjukkan positif pada semua kasus. Sangat disarankan untuk mengukur serum
imunoglobulin pada semua pasien, hal ini tidak hanya untuk menyingkirkan diagnosa lain
seperti common variable imunodeficiency dan defisiensi IgA namun juga sebagai dasar
utama utuk melakukan terapi immunomodulator. Untuk tambahan, keadaan autoimun
lainnya seperti SLE harus dicari dengan antinuclear antibody (ANA), double stranded DNA,
dan faktor rematoid. Dan yang paling penting adalah menyingkirkan ALPS ( autoimun
limfoproliferatif sindrom) dengan menilai darah tepi sel T menggunakan flow
cytometri.12,13,16
Investigasi sumsum tulang juga bisa digunakan untuk menyingkirkan proses infiltratif
pada pasien dengan pansitopenia.

2.5 Diagnosis
Diagnosis tuli sensorineural mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Keluhan pasien pada umumnya berupa
hilangnya pendengaran pada satu sisi telinga saat bangun tidur. Sebagian besar kasus
bersifat unilateral. Hanya 1-2% kasus bersifat bilateral. Kejadian hilangnya pendengaran
dapat bersifat tiba-tiba, berangsur-angsur hilang secara stabil atau terjadi secara cepat dan
progresif. Kehilangan pendengaran dapat bersifat fluktuatif tetapi sebagian besar besifat
stabil. Tuli sensorineural mendadak sering disertai keluhan sensasi penuh pada telinga
dengan atau tanpa tinitus. Pada 28-57% kasus dapat ditemukan gangguan vestibular
seperti vertigo.11,14

152
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan otoskopi dan garpu tala. Pemeriksaan otoskopi
ditemukan dalam batas normal sedangkan garpu tala didapatkan Rinne positif pada telinga
yang sakit dan Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, yang menunjukkan tuli
sensorineural.

Gambar 2. Tes Penala

Audiogram akan menunjukkan tuli sensorineural pada frekuensi rendah, sedang, tinggi
atau seluruh frekuensi. Pemeriksaan laboratorium dilakukan berdasarkan keluhan dan
riwayat pasien serta kemungkinan etiologi. Pada kasus tuli sensorineural mendadak
bilateral atau episode tuli sensorineural mendadak berulang maka pemeriksaan neurologi
berupa antibodi antikoklea dapat dilakukan.14
Pasien dengan AIHA dan ITP dapat muncul satu per satu ataupun bersamaan.
Neutropenia terjadi lebih dari 55% pasien, atau pansitopenia (14%). Perkembangan dari
sitopenia yang kedua bisa muncul setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun
setelah sitopenia pertama dan mengakibatkan diagnosis tertunda.
Gambaran klinisnya bisa dari anemia hemolitikya seperti tampak pucat, lemas, tampak
kuning, dan gagal jantung pada kasus yang berat. Atau gambaran ITP seperti petechiae,
memar, dan perdarahan mukokutan. Pada pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan AIHA
dan ITP bisa menunjukkan limfadenopati, hepatomegali dan atau splenomegali.

153
Limfadenopati dan organomegali berlangsung kronis dan pada beberapa kasus bisa
tampak selama episode eksaserbasi akut. Menurut Pui dalam A. Kabir (2010) ada tiga
kriteria untuk penegakan diagnosis Evans sindrom16,17 : adanya anemia hemolitik dengan
tes coomb direk positif, trombositopenia yang timbul secara bersamaan ataupun satu per
satu dan tanpa diketahui penyebabnya.

2.6 Penatalaksanaan

Pada tuli sensorineural mendadak yang diketahui penyebabnya maka pengobatan


ditujukan untuk mengatasi penyebabnya sedangkan penanganan tuli sensorineural
mendadak idiopatik masih kontroversial dan didasarkan pada bukti empiris. Hipoksia
jaringan menimbulkan reaksi inflamasi berupa dilepasnya mediator histamin dan
prostaglandin. Kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi yang bekerja mengurangi
inflamasi pada koklea dan nervus auditorius. Pemberian metilprednisolon oral dengan dosis
tapering off selama 10-12 hari menunjukkan perbaikan pendengaran yang bermakna
dibandingkan penderita yang diberikan plasebo.
Sampai saat ini belum ada keseragaman diantara para ahli dalam penanganan tuli
mendadak. Sebagian ahli berpendapat tuli mendadak dapat sembuh spontan tanpa
pengobatan. Sedangkan pendapat lain menyatakan walaupun penyebabnya belum
diketahui, tuli mendadak adalah tetap suatu kegawatdaruratan THT yang segera, guna
mempercepat proses penyembuhan dan menghindarkan cacat yang menetap.
Penanganan yang paling utama pada pasien yang mengalami tuli mendadak adalah
tirah baring kira-kira selama 14 hari, dengan tujuan sebagai istirahat fisik dan mental bagi
pasien untuk mengurangi stress akibat keadaan yang dialaminya serta untuk memperbaiki
sistem neurovaskuler.
Vasodilator diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan aliran darah ke koklea
sehingga mengurangi hipoksia. Obat pilihan saat ini adalah Xantinol Nicotinat injeksi dan
tablet, dengan dosis tertentu yang diturunkan secara bertahap. Dosis injeksi yaitu: 3x 900
mg selama 4 hari, 3 x 600 mg selama 4 hari dan 3 x 300 mg selama 6 hari. Dosis dalam
bentuk tablet yaitu 3x2 tablet setiap hari selama 2 minggu.
Berbagai penelitian penggunaan kortikosteroid pada pasien tuli mendadak telah
dipublikasikan. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sintetik oral, intravena,
dan/atau intratimpani, meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason.
Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek anti inflamasi dan kemampuan dalam
meningkatkan aliran darah koklea. Untuk hasil pengobatan yang maksimal, dosis terapi
prednison oral yang direkomendasikan adalah 1 mg/kg/hari dosis tunggal dengan dosis
maksimum 60 mg/hari selama 10- 14 hari. Dosis ekuivalen prednison 60 mg setara dengan

154
metilprednisolon 48 mg dan deksametason 10 mg. Sebuah data yang representatif
menggunakan regimen pengobatan dengan dosis maksimum selama 4 hari diikuti tapering
off 10 mg setiap dua hari. Efek samping prednison meliputi insomnia, dizziness, kenaikan
berat badan, berkeringat, gastritis, perubahan mood, fotosensitif, dan hiperglikemia. Efek
samping lain yang cukup berat, tetapi jarang ditemukan, yakni pankreatitis, perdarahan,
hipertensi, katarak, miopati, infeksi oportunistik, osteoporosis, dan osteonekrosis. Oleh
sebab itu, untuk meminimalkan risiko, pasien dengan kondisi medis sistemik, seperti insulin-
dependent diabetes mellitus (IDDM), diabetes tidak terkontrol, hipertensi tidak terkontrol,
tuberkulosis, dan ulkus peptikum tidak disarankan diberi terapi kortikosteroid sistemik.
Beberapa ahli THT merekomendasikan terapi kortikosteroid intratimpani sebagai
pengganti terapi kortikosteroid sistemik pada pasien yang tidak mengalami perbaikan
dengan kortikosteroid sistemik. Terapi kortikosteroid intratimpani dapat menjadi alternatif
untuk pasien diabetes yang tidak bisa mengonsumsi kortikosteroid sistemik. Steroid
diberikan dengan sebuah jarum melalui membran timpani atau ditempatkan di telinga
tengah melalui tabung timpanostomi atau miringotomi yang kemudian diserap dan
menyebar melalui membran tingkap bundar ke telinga dalam. Keuntungan terapi
kortikosteroid intratimpani adalah memberikan steroid konsentrasi tinggi langsung pada
jaringan target (perilimfe) dengan efek samping sistemik minimal. Hal ini didukung oleh
Parnes dkk, yang mempublikasikan dan mendemonstrasikan kadar steroid yang tinggi di
telinga dalam setelah aplikasi terapi steroid intratimpani. Sebuah studi mengenai terapi
kombinasi kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan kortikosteroid intratimpani menunjukkan
hasil perbaikan fungsi pendengaran secara signifikan. Namun, studi lainnya tidak
menghasilkan perbedaan pemulihan pendengaran antara terapi kombinasi kortikosteroid
oral dan intratimpani dengan terapi kortikosteroid oral saja. Steroid intratimpani yang biasa
diberikan adalah deksametason atau metilprednisolon. Konsentrasi kortikosteroid yang
digunakan bervariasi, sebagian besar studi menganjurkan deksametason 10-24 mg/mL dan
metilprednisolon 30 mg/mL atau lebih. Efek samping terapi intratimpani yang haru
diantisipasi adalah efek lokal, seperti otalgia, dizziness, vertigo, perforasi membran timpani,
atau infeksi (otitis media).11
Terapi oksigen hiperbarik telah diterapkan sebagai terapi tambahan dalam kasus tuli
mendadak. Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari 1 ATA
(atmosphere absolute). Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan
perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang
lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap keadaan iskemik.
Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki efek yang kompleks pada imunitas tubuh,
transpor oksigen dan hemodinamik, peningkatkan respons normal pejamu terhadap infeksi
dan iskemia, serta mengurangi hipoksia dan edema. Menurut guideline AAO-HNS, terapi

155
oksigen hiperbarik sebaiknya dilakukan dalam 2 minggu hingga 3 bulan dari saat diagnosis
tuli mendadak. Pasien usia muda memberikan respons lebih baik dibandingkan pasien yang
lebih tua (usia bervariasi antara 50-60 tahun). Hal penting yang perlu dipertimbangkan
dalam terapi oksigen hiperbarik ini adalah manfaat dan risiko efek samping. Terapi ini
memiliki efek samping berupa kerusakan pada telinga, sinus, dan paru akibat perubahan
tekanan, myopia yang memburuk sementara, klaustrofobia, dan keracunan oksigen. Dalam
sebuah studi terhadap 80 pasien yang menjalani terapi oksigen hiperbarik, 5 pasien (6,25%)
mengalami barotrauma pada telinga atau sinus.14,1
Penggunaan antivirus pada pengobatan ketulian sensorineural mendadak idiopatik,
hanya pada etiologi virus. Famsiklovir dan valasiklovir merupakan obat terbaru, yang
memiliki struktur dan cara kerja yang serupa dengan asiklovir dan belum dilaporkan
penggunaannya pada ketulian yang mendadak. Salah satu penyebab tuli mendadak adalah
inflamasi oleh infeksi virus. Mekanisme inflamasi berupa invasi virus secara langsung pada
koklea atau saraf koklea, reaktivasi virus laten dalam ganglion spirale, dan infeksi yang
dimediasi imun. Secara teoritis, pemberian antivirus dapat membantu pemulihan fungsi
pendengaran. Beberapa percobaan yang telah dilakukan masih belum mengungkap adanya
manfaat pemberian terapi antivirus. Conlin dan Parnes melakukan systematic review dan
meta-analisis terhadap empat studi RCT (randomized controlled trial) yang membandingkan
terapi antivirus dan steroid dengan plasebo dan steroid, tidak satu pun yang melaporkan
hasil signifikan secara statistik. Selain itu, penggunaan antivirus memiliki efek samping
berupa mual, muntah, fotosensitif, serta perubahan status mental, dizziness, dan kejang.
Roborantia dapat diberikan vitamin B kompleks dan Vitamin C. vitamin C diberikan 2x
100 mg / hari. Vitamin B kompleks diberikan 3 x 1 tablet / hari.2
Bila fungsi pendengaran tidak membaik dengan pengobatan tersebut maka perlu
dipertimbangkan pemakaian alat bantu dengar (hearing aid) dan apabila dengan alat ini
belum juga membantu pasien maka perlu dilakukan psikoterapi dengan tujuan agar pasien
dapat menerima keadaan.
Tatalaksana untuk Evans sindrom masih belum pasti sampai saat ini. Sindrom ini bisa
berulang dan respon terhadap pengobatan masih sangat bervariasi bahkan pada individu
yang sama. Indikasi pengobatan belum ditemukan pada penelitian. Pengobatan pasien
secara simptomatis. 3,4,16
Pengobatan lini pertama yang paling sering digunakan yaitu kortikosteroid dan atau
imunoglobulin intravena. Pada keadaan akut, transfusi darah atau platelet bisa diberikan
untuk mengurangi gejala.
Kortikosteroid merupakan obat lini pertama yang cukup baik. Dari beberapa penelitian
banyak yang mengalami perbaikan walau tidak sampai tahap sembuh. Dosis prednisolon

156
yang digunakan sangat bervariasi dari 1mg/kg/hari sampai 4 mg/kg/hari. Bahkan respon
yang bagus pada pemberian dosis besar metilprednisolon i.v 30 mg/kg/hari untuk 3 hari lalu
20mg/kg/hari untuk 4 hari dilanjutkan 10,5,2,1mg/kg /hari untuk tiap minggunya.
Imunoglobulin intravena diberikan bila respon buruk terhadap steroid atau pasien yang tidak
bisa menerima steroid dosis tinggi. Dosis yang biasa digunakan 2 g /kg dalam dosis terbagi.
Pengobatan lini kedua meliputi agen imunosupresif (siklosporin, mikopenolat mofetil dan
danazol), rituximab dan kemoterapi (vincristine), splenektomi juga termasuk pengobatan lini
ke dua. Pemilihan obat ini tergantung dari kriteria klinis seperti umur pasien, beratnya
penyakit dan riwayat pengobatan sebelumnya.
Kebanyakan pasien merespon pengobatan lini pertama dan ke dua setidaknya untuk
beberapa tahun ke depan. Untuk lini ketiga dapat diberikan siklopospamid, alemtuzumab
dan SCT atau Stem Cell Transplantation.

2.7 Prognosis
Pada umumnya makin cepat diberikan pengobatan makin besar kemungkinan untuk
sembuh, bila sudah lebih dari 2 minggu kemungkinan sembuh menjadi kecil. Penyembuhan
dapat sebagian atau lengkap, tetapi dapat juga tidak sembuh. Hal ini disebabkan karena
faktor konstitusi seperti pada pasien yang pernah mendapat obat ototoksik yang cukup
lama, kolesterol tinggi, viskositas darah yang tinggi, dan sebagainya, walaupun pengobatan
diberikan pada stadium yang dini. Umur muda mempunyai angka perbaikan yang lebih
besar dibandingkan usia tua, tuli sensorineural berat dan sangat berat mempunyai
prognosis buruk dibandingkan dengan tuli sensorineural nada ringan dan sedang. Usia
lanjut, gangguan pendengaran sangat berat, dan adanya gejala vestibular subjektif dikaitkan
dengan rendahnya tingkat kesembuhan. Usia lanjut, hipertensi, diabetes, dan hiperlipidemia
berkaitan dengan disfungsi mikrovaskuler di koklea, yang merupakan faktor prognosis
buruk. Saat mulai pengobatan lebih dini (dalam 7 hari pertama) berhubungan dengan
prognosis baik bagi pemulihan fungsi pendengaran. Derajat gangguan pendengaran awal
mempengaruhi potensi pemulihan pendengaran. Pasien tuli mendadak disarankan
melakukan pemeriksaan audiometri ulang dalam waktu 6 bulan setelah diagnosis, untuk
menentukan keberhasilan terapi.11,14
Filipo dkk menggunakan klasifikasi yang dibuat oleh Furuhashi untuk evaluasi perbaikan
pendengaran pada tuli mendadak, terdiri atas pemulihan total, pemulihan bermakna,
pemulihan minimal, dan tidak ada pemulihan. Pasien tuli mendadak yang telah mendapat
pengobatan, namun ketulian tetap bersifat permanen dan menimbulkan
kecacatan, membutuhkan rehabilitasi auditorik. Dengan kesembuhan spontan tuli
sensorineural mendadak dilaporkan sekitar 45-65%. Pada penderita tuli sensorineural
mendadak unilateral dan masih memiliki pendengaran yang baik pada telinga kontralateral

157
maka tidak diperlukan pemakaian alat bantu dengar. Evaluasi audiometri dilakukan secara
rutin pada bulan 2, 6 dan 12 setelah onset tuli untuk mengetahui perbaikan derajat tuli atau
untuk mendeteksi adanya ketulian pada telinga kontralateral.7
Keberhasilan pengobatan tuli sensorineural mendadak dinilai berdasarkan rata-rata
ambang pendengaran menurut Siegel yaitu: pulih total jika ambang dengar rata-rata < 25
dB, pulih sebagian jika terjadi perbaikan > 15 dB dengan ambang dengar rata-rata 25-45
dB, pulih ringan jika perbaikan > 15 dB dengan ambang dengar rata-rata > 45 dB, dan tidak
ada pemulihan jika perbaikan < 15.
Seperti yang telah dibahas sebelunnya, Evans sindrom dikarakteristikkan sebagai
penyakit yang berulang. Pada beberapa pasien ini dapat bertahan lama dengan SCT. Pui et
al dan Scaradavou dan Bussel menyatakan episode ITP lebih sering dan lebih susah
dikendalikan daripada AIHA. Data dari 75 pasien yang mempunyai nilai median 3, 7, 8, 9
tahun menunjukkan angka kematian sebesar 7%, 36%, 33% dan 30 %. Penyebab kematian
berhubungan dengan perdarahan dan sepsis yang berlangsung. Menurut Michel M,
sebelum adanya rituximab, keseluruhan prognosis dari penyakit ini masih sangat rendah.12

III. LAPORAN KASUS


Penderita INJ, laki-laki, 57 tahun, agama Hindu, suku Bali, seorang petani, beralamat di
Nyitdah, kabupaten Tabanan, merupakan rujukan RSUD Tabanan yang telah dirawat
selama 2 minggu dan mendapatkan transfusi darah sebanyak 7 kantong. Pasien datang ke
IGD RSUP Sanglah tanggal 20 Maret 2017 pkl. 11.15 WITA dengan diagnosa observasi
anemia dan trombositopenia (bisitopenia) dan tuli sensorineural mendadak kanan dan kiri .
Pasien merupakan konsulan dari sejawat penyakit dalam dengan keluhan tuli mendadak
sejak 1 hari sebelum tiba di rumah sakit. Penderita mengeluh mengalami penurunan
pendengaran sejak 1 hari sebelumnya secara mendadak setelah bangun tidur disertai
telinga mendenging. Riwayat keluar cairan dari telinga, batuk, pilek dan trauma disangkal.
Panas badan tidak ada, namun pasien mengeluh badan lemas sejak 1 bulan sebelumnya
dan tidak membaik dengan istirahat. Pasien juga mengeluh lebam- lebam pada daerah paha
dan punggung sejak 1 bulan yang lalu tanpa didahului trauma.

Riwayat gusi berdarah ada.


Di RSUD Tabanan pasien dirawat dan ditransfusi darah sebanyak 7 kantong sehingga
menaikkan hemoglobin yang sebelumnya 4,8 gr/dL (9/3/2017) menjadi 9,7 gr/dL (14/3/017),
namun menurun pada tanggal 20 Maret 2017 menjadi 8,75 gr/dL. Pasien belum
mendapatkan tranfusi trombosit sehingga tetap dalam kondisi trombositopenia. Sehari
sebelum dirujuk pasien mengalami penurunan pendengaran secara mendadak. Kemudian

158
pasien dirujuk ke RSUP Sanglah dengan observasi bisitopenia dan tuli sensorineural
mendadak dekstra sinistra.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup dengan kesadaran
komposmentis , tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 78x/menit, respirasi 20x/menit dan suhu
aksila 36,5o C. Pada pemeriksaan otoskopi telinga didapatkan kanalis akustikus eksternus
pada kedua telinga lapang, kedua telinga tampak membran timpani intak dan refleks cahaya
kedua telinga positif. Tes penala menggunakan garputala 512 Hz didapatkan tes Rinne
positif pada kedua telinga, tes Weber tidak ada lateralisasi, tes Swabach didapatkan
memendek pada kedua telinga. Pemeriksaan hidung dan tenggorok tidak terdapat kelainan.
Pemeriksaan audiometri nada murni dengan hasil hantaran udara dekstra 78,75 dB dan
hantaran tulang dekstra 71,25 dB sedangkan hantaran udara sinistra 100 dB dan hantaran
tulang sinistra profound dengan kesimpulan tuli sensorineural derajat berat dekstra dan tuli
sensorineural derajat sangat berat sinistra.

Gambar 3 . Audiogram tanggal 21 Maret 2017

Pada pemeriksaan darah tanggal 20 Maret 2017 didapatkan hasil leukosit 6,16 x 103/μL,
hemoglobin 8,75 gr/dL ( MCV 100,30 fL, MCH 31,08 pg, MCHC 30,99 gr/dL), hematokrit
25,25%, trombosit 29,91 x 103/μL. Pemeriksaan darah kimia SGOT 38 U/L, SGPT 50 U/L,
BUN 24,5 mg/dL, kreatinin 0,75 g/dL, albumin 3,5 g/dL, natrium 136 mmol/L, kalium 3,8
mmol/L, bilirubin total 5,47 mg/dL, bilirubin direk 0,17 mg/dL, bilirubin
indirek 5,30 mg/dL. Foto torak PA didapatkan cor kesan kardiomegali dan pulmo kesan
normal. EKG didapatkan gambaran irama sinus. Hasil hapusan darah tepi kesan anemia
normokromik dengan trombositopenia. Hasil tes Coombs direk positif.
Penderita kemudian didiagnosis dengan tuli sensorineural mendadak dekstra sinistra
dan diberikan IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit, O2 2 liter/menit selama 15 menit diulang tiap
6 jam, pentoksifilin 2x400 mg intraoral, metil prednisolon 3x16 mg intraoral, mekobalamin

159
3x500 mcg intraoral. Penderita juga disarankan untuk tirah baring sempurna. Bagian
penyakit dalam, penderita didiagnosis dengan Evans sindrom dan diberikan terapi
kortikosteroid sesuai sejawat THT, transfusi PRC dan TC serta diet lunak. Tanggal 30 Maret
2017, kondisi pasien membaik namun pendengaran masih tetap. Pemeriksaan laboratorium
leukosit 18,05x103/μL, hemoglobin 10,05 gr/dL ( MCV 84,71 fL, MCH 25,82 pg, MCHC 30,48
gr/dL), hematokrit 31,03%, trombosit 488,00x103/μL. Pada tanggal 31 Maret 2017 pasien
dipulangkan dan direncanakan terapi hiperbarik sebanyak 10 kali lewat poliklinik. Tanggal 17
April 2017 dilakukan pemeriksaan timpanometri dan audiometri nada murni sesudah terapi
hiperbarik dengan hasil timpanometri tipe A/ tipe A. Pemeriksaan audiometri nada murni
dengan hasil hantaran udara dekstra 58,75 dB dan hantaran tulang dekstra 48,75 dB
sedangkan hantaran udara sinistra 100 dB dan hantaran tulang sinistra profound dengan
kesimpulan tuli sensorineural derajat sedang berat dekstra dan tuli sensorineural derajat
sangat berat sinistra.

Gambar 4 . Timpanometri tanggal 17 April 2017

Gambar 5 . Audiogram tanggal 17 April 2017

160
Terapi hiperbarik tidak dilanjutkan oleh karena perubahan ambang dengar yang sedikit
kearah perbaikan. Tanggal 18 April 2017 pasien disarankan memakai alat bantu dengar.

IV. PEMBAHASAN

Evans sindrom adalah penyakit sistemik yang merupakan kombinasi dari idiopatik
trombositopenia purpura (ITP) dan autoimun anemia hemolitik (AIAH) dengan tes
antiglobulin langsung positif (DAT) dan tidak adanya etiologi yang diketahui yang
mendasarinya. Komplikasi Evans sindrom yang jarang terjadi adalah tuli sensorineural
mendadak. Tuli mendadak dapat terjadi pada semua kelompok umur. Umumnya terjadi pada
rentang usia 40-54 tahun dengan distribusi antara laki-laki dan perempuan hampir sama.
Prevalensi tuli sensorineural mendadak pada Evans sindrom belum diketahui. Reaksi silang
antara antibodi dengan antigen telinga dalam dan terbentuknya komplek imun pada stria
vaskularis, sakus dan duktus endolimfatikus.3,4,12 Pada laporan kasus ini, penderita adalah
seorang laki-laki berumur 57 tahun.
Tuli sensorineural mendadak terjadi pada minggu kedua perawatan dan bersifat bilateral.
Penyebab tuli sensorineural mendadak masih belum diketahui secara jelas. Ada empat teori
utama yang mencoba menjelaskan penyebab tuli sensorineural mendadak yakni infeksi
virus, kelainan vaskular, kerusakan membran intrakoklea dan kelainan imunologi. 13 Pada
pasien ini penyebab terjadinya tuli sensorineural mendadak diduga akibat Evans sindrom.
Patogenesis terjadinya tuli sensorineural pada Evans sindrom masih belum jelas.
Mekanismenya diduga akibat adanya kerusakan organ korti akibat penyakit autoimun yang
bersifat sistemik dan diperberat dengan kondisi anemia.
Diagnosis tuli sensorineural mendadak dapat ditegakkan dengan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, audiologi dan penunjang.14 Pada pemeriksaan penunjang audiometri
nada murni didapatkan hasil hantaran udara dekstra 78,75 dB dan hantaran tulang dekstra
71,25 dB sedangkan hantaran udara sinistra 100 dB dan hantaran tulang sinistra profound
dengan kesimpulan tuli sensorineural derajat berat dekstra dan tuli sensorineural derajat
sangat berat sinistra.
Meskipun tuli sensorineural mendadak merupakan kasus kegawatdaruratan, namun
patogenesis dan terapinya masih kontroversial sehingga modalitas terapi yang bervariasi
bertujuan untuk mendapatkan efek yang sinergis.14 Pada kasus ini diberikan oksigen
intranasal 2 liter/menit selama 15 menit diulang tiap 6 jam. Pemberian oksigen pada tuli
sensorineural mendadak bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan perilimfe.
Disamping oksigen intranasal telah diperkenalkan teknik oksigen hiperbarik yaitu
memberikan oksigen 100% pada tekanan 2,5 atmosfer selama 90 menit.
Kortikosteroid telah digunakan secara luas sebagai terapi tuli sensorineural mendadak.
Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sistemik oral, intravena dan atau
161
intratimpani meliputi prednison, metil prednisolon dan deksametason. Steroid mempunyai
efek antiinflamasi dan imunosupresi, menstabilkan fungsi membran sel serta transpor
natrium dan kalium sel. Pada kasus ini, penderita diberikan metil prednisolon oral 16 mg 3
kali sehari dan di-tapering off.14,15 Penderita juga diberikan preparat neurotropik yaitu
mekobalamin. Pemberian vitamin dapat menurunkan radikal bebas pada telinga dalam yang
bersifat toksik terhadap organ sensorik.
Hemodilusi pada penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak bertujuan untuk
menurunkan viskositas darah sehingga memperbaiki aliran darah ke koklea. Ada beberapa
jenis metode pemberian hemodilusi.15,16 Pada penderita diberikan pentoksifilin 2x400 mg
intraoral.
Dari bagian penyakit dalam diberikan kortikosteroid intravena sebagai lini pertama
penanganan Evans sindrom. Pada keadaan akut, transfusi darah atau platelet bisa diberikan
untuk mengurangi gejala.17,18 Pada penderita diberikan kortikosteroid sesuai sejawat THT,
transfusi PRC dan TC.
Penilaian keberhasilan terapi dinilai dengan pemeriksaan audiometri sebelum dan
sesudah pemberian terapi. Semakin berat derajat ketulian maka semakin buruk
prognosisnya. Unster dkk seperti yang dikutip oleh Codrut melaporkan prognosis yang buruk
pada penderita tuli sangat berat. Codrut melaporkan tidak terdapat perbaikan pendengaran
pada 9 pasien dengan tuli derajat sangat berat.15 Penderita pada kasus ini mengalami
perbaikan pendengaran pada sisi dekstra dari tuli sensorineural derajat berat menjadi
sedang berat.
Adanya vertigo merupakan faktor prognostik yang buruk. Moskowitz dkk seperti yang
dikutip oleh Codrut melaporkan bahwa hanya 14% penderita tuli sensorineural mendadak
dengan vertigo yang mengalami perbaikan pendengaran.15 Pada kasus ini, penderita hanya
mengeluhkan tinitus tanpa disertai dengan vertigo.
Menurut kriteria Siegel, penderita pada laporan kasus ini mengalami perbaikan
pendengaran yang termasuk dalam kriteria pulih ringan pada sisi kanan yaitu ambang
dengar rata-rata > 45 dB dan tidak ada pemulihan pada sisi kiri. Pada audiometri awal
didapatkan hasil hantaran udara dekstra 78,75 dB dan hantaran tulang dekstra 71,25 dB
sedangkan hantaran udara sinistra 100 dB dan hantaran tulang sinistra profound dengan
kesimpulan tuli sensorineural derajat berat dekstra dan tuli sensorineural derajat sangat
berat sinistra. Hasil audiometri setelah diberikan terapi hiperbarik dan medikamentosa
adalah hantaran udara dekstra 58,75 dB dB dan hantaran tulang dekstra 48,75 dB
sedangkan hantaran udara sinistra 100 dB dan hantaran tulang sinistra profound dengan
kesimpulan tuli sensorineural derajat sedang berat dekstra dan tuli sensorineural derajat
sangat berat sinistra. Terapi hiperbarik bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan
perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang

162
lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap keadaan iskemik.
Menurut guideline AAO-HNS, terapi oksigen hiperbarik sebaiknya dilakukan dalam 2 minggu
hingga 3 bulan dari saat diagnosis tuli mendadak. Pasien usia muda memberikan respons
lebih baik dibandingkan pasien yang lebih tua (usia bervariasi antara 50-60 tahun).15,16

V. SIMPULAN

Tuli sensorineural mendadak atau sudden sensorineural hearing loss merupakan salah
satu kegawatdaruratan di bidang THT yang membutuhkan penanganan segera. Patogenesis
terjadinya tuli sensorineural pada Evans sindrom masih belum diketahui secara jelas.
Penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak masih dilakukan secara empiris. Telah
dilaporkan satu kasus tuli sensorineural mendadak dekstra sinistra pada Evans sindrom.
Penderita berjenis kelamin laki-laki, usia 57 tahun yang mendapatkan terapi konservatif dan
terapi hiperbarik mengalami perbaikan pendengaran. Berdasarkan kriteria Siegel, perbaikan
pendengaran tersebut termasuk dalam kriteria pulih ringan pada sisi kanan.

163
DAFTAR PUSTAKA

1. Plaza G, Durio E, Herraiz C, Rivera T, Garcia-Berrocal JR. Consensus on diagnosis and


treatment of sudden hearing loss. Acta Otorrinolaringol Esp. 2011;62(2):144-157.

2. Oliver ER, Hashisaki GT. Sudden sensory hearing loss. Dalam: Johnson JT, Rosen CA,
penyunting. Bailey’s Head and neck Surgery-Otolaryngology. Edisi ke-5. Philadelphia:
Lippincott Williams &Wilkins. 2014; h. 2253-73.

3. Costallat GL. 2012. Evans syndrome and systemic lupus erythematosus: clinical
presentation and outcome. Medical School of Sorocaba, Pontifical Catholic University of São
Paulo, Brazil
4. Dave P. 2012. Evan Syndromes revisited. J Assoc Physicians India. 2012 Apr;60:60-1
5. García-Muñoz R, et al. 2009. Splenic marginal zone lymphoma with Evans' syndrome,
autoimmunity, and peripheral gamma/delta T cells. Ann Hematology

6. Kuhn M, Heman-Ackah SE, Shaikh JA, Roehm PC. Sudden sensorineural hearing loss: a
review of diagnosis, treatment and prognosis. Trend in Amplification. 2011;15(3):91-105.

7. Mathew P. 2012. Evan Syndrome pada Medscape Reference. Diunggah tanggal 15


desember 2012 di emedicine.medscape.com
8. Weber PC, Khariwala S. Anatomy and physiology of hearing. Dalam: Johnson JT,
Rosen CA, penyunting. Bailey’s Head and neck Surgery-Otolaryngology. Edisi ke-5.
Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins. 2014; h. 2253-73.

9. Gacek RR, Gacek MR. Anatomy of the auditory and vestibular systems. Dalam: Snow
JB Jr, Ballenger JJ, penyunting. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery.
Edisi ke-6. Ontario: BC Decker Inc. 2003; h. 1-24.

10. Frontier for your mind. Diakses 15 Jun 2015. Diunduh dari: URL:http://kids.frontiersin.org

11. Kabir A. 2010. Evan’s syndrome revisited. J Medicine India 2010 November; 78-82
12.Booth JB. Sudden and fluctuant sensorineural hearing loss [diakses 15 Jun 2015.
Diunduh dari: URL:http://famona.sezampro.rs

13. Michel M, et al. 2009. The spectrum of Evan Syndrome in adults : new insight into the
disease based on the analysis of the 68 case. Journal of the american society of
hematology. USA.
14. Norton A, Roberts I. 2005. Management of Evans syndrome. Br J Haematology
Paediatric haematology, St Mary’s Hospital. London, UK. 22

164
15. Tiong TS. Prognostic indicators of management of sudden sensorineural hearing loss in
an Asian hospital. Singapore Med J. 2007;48(1):45-9.

16. Enache R, Sarafoleanu C. Prognostic factors in sudden hearing loss. Journal of


Medicine and Life. 2008;1(3):343-7.
17.Wang W, et al. 1983.. Immunoregulatory abnormalities in Evans syndrome. Am J
Hematology
18. Pegels JG, et al. 1983. The Evans syndrome: characterization of the responsible
autoantibodies. Br J Haematology. London, UK.

165
TULI MENDADAK SENSORINEURAL UNILATERAL PADA PENDERITA MUMPS
Sari Wulan Dwi Sutanegara
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT KL
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah

1. PENDAHULUAN
Tuli mendadak atau Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSNHL) merupakan
pengalaman yang menakutkan, menyebabkan pasien segera mengunjungi dokter. Di
Amerika Serikat, kejadian tuli mendadak ditemukan pada 5-20 kasus tiap 100.000
orang per tahun dengan 4000 kasus baru tiap tahunnya. Tuli mendadak merupakan
salah kasus kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan segera. Keterlambatan
diagnosis yang menyebabkan pengobatan tertunda dapat mengakibatkan kehilangan
pendengaran permanen. 1
Tuli mendadak merupakan permasalahan publik yang perlu mendapat
perhatian khusus karena berkaitan dengan aspek sosial dan ekonomi. Pada anak –
anak dan balita gangguan pendengaran akan memperlambat perkembangan bicara
serta kemajuan pendidikan. Pada penderita dewasa gangguan pendengaran
menghambat berbagai fungsi sosial dan tidak jarang akan disertai dengan stigma.
Selain itu gangguan pendengaran memerlukan pembiayaan untuk terapi yang relatif
besar.2 Penyebab tuli mendadak masih belum diketahui secara jelas. Dalam sebuah
systematik review,diuraikan beberapa kemungkinan penyebab tuli mendadak, yaitu
idiopatik, infeksi virus, penyakit telinga, trauma, vaskular dan hematologik,
neoplasma, serta penyebab lainnya. Infeksi virus yang dapat mengakibatkan tuli
mendadak seperti infeksi Virus Herpes Simplek, Measles, Mumps, Rubella, Varicella
zoster dan Cytomegalovirus. 3
Hubungan antara infeksi virus mumps dengan tuli mendadak sensoneural telah
mendapatkan perhatian cukup lama. Onset SSNHL yang berkaitan dengan infeksi
mumps biasanya cepat dan bersifat unilateral. Hilangnya pendengaran
biasanya profound dan permanen, namun berdasarkan studi yang dilakukan Vouri
dkk. (1962) pada beberapa kasus dapat bersifat sementara. 4, 5
Pada studi populasi yang dilakukan Hashimoto dkk didapatkan kejadian
SSNHL pada penderita mumps adalah 0,1 %. Jumlah kejadian ketulian yang
berhubungan dengan infeksi virus mumps tidak dapat diprediksi. Karena biasanya
166
terjadi unilateral sehingga sering tidak disadari oleh penderita dan keluarganya
terutama pada anak – anak. Hal ini dapat menyebabkan ketulian yang berkaitan
dengan infeksi virus mumps terlambat diketahui. Keterlambatan diagnosis yang
menyebabkan pengobatan yang tertunda dapat mengakibatkan kehilangan
pendengaran permanen, oleh sebab itu,penting untuk mengenali dan mendeteksi
kelainan ini sejak dini agar dapat menunjang pemulihan fungsi pendengaran dan

meningkatkan kualitas hidup pasien.6

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi telinga
Telinga terbagi menjadi telinga luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri dari
daun telinga dan kanalis akustikus eksternus. Sepertiga luar kanalis akustikus
eksternus tersusun atas kartilago yang mengandung folikel rambut dan kelenjar
seruminosa sedangkan dua pertiga bagian dalam merupakan bagian

tulang yang dilapisi oleh epitel.7,8


Telinga tengah terdiri dari membran timpani, maleus, inkus, stapes, otot tensor
timpani dan otot stapedius. Nervus korda timpani yang merupakan cabang nervus
fasialis berjalan melintasi kavum timpani membawa serabut pengecap. Tuba
Eustachius menghubungkan kavum timpani dengan faring yang akan membuka

oleh kontraksi otot tensor veli palatini.7,8


Telinga dalam terdiri dari organ vestibuler dan koklea yang berada pada tulang
temporal. Koklea merupakan tabung berbentuk rumah siput yang mengandung organ
sensori untuk pendengaran. Koklea memiliki tiga buah kanal yang mengandung
cairan yaitu skala vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media berada di
koklea bagian tengah, dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan
dari skala timpani oleh membran basilaris. Skala vestibuli
dan skala timpani berisi cairan perilimfe sedangkan skala media berisi cairan
endolimfe. Komposisi ion pada cairan skala media serupa dengan cairan intraseluler
yaitu kaya kalium dan rendah natrium sedangkan cairan pada skala vestibuli dan
skala timpani serupa dengan cairan ekstraseluler yaitu kaya natrium dan rendah
kalium. Komposisi ion perilimfe penting dalam fungsi sel-sel rambut.
Cairan perilimfe pada telinga dalam berhubungan dengan cairan serebrospinal
pada kavum kranii melalui akuaduktus koklearis yang menghubungkan ruang
perilimfe dengan ruang cairan kranial. Ruang endolimfatikus berhubungan dengan

167
sakus endolimfe melalui duktus endolimfe. Sakus endolimfe adalah ruang diantara
dua lapisan duramater. Membran Reissner memiliki komplians yang sangat tinggi
sehingga perubahan tekanan yang sangat kecil sekalipun dapat menyebabkan
perubahan volume yang besar pada ruang endolimfe. Gangguan keseimbangan
tekanan pada kedua sistem tersebut akan menyebabkan gangguan pendengaran dan
keseimbangan.7,8
Organon korti terletak pada membran basiler dan banyak mengandung sel sensori,
sel rambut luar maupun sel rambut dalam. Diantara barisan sel rambut luar dan sel
rambut dalam terdapat suatu saluran Corti. Sel rambut luar berbentuk silindris
sedangkan sel rambut dalam berbentuk seperti labu. Sel rambut luar pada apeks
koklea berukuran lebih panjang dibandingkan pada bagian basal. Stereosilia sel
rambut dalam pada basal koklea berukuran lebih pendek dibandingkan dengan apeks
koklea. Stria vaskularis berada diantara ruang perilimfe dan endolimfe disepanjang
dinding koklea. Stria vaskularis banyak mengandung pembuluh darah dan
mitokondria pada selnya yang mengindikasikan terlibatnya aktivitas metabolik.7,8
Membran basiler berukuran panjang sekitar 150 μm di basal koklea dan lebar 450
μm di apeks, mengandung jaringan ikat dan membentuk basal skala media. Pada
bagian basal, membran basiler mempunyai struktur yang lebih kaku dibandingkan
apeks. Perubahan struktur secara gradual ini menyebabkan suara yang mencapai
telinga menghasilkan gelombang pada membran basiler yang berjalan dari basal
menuju apeks koklea.7,8
Koklea diinervasi oleh serat saraf aferen auditorius, eferen dan otonomik.
Koklea diperdarahi oleh arteri labirin yang berasal dari arteri serebelum anterior
inferior dan berjalan mengikuti nervus kranialis VIII pada meatus akustikus internus.
Arteri labirin merupakan arteri terminal dan hanya mengandung sedikit bahkan tidak
ada suplai pembuluh darah kolateral ke koklea.7,8

168
Gambar 1. Anatomi telinga.9

2.2 Fisiologi pendengaran


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani kemudian diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran
melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran
timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan
diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada
skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan mealui membran Reissner yang
mendorong endolimfe sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang

169
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel rambut sehingga kanal ion terbuka
dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan
proses depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan neurotransmiter kedalam sinaps
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, dilanjutkan ke nukleus

auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis.7,8


Tidak seluruh getaran di alam bisa didengar oleh manusia. Frekuensi sonik
adalah frekuensi yang dapat dipersepsi manusia sebagai bunyi. Rentang frekuensi
sonik antara 20 Hz – 20.000 Hz. Frekuensi sonik yang sangat diperlukan untuk
komunikasi percakapan sehari-hari adalah antara 500 Hz sampai 2000 Hz. Frekuensi
kurang dari 20 Hz disebut subsonik sedangkan diatas 20.000 Hz disebut suprasonik
atau ultrasonik. Kedua frekuensi tersebut tidak terdengar oleh manusia.7,8

2.3 Definisi Tuli Mendadak


Tuli mendadak atau sudden hearing loss (SHL) dapat diartikan sebagai tuli
yang terjadi secara tiba-tiba (contohnya tuli mendadak sensorineural atau tuli
mendadak konduktif). Menurut O’Malley dkk, terlepas dari hal tersebut pada
kebanyakan literatur yang ada, tuli mendadak lebih mengarah pada tuli mendadak
sensorineural. Tuli mendadak sensorineural (sudden sensorineural hearing loss) dan
sering dikenal juga sebagai tuli mendadak (sudden deafness).10
Sudden deafness adalah tuli yang secara tiba-tiba dan ketuliannya adalah
sensorineural. Para ahli otolaringologis mendefinisikan tuli mendadak sebagai
penurunan pendengaran sensorineural 30 db atau lebih, paling sedikit tiga frekuensi
berturut-turut pada pemeriksaan audiometri, dalam waktu kurang dari 72 jam.11

2.4 Epidemiologi
Insiden SSNHL terjadi antara 5-20 kasus tiap 100.000 orang pertahunnya. Banyak
kasus serupa tidak dilaporkan, oleh karena itu insiden terjadinya dapat menjadi lebih
tinggi. Tuli mendadak dapat sembuh sebelum pasien dievaluasi secara medis, sehingga

menjadikan pasien tidak pergi untuk mencari pengobatan.11 Beberapa kasus sebanyak

7500 kasus di Amerika Serikat dan Eropa mengindikasikan bahwa SSNHL umumnya
terjadi pada umur 43-53 tahun dengan distribusi sama pada laki-laki dan

perempuan.12

170
Mumps atau yang lebih dikenal dengan parotitis ialah penyakit virus akut yang
disebabkan oleh paramyxovirus dan biasanya menyerang kelenjar ludah terutama
kelenjar parotis. Menyerang pada anak dibawah usia 2-15 tahun (sekitar 85% kasus).
Pada kasus lain bisa terjadi infeksi mumps yang asimptomatis.13
Mumps dapat menyebabkan SSNHL, namun angka kejadiannya cukup kecil
yaitu 0,5-5,0/100.000 kasus. Tuli mendadak yang berkaitan dengan infeksi virus
mumps jarang ditemukan terutama di negara yang menjalankan program vaksinasi
mumps.14 Pada studi populasi yang dilakukan Hashimoto dkk. dari tahun 2004
hingga tahun 2006 didapatkan 7 kasus SSNHL pada 7400 kasus dengan gejala klinis
mumps, atau 0,1%.6 Vuori dkk. melaporkan pada studi prospektifnya di tahun 1962,
pada 298 anggota tentara yang menderita mumps terdapat 12 kasus gangguan
pendengaran yang reversible dan 1 kasus yang permanen.4 Saat ini kejadian SSNHL
yang berkaitan dengan mumps banyak dilaporkan terjadi di Jepang, dimana vaksin
mumps tidak rutin diberikan. Berdasarkan survei yang dilakukan Kawashima dkk.
didapatkan 650 kasus tuli mendadak yang berkaitan dengan mumps pada tahun 2001,
namun mereka tidak menghitung angka insiden.15 Japanese reports melaporkan
angka kejadian yang cukup tinggi (3 kasus SSNHL pada 551 kasus mumps, 5 kasus
SSNHL dari 1470 kasus mumps) berdasarkan studi retrospektif pada daerah dengan
kejadian mumps yang merebak. 16
Jumlah kejadian ketulian yang berhubungan dengan infeksi virus mumps tidak
dapat diprediksi. Karena biasanya terjadi unilateral sehingga sering tidak disadari
oleh penderita dan keluarganya terutama pada anak – anak. Hal ini dapat
menyebabkan ketulian yang berkaitan dengan infeksi virus mumps terlambat
diketahui. Keterlambatan diagnosis yang menyebabkan pengobatan yang tertunda
dapat mengakibatkan kehilangan pendengaran permanen, oleh sebab itu,penting
untuk mengenali dan mendeteksi kelainan ini sejak dini agar dapat menunjang
pemulihan fungsi pendengaran dan meningkatkan kualitas hidup pasien.6.
Tuli sensorineural mendadak merupakan komplikasi yang jarang mendapat
perhatian pada kasus – kasus Mumps. Morita melaporkan bahwa kejadiannya
terdistribusi sama besar pada kedua gender, bersifat unilateral dan terjadi fase
penyembuhan penyakit sebagai sekuele tunggal.17 SSNHL terkait infeksi mumps
sering ditemukan pada usia 5 – 9 tahun. Namun Ishikawa dkk. melaporkan 14 kasus

171
serupa dengan rentang usia 3 – 34 tahun sedangkan Kaguchi dkk, menemukan 12
kasus dengan rentang usia 4 – 39 tahun. 18,19

2.5 Etiologi dan Patogenesis


Penyebab tuli sensorineural mendadak masih belum diketahui secara jelas. Banyak
teori dugaan penyebab yang dikemukakan oleh para ahli. Penyebab tuli sensorineural
mendadak dapat dilihat pada tabel 120

Tabel 1. Penyebab tuli sensorineural mendadak20


Penyebab Tuli Sensorineural Mendadak
Koklea Inflamasi (viral, bakteri, spiroseta)
Trauma
Vaskular
Hematologi (anemia, emboli, gangguan koagulasi)
Gangguan jaringan ikat (poliarteritis nodosa, sindrom
Cogan
Hidrop endolimfe (penyakit meniere)
Gangguan metabolic
Ototoksisitas
Retrokoklea dan Meningitis
sistem saraf pusat Multipel sklerosis
Sarkoidosis
Friedreich’s ataksia
Amiotrofik lateral sklerosis
Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada
Xeroderma pigmentosum
Tumor (neuroma akustik)
Idiopatik

Ada empat teori utama yang mencoba menjelaskan penyebab tuli sensorineural
mendadak yakni infeksi virus, kelainan vaskular, kerusakan membran intrakoklea dan
kelainan imunologi.
Mumps (gondongan) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus
(Paramyxovirus) dan menyerang jaringan kelenjar dan saraf. Penyakit ini sering
menyerang anak-anak usia 5-10 tahun dengan gejala khas rasa nyeri dan bengkak
pada salah satu atau kedua kelenjar leher (parotis). Seorang anak akan mendapatkan
kekebalah tubuh terhadap virus Paramyxovirus dari ibunya sampai usia 12-15 bulan
saja. Itupun jika ibu pernah menderita gondongan atau mendapatkan imunisasi
sebelumnya.21
Virus penyebab gondongan dapat menyebar melalui kontak langsung dengan
percikan ludah, bahan muntah dan urine. Virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung
172
atau mulut. Virus memperbanyak diri di saluran napas atas dan menyebar ke kelenjar
getah bening lokal. Masa ini dikenal dengan masa inkubasi dan berlangsung selama
12-25 hari. Kemudian virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan lokasi yang
dituju adalah kelenjar parotis, ovarium (indung telur) pada wanita atau testis (buah
zakar) pada laki-laki, pankreas, tiroid, ginjal, jantung atau otak. 21
Tidak semua orang yang terinfeksi mengalami keluhan. Sebanyak 30-40%
penderita tidak menunjukkan gejala sakit, tetapi tetap menjadi sumber penularan.
Gejala awal penyakit gondongan berupa demam, rasa lesu, nyeri otot terutama daerah
leher, nyeri kepala, nafsu makan menurun diikuti pembesaran cepat dari satu atau dua
kelenjar leher (parotis). Gejala klasik yang muncul dalam 24 jam adalah anak akan
mengeluh sakit telinga dan diperberat jika mengunyah makanan terutama makanan
asam. Demam akan turun dalam 1-6 hari, dimana suhu tubuh akan kembali normal
sebelum pembengkakan kelenjar hilang. Pembengkakan kelenjar menghilang dalam
3-7 hari. Pada anak laki-laki yang belum pubertas dapat juga muncul pembengkakan
testis pada minggu pertama atau kedua. Testis yang terserang terasa nyeri, bengkak
dan kulit sekitarnya berwarna merah. Jika menyerang indung telur pada wanita dapat
ditemukan keluhan nyeri perut bagian bawah. Komplikasi dapat berupa infeksi otak
(ensefalitis) dan ketulian namun jarang. 21
Meskipun sampai saat ini masih belum ditemukan bukti kuat, infeksi virus
dianggap sebagai salah satu penyebab tuli mendadak. Sebuah studi oleh Wilson
(1986) menunjukkan adanya hubungan antara infeksi virus dengan kejadian tuli
mendadak. Dalam studi ini, ditemukan tingkat serokonversi untuk virus herpes secara
signifikan lebih tinggi pada populasi pasien tuli mendadak. Pada studi lain, dilakukan
pemeriksaan histopatologi tulang temporal dan ditemukan kerusakan pada koklea
yang konsisten dengan infeksi virus. Terdapat pula temuan lain, seperti hilangnya sel
rambut dan sel penyokong, atrofi membran tektoria, atrofi stria vaskularis, dan
hilangnya sel neuron, yang berhubungan dengan mumps virus, maternal rubella, dan
virus campak. 2
Teori utama yang menjadi dasar kajian patofisologi terjadinya SSNHL akibat
infeksi virus dan ataupun reaktivasi viral adalah terjadinya inflamasi koklea dan
ataupun terjadinya kerusakan pada struktur telinga dalam. Khun dkk dalam
metaanalisisnya menyebutkan beberapa studi sebelumnya menekankan adanya
peningkatan serum antivial antibodi, meliputi antibodi Cytomegalovirus, Herpes
zoster, Herpes simplex Tipe 1, Influenza B, Mumps, Enterovirus, dan Rubella yang

173
diisolasi dari penderita SSNHL idiopatik. Khun juga menekankan temuan patologi
anatomi pada tulang temporal penderita tersebut secara histologis mengesankan
terjadinya labirinitis viral yang meliputi terjadinya atropi Organ Korti, membrane

tektorial, stria vaskularis dan vestibular end organ. 20


Rute penyebaran virus ke telinga dalam belum dapat dijelaskan. Hal ini
mungkin disebabkan viremia yang sering terjadi pada infeksi virus mumps. Hal ini
juga mungkin karena transport menuju telinga dalam melalui tuba eustachius dan
telinga tengah. Kemungkinan ketiga melalui jalur meningeal. Pemeriksaan tulang
temporal pada penderita SSNHL yang berkaitan dengan mumps menunjukkan
perubahan degeneratif yang luas pada membran tektorial. stria vaskularis serta organ
korti. Hilangnya serat saraf juga dapat terjadi.5,22 Otake dkk. (2006) menunjukkan
dengan menggunakan MRI 3D-FLAIR, tampak sinyal yang tinggi di koklea dan
vestibulum yang menandakan adanya perdarahan atau konsentrasi protein yang tinggi
23
di telinga dalam anak yang menderita SSNHL yang diakibatkan oleh mumps.
Lindsay dkk, dalam studi histopatologinya pada pasien penurunan pendengaran
akibat infeksi mumps melapork terjadinya degenerasi pada organ corti dan stria
vaskularis. Westmore dkk, mengisolasi virus mumps pada perilimfe pasien SSNHL
yang terkait infeksi mumps. Hal ini menunjukkan kemungkinan labirin merupakan
lokasi lesi pada sebagian besar pasien tersebut.

2.6 Diagnosis
Diagnosis penyakit Mumps ditegakkan berdasarkan gejala klinis demam disertai
pembengkakan kelenjar parotis dan tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium, kecuali
gejala klinis yang muncul tidak klasik untuk parotitis. Gejala prodromal Mumps muncul
berkisar 14 sampai dengan 18 hari setelah paparan virus dan sebelum parotitis muncul.
Gejala prodromal yang muncul meliputi keluhan yang tidak spesifik seperti malaise,
myalgia, sefalgia, demam subfebril dan anoreksia. Gejala tersebut dialami 40 – 50 %
penderita Mumps, sedangkan 2- % penderita lainnya asimtomatik. Literatur lain
menyebutkan pemeriksaan titer antibodi Mumps yang meningkat dalam kondisi infeksi
akut, dan dapat digunakan sebagai sarana penunjang dalam penegakan diagnosis Mumps
dengan gejala klinis yang tidak spesifik. Peningkatan Titer IgM terjadi pada pada onset
awal infeksi sedangkan peningkatan Titer IgG ditemui pada fase penyembuhan hingga
beberapa tahun setelah terjadinya infeksi. 21 26

174
Diagnosis tuli sensorineural mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Keluhan pasien pada umumnya
berupa hilangnya pendengaran pada satu sisi telinga saat bangun tidur. Sebagian
besar kasus bersifat unilateral. Hanya 1-2% kasus bersifat bilateral. Kejadian
hilangnya pendengaran dapat bersifat tiba-tiba, berangsur-angsur hilang secara stabil
atau terjadi secara cepat dan progresif. Kehilangan pendengaran dapat bersifat
fluktuatif tetapi sebagian besar besifat stabil. Tuli sensorineural mendadak sering
disertai keluhan sensasi penuh pada telinga dengan atau tanpa tinitus. Pada 28-57%
kasus dapat ditemukan gangguan vestibular seperti vertigo.20
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan otoskopi dan garpu tala. Pemeriksaan
otoskopi ditemukan dalam batas normal sedangkan garpu tala didapatkan Rinne
positif pada telinga yang sakit dan Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, yang
menunjukkan tuli sensorineural. Pada pemeriksaan audiometri, gambaran audiogram
akan menunjukkan tuli sensorineural pada frekuensi rendah, sedang, tinggi atau
seluruh frekuensi.20 Untuk menentukan derajat ketulian digunakan kriteria ISO
(International Standard Organization), yaitu : a) Pendengaran normal memiliki
ambang dengar 0-25 dB, b) Tuli ringan memiliki ambang dengar >25-40 dB, c) Tuli
sedang memiliki ambang dengar >40-55 dB, d)
Tuli sedang berat memiliki ambang pendengaran >55-70 dB, e) Tuli berat memiliki
ambang dengar >70-90 dB, 6. Tuli sangat berat memiliki ambang dengar >90 dB. 10
Pemeriksaan laboratorium dilakukan berdasarkan keluhan dan riwayat pasien
serta kemungkinan etiologi. Pada kasus tuli sensorineural mendadak bilateral atau
episode tuli sensorineural mendadak berulang maka pemeriksaan neurologi berupa
antibodi antikoklea dapat dilakukan. Pemeriksaan MRI dengan gadolinium dinilai
memiliki sensitivitas tinggi untuk mendeteksi kelainan retrokoklea.20

2.7 Penatalaksanaan
Mumps merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri. Pengobatan yang
diberikan hanya untuk mengurangi gejalanya saja yaitu antipiretik untuk mengurangi
rasa nyeri dan menurunkan demam. Pengobatan dengan anti virus sampai saat ini
masih belum terbukti dapat bermanfaat, begitu pula dengan obat imunomodulator
yang bertujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Pemberian nutrisi dan cairan
yang adekuat dapat membantu mempercepat penyembuhan. 27

175
Pada tuli sensorineural mendadak yang diketahui penyebabnya maka
pengobatan ditujukan untuk mengatasi penyebabnya sedangkan penanganan tuli
sensorineural mendadak idiopatik masih kontroversial dan didasarkan pada bukti
empiris. Hipoksia jaringan akan menimbulkan reaksi inflamasi berupa dilepasnya
mediator histamin, eikosanoid dan prostaglandin. Kortikosteroid mempunyai efek
antiinflamasi yang bekerja mengurangi inflamasi pada koklea dan nervus auditorius.
Pemberian metilprednisolon oral dengan dosis tapering off dalam 10-12 hari
menunjukkan perbaikan pendengaran yang signifikan dibandingkan penderita yang
diberikan plasebo.28
Berbagai penelitian penggunaan kortikosteroid pada pasien tuli mendadak
telah dipublikasikan. Terdapat bukti laboratorium yang menunjukkan adanya cascade
inflamasi kematian sel pada pasien tuli mendadak, yang dimodifikasi oleh terapi
steroid. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sintetik oral, intravena,
dan/atau intratimpani, meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason.
Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek anti inflamasi dan kemampuan dalam

meningkatkan aliran darah koklea.29


Dewasa ini, standar pengobatan tuli mendadak adalah dengan tapering off
kortikosteroid oral. Sebuah studi RCT (randomized controlled trial) membandingkan
terapi steroid oral dengan plasebo pada 67 pasien, menunjukkan hasil perbaikan lebih
signifi kan pada kelompok pasien dengan terapi steroid oral dibandingkan kelompok
pasien dengan plasebo (61% vs. 32%, p <0,05).30
Beberapa ahli THT merekomendasikan terapi kortikosteroid intratimpani
sebagai pengganti terapi kortikosteroid sistemik atau “salvage therapy” pada pasien
yang tidak mengalami perbaikan dengan kortikosteroid sistemik. Terapi
kortikosteroid intratimpani dapat menjadi alternatif untuk pasien diabetes yang tidak
bisa mengonsumsi kortikosteroid sistemik. Steroid diberikan dengan sebuah jarum
melalui membran timpani atau ditempatkan di telinga tengah melalui tabung
timpanostomi atau miringotomi yang kemudian diserap dan menyebar melalui
membran tingkap bundar ke telinga dalam.1
Vasodilator seperti histamin, papaverin, niasin digunakan untuk meningkatkan
aliran darah koklea. Terapi oksigen hiperbarik bertujuan untuk meningkatkan
oksigenasi koklea dan perilimfe sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen

176
dengan tekanan parsial yang lebih tinggi ke jaringan terutama koklea yang sangat
peka terhadap terhadap keadaan sistemik. 28
Pentoksifilin mempunyai efek menurunkan viskositas darah sehingga dapat
meningkatkan perfusi dan pengaliran oksigen pada labirin penderita tuli sensorineural
mendadak. Pemberian vitamin dapat menurunkan radikal bebas pada telinga dalam
yang bersifat toksik terhadap organ sensorik.28
Terapi oksigen hiperbarik telah diterapkan sebagai terapi tambahan dalam
kasus tuli mendadak. Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari
1 ATA (atmosphere absolute). Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi
koklea dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan
tekanan parsial yang lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka
terhadap keadaan iskemik. Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki efek
yang kompleks pada imunitas tubuh, transpor oksigen
dan hemodinamik, peningkatkan respons normal pejamu terhadap infeksi dan
iskemia, serta mengurangi hipoksia dan edema.1
Vitamin dapat digunakan untuk mereduksi radikal bebas yang bersifat toksik
pada end organ sensoris, telinga dalam. Beberapa vitamin termasuk neurotropik dapat
dikombinasi dengan terapi lain yang dapat membantu meningkatkan angka
kesembuhan penderita.31
Ozdek dkk. menyatakan SSNHL terkait infeksi mumps sering kali tidak
membaik dengan terapi medikamentosa. Pada pasien yang tidak berespon dengan
terapi medikamentosa ini sebaiknya diberikan alat bantu dengar, namun pada pasien
SSNHL total bilateral sebaiknya dilakukan operasi cochlear implant sedini mungkin.
Wang dkk melaporkan 3 kasus tuli total bilateral terkait infeksi mumps yang
dilakukan operasi cochlear implant memberikan hasil yang baik. 32,33

2.8 Prognosis
Kesembuhan spontan tuli sensorineural mendadak dilaporkan sekitar 45-65%.
Faktor yang mempengaruhi prognosis tuli sensorineural mendadak adalah usia,
derajat tuli sensorineural, onset pemberian terapi, gangguan mikrovaskular dan
adanya vertigo. Pada penderita tuli sensorineural mendadak unilateral dan masih
memiliki pendengaran yang baik pada telinga kontralateral maka tidak diperlukan
pemakaian alat bantu dengar. Evaluasi audiometri dilakukan secara rutin pada bulan
2, 6 dan 12 setelah onset tuli untuk mengetahui perbaikan derajat tuli atau untuk

177
mendeteksi adanya ketulian pada telinga kontralateral.20 Faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis dari SSHL ialah:34
1. Keparahan hilangnya pendengaran. Semakin besar hilangnya pendengaran
maka akan semakin buruk prognosisnya
2. Terapi onset yang tertunda (terlambat). Semakin singkat penundaan terapi
makan akan semakin besar kesempatan pasien untuk sembuh. Terapi idealnya
dilakukan sebelum 7 hari dan perkembangan pendengaran dapat terjadi dalam
30 hari dari onset hilangnya pendengaran. Tetapi, karena kebanyakan
kesembuhan secara spontan terjadi pada beberapa hari pertama, maka terapi
awal sulit dilakukan.

2. Pasien dengan diabetes, hiperkolesterolemia dan tekanan darah tinggi


mempunyai prognosis yang buruk.
3. Prognosis akan bertambah buruk jika usia pasien diatas 60 tahun. Penelitian
tertentu mengatakan bahwa pengaruh usia berhubungan dengan jumlah pasien
dengan lesi mikrovaskular pada usia diatas 60 tahun. Namun, penelitian lain
tidak menemukan hubungan antara usia dengan prognosis pasien.
4. Keluhan hilangnya pendengaran yang disertai dengan vertigo memiliki
prognosis yang buruk.

Onset SSNHL yang berkaitan dengan infeksi mumps biasanya cepat dan
bersifat unilateral. Hilangnya pendengaran biasanya profound dan permanen, namun
berdasarkan studi yang dilakukan Vouri dkk, pada beberapa kasus dapat bersifat
sementara. 4, 5 Tinitus, vertigo dan rasa penuh pada telinga yang terkena dapat terjadi
pada beberapa pasien. Gangguan keseimbangan dapat membaik setelah beberapa
minggu. 5
Berdasarkan tipe audiogram, kehilangan pendengaran diklasifikasikan
menjadi empat kelompok yaitu tipe ascenden (pada frekuensi 250 – 500 Hz), tipe
descenden (frekuensi 4000 -8000 Hz), tipe flat (perbedaan ambang dengar kurang
dari 20 dB pada masing – masing frekuensi), tipe total atau subtotal (ketulian di atas
85 dB). Kehilangan pendengaran dengan tipe asenden dan tipe flat mempunyai
prognosis lebih baik dibanding audiogram tipe desenden, hal ini berdasarkan tingkat
kerusakan yang terjadi pada vaskularisasi koklea. Tipe asenden terjadi kerusakan

178
pada apeks koklea, sedangkan tipe desenden terjadi kerusakan pada basal koklea,
artinya darah yang terganggu suplai aliran darah lebih luas. 35
Keberhasilan pengobatan tuli sensorineural mendadak dinilai berdasarkan
rata-rata ambang pendengaran menurut Furohashi yaitu a) Pulih total jika ambang
dengar rata-rata ≤ 25 dB pada 5 frekuensi, b) Pemulihan bermakna jika terjadi
perbaikan > 30 dB pada 5 frekuensi, c) Pemulihan minimal jika perbaikan antara 10 -
30 dB pada 5 frekuensi, d) Tidak ada pemulihan jika perbaikan < 10 dB pada 5

frekuensi. 36

3 LAPORAN KASUS
Pasien RK, laki-laki berusia 33 tahun, Hindu, Bali, bekerja sebagai karyawan
sebuah art shop, beralamat di Gianyar dirujuk ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah
Denpasar pada tanggal 2 Mei 2017 dengan sudden deafness sinistra. Pasien mengeluh
pendengaran pada telinga kiri dirasakan berkurang sejak 6 hari sebelumnya. Keluhan
ini dirasakan tiba-tiba saat pasien bangun tidur. Telinga kiri dirasakan berdenging
sejak kejadian. Ada riwayat demam tiga hari sebelumnya, disertai bengkak pada pipi
kiri dan sulit mengunyah. Pasien telah terdiagnosis mumps dan menjalani rawat inap
di rumah sakit swasta selama lima hari dan mendapatkan terapi untuk mumps.
Pendengaran pada telinga kiri dirasakan berkurang secara mendadak pada hari kedua
perawatan disertai keluhan telinga kiri berdenging. Pasien kemudian dikonsultasikan
ke dokter spesialis THT kemudian diberikan terapi inhalasi oksigen 2 liter/menit
selama 15 menit diulang tiap 6 jam, metil prednisolon 3 x 16 mg intraoral,
mecobalamin 3 x 500 mcg intraoral, dan pasien disarankan untuk tirah baring
sempurna. Riwayat batuk, pilek, keluar cairan dari telinga, terpapar bising dan
riwayat trauma kepala disangkal.
Setelah lima hari perawatan, demam serta nyeri mengunyah pada pasien
membaik. Pasien dirujuk ke RSUP Sanglah untuk evaluasi dan penatalaksanaan
sudden deafness. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita baik
dengan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 80 x/menit,
respirasi 20 x/menit, temperatur aksila 36,5oC. Pada pemeriksaan otoskopi telinga
didapatkan kanalis akustikus eksternus pada kedua telinga lapang, membran timpani
kedua telinga intak dan reflek cahaya kedua telinga positif. Tes penala menggunakan
garputala 512 Hz didapatkan tes Rinne positif pada telinga kanan dan kiri, tes Weber

179
lateralisasi ke telinga kanan. Pemeriksaan hidung dan tenggorok tidak didapatkan
kelainan. Tes timpanometri pada kedua telinga menunjukkan timpanogram tipe A.
Pemeriksaan audiometri didapatkan kesan tuli sensorineural derajat sangat berat pada
telinga kiri dan pendengaran normal pada telinga kanan.

Gambar 2. Timpanogram tanggal 2 mei 2017

Gambar 3. Audiogram tanggal 2 mei 2017


Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan hasil leukosit 10,72x103/μL
(neutrofil 70%, limfosit 2,7%, monosit 4,83%, eosinofil 2,32%, basofil 0,31%),
eritrosit 4,25x106/μL, hemoglobin 15,67 g/dL, hematokrit 53,58%, trombosit

361x103/μL. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 46,8 U/L, SGPT 97,4
U/L, albumin 4,4 g/dL, BUN 9,4 mg/dL, kreatinin 0,91 g/dL, glukosa acak 119
mg/dL, natrium 134 mmol/L, kalium 4,5 mmol/L. Foto thorak PA didapatkan hasil
cor dan pulmo kesan normal. EKG didapatkan irama sinus.
Penderita kemudian didiagnosis dengan tuli sensorineural mendadak sinistra
dan diberikan terapi pentoksifilin 2 x 400 mg intraoral, metil prednisolone 3 x 8 mg
intraoral, mekobalamin 3 x 500 mcg intraoral serta direncanakan terapi oksigen

180
hiperbarik. Penderita dikonsulkan ke bagian Penyakit dalam dan Kardiologi . Dari
hasil konsultasi ke bagian penyakit dalam dan bagian kardiologi dinyatakan tidak ada
kelainan dibidang Penyakit dalam dan Kardiologi.
Pada tuli sensorineural mendadak yang diketahui penyebabnya maka
pengobatan ditujukan untuk mengatasi penyebabnya sedangkan penanganan tuli
sensorineural mendadak idiopatik masih kontroversial dan didasarkan pada bukti
empiris. Hipoksia jaringan akan menimbulkan reaksi inflamasi berupa dilepasnya
mediator histamin, eikosanoid dan prostaglandin. Kortikosteroid mempunyai efek
antiinflamasi yang bekerja mengurangi inflamasi pada koklea dan nervus auditorius.
Pemberian metilprednisolon oral dengan dosis tapering off dalam 10-12 hari
menunjukkan perbaikan pendengaran yang signifikan dibandingkan penderita yang
diberikan plasebo.28 Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek antiinflamasi dan

kemampuan dalam meningkatkan aliran darah koklea.29 Pada kasus ini, penderita
diberikan metil prednisolon oral 8 mg 3 kali sehari dan ditapering off. Penderita juga
diberikan preparat neurotropik yaitu mekobalamin. Pemberian vitamin dapat
menurunkan radikal bebas pada telinga dalam yang bersifat toksik terhadap organ
sensorik.
Hemodilusi pada penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak bertujuan
untuk menurunkan viskositas darah sehingga memperbaiki aliran darah ke koklea.
Ada beberapa jenis metode pemberian hemodilusi. Pada penderita diberikan
pentoksifilin 2x400 mg intraoral.
Setelah dilakukan pemberian terapi medikamentosa dan terapi oksigen
hiperbarik sebanyak dua seri, dilakukan pemeriksaan audiometri ulang dengan hasil
SSNHL derajat berat sinistra. Keluhan telinga berdenging dirasakan mulai berkurang.
Untuk meningkatkan kemampuan mendengar, pasien diberikan alat bantu dengar.

4 PEMBAHASAN
Mumps atau yang lebih dikenal dengan parotitis epidemika ialah penyakit
virus akut yang disebabkan oleh Paramyxovirus dan biasanya menyerang kelenjar
ludah terutama kelenjar parotis.13 Diagnosis penyakit mumps ditegakkan berdasarkan
gejala klinis demam disertai pembengkakan kelenjar parotis dan tidak memerlukan
pemeriksaan laboratorium, kecuali gejala klinis yang muncul tidak khas untuk
parotitis epidemika. Gejala prodromal mumps muncul berkisar 14 sampai dengan 18
21 26
hari setelah paparan virus dan sebelum parotitis muncul. Mumps dapat
menyebabkan SSNHL, namun angka kejadiannya cukup kecil yaitu 0,5-5,0/100.000
181
kasus. Tuli mendadak yang berkaitan dengan infeksi virus mumps jarang ditemukan
terutama di negara yang menjalankan program vaksinasi mumps.14 Pada studi
populasi yang dilakukan Hashimoto dkk. dari tahun 2004 hingga tahun 2006
didapatkan 7 kasus SSNHL pada 7400 kasus dengan gejala klinis mumps, atau 0,1%.6
Onset SSNHL yang berkaitan dengan infeksi mumps biasanya cepat dan bersifat
unilateral. Hilangnya pendengaran biasanya profound dan permanen, namun
berdasarkan studi yang dilakukan Vouri dkk. (1962) pada beberapa kasus dapat
bersifat sementara. 4, 5 Tinitus, vertigo dan rasa penuh pada telinga yang terkena dapat
terjadi pada beberapa pasien. Morita melaporkan bahwa kejadiannya terdistribusi
sama besar pada kedua gender.17 SSNHL terkait infeksi mumps sering ditemukan pada
usia 5 – 9 tahun. Namun Ishikawa dkk. melaporkan 14 kasus serupa dengan rentang
usia 3 – 34 tahun sedangkan Kaguchi dkk, menemukan 12 kasus dengan rentang usia
4 – 39 tahun. 18,19 Pada laporan kasus ini, penderita adalah seorang laki-laki berumur
33 tahun. Pasien mengalami penurunan pendengaran mendadak yang terjadi pada
minggu pertama penyakit. Penurunan pendengaran bersifat unilateral disertai dengan
tinnitus dan terdapat riwayat infeksi mumps sebelumnya.
Penyebab tuli sensorineural mendadak masih belum diketahui secara jelas.
Banyak teori dugaan penyebab yang dikemukakan oleh para ahli. Ada empat teori
utama yang mencoba menjelaskan penyebab tuli sensorineural mendadak yakni
infeksi virus, kelainan vaskular, kerusakan membran intrakoklea dan kelainan
imunologi.21 Pada pasien ini penyebab terjadinya tuli sensorineural mendadak diduga
akibat infeksi mumps. Patogenesis terjadinya tuli sensorineural pada infeksi mumps
masih belum jelas. Khun et al dalam meta analisisnya menyebutkan adanya
peningkatan serum antiviral antibodi, meliputi antibody Cytomegalovirus, Herpes
Zoster, Heres Simplex Tipe 1, Influenza B, Mumps, Enterovirus, dan Rubeola yang
diisolasi dari penderita SSNHL idiopatik. Khun juga menekankan temuan patologi
anatomi pada tulang temporal penderita tersebut secara histologis mengesankan
terjadinya labirinitis viral yang meliputi terjadinya atropi organ korti, membran
20
tektorial, stria vaskularis dan vestibular end organ. Otake dkk. (2006)
menunjukkan dengan menggunakan MRI 3D-FLAIR, tampak sinyal yang tinggi di
koklea dan vestibulum yang menandakan adanya perdarahan atau konsentrasi protein
yang tinggi di telinga dalam anak yang menderita SSNHL yang diakibatkan oleh
23
mumps. Lindsay dkk, dalam studi histopatologinya pada pasien penurunan
pendengaran akibat infeksi mumps melapork terjadinya degenerasi pada organ corti
dan stria vaskularis. Westmore dkk, mengisolasi virus mumps pada perilimfe pasien

182
SSNHL yang terkait infeksi mumps. Hal ini menunjukkan kemungkinan labirin
merupakan lokasi lesi pada sebagian besar pasien tersebut.
Diagnosis tuli sensorineural mendadak dapat ditegakkan dengan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, audiologi dan penunjang. Pada pasien ini pemeriksaan
THT, tidak didapatkan kelainan pada pasien. Pada pemeriksaan audiometri nada
murni didapatkan hasil hantaran udara dekstra 15 dB dan hantaran tulang dekstra 5
dB sedangkan hantaran udara sinistra 91,25 dB dan hantaran tulang sinistra 78,75 dB
. Pasien didiagnosis tuli mendadak sensorineural derajat sangat berat sinistra.
Meskipun tuli sensorineural mendadak merupakan kasus kegawatdaruratan,
namun patogenesis dan terapinya masih kontroversial sehingga modalitas terapi yang
bervariasi bertujuan untuk mendapatkan efek yang sinergis. Pada kasus rawat
diberikan oksigen intranasal 2 liter/menit selama 15 menit diulang tiap 6 jam.
Pemberian oksigen pada tuli sensorineural mendadak bertujuan untuk meningkatkan
oksigenasi koklea dan perilimfe. Sedangkan pada kasus ini diberikan teknik oksigen
hiperbarik yaitu memberikan oksigen 100% pada tekanan 2,5 atmosfer selama 90

menit, untuk memperbaiki oksigenasi terutama pada organ pendengaran.37


Kortikosteroid telah digunakan secara luas sebagai terapi tuli sensorineural
mendadak. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sistemik oral,
intravena dan atau intratimpani meliputi prednison, metil prednisolon dan
deksametason. Steroid mempunyai efek antiinflamasi dan imunosupresi,
menstabilkan fungsi membran sel serta transpor natrium dan kalium sel. Pada kasus
ini, penderita diberikan metil prednisolon oral 16 mg 3 kali sehari dan ditapering off.
Penderita juga diberikan preparat neurotropik yaitu mekobalamin. Pemberian vitamin
dapat menurunkan radikal bebas pada telinga dalam yang bersifat toksik terhadap
organ sensorik.28
Hemodilusi pada penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak bertujuan
untuk menurunkan viskositas darah sehingga memperbaiki aliran darah ke koklea.
Ada beberapa jenis metode pemberian hemodilusi. Pada penderita diberikan
pentoksifilin 2 x 400 mg intraoral. Pentoksifilin mempunyai efek menurunkan
viskositas darah sehingga dapat meningkatkan perfusi dan pengaliran oksigen pada
labirin penderita tuli sensorineural mendadak. 28
Terapi oksigen hiperbarik telah diterapkan sebagai terapi tambahan dalam
kasus tuli mendadak. Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari
1 ATA (atmosphere absolute). Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi

183
koklea dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan
tekanan parsial yang lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka
terhadap keadaan iskemik. 1 Pada pasien ini dilakukan terapi oksigen hiperbarik
sebanyak dua seri.
Hilangnya pendengaran pada SSNHL terkait infeksi mumps biasanya
profound dan permanen. 4, 5 Pada kasus ini pemberian terapi konservatif di atas
menunjukkan adanya perbaikan pendengaran pada penderita dengan kombinasi terapi
oksigen hiperbarik. Menurut kriteria Furohashi pasien ini mengalami pemulihan
minimal. Pada pemeriksaan audiometri nada murni setelah pemberian terapi
didapatkan hasil hantaran udara dekstra 16,25 dB dan hantaran tulang dekstra 6,25 dB
sedangkan hantaran udara sinistra 78,75 dB dan hantaran tulang sinistra 72,5 dB
dengan kesimpulan tuli sensorineural derajat berat sinistra. Pemulihan yang minimal
menunjukkan prognosis yang kurang baik pada SSNHL terkait infeksi mumps, hal ini
dapat dilihat dari gambaran audiogram pertama pasien yang menunjukkan penurunan
ambang pendengaran di semua frekuensi yang menunjukkan terjadinya kerusakan
hingga basal koklea, artinya darah yang terganggu suplai aliran darah lebih luas. 35

184
Gambar 4 Timpanometri pasien tanggal 23 Mei 2017

Gambar 5 Audiometri pasien tanggal 23 Mei 2017

Ozdek dkk. menyatakan SSNHL terkait infeksi mumps sering kali tidak
membaik dengan terapi medikamentosa. Pada pasien yang tidak berespon dengan
terapi medikamentosa ini sebaiknya diberikan alat bantu dengar, namun pada pasien
SSNHL total bilateral sebaiknya dilakukan operasi cochlear implant sedini mungkin.
32,33
Pada kasus ini pasien mengalami pemulihan minimal sehingga dirasakan perlu
diberikan alat bantu dengar untuk meningkatkan kemampuan mendengar.

5 KESIMPULAN
Tuli sensorineural mendadak atau sudden sensorineural hearing loss (SSNHL)
merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang THT yang membutuhkan
penanganan segera. Mumps dapat menyebabkan SSNHL, namun angka kejadiannya

185
cukup kecil. Onset SSNHL yang berkaitan dengan infeksi mumps biasanya cepat dan
bersifat unilateral. Hilangnya pendengaran biasanya profound dan permanen.
Patogenesis terjadinya tuli sensorineural pada infeksi mumps masih belum diketahui
secara jelas, namun inflamasi pada koklea masih menjadi kajian mendasar. Metode
penanganan tuli mendadak bervariasi, namun standar pengobatan yang umumnya
dipakai adalah terapi kortikosteroid, baik oral maupun intratimpani disamping terapi
oksigen hiperbarik dan terapi farmakologis lainnya.
. Telah dilaporkan satu kasus tuli mendadak sensorineural sinistra pada infeksi
mumps. Penderita berjenis kelamin laki–laki , usia 33 tahun yang mendapatkan terapi
konservatif dan hiperbarik dan mengalami perbaikan pendengaran minimal.

186
DAFTAR PUSTAKA

1. Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR BD.
Clinical practice guideline sudden hearing loss: Recommendations of the
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Otolaryngol
Head Neck Surg. 2012;146:1-15.

2. Wilson WR, Gulya AJ. Sudden Sensorineural Hearing Loss. Otol Med J.
1991;1:1-15.

3. Chau JK, Lin JR, Atashband S, Irvine RA WB. Systematic review of the
evidence for the etiology of adult sudden sensorineural hearing loss.
Laryngoscope. 2010;120(5):1011.

4. Vuori M, Lahikainen EA PT. Perceptive deafness in connection with mumps : a


study of 298 servicemen suffering from mumps. Acta Oto-laryng. 1962;55:231
– 236.

5. Davis L. Infections of the labyinth, in: Cummings CW, Fredrickson JM, Harker
LA, Krause CJ, Schuller DE (eds.), , 1993. Otolaryngol Head Neck Surgery,
2nd ed Mosby Year B. 1993.

6. Hashimoto H, Fujioka M KH. An office based prospective study of deafness in


mumps. Pediatr Inf J. 2009;28:173-175.

7. Weber PC KS. Anatomy and physiology of hearing. Dalam: Johnson JT,

Rosen CA, penyunting. Bailey’s Head and neck Surgery-Otolaryngology. 5th


Philadelphia Lippincott Williams &Wilkins. 2014:2253-2273.

8. Gacek RR GM. Anatomy of the auditory and vestibular systems. Dalam:

Snow JB Jr, Ballenger JJ, penyunting. Ballenger’s otorhinolaryngology head


and neck surgery. Ontario BC Decker Inc. 2003:1-24.
187
9. Duthey B. Background Paper 6.21 Hearing Loss. World Heal Organ.
2013;1(February):6.

10. Jenny B dan Indro S. Tuli mendadak dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorokan kepala dan leher. JakartaFK UI. 2008:12-18.

11. Arnold A. Sudden hearing loss. Ther Umsch. 2004;61(1):30-34.

12. Adams C, George L, Lawrence R, Peter A. Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi


Telinga. Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundam Otolaryngol. 1997;6:30-38.

13. Latner DR, Hickman CJ. Remembering Mumps. PLoS Pathog. 2015;11(5):16-
19. doi:10.1371/journal.ppat.1004791.

14. Wilbert H. Mason Mumps. Nelson Textb Pediatr 18 th Saunders Elsevier.


2007;18:1341-1344.

15. Kawashima Y, Ihara K, Nakamura M, Nakashima T, Fukuda S, Kitamura K.


Epidemiological study of mumps deafness in Japan. Auris Nasus Larynx.
2005;32(2):125-128.

16. Ishimaru Y, Nakano S, Nakano H et al. Neurological complication of mumps.


Shonika shinryo. 1988;51:1421 – 1427.

17. Morita S, Fujiwara K, Fukuda A, et al. The clinical features and prognosis of
mumps-associated hearing loss: a retrospective, multi-institutional investigation
in Japan. Acta Otolaryngol. 2017;0(0):1-4.

18. Kawaguchi S, Kawano A, Kanebayashi H et al. Case reports of mumps


deafness. Pract Otorhinolaryngol. 2003;96:865 – 869.

19. Ishikawa T, Ichimura K. An Epidemiological Study on Deafness in Patients


with Mumps. Pract Otorhinolaryngol (Basel). 2004;97(4):285-290.
188
20. Kuhn M, Heman-Ackah SE, Shaikh JA, Roehm PC. Sudden Sensorineural
Hearing Loss: A Review of Diagnosis, Treatment, and Prognosis. Trends
Amplif. 2011;15(3):91-105.

21. Anggraeni M DL. Gondongan (Mumps). SMF IKA RSUP Sanglah.


2012;1(1):5-6.

22. Craighead JE. Pathology and Pathogenesis of Human Viral Disease. Acad Pres,
San Diego. 2000:381-388.

23. Otake H, Sugiura M, Naganawa S NT. 3D-FLAIR Magnetic Resonance


Imaging in the Evaluation of Mumps Deafness. Int J Ped Otolaryngol.
2006;70:2115-2117.

24. Lindsay JR. Histopathology of deafness due to postnatal viral disease. Arch
Otolaryngol. 1973;98:258 – 64.

25. Westmore GA, Pickard BH SH. Isolation of mumps virus from the inner ear
after sudden deafness. Br Med J. 1979;1:14 – 5.

26. Jacobson RM. Measles, Mumps and Rubella. Clin Obs Gynecol.
2013;55(2):550-559.

27. Galazka AM, Robertson SE, Kraigher A. Mumps and mumps vaccine: A global
review. Bull World Health Organ. 1999;77(1):3-14.

28. Oliver ER HG. Sudden sensory hearing loss. Bailey’s Head neck Surg -
Otolaryngology Ed ke-5 Philadelphia Lippincott Williams &Wilkins.
2014;1:2253-2273.

29. Arslan N, Oguz H, Demirci M, Safak MA, Islam A, Kaytez SK et al.


Combined intratympanic and systemic use of steroids for idiopathic sudden
sensorineural hearing loss. Otol Neurotol. 2011;32:393-397.
189
30. Rauch SD, Halpin CF, Antonelli PJ, Babu S, Carey JP GB. Oral vs
intratympanic corticosteroid therapy for idiopathic sudden sensorineural
hearing loss: A randomized trial. JAMA. 2011;305(20):2071-2079.

31. Westerlaken B O. The treatment of idiopathic sudden sensorineural hearing


loss. Otol Neurotol. 2008;1(1):1-32.

32. Ozdek A, Saylam G, Tatar E, Korkmaz MH. Successful cochlear implantation


in a child deafened by mumps. J Int Adv Otol. 2010;6(1):109-111.

33. Wang Y, Cao K, Yang W, Wei C ZZ. Bilateral total deafness due to mumps
and the outcome of cochlear implantation. Lin Chuang Er Bi Yan Hou Ke Za
Zhi. 2003;17:602-603.

34. Levie P, Desgain, Burbure C, Germonpre P, Monnoye JP TM. Sudden hearing


loss. B-ENT. 2007;3(6):33-43.

35. Kasapoglu F, Tuzemen G, Hizalan I, Erisen L,Onart S, Coskun H OA.


Prognosis in sudden hearing loss : Is it the Dissease or the treatment that
determine the prognosis? Dep Otorhinolaryngol Head Neck Surg.
2009;5(2):187-194.

36. Filipo R, Attanasio G, Russo FY, Viccaro M, Mancini P CE. Intratympanic


steroid therapy in moderate sudden hearing loss: A randomized, triple-blind,
placebo-controlled trial. Laryngoscope. 2013;123(3):774-778.

37. Konstantina G, Fildissis G, Zyga S, Baltopoulos G. The Clinical Efficacy of


Hyperbaric Oxygen Therapy in Idiopathic Sudden Sensorineural Hearing Loss
and Tinnitus. Heal Sci J. 2016;10(1):1-9.

190
Penatalaksanaan Abses Esofagus Akibat Benda Asing di Esofagus
Oleh:
I Wayan Sucipta
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

I. Pendahuluan
Benda asing esofagus adalah semua benda, baik berupa bolus makanan atau
agen korosif yang tertelan dengan sengaja atau tidak yang dapat menyebabkan
sumbatan dan perlukaan esofagus. Sebagian besar (80-90%) benda asing yang masuk
ke dalam saluran cerna akan lewat secara spontan, tetapi 10-20% pasien yang tertelan
benda asing di saluran cerna memerlukan intervensi non-operatif dan kurang dari 1%
yang membutuhkan intervensi operasi. Benda asing di esofagus lebih merupakan
kondisi medis yang gawat namun tidak mengancam jiwa.1 Oleh karena itu, pasien

dengan benda asing di esofagus membutuhkan diagnosis dan terapi yang tepat.2
Pemahaman faktor risiko untuk timbulnya komplikasi yang berhubungan dengan
3
benda asing di esofagus akan membantu untuk mengurangi morbiditas pasien.
Pada masa anak-anak, benda asing yang paling sering ditemukan di esofagus
adalah koin dan baterai. Pada orang dewasa, benda asing yang paling sering tertelan
adalah daging dalam makanan dan tulang ikan sedangkan pada populasi lanjut usia,
terutama pada pasien dengan demensia, sering terelan gigi palsu.4 Kebanyakan
penderita anak-anak biasanya berusia di bawah 3 tahun namun terjadinya kasus ini
pada usia dewasa dapat berhubungan dengan adanya defisit neurologis, gangguan
psikologi, penyakit tertentu ataupun adanya faktor kecerobohan.5,6
Gejala yang muncul dapat beragam dan tidak khas, dapat berupa rasa nyeri
atau kesulitan saat menelan, muntah dan adanya sensasi yang kemudian menimbulkan
batuk atau rasa sesak saat bernafas terutama jika penderita mencoba makan atau
menelan. Demam dan gangguan pernafasan dapat menunjukkan adanya suatu infeksi
terutama bila benda asing tersangkut dalam waktu yang lama. Jika tidak memperoleh

pengobatan, infeksi dapat memberat menjadi suatu abses.5,6

Kerusakan pada struktur esofagus seperti infeksi, abses dan perforasi esofagus
dapat terjadi terutama bila terdapat benda asing tajam, bahan koin atau mengandung
unsur yang keras seperti tulang dan logam yang bersifat korosif seperti button

191
battery.4 Begitu pula bila benda asing menimbulkan rasa nyeri, gangguan pernafasan,
perdarahan dan kesulitan menelan. Benda asing tajam dapat menimbulkan perforasi
dengan risiko mencapai sebesar 15-35%. Komplikasi lain dari benda asing yang dapat
terjadi meliputi edema, laserasi, hematoma, jaringan granulasi, striktur, perdarahan
hebat sampai kematian.6
Modalitas utama dalam penanganan benda asing di esofagus adalah
esofagoskopi. Pemberian antibiotik berspektrum luas serta anti inflamasi diperlukan
pada kasus yang dicurigai dengan komplikasi terutama abses.5,6,7 Perkembangan
antibiotika menurunkan insiden dan angka kematian dari infeksi dan abses pada ruang
leher dalam begitu juga dengan esofagus. Meski masih dianggap kondisi penyakit
yang memerlukan penatalaksanaan secara bedah, beberapa kondisi benda asing
dengan infeksi dini memberikan respon pada pemberian antibiotik saja. Meskipun
demikian, perlu diwaspadai karena infeksi dan abses pada ruang leher dalam tetap
membahayakan jiwa. Keterlambatan diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat dapat
mengarah pada komplikasi yang berat seperti mediastinitis yang mempunyai angka
kematian sampai 40 %. Benda asing di esofagus merupakan masalah klinis yang
memiliki tantangan tersendiri, terutama dengan komplikasi berupa infeksi dan abses.
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai kondisi
tersebut sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk memahami dan
memberikan penatalaksanaan yang optimal pada pasien.

Tinjauan pustaka
2.1.Anatomi Esofagus
Esofagus merupakan bagian dari saluran pencernaan berupa suatu tabung otot
vertikal yang memanjang dari hipofaring sampai lambung. Saluran ini dilalui oleh
bolus makanan dari mulut menuju lambung. Pada orang dewasa panjang esofagus
sekitar 25 cm, memanjang ke arah bawah mulai dari batas bawah kartilago krikoid
setinggi vertebra servikal VI berjalan dalam leher, mediastinum atas dan medistinum
belakang di depan vertebra servikal dan torakalis kemudian berakhir pada kardia

lambung setinggi vertebra torakalis XI.8


Esofagus umumnya dalam keadaan kolaps bila tidak terdapat makanan yang
melewatinya. Bentuk lumennya mirip dengan celah, yaitu dalam keadaan istirahat,
tetapi pada bagian bawah bentuk lumennya lebih menyerupai tabung. Diameter lumen
esofagus bervariasi, tergantung dari ada tidaknya bolus makanan atau cairan
192
melaluinya. Pada keadaan istirahat, diameter lumen esofagus sekitar 20 mm dan dapat
bertambah menjadi 30 mm. Pada bayi sekitar 5 mm dan pada umur mejelang 1 tahun
menjadi berlipat ganda dan setelah berumur 5 tahun diameter lumen esofagus
mencapai 15 milimeter. Pada area penyempitan ukuran lumen dapat berkurang
sampai 13-16 mm. Diameter lumen paling besar didapatkan pada muara esofagus
dengan lambung. Esofagus pada bayi relatif lebih panjang dari orang dewasa, dimulai
setinggi vertebra servikal IV – V sampai pada batas setinggi vertebra torakalis IX,
dengan panjang bervariasi antara 8 – 10 cm. Pertumbuhan panjang esofagus
menjelang umur 1 tahun meningkat menjadi 12 cm, pada umur 5 tahun panjang
esofagus menjadi 16 cm dan setelah itu pertumbuhannya menjadi lambat, sehingga
pada umur 15 tahun hanya mencapai 19 cm.5,8

Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan dengan urutan dari dalam keluar yaitu
membran mukosa, submukosa, lapisan otot dan jaringan ikat. Membran mukosa
dilapisi oleh epitel berlapis gepeng non keratinisasi yang merupakan ke lanjutan dari
mukosa faring. Di bagian bawah membran basalis terdapat jaringan ikat longgar
lamina propria yang berisi jaringan dari serabut serabut elastik dan nodul-nodul
limfoid. Pada bagian profunda lapisan lamina propria terdapat muskularis mukosa yang
menebal pada bagian sepertiga ujung esofagus, terdiri dari serabut otot longitudinal
dan merupakan jenis otot polos. Submukosa berhubungan dengan membran mukosa
dan lapisan otot, terdiri dari jaringan ikat padat dan serabut elastis yang kasar, berisi
pembuluh darah dan pleksus Meissner dan serabut parasimpatis postganglion serta
kelenjar esofageal. Kelenjar ini mensekresi mukus sebagai lubrikan atau pelumas
bolus makanan yang melalui esofagus. Setiap kelenjar bermuara kedalam lumen
esofagus dengan saluran menembus lapisan muskularis mukosa. Pada bagian
abdominal berdekatan dengan pertautan esofagus dengan lambung ditemukan
kelenjar lain yang tidak menembus lapisan muskularis mukosa dan strukturnya mirip
dengan kelenjar kardia lambung sehingga disebut kalenjar kardiaesofageal. Lapisan
otot esofagus disusun dari lapisan otot longitudinal sebelah superfisial dan lapisan
otot sirkuler sebelah profunda. Serat otot logitudinal membungkus hampir ke
seluruhan esofagus, kecuali pada ujung atas pada batas antara 3-4 cm dibawah
kartilago krikoid serat menyimpang dari bidang tengah belakang dan membentuk 2
fasikulus longitudinal yang condong ke atas dan ke depan ke bagian muka esofagus

193
dimana berdempet dengan permukaan belakang lamina kartilago krikoid. Umumnya
lapisan otot longitudinal lebih tebal daripada lapisan otot sirkuler. Lapisan serat otot
sirkuler ke arah atas berkesinambungan dengan otot krikofaring dan otot konstriktor
faring bawah. Ke arah bawah berkesinambungan dengan serat otot oblik lambung.
Pada bagian ujung, serat otot sirkuler membentuk satu komponen dari sfingter
fisiologis. Pleksus Auerbach terletak antara lapisan otot sirkuler dan lapisan otot
longitudinal. Pada sepertiga bagian atas esofagus berotot lurik, sepertiga bagian
medial esofagus sebagian berotot lurik, sebagian berotot polos dan pada sepertiga
bagian bawah esofagus berotot polos. Lapisan fibrosa terdiri dari adventitia luar

ireguler, merupakan jaringan ikat padat yang mengandung banyak serabut elastin. 5,8

Berdasarkan letak anatominya, esofagus dapat dibagi atas bagian servikal,


torakalis dan abdominal. Pada orang dewasa panjang esofagus servikal 5-6 cm, mulai
setinggi servikal VI sampai torakalis I. Dinding depan esofagus servikal melekat erat
dengan jaringan ikat serat otot dinding trakea yang disebut tracheo-esophageal party
wall atau dinding bersama trakea dan esofagus. Di bagian anterolateral, esofagus ini
tertutup oleh kelenjar tiroid, sedang di sisi kiri dan kanan pada lekuk antara trakea
dan esofagus berjalan nervus laringeus rekuren kiri dan kanan ke atas menuju faring
setelah menyilang trunkus brachiocephalicus bagian kanan dan menyilang arkus
aorta bagian kiri. Pada bagian belakang di daerah perbatasan dengan hipofaring,
terdapat daerah dengan resistensi lemah yang disebut locus minoris resistencia yaitu
dinding yang tidak tertutup oleh otot konstriktor faring bawah. Jackson menyebut
introitus esofagus sebagai Gate of tears atau Bab el mandeb. Pada bagian lateral

esofagus terdapat sarung karotis atau carotid sheath beserta isinya.8

Panjang esofagus bagian torakalis 16-18 cm, mulai setinggi vertebra torakalis
I sampai torakalis IX-X. Berada di mediastinum atas antara trakea dan kolumna
vertebralis, kemudian ke mediastinum belakang di belakang atrium kiri. Dinding
depan tetap melekat pada dinding belakang trakea sampai setinggi torakalis V. Di
mediastinum atas, esofagus berjalan ke belakang ke sisi kanan aorta desendens
sampai mencapai bagian bawah mediastinum kemudian berjalan ke depan dan sedikit
ke sisi kiri aorta. Di dalam rongga dada, esofagus disilang oleh arkus aorta setinggi
torakalis IV dan bronkus utama kiri setinggi torakalis V. Arteri pulmonal kanan
menyilang esofagus segera di bawah bifurkasio trakealis. Pada bagian ujung esofagus,

194
di antara dinding belakang esofagus dan permukaan ventral korpus vertebralis
berjalan duktus torakalis, vena azygos, arteri-arteri dan vena-vena.5,8
Esofagus bagian abdominal terdiri dari bagian diafragma yang disebut pars
diafragmatika dan bagian esofagus yang berada dalam rongga abdomen. Pada bagian
diafragma panjangnya 1-1,5 cm, dan terletak setinggi vertebra torakalis X, melewati
krus kanan diafragma agak ke kiri bidang tengah disertai oleh n.vagus kiri di
permukaan depannya dan n.vagus kanan di bagian belakangnya. Setelah melewati
diafragma, esofagus melalui lekuk esofageal pada permukaan belakang lobus kiri
hati, selanjutnya melengkung agak tajam ke kiri untuk bergabung dengan bagian
kardia lambung. Pada bagian ini merupakan garis Z dan disebut taut esofagus-
lambung atau gastro-esophageal junction. Bagian esofagus yang berada di dalam

rongga abdomen panjangnya 2–3 cm.8

195
Gambar 2.1 Anatomi Esofagus.

Hubungan antara struktur-struktur di sekitar esofagus menyebabkan


terbentuknya penyempitan pada lumen. Esofagus mempunyai beberapa penyempitan
yang dapat dilihat pada saat esofagoskopi yaitu penyempitan krikofaring pada sfingter
krikofaringeal yang disebabkan oleh penekanan otot krikofaring dan kartilago
krikoid. Diameter transversal 23 mm dan depan belakang 17 mm berjarak kira-kira 16
cm dari gigi insisivus atas pada orang dewasa dan terletak setinggi vertebra servikal
VI. Penyempitan karena adanya persilangan esofagus dengan arkus aorta. Terletak di
sebelah kiri, setinggi vertebra torakalis IV, yang pada orang dewasa berjarak kira-kira
23 cm dari gigi insisivus atas. Diameter transversal 23 mm dan depan-belakang
sebesar 19 mm. Di daerah ini dapat terlihat pulsasi aorta, pada persilangan esofagus
dengan aorta. Juga terdapat penyempitan antara esofagus dan bronkus, persilangan ini
terletak pada dinding depan kiri esofagus yang berjarak kira-kira 27 cm dari gigi
insisivus atas setinggi vertebra torakalis V dengan diameter transversal 23 mm.
Penyempitan diafragma terdapat pada bagian ujung yang disebut hiatus esofagus
setinggi vertebra torakalis X. Disini esofagus terjepit oleh krura diafragma yang

bekerja sebagai sfingter. Diameter transversal 23 mm dan depan-belakang 23 mm.8,9


Vaskularisasi dari esofagus berasal dari beberapa cabang arteri dan vena.
Arteri yang memperdarahi pada bagian servikal berjalan dari arteri tiroidea inferior
(cabang trunkus tiroservikalis arteri subklavia sinistra), bagian torakal berjalan dari

196
aorta torakalis desendens, arteri interkostalis dan arteri cabang bronkial serta bagian
abdominal berjalan dari cabang-cabang arteri gastrikus sinistra dan kadang-kadang
arteri frenikus inferior yang langsung dari aorta abdominalis. Sedangkan vena yang
memperdarahi bagian servikal dialirkan ke dalam vena tiroid inferior, bagian torakal
dialirkan ke dalam vena azygos dan hemiazygos dan bagian abdominal dialirkan ke

dalam vena gastrikus sinistra.10

Gambar 2.2 Vaskularisasi esofagus.

Persarafan esofagus terdiri dari saraf parasimpatis yang berasal dari nervus
vagus yang menimbulkan vasokonstriksi, kontraksi sfingter dan relaksasi dinding
muskular serta saraf simpatis dari serabut-serabut ganglia simpatis servikalis inferior,
nervus torakal dan splanikus yang dapat meningkatkan sekresi kelenjar dan aktivitas
peristaltik.10

197
Gambar 2.3 Persarafan esofagus.

2.2. Fisiologi Menelan


Fungsi utama esofagus adalah membantu dalam proses menelan serta bertindak
untuk mencegah aliran berlimpah ke dalam laring dan membawa bolus makanan dan
5,9
cairan ke dalam lambung dan usaha untuk membersihkan kembali esofagus.

Gambar 2.4 Fisiologi menelan.

198
Dalam proses menelan secara keseluruhan akan terlibat secara
berkesinambungan bagian mulut, faring, laring dan esofagus dan dibagi dalam tiga
fase yaitu fase oral, faringeal dan esofageal. Pada fase oral terjadi perpindahan bolus
makanan dan atau cairan dari mulut ke faring dan terjadi secara sadar. Pada fase
faringeal terjadi perpindahan bolus makanan dan atau cairan dari faring ke esofagus,
terjadi secara refleks dan berlangsung singkat selama 1-2 detik. Adapun fase
esofageal adalah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke lambung. Dalam
keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Dengan adanya rangsangan bolus
makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi muskulus krikofaring,
sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam esofagus.
Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat melebihi
tonus introitus esofagus pada waktu istirahat, sehingga makanan tidak akan kembali
ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari. Gerakan bolus makanan di
esofagus bagian atas masih di pengaruhi oleh kontraksi muskulus konstriktor faring
bawah pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus makanan akan didorong ke ujung
oleh gerakan peristaltik esofagus dan efek tambahan gravitasi bumi. Gerakan
peristaltik dalam keadaan normal terdiri dari gerakan peristaltik primer dan sekunder
gerakan peristaltik primer adalah kelanjutan gerakan peristaltik dari faring, sedang
yang sekunder timbul akibat dari regangan esofagus oleh makanan yang tertinggal,
sebagai akibat kegagalan gerakan peristaltik primer mendorong semua makanan yang

sudah masuk esofagus ke dalam lambung.5,9


Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup
dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih besar dari tekanan di dalam lambung
sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esofageal, sfingter
ini akan terbuka secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk
mendorong bolus makanan ke ujung. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat maka
sfingter ini akan menutup kembali. Proses menelan pada fase esofageal ini

berlangsung sekitar 5 – 10 detik.5,9

2.3. Etiologi dan Patogenesis

Benda asing esofagus adalah semua benda, baik berupa bolus makanan atau agen
korosif yang tertelan dengan sengaja atau tidak yang dapat menyebabkan sumbatan dan

199
perlukaan esofagus. Jenis benda asing yang banyak tertelan pada orang dewasa berasal
dari makanan, biasanya berupa potongan daging, tulang dan gigi palsu. Pada anak
biasanya berupa mainan kecil dan uang logam. Sebagian besar (80-90%) benda asing
yang masuk ke dalam saluran cerna akan lewat secara spontan, tetapi 10-20% pasien
yang tertelan benda asing di saluran cerna memerlukan intervensi non-operatif dan
kurang dari 1% yang membutuhkan intervensi operasi. Benda asing, baik tajam atau
tumpul yang berukuran kecil dapat dengan mudah melewati saluran pencernaan bagian
atas sampai ke lambung, kecuali pada benda asing yang berukuran lebih besar agak sulit
untuk lewat, sehingga diperlukan bantuan endoskop untuk mengeluarkannya. Kadang-
kadang meskipun kecil tetapi relatif terbuat dari metal yang berat, seperti koin agak sulit
untuk melewati lambung. Bila benda asing sudah sampai lambung diperlukan evaluasi
5,9
dan observasi sampai pengeluaran alami terjadi.

Benda asing ingestan dapat tersangkut dimana saja sepanjang level esofagus,
tetapi biasanya paling sering pada penyempitan fisiologis atau patologis. Tempat
tersering adalah di esofagus bagian servikal tepat di bawah konstriksi krikofaringeal.
Jackson (1950) menduga bahwa kelemahan struktur otot peristaltik servikalis bagian
atas sebagai penyebab utama tersangkutnya benda asing. Diyakini daerah tersebut
merupakan peralihan dari otot lurik menjadi otot polos. Bila terjadi inkarserata pada
esofagus torakal atau pada tempat yang lebih dibawah, perlu dipikirkan adanya
gangguan esofagus yang mendasari. Sebaliknya bila terjadi impaksi makanan pada
esofagus bagian tengah atau bawah, hal ini mungkin disebabkan oleh adanya lesi
esofageal atau adanya gangguan motorik. Berbagai kondisi yang dapat mendasari
terjadi benda asing esofagus antara lain refluks esofagitis yang disertai striktur,
stenosis pasca operasi, web, Schatzki rings, hiatal hernia, cardioachalasia, karsinoma,

divertikula dan gangguan motorik.9


Perubahan pada dinding esofagus cukup ringan dan berjalan lambat kecuali
bila benda asingnya bersifat traumatik. Biasanya benda asing yang masuk akan
mengikuti gerakan esofagus ke posisi paling mungkin untuk tidak menyebabkan
trauma, misalnya peniti yang berputar dan turun ke bawah dengan posisi bagian ujung
di bawah dan yang tajam mengikuti. Jika beberapa benda asing tidak turun (tertahan),
setelah waktu yang lama, akan terjadi erosi dan ulserasi epitel, membentuk jaringan
fibrosa di sekitar benda asing. Perforasi spontan kadang terjadi. Jika terjadi tiba-tiba
akan timbul emfisema subkutis dan mediastinum tetapi dinding esofagus, meskipun

200
sangat tipis, mukosanya akan meregang untuk menutupi perforasi, yang merupakan
pertahanan utama dari trauma. Bila benda asing dapat menyebabkan ulserasi dinding
esofagus secara perlahan, lapisan jaringan di sekitarnya akan menyatu akibat proses
inflamasi dan ini biasanya menghambat terjadinya sepsis untuk sementara waktu.
Untuk kasus benda asing di esofagus yang tidak diterapi selama bertahun-tahun,
proses supurasi yang dihasilkannya akan ke bronkus kiri lalu rongga pleura dan
kemudian terbentuk fistula yang mengeluarkan cairan, namun benda asing tetap
tertanam dalam esofagus. Prognosis penderita dengan benda asing esofagus yang
tidak dikeluarkan, hanya dapat bertahan 5-10 tahun dan biasanya meninggal dalam
waktu 1 tahun. Kematian biasanya disebabkan oleh perforasi dan komplikasi benda
asing.5,9
Bakteri kokus gram positif, basil gram negatif dan anerob merupakan
mikroflora pada esofagus.6 Adanya mukosa esofagus yang tidak rata seperti
ekskoriasi maupun perforasi, dapat menyebabkan masuknya bakteri dan
menimbulkan terjadinya infeksi pada jaringan. Timbul inflamasi dan bila berlanjut,
maka materi infeksi inflamasi akan menumpuk pada jaringan longgar dan
menimbulkan abses pada esofagus.5,6

2.4. Diagnosis
Penegakan diagnosis meliputi riwayat penderita, pemeriksaan fisik, radiologi
dan esofagoskopi. Diagnosis dilakukan terhadap adanya benda asing serta komplikasi
yang mungkin menimbulkan infeksi dan abses yang dialami pasien. Keluhan rasa
cemas hampir selalu terjadi pada orang dewasa, kecuali pada penderita psikiatrik dan
pemakai obat-obatan penenang, keadaan ini digambarkan dengan adanya gangguan
menelan yang disertai nyeri faringoesofagus yang kadang disertai dengan batuk,
tersedak, muntah dan hematemesis. Inkarserata yang disebabkan oleh benda asing
memberikan sensasi nyeri yang biasanya dirasakan pada insisura jugularis bagian
bawah secara konstan meluas bila ada gerakan menelan. Keluhan yang sama juga
dirasakan bila bena asing mencapai lambung, setelah melewati fase faringoesofagial
akibat adanya perlukaan pada esofagus. Disfagia total yang disertai sialore dapat
terjadi bila terjadi obstruksi total lumen esofagus yang iasanya disebabkan oleh

impaksi daging/makanan.5,8,9
Keluhan yang dirasakan penderita tidak selamanya berhubungan dengan
posisi aktual benda asing dalam esofagus, contohnya bila keluhan dirasakan pada

201
regio servikal sisi lateral, posisi benda asing biasanya terletak pada bagian atas
krikofaring. Inervasi faringeal oleh n. vagus dan n. glosofaringeus berperan dalam
menimbulkan sensasi tersebut. 5,8,9
Untuk pasien dengan hematemesis berat dengan kemungkinan adanya fistula pada
pembuluh darah besar dan pada pasien dengan emfisema servikal atau
mediastinum, penutupan perforasi harus segera dilakukan pada saat ekstraksi
bedah.5,8,9 Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi meliputi faring dan laringoskopi
indirek untuk melihat benda asing hipofaring, retensi air liur, edema pada regio
aritenoid, palpasi servikal untuk mengetahui emfisema subkutan, kekenyalan regio
jugular, nyeri pada waktu pergerakan laring secara aktif dan pasif, auskultasi
kardiopulmoner, palpasi abdominal dan pengukuran suhu. Pasien yang datang dengan
keluhan tertelan benda asing yang disertai dengan pembengkakan, eritema, perabaan
lunak dan krepitasi pada leher dapat dicurigai adanya perforasi pada daerah orofaring
atau esofagus bagian proksimal.5,8,9
Foto Rontgen polos esofagus servikal dan torakal anteroposterior (AP) dan
lateral, harus dibuat pada semua pasien yang diduga tertelan benda asing. Benda asing
radioopak seperti uang logam, mudah diketahui lokasinya dan harus dilakukan foto
ulang sesaat sebelum tindakan esofagoskopi untuk mengetahui kemungkinan benda
asing sudah pindah ke bagian distal. Letak uang logam umumnya koronal, maka hasil
foto Rontgen servikal atau torakal pada posisi AP akan dijumpai bayangan radioopak
berbentuk bundar, sedangkan pada pasien lateral berupa garis radioopak yang sejajar
dengan kolumna vertebra. Benda asing seperti kulit telur, tulang, dan lain-lain
cenderung berada pada posisi koronal dalam esofagus, sehingga lebih mudah dilihat
pada posisi lateral. Benda asing radiolusen seperti plastik, aluminium dan lain-lain,
dapat diketahui dengan tanda inflamasi periesofagus atau hipofaring dan esofagus

bagian proksimal.11

202
Gambar 2.5 Rontgen servikal lateral leher menunjukkan garis radioopak pada
proksimal esofagus (panah merah). Tidak ada udara di jaringan lunak dan tidak ada
edema jaringan lunak diidentifikasi untuk menunjukkan adanya abses retrofaring.

Foto Rontgen leher posisi lateral dapat menunjukkan tanda perforasi, dengan
trakea dan laring tergeser ke depan, gelembung udara di jaringan, adanya bayangan
cairan atau abses bila perforasi telah berlangsung beberapa hari.9 Gambaran radiologi
benda asing batu baterei menunjukkan pinggir bulat dengan gambaran densitas ganda
karena bentuk bilaminer. Foto polos sering tidak menunjukkan gambaran benda
asing, seperti daging dan tulang ikan, sehingga memerlukan pemeriksaan esofagus

dengan kontras (esofagogram). 11


Esofagogram pada benda asing radiolusen akan memperlihatkan filling defect
persistent. Pemeriksaan esofagus dengan kontras sebaiknya tidak dilakukan pada
benda asing radioopak karena densitas benda asing biasanya sama dengan zat kontras,
sehingga akan menyulitkan penilaian ada tidaknya benda asing. Risiko lain adalah
terjadi aspirasi bahan kontras. Bahan kontras barium lebih baik daripada zat kontras
yang larut dia air (water soluble contrast), seperti gastrografin, karena sifatnya
kurang toksik terhadap saluran napas bila terjadi aspirasi kontras, sedangkan
gastrografin bersifat mengiritasi paru. Oleh karena itu pemakaian kontras gastrografin

harus dihindari terutama pada anak.12

203
Gambar 2.6 Gambaran esofagogram benda asing di esofagus.

Suatu penelanan barium dalam jumlah besar sebaiknya tidak diberikan karena
akan menutupi dinding esofagus dengan penebalan putih akibatnya sangat sulit
dilakukan esofagoskopi. Lebih baik pasien menelan sedikit kapas dengan kontras
medium di dalamnya. Serat kapas dapat menangkap benda asing untuk sementara
atau selama penelanan, dengan demikian menampakkan adanya benda asing melalui
floroskopi. Pengetahuan orientasi dari benda asing pada esofagus sangat membantu
dalam merencanakan endoskopi. 11
Computerized tomography scanner (CT scan) esofagus dapat menunjukkan
gambaran inflamasi jaringan lunak dan abses. Indikasi dilakukan CT scan jika
kecurigaan adanya benda asing di esofagus tapi pada foto polos servikal atau toraks
tidak ditemukan atau negatif, sedangkan pada esofagogram terlihat atau positif. Dapat
menunjukkan adanya gambaran inflamasi jaringan lunak dan abses, juga gambaran
benda asing yang tidak terlihat dengan foto rontgen. CT scan juga bisa untuk
mengevaluasi ada atau tidak komplikasi setelah ekstraksi benda asing.11

204
Gambar 2.7 Gambaran CT scan (a.Inflamasi, b. abses dan perforasi, c.cedera
vaskular dalam mediastinum akibat benda asing di esofagus).

Magnetic resonanse imaging (MRI) dapat menunjukkan gambaran semua


keadaan patologis esofagus. Dapat menampilkan keseluruhan gambar jaringan atau
massa servikotorakal dan hubungan dengan jaringan neurovaskular sekitar. MRI juga
dapat menunjukkan adanya perluasan abses atau pembentukan granuloma. Tapi
bukanlah pemeriksaan inisial untuk melihat adanya benda asing. 11

2.5 Penatalaksanaan
Modalitas terapi yang utama untuk benda asing esofagus adalah esofagoskopi
ekstraksi. Kontraindikasi absolut untuk esofagoskopi adalah adanya hematemesis
berat, kemungkinan fistula pada pembuluh darah yang diakibatkan oleh benda asing
yang menimbulkan perforasi serta adanya edema hebat yang dapat terlihat dari
pemeriksaan radiologi. Benda asing yang tersangkut di esofagus tanpa memandang
bentuknya harus diangkat dengan visualisasi langsung sesegera mungkin. Baterai
arloji harus diangkat segera karena kemungkinan kebocoran bahan korosif dan
menyebabkan perforasi dinding esofagus, pada benda asing tajam dapat menyebabkan
perforasi.5,7,9

205
Prosedur esofagoskopi harus dilakukan di rumah sakit di ruang operasi dengan
fasilitas anestesi umum dan alat resusitasi. Anestesi umum dengan intubasi trakea
lebih baik karena mencegah aspirasi bronkus dan keleluasaan melakukan manuver
ekstraksi. Instrumen kaku lebih disukai atau dapat juga endoskopi optik, diameter dan
panjang instrumen dapat dipilih sesuai lokasi dan umur pasien.13,14
Pada penderita dengan kasus benda asing di esofagus perlu dilakukan evaluasi
esofagoskopi terhadap saliva atau partikel makanan diangkat dengan menggunakan
kanul suction atau forcep, benda asing divisualisasi dan dilokalisir, posisi benda asing
harus diketahui letaknya terhadap esofagus, apabila benda asing besar dan
menimbulkan perforasi atau terjadi perdarahan hebat, lebih dipilih untuk melakukan
operasi terbuka. Bila terlihat benda asing maka dilakukan prosedur ekstraksi dengan
menyentuh benda asing dengan ujung ujung instrumen, memegang bagian benda
asing dengan kuat, menarik benda asing ke dalam endoskop, mempertahankan
stabilitas endoskop, forsep dan benda asing, dengan gerakan yang berkelanjutan
dengan mempertahankan aksi endoskop sejajar esofagus dan faring, menarik
bersama-sama tanpa mengakibatkan gesekan atau impaksi benda asing. Setelah
prosedur ekstraksi dilakukan, diperlukan esofagoskopi kembali untuk mengevaluasi
kondisi pasien. Dengan esofagoskop optik daerah bekas tempat asing dieksplorasi
untuk mengevaluasi adanya tanda-tanda laserasi. Esofagus dibawah lokasi impaksi
diperiksa sampai ke lambung untuk melihat adanya kelainan-kelaian esofagus yang
dapat menimbulkan impaksi. Sementara esofagus di atas lokasi inkarserasi di periksa
untuk mendeteksi adanya cedera akibat manuver.5,13,14

Esofagoskopi dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan klinis meliputi


ukuran, bentuk, jenis dan lokasi anatomis benda asing serta sudah berapa lama
tertelan. Dilakukan esofagoskopi sesegera mungkin dengan persiapan optimal. Bila
benda asing gagal dikeluarkan pada saat pertama kali dikerjakan, maka dapat
dilakukan esofagoskopi ulang setelah 2x24 jam. 5,13,14

Tanda-tanda perforasi memerlukan tindakan ekstraksi benda asing dengan


revisi bedah untuk drainase dan penutupan perforasi. Apabila benda asing dapat
diekstraksi secara endoskopi tanpa menimbulkan kerusakan pada esofagus, prosedur
dapat esofagoskopi ekstraksi saja tanpa revisi bedah. 5,13,14

206
External approach (lateral esofagotomi) digunakan apabila pengambilan
menggunakan endoskopi lentur maupun kaku mengalami kegagalan. Pada prinsipnya
adalah mengeluarkan benda asing lewat esofagotomi. Pembedahan torakotomi
dilakukan apabila benda asing tidak didapat atau tidak mungkin diambil dengan cara
diatas atau bila benda asing tidak memungkinkan untuk keluar spontan lewat tinja
atau juga bila sudah ada perforasi.14,15
Penanganan kegawatdaruratan bedah, terjadi bila ada fistula pada pembuluh
darah besar, apabila benda asing menyebakan terjadinya perdarahan dan hematemesis,
harus dilakukan torakotomi emergensi untuk menyelamatkan nyawa pasien. Bila adanya
potongan daging pada faringoesofagial junction menyebabkan sumbatan jalan nafas
14,15
maka harus dilakukan pengangkatan segera secara endoskopi .

Gambar 2.8 Esofagoskopi tampak gigi palsu dengan kawat di esofagus.

Indikasi penanganan bedah adalah bila benda asing tidak dapat diangkat
secara esofagoskopi tanpa menimbulkan komplikasi atau tidak dapat diangkat secara
komplit, adanya tanda perforasi esofagus, sehingga membutuhkan penanganan bedah
untuk penutupan perforasi dan drainase serta prosedur kegawatdaruratan bila terjadi
hematemesis.5,14,15
Pemberian obat-obatan intravena dengan antibiotik spektrum luas yang dapat
membunuh bakteri aerob dan anaerob sebaiknya dimulai sesegera mungkin. Untuk
lesi yang letaknya di servikal, dilakukan servikotomi di bagian kiri sepanjang dinding
depan muskulus sternocleidomastoideus. Penutupan dilakukan dengan dua lapis

207
jahitan dan dilakukan drainase mediatinum. Untuk lesi yang terletak pada bagian atas
toraks dan lesi yang mengakibatkan efusi pleura kanan, maka harus dilakukan
torakotomi posterolateral kanan dengan pemasangan pipa drainase pleura yang besar.
Bila ada proses inflamasi yang tidak memungkinkan penutupan perforasi, sebaiknya
dipertimbangkan tindakan esofagektomi parsial, drainase dengan T-tube, rekonstruksi

sekunder atau drainase transesofageal dengan pemasangan stent.14,15

2.6 Komplikasi dan Prognosis


Perlukaan esofagus lebih sering disebabkan oleh benda asing tajam atau
terjadi sekunder nekrosis akibat penekanan terutama pada kasus-kasus yang
mengalami inkarserata lama. Benda asing tulang dan tulang ikan mempunyai risiko
yang paling tinggi menyebabkan perlukaan (76%) dan merupakan penyebab
terbanyak terjadinya perforasi (8%). Benda asing metal yang tajam dan impaksi oleh
makanan mempunyai risiko perlukaan 11% dan perforasi 2%.7,9,11
Komplikasi utama benda asing berhubungan dengan perforasi yang terjadi
baik secara primer maupun sekunder. Prognosis penderita tergantung kepada
penyebab perforasi misalkan pada akut perforasi oleh benda tajam atau perforasi
lambat akibat nekrosis kompresi. Perforasi akut yang diikuti dengan pasase udara, air
liur atau partikel makanan ke jaringan sekitarnya disertai penyebaran mikroorganisme
yang cepat akan menyebabkan terjadinya mediastinitis dan secara potensial dapat
menyebabkan syok septik. Kebocoran akibat proses yang lambat akan menyebabkan
reaksi inflamasi lokal untuk membatasi perluasan infeksi lebih sering menyebabkan
terbentuknya abses mediastinal atau servikal. Pada perforasi sebesar lubang jarum,
biasanya hanya terjadi reaksi lokal daerah perforasi. Perforasi esofagus pars torakal
lebih berbahaya dibandingkan dengan esofagus pars servikal oleh karena mudah
terjadi mediastinitis atau pembentukan fistula antara esofagus dengan trakea, bronkus
utama, pleura, perikardium dan pembuluh darah besar.7,9,11
Deteksi dini adanya perforasi sangat penting untuk prognosis. Adanya
perforasi seharusnya dapat dideteksi dengan endoskopi segera setelah ekstraksi.
Apabila perforasi tidak dapat dideteksi, timbulnya demam yang progresif, nyeri
retrosternal, dan disfagia selama periode post ekstraksi dapat merupakan sinyal
terjadinya perforasi. Pengamatan dengan endoskopi biasanya mudah apabila laserasi
yang terjadi cukup besar. Benda asing yang terletak dalam dengan laserasi yang

208
meluas sampai ke lapisan otot, seringkali membuat pelaksana endoskopi kesulitan
dan ragu untuk melakukan esofaguskopi ekstraksi. Pada kasus demikian dibutuhkan
pemeriksaan radiografi leher dan dada untuk melihat adanya emfisema servikal atau
mediastinal.7,9,15
Penatalaksanaan perforasi harus dilakukan sebaik mungkin. Pengobatan
konservatif dapat berupa pemberian cairan intravena dan antibiotik, penghentian
makanan malalui mulut dan monitoring yang ketat.7,9,15
Prognosis penderita dengan abses esofagus tergantung dari respon penderita
terhadap antibiotik yang diberikan dan dapat menjadi keadaan yang mengancam jiwa
jika penderita jatuh pada kondisi sepsis dan syok. Kematian biasanya disebabkan oleh
perforasi dan komplikasi benda asing yang menimbulkan suatu komplikasi berupa
infeksi dan abses. 7,9,15
Fistula aorta esofagus sangat jarang terjadi, tetapi ini merupakan komplikasi
yang serius, dilaporkan hanya 9 dari 500 penderita dengan komplikasi ini yang dapat
bertahan hidup. Secara klinis karakteristik fistula esofagus digambarkan sebagai triad
Chiari yang meliputi nyeri pada dada bagian tengah, perdarahan dari arteri, adanya
interval dimana pasien bebas dari keluhan. Setelah fistula terdeteksi, segera dilakukan
torakotomi untuk mengeluarkan benda asing dan eksisi fistula untuk memperbaiki
aorta dan esofagus. Striktur esofagus dan lesi yang menyerupai tumor merupakan

komplikasi yang jarang terjadi pada orang dewasa. 7,9,15

III. Laporan Kasus


Pasien dengan inisial IMS, laki-laki, usia 46 tahun, suku Bali, datang ke IGD
RSUP Sanglah pada tanggal 25 Januari 2017. Dari anamnesis didapatkan pasien
mengeluh adanya rasa sakit di tenggorokan setelah mengkonsumsi sup tulang babi
sekitar 1 jam sebelum datang ke RS. Rasa sakit awalnya dirasakan seperti menusuk
terutama saat pasien menelan, namun kemudian rasa sakit dirasakan memberat.
Keluhan disertai rasa sulit untuk menelan. Pasien tidak bisa makan dan minum karena
setiap makan dan minum pasien kemudian muntah. Batuk, pilek serta radang
tenggorokan sebelumnya tidak ada, sesak, demam dan riwayat sakit gigi sebelumnya
disangkal. Keluhan lain tidak ada.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kondisi umum baik, dengan kesadaran
kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 100x/.menit, pernapasan
24x/menit, temperatur aksila 370 C. Dari pemeriksaan THT-KL didapatkan kondisi

209
telinga dan hidung dalam batas normal. Mukosa faring merah muda tanpa adanya
ekskoriasi. Tonsil T1-T1 dengan mukosa merah muda. Tidak terdapat post nasal drip.
Pada pemeriksaan leher tampak kulit leher hiperemi, tidak ada nyeri tekan dan tidak
ada krepitasi. Dari pemeriksaan laringoskopi indirek tidak tampak korpus alienum
dan tidak terdapat tumpukan saliva. Rontgen servikal menunjukkan sangat mungkin
korpus alienum di esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Rontgen dada
menunjukkan kondisi cor dan pulmo tanpa adanya kelainan. Dilakukan pemeriksaan
laboratorium dengan hasil WBC : 13,70 x 103, hemoglobin 13,93 g/dl, platelet
251x105, gula darah sewaktu 94 g/dl, serta komponen darah dan elektrolit dalam batas
normal. Pada pemeriksaan fungsi hati dan ginjal dalam batas normal. Laboratorium
menunjukkan adanya infeksi ditunjukkan dengan peningkatan jumlah leukosit.

Gambar 3.1 Rontgen servikal menunjukkan adanya benda asing di esofagus.

Pasien kemudian dipersiapakan untuk tindakan esofagoskopi. Diberikan


cairan infus perenteral dengan normal saline 0,9%, dekstrose 5% dan asam amino
dengan perbandingan 1:1:1 sebanyak 20 tetes/menit. Obat-obatan intravena berupa
antibiotic seftriakson 1 gram, metil prednisolon 62,5 mg dan ranitidin 50 mg tiap 12
jam. Pasien kemudian dikonsulkan ke sejawat Interna dan Anestesi untuk kelayakan
tindakan. Dari hasil konsultasi tidak didapatkan adanya kontraindikasi untuk
dilakukan tindakan.

210
Pada tanggal 26 Januari 2017, dilakukan esofagoskopi pada pasien dengan
temuan berupa adanya edema mukosa dan pus di sekitarnya pada daerah penyempitan
krikofaring setinggi DGA 16. Esofagoskopi dihentikan karena kondisi mukosa
esofagus yang masih edema. Pasien dirawat dengan abses esofagus et causa korpus
alienum tulang babi di esofagus dan konsultasikan ke sejawat bedah thorax dan
kardiovaskular (BTKV) serta direncanakan untuk tindakan esofagoskopi ekstraksi 4
hari kemudian. Adapun pasca operasi pasien dipuasakan dan terapi pasca operasi
yang diberikan berupa antibiotik intravena seftriakson 1 gram dan metil prednisolon
62,5 mg, ranitidin 50 mg serta ketorolak tiap 12 jam dan metronidazol 500 mg tiap 8
jam serta dikonsultasikan ke sejawat gizi klinik. Sejawat BTKV menginstruksikan
untuk dilakukan pemeriksan CT scan esofagus dan hasilnya yaitu tampak gambaran
soft tissue swelling setinggi vertebra servikal ke-6 sampai vertebra torakal ke-1, tidak
tampak gambaran air trapping, tidak tampak gambaran mediastinitis, tidak tampak
jelas gambaran benda asing dan direncanakan eksplorasi esofagus untuk ekstraksi
korpus alienum bila esofagoskopi gagal. Setelah perawatan selama 4 hari, dari
anamnesis didapatkan pasien masih mengeluh adanya rasa sakit di tenggorokan,
sedangkan demam, batuk, sesak, mual dan muntah tidak didapatkan. Pada
pemeriksaan fisik THT kesan tenang dan pada pemeriksaan leher tidak didapatkan
hiperemi, nyeri tekan dan krepitasi. Pasien kemudian dikonsulkan kembali ke sejawat
Interna dan Anestesi untuk kelayakan tindakan. Dari hasil konsultasi tidak didapatkan
adanya kontraindikasi untuk dilakukan tindakan.

211
Gambar 3.2 CT scan esophagus menunjukkan gambaran soft tissue swelling
setinggi vertebra servikal ke-6 sampai vertebra torakal ke-1, tidak tampak gambaran
air trapping, tidak tampak gambaran mediastinitis, tidak tampak jelas gambaran
benda asing.

Pada tanggal 30 Januari 2017 dilakukan rontgen servikal ulang menunjukkan


korpus alienum di esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Kemudian dilakukan
esofagokoskopi ekstraksi dengan temuan berupa serpihan tulang babi sepanjang
kurang lebih 2 cm yang menancap pada esofagus di daerah penyempitan krikofaring
setinggi DGA 16. Terdapat pus yang mengalir dari lokasi impaksi tulang dan sedikit
darah serta tampak mukosa esofagus edema dan hiperemi. Dilakukan ekstraksi benda
asing dan pembersihan pus serta darah dengan suction. Pasien dipasang nasogastric
tube atau NGT pasca operasi. Adapun terapi pasca operasi yang diberikan berupa
antibiotik intravena seftriakson 1 gr dan metil prednisolon 62,5 mg, ranitidin 50 mg
serta ketorolak tiap 12 jam dan metronidazol 500 mg tiap 8 jam. Pasien diberikan diet
cair via NGT. Dari sejawat BTKV menyarankan dilakukan esofagografi pada hari ke-
5 pasca operasi.

212
Gambar 3.3 Benda Asing Tulang Babi

Pada tanggal 4 Februari 2017 dilakukan pemeriksaan esofagografi dengan


hasil tidak tampak kelainan, tidak tampak ekstravasasi kontras dan tidak tampak
fistula. Kondisi pasien baik dan stabil tanpa adanya keluhan. Hasil laboratorium
menunjukkan adanya perbaikan dengan kadar leukosit normal yaitu sebesar 8,4x103.
Pasien kemudian dipulangkan dengan pengobatan oral cefixime sirup 200 mg dan
antasida sirup setiap 12 jam. Pasien disarankan untuk kontrol kembali ke poli THT-
KL setelah 3 hari. Pada saat kontrol, keluhan sudah tidak dirasakan dan dari
pemeriksaan pasien dalam kondisi normal.

Gambar 3.4 Gambaran esofagogram.

IV. Pembahasan
Kejadian benda asing pada saluran cerna dapat terjadi pada berbagai usia.
Komplikasi yang terjadi pada kasus benda asing pada saluran cerna lebih sering
terjadi pada orang dewasa terutama jika benda asing berbentuk tajam seperti gigi

213
palsu berkawat atau serpihan tulang. Adanya trauma regional pada tempat
tersangkutnya benda asing dapat menimbulkan suatu komplikasi berupa abses.12,14
Pada pasien yang dilaporkan, terdapat benda asing yang tersangkut yang terlihat dari
gambaran radiologi. Saat dilakukan esofagoskopi pada pasien ini didapatkan edema
mukosa dan pus di sekitarnya pada daerah penyempitan krikofaring setinggi DGA 16.
Pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya benda asing yang bersifat
radioopak.11 Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan rontgen servikal dan terlihat
adanya benda asing yang radioopak setinggi vertebra servikalis 6 dengan disertai
abses di sekitarnya. Posisi tersebut sesuai dengan penyempitan esofagus di daerah
krikofaring.
CT scan esofagus dapat menunjukkan gambaran inflamasi jaringan lunak dan
abses maupun gambaran benda asing yang tidak terlihat dengan foto rontgen. CT scan
juga bisa untuk mengevaluasi ada atau tidak komplikasi setelah ekstraksi benda
asing.11 Pada pasien ini dilakukan pemeriksan CT scan dengan hasil yaitu tampak
gambaran soft tissue swelling setinggi vertebra servikal ke-6 sampai vertebra torakal
ke-1, tidak tampak gambaran air trapping, tidak tampak gambaran mediastinitis,
tidak tampak jelas gambaran benda asing.
Esofagoskopi dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan klinis meliputi
ukuran, bentuk, jenis dan lokasi anatomis benda asing serta sudah berapa lama
tertelan. Bila benda asing gagal dikeluarkan pada saat pertama kali dikerjakan, maka
dapat dilakukan esofagoskopi ulang setelah 2x24 jam5,13,14 Saat dilakukan
esofagoskopi pada pasien ini didapatkan edema mukosa dan pus di sekitarnya pada
daerah penyempitan krikofaring setinggi DGA 16. Esofagoskopi dihentikan karena
kondisi mukosa esofagus yang masih edema. Kemudian diberikan antibiotik spektrum
luas dan antiinflamas serta direncanakan esofagoskopi dilakukan 4 hari kemudian
dengan mempertimbangkan waktu penyembuhan mukosa esofagus.
Beberapa penelitian menyebutkan abses akibat benda asing dapat muncul
kurang lebih 2 hari setelah adanya benda asing yang tersangkut di esofagus.15 Namun
14
ada juga yang melaporkan terjadi abses setelah 4-19 hari. Pada kasus ini edema
masif terjadi kurang lebih 1 hari setelah adanya benda asing yang menyangkut di
saluran cerna. Hal ini terjadi karena pasien melakukan berbagai manipulasi seperti
memakan banyak nasi kepal dan banyak minum air sesaat setelah mengeluh nyeri

214
tenggorokan. Jika terdapat komplikasi yang lebih serius seperti perforasi esofagus,
maka gejala dan tanda klinis akan nampak dalam 24 jam pertama.14
Bila terdapat keluhan seperti rasa nyeri dan kesulitan untuk menelan yang
ditunjang oleh riwayat tertelan benda asing disertai dengan demam dan peningkatan
leukosit, maka perlu dipertimbangkan adanya komplikasi yang mungkin muncul.
Pada pasien ini, terdapat leukosit yang mencapai 13,70 x103 yang merupakan kondisi

leukositosis sebagai salah satu penanda adanya infeksi.15


Regimen antibiotik yang diberikan pada infeksi dan abses tidak jauh berbeda.
Harus dapat mengatasi bakteri aerob dan anaerob serta memiliki angka resistensi
yang rendah.6,11 Bakteri pada esofagus terdiri dari bakteri kokus gram positif, basil
gram negatif dan anerob. Antibiotik spektrum luas sebaiknya digunakan untuk
mengatasi berbagai jenis agen yang dapat menjadi penyebab infeksi tersebut.
Beberapa peneliti menyebutkan pada penelitiannya tentang pilihan antibiotik yang
biasa diberikan meliputi sefalosporin generasi kedua seperti cefuroxime atau
betalactamase-resistant penisillin. Penggunaan obat-obat tersebut dibarengi dengan
metronidazol. Variasi pemberian antibiotik tergantung pada respon klinis pasien dan
5,14,15
kultur mikrobiologi serta tes sensitivitas. Pemberian medikamentosa pada
literatur sesuai dengan pada kasus ini, di mana penderita diberikan seftriakson
intravena setiap 12 jam. Seftrikson adalah golongan sefalosporin generasi ketiga
dengan sifat spektrum luas. Pemberiannya dilakukan bersamaan dengan metronidazol
intravena setiap 8 jam untuk mengoptimalkan efek antibakteri terhadap bakteri aerob
maupun anerob penyebab infeksi dan abses.
Setelah dilakukan evaluasi kembali pada pasien pasca operasi, tidak ditemukan
keluhan yang berulang. Pasien kemudian rawat poliklinis dan disarankan untuk control
kembali ke poli THT-KL setelah 3 hari. Pada saat kontrol, keluhan sudah tidak
dirasakan dan dari pemeriksaan pasien dalam kondisi normal. Pasien disarankan
untuk kontrol bila terdapat adanya keluhan.

215
V. Kesimpulan
Dilaporkan satu kasus abses esofagus akibat adanya benda asing berupa tulang
babi yang tersangkut di esofagus pada pasien laki laki yang berusia 46 tahun. Pada
kasus ini dilakukan esofagoskopi sebanyak 2 kali disebabkan pada esofagoskopi
pertama didapatkan penyulit, yaitu adanya edema masif pada mukosa esofagus,
kemudian dilakukan esofagoskopi kedua untuk ekstraksi benda asing dan pemberian
antibiotik dengan hasil penyembuhan yang baik.

216
DAFTAR PUSTAKA

1. Ratcliff MK. Esophageal Foreign Bodies. American Family Physician.


1991; 4(3): h.824-931
2. Ekim H. Management of Esophageal Foreign Bodies: A Report on 26
Patients
and Literatur Review. Estern Journal of Medicine. 2010; 15: h.21-5
3. Ashraf O. Foreign body in the esophagus: a review. Sao Paulo Med J. 2006;
124(6): h.346-49
4. Tihan D, Trabulus D, Altunkaya A, Karaca S, Cihan A, Alis H.
Esophageal perforation due to inadvertent swallowing of a dental
prosthesis. Turk J Gastroenterol. 2012; 22(5): h.529-33
5. Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL. Benda Asing. Dalam: Modul
Esofagus. Edisi ke-2. 2015.
6. Yang JY, Deutsch ES, Reilly JS. Bronchoesophagology. Dalam: Snow JB, MD
& Ballenger, JJ. MD. Penyunting: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head
and
Neck Surgery. Edisi ke-16. Ontario: BC Decker Inc. 2003; h. 49-57.
7. Vollweiler JF, Vaezi MF. The Esofagus Anatomy, Physiology and
Diseases. Dalam: Cummings, CW. Penyunting: Otolaryngology Head &
Neck Surgery. Edisi ke-4. Elsevier Mosby. Philadelphia: 2005; h.67-115.
8. L Intzenich CR. Esophageal Disorders. Dalam: Bailey, BJ. Johnson, JT.
Newlands, SD. Penyunting: Head & Neck Surgery – Otolaryngology.
Lippincott Williams & Wilkins . Philadelphia. Edisi ke-5. 2012; h.8-52.
9. Hasselt V, Andrew C. Esophageal perforation and neck abscess from
ingested foreign bodies: treatment and outcomes. Ear Nose Throat Journal.
2003; 82 (10): h.786-94.
10. Snell Richard S. 2012. Anatomi Klinik Edisi 6. Jakarta: EGC.
11. Rooks V. Esophageal Foreign Body Imaging. Meds Health J. 2004; 10:
h.216-17.
12. American Society For Gastrointestinal Endoscopy, Guideline for the
management of ingested foreign bodies. 2011; 73(6)
13. Pinto R, Pereira P, Macedo G. Endoscopic management of a delayed
diagnosed foreign body esophageal perforation. J Port Gastrenterol. 2012;
18 (3): h.221-22.
14. Soin D, Garg R, Aggarwal S, Kajal KS. Foreign Body Oesofagus With
Abscess. Int J Pharm Pharm Sci. 2013; 5 (1): h.1-2.

217
15. Chen WC, Lee FP, Lee CM, Chen CM. Esophageal Foreign Body: A Case
Report. J Exp Clin Med. 2011; 32: h.99-100.

218
PENATALAKSANAAN KELAINAN KANTUNG MATA
(BLEPHAROPLASTI)
Oleh
Agus Rudi Astutha
Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar

1. PENDAHULUAN
Mata merupakan komponen vital pada keseimbangan dan prioritas pada
kosmetik daerah wajah yang memegang peranan sangat penting pada estetika
daerah wajah. Kelainan kantung mata adalah salah satu masalah yang kerap
dihadapi terutama oleh banyak wanita. Tetapi meskipun bukan termasuk masalah
kesehatan yang serius, hal ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan diri
seseorang, karena wajah menjadi terlihat kuyu dan tidak kelihatan segar. Hal ini
dikarenakan kerutan di kulit sekitar mata lebih cepat timbul dibandingkan kulit
bagian lainnya, disebabkan oleh gerakan wajah yang terus menerus seperti
tersenyum, mengedipkan mata, dan mengerutkan dahi, sehingga memberikan
tekanan pada kulit yang tipis dan peka ini. Proses penuaan secara alami akan
berlangsung sekitar usia tigapuluhan. Hal ini disebut proses penuaan intrinsik atau
inheren yang tergantung pada warisan genetik seseorang. Hilangnya jaringan
lemak merupakan penyebab penting pada proses penuaan fisik pada wajah. Proses
penuaan juga tergantung pada faktor eksternal seperti sinar ultraviolet yang terik,
gerakan ekspresi wajah yang berulang yang menyebabkan hilangnya jaringan
lemak terutama sekitar mata, faktor gravitasi, merokok dan bahkan posisi tidur

dapat berpengaruh pada perubahan wajah pada proses penuaan.1,2,3,4


Blepharoplasti merupakan salah satu tindakan estetik yang paling sering
dilakukan. Blepharoplasti adalah suatu tindakan operasi untuk memperbaiki
fungsi ataupun kosmetik kelopak mata atas dan bawah. Blepharoplasti memegang
peranan penting pada peremajaan daerah wajah dengan hubungan yang langsung
tampak pada alis dan dagu. Istilah blepharoplasti diciptakan oleh Karl Ferdinand
von Grafe pada tahun 1818 ketika teknik tersebut digunakan untuk memperbaiki
deformitas yang disebabkan oleh kanker pada kelopak mata. Prosedur bedah pada
kelopak mata dikatakan berasal dari Arab pada abad kesepuluh. Pada tahun 900an
deformitas kelopak mata berfokus pada ptosis kelopak mata atas. Pada tahun 1844
Sichel membedakan antara 2 jenis ptosis kelopak mata berdasarkan etiologi
deformitasnya yaitu ptosis sejati karena otot levator yang abnormal dan ptosis

219
atonik atau lemak (pseudoptosis). Pada tahun 1874 Merkel mendapatkan bahwa
pembengkakan lemak periorbital dikarenakan atrofi pada septum orbital. Pada
tahun 1899 Schmidt-Rimpler mengemukakan istilah hernia lemak pada protusi
kelenjar lemak dari kelopak mata. Pada tahun 1907 C.C. Miller pertama kali
menggambarkan insisi pada kelopak mata bawah saat proses pengeluaran lipatan
kulit yang menyerupai kantung. Bourquet pada tahun 1928 menggambarkan
anatomi dari kelenjar lemak periorbital dan mengidentifikasi beberapa herniasi
pada struktur tersebut. Bourquet yang pertama kali mendapatkan bahwa terdapat
kompartemen lemak pada kelopak mata atas sebanyak dua buah dan pada kelopak
mata bawah sebanyak 3 buah. Selain itu dilaporkan pula tindakan pengeluaran
lemak pada kelopak mata bawah dengan pendekatan transkonjungtival. Pada
tahun 1928 Madame A. (Suzanne) Noel menggambarkan elemen yang bervariasi
pada proses standar insisi blepharoplasti. Tiga tahun kemudian Joseph
menggambarkan variasi dari design insisi kulit pada kasus pengeluaran jaringan

kelopak mata yang berlebih.1,2,3,5

Pada bidang Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher kebanyakan tindakan


yang dilakukan adalah blepharoplasti untuk kantung mata pada kelopak mata
bawah. Berikut ini akan lebih banyak dibahas mengenai blepharoplasti kelopak
mata bagian bawah (lower eyelid blepharoplasty).

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kelopak Mata
2.1.1 Anatomi Kelopak Mata Atas
Muskulus oblik superior terdapat diantara prelevator dan bagian medial
kompartemen lemak pada kelopak mata atas dan sangat berisiko saat proses
tindakan pengeluaran yang terburu-buru dari kompartemen lemak bagian medial.
Penetrasi yang kuat dan berlebih pada septum orbital bagian medial atau trauma
iatrogenik saat tindakan bedah dapat merusak tendon muskulus oblik superior,
selubung fasia, saraf troklea atau intratroklea yang mempersarafi kumpulan otot
tersebut. Terlukanya muskulus levator atau aponeurosisnya dapat terjadi selama
insisi atau eksisi pretarsal orbicularis atau ketika insisi septum orbita dan dapat
menyebabkan terjadinya ptosis pada kelopak mata. Topografi anatomi kelopak
mata dan alis mata digambarkan pada gambar 1 dan potongan sagital kelopak
mata atas tampak pada gambar 2. Pada gambar 3, 4, 5, dan 6 digambarkan
masing-masing yaitu muskulus pada periorbital, komponen orbital postseptal,
pendekatan suspensori orbital, dan lipatan kelopak mata atas.5,6

220
Gambar 1. Topografi anatomi kelopak mata dan alis mata6

Gambar 2. Penampang sagital kelopak mata atas6

221
Gambar 3. Muskulus periorbital6

Gambar 4. Kompartemen orbital postseptal6

Gambar 5. Pendekatan suspensori orbital6

222
Gambar 6. Lipatan kelopak mata atas6

2.1.2. Anatomi Kelopak Mata Bawah


Kelopak mata dapat dibagi menjadi lamela. Lamela anterior terdiri dari kulit
dan otot orbikularis okuli. Kulit pada kelopak mata merupakan kulit yang paling
tipis di antara kulit seluruh tubuh, dan ketebalan otot orbikularis bervariasi.
Lamela posterior terdiri dari lempengan tarsal, fasia kapsulopalpebra dan
konjungtiva palpebra. Fasia kapsulopalpebra merupakan bagian dari retraktor
kelopak mata bagian bawah dan merupakan perpanjangan dari otot rektus inferior.
Lamela medial mengacu pada septum orbital.7
Anatomi yang relevan pada kelopak mata bawah antara lain tendon kantus
lateral, sistem drainase lakrimalis, dan muskulus oblik inferior dan hubungannya
dengan jaringan lemak orbital. Anatomi kelopak mata bawah tampak ada gambar
7 di bawah ini.5

Gambar 7. Anatomi kelopak mata bawah7

223
Muskulus oblik inferior berlokasi di antara kompartemen jaringan lemak
medial dan sentral, yang dapat terluka saat pengeluaran yang agresif jaringan
lemak pada area ini. Otot ini berasal dari lateral hingga muara duktus nasolakrimal
dengan beberapa serat yang timbul dari fasia yang menutupi kantung lakrimal.
Oblik inferior yang terletak di bagian belakang dan bergabung dengan lapisan
menuju ke arah permukaan depan muskulus rectus inferior dan membentuk
ligamentum suspensorium Lockwood. Muskulus oblik inferior mengelevasi dan
mengabduksi bola mata, dan ketika mengalami injuri akan berakibat pandangan
diplopia ke arah atas.5
Retraktor kelopak mata bagian bawah (Fasia kapsulopalpebral dan muskulus
tarsal inferior) berlokasi pada bagian posterior bantalan lemak pada kelopak mata
bagian bawah. Struktur ini dapat mengalami kerusakan saat tindakan eksisi lemak
yang tidak tepat.5
Suplai perdarahan pada kelopak mata bagian bawah terdapat banyak
anastomosis antara sistem arteri karotis internal dan eksterna. Arteri-arteri utama
termasuk diantaranya dorsum nasi, angular, infraorbital, fasial transversus,
zygomaticofasial dan palpebra medial. Untuk perspektif tindakan pembedahan,
daerah antara orbital septum dan orbicularis relatif avaskular. Bagaimanapun juga,
tindakan hemostatik yang teliti sangat diperlukan ketika proses diseksi
anteroinferior (seperti pada transposisi lemak) atau posterior (pada prosedur rutin
akses ke kantung lemak).7
Persarafan sensorik kelopak mata bagian bawah berasal dari cabang nervus
infraorbita, cabang terminal bagian maxila dari nervus trigeminal. Persarafan
motorik melalui nervus oculomotorius dan nervus fasial.7

2.1.3. Kompartemen Lemak


Seperti yang disebutkan di atas oleh Bourquet yang menggambarkan dua
kompartemen lemak yang terpisah pada kelopak mata bagian atas, satu terletak di
antara ligamen medial yang melekat pada troklea ke tepi oblik superior.
Kompartemen lemak bagian medial dan kompartemen kedua terletak lebih lateral
dan superior yang terbentang antara troklea dan kelenjar lakrimal merupakan
kompartemen lemak prelevator. Bourquet juga mengidentifikasi 3 kompartemen
lemak pada kelopak mata bagian bawah dipisahkan oleh septum muskulus atau

fibrus.5

224
Baru-baru ini Niechajev dan Ljungqvist menggambarkan lemak periorbita
memiliki variasi individu secara luas, dan ditemukan pada 44% dari pasien
memiliki 3 kompartemen lemak yang terpisah pada kelopak mata bagian atas,
dimana 56% lainnya memiliki lemak sentral yang merupakan ekspansi medial
tambahan dari bantalan lemak lateral. Kompartemen lemak medial pada kelopak
mata bagian atas dan bagian bawah terdiri dari lemak yang sedikit lebih padat,
lebih banyak fibrus, lebih banyak vaskular dan memiliki warna lebih terang
daripada lemak pada bagian kompartemen lainnya.5
Berdasarkan deskripsi dari Bourquet, pada kelopak mata bagian bawah,
kompartemen lemak bagian medial terletak pada ligamen medial dan muskulus
oblik inferior. Di sebelah lateral muskulus oblik inferior, secara anatomi terdapat
kantong lemak yang sangat besar yang dipisahkan menjadi kompartemen sentral
dan lateral oleh ekspansi fasia. Serat arkuata yang membatasi ini terbentang dari
muskulus oblik inferior atau muskulus rektus inferior hingga tepi orbital.
Kompartemen yang lebih kecil di bagian lateral terdapat di antara serat arkuata
dan ligamen lateral, dan merupakan sisi yang paling sering terdapat lemak yang
terpotong tidak sempurna.5
Beard and Berry percaya bahwa hanya terdapat 2 kompartemen lemak pada
kelopak mata bagian bawah yaitu kantong lemak sentral dan lateral. Di sisi lain,
Hugo dan Stone mengemukakan bahwa tidak ada kompartemen sejati pada lemak
intraorbital, berdasarkan studi dimana injeksi zat pewarna dapat menyebar dengan
cepat pada seluruh jaringan lemak. Barker mengulangi percobaan Hugo dan Stone
di ruang operasi dan mendapatkan kesimpulan yang berbeda yaitu mendapatkan 5
kantong lemak yang terpisah pada kelopak mata.5
Dari segi pembedahan, kompartemen lemak memegang peranan penting
hanya jika insisi minimal dilakukan pada septum orbital. Walaupun dengan insisi
yang sangat kecil, jika terdapat cukup lemak yang dibebaskan dari perlekatan
septal yang berdampingan sehingga area pseudoherniasi lebih tampak jelas dengan
penekanan ringan bola mata. Kebanyakan kelalaian akibat pembedahan
(pseudoherniasi lemak residual) merupakan hasil dari insisi orbitoseptal yang

tidak terbentang jauh dari sisi lainnya.5

2.2 Kelainan Kelopak Mata


Secara tradisional, istilah blepharokalasis dan dermatokalasis telah
digunakan untuk kelainan pada kantung mata. Blepharokalasis berasal dari bahasa
Yunani Blepharon yang artinya kelopak mata, dan chalasis yang berarti relaksasi.

225
Istilah ini diciptakan pertama kali oleh Fuchs pada tahun 1896 yang mengacu
terbatas pada kondisi dimana terjadi penyakit secara rekuren karena edema
nonspesifik pada kelopak mata yang menghasilkan penipisan dan kemerahan pada
kulit dibawahnya. Hal ini terjadi pada orang-orang yang menderita beberapa
episode pembengkakan pada kelopak mata yang kemungkinan karena
angioedema, dan menunjukkan tanda penipisan pada kulit kelopak mata bagian
atas, blepharoptosis, lipatan pseudoepikantal dan disinsersi dari tendon lateral.
Blepharokalasis sejati sangat jarang dan terjadi pada wanita usia muda hingga
pertengahan. Dupuis dan Rees mendapatkan bahwa Panneton pada tahun 1936
menghubungkan kejadian ini secara familial. Bergin dkk mengidentifikasi dua
bentuk kelainan, hypertrofi dan atrofi. Hal ini digambarkan juga oleh Collin dan
Jordan mengenai penanganan blepharokalasis secara pembedahan.5
Istilah dermatokalasis diusulkan oleh Fox dan Beard untuk menjelaskan
keadaaan yang secara alami disebut ptosis adiposa oleh Sichel. Istilah awalnya
salah, dimana kulit yang berlebihan dan tidak berguna dimana ada atau tidak ada
hubungannya dengan komponen heniasi lemak. Dermatokalasis kelopak mata
menggambarkan deformitas kosmetik berupa kantong pada kelopak mata.
Dermatokalasis kebanyakan terjadi pada usia pertengahan ketika elastisitas kulit
berkurang sebagai akibat proses penuaan yang menyebabkan kulit kelopak mata
yang berlebihan dan tidak berguna, dimana yang paling banyak terjadi pada
kelopak mata atas dan dapat dikarenakan oleh ptosis dari alis yang menyebabkan
kelainan letak kulit dibawahnya.5

2.2.1. Epidemiologi
Restorasi periorbita aging untuk menjadi lebih segar dan penampilan lebih
muda menjadi salah satu tindakan peremajaan kosmetika daerah wajah yang
paling banyak dilakukan. Blepharoplasty merupakan salah satu dari tindakan yang
sering dilakukan yaitu sekitar 200.000 kasus yang tercatat pada tahun 2014, yang
menempati urutan keempat dari seluruh tindakan. Kebanyakan tindakan yang
dilakukan adalah pembedahan kelopak mata bagian bawah yang berhubungan

dengan lingkaran hitam disekitar mata dan tampak letih.8

2.2.2. Etiologi
Mata merupakan fokus utama saat kita kontak temu dengan orang lain.
Perubahan kecil dapat tampak pada mata. Perubahan yang berhubungan dengan
umur dapat tampak pada sekitar mata. Hilangnya elastisitas dan kekencangan kulit
berhubungan dengan perubahan pada kolagen dan serat elastin, substansi dasar

226
pada kulit yang menyebabkan timbulnya jaringan yang berlebihan dan tidak
berguna pada kelopak mata atas dan kelopak mata bawah. Terdapat penurunan
lemak subkutan. Garis dan kerutan akan tampak pada daerah terutama bagian
ujung lateral mata yang disebut “crow’s feet”. Relaksasi dari jaringan ikat
menyebabkan prolaps lemak. Hal ini bisa terjadi perenggangan yang berlebih pada
septum orbita dan menyebabkan kelemahan aponeurosis levator yang mengarah

ke ptosis.2

2.2.3. Gejala Klinis


Pada tahun 1951, Castanares mendefinisikan elemen dasar dari deformitas
kantung kelopak mata antaralain ptosis alis, jaringan kulit-otot yang berlebihan
dan tidak berguna, pseudoherniasi dari lemak infraorbita dan hipertrofi otot
orbikularis oculi kelopak mata bagian bawah. Seorang pasien dapat memiliki satu
atau lebih masalah tersebut dan dapat mengoreksinya dengan blepharoplasti.5
Beekhuis menjelaskan beberapa abnormalitas yang tidak berespon baik
dengan tindakan blepharoplasti standar antara lain garis tawa atau keriput yang
terbentang dari kantus lateral keluar hingga tepi orbita, kulit keriput halus atau
seperti kertas krep yang merupakan akibat sekunder dari aksi berlebihan otot
orbikularis dan degenerasi aktinik, garis gelap pada kelopak mata bagian bawah
yang disebabkan karena pigmentasi yang berlebihan, dan bantalan pada pipi.
Beberapa hal tersebut dideteksi saat evaluasi yang berhubungan dengan tindakan

pembedahan.5

2.2.4. Diagnosis
Gejala pasien yang menjalani tindakan blepharoplasti bervariasi. Hal ini
didapatkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik sebelum tindakan dilakukan.
Dari anamnesis pasien mengeluhkan perasaan yang berat pada kelopak matanya,
terbatasnya lapangan penglihatan khususnya saat melihat ke atas, kelelahan,
penekanan pada bulu mata, kadang-kadang pandangan terhalang karena bulu
mata, sakit kepala yang berhubungan dengan mengangkat berulang alis mata.
Pada kelopak mata bagian bawah tampak gambaran kelelahan tanpa rasa lelah,
berupa kantung karena prolaps lemak, kerutan dan kulit yang longgar merupakan
keluhan pasien yang menjadi alasan utama untuk mengadakan perubahan dibidang
estetika. Kadang pasien mengeluh ketika mereka melihat ke arah bawah terdapat
sedikit ganjalan di lapangan pandangan, tetapi sering kali pasien datang dengan

keluhan spesifik yaitu menginginkan perubahan pada penampilan mereka.2

227
Pemeriksaan fisik yang dilakukan seharusnya terdiri dari pemeriksaan
lengkap mata termasuk diantaranya pemeriksaan tajam penglihatan, lapang
pandang, mobilitas dan motilitas otot okular, sensasi kornea, penutupan kelopak
mata, dan Shirmer’s Test untuk mengeliminir mata kering. Pada Shirmer’s Test
konjungtiva diberikan anestesi dengan tetes mata paracain. Alat strip Shirmer’s
Test diletakkan di lateral inferior mata. Basah pada strip kurang dari 10mm dalam
waktu 5 menit menunjukkan kondisi mata kering. Pemeriksaan khusus untuk
blepharoplasti seharusnya dilakukan dengan posisi duduk. Hal-hal yang harus
didokumentasikan dengan baik antara lain adanya ptosis pada alis, ukuran celah
pada kelopak mata atas, jumlah kulit yang berlebihan, herniasi lemak dan kelenjar
air mata, dan adanya tumor kulit pada kelopak mata. Adanya ptosis pada kelopak
mata bagian atas harus diketahui. Pada kelopak mata bagian bawah harus
diperhatikan khususnya elastisitas kelopak mata dengan melakukan snap test
untuk memastikan diperlukannya pengencangan secara horisontal. Tes ini
dilakukan dengan menarik kelopak mata bagian bawah sejauh lebih dari 6mm dari
bola mata, hal ini menggambarkan kelemahan kelopak mata bagian bawah. Perlu
diukur penampakan sklera dan kelopak mata bagian bawah. Hal yang perlu
diperhatikan pula vektor atau orbit yang negatif atau positif. Pada tampilan secara
lateral, sebuah garis ditarik dari tepi supraorbita ke tepi infraorbita yang
menyentuh kornea. Apabila kornea terdapat dibelakang garis tersebut, hal ini
disebut vektor positif seperti enophtalmus. Ketika kornea terdapat di anterior garis
tersebut dan tampak mata yang prominen serta terdapat kedudukan bola mata
yang tidak baik, hal ini disebut vektor negatif. Diskusi dengan pasien tentang
tindakan yang akan dilakukan yang berhubungan dengan hasil dan komplikasi
tindakan harus dilakukan dengan detail. Sebuah foto sebelum tindakan harus

dilakukan.2

2.2.5. Penatalaksanaan
Mata merupakan bagian penting dari estetika pada wajah yang memegang
peranan penting dalam penampilan untuk tampak lebih muda. Blepharoplasti
mengacu pada eksisi kulit dan otot kelopak mata yang berlebihan dengan atau
tanpa eksisi dan manipulasi pada lemak orbita untuk tujuan estetika.
Blepharoplasti dilakukan untuk meningkatkan penampilan pasien. Oleh karena
itu, motivasi dan ekspektasi dari pasien harus dipahami lebih mendalam.2,9

228
2.3 Blepharoplasti
Tujuan utama dari tindakan blepharoplasti adalah mencapai bentuk alis
sesuai level yang tepat, rapi, kelopak mata tampak tersamar dari jaringan parut
yang terbatas dan tonjolan lemak yang terkoreksi tanpa menciptakan mata yang
sangat lebar. 2

Adapun indikasi dari tindakan blepharoplasti antara lain :10


3. Blepharoplasti kelopak mata atas
Fungsional
Kosmetik
Keduanya
4. Blepharoplasti kelopak mata bawah
Dermatokalasis
Hipertrofi orbikularis
Sklera terlihat
Negative vector
Lower eyelid laxity
Ektropion
Entropion
Tear through deformity
Double convexity deformity
Festoons
Malar mounds or bags

2.3.1 Blepharoplasti Kelopak Mata Atas


Variasi dari blepharoplasti kelopak mata atas antara lain eksisi kulit saja,
eksisi kulit dan eksisi parsial dari lipatan lemak yang berlebih, koreksi ptosis
dengan blepharoplasti serta koreksi ptosis pada kelenjar lakrimal.2
Adapun tahapan prosedur tindakan blepharoplasti kelopak mata atas sebagai
berikut: dilakukan penandaan dengan marker pada saat pasien belum teranastesi,
dan posisi pasien duduk. Pada orang Asia ditentukan dahulu apakah akan
dilakukan single eyelid fold atau double eye lid fold. Pembiusan dilakukan dengan
sedasi maupun anestesi umum tergantung usia, kontra indikasi untuk pembiusan
dalam narkose umum atau tidak. Desinfektan dengan larutan antiseptik dan
lapangan operasi di persiapkan dengan linen steril. Dilakukan infiltrasi dengan
xylokain 2%, 1:100.000 epinefrin dalam spuit 1 ml dan jarum no. 27, diantara
kulit dengan otot pada kelopak mata atas untuk menghindari hematoma. Setelah

229
penandaan dan infiltrasi sempurna dilakukan insisi sesuai penandaan dan
perencanaan gambar. Lipatan supratarsal ditandai sebagai garis kurva 9-10mm di
atas tepi kelopak mata pada pertengahan garis pupil. Pada tepi medial dan
lateralnya seharusnya sekitar 7 mm di bawah tepi kelopak mata. Pada beberapa
pasien, kadang diperlukan sedikit pengambilan dari ototnya. Eksisi lemak
dilakukan pada pasien-pasien yang memiliki kelopak mata yang prolaps, yang
diawali dengan mengidentifikasi orbital septum, yang berada dibawah m.
orbikularis okuli dan memiliki kantong lemak medial dan sentral. Lebih baik
mengangkat lemak daerah sentral dahulu diikuti daerah medial. Sebelum diangkat,
lemak disuntik dahulu dengan lokal anestesi sebelum diklem menggunakan
hemostat kecil, kemudian dikauter. Lemak yang diambil hanya lemak yang mudah
muncul pada permukaan luka. Pengambilan lemak yang berlebihan menyebabkan
retraksi kelopak mata dan tepi orbita yang “overhang”. Setelah diyakinkan tidak
terdapat perdarahan, maka dilakukan penjahitan dangan menggunakan prolene 6-
0. Luka ditutup dengan kassa dan plaster. Muskulus orbikularis seharusnya ikut
serta saat menjahit kulit, membuat otot orbikularis dan kulit segaris. Celah
kelopak mata atas didekatkan dengan aponeurosis levator dengan otot orbikularis
dan kulit sekitar tepi tarsal bagian atas. Pada gambar 8 hingga 10 masing masing
digambarkan pasien dengan kelopak mata atas yang menggantung, marking pada
kelopak mata atas, pendekatan kembali otot levator yang dehiscence, dan pasien

dengan blepharoplasti kelopak mata atas dengan koreksi ptosis.2,10

(A) (B)
Gambar 8. (A). Pasien dengan kelopak mata atas yg menggantung
(B). Marking pada kelopak mata atas

230
Gambar 9. Pendekatan kembali otot levator yang dehiscence

Gambar 10. Blepharoplasti kelopak mata atas dengan koreksi ptosis

2.3.2 Blepharoplasti Kelopak Mata Bawah


Blepharoplasti kelopak mata bawah dapat meremajakan dan mengembalikan
penampilan menjadi awet muda. Prinsip dasar blepharoplasti kelopak mata bawah
antara lain untuk mengurangi jumlah kulit dan jaringan lemak yang berlebihan,
mengurangi kelemahan horisontal, dan seharusnya sklera pada bagian inferior
tidak tampak. Blepharoplasti kelopak mata bawah dapat dilakukan dibawah lokal
anestesi, tetapi kebanyakan para ahli bedah memilih anestesi umum karena injeksi
anestesi lokal kedalam kelopak mata bagian bawah dapat mengaburkan anatomi
dari jaringan lunak.2
Pasien yang ideal untuk dilakukan tindakan blepharoplasti kelopak mata
bawah (gambar 11 dan 12) adalah pasien yang sehat dan memiliki alasan
ekspektasi yang kuat dan dengan temuan klinis yang mudah untuk dikoreksi
secara pembedahan. Biasanya diawali dengan menentukan motivasi dan harapan
dari pasien. Tindakan blepharoplasti kelopak mata bawah dapat mengoreksi
pseudoherniasi lemak orbita, kulit dan lemak yang berlebih, mild festooning, dan
deformitas saluran air mata. Apabila fokus utama pasien pada kulit pigmentasi,
fine rhytids, dan kantung malar yang besar, ahli bedah harus menjelaskan bahwa
blepharoplasti bukan tindakan yang tepat. Pseudoherniasi lemak orbita dan

231
dermatokalasis merupakan alasan paling banyak pada pasien yang melakukan

tindakan blepharoplasti kelopak mata bagian bawah.7

Gambar 11. Blepharoplasti kelopak mata bawah

Gambar 12. (A) Kandidat yang baik untuk blepharoplasti


18. Kandidat yang buruk untuk blepharoplasti
Pemeriksaan kelemahan kelopak mata memerlukan perhatian khusus,
apabila kelemahan kelopak mata ini luput dari pemeriksaan preoperatif maka
dapat menyebabkan hasil yang tidak memuaskan pasien dan menimbulkan
komplikasi post operatif. Kelemahan kelopak mata dapat dievaluasi dengan dua
tes klinis yaitu snap test dan distraction test (Gambar 13). Snap test
menggambarkan stabilitas kantus dan kekuatan orbikularis dan tarsal. Tes ini
dilakukan dengan menarik secara lembut kelopak mata bawah terhadap tepi orbita
kemudian melepaskannya. Sklera yang tampak jelas atau kembali lambat ke posisi
istirahat (lebih dari satu detik) mengindikasikan jaringan pendukung kelopak mata
yang buruk. Distraction test dikerjakan dengan menggenggam kelopak mata
bawah dan menariknya menjauhi bola mata, bila lebih dari 10mm menunjukkan
jaringan pendukung kelopak mata yang buruk. Apabila snap test dan distraction
test positif, merupakan kegagalan memenuhi jaringan pendukung kelopak mata

sehingga dapat menyebabkan ektropion, epifora, atau keratitis karena pajanan.7

Gambar 13. (A). Snap Test (B). Distraction Test

232
Pada prosedur tindakan pembedahan kosmetik, fotografi dan informed
consent sangat penting. Fotografi standar (Gambar 14) yang dilakukan untuk
tindakan pembedahan kelopak mata antara lain foto seluruh wajah dan foto jarak
dekat. Foto jarak dekat seharusnya ditampilkan dari tepat di bawah alis mata
hingga ke level ala nasi. Foto jarak dekat harus menampakkan dari arah frontal,
frontal dalam posisi pandangan ke atas, frontal dengan mata tertutup, arah oblik
bilateral, dan profil bilateral. Foto seluruh wajah arah frontal dan oblik bilateral
juga diperlukan.7

Gambar 14. Foto standar untuk tindakan blepharoplasti7

Adapun tahapan tindakan blepharoplasti kelopak mata bawah antara lain:


sayatan dengan pendekatan transkonjungtival, transkutaneus ataupun kombinasi
seperti transkonjungtival untuk reposisi atau eksisi jaringan lemak, memperketat
kantus lateral, dan peremajaan secara laser resurfacing atau chemical peel.2,10

Pendekatan Transkonjungtival
Blepharoplasti transkonjungtival ideal dilakukan pada pasien usia muda (15-
35 tahun) tanpa adanya kelainan lamela anterior, dan pasien yang tidak ingin
terlihat jaringan parut atau dengan mata berkantung, bengkak dan lingkaran hitam
di bawah mata tanpa adanya kulit keriput dan pada pasien dengan hipertiroid.
Tindakan ini dapat dikombinasi dengan peremajaan kulit. Pendekatan
transkonjungtival (Gambar 15) dapat dibagi menjadi 2 yaitu pendekatan preseptal
dan pendekatan postseptal. Pendekatan preseptal (Gambar 16) meliputi diseksi

233
inferior area avaskular diantara septum orbita dan muskulus orbikularis oculi.
Pendekatan postseptal lebih langsung berhubungan dengan lemak orbita melalui
konjungtiva dan retraktor kelopak mata bawah yang dekat dengan fornik

konjungtiva.2,7

Gambar 15. Sebelum dan sesudah blepharoplasti transkonjungtival.7

234
Gambar 16. Pendekatan transkonjungtiva preseptal

Gambar 17. Pendekatan transkonjungtiva postseptal


Setelah pasien tersedasi, tetrakain topikal 2% diberikan pada fornik
inferior kedua mata. Anestesi lokal kemudian diinjeksikan di daerah
subkonjungtival pada kelopak mata bawah. Setelah anestesi terpenuhi digunakan
hook dobel yang tajam untuk merenggangkan kelopak mata bawah. Kauter bipolar
dapat digunakan untuk insisi untuk secara konservatif mengkauter sisi sentral
konjungtiva. Sebuah insisi pada konjungtiva dibuat sepanjang 2mm di inferior
tarsus. Kemudian konjungtiva dibuka ke arah lateral dan medial. Retraktor
kelopak mata inferior terpotong secara tajam dengan sebuah gunting kecil.
Konjungtiva dan otot retraktor inferior kemudian dijahit dengan benang 5.0 untuk
menyediakan proteksi dan traksi kornea. Kemudian muskulus orbikularis okuli
dipisahkan dari septum orbita inferior ke tepi orbita. Ahli bedah seharusnya
mengamati lebih dekat foto preoperatif dan temuan intraoperatif untuk mengetahui

lokasi yang tepat untuk insisi septum dan pendekatan ke bantalan lemak orbita.7

235
Gambar 18. Pendekatan transkonjungtival preseptal
A. Kauter bipolar digunakan untuk kauterisasi pada bidang insisi,
B. Retraksi pada flap konjungtiva menyebabkan kontertraksi dan proteksi
kornea,
C. Pseudoherniasi lemak secara lembut diambil, dikauter dan dipotong
D. Tahap akhir reseksi lemak, kulit ditarik ke arah inferior limbus

Pendekatan Transkutaneus (skin-muscle flap)


Pendekatan transkutaneus (Gambar 19) diindikasikan pada pasien-pasien
dengan kelainan lamela anterior, dan biasanya pada orang tua dengan kulit, otot
atau keduanya pada kelopak mata yang berlebihan. Para ahli bedah menghindari
teknik ini karena memiliki risiko pasca bedah yang lebih tinggi yaitu terjadinya
abnormalitas posisi kelopak mata.7,10
Setelah anestesi yang tepat, infiltrasi lokal anestesi dilakukan ke dalam
muskulus orbikularis okuli. Insisi kulit dilakukan dengan ukuran 2mm di inferior
hingga tepi kelopak mata bawah. Insisi meluas dari tepat dibawah punktum
kelopak mata bawah yang hingga posisi 6mm di lateral hingga lateral kantus
(Gambar 20). Kemudian dengan gunting bengkok dilakukan untuk menyisihkan
muskulus orbikularis pada sisi lateral insisi. Gunting tumpul diposisikan
dibelakang muskulus pada lateral insisi, kemudian dilakukan elevasi skin-muscle
flap pada septum orbita (Gambar 21). Diseksi dilakukan pada tepi orbita inferior
menuju inferior kemudian superior dari insisi. Insisi subsiliar kemudian dilakukan
dengan gunting secara miring untuk menjaga bagian pretarsal dari muskulus

236
orbicularis oculi sehingga pada akhirnya meminimalisir risiko postoperatif

malposisi pada kelopak mata bawah.7


Akses menuju kompartemen lemak orbita diperoleh melalui celah kecil di
area septum orbita. Palpasi yang lembut pada bola mata pada herniasi lemak
orbita melalui celah tersebut. Kauter bipolar digunakan untuk mengkauterisasi
untuk eksisi bantalan lemak. Prosedur ini dapat dilakukan untuk kompartemen
lemak lateral, tengah dan medial. 7
Ketika transposisi lemak dilakukan, insisi di daerah inferior infraorbita
dilakukan dan suatu kantung dibentuk pada daerah supraperiosteal dari alur
nasojugal. Celah kecil dibuat pada septum orbita untuk mencapai akses kantung
lemak medial. Setelah terisolasi akan ditransposisi melalui tepi orbita pada daerah
suborbikularis untuk menghapus jaringan lunak yang depresi. Lemak yang telah
transposisi kemudian dijahit pada periosteum dengan menggunakan benang yang
dapat diserap 6-0. (Gambar 22).7
Pada proses penyelesaian reseksi lemak atau transposisi lemak, skin-muscle
flap direposisi terlebih dahulu. Pada pasien yang teranestesi, tekanan satu jari pada
bagian medial daerah melolabial untuk menciptakan efek regang yang maksimal.
Jika pasien sadar, pasien diminta membuka mulut dan melihat ke atas. Kemudian
insisi pada segmen inferior dilakukan langsung pada kantus lateral untuk
menentukan besarnya kulit yang berlebihan yang akan dipotong. Jahitan yang kuat
digunakan untuk mempertahankan posisi skin-muscle flap, jaringan kulit yang
berlebihan dipotong. Sekitar 1-2mm otot direseksi untuk mencegah tumpang
tindih dari otot dan jaringan yang berlebih yang berhubungan dengan insisi
subsiliar. Muskulus orbikularis oculi kemudian dijahit dengan periosteum di

sebelah tepi lateral orbital dengan monokril 5-0 (Gambar 23).7

237
Gambar 19. Sebelum dan sesudah blepharoplasti skin-muscle flap

Gambar 20. Blepharoplasti Skin-muscle flap A. Tanda preoperatif, B. Insisi

A B
Gambar 21. A. Elevasi skin-muscle flap saat blepharoplasti
B. Upaya menjaga bagian pretarsal muskulus orbikularis
selama skin-muscle flap blepharoplasti

238
Gambar 22. Skin-muscle flap blepharoplasti.
A. Reseksi lemak. B. Transposisi lemak

Gambar 23. Pendekatan skin-muscle flap. A. Penekanan dengan 1 jari


pada daerah melolabial. B. Tindakan memangkas Skin flap. C. Penjahitan
suspensi orbikularis. D. Mendekatkan kembali insisi eksternal

2.3.3 Komplikasi
Kebanyakan komplikasi terjadi disebabkan karena kurangnya pemeriksaan
dan konseling preoperatif. Komplikasi yang disebabkan karena kurangnya
pemeriksaan preoperatif antara lain ptosis alis dan blepharoptosis, prolaps kelenjar
lakrimal, sklera bagian bawah yang tampak dan kelemahan kelopak mata bagian
bawah. Ptosis alis seharusnya dikoreksi sebelum tindakan blepharoplasti.2
Secara umum berdasarkan waktu terjadinya komplikasi dapat dibagi
menjadi 3 (Gambar 24) yaitu komplikasi segera setelah postoperatif (minggu

239
pertama) diantaranya abrasi kornea dan perdarahan retrobulbar yang mengancam
penglihatan. Yang kedua saat periode intermediate (antara minggu 1 dan minggu
4. berupa malposisi dari kelopak mata atas dan bawah, strabismus, kornea
terekspos, dan epifora. Yang ketiga yaitu periode komplikasi lambat (setelah
minggu ke 6) antara lain perubahan tingginya kelopak mata sehingga asimetris,
terbentuknya jaringan parut dan edema yang persisten.11
Komplikasi blepharoplasti kelopak mata atas antara lain asimetris,
perdarahan, infeksi, ekimosis subkonjungtival, lagopthalmus, jaringan parut, buta,
kemosis, hematoma. Komplikasi blepharoplasti kelopak bawah antara lain
retroorbital hematom, mata kering, kemosis, ektropion, milia, penglihatan kabur,
infeksi, preseptal hematom, epifora, asimetris. Komplikasi karena cederanya
muskulus oblik internal bisa menyebabkan diplopia. Hematoma retrobulbar
merupakan pembedahan emergensi yang menyebabkan kerusakan iskemik pada
nervus optikus, retina dan arteri sentralis, dimana hal ini dapat menyebabkan
kebutaan dan memerlukan dekompresi segera dengan melepaskan kembali jahitan
khususnya pada kantus lateral atau kantotomi lateral. Manitol dan asetazolamid
dapat digunakan dalam membantu dekompresi. Sklera yang tampak disebabkan
karena over koreksi yang dapat mengakibatkan keratopati akibat pajanan dengan
mata kering.2,7,8,9,10

Gambar 24. Perdarahan retrobulbar menyebabkan ekimosis


setelah transkutaneus blepharoplasti (kiri)
Perdarahan retrobulbar pada pasien dengan hipertensi (kanan)

240
Gambar 25. Komplikasi pada blepharoplasti berdasarkan waktu11

4. PEMBAHASAN
Mata merupakan fokus utama saat kita bertatap muka dengan orang lain.
Mata merupakan bagian paling penting dari estetika wajah karena memegang
peranan penting menentukan kemudaan. Perubahan yang kecil akan tampak pada
mata. Perubahan yang berbeda-beda yang berhubungan dengan umur akan tampak
pada sekitar mata. Blepharoplasti mengacu pada eksisi kulit dan otot yang
berlebihan dengan atau tanpa eksisi dan manipulasi pada lemak orbita untuk
kepentingan estetika.2,9
Blepharoplasti kelopak mata bawah seringkali dianggap sebagai peremajaan
wajah, dan masih sering diperdebatkan pendekatan mana yang terbaik.
Dipopulerkan pada tahun 1970 oleh Rees setelah inovasi dari McIndoe, skin-
muscle flap banyak dilakukan hingga tahun 1990 karena lebih mudah dilakukan,
dan lebih efektif. Adapun komplikasi pada orbita jarang, atrofi pada orbicularis
oculi, malposisi kelopak mata bawah dan ektropion sangat jarang. Hal ini
mengarahkan kepada pendekatan transkonjungtival oleh Bourquet yang menjadi

populer tahun 1990 oleh Resnik.9

241
Blepharoplasti merupakan tindakan pembedahan yang paling sering
dilakukan di dunia dan memiliki tujuan utama untuk mempertahankan
keremajaan, fungsi dan kosmetik pada daerah periorbital. Dari suatu penelitian
tahun 2007 hingga 2009 ini didapatkan bahwa blepharoplasti merupakan suatu
prosedur dengan tingkat kepuasan yang tinggi dan dengan angka kejadian
komplikasi yang rendah, dan tindakan ini disebutkan sebagai tindakan yang baik
dengan indikasi yang tepat. Disebutkan pula bahwa untuk mendapatkan hasil yang
baik, sangat penting dilakukan evaluasi preoperatif yang teliti, mengedukasi
pasien keuntungan dan keterbatasan dari tindakan dan juga menjelaskan
pendekatan mana yang dipilih sesuai dengan karakteristik masing-masing
pasien.12
Tindakan blepharoplasti kelopak mata bawah menggunakan pendekatan
transkonjungtival ataupun dengan pendekatan transkutaneus dengan indikasi
terbatas yang sesuai pada masing-masing pendekatan tersebut. Pada suatu studi
tahun 2015 oleh Rancati dkk, pada 177 pasien yang menjalani blepharoplasti
kelopak mata bawah, dimana 42% pasien menjalani pendekatan transkonjungtival
dan 58% pasien menjalani pendekatan transkutaneus, didapatkan bahwa
pendekatan transkonjungtival memerlukan waktu pembedahan yang lebih sedikit
dibandingkan dengan pendekatan transkutaneus serta menjamin bahwa terjadinya
sedikit trauma pada struktur anatomi dan memberikan akses langsung ke lapangan
operasi. Rata-rata waktu pendekatan transkonjungtival sekitar 45 menit sedangkan
pendekatan transkutaneus sekitar 60 menit. Pendekatan transkonjungtival
dikatakan dapat menghindari penjahitan dan jaringan parut ada kulit yang dapat
mengakibatkan retraksi dan ektropion, serta penyembuhan postoperatif dikatakan
lebih cepat. Selain itu disebutkan pula bahwa persentase terjadinya komplikasi
lebih rendah dan kepuasan pasien yang tinggi pada pasien dengan pendekatan

transkonjungtival.13

Komplikasi yang terjadi sangat jarang, dan bila terjadi biasanya komplikasi
ringan dan transisional seperti perdarahan dan kemosis. Kadang kala komplikasi
bisa bersifat tetap berupa kebutaan atau komplikasi lainnya yang memerlukan
tindakan koreksi tambahan seperti ektropion dan ptosis kelopak mata. Sebuah
penelitian oleh Patronicio dkk pada tahun 2007 hingga 2009 pada 200 orang yang
menjalani blepharoplasti dengan pendekatan transcutaneus didapatkan rata-rata
usia pasien 44,5 tahun (35-60 tahun), lebih banyak pada wanita sekitar 81%, dan
komplikasi yang terjadi sekitar 9,5% (19 pasien) diantaranya 1 hematoma, 12
kasus kemosis, 13 pasien menjalani kantoplasti, 6 pasien dengan malposisi

242
kelopak mata bagian bawah (5 retraksi dan 1 ektropion). Komplikasi lainnya yang
jarang terjadi yaitu terjadinya necrotizing fasciitis yang dilaporkan oleh Suner
tahun 1999, pada wanita berusia 74 tahun dengan riwayat diabetes melitus yang
menjalani tindakan blepharoplasti kedua kelopak mata atas. Dimana kejadian ini
merupakan suatu infeksi yang fatal dan memerlukan deteksi dini dan terapi yang
agresif.12,14

IV. KESIMPULAN
Blepharoplasti kelopak mata bagian bawah merupakan salah satu yang
paling banyak dilakukan pada tindakan bedah plastik. Tidak seperti pembedahan
pada kelopak mata atas, pembedahan pada kelopak mata bawah memiliki batas
yang sempit untuk terjadinya kesalahan dan memiliki kemungkinan besar untuk
terjadinya komplikasi.
Untuk mendapatkan hasil yang baik, sangat penting dilakukan evaluasi
preoperatif yang teliti, mengedukasi pasien keuntungan dan keterbatasan dari
tindakan dan juga menjelaskan pendekatan mana yang dipilih sesuai dengan
karakteristik masing-masing pasien.

243
DAFTAR PUSTAKA

1. Malekzadeh A, Rajabi MT, Mohammadi SZ. Lower lid blepharoplasty: comparing fat
reposition with fat removal based on orbital vector in patients referred to Farabi eye
hospital in 2013. Int. J. Pharm. Res. Allied Sci. 2016; 5: 168-73.
2. Subramanian N. Blephararoplasty. Indian J Plast Surg Supplement. 2008; 41: s88-92.
3. Rizk SS, Matarasso A. Lower Eyelid Blepharoplasty: Analysis of Indication and the
Treatment of 100 Patients. Plast. Reconstr. Surg. 2003; 111: 1299-1306.
4. Tonnard PL, Verpaele AM, Zeltzer AA. Augmentation Blepharoplasty: A Review of
500 Consecutive Patients. Aesthetic Surgery Journal. 2013; 33: 341-52.
5. Hodges PL. Blepharoplasty and Brow Lift. SRPS. 1994; 7: 1-22.
6. Sykes JM, Magill CK. Upper Eyelid Blepharoplasty. Dalam: Johnson JT, Rosen CA,
penyunting. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. China: Lippincott
Williams & Wilkins. 2014; 2: 3074-84.
7. Perkins SW. Prishmann J. Lower Eyelid Blepharoplasti. Dalam: Johnson JT, Rosen CA,
penyunting. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. China: Lippincott
Williams & Wilkins. 2014; 2: 3085-3102.
8. Smith CB, Waite PD. Lower Transcutaneus Blepharoplasty. Atlas OralMaxillofacial
Surg Clin N Am. 2016; 24: 135-45.
9. Kanaphaty M, Kirkpatrick N. Facial Aesthetic Surgery. Dalam: Kalaskar DM, Butler
PE, Ghali S, penyunting. Textbook of Plastic & Reconstructive Surgery. London: UCL
Press. 2016; 346-73.
10. Modul Plastik Rekonstruksi. Kelainan Kantung Mata (Blepharoplasti). Kolegium Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. 2015.
11. Lelli GJ, Lisman RD. Blepharoplasty Complication. Plast. Reconstr. Surg. 2010; 125:
1007-17.

12. Patrocinio TG, Loredo BA, Arevalo CE, Patrocinio LG, Patronicio JA. Complications
in blepharoplasty: how to avoid and manage them. Braz J Otorhinolaryngol. 2011; 77:
322-7.

13. Rancati A, Jacovella P, Zampieri AE, Dorr J, Daniele M, Liedtke S, dkk. Lower
Blepharoplasty Review, Transconjungtival vs. Transcutaneous Approach. Modern
Plastic Surgery. 2015; 5: 1-8.

14. Suner IJ, Meldrum ML, Johnson TE, Tse DT. Necrotizing Fasciitis After Cosmetic
Blepharoplasty. Am J Ophthalmol. 1999; 128: 367-68.

244
PSEUDOANGINA LUDOVICI DENGAN KOMPLIKASI MEDIASTINITIS AKUT DAN
PERIKARDITIS BAKTERIAL
Oleh
I Ketut Suanda
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar

1. PENDAHULUAN
Angina ludovici merupakan peradangan akut, selulitis pada ruang
submandibular dan sublingual bilateral serta ruang submental. Angina ludovici
pertama kali ditemukan oleh Wilheim Frederick Von Ludwig pada tahun 1836.
Pseudoangina ludovici merupakan kelanjutan dari angina ludovici apabila terdapat
fluktuasi yang dapat mengakibatkan komplikasi yang serius seperti obstruksi jalan
nafas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis dan kompresi hingga ruptur arteri
karotis interna. Pseudoangina ludovici ini disebabkan infeksi odontogenik.1
Komplikasi yang sering terjadi adalah sumbatan jalan nafas, penjalaran infeksi
dan abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum serta sepsis yang menyebabkan
semakin sulitnya penanganan dan bahkan dapat menyebabkan terjadinya kematian.
Komplikasi yang lainnya meliputi asfiksia yang disebabkan oleh edema pada soft
tissue leher, infeksi dinding karotis, ruptur arteri, tromboflebitis supuratif dari vena
jugularis, mediastinitis akut, empisema, efusi pleura, osteomeilitis mandibular,
perikarditis akut dan aspirasi pneumonia.1,2
Mediastinitis akut merupakan salah satu komplikasi dari infeksi abses leher
dalam yang menjadi tantangan di dunia kedokteran. Meskipun saat ini penggunaan
antibiotik telah meluas, namun infeksi ini dapat menyebabkan angka kematian sampai
40%. Kesalahan penatalaksanaan cenderung mengakibatkan keparahan dan perluasan
infeksi yang progresif. Pencegahan progresifitas proses infeksi ini menjadi tujuan

yang utama.3,4
Perikarditis akut adalah salah satu bentuk penyakit perikardium yang tersering.
Perikarditis dapat secara mudah terjadi akibat penyebaran infeksi dari mediastinum,
karena struktur perikardium yang melekat pada berbagai titik seperti sternum,
diafragma, pembuluh darah besar serta mediastinum anterior sendiri.5 Mediastinitis
akut dan perikarditis akut yang purulen adalah sebuah kondisi serius dan memiliki
angka mortalitas yang tinggi, dimana diagnosis dan tatalaksana cepat akan mampu
menyelamatkan nyawa.5,6 Berikut dilaporkan satu kasus pseudoangina ludovici pada
laki-laki usia 23 tahun dengan komplikasi mediastinitis akut dan perikarditis bakterial.

245
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia
servikalis. Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrosus yang
membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi
beberapa ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi tiga bagian yaitu fasia
servikalis superfisialis, media dan fasia servikalis profunda. Ketiga fasia ini
dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma
sebelah inferior berasal dari fasia servikalis profunda dan klavikula serta meluas ke

superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.1,2,

Gambar 1. Anatomi fasia dan ruang leher dalam

Fasia servikalis superfisial terletak tepat di bawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke
arah thoraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia
servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial,
saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.1,2
Ruang potensial leher dibagi menjadi ruang yang melibatkan seluruh leher, ruang
suprahioid dan ruang infrahioid. Ruang yang melibatkan seluruh leher terdiri dari ruang
retrofaring, ruang bahaya atau danger space, ruang prevertebra dan ruang vascular
visceral. Di bagian posterior ruang retrofaring terdapat danger space, disebut demikian
karena berisi jaringan ikat longgar sehingga resistensinya kecil terhadap penyebaran
infeksi dan berjalan mulai dari dasar tengkorak hingga ke diafrgama. Ruang prevertebra
terletak di antara otot-otot prevertebra dan fasia prevertebra. Infeksi di sini dapat

menerobos ke lateral atau inferior ke dalam mediastinum posterior. 1,2,7

Ruang visceral vaskular adalah ruang potensial dalam carotid sheath.


Sebagaimana halnya ruang prevertebra, ruang visceral vaskular adalah ruangan yang

246
cukup tertutup, mengandung sedikit jaringan ikat dan resisten terhadap penyebaran
infeksi. Ruangan ini berada mulai dari dasar tengkorak hingga ke mediastinum dan
menerima kontribusi dari seluruh tiga lapisan fasia profunda dan dapat menjadi
tempat infeksi sekunder yang menyebar langsung dari ruang-ruang lain di leher.
Ruang suprahioid berada di atas tulang hioid, terdiri dari ruang submandibula,
ruang parafaring, ruang parotis, ruang peritonsil, ruang mastikator dan ruang
temporalis. Ruang infrahioid merupakan ruang potensial yang ada di bawah tulang
hioid. Area ini dibungkus oleh lapisan media dari fasia servikalis profunda dan
mengandung kelenjar tiroid, esofagus dan trakea. Ruang potensial ini meliputi bagian
anterior dari leher mulai dari kartilago tiroid sampai superior mediastinum setinggi
vertebra ke empat dekat arkus aorta.7
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual, submaksila dan submental.
Ruang submandibula terletak di anterior dari ruang parafaring, sebelah inferior
berbatasan berbatasan dengan lapisan superfisial fascia servikalis profunda, meluas
dari os hyoid sampai ke mandibula, bagian inferiornya berbatasan dengan korpus
mandibula dan bagian superior dengan mukosa dari dasar mulut. Ruang submandibula
terdiri dari ruang sublingual bagian superior dan bagian inferior ruang submaksila,

yang dipisahkan oleh m. milohyoideus.2,7

Gambar 2. Ruang-ruang potensial di daerah leher

Ruang sublingual dengan ruang submental dan submaksila dipisahkan oleh m.


milohyoideus. Ruang sublingual dibatasi oleh mandibula di bagian lateral dan
anterior, pada bagian inferior oleh m. milohyoideus, di bagian superior oleh dasar
mulut dan lidah, dan di posterior oleh tulang hioid. Di dalam ruang sublingual
terdapat kelenjar liur sublingual, nervus hipoglossus beserta duktusnya (duktus
Whartons). Ruang submental di anterior dibatasi oleh fasia leher dalam dan kulit
dagu, di bagian lateral oleh venter anterior m. digastrikus, di bagian superior oleh

247
m.milohioid, di bagian inferior oleh garis yang melalui tulang hyoid. Di dalam ruang

submental terdapat kelenjer limfa submental.7

Gambar 3. Anatomi dari ruang submandibula

Ruang maksila bagian superior dibatasi oleh m. milohioid dan m. hipoglossus.


Batas inferiornya adalah lapisan anterior fasia leher dalam, kulit leher dan dagu. Batas
medial adalah m.digastrikus anterior dan batas posterior adalah m.stilohioid dan
m.digastrikus posterior. Di dalam ruang submaksila terdapat kelenjar liur submaksila
atau submandibula beserta duktusnya. Kelenjar limfa submaksila atau submandibula
beserta duktusnya berjalan ke posterior melalui tepi m.milohioid kemudian masuk ke
ruang sublingual. Akibat infeksi pada ruang ini mudah meluas dari satu ruang ke
ruang lainnya seperti parafaring sebanyak 38,4%, diikuti oleh angina ludovici

sebanyak 12,4%, parotis sebanyak 7% dan retrofaring sebanyak 5,9%.8,9

Di dalam ruang sublingual terdapat kelenjar liur sublingual dengan duktusnya


yang bermuara di dasar mulut. Ruang submental letaknya berbatasan di sebelah
anterior dengan lapisan anterior fasia leher dalam kulit dagu, sebelah lateral dengan
m.digastrikus anterior, sebelah superior dengan m.milohioid dan sebelah inferior
dengan tulang hioid. Didalamnya terdapat kelenjar limfe submental.
Ruang submaksila letaknya berbatasan sebelah medial dengan m.digastrikus
anterior, sebelah posterior dengan m.stilohioid dan m.digastrikus posterior, sebelah
superior dengan m.milohioid dan m.hioglosus serta sebelah inferior dengan lapisan
anterior fasia leher dalam, kulit leher dan dagu. Didalamnya terdapat kelenjar liur
submaksila atau submandibula dengan duktusnya yang berjalan ke posterior, melalui
tepi posterior m.milohioid masuk ke ruang sublingual. Infeksi pada ruang
submandibular ini menyebar hingga bagian superior dan posterior, yang
mengakibatkan peninggian dasar mulut dan lidah. Tulang hioid membatasi
penyebaran ke inferior, sedangkan pembengkakan dapat menyebar hingga bagian
anterior leher, menyebabkan distorsi dan gambaran bull neck.7

248
2.2 Definisi
Pseudoangina ludovici dapat merupakan kelanjutan dari angina lodovici,
dimana terdapat fluktuasi pada perabaan. Angina ludovici adalah infeksi ruang
submandibula berupa selulitis yang menyebar dengan cepat, potensial menyebabkan
kematian, yang mengenai ruang sublingual dan submandibular. Umumnya, infeksi
dimulai dengan selulitis, kemudian berkembang menjadi fasialitis dan akhirnya
berkembang menjadi abses yang menyebabkan indurasi suprahioid, pembengkakan
pada dasar mulut dan elevasi serta perubahan letak lidah ke posterior. Wilheim
Frederick Von Ludwig pertama kali mendeskripsikan angina ludovici ini pada tahun
1836 sebagai gangrenous cellulitis yang progresif yang berasal dari regio kelenjar

submandibular.2,7,8
2.3 Epidemiologi
Pseudoangina ludovici adalah penyakit langka yang dapat berpotensi
mengancam nyawa jika proses infeksinya menyebar sampai ke mediastinum. Faktor
predisposisi utama adalah higiene orodental yang buruk sedangkan faktor predisposisi
lainnya adalah penyakit sistemik dan penyakit imunodefisiensi karena penyakit-
penyakit tersebut dapat mempermudah perkembangan bakteri serta penyebaran
infeksi, seperti diabetes mellitus, neutropenia, alkoholisme, anemia aplastik,
glomerulonephritis, dermatomiositis dan lupus eritematosus sistemik.9
Angka kejadian pseudoangina ludovici paling sering pada usia 20 sampai 60
tahun, dengan dominasi laki-laki dibandingkan perempuan adalah 3 : 1. Angka
kematian akibat pseudoangina ludovici sebelum dikenalnya antibiotika mencapai
angka 50% dari seluruh kasus yang dilaporkan, sejalan dengan perkembangan
antibiotika, perawatan bedah yang baik dan tindakan yang cepat dan tepat, maka saat
ini angka kematian hanya 5%.8,9
2.4 Etiologi
Pseudoangina ludovici terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal dari gigi
geligi, tetapi dapat juga terjadi sebagai akibat proses supuratif limfatik nodi servikalis
pada ruang submaksilaris. Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri golongan
streptococcus, stafilococcus dan bakteroides. Namun, 50% kasus disebabkan oleh
polimikroba baik oleh gram positif atau gram negatif, aerob ataupun anaerob.
Organisme yang paling sering pada pseudoangina ludovici yaitu Streptococcus
viridans dan Stafilococcus aureus. Bakteri anaerob juga sering terlibat, termasuk
Bakteroides, Peptostreptococcus dan Peptococcus. Bakteri gram positif lainnya yaitu
Fusobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa, Spirochetes, Veillonella, Candida,

249
Eubakteria dan Clostridium species. Bakteri gram negatif yaitu Neisseria spesies,
Escherichia coli, Pseudomonas species, Haemophilus influenza dan Klebsiella
species. Kombinasi bakteri aerob dan anaerob memberikan efek sinergis,
menyebabkan produksi endotoksin seperti kolagenase, hyaluronidase dan protease,
kombinasi hal tersebut memicu perkembangan infeksi secara cepat dengan manifestasi
nekrosis jaringan, tromboplebitis lokal, bau tidak sedap dan terbentuknya gas gangren.
8,10,11

Penyebab lain dari pseudoangina ludovici yaitu sialodenitis, abses peritonsil,


fraktur mandibular terbuka, kista duktus tiroglosus yang terinfeksi, epiglotitis, injeksi
intravena ke leher, bronkoskopi yang menyebabkan trauma, intubasi endotrakea,
laserasi oral, infeksi saluran napas atas dan trauma pada dasar mulut. Jika infeksi
bukan berasal dari gigi, biasanya disebabkan oleh Streptococcus. Klebsiella
pneumoniae merupakan bakteri aerob gram negatif yang paling banyak ditemukan
pada pasien diabetes mellitus. Lebih lanjut lagi, dikatakan bahwa flora normal mulut
pada umumnya mempunyai patogenitas yang rendah. Tetapi flora mulut tersebut
dapat berubah menjadi patogen pada keadaan-keadaan tertentu seperti perubahan
struktur pada mukosa normal atau terjadi iskemia jaringan dan tekanan potensial
oksidasi reduksi. Keadaan ini dapat memberi kesempatan pada organisme tersebut
untuk memperbanyak diri secara cepat dan mengadakan invasi ke sekeliling jaringan
yang sehat. Infeksi pada ruang ini dimulai dengan selulitis lokal pada jaringan ikat
longgar dasar mulut, kemudian dengan cepat menyebar. Pembengkakan ini
menyebabkan sumbatan pada saluran limfa, kelenjar liur submandibula dan duktusnya
yang lewat pada dasar mulut. Dalam waktu singkat terjadi pembengkakan jaringan
ikat longgar superfisial dasar mulut. Kemudian terjadi nekrosis jaringan dan
pembengkakan yang menghasilkan pus.10,11

2.5 Patogenesis
Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi. Nekrosis pulpa
karena karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam merupakan
jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak,
maka infeksi yang terjadi akan meyebar ke spongiosa sampai tulang kortikal. Jika
tulang ini tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak.
Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh. Odontogen dapat
menyebar melalui jaringan ikat, pembuluh darah dan pembuluh limfe. Yang paling
sering terjadi adalah perkontinuitatum karena adanya celah atau ruang diantara
jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus.7,10,11

250
Perjalanan infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses
submukosa, abses gingiva, trombosis sinus kavernosus, abses labial dan abses fasial.
Perjalanan infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses sublingual, submental,
abses submandibular, abses submaseter dan pseudoangina ludovici. Ujung akar molar
kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea milohioid yang terletak di aspek
dalam mandibular, sehingga jika molar kedua atau ketiga terinfeksi dan membentuk
abses, pusnya akan menyebar ke ruang submandibular dan dapat meluas ke ruang

parafaring. 10,11
Pseudoangina ludovici yang disebabkan oleh infeksi odontogenik, berasal dari
gigi molar kedua atau ketiga bawah. Gigi ini mempunyai akar yang berada di atas
m.milohioid dan abses di lokasi ini dapat menyebar ke ruang submandibular. Infeksi
yang menyebar di luar akar gigi yang berasal dari gigi premolar pada umumnya
terletak dalam sublingual pertama sedangkan infeksi di luar akar gigi yang berasal
dari gigi molar umumnya berada dalam ruang submandibular.10
Infeksi dengan cepat menyebar dari ruang submandibular, sublingual dan
submental yang menyebabkan pembengkakan dan elevasi lidah dari dasar mulut. Ruang
potensial terjadinya pseudoangina ludovici adalah ruang suprahioid yang berada antara
otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang hioid dan milohioid, peradangan pada ruang
ini menyebabkan pembengkakkan pada jaringan dasar mulut dan mendorong lidah ke atas

dan belakang, sehingga menyebabkan obstruksi jalan napas.11

Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena adanya kesatuan yang
keras dari fasia servikalis profunda dengan m.digastrikus anterior dan tulang hioid.
Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu sendiri, tetapi
dapat pula menyusuri sepanjang duktus submaksilar Wartoni dan mengikuti struktur
kelenjar menuju ruang sublingual atau dapat juga meluas ke bawah sepanjang
m.hioglosus menuju ruang-ruang fasia leher. 12
Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah di bagian
superior dan posterior, sehingga mendorong supraglotik laring dan lidah ke belakang,
akhirnya akan mempersempit saluran dan menghambat jalan nafas. Penyebaran
infeksi berakhir di bagian anterior yaitu mandibular dan di bagian inferior yaitu
m.milohioid. Proses infeksi kemudian berjalan di bagian superior dan posterior,
meluas ke dasar lantai mulut dan lidah. Tulang hioid membatasi terjadinya proses ini
di bagian inferior sehingga pembengkakan menyebar ke daerah depan leher yang

menyebabkan perubahan bentuk dan gambaran “bull neck”.12,13

251
2.6 Manifestasi klinis
Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras
seperti papan, peninggian suhu leher dan disfonia atau hot potato voice akibat edema
pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakkan, nyeri dan
peninggian lidah. Gejala lainnya yaitu adanya pembengkakan yang nyeri pada dasar
mulut dan bagian anterior leher, demam, nyeri menelan atau odinofagia, hipersalivasi,
trismus, nyeri pada gigi, suara serak, stridor, distres pernapasan dan sianosis.1,8,9
Pada pemeriksaan fisik terdapat demam dengan karakteristik dasar mulut yang
bengkak dan kemerahan. Dijumpai karies pada gigi molar bawah, indurasi dan
pembengkakkan ruang submandibular yang dapat disertai dengan lidah terdorong ke
atas. Trismus dapat terjadi karena adanya iritasi pada m. mastikator. Tanda-tanda
penting seperti pasien tidak mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu,
stridor inspirasi dan sianosis yang menunjukkan adanya sumbatan jalan nafas. Pada
pasien dapat mengalami disfonia yang disebabkan oleh edema struktur vokalis.9,12,13

2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa, didapatkan gejala awal berupa nyeri pada
area gigi yang terinfeksi, dagu terasa tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah.
Pasien mungkin akan mengalami kesulitan membuka mulut, berbicara dan menelan,
yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta kesulitan bernapas.12
Pada pemeriksaan fisik terlihat dasar mulut yang kemerahan dan
membengkak. Saat infeksi menyebar ke belakang mulut, peradangan pada dasar mulut
akan menyebabkan lidah terdorong ke atas dan belakang sehingga menyumbat jalan
napas. Jika laring ikut membengkak, saat bernafas akan terdengar bunyi stridor.
Pembengkakkan pada jaringan anterior leher diatas tulang hioid sering disebut bull’s
neck appearance. Biasanya penderita akan mengalami dehidrasi akibat kurangnya
cairan yang diminum maupun makanan yang dimakan. Demam tinggi mungkin
ditemui, yang mengindikasikan adanya infeksi sistemik.
Terdapat 4 tanda kardinal dari pseudoangina ludovici, yaitu keterlibatan secara
bilateral atau lebih ruang leher dalam, gangren yang disertai dengan pus
serosanguinous, keterlibatan jaringan ikat, fasia dan otot tetapi tidak mengenai
struktur kelenjar dan penyebaran melalui ruang fasial lebih sering daripada melalui

sistem limfatik.14,15

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan seperti laboratorium dan


radiologi. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan leukosit yang
252
mengidentifikasikan adanya infeksi akut. Pemeriksaan kultur dan sensitivitas
dilakukan untuk menentukan jenis bakteri dan pemilihan antibiotika yang sesuai.
Foto polos jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral merupakan
prosedur diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada
kedua posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah
subkutis, cairan di dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak
leher. Keterbatasan pemeriksaan ini adalah tidak dapat membedakan antara selulitis
dan pembentukan abses. Foto thoraks digunakan untuk mendiagnosis adanya edema
paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah bening
hilus.14
Foto panoramik rahang dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau
abses, serta struktur tulang rahang yang terinfeksi. Pemeriksaan ultra sonography
(USG) merupakan sarana penunjang diagnostik yang tidak invasif dan relatif murah.
USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus serta sebagai pemandu pada saat
aspirasi atau drainase abses.
Pemeriksaan CT-Scan dapat membantu menggambarkan lokasi dan perluasan
abses. Pada gambaran CT-Scan dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah,
peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak di sekitar
abses. Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) memberikan gambaran
peningkatan densitas pada jaringan yang mengalami inflamasi dibandingkan dengan
jaringan normal. Pemeriksaan MRI relatif mahal dan tidak setiap Rumah Sakit
mempunyai alat ini, sehingga pemeriksaan MRI pada kasus abses leher dalam bukan
merupakan prosedur baku.14,15
2.8 Diagnosis banding
Diagnosis banding dari pseudoangina ludovici adalah edema angioneurotik,
karsinoma lingual, sublingual hematoma, abses kelenjar ludah, limfadenitis dan
selulitis.2

2.9 Penatalaksanaan
Penilaian keadaan umum pasien penting dalam penatalaksanaan abses leher
dalam. Prioritas utama adalah stabilisasi jalan nafas dan sirkulasi. Karena abses leher
dalam memiliki potensi mengancam nyawa maka pasien harus dirawat di Rumah
Sakit. Pada kasus pseudoangina ludovici dengan sumbatan jalan nafas diperlukan
penanganan segera dengan trakeostomi yang bertujuan untuk mengamankan jalan
nafas.16,17

253
Kemudian diberikan antibiotika dosis tinggi dan spektrum luas secara
intravena untuk organisme gram positif dan gram negatif serta kuman aerob dan
anaerob. Antibiotik yang diberikan sesuai kultur dan hasil sensitivitas pus. Antibiotika
yang digunakan adalah penisilin G dosis tinggi dan metronidazole, klindamisin,
seftriakson dan amoksisilin asam klavulanat. Meskipun masih kontroversi, pemberian
kortikosteroid untuk mengurangi edema dan meningkatkan penetrasi antibiotika. Anti
inflamasi intravena diberikan dalam 48 jam untuk mengurangi edema dan
perlindungan jalan nafas.18
Selain itu dilakukan eksplorasi untuk tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evakuasi pus atau jaringan nekrosis. Pembedahan dapat dilakukan
melalui insisi di garis tengah secara horizontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah
mandibula) bertujuan mengurangi ketegangan yang terbentuk pada dasar mulut.
Sebelum dilakukan insisi dan drainase, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap
kemungkinan trakeostomi karena ketidakmampuan dilakukan intubasi pada pasien.
Insisi drainase diindikasikan jika terdapat infeksi supuratif dengan pemeriksaan
radiologis berupa gambaran penumpukan cairan di dalam soft tissue dan krepitasi.
Drainase juga diindikasikan jika tidak ada perbaikan setelah pemberian terapi
antibiotika. Drainase dilakukan di muskulus milohioid ke dalam ruang sublingual.
Mencabut gigi yang terinfeksi juga penting untuk proses drainase.16
Antibiotika harus segera diberikan dalam dosis adekuat secara parenteral.
Sebelum ada hasil kultur dan resistensi, diberikan antibiotika berdasarkan
pengalaman/secara empiris jenis kuman yang sering ditemukan yaitu kuman aerob
dan anaerob. Untuk pemberian terapi medikamentosa pada pasien dengan kecurigaan
pseudoangina ludovici dapat diberikan antibiotik penisilin G 300.0001.200.000
unit/hari atau amoksisilin 25-30 mg/kgBB/hari atau sefalosporin 25-30 mg/kgBB/hari
atau gentamisin 20-80 mg 1-2 kali sehari atau klindamisin 600-900 mg intravena
setiap 8 jam atau kombinasi penisilin dan metronidazole. Metronidazole dapat
diberikan intravena 3 x 500 mg/hari. Pemberian antibiotika dapat mengurangi
kematian akibat dari infeksi ruang leher dalam, tetapi infeksi pada ruang yang lebih

dalam dapat menimbulkan komplikasi yang fatal dan mengancam jiwa.8,9

Bila abses sudah mengalami penjalaran ke ruang leher dalam seperti ke daerah
parafaring atau retrofaring maka perlu dilakukan pemberian antibiotika sesuai kultur
dan tes sensitivitas serta tindakan pembedahan. Keputusan untuk melakukan
pembedahan didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu jika tidak terdapat
perbaikan dalam waktu 24 jam yang ditandai dengan demam, nyeri tekan,

254
pembengkakan dan leukositosis yang menetap, ancaman sumbatan jalan napas,
adanya komplikasi neurovaskular yang mengancam nyawa, pus tampak lebih dari 3
cm pada CT-Scan.2,11

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah sumbatan jalan nafas, penjalaran
infeksi dan abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum serta sepsis yang
menyebabkan semakin sulitnya penanganan dan bahkan dapat menyebabkan
terjadinya kematian. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial dapat
mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.10,11,13
Komplikasi yang lainnya meliputi asfiksia yang disebabkan oleh edema pada
soft tissue leher, infeksi dinding karotis, ruptur arteri, tromboflebitis supuratif dari
vena jugularis, mediastinitis akut, empisema, efusi pleura, osteomeilitis mandibular,
perikarditis bakterial dan aspirasi pneumonia.
2.10.1 Mediastinitis Akut sebagai
Komplikasi a. Definisi dan Patogenesis
Mediastinum adalah ruang ektrapleura yang dibatasi sternum di bagian
anterior, kolumna vertebralis di posterior, pleura mediastinal di sisi lateral kanan dan
kiri, di superior oleh thoracic inlet dan di inferior oleh diafragma. Mediastinum terdiri
dari tiga area: mediastinum anterosuperior, tengah dan posterior.3 Mediastinitis adalah
penyakit yang jarang ditemukan dan cukup sulit dalam diagnosanya. Walaupun
demikian, diagnosa dini sangat penting karena angka mortalitas yang tinggi.
Mediastinitis terdiri dari mediastinitis akut dan kronik.3,4
Menurut Macri dkk, meneliti 26 pasien dengan mediastinitis dan ditemukan
23% merupakan komplikasi dari infeksi orofaringael, gigi, atau abses peritonsilar, dan
sisanya berasal dari infeksi esophagus.4
Mediastinitis akut adalah proses infeksi fulminant yang menyebar sepanjang
bidang permukaan mediastinum. Infeksi paling sering berasal dari esophagus, infeksi
di sternum dan infeksi orofaring atau leher. Mediastinitis akut dapat dibagi menjadi
supuratif (abses) dan nonsupuratif. Mediastinitis supuratif disebut juga mediastinitis
flegmon. Jenis ini lebih sering didapatkan dan penyebarannya dapat terlokalisasi atau
difus dengan atau tanpa pembentukan abses.4,6
Mediastinitis fibrosis (kronis) adalah hasil dari inflamasi kronik pada
mediastinum, paling sering sebagai hasil dari infeksi granulomatos seperti
histoplasmosis atau tuberkulosis.6

255
Komplikasi yang paling tinggi mortalitasnya pada abses leher dalam adalah
mediastinitis. Mortalitas mediastinitis di Amerika Serikat bervariasi antar 19-47%,
pasien sering mendapatkan perawatan intensif dan proses pemulihan yang lama.
Mediastinitis akut dapat berkembang menjadi fulminant dan tidak berespon walau
dengan terapi terbaik. Mediastinitis dapat berkembang menjadi Descending
Necrotizing Mediastinitis (DNM) akibat infeksi orofaringeal yang menyebar ke
mediastinum melalui ruang-ruang potensial di di leher, pada jenis ini mortalitas lebih
dari 50%. Ruang potensial yang terpenting adalah retrofaringeal atau retroviseral
dengan batas anterior lapisan tengah fasia leher dalam dan di posterior oleh fasia alar
(lapisan dalam fasia leher) , terletak di belakang hipofaring dan esophagus dari dasar
tengkorak sampai dengan mediastinum superior. Ruang ini merupakan rute utama
penyebaran infeksi orofaring ke mediastinum. Dinamika pernafasan mempengaruhi
penyebaran infeksi melalui fasia tersebut. Fluktuasi tekanan negatif intratoraks,
menarik udara, air liur dan mikroorganisme tertarik ke dalam mediastinum
menyebabkan infeksi dan nekrosis, tetapi tidak seluruh infeksi mengikuti jalannya

fasia leher dalam penyebarannya ke mediastinum.3


b. Diagnosis
Ketika infeksi dari sumber manapun memasuki mediastinum, penyebaran
meningkat sepanjang sambungan bidang permukaan yang menghubungkan bagian
mediastinum dan servikal. Tanda dan gejala klinis seperti demam, nyeri dada, disfagia,
penekanan pernafasan dan krepitasi subkutan servikal dan torakal atas. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan lekositosis dan laju endap darah yang
meningkat. Pemeriksaan penunjang yang amat berperan diantaranya CT scan torak
dan leher serta foto torak. Kecurigaan mediastinitis dengan foto torak PA bila
didapatka pelebaran mediastinum /jaringan lunak paratrakeal, trakea dapat terdorong,
gambaran udara/benda asing dalam mediastinum, abses yang menyebabkan
perselubungan di daerah mediastinum. Foto torak lateral dapat menunjukkan
penonjolan ke anterior dari dinding posterior trakea. Pada foto leher AP dan lateral
akan didapatkan pelebaran jaringan preservikal dan retrofaringeal serta udara di
jaringan lunak leher. CT scan dapat menunjukan abses dan pembengkakan jaringan

lunak, pengumpulan cairan/udara di mediastinum, cairan di pleura dan perikardial.3,4

Saat ini diagnosis mediastinitis dapat dilakukan dengan penggunaan


transesofageal endosonografi (Endoscopic ultrasound/EUS) dan biopsi jarum halus yang
merupakan cara efektif dan noninvasive untuk mendeteksi mediastinitis, dan pengambilan
materi untuk mengetahui etiologi. Penemuan abses berupa daerah hipo sampai hiperekoik

256
sesuai dengan isinya berupa cairan /padat yang inhomogen dan berbatas tegas. Hasil dari
biopsi jarum halus yang dilakukan dalam keadaan steril dapat berupa pus/cairan sehingga

bakteri hasil kultur dapat dianggap sebagai etiologi.3,4,6


c. Penatalaksanaan
Mediastinitis akut merupakan emergensi bedah dan pengobatan harus
dilakukan segera dan harus bertujuan memperbaiki masalah utama seperti abses
orofaring. Tindakan utamanya adalah drainase dan debridemen area yang terinfeksi di
mediastinum, leher, pleura dan jaringan lainnya. Antibiotik, resusitasi cairan dan
pembedahan merupakan management mediastinitis akut.
Penatalaksanaan standar untuk mediastinitis adalah pembedahan. Dilakukan
debridemen pada jaringan nekrotik pada mediastinum dan drainase yang adekuat pada
pleura dan perikardia, kemudian dilanjutkan dengan terapi antibiotik dan perawatan
ruang intensif. Drainase abses dilakukan dengan torakotomi atau melalui pendekatan
cervicomediastinal.4,6

2.10.2 Perikarditis Bakterial sebagai


Komplikasi a. Definisi dan Patogenesis
Perikarditis adalah salah satu jenis penyakit perikardium tersering dan termasuk
salah satu dari sindrom perikardial. Kejadiannya dapat diakibatkan manifestasi proses
primer lokal ataupun dari sebuah penyakit sistemik. Etiologinya dapat dikategorikan
menjadi infeksi dan non infeksi. Kausa infeksi akibat tuberkulosis, virus, atau bakteri lain
dan kausa non infeksi tersering adalah keganasan, sindrom dari penyakit sistemik dan
trauma perikardium. Tiga lapisan berbeda dapat dilihat pada perikardium parietal pada
pemeriksaan mikroskopik; yaitu lapisan serosa, fibrosa dan jaringan ikat epiperikardial.
Sedangkan perikardium visceral hanya tersusun oleh jaringan fibrosa tipis yang melapisi
miokardium Pada cedera perikardium, terdapat dua respons perikardium yaitu distensi
dan reaksi inflamasi. Pada epikard yang memiliki vaskularisasi tinggi dan ditutupi sel
mesotelium dari perikardium visceral sehingga akan mudah terjadi transfer cairan
transudat atau eksudat ke rongga perikardium saat terjadi inflamasi, atau bahkan dapat
berupa cairan hemoragik pada kasus – kasus tertentu. Produksi cairan perikardium dapat
sedikit maupun banyak, dan terjadi pada fase awal. Pada cairan yang berbentuk eksudat
fibrin, akan memicu adhesi dari lapisan parietal dan visceral sehingga akan menimbulkan
friction rub pada pemeriksaan fisik. Pada proses pembentukan fibrin berulang akan
merangsang reaksi inflamasi yang lebih hebat, sehingga memicu proses pemulihan

bersifat fibrogenik.5

257
Tabel 1. Etiologi dan frekuensi insiden di berbagai area penelitian
Etiologi Persentase frekuensi insiden perikarditis dari
studi yang pernah dilaporkan
Idiopatik 15% (Afrika), 80-90% (eropa dan Amerika)
Infeksi
- Virus (coxsackievirus, Epstein Barr, Mayoritas tidak diketahui (30-50% di Jerman)
cytmegalovirus, HIV, parvovirus)
- Bakteri (TBC) 1-4% (Italia, Spanyol, Prancis) 70% (Afrika)

- Bakteri (purulen) <1% (Eropa), 2-3% (Afrika)


Non infeksi
- Neoplasma 5-9% hingga 35% (eropa)
- Autoimun 2-24% (seluruh dunia)

Perikarditis purulenta atau supurativa adalah infeksi ruang perikardium dengan


adanya produksi pus yang ditemukan secara kasat mata dari kantong perikardium maupun
pemeriksaan mikroskopik jaringan. Pada kebanyakan kasus, biasanya infeksi perikardium
tidak terdapat efusi supuratif. Perikarditis akibat infeksi virus dan idiopatik adalah
kausa perikarditis tersering, dimana keduanya jarang terdapat pus, self-limited, bila
terdapat efusi biasanya bersifat asimtomatik dan menghilang dengan sendirinya.
Perikarditis akibat infeksi bakteri umumnya berlawanan dengan tipe perikarditis
lainnya, dimana sering menjadi infeksi purulen, mengarah ke tamponade dan
konstriksi perikardium. Diagnosis cepat dan tepat penting mengingat terapi

perikarditis tipe ini harus spesifik terhadap agen kausatifnya.5

Perikarditis bakteri umumnya bukanlah infeksi primer melainkan komplikasi


dari infeksi di tempat lain, kejadiannya sangat jarang dengan frekuensi <1% di Eropa.
Pada era pre antibiotik, pasien pneumonia atau empyema sering mengalami
komplikasi perikarditis bakteri. Etiologi bakteri tersering saat ini adalah penyebaran
dari bakteremia, empyema, trauma penetrasi, sumber intrakardiak, luka operasi,
ruptur esofagus dengan fistula, abses retrofaring, dan abses hepar / subdiafragma.
Organisme tersering yang diasosiasikan dengan purulen perikarditis adalah
stafilokokus, streptokokus, dan pneumokokokus. Pada pasien imunosupresi atau
setelah operasi bedah toraks, Staphylococcus aureus (30%) dan fungal (20%) lebih
sering ditemukan. Infeksi yang berasal dari penyebaran daerah orofaring dapat juga
melibatkan organisme anaerob. Neisseria meningitidis dapat melibatkan perikardium
melalui mediasi imun di efusi perikardium yang steril atau bahkan langsung
menginfeksi dengan pembentukan efusi purulen. Pada era modern saat ini dengan
meningkatkan kasus imunosupresi, biasanya organisme yang ditemukan dapat lebih
bervariasi.5,7

258
Penyebaran terjadi secara bertahap ke struktur yang terdekat seperti area
submandibula, leher dan mediastinum meski dapat juga diperburuk oleh penyebaran
hematogenik yang potensial terjadi.
b. Gejala Klinis
Pasien perikarditis akut umumnya akan merasakan nyeri tajam di retrosternal
yang dapat terasa cukup berat dan menghambat aktifitas walaupun pada beberapa
kasus dapat asimtomatik. Nyeri perikardium umumnya memburuk dengan inspirasi
dan berbaring, serta membaik dengan duduk tegak. Nyeri perikardium dikatakan
memiliki penjalaran sepanjang batas bawah skapula, karena iritasi dari nervus
frenikus yang melewati perikardium. Friction rub di perikardium adalah temuan
klasik yang ada pada perikarditis akut. Biasanya bernada tinggi, kasar dan dapat
memiliki 1,2 atau 3 komponen. Komponen ini terjadi ketika volume jantung berubah
secara cepat : yaitu saat ejeksi ventrikel, pengisian cepat ventrikel dan sistolik atrial.
Pasien dengan fibrilasi atrium hanya memiliki 1 atau 2 komponen rub. Friction rub
dari perikardium dibedakan dengan pleural, dimana friction rub pleura akan
menghilang dengan menahan nafas. Pada onset awal dari perikarditis akut, umumnya
elektrokardiogram menunjukkan ST elevasi yang difus dengan adanya depresi segmen
PR. ST elevasi biasanya muncul secara global di semua sadapan, kecuali aVR. Pada
kasus perikarditis yang klasik biasanya berevolusi ke dalam 4 stadium. Stadium I
adalah elevasi segment ST dan depresi segmen PR; stadium II adalah normalisasi
segmen ST dan PR, stadium III adalah inversi gelombang T yang global; stadium IV
adalah normalisasi gelombang T. Pada perikarditis uremik umumnya bisa terjadi

tanpa perubahan gelombang elektrokardiogram.5

Tanda lain yang ada umumnya adalah bukti dari sebuah proses inflamasi,
seperti leukositosis, peningkatan laju endap darah, peningkatan C – reactive protein.
Demam yang subfebris sering terjadi, tapi temperatur diatas 38o C umumnya
mengarahkan pada kecurigaan perikarditis tipe purulen. Troponin biasanya meningkat
secara minimal, dengan atau tanpa peningkatan kreatinin kinase. Ini dapat terjadi
karena keterlibatan epikardium pada beberapa kasus, dimana troponin yang meningkat
ini tidak berkaitan dengan prognosis. Dari ekokardiografi dapat berupa efusi
perkardium minimal hingga berat.5,7
Evaluasi awal pada pasien sebaiknya memperhitungkan tanda – tanda risiko
tinggi seperti efusi perikarditis berat hingga tamponade jantung. Tanda yang
ditemukan dapat berupa pulsus paradoksus, Kussmaul sign dengan peningkatan
tekanan vena juguler. Ekokardiografi transthorakal memiliki tempat pada pasien

259
curiga perikarditis dengan masalah hemodinamik. Tanda high risk lain dari
perikarditis akut adalah demam diatas 380C, onset subakut, efusi perikardium berat
(jarak terbesar >20mm), respon buruk terhadap NSAID selama 1 minggu, tamponade
jantung, trauma akut, kondisi imunosupresi, penggunaan oral antikoagulan,
peningkatan troponin, dan perikarditis yang dicurigai berulang.5
Pasien memiliki keluhan demam dan nyeri dada. Nyeri dada menurut deskripsi
pasien terasa seperti tertusuk dan memburuk dengan inspirasi dan perubahan posisi.
Hal tersebut sesuai dengan klinis nyeri dada pleuritik, walau sebenarnya hal tersebut
tidak berdiri sendiri akibat adanya mediastinitis yang turut memperburuk sensasi nyeri
dada yang dirasakan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya perikardial rub fase
sistolik diastolik. Yang khas menunjukkan keterlibatan perikardium adalah dari
elektrokardiogram, dimana sangat spesifik dengan adanya elevasi ST global disertai
depresi segmen PR. Penanda inflamasi didapatkan dari gejala dan penunjang
laboratorium. Demam dikatakan berlangsung terus menerus dan tinggi, meningkatkan
kecurigaan keterlibatan infeksi bakterial.
c. Diagnosis
Diagnosis sebuah perikarditis, khususnya tipe purulen idealnya harus
berdasarkan kecurigaan klinis yang tinggi dari riwayat yang akurat dan pemeriksaan
fisik yang menyeluruh dan dikonfirmasi dengan adanya pengecatan atau kultur yang
positif dari aspirasi perikardium. Pada praktik klinis diagnosis dari perikarditis
didasarkan pada kriteria nyeri dada tipikal pleuritik, perikardial rub, perubahan
segmen ST global dan efusi perikardial. Sekurang – kurangnya dua dari empat gejala
harus terpenuhi. Bukti tentang kejadian inflamasi dengan penanda seperti C – reactive
protein adalah alat untuk konfirmasi terhadap kriteria klinis. Evaluasi melalui
auskultasi, elektrokardiogram, ekokardiografi, penanda inflamasi dan enzim jantung,
foto thorax seharusnya dikerjakan dalam proses evaluasi. Ekokardiografi adalah
metode investigasi dasar dan memudahkan analisa semi kuantitatif dari efusi
perikardium. Pencitraan lain dapat digunakan sebagai evaluasi fungsional dan
anatomis dari perikardium, khususnya pencitraan computed tomography (CT) dan
cardiac magnetic resonance (CMR).5

260
Tabel 2. Kriteria diagnosis perikarditis dan klasifikasi berdasarkan onset
Perikarditis Definisi dan kriteria diagnosis
Akut Sindrom perikardial inflamasi dengan minimal 2
dari 4 kriteria
1. Nyeri dada perikarditis
2. Perikardial rub
3. Elevasi segmen ST global dan depresi
PR
4. Efusi perikardial (baru atau perburukan)
Temuan tambahan :
1. Peningkatan penanda inflamasi (C –
reactive protein, laju endap darah,
leukosit)
2. Bukti inflamasi perikardial dari
pencitraan (CT/ CMR)
Incessant Perikarditis lebih lama dari 4-6 minggu, tapi
kurang dari 3 bulan tanpa remisi

Recurrent (berulang) Perikarditis berulang setelah perikarditis akut dan


interval bebas gejala 4-6 minggu setelah episode
pertama
Kronik Perikarditis lebih dari 3 bulan

Setelah mendiagnosis sebuah perikarditis, sebenarnya tidak semua kasus yang


ditemukan perlu evaluasi mendalam tentang etiologi. Ini relevan pada daerah dengan
prevalensi TB yang rendah, karena umumnya dihubungkan dengan perjalanan alami
yang jinak dan proses investigasi mendalam dikatakan tidak begitu memberi manfaat
apabila kecurigaan oleh karena virus dan tidak memiliki tanda-tanda risiko tinggi.
Apabila kausa yang dicurigai adalah non virus serta memiliki karakteristik risiko
tinggi, maka pendalaman etiologi memiliki manfaat dalam terapi dan pengawasan
terhadap risiko komplikasi (tamponade, perikarditis berulang atau konstriktif).
Presentasi klinis yang dicurigai akibat proses sistemik atau etiologi yang jelas
berhubungan atau ada prediktor prognosis yang buruk, maka pasien sebaiknya di
rawat inap untuk evaluasi etiologi. Sedangkan apabila pasien tidak memiliki kriteria
tersebut (kecurigaan disebabkan virus, tidak ada fokus infeksi spesifik, tidak ada tanda
risiko tinggi) pasien dapat dirawat jalan dan diberi antiinflamasi non steroid selama 1
minggu untuk kemudian dievaluasi responnya terhadap terapi.

261
d. Penatalaksanaan
Tatalaksana dari penyakit perikardial secara garis besar adalah bersifat empiris,
karena relatif kurangnya data klinis acak dibandingkan dengan penyakit kardiovaskuler
yang lain. Pengobatan seharusnya menargetkan kausa seoptimal mungkin, walaupun
mayoritas kecurigaan adalah idiopatik dan virus utamanya pada negara maju. Selain
terapi farmakologis, tatalaksana non farmakologis juga penting diperhatikan.
Rekomendasi pertama adalah dengan restriksi aktivitas fisik hingga resolusi dari gejala
dan normalisasi dari nilai CRP. Diharapkan juga pasien tidak terlibat dalam aktifitas
olahraga yang sifatnya kompetitif. Restriksi minimal 3 bulan disarankan dari consensus
ahli utamanya pada pasien yang adalah atlet, dimana pada pasien non atlet dapat lebih

singkat daripada itu.5,7

Pilihan terapi harus didasarkan pada riwayat pasien (kontraindikasi, efikasi,


efek samping), penyakit penyerta dan pengalaman dokter. Aspirin dan obat non
steroid anti inflammation drug (NSAID) adalah pilihan utama.
Tabel 3. Pilihan terapi anti inflamasi perikarditis, dosis dan lama pengobatan
Obat Dosis Lama Tapering Monitoring
standar pengobatan
Asam 2-4 g / hari 2-4 minggu, 1-2 Dosis dikurangi 250 Darah lengkap CRP
aseltilsalisilat minggu pada – 500 mg tiap 1-2
kasus ringan minggu
Ibuprofen 600mg 3 kali 2-4 minggu, 1-2 Dosis dikurangi 250 Darah lengkap CRP
sehari atau minggu pada – 400 mg tiap 1-2
1200 – 1800 kasus ringan minggu
mg / hari
Indometasin 50mg 3 kali 2-4 minggu Darah lengkap CRP
sehari atau
75 – 150 mg
/ hari
Kolkisin 0,5 mg 2 kali 3 bulan untuk 0.5mg 1 kali sehari Darah lengkap CRP
sehari (0,5mg perikarditis akut pada berat badan Kreatinin kinase
/ hari pada 6-12 bulan >70kg Transaminase Serum
pasien berat untuk 0,5 mg tiap 2 hari kreatinin
<70kg) perikarditis pada pasien berat
rekuren badan <70kg
Prednison 0,2 – 0,5 mg/ 2 – 4 minggu Penurunan -
kg berat untuk dosis disesuaikan dengan
badan per terapi, beberapa dosis mulai terapi
hari bulan untuk
proses tapering

Lama pengobatan optimal harus disesuaikan perindividu. Terapi anti inflamasi


harus dipertahankan hingga resolusi dari gejala dan normalisasi nilai CRP. Penilaian
mingguan terhadap nilai CRP juga disarankan. Tapering dari antiinflamasi
direkomendasikan untuk mengurangi insiden rekurensi. Pengobatan dengan aspirin
atau NSAID sebagai lini pertama sebaiknya dibarengi dengan pemberian obat
proteksi gaster. Kolkisin dapat diberikan sebagai lini pertama terapi yang bersifat

262
pelengkap dari aspirin atau NSAID. Kolkisin direkomendasikan pada dosis rendah
dan disesuaikan dengan berat badan. Tapering dari kolkisin tidak diwajibkan, namun
dapat dipertimbangkan untuk mencegah gejala menjadi menetap dan rekurensi.
Kortikosteroid tidak disarankan apabila digunakan sebagai lini pertama pengobatan
perikarditis akut, dan hanya dipertimbangkan apabila ada kasus dengan gagal respon
atau kontraindikasi aspirin, NSAID maupun kolkisin. Namun apabila kausa
perikarditis akibat infeksi spesifik sudah dieksklusi atau penyakit autoimun adalah
mekanisme yang mendasarinya terjadi perikarditis, maka kortikosteroid memiliki
tempat sebagai pilihan utama. Proses penurunan dosis pada terapi kortikosteroid
disesuaikan dengan dosis permulaannya. Penggunaan dosis sangat tinggi sangat tidak
disarankan. Prednison 25mg dikatakan ekuivalen dengan metilprednisolon 20mg, dan
dapat diaplikasikan pada saat prednison tidak tersedia. Penurunan dosis steroid
dilakukan bila pasien asimtomatik dan CRP normal. Suplemen kalsium oral sebaiknya
diberikan bersamaan dengan asupan kalsium yang sebaiknya diperbanyak hingga
1.200-1.500 mg/ hari dan suplemen vitamin D 800 – 1.000 IU per hari pada pasien
dengan steroid. Bifosfonat dapat diberikan pada pasien laki diatas 50 tahun atau
wanita post menopause apabila steroid prednison diberikan dengan dosis mulai 5mg
per hari. 5
Tabel 4. Proses penurunan dosis pengobatan dengan steroid
Dosis permulaan 0,25 – 0,5 mg / kg Tapering
berat badan per hari
>50mg 10mg / hari tiap 1 -2 minggu
50-25mg 5-10 mg/ hari tiap 1-2 minggu
25-15mg 2,5 mg/hari tiap 2-4 minggu
<15mg 1,25-2,5 mg/ hari tiap 2-6
minggu
2.11 Prognosis
Prognosis pseudoangina ludovici tergantung pada kecepatan proteksi jalan
napas dan kemudian pemberian antibiotika. Pseudoangina ludovici dapat berakibat
fatal karena membahayakan jiwa. Kematian pada era pre antibiotik adalah sekitar
50%. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas yang segera ditangani,
pemberian antibiotik intravena yang adekuat, penanganan dalam intensive care unit
(ICU), penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Dengan begitu
angka mortalitas juga menurun hingga kurang dari 5%..17,18
Prognosis yang cukup baik didapatkan pada penelitian mengenai
penatalaksanaan abses leher dalam yang dilakukan di Departemen THT-KL RSHS
Bandung periode Januari 2012-Desember 2012 yang memperlihatkan kondisi pasien
saat pulang dengan perbaikan sebanyak 71%.18

263
b. LAPORAN KASUS
Pasien GPM, laki-laki berumur 23 tahun, Hindu, suku Bali, karyawan restoran,
datang ke IGD RSUP Sanglah Denpasar tanggal 20 Oktober 2016 merupakan konsul
dari teman sejawat kardiologi dengan diagnosis perikarditis akut dan observasi abses
leher.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluh bengkak berwarna
kemerahan di bawah dagu sisi kanan sejak 10 hari yang lalu, kemudian menyebar ke
bawah dagu sisi kiri. Keluhan nyeri dan demam timbul kira-kira 4 hari sebelum
masuk Rumah Sakit. Sejak saat itu pasien sulit makan terutama makanan padat, tetapi
masih bisa makan makanan lunak dan cair.
Pasien juga mengeluh sesak nafas saat tiba di rumah sakit, sesak dirasakan
makin memberat dan tidak pernah dialami sama sekali sebelumnya. Sesak nafas
dikatakan tidak membaik dengan perubahan posisi duduk atau tegak. Dada terasa
nyeri, penuh dan tertusuk sejak 4 hari bersamaan dengan sesak dan makin memberat.
Sekitar 11 hari sebelumnya, pasien mengatakan gigi geraham bawah kiri
sempat terasa sakit dan bengkak, kemudian membawanya ke dokter gigi untuk
diperiksakan. Pasien sempat mengatakan giginya dibor dan diberikan obat penahan
nyeri untuk beberapa hari. Setelah itu pasien membawanya kembali untuk kontrol,
namun tidak ada pengobatan lanjutan setelahnya. Pasien tidak merokok juga tidak
minum alkohol.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran komposmentis (E4V5M6)
dengan tekanan darah saat masuk 110/70 mmHg, denyut jantung 120x/menit regular,
pernapasan 24x/menit, suhu aksila 38,5 ̊ C, konjungtiva mata tidak tampak anemis,
tidak nampak ikterus.
Dari pemeriksaan telinga dan hidung tidak ada kelainan. Tenggorok sulit
dievaluasi karena trismus sehingga pasien hanya bisa membuka mulut kira-kira 2 cm.
Tampak dasar lidah terangkat. Oral higiene buruk. Tampak gangren radiks kiri bawah.
Pada pemeriksaan region submandibula kiri tampak edema dan hiperemi, palpasi
teraba hangat, fluktuasi dan terdapat nyeri tekan, permukaan kulit dada tampak
kemerahan. Dilakukan aspirasi pada daerah yang paling fluktuatif dan didapatkan pus
sekitar 50 cc. Pasien didiagnosis sebagai pseudoangina ludovici dan suspek
mediastinitis akut dan perikarditis bakterial.

264
Gambar 4. Edema pada regio submandibula kiri

Dilakukan pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan laboratorium, radiologi


dan mikrobiologi. Hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu adalah 103 mg/dL, kadar
hemoglobin 14,76 g/dl, leukosit 13,620/µL, netrofil 10,390/µL dan penanda inflamasi
CRP kuantitatif meningkat sebesar 337,07 mg/dL, LED 67,3 mm/jam. Pemeriksaan
penunjang elektrokardiografi menunjukkan sinus takikardia 120x/menit dengan
adanya perubahan segmen ST berupa elevasi cekung hampir di semua lead.
Pemeriksaan foto thoraks (19/10-2017) menunjukkan adanya ukuran jantung yang
masih normal, dengan pinggang jantung masih nampak jelas dan tidak nampak adanya
infiltrat atau kongesti paru, namun tampak gambaran efusi pleura bilateral.

Gambar 5. Elektrokardiogram

Dilakukan dekompresi dan swab dasar luka, kemudian hasil swab dasar luka
dikirim ke bagian mikrobiologi klinik untuk kultur dan uji tes sensitivitas. Pasien
rawat bersama dengan sejawat Kardiologi di ruang intensif, tirah baring dalam posisi
Trendelenberg. Dipasang IVFD NaCl 0,9% berbanding dekstrosa 5% dengan
kecepatan 20 tetes/menit.

265
Gambar 6. Thorak Foto
Antibiotika yang diberikan adalah ceftriaxon 2 x 1 gr intravena dan metronidazole 3 x
500 mg intravena, antiinflamasi metilprednisolon 2 x 62,5 mg intravena, analgetik
ketorolak 3 x 30 mg intravena, anti emetik ranitidin 2 x 50 mg intravena. Dikonsulkan
ke sejawat Bedah Torak dan Kardiovaskular (BTKV) untuk penanganan mediastinitis
akut, sejawat Paru untuk penatalaksanaan pneumonia dan efusi pleura bilateral, serta
sejawat Gigi dan Mulut untuk penanganan fokal infeksi.

Gambar 7. Insisi, dilatasi dan drainase abses

Oleh sejawat Kardiologi pasien mendapatkan terapi antiinflamasi ibuprofen


400mg tiap 8 jam, dilakukan ekokardiografi dan monitoring elektrokardigrafi setiap
hari. Terapi dari sejawat Paru adalah pasien diberikan tambahan antibiotik
levofloxacin 750 mg tiap 24 jam dan direncanakan untuk kultur darah, kultur sputum
dan tes sensitivitas antibiotik, apusan gram sputum.
Sejawat BTKV merencanakan untuk pemeriksaan CT scan area setinggi
segmen vertebra cervicothorakal. Hasil CT scan (22/10-2017) menunjukkan adanya
abses area submandibula kiri yang meluas ke regio coll kiri dan mediastinum superior

24

266
sisi kiri. Hasil kultur dasar luka didapatkan hasil negatif, begitu juga dengan hasil
kultur darah.

Gambar 8 . CT scan Thorak

Pada tanggal 26 Oktober 2016 didapatkan bengkak di bawah rahang sudah


berkurang namun produksi pus tetap ada walaupun sudah dilakukan dilatasi dan
drainase setiap hari. Dilakukan pemeriksaan laboratorium ulang hemoglobin 14,53
g/dl, terjadi peningkatan leukosit 20,750/µL dan netrofil 18,790/µL.
Pasien direncanakan untuk dilakukan operasi sternotomi dan debridemen pada
tanggal 27 Oktober 2016. Dari hasil operasi selama 1 jam 45 menit, telah dilakukan
debridemen kavum thorak, dan pleura kanan – kiri. Didapatkan total pus 300 ml di
area kavum thoraks dan 100 cc dari area submandibula dan colli. Sebagian hasil pus
diambil untuk dilakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pasien dirawat dengan terpasang
drain substernal, drain infrapleura bilateral, dan drain tambahan untuk irigasi.

267
Gambar 9. Dilakukan sternotomi dan debridement, tampak pus intratorakal

Gambar 10. Terpasang drain dan irigasi pasca sternotomi dan debridemen

Gambar 11. Thorak AP pasca sternotomi dan debridemen

Pasca operasi pasien mendapat tambahan analgetik morfin 10 mcg per kg


berat badan per jam serta parasetamol 1 gram tiap 8 jam, dengan terapi lainnya tetap
dilanjutkan. Perawatan dilakukan hampir selama 3 minggu, dengan kondisi pasien
terus mengalami perbaikan, dengan obat – obatan diganti ke sediaan oral, berupa
ibuprofen 400mg tiap 8jam, parasetamol 750mg tiap 8 jam, metronidazole 500mg tiap
8jam, metilprednisolon oral 16mg tiap 12 jam dam cefixime 200mg tiap 12 jam. Dari
parameter laboratorium dan elektrokardiogram didapatkan hasil yang membaik.
Pasien dipulangkan pada tanggal 9 November 2017, dengan lama perawatan
20 hari. Kondisi saat pulang pasien sudah tanpa keluhan sesak maupun nyeri luka
operasi, mampu mobilisasi berjalan secara mandiri, dan mampu makan minum secara
normal. Pasien dipulangkan dengan direncanakan pemantauan melalui poliklinik,
direncanakan evaluasi ulang laboratorium lanjutan dan CT scan untuk evaluasi.

IV. PEMBAHASAN
Pseudoangina ludovici merupakan penyakit langka yang dapat berpotensi
mengancam nyawa jika proses infeksinya menyebar sampai ke mediastinum. Pada

268
penelitian yang dilakukan Lemonick pada tahun 2002 didapatkan angka kejadian
pseudoangina ludovici paling sering terjadi pada usia 20 sampai 60 tahun.
Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 3: 1. Pasien pada laporan ini adalah
laki-laki berusia 63 tahun dengan adanya sumber infeksi odontogenik.1,2
Orodental higiene yang buruk dan adanya infeksi yang berasal dari gigi
merupakan faktor predisposisi pada pasien ini. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Paolo Rizzo pada tahun 1998-2006 di Rumah Sakit Treviso, Italia, penyebab
tersering pseudoangina ludovici adalah infeksi pada gigi (42,9%). Hal ini juga sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rana dkk, bahwa infeksi yang berasal
dari gigi merupakan penyebab tersering dari abses leher dalam yaitu 48%. Sumber
infeksi diketahui dari gigi maka pasien dikonsulkan pada bagian gigi. Seharusnya
penatalaksanaan gigi dilakukan secepatnya, namun karena keadaan umum pasien
tidak memungkinkan maka ekstraksi gigi direncanakan setelah keadaan umum pasien
memungkinkan.7,10,11
Gambaran klinis pseudoangina ludovici meliputi: a) gejala klinis ekstraoral
seperti eritema, pembengkakan, pada perabaan hangat, fluktuatif dan suara seperti hot
potato voice akibat edema pada organ vokal; b) gejala klinis intraoral seperti
pembengkakkan, nyeri dan peninggian lidah; c) gejala lainnya yaitu adanya
pembengkakan yang nyeri pada dasar mulut dan bagian anterior leher, demam, nyeri
menelan atau odinofagia, hipersalivasi, trismus, nyeri pada gigi, suara serak, stridor,
distress pernapasan dan sianosis.8,9
Diagnosis pseudoangina ludovici pada kasus ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluh
bengkak kemerahan di dagu sisi kiri sejak 10 hari yang lalu, kemudian menyebar ke
bawah dagu sisi kiri dan terasa nyeri. Nyeri menelan dikeluhkan sejak 4 hari yang lalu
namun pasien pada saat itu masih bisa makan dan minum biasa. Didapatkan nyeri
dada maupun sesak nafas. Dari pemeriksaan telinga dan hidung tidak ada kelainan,
tenggorok sulit dievaluasi karena trismus sehingga pasien hanya bisa membuka mulut

kira-kira 2 cm. Tampak dasar lidah terangkat. Pada pemeriksaan regio submandibula
kiri tampak edema dan hiperemi, palpasi teraba hangat, fluktuasi dan terdapat nyeri
tekan. 12,13
Paolo Rizzo menyatakan bahwa pada pemeriksaan laboratorium dapat
ditemukan leukositosis. Pada pasien ini terdapat leukositosis dengan jumlah leukosit
13.620/µL meningkat menjadi 20.750/µL dalam waktu 1 minggu perawatan. Paolo
Rizzo juga menyatakan bahwa pada 37% pasien abses leher dalam terdapat

269
peningkatan jumlah leukosit di atas 12.000/μL.16 Pemeriksaan leukosit secara serial
merupakan cara yang baik untuk menilai respons terapi. Pada pasien ini jumlah
leukosit mengalami peningkatan pada minggu pertama perawatan dan berangsur-
angsur menurun mendekati normal setelah dilakukan sternotomi dan debridemen.
Perikarditis bakterial umumnya bukanlah infeksi primer melainkan komplikasi
dari infeksi di tempat lain, kejadiannya sangat jarang dengan frekuensi <1% di Eropa.
Berdasarkan kriteria diagnosis perikarditis dan klasifikasi berdasarkan onset maka
dibedakan akut, incessant, rekuren (berulang) dan kronik. Diagnosis perikarditis akut
meliputi sindrom perikardial inflamasi dengan minimal 2 dari 4 kriteria antara lain
nyeri dada perikarditis, , rub pericardial, elevasi segmen ST global dan depresi PR
dan efusi perikardial (baru atau perburukan) serta temuan tambahan peningkatan
penanda inflamasi (C-reactive protein, laju endap darah, lekosit), bukti inflamasi
perikardial dari pencitraan (CT/CMR). Kecurigaan perikarditis akut terpenuhi
mengingat dari 4 kriteria, pasien memiliki 3 diantaranya, yaitu nyeri pleuritik, rub
pericardial, dan manifestasi elektrokardiogram serta temuan tambahan dari penanda
inflamasi yang positif dengan onset yang masih dibawah 3 bulan. Pilihan terapi harus
didasarkan pada riwayat pasien (kontraindikasi, efikasi, efek samping), penyakit
penyerta dan pengalaman dokter. Aspirin dan obat non steroid anti inflammation drug
(NSAID) adalah pilihan utama. Pasien diberikan terapi berupa antiinflamasi ibuprofen
400mg setiap 8 jam dan antagonis reseptor histamin 2 untuk proteksi gaster.5

Dilakukan evakuasi abses dengan anestesi lokal dimana insisi dibuat pada
tempat yang paling fluktuasi. Diseksi tumpul dengan hemostat dilakukan sampai ke
dalam rongga abses dan kemudian dilakukan drainase abses. Setelah itu rongga abses
diirigasi dengan larutan garam fisiologis dan dipasang drain. Dilakukan dilatasi, toilet
luka dan penggantian drain setiap hari pada luka insisi abses hingga bengkak di
bawah
rahang dan dagu hilang serta pus tidak ada lagi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Rana dkk yang mendapatkan sebagian besar pasien abses leher dalam perlu dilakukan
insisi dan drainase (78% pasien) dan hanya 22% pasien yang membaik dengan terapi
medikamentosa saja.15
Setelah hasil CT scan thorak yang menunjukkan adanya mediastinitis akut
maka dilakukan sternotomi dan debridemen oleh sejawat BTKV. Antibiotik tetap
diberikan secara empirik sambil menunggu hasil kultur dan uji tes sensitivitas pasca
sternotomi. Idealnya antibiotik yang diberikan harus sesuai dengan hasil kultur dan tes
resistensi. Karena pemeriksaan ini membutuhkan hasil yang lama, maka pemberian

270
antibiotika dapat berdasarkan empiris atau sesuai dengan pola kuman pada daerah
tersebut.12,13
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan CT-scan thorak dan leher dengan
kesan abses area submandibula kiri yang meluas ke regio colli kiri dan mediastinum
superior sisi kiri. Dari kepustakaan diketahui bahwa jika dicurigai adanya abses leher
dalam maka idealnya harus dilakukan pemeriksaan CT-Scan, karena pemeriksaan ini
dapat membedakan antara selulitis dengan abses, menentukan lokasi dan perluasan
abses.3,4,6
Ketika penyebaran infeksi memasuki mediastinum, penyebaran meningkat
sepanjang mediastinum dan servikal. Tanda dan gejala klinis terdiri dari demam,
nyeri dada, disfagia, sesak nafas dan krepitasi subkutan servikal dan torakal atas. Pada
kasus yang lebih berat gambaran klinis dapat memburuk dengan cepat menjadi sepsis
dan kematian. Pemeriksaan laboratorium ditemukan lekositosis dan laju endap darah
yang meningkat. Kecurigaan mediastinitis dengan foto thorak didapatkan pelebaran
mediastinum atau jaringan lunak paratrakeal, trakea terdorong, gambaran benda asing
atau udara di mediastinum, abses yang menyebabkan perselubungan di daerah
mediastinum. CT scan dapat menunjukkan abses dan pembengkakan jaringan lunak
dan pengumpulan cairan atau udara di mediastinum, limfadenopati, high attenuation
steaks di peristernal serta cairan di pleura dan perikardial. Penanganan mediastinitis
dengan drainase abses melalui torakotomi.3,4,6 Pada pasien ini ditemukan tanda dan
gejala klinis yaitu demam, nyeri dada, disfagia dan sesak nafas, leukositosis dan laju
endap darah yang meningkat. CT scan thorak dengan hasil abses area submandibula
kiri yang meluas ke regio colli kiri dan mediastinum superior sisi kiri.
Pronosis pasien pseudoangina ludovici dengan komplikasi mediastinitis sangat
buruk hampir 40% mengalami kematian.3 Namun pada pasien ini mengalami
perkembangan yang baik.

5. KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien laki-laki berusia 23 tahun dengan diagnosis


pseudoangina ludovici dengan komplikasi mediastinitis akut dan perikarditis
bakterial. Pseudoangina ludovici yaitu suatu peradangan akut dari ruang
submandibular, sublingual bilateral serta ruang submental, terdapat daerah yang
fluktuatif berisi pus. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah sumbatan jalan
nafas, penjalaran infeksi serta abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum serta
sepsis yang menyebabkan semakin sulitnya penanganan dan bahkan dapat
menyebabkan terjadinya kematian. Pasien pseudoangina ludovici dengan komplikasi

271
pada kasus ini menunjukkan perbaikan setelah dilakukan penanganan yang cepat,
multidisiplin dan perawatan yang cukup lama.

272
DAFTAR PUSTAKA

1. Gadre AK, Gadre KC. Infections of the deep spaces of the neck. In: Bailey BJ,
Johnson JT,editors. Head & neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2006. p.665-82.
2. Imanto M. Evaluasi Penatalaksanaan Abses Leher Dalam Di Departemen THT-KL
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2012– Desember 2012. Juke
Unila . 2015; 5(9): 33-37.
3. Brotfain E, Koyfman L, Odes LS, Borer A, Refaely Y, Klein M. Case Report : Deep
Neck Infection and Descending Mediastinits as a Complication of Propionibacterim
acnes Odontogenic Infection. Israel. 2015. Available at: http: //
dx.doi.org/10.1155/2015/190134.
4. Diamantis S, Giannakopoulos H, Chou J, Foote J. Descending necrotizing
mediastinitis as a complication of odontogenic infection. International Journal of
Surgery Case Reports. 2011;2(5):65-7.
5. Imazio M, Gaita F, LeWinter M. Evaluation and Treatment of Pericarditis: A
Systematic Review. Jama. 2015;314(14):1498-506.
6. Panda NK, Mann SBS, Sharma SC. Mediastinitis Following Deep Neck Infections :
A Therapeutic Challenge. In : Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck
Surgery Vol. 52 No. 4. Chandigarh, India. 2000: p.391-4.
7. Rocha FS, Batista JD, Silva CJ, Júnior RB, Raposo LHA. Considerations for the
Spread of Odontogenic Infections — Diagnosis and Treatment2015 2015-04-22.
8. Huang SH, Yang SW, Lee MH, See LC, Chen TM, Chen TA. Deep Neck Abscess:
An Analysis Of Microbial Etiology And The Effectiveness Of Antibiotics. Infection
and Drug Resistance. 2008:1 :1–8.
9. Charles W. Cummings , Lee Harker. Deep neck infection. In : Head & Neck Surgery
Otolaryngology. 4th edition. Pennsylvania: Elsevier Mosby. 2007: p.2517-598.
10. Furst IM, Ersil P, Caminiti M. A Rare Complication of Tooth Abscess-
Ludwig’s Angina and Mediastinitis. In J Can Dent Assoc. America. 2001:p. 324-7
11. Higler Boies A. Rongga Mulut dan Faring. In : Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
EGC; 1997. p.345-6.
12. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke 7. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
2007: p. 185-8
13. Scott BA, Steinberg CM, Driscoll BP. Infection of the deep Space of the neck. In:
Bailley BJ, Jhonson JT, Kohut RI et al editors. Otolaryngology Head and neck
surgery. Philadelphia: JB.Lippincott Company. 2001.p.701-15

273
14. Ballenger J J. Disease of the oral cavity. In: Ballenger J J, Snow Jr J B,eds.
Otorhinolaryngology: Head and Neck Surgery. 15th Ed. United states of
America : Williams & Walkins; 1996. p.233-234.
15. Rana K, Rathore PK, Wadhwa V, Kumar S. Deep Neck Infections: Continuing
Burden in Developing World. International Journal of Phonosurgery and
Laryngology. 2013;3(1):6-9.
16. Rizzo P, Mosto MCD. Submandibular Space Infection: A Potentially Lethal
Infection. International Journal of Infectious Diseases. 2009;13:327-33.
17. Oliver ER, Gillespie MB. Deep Neck Space Infections. In: Flint PW, Haughey BH,
Lund VJ, Niparko JK, Richardson MA, Robbins KT, et al., editors.
18. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 5th ed. Philadelphia: Mosby,
Inc.; 2010. p. 201-8.
19. Aynehchi BB, Har El G. Deep neck Infection. In: Johnson JT & Rosen CA, eds. Bailey’s
Head and Neck Surgery Otolaryngology, 5th edition, Philadelphia: Lippincort
William & Wilkins, 2014: p. 749-816

274
PENATALAKSANAAN BENDA ASING GIGI PALSU DI ESOFAGUS
DENGAN ESOFAGOTOMI SERVIKAL
Oleh:
Wayan Suardana
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar

I. PENDAHULUAN
Benda asing esofagus adalah salah satu masalah umum yang sering
dihadapi oleh dokter THT. Sebanyak 80-90% benda asing pada esofagus dapat
mencapai lambung tanpa kesulitan, 10%-20% harus dikeluarkan dengan ekstraksi
dan 1%-2% diantaranya membutuhkan tindakan pembedahan. Tujuh puluh persen
dari 2394 kasus benda asing esofagus ditemukan di daerah servikal, di bawah
sfingter krikofaring, 12% di daerah hipofaring, dan 7.7% di daerah esofagus
torakal. Dilaporkan 48% dari kasus benda asing yang tersangkut di esofagogaster
menimbulkan nekrosis tekanan dan infeksi lokal. Jenis benda asing yang tertelan
pada anak dan dewasa berbeda. Pada anak biasanya berupa mainan kecil, pernak-
pernik kecil dan uang logam. Sedangkan pada orang dewasa, jenis yang banyak
tertelan berasal dari makanan, biasanya berupa potongan daging dan tulang, serta

gigi palsu. 1,2,3


Gigi palsu sebagai benda asing di esofagus merupakan suatu kasus yang
tidak jarang terjadi. Peningkatan kejadian tertelan gigi palsu akhir-akhir ini terjadi
seiring dengan meningkatnya pemakaian gigi palsu. Ini karena penggantian gigi
yang hilang atau rusak dengan gigi palsu dapat membantu penderitanya dalam
proses mengunyah makanan (mastikasi), memperjelas bicara (artikulasi),
memperbaiki penampilan (estetika) serta meningkatkan harga diri penggunanya.
Namun penggunaan gigi palsu juga mengakibatkan penurunan sensasi makanan
dalam mulut pemakainya, lemahnya kendali motorik atau hilangnya sensasi
laringofaring sehingga sering tertelan.4,5
Gigi palsu memiliki panjang yang berbeda-beda dan sering memiliki
bagian kawat yang menonjol keluar dan berpotensi untuk tertancap di sepanjang
saluran cerna. Secara umum, benda asing yang runcing, tajam, dan panjang
merupakan jenis benda asing yang sulit dan harus segera diekstraksi sebelum
keluar dari lambung. Ini karena 15-35% kasus akan menyebabkan perforasi usus.
Komplikasi lain yang dapat muncul akibat benda asing yakni ulserasi mukosa,
inflamasi dan sepsis hingga menyebabkan kematian.6 Esofagoskopi merupakan

275
cara yang relatif aman dan efektif dalam mengekstraksi benda asing pada sebagian
besar kasus, namun pada beberapa kasus tindakan esofagoskopi tidak dapat
dilakukan atau gagal dalam mengeluarkan benda asing, sehingga diperlukan suatu
tindakan pembedahan berupa esofagotomi. 4
Dalam laporan kasus ini, dilaporkan tindakan esofagotomi servikal yang
dilaksanakan oleh bagian Bedah Toraks dan Kardiovaskuler RSUP Sanglah
dengan pendekatan insisi paramedian pada pasien dengan benda asing gigi palsu
di esofagus bagian servikal setelah gagal esofagoskopi. Laporan kasus ini
bertujuan untuk menambah wawasan kita di bidang THT-KL tentang
penatalaksanaan benda asing gigi palsu di esofagus servikal bila gagal
esofagoskopi sehingga akhirnya diperlukan suatu tindakan bedah terbuka.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Leher terletak di antara kranium dan toraks dengan batas atas dibentuk
oleh tepi bawah mandibula, angulus mandibulae, prosesus mastoideus, linea
nuchae superior dan protuberantia occipitalis externa. Sedangkan batas bawah
adalah manubrium sternum, klavikula dan garis yang melintang dari sendi
akromioklavikula ke prosesus spinosus dari vertebra servikal VII. Rangka tulang
dan tulang rawan leher terdiri atas os hioid, membran tirotiroid, kartilago krikoid
dan trakea. Os hioid terletak setinggi vertebra servikal III dan badan os hioid kira-
kira setinggi sudut rahang. Os hioid merupakan batas yang penting untuk
pembedahan. Otot eksternal laring dan beberapa otot lidah serta dasar mulut
melekat pada os hioid. Membran tirotiroid berada di antara os hioid dan kartilago
tiroid. Membran ini berfungsi sebagai ligamen yang menutup laring dari os hioid
dan melekat pada batas posterior dari tulang dan kornu yang lebih besar. Kartilago
tiroid mengandung dua lamina yang terpisah di belakang tetapi bersatu di depan
membentuk proyeksi yang disebut prominentia laringeus atau Adam’s Apple.
Membran krikotiroid menutup ruang yang memisahkan krikoid dan kartilago
tiroid. Ruang ini merupakan tempat dilakukannya trakeostomi yang paling
sederhana dan paling cepat. Kartilago krikoid membentuk sebuah cincin yang
mengelilingi laring di bawah kartilago tiroid. Bagian anterior yang sempit berupa
sebuah lengkungan yang mudah dirasakan melalui kulit dan berada setinggi

vertebra servikal VI. 6,7

Leher apabila dilihat dari lateral berbentuk persegi panjang yang oleh
muskulus sternokleidomastoideus dibagi menjadi dua yakni trigonum colli
276
(segitiga) anterior dan trigonum colli (segitiga) posterior. Sedangkan pada tempat
otot ini berada disebut sebagai region sternomastoideus yang dimana terdapat
banyak struktur yang berada di bawahnya seperti a. karotis internus, n. vagus, m.

skalenus anterior dan pleksus servikalis.6,7

Gambar 2.1 Segitiga anterior leher yang terdiri dari 1) segitiga submental, 2)
segitiga digastrikus, 3) segitiga muskularis, 4) segitiga karotis. Segitiga posterior
leher yang terbagi menjadi 5) segitiga oksipitalis, 6) segitiga supraklavikula 7

Segitiga anterior dibagi menjadi 4 segitiga yaitu segitiga submentalis,


submandibularis atau digastrikus, muskularis dan karotis. Sedangkan segitiga
posterior dibagi menjadi segitiga oksipitalis dan segitiga supraklavikula. Selain
segitiga tersebut, di bagian dalam terdapat segitiga skalenoventebrate. Segitiga
digastrikus disebut juga sebagai segitiga submandibular dimana struktur yang
paling penting pada segitiga ini adalah kelenjar ludah submandibula. Selain itu
terdapat juga kelenjar limfe, pembuluh darah fasialis, submental dan milohioid,
juga mengandung saraf milohioid, hipoglosus dan glosofaringeus. Segitiga
submental terletak di atas os hyoid dan dibatasi oleh m. milohioid pada bagian
dasar. Segitiga ini mengandung kelenjar limfe submental dan vena jugularis
anterior. Sedangkan segitiga muskularis mengandung empat otot infrahioid yaitu
m. omohioid, m. sternohioid, m. sternotiroid dan m. tirohioid. Segitiga karotis
bagian atas terletak pada m. sternokleidomastoideus, bagian posterior dari m.
digastrikus dan bagian superior dari m. omohioid. Dinamakan segitiga karotis
karena mengandung bifurkasio a. karotis dan cabang tiroid superior, faringeal

asenden, lingual, fasialis dan oksipitalis. 6,7

277
Segitiga posterior dari leher sebenarnya terletak di sisi lateral leher dan
mengelilingi sisi lateral leher seperti spiral. Segitiga posterior dari leher terdiri
dari segitiga oksipital dan segitiga supraklavikularis. Segitiga oksipital
mengandung a. oksipitalis, cabang dari pleksus servikalis dan n. asesorius.
Sedangkan segitiga supraklavikularis mengandung a. subklavia bagian dari
pleksus brakialis, akhir dari v. jugularis eksternus, dan pembuluh darah servikal

superior dan supraskapular.7

Gambar 2.2 Otot pada segitiga anterior leher, termasuk otot infrahioid yang terdiri
dari m. omohioid, m. sternohioid, m. sternotiroid dan m. tirotiroid 7
Esofagus adalah suatu tabung muskular yang terbentang dari hipofaring
sampai ke lambung dengan panjang 23-25 cm pada orang dewasa. Struktur ini
memanjang ke arah bawah mulai dari batas bawah kartilago krikoid setinggi
vertebra servikal VI berjalan dalam leher, mediastinum atas dan medistinum
belakang di depan vertebra servikal dan torakalis, kemudian berakhir pada kardia
lambung setinggi vertebra torakalis XI. Esofagus umumnya dalam keadaan kolaps
bila tidak terdapat makanan yang melewatinya. Esofagus terletak pada garis
tengah kemudian berbelok ke kiri dan kembali ke tengah setinggi mediastinum
kemudian kembali berdeviasi ke kiri ketika melewati hiatus diafragma.
Lengkungan esofagus dilihat dari sisi anteroposterior mengikuti lengkungan dari

vertebra torakal. 8-10

Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan dengan urutan dari dalam keluar
yaitu membran mukosa, submukosa, lapisan otot dan jaringan ikat. Membran
mukosa dilapisi oleh epitel berlapis gepeng non keratinisasi yang merupakan ke
lanjutan dari mukosa faring. Di bagian bawah membran basalis terdapat jaringan
ikat longgar lamina propria yang berisi jaringan dari serabut-serabut elastik dan

278
nodul-nodul limfoid. Pada bagian profunda lapisan lamina propria terdapat
muskularis mukosa yang menebal pada bagian sepertiga ujung esofagus, terdiri
dari serabut otot longitudinal dan merupakan jenis otot polos. Submukosa
berhubungan dengan membran mukosa dan lapisan otot, terdiri dari jaringan ikat
padat dan serabut elastis yang kasar, berisi pembuluh darah dan pleksus Meissner
dan serabut parasimpatis postganglion serta kelenjar esofageal. Kelenjar ini
mensekresi mukus sebagai lubrikan atau pelumas bolus makanan yang melalui
esofagus. Setiap kelenjar bermuara kedalam lumen esofagus dengan saluran
menembus lapisan muskularis mukosa. Pada bagian abdominal berdekatan dengan
pertautan esofagus dengan lambung ditemukan kelenjar lain yang tidak menembus
lapisan muskularis mukosa dan strukturnya mirip dengan kelenjar kardia lambung

sehingga disebut kalenjar kardiaesofageal. 8


Lapisan otot esofagus disusun dari lapisan otot longitudinal di sebelah
superfisial dan lapisan otot sirkuler di sebelah profunda. Serat otot logitudinal
membungkus hampir keseluruhan esofagus, kecuali pada ujung atas pada batas
antara 3-4 cm di bawah kartilago krikoid. Di sini serat menyimpang dari bidang
tengah belakang dan membentuk 2 fasikulus longitudinal yang condong ke atas
dan ke depan ke bagian muka esofagus dimana berhimpit dengan permukaan
belakang lamina kartilago krikoid. Umumnya lapisan otot longitudinal lebih tebal
daripada lapisan otot sirkuler. Lapisan serat otot sirkuler ke arah atas
berkesinambungan dengan otot krikofaring dan otot konstriktor faring bawah. Ke
arah bawah berkesinambungan dengan serat otot oblik lambung. Pada bagian
ujung, serat otot sirkuler membentuk satu komponen dari sfingter fisiologis.
Pleksus Auerbach terletak antara lapisan otot sirkuler dan lapisan otot
longitudinal. Pada sepertiga bagian atas esofagus berotot lurik. Sepertiga bagian
medial esofagus sebagian berotot lurik, sebagian berotot polos. Pada sepertiga
bagian bawah esofagus berotot polos. Lapisan fibrosa terdiri dari adventitia luar
yang ireguler, merupakan jaringan ikat padat yang mengandung banyak serabut

elastin. 8-11

Hubungannya dengan struktur-struktur di sekitar esofagus menyebabkan


terbentuknya penyempitan pada lumen. Esofagus mempunyai empat penyempitan
yang penting dari segi esofagoskopi. Penyempitan pertama yaitu penyempitan
krikofaring pada sfingter krikofaringeal yang disebabkan oleh penekanan otot
krikofaring dan kartilago krikoid. Diameter transversal 23 mm dan antero-
posterior 17 mm berjarak kira-kira 15 cm dari gigi insisivus atas pada orang
dewasa dan terletak setinggi vertebra servikal VI. Penyempitan kedua karena

279
adanya persilangan esofagus dengan arkus aorta. Terletak di sebelah kiri, setinggi
vertebra torakalis IV, yang pada orang dewasa berjarak kira-kira 22-23 cm dari
gigi insisivus atas. Diameter transversal 23 mm dan antero-posterior sebesar 19
JJ. Di daerah ini dapat terlihat pulsasi aorta. Penyempitan ketiga dibentuk antara
esofagus dan bronkus, persilangan ini terletak pada dinding depan kiri esofagus
yang berjarak kira-kira 27 cm dari gigi insisivus atas setinggi vertebra torakalis V
dengan diameter transversal 23 mm. Penyempitan kempat terjadi di tempat
esofagus masuk ke diafragma terdapat pada bagian ujung yang disebut hiatus
esofagus setinggi vertebra torakalis X atau 38-41 cm dari incisivus atas. Di sini
esofagus terjepit oleh krura diafragma yang bekerja sebagai sfingter. Diameter

transversal 23 mm dan antero-posterior 23 mm. 9,10


Esofagus dapat dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan lokasi anatominya
yaitu bagian servikal, torakalis dan abdominal. Esofagus servikal terletak di antara
trakea dan kolumna vertebralis. Pada orang dewasa panjang esofagus servikal 5-6
cm, mulai setinggi servikal VI sampai torakalis I, atau anterior setinggi
suprasternal notch. Dinding depan esofagus servikal melekat erat dengan jaringan
ikat serat otot dinding trakea yang disebut tracheo-esophageal party wall atau
dinding bersama trakea dan esofagus. Di bagian anterolateral, esofagus ini tertutup
oleh kelenjar tiroid, sedang di sisi kiri dan kanan pada lekuk antara trakea dan
esofagus berjalan nervus laringeus rekuren kiri dan kanan ke atas menuju faring
setelah menyilang trunkus brachiocephalicus bagian kanan dan menyilang arkus
aorta bagian kiri. Pada bagian belakang di daerah perbatasan dengan hipofaring,
terdapat daerah dengan resistensi lemah yang disebut locus minoris resistencia
yaitu dinding yang tidak tertutup oleh otot konstriktor faring bawah. Jackson
menyebut introitus esofagus sebagai Gate of tears atau Bab el mandeb. Pada
bagian lateral esofagus terdapat sarung karotis atau carotid sheath beserta isinya.
11

Esofagus bagian torakalis memiliki panjang sekitar 16-18 cm, mulai


setinggi vertebra torakalis I sampai torakalis IX-X. Berada di mediastinum atas
antara trakea dan kolumna vertebralis, kemudian ke mediastinum belakang di
belakang atrium kiri. Dinding depan tetap melekat pada dinding belakang trakea
sampai setinggi torakalis V. Di mediastinum atas, esofagus berjalan ke belakang
ke sisi kanan aorta desendens sampai mencapai bagian bawah mediastinum
kemudian berjalan ke depan dan sedikit ke sisi kiri aorta. Di dalam rongga dada,
esofagus disilang oleh arkus aorta setinggi torakalis IV dan bronkus utama kiri
setinggi torakalis V. Arteri pulmonal kanan menyilang esofagus segera di bawah

280
bifurkasio trakealis. Pada bagian ujung esofagus, di antara dinding belakang
esofagus dan permukaan ventral korpus vertebralis berjalan duktus torakalis, vena
azygos, arteri-arteri serta vena-vena kecul lainnya.8-11
Esofagus bagian abdominal terdiri dari bagian diafragma yang disebut pars
diafragmatika dan bagian esofagus yang berada dalam rongga abdomen. Pada
bagian diafragma panjangnya 1-1,5 cm, dan terletak setinggi vertebra torakalis X,
melewati krus kanan diafragma agak ke kiri bidang tengah disertai oleh n.vagus
kiri di permukaan depannya dan n.vagus kanan di bagian belakangnya. Setelah
melewati diafragma, esofagus melalui lekuk esofageal pada permukaan belakang
lobus kiri hati, selanjutnya melengkung agak tajam ke kiri untuk bergabung
dengan bagian kardia lambung. Pada bagian ini merupakan garis Z dan disebut
taut esofagus-lambung atau gastro-esophageal junction. Bagian esofagus yang
berada di dalam rongga abdomen panjangnya 2–3 cm. Esofagus bagian servikal
menerima perdarahan dari a. tiroid inferior, sebuah cabang dari trunkus
tiroservikalis dari a.subklavia sinistra. Bagian torakal menerima perdarahan yang
berasal dari aorta torakalis desendens, a.interkostalis dan a. bronkial. Sedangkan
bagian abdominal diperdarahi cabang asenden dari a. gastrikus kiri dan a. frenikus
inferior. Pada bagian servikal, vena esofagus berakhir di v. tiroid inferior, pada
daerah torakal berakhir pada v. bronkial, v. azigos dan v. hemiazigos. Pada daerah
abdomen berakhir ke v. koronaria. Esofagus bagian servikal diinervasi oleh n.
laringeus rekuren dan oleh pleksus simpatetikus yang mengelilingi a. tiroid
inferior. Persarafan esofagus berasal dari dua sumber utama yaitu saraf
parasimpatis nervus vagus dan saraf simpatis dari serabut-serabut ganglia simpatis
servikalis inferior, nervus thorakal dan splanknikus. Nervus vagus memberikan
cabang-cabang n. laringeus rekuren dekstra, naik ke arah faring setelah menyilang
a.subklavia dan n. laringeus rekuren sinistra ke arah faring setelah menyilang
arkus aorta. Saraf ini memberikan inervasi saraf parasimpatis pada esofagus pars
servikal, sfingter esofagus atas dan serabut otot esofagus pars thorakal. Sinap
serabut ini dalam dinding esofagus pada ganglia pleksus sub mukosa Meissner
dan pleksus myenterik Auerbach yang terletak antara lapisan otot sirkuler sebelah
dalam dan lapisan otot longitudinal sebelah luar. Badan sel serabut motorik
simpatis preganglionik terdapat dalam kolumna lateral medula spinalis segmen
thorakal II-VI.

281
2.2 Epidemiologi
Korpus alienum di esofagus adalah masalah yang cukup umum ditemui di
rumah sakit. Pada umumnya lebih sering pada anak-anak usia 6 bulan – 6 tahun,
namun dapat juga ditemui pada orang dewasa. Kebanyakan benda asing yang
tertelan pada anak-anak yaitu koin, kancing, baterai kancing dan mainan kecil.
Sedangkan pada orang dewasa benda asing yang paling sering tersangkut adalah

daging, tulang dan gigi palsu. 3


Shivakumar dkk melaporkan dari 152 kasus tertelan benda asing, 48
(31,57%) terjadi pada orang dewasa dan 4 (8,3%) kasus di antaranya merupakan
kasus tertelan gigi palsu.12 Sedangkan Miyazaki dkk. melaporkan bahwa dari 90
kasus tertelan benda asing di esofagus, 86% atau 77 kasus terjadi pada usia 15
tahun ke atas. Tiga belas kasus (17%) pada pasien dewasa tersebut merupakan
kasus tertelan gigi palsu.13 Abdullah dkk dan Telford dkk, seperti yang dikutip
oleh Yadav dll, melaporkan kasus benda asing gigi palsu pada 11,5% dan 18,5%
dari seluruh benda asing di esofagus.3
Tertahannya benda asing di esofagus umumnya terletak pada tempat-
tempat penyempitan baik fisiologis maupun patologis (misalnya striktur). Pada
serial kasus yang dilaporkan oleh Yadav dkk, 3 dari 5 kasus tersangkut pada
esofagus servikal, sedangkan sisanya pada esofagus torakal atas.3 Miyazaki dkk.13
juga melaporkan bahwa lokasi tersangkutnya benda asing paling banyak di
servikal yakni sebesar 33,33% kasus. Diikuti oleh esofagus torakal atas (17%),
esofagus torakal tengah (10%), esofagus torakal bawah (5,6%) dan esofagus
abdominal (3,3%). Untuk gigi palsu sendiri, 70% kasusnya tersangkut di esofagus
dan sisanya terjadi di usus halus dan usus besar. 15 Pada penelitian oleh Ekim,
benda asing paling sering teridentifikasi pada esofagus servikal, biasanya tepat di
bawah krikofaring (16 dari 26 pasien), 6 pasien pada esofagus bagian tengah, dan
4 pasien di esofagus distal.14 Sedangkan Nwaorgu dkk melaporkan sebagian besar
gigi palsu (63,6%) tersangkut di esofagus proksimal, di antara krikofaring dan
toraks.
Tatalaksana benda asing umumnya dengan menggunakan esofagoskopi,
namun tindakan ini gagal pada beberapa kasus sehingga tatalaksana berikutnya
adalah dengan pendekatan bedah terbuka. Shivakumar dkk melaporkan bahwa
satu dari empat pasien yang tertelan gigi palsu membutuhkan operasi terbuka
untuk mengeluarkannya karena tersangkut di sfingter krikofaring.12 Dua dari 13
pasien yang tertelan gigi palsu pada penelitian yang dilakukan Miyazaki dkk harus
menjalani pembedahan terbuka (torakotomi dan laparotomi) karena gagal

282
dilakukan dengan esofagoskopi.13 Nwaorgu dkk. melaporkan 3 (13,6%) dari 22
gigi palsu di esofagus membutuhkan esofagotomi servikal untuk
mengeluarkannya.15

2.3 Diagnosis
Penegakan diagnosis benda asing gigi palsu di esofagus didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Dari anamnesis didapatkan riwayat
tertelan gigi palsu dengan rasa nyeri di daerah leher atau dada, disfagia,
odinofagia, hipersalivasi, rasa penuh di retrosternal, adanya regurgitasi makanan
dan sulit bernapas apabila terjadi penekanan trakea oleh benda asing. Namun pada
beberapa kasus didapatkan riwayat tertelan gigi palsu yang asimtomatis.2
Bandyopadhyay dkk dalam studinya melaporkan bahwa gejala tersering yang
dialami oleh pasien dengan benda asing gigi palsu di esofagus adalah odinofagia
(70,2%). Diikuti oleh disfagia absolut (19,1%), rasa tidak nyaman saat menelan
(6,4%), saliva berlebih (27,7%), mual atau muntah (25,5%), sulit bernapas atau
sensasi tersedak (6,4%), dan asimtomatis (4,3%).18
Pada pemeriksaan laringoskopi indirek dapat ditemukan adanya tumpukan
saliva atau ekskoriasi pada faring. Pemeriksaan rongga mulut dapat digunakan
untuk mengidentifikasi gigi palsu apa yang tertelan. Identifikasi gigi palsu penting
dilakukan untuk memperkirakan lokasi potensial tertahannya gigi palsu,
komplikasi yang mungkin terjadi, nilai suatu pemeriksaan radiologi dan modalitas
terapi yang dapat dilakukan. Hal-hal yang diidentifikasi meliputi dimensi,
konfigurasi, tipe (parsial atau komplit), removable atau fixed serta material gigi
palsu. Kasus tertelan gigi palsu yang paling banyak terjadi adalah gigi palsu
removable. Gigi palsu fixed yang tidak stabil juga berisiko tinggi untuk terlepas
saat makan dan minum. Material yang umumnya digunakan dalam pembuatan gigi
palsu adalah resin akrilik, porselen, emas, nickel-chrome alloy, cobalt-chrome
alloy dan zirconium. Resin akrilik, poly-methyl methacrylate dan porselen adalah
material radiolusen yang menyebabkan tidak tampaknya benda asing pada
pemeriksaan foto rontgen bila keseluruhan gigi palsu terbuat dari bahan tersebut.
Namun demikian, terperangkapnya udara di sekitar gigi palsu dan meningkatnya
ketebalan jaringan lunak prevertebral akibat inflamasi dapat terdeteksi pada foto
polos. Pemeriksaan CT scan dan MRI dapat mendeteksi gigi palsu radiolusen.
Adanya komponen metal pada gigi palsu mempermudah dalam lokalisasi gigi
palsu pada pemeriksaan foto polos. Selain itu foto polos membantu dalam
menentukan komplikasi primer dan sekunder dari tertelannya gigi palsu seperti

283
adanya emfisema jaringan lunak leher, abses, pneumomediastinum,

pneumoperitoneum dan lainnya. 16

2.4 Penatalaksanaan
Impaksi benda asing esofagus menyebabkan edema mukosa dan dinding
esofagus menjadi lemah. Selain itu, gerakan peristaltik sering tidak adekuat untuk
mencegah retensi benda asing. Retensi tersebut dapat menyebabkan perforasi
seiring makin lamanya durasi impaksi. Dengan demikian benda asing esofagus
harus diambil sesegera mungkin setelah terdiagnosis.14 Terdapat 3 modalitas
dalam manajemen pasien dengan korpus alienum gigi palsu di saluran cerna yakni
observasi (tunggu dan awasi), endoskopi (baik dengan esofagoskopi kaku maupun
fleksibel) dan pembedahan terbuka.16
Observasi dilakukan hanya pada kasus dengan dimensi gigi yang kecil dan
konfigurasi yang memungkinkan tidak terjadinya trauma pada saluran cerna (tidak
panjang dan runcing atau tanpa pinggiran yang tajam). Esofagoskopi merupakan
modality of choice karena relatif aman dengan trauma yang minimal. Pada dekade
terakhir ini esofagoskop fiberoptic fleksibel banyak digunakan karena
keamanannya. Selain itu esofagoskopi fleksibel lebih efisien karena dapat
dilakukan pada rawat jalan tanpa bius umum. Namun bila benda asing yang akan
diekstraksi adalah benda yang tajam dan menancap, esofagoskopi kaku adalah
modalitas terapi yang dipilih. Esofagoskop kaku juga sama aman dan efektifnya
bila dilakukan oleh dokter THT berpengalaman. Selain itu, esofagoskopi kaku
memiliki lumen yang lebih luas yang mempermudah ekstraksi dengan mendilatasi
esofagus proksimal dan memungkinkan ekstraksi dengan mata telanjang.
Esofagoskopi kaku memungkinkan observasi langsung ke lumen esofagus,
evaluasi cidera mukosa oleh benda asing serta dalam pencarian adanya benda
asing multipel. Inilah mengapa banyak penulis merekomendasikan ekstraksi

dengan menggunakan esofagoskopi kaku.14 Namun demikian, ekstraksi dengan


esofagoskopi tidak selalu berhasil. Gigi palsu sering memiliki struktur yang lebar
dengan pinggiran yang tajam serta ujung kawat yang runcing sehingga sering
tertanam di dalam mukosa yang edema. Sehingga risiko terjadinya perforasi saat

esofagoskopi ekstraksi meningkat.17 Kontraindikasi utama dilakukannya


esofagoskopi pada korpus alienum gigi palsu adalah sudah adanya komplikasi
atau penyulit baik primer maupun sekunder. Sehingga apabila esofagoskopi gagal

284
mengekstraksi korpus alienum gigi palsu dan terdapat komplikasi dari adanya

korpus alienum, pembedahan esofagus (esofagotomi) dapat dilakukan. 16


Esofagotomi merupakan teknik operasi klasik, teknik ini pertama kali
dilakukan untuk mengeluarkan benda asing di esofagus oleh Goursald tahun 1738,
dan secara sistematis teknik ini pertama kali diuraikan oleh Guattani tahun 1819.
Pada perkembangannya tindakan ini semakin jarang dilakukan setelah
ditemukannya esofagoskop.19 Indikasi esofagotomi pada benda asing di esofagus,
menurut Savary dan Miller serta Terracol dan Sweet seperti dikutip Cahyono
dkk.4 adalah: 1). Benda asing telah tersangkut di esofagus beberapa hari sehingga
menyebabkan infeksi di daerah leher, indurasi dan nyeri sepanjang selubung
karotis; 2). Benda asing berukuran besar dan berbentuk tidak teratur yang telah
beberapa hari berada dalam esofagus; 3). Benda asing mempunyai bagian yang
tajam; 4). Pengangkatan benda asing secara esofagoskopi gagal dan 5). Benda
aing menyebabkan hematemesis hebat atau ada kecurigaan telah terjadi perforasi,
baik secara klinis atau radiologis.
Esofagotomi dilakukan berdasarkan letak tersangkutnya benda asing,
dapat berupa esofagotomi servikal, transtorakal atau transabdominal. Esofagotomi
servikal dimulai dengan membuat insisi kulit setinggi kartilago krikoid pada sisi
tempat benda asing lebih mudah dicapai atau daerah dengan tanda abses. Insisi
dapat dibuat melintang (collar incision) atau mengikuti batas medial dari m.
sternokleidomastoideus (paramedian incision). M. sternokleidomastoideus
disisihkan ke lateral dan carotid sheath diidentifikasi lalu disisihkan ke lateral.
Esofagus tampak berada di belakang trakea lalu esofagus diraba agar lokasi benda
asing dapat dipastikan. Esofagus diinsisi secara vertikal, untuk menghindari
cedera n. laringeus rekuren yang terletak di cekungan trakeoesofagus. Insisi
sebaiknya dibuat lebih ke posterior, selanjutnya benda asing dikeluarkan. Pipa
nasogastrik (NGT) dipasang untuk nutrisi. Luka operasi ditutup dengan perban

tekan.3
Paska operasi, pasien diberikan terapi antibiotik untuk mencegah infeksi,
kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi dan analgetik untuk menangani nyeri
luka operasi. Untuk mempercepat penyembuhan luka serta mencegah terjadinya
fistel, diet diberikan melalui NGT dan pasien diminta untuk tidak menelan ludah.2
Cairan mulai diberikan intra oral pada hari ke-10, dan makanan padat mulai
diperbolehkan setelah 3 minggu. Lama dirawat di rumah sakit rata-rata adalah 7±2

285
hari.4 Untuk mengetahui ada tidaknya fistel atau perforasi paska tindakan

diperlukan pemeriksaan esofagografi.2

2.5 Komplikasi
Benda asing di esofagus dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas
yang signifikan bila durasi dari impaksi memanjang. Lim dan Yeoh dkk seperti
dikutip oleh Yadav dkk menyebutkan bahwa angka komplikasi meningkat dari
3.4% (pada 24 jam setelah onset impaksi) menjadi 23.5% (pada 48 jam setelah
onset impaksi). Namun, pada serial kasusnya angka komplikasinya adalah 0%
walaupun rata-rata durasi impaksi adalah 4.8±1.92 hari.3 Sedangkan angka
mortalitas benda asing esofagus mencapai 22% bila sudah terjadi perforasi
esofagus. 14
Miyazaki dkk dalam penelitiannya melaporkan terjadi laserasi (17,78%),
perforasi (5,56%), perdarahan (1,1%), dan edema faring (1,1%) sebagai
komplikasi tertelannya benda asing pada 90 kasus. Pada semua pasien dengan
perforasi esofagus terdapat udara bebas yang dideteksi dengan CT scan, namun
hanya 20% dari kasus yang memerlukan terapi pembedahan, sisanya hanya
dilakukan terapi konservatif. Empat puluh persen dari pasien dengan perforasi
tersebut merupakan komplikasi pada benda asing gigi palsu.13
Gigi palsu, sebagai prosthesis medis yang digunakan untuk memperbaiki
mastikasi, artikulasi, estetika dan harga diri penggunanya, merupakan tipe benda
asing yang khusus. Ukurannya sangat bervariasi, selain itu esofagoskopi dapat
dipersulit dengan warna bagian gigi palsu yang senada dengan mukosa esophagus
yakni merah muda serta sering terdapat bagian dengan kawat yang mencuat yang

dapat menyebabkan komplikasi serta mempersulit dilakukannya ekstraksi. 16


Komplikasi benda asing gigi palsu yang pernah dilaporkan yakni nekrosis,
perforasi, penetrasi ke organ di dekatnya, perdarahan dan obstruksi. Komplikasi
tersering adalah perforasi, yang dapat menyebabkan komplikasi sekunder yang
fatal berupa infeksi leher dalam, mediastinitis dan peritonitis. Penetrasi ke organ
di dekatnya merupakan komplikasi paling jarang terjadi yang dapat menyebabkan
komplikasi sekunder berupa terbentuknya fistula, seperti fistula trakeoesofageal
dan fistula entero-kolik. Komplikasi lain yang jarang terjadi adalah obstruksi
saluran cerna. Dan hampir semua kasus dengan obstruksi saluran cerna akibat gigi
palsu yang dilaporkan adalah obstruksi esofagus.16

286
Selain dari banda asing yang tertahan di esofagus, tindakan ekstraksi juga
memiliki komplikasi baik ekstraksi dengan esofagoskop maupun pembedahan
terbuka. Komplikasi esofagoskopi meliputi perdarahan faring, bronkospasme,
ekstubasi, stridor, hipoksia, perforasi esofagus dan mediastinitis sehingga operator
haruslah berkompeten. Selain itu anestesi endotrakea sebaiknya digunakan untuk
meminimalisir kemungkinan aspirasi selama tindakan. Pemberian muscle relaxant
juga dianjurkan untuk membantu relaksasi esofagus yang akan mempermudah
ekstraksi benda asing. 14
Esofagotomi dapat menyebabkan berbagai komplikasi berupa perdarahan,
infeksi, cedera n. laringeus rekuren dan striktura esofagus.3 Striktur esofagus ini
berisiko menyebabkan tersangkutnya benda asing di esofagus berulang. Miyazaki
dkk melaporkan bahwa 13.3% kasus korpus alienum di esofagus memiliki riwayat
striktur esofagus akibat esofagotomi sebelumnya.13 Pada laporan kasus yang
dilakukan oleh Toshima dkk mendapatkan bahwa dari laporan kasusnya dan 6
laporan kasus serupa, tidak didapatkan adanya komplikasi paska tindakan
esofagotomi pada benda asing gigi palsu di esofagus.20

2.6 Faktor Risiko dan Pencegahan


Tertelannya gigi palsu dari sudut pandang ahli bedah merupakan suatu
kasus benda asing, sedangkan dari sudut pandang dokter gigi merupakan suatu
komplikasi dari penggunaan gigi palsu itu sendiri. Umumnya tertelannya gigi
palsu terjadi pada pasien dengan gangguan mental dan gangguan kesadaran akut
seperti trauma kraniofasial, stroke, kejang dan intoksikasi. Sedangkan pada pasien
dengan kesadaran baik umumnya mengeluhkan tertelan gigi palsu pada saat
terjatuh, makan, minum, tidur dan saat dibius. Kecerobohan pasien merupakan
faktor yang sering dilaporkan juga sebagai penyebab tertelannya gigi palsu.
Dilaporkan juga penggunaan gigi palsu yang sudah patah menjadi penyebab

tertelannya gigi palsu pada laporan kasus oleh Cahyono dkk. 4,16
Diperlukan usaha untuk mencegah terjadinya kasus tertelan gigi palsu
yang harus diperhatikan baik oleh penggunanya, dokter gigi, dokter UGD,
psikiater serta ahli anestesi. Pasien sebaiknya berhati-hati menggunakan gigi palsu
terutama bila terjadi kerusakan gigi palsu. Dokter gigi sebaiknya
merekomendasikan kontrol ulang dalam waktu sebulan setelah terjadinya suatu
kerusakan atau gigi palsu yang telah longgar. Penggunaan gigi palsu juga
sebaiknya diperhatikan pada saat menerima pasien dengan gangguan kesadaran
akut di UGD, pada pasien dengan gangguan mental serta sebelum dilakukan

287
prosedur pembiusan. Gigi palsu removable atau yang tidak stabil sebaiknya

dilepas. 16

III. LAPORAN KASUS


Seorang perempuan berinisial FLD, usia 32 tahun, beralamat di Waingapu,
Sumba Timur, datang ke RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 25 Februari 2017
pukul 14.45 WITA. Pasien merupakan rujukan dari RS Kristen Lindimara
Waingapu (23 Februari 2017) dengan korpus alienum kawat gigi di esofagus. Dari
anamnesis didapatkan pasien mengeluh tertelan gigi palsu berkawat saat makan
tanggal 23 Februari 2017 pukul 17.00 WIT. Gigi palsu tersebut adalah gigi palsu
geraham rahang atas yang bisa dilepas dan dibuat oleh ahli gigi. Pasien telah
memakai gigi palsu ini selama 1 tahun dan tidak pernah diperiksakan ke dokter
gigi. Rasa mengganjal ada, rasa menusuk juga ada, namun keluhan sesak napas,
muntah dan riwayat batuk mendadak yang hebat setelah tertelan disangkal. Pasien
tidak bisa makan namun masih bisa minum sedikit-sedikit dan saat ini pasien
merasa meriang. Sebelumnya tanggal 23 Februari 2017 pasien telah melakukan
foto rontgen servikal lateral dengan hasil ekspertis tampak korpus alienum
berbentuk kawat setinggi korpus vertebra C6.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan status general dengan keadaan
umum sedang, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 88 kali/menit, temperatur aksila
37,5oC, respirasi 16 kali/menit. Dari hasil pemeriksaan status THT-KL telinga,
hidung, dan tenggorok dalam batas normal. Pada pemeriksaan laringoskopi
indirek didapatkan struktur laring dalam batas normal, tidak terdapat tumpukan
saliva dan tidak tampak korpus alienum. Dilakukan rontgen servikal AP dan
lateral dengan hasil tampak korpus alienum berdensitas logam berbentuk kawat
terproyeksi setinggi korpus vertebra servikal 6 di esofagus dengan soft tissue
swelling di sekitarnya. Dibandingkan dengan foto sebelumnya posisi benda asing
masih tetap sama. Dilakukan rontgen toraks dengan hasil jantung dan paru tidak
tampak kelainan.

288
Gambar 3.1 Rontgen servikal lateral tanggal 23-2-2016 di RS Kristen Lindimara
Waingapu, tampak korpus alienum setinggi korpus vertebra servikal ke-6.

289
Gambar 3.2 Rontgen servikal AP/Lateral tanggal 25-02-2017 di RSUP
Sanglah Denpasar, tampak korpus alienum berdensitas logam berbentuk
kawat terproyeksi setinggi korpus vertebra servikal 6 di esofagus dengan soft
tissue swelling di sekitarnya

Pasien dirawat dengan diagnosis korpus alienum kawat gigi palsu di


esofagus. Pasien diberikan infus NaCl 0,9% dan dextrose 5% 1 berbanding 1
sebanyak 20 tetes/menit. Diberikan antibiotika injeksi Ceftriaxon 1 gram tiap
12 jam intravena setelah skin test. Selain itu diberikan metil prednisolon
62,5mg tiap 12 jam intravena serta ranitidin 50mg tiap 12 jam intravena.
Pasien dipuasakan dan dikonsulkan ke TS Gizi Klinik.
Dilakukan pemeriksaan patologi klinik dengan hasil fungsi hati, fungsi
ginjal dan hemostasis normal namun terdapat peningkatan WBC (16,43 x
103/µL) dan neutrofil absolut 14,37 x 103/µL selain itu terjadi penurunan
kadar hemoglobin 10,84 g/dL. Dilakukan konsultasi TS Penyakit Dalam
untuk toleransi operasi dan dinyatakan pasien dengan risiko ringan.
Dikonsulkan juga ke TS Anestesi untuk evaluasi kelayakan operasi dan tidak
didapatkan adanya kontraindikasi untuk dilakukan tindakan dengan status
fisik ASA 1. Dilakukan juga konsultasi TS Bedah Toraks dan Kardiovaskuler
dengan jawaban siap dilakukan pendampingan selama operasi. Pasien
dipersiapkan untuk dilakukan ekstraksi benda asing menggunakan
esofagoskop kaku dengan persiapan esofagotomi.
Tanggal 27 Februari 2017 dilakukan esofagoskopi ekstraksi
menggunakan esofagoskop kaku dengan tahapan sebagai berikut: 1) Pasien
tidur terlentang di meja operasi di bawah pengaruh general anesthesia dengan
oro-tracheal tube, 2) Silakukan desinfeksi area operasi dan lapangan operasi
dipersempit dengan duk steril, 3) Esofagoskop kaku dimasukkan sambil
kepala diekstensikan, 4) Evaluasi pada DGA 15 ditemukan edema menyeluruh
pada mukosa esofagus terutama arah jam 6, tampak ujung akrilik gigi palsu.
Dicoba melakukan ekstraksi dengan forsep sebanyak 2 kali tetapi gigi palsu
tidak bergerak maju. 6) Esofagoskop dikeluarkan. 7) Dilakukan konsultasi dan
alih rawat pada TS BTKV untuk tindakan ekstraksi selanjutnya.
Oleh TS BTKV, diputuskan untuk melakukan tindakan eksplorasi
esofagus dengan esofagotomi servikal. Dilakukan insisi paramedian colli
sinistra dan diperdalam lapis demi lapis sambil mengendalikan perdarahan.
Esofagus dievaluasi sambil berhati-hati dengan n. laringeus rekuren, vena
jugularis dan arteri karotis sinistra. Lokasi benda asing gigi palsu dirasakan
dengan jari, setelah itu dilakukan esofagotomi dengan insisi vertikal dan
tampak korpus alienum gigi palsu beserta kawatnya. Benda asing diekstraksi
kemudian esofagus dan luka dijahit lapis demi lapis. Dipasang pipa
nasogastrik, lapangan operasi dicuci dan dilakukan pemasangan drain. Luka
ditutup dengan kassa steril dan operasi selesai.
Gambar 3.3 Hasil ekstraksi: gigi palsu rahang atas dengan kawat ukuran
3x2cm.

Paska operasi, pasien diberikan infus NaCl 0,9% berbanding


Aminofusin 1:1 sebanyak 20 tetes/menit, seftriakson 1 gram tiap 12 jam
intravena, ranitidine 50mg tiap 12 jam intravena. Analgetik oleh TS Anestesi
diberikan fentanyl 300mcg dalam 50 mL NaCl 0,9% drip 2,1 mL/jam serta
parasetamol 500mg tiap 6 jam via NGT. Pasien diminta untuk tidak makan
dan minum melalui mulut serta tidak menelan ludah selama terpasang NGT.
Untuk nutrisi diberikan diet cair via NGT 1782 kkal/24jam dengan protein 59
gram. NGT dipertahankan selama 5-7 hari, dilakukan rawat luka setiap hari
sambil observasi produksi drain. Pada hari kedua paska operasi analgetik yang
diberikan hanya parasetamol 3x500 mg. Pada hari ke-7 pasien tidak ada
keluhan, dilakukan aff drain dan NGT. Diet cair bertahap diganti diet bubur
dan pasien diobsevasi 2 hari lagi. Pasien dipulangkan tanggal 8 Maret 2017
dengan obat pulang siprofloksasin 2x500mg dan parasetamol 3x500mg.
Kontrol poliklinik Bedah RSUP Sanglah Denpasar tanggal 14 Maret 2017
tanpa keluhan, makan dan minum lancar, suara serak disangkal, dan luka
operasi terawat baik.
Gambar 3.4 Foto Pasien paska operasi esofagotomi servikal

IV. PEMBAHASAN
Telah dilaporkan kasus seorang wanita usia 32 tahun dengan riwayat
tertelan benda asing gigi palsu di esofagus. Tertelan benda asing umumnya
terjadi pada anak-anak, namun tidak jarang terjadi pada orang dewasa.
Shivakumar dkk melaporkan dari 152 kasus tertelan benda asing, 48 (31,57%)
terjadi pada orang dewasa dan 4 (8,3%) kasus di antaranya merupakan kasus
tertelan gigi palsu. 11 Selain itu, Orji dkk dalam studinya yang melibatkan 131
pasien korpus alienum saluran cerna menyatakan bahwa 61,7% kasus terjadi
pada anak-anak usia 10 tahun ke bawah, sisanya terjadi pada orang dewasa.
Dan 20 kasus di antaranya merupakan korpus alienum gigi palsu 17
Pada kasus ini gigi palsu yang tertelan pada saat pasien makan tersebut
dibuat oleh tukang gigi dan pasien tidak pernah mengontrolkannya ke dokter
gigi selama setahun pemakaian. Penggunaan gigi palsu mengakibatkan
penurunan sensasi makanan dalam mulut pemakainya, lemahnya kendali
motorik atau hilangnya sensasi laringofaring sehingga sering tertelan.
Umumnya tertelannya gigi palsu terjadi pada pasien dengan gangguan mental
dan gangguan kesadaran akut seperti trauma kraniofasial, stroke, kejang dan
intoksikasi. Sedangkan pada pasien dengan kesadaran baik umumnya
mengeluhkan tertelan gigi palsu pada saat terjatuh, makan, minum, tidur dan
saat dibius. Kecerobohan pasien juga merupakan faktor yang sering
dilaporkan sebagai penyebab tertelannya gigi palsu.
3,4,16

Pasien mengeluhkan rasa mengganjal dan rasa menusuk di leher


terutama saat menelan, namun keluhan sesak napas, muntah dan riwayat batuk
mendadak yang hebat setelah tertelan disangkal. Pasien tidak bisa makan
namun masih bisa minum sedikit-sedikit. Bandyopadhyay dkk dalam studinya
melaporkan bahwa gejala tersering yang dialami oleh pasien dengan benda
asing gigi palsu di esofagus adalah odinofagia (70,2%). Diikuti oleh disfagia
absolut (19,1%), rasa tidak nyaman saat menelan (6,4%), saliva berlebih
(27,7%), mual atau muntah (25,5%), sulit bernapas atau sensasi tersedak
(6,4%), dan asimtomatis (4,3%).18
Pemeriksaan radiologi pada pasien bertujuan untuk memastikan lokasi
dan densitas benda asing. Didapatkan benda asing masih terproyeksi di
esofagus setinggi korpus vertebra C-6 dengan gambaran kawat berdensitas
logam. Namun pemeriksaan radiologi ini tidak dapat memberikan gambaran
ukuran dan bentuk benda asing karena basis gigi palsu terbuat dari akrilik
yang bersifat radiolusen. Lokasi benda asing pada kasus ini merupakan lokasi
tersering tersangkutnya benda asing karena terdapat penyempitan fisiologis
setinggi sfingter krikofaring. Penyempitan pertama (penyempitan krikofaring
pada sfingter krikofaringeal), yang disebabkan oleh penekanan otot
krikofaring dan kartilago krikoid ini, memiliki diameter paling sempit di
antara keempat penyempitan fisiologis lainnya. Diameter transversal 23 mm
dan antero-posterior 17 mm, berjarak kira- kira 15 cm dari gigi insisivus atas

pada orang dewasa dan terletak setinggi vertebra servikal VI.9,10 Nwaorgu
dkk melaporkan sebagian besar gigi palsu (63,6%) tersangkut di esofagus

proksimal, di antara krikofaring dan toraks. 15 Yadav dkk, 3 dari 5 kasus


tersangkut pada esofagus servikal, sedangkan sisanya pada esofagus torakal

atas.3 Miyazaki dkk.13 juga melaporkan bahwa lokasi tersangkutnya benda


asing paling banyak di servikal yakni sebesar 33,33% kasus. Untuk gigi palsu
sendiri, 70% kasusnya tersangkut di esofagus dan sisanya terjadi di usus halus

dan usus besar. 15 Pada penelitian oleh Ekim, benda asing paling sering
teridentifikasi pada esofagus servikal, biasanya tepat di bawah krikofaring (16

dari 26 pasien).14 Bandyopadhyay dkk dalam studinya juga menyatakan


bahwa lokasi tersering tersangkutnya benda asing gigi palsu di esofagus

adalah pada esofagus servikal (61,7%). 18

Pada kasus ini direncanakan esofagoskopi ekstraksi dengan


menggunakan esofagoskop kaku, dengan persiapan esofagotomi servikal
apabila benda asing gagal diekstraksi. Persiapan esofagotomi telah dilakukan
sebelum operasi karena adanya kemungkinan tersangkutnya benda asing pada
bagian yang tajam (kawat) serta edema jaringan lunak esofagus yang
meningkatkan risiko terjadinya komplikasi. Saat dilakukan esofagoskopi
ekstraksi, benda asing gagal dikeluarkan setelah dicoba sebanyak 2 kali dan
terdapat edema menyeluruh pada esofagus. Untuk mencegah terjadinya
komplikasi, diputuskan untuk dilakukan esofagotomi servikal oleh TS BTKV
dan benda asing berhasil dikeluarkan. Esofagotomi untuk mengeluarkan gigi
palsu di esofagus adalah tindakan yang tidak jarang dilakukan. Dua dari 13
pasien yang tertelan gigi palsu pada penelitian yang dilakukan Miyazaki dkk
harus menjalani pembedahan terbuka (esofagotomi torakal dan laparotomi)
karena gagal dilakukan dengan esofagoskopi.13 Nwaorgu dkk. melaporkan 3
dari 22 (13,6%) gigi palsu di esofagus membutuhkan esofagotomi servikal
untuk mengeluarkannya. Shivakumar dkk. melaporkan satu dari 4 (25%)
pasien tertelan gigi palsu membutuhkan operasi terbuka untuk
mengeluarkannya karena tersangkut di sfingter krikofaring. 12,15 Sedangkan
Bandyopadhyay dkk melaporkan hanya 1 dari 45 pasien dengan benda asing
gigi palsu yang gagal dengan esofagoskopi dan membutuhkan esofagotomi
servikal. 19
Paska tindakan diberikan terapi antibotik spektrum luas untuk
mengatasi infeksi, analgetik untuk mengatasi nyeri paska operasi dan ranitidin
untuk mengurangi produksi asam lambung. Selama NGT masih terpasang
pasien diminta tidak menelan makanan, minuman maupun ludah untuk
mengistirahatkan esofagus guna mempermudah penyembuhan luka dan
mencegah terjadinya fistel.
4

Selama perawatan dan saat kontrol setelah pulang tidak ditemukan


keluhan, dan pasien dapat makan minum seperti biasa. Tidak terdapat suara
serak, tidak ditemukan tanda-tanda adanya komplikasi. Secara kilinis tidak
ditemukan adanya tanda perforasi berupa trias gejala klasik: nyeri, demam dan
emfisema subkutis. Untuk mengetahui ada tidaknya fistel atau perforasi pada
esofagus diperlukan pemeriksaan esofagografi paska tindakan, namun pasien
menolak karena merasa tidak ada keluhan. 4 Esofagotomi dapat menyebabkan
berbagai komplikasi berupa perdarahan, infeksi, cedera n. laringeus rekuren
dan striktura esofagus.3 Pada laporan kasus yang dilakukan oleh Toshima dkk
mendapatkan bahwa dari laporan kasusnya dan 6 laporan kasus serupa, tidak
didapatkan adanya komplikasi paska tindakan esofagotomi pada benda asing
gigi palsu di esofagus.20

V. KESIMPULAN DAN SARAN


Dilaporkan satu kasus korpus alienum gigi palsu di esophagus yang
gagal dilakukan ekstraksi dengan esofagoskop kaku dan harus menjalani
esofagotomi servikal. Korpus alienum berhasil dikeluarkan dan pasien sembuh
tanpa komplikasi paska tindakan. Dengan meningkatnya penggunaan gigi
palsu, insiden benda asing gigi palsu di saluran cerna diperkirakan akan ikut
meningkat. Sehingga penting bagi dokter gigi atau tukang gigi untuk
mengedukasi bahayanya tertelan gigi palsu dan memperhatikan stabilitas gigi
palsu di dalam mulut.6 Selain itu, disarankan juga untuk melakukan kontrol
apabila terjadi kerusakan atau bila gigi palsu sudah longgar. Dalam
pembuatannya, sebaiknya gigi palsu dibuat tanpa adanya kawat tajam yang
mencuat. Bahan gigi palsu sebaiknya diberi marker radioopak serta marker
warna yang mencolok agar identifikasinya baik secara radiologi dan selama
prosedur esofagoskopi menjadi lebih mudah.19 Diagnosis dan tindakan
ekstraksi juga sebaiknya dilakukan sedini mungkin bila kondisi pasien stabil
untuk mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL. Benda Asing. Dalam: Modul Esofagus.


Edisi ke-2. 2015.
2. Ario MD, Wibowo A. Corpus Alienum di Esofagus Pars Torakalis pada Anak
Laki–Laki Usia 3 Tahun. 2016. J Medula Unila: Vol 6No 1; h88-92.
3. Yadav R, Mahajan G, Mathur RM. Denture plate foreign body of esofagus.
IJTCVS. 2008;24:h191-4.
4. Cahyono A, Hermani B, Hadjat F, Rahman S. Ekstraksi benda asing gigi palsu
di esofagus dengan esofagotomi servikal. ORLI.42 No. 1; 2012: h28-33.
5. Yadav R, Mahajan G, MAthur RM. Denture Plate Foreign Body of Esofagus.
International Journal of Thoracic Vascular Surgery. 2008; 24: h191-4.
6. Thorek P. Anatomy in Surgery. JB Lippincott Company. Sixth impression.
USA.1951.h169-99.
7. Berkovitz BKB, Moxham BJ. A Textbook of Head and Neck Anatomy. Year
Book Medical Publishers.h87-91.
8. L Intzenich CR. Esophageal Disorders. Dalam: Bailey, BJ. Johnson, JT.
Newlands, SD. Penyunting: Head & Neck Surgery – Otolaryngology.
Lippincott Williams & Wilkins . Philadelphia. Edisi ke-5. 2012; h.8-52.
9. Yang YJ, Deutsch ES, Reilly JS. Bronchoesophagology. Dalam:
Ballenger’s
otorhinolaryngology head and neck surgery. Edisi ke-16. Chicago: Bc Decker
Inc; 2003. h1549-77.
10. Peters JH, Demeester T. Esofagus and Diaphragmatic Hernia in Schwartz’s
Principles of Surgery. 8th ed. McGraw Hill. 24. h 836-40.
11. Jackson C. Notes on the Anatomy and Physiology of the Esofagus in
Bronchoesophagology. WB Saunders Company. 11:h225-32.
12. Shivakumar AM, Naik AS, Prashanth KB, Hongal GF, Chaturvedy G. Foreign
body in upper digestive tract. Indian J Otolaryngol 2006; 58:h63-8.
13. Miyazaki T, Hokaman N, Kubo N, Ishiguro T, Sakimoto T, et al. Management
of Esophageal Foreign Bodies: Experience of 90 Cases. Esofagus 2009;
6:h155-9.
14. Ekim H. Management of esophageal foreign bodies: A report on 26
patientsand literature review. Eastern Journal of Medicine 2010; 15: h21-5.
15. Nwaorgu OG, Onakoya PA, Sogebi OA, Kokong DD, Dosumu OO, et al.
Esophageal Impacted Dentures. J Nation Med Assoc 2004; 96:h1350- 3.
16. Gachabayov M, Isaev M, Orujova L, Isaev E, Yaskin E, et al. Swallowed
dentures: Two cases and a review. Anals of Medicine and Surgery 2015; 4:
h407-13.
17. Orji FT, Akpeh JO, Okolugbo NE. Management of esophageal foreign bodies:
Experience in a developing country. World J Surg. 2012; 36: h1083-8.
18. Bandyopadhyay SN, Das S, Das SK, Mandal A. Impacted dentures in the
oesophagus. The Journal of LLaryngology & Otology.2014;128: h468-74.
19. Truedale PE. Oesophagotomy for Foreign Bodies in the Oesophagus. Ann
Surgery 1924; 80: h375-82.
20. Toshima T, Morita M, Sadanaga N, Yoshida R, dkk. Case report: surgical
removal of a denture with sharp clasp impacted in the cervicothoracic
esophagus: Report of three cases. Surg.Today. 2011;41:h1275-9.

Anda mungkin juga menyukai