Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

HEARING LOSS

Oleh :
Gerry Albilardo
NIM I4061192061

Pembimbing :
dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp. THT, KL

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT THT-


KL PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD DR SOEDARSO PONTIANAK
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Laporan Kasus dengan judul :


Hearing Loss

Disusun sebagai salah satu syarat untuk


menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu
Penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso Pontianak

Pontianak, Juli 2021

Pembimbing Laporan Kasus Penyusun

dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp. THT-KL Gerry Albilardo


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
Hearing Loss. Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan
kepaniteraan klinik stase ilmu THT-KL RSUD dr. Soedarso Pontianak.
Penulisan ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dukungan, serta
bimbingan dari semua pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp.
THT-KL selaku pembimbing laporan kasus di SMF Ilmu THT-KL RSUD dr.
Soedarso Pontianak yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, kritik, serta
saran yang membangun. Tidak lupa rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada
para tenaga medis dan karyawan yang telah membantu selama kami mengikuti
kepaniteraan klinik di SMF Ilmu THT-KL RSUD RSUD dr. Soedarso Pontianak
dan juga berbagai pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, maka
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat di harapkan demi
penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya semoga penulisan ini bermanfaat bagi
banyak pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
BAB I
PENDAHULUA
N

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total


untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Saat terjadi
gangguan pendengaran,suara-suara keseharian mulai memudar. Pada kebanyakan
orang prosesnya berjalan sedikit demi sedikit. Biasanya nada tinggi yang terlebih
dulu memudar. Karena nada rendah biasanya terdengar lebih baik dari nada
lainnya, bukan hal yang aneh jika seseorang sudah mulai mengalami gangguan
dan masih mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan pendengarannya. Bila
kondisi pendengaran memburuk, suara yang diperlukan untuk memahami
percakapan makin tidak jelas. Konsonan dengan frekuensi tinggi tidak lagi
terdengar dan membuat makin sulit membedakan satu suara dengan suara yang
lain.1
Secara umum gangguan pendengaran dibagi menjadi 3 macam, yaitu tuli
konduktif, tuli sensorineural, tuli campuran. Ketiganya memiliki etiologi
dan patogenesis yang berbeda-beda. Jadi pada dasarnya pasien yang mengalami
gangguan pendengaran tergantung dari penyebabnya. Gangguan pendengaran
merupakan salah satu keluhan tersering seseorang datang ke dokter untuk
memeriksakan lebih lanjut mengenai keluhannya. Gangguan penurunan
penderangan terjadi akibat adanya kelainan di telinga bagian luar, tengah, dalam
atau otak dalam menerima sinyal.2
Gangguan pendengaran campuran disebabkan oleh kombinasi dari
kerusakan konduktif pada telinga luar atau tengah dan kerusakan sensorineural
ditelinga bagian dalam (koklea) atau pendengaran / saraf pendengaran. Faktor
genetik, paparan berlebih terhadap suara keras, obat-obatan tertentu dan proses
penuaan yang normal dapat menyebabkan gangguan pendengaran
sensorineural. Cacat lahir, penyakit infeksi, tumor atau massa dan cedera kepala
adalah semua kemungkinan penyebab kedua gangguan pendengaran konduktif
dan sensorineural.3
Mengingat besarnya masalah tersebut dan pentingnya kesehatan indera
pendengaran sebagai salah satu faktor penting dalam meningkatkan mutu sumber
daya manusia, maka diperlukan adanya perhatian yang lebih terhadap masalah
kesehatan indera pendengaran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Pendengaran

2.1.1 Telinga Luar4


Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf ”S”, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya
kira-kira 2,5 – 3 cm.

Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar
serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat
pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit
dijumpai kelenjar serumen.

Gambar 2.1 Telinga Luar


2.1.2 Anatomi Telinga Tengah5
Telinga tengah adalah rongga berisi udara didalam tulang temporalis yang
terbuka melalui tuba auditorius (eustachius) ke nasofaring dan melalui nasofaring
keluar. Tuba biasanya tertutup, tetapi selama mengunyah, menelan, dan menguap
saluran ini terbuka, sehingga tekanan dikedua sisi gendang telinga seimbang.

Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar yaitu membran timpani,
batas depan yaitu tuba eustachius, batas bawah yaitu vena jugularis (bulbus
jugularis), batas belakang yaitu aditus ad antrum, kanalis facialis pars vertikalis.
Batas atas yaitu tegmen timpani (meningens/otak), dan batas dalam berturut-turut
dari atas kebawah yaitu kanalis semisirkularis horizontal, kanalis facialis, tingkap
lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promomtorium. Di
dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar
ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga
saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada inkus, dan inkus
melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan
persendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Ditempat ini
terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah
dengan antrum mastoid. Tuba eustahius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.

Gambar 2.2 Membran Timpani


2.1.3 Anatomi Telinga Dalam5
Telinga dalam (TD) terletak di dalam tulang temporal bagian petrosa, di
dalamnya dijumpai labirin periotik yang mengelilingi struktur TD yaitu labirin,
merupakan suatu rangkaian berkesinambungan antara tuba dan rongga TD yang
dilapisi epitel. Labirin terdiri dari labirin membran berisi endolim yang
merupakan satu-satunya cairan ekstraselular dalam tubuh yang tinggi kalium dan
rendah natrium. Labirin membran ini di kelilingi oleh labirin tulang ,di antara
labirin tulang dan membran terisi cairan perilim dengan komposisi elektrolit
tinggi natrium rendah kalium. Labirin terdiri dari tiga bagian yaitu pars superior,
pars inferior dan pars intermedia. Pars superior terdiri dari utrikulus dan saluran
semisirkularis, pars inferior terdiri dari sakulus dan koklea sedangkan pars
intermedia terdiri dari duktus dan sakus endolimpaticus.
Fungsi TD ada dua yaitu koklea yang berperan sebagai organ auditus atau
indera pendengaran dan kanalis semisirkularis sebagai alat keseimbangan. Kedua
organ tersebut saling berhubungan sehingga apabila salah satu organ tersebut
mengalami gangguan maka yang lain akan terganggu. 13 TD disuplai oleh arteri
auditorius interna cabang dari arteri cerebelaris inferior. Aliran darah vena
bersama dengan aliran arteri.

Gambar 2.3 Telinga dalam


2.2 Fisiologi Pendengaran6

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun


telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani
dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke
stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli
bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan
membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke
nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40) di lobus temporalis.

Gambar 2.4 Fisiologi Pendengaran


2.3 Gangguan Pendengaran
2.3.1 Definisi1
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total
medengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Pembagian gangguan
pendengaran berdasarkan tingkatan beratnya gangguan pendengaran, yaitu mulai
dari gangguan pendengaran ringan (20-39 db), gangguan pendengaran sedang (40-
69 db), dan gangguan pendengaran berat (70-89 db).7
2.3.2 Klasifikasi
1. Tuli Konduktif

Disebabkan oleh kondisi patologis kanal telinga eksterna, membran timpani,


atau telinga tengah. Gangguan pendengaran konduktif tidak melebihi 60 db
karena dihantarkan menuju koklea melalui tulang (hantaran tulang) bila
intesitasnya tinggi.penyebab tersering gangguan pendengaran jenis ini
adalah otitis media dan disfungsi tuba eustachius akibat otitis media stadium
supurasi (pada anak) dan sumbatan seruman (pada dewasa).8

2. Tuli Sensorineural

Disebabkan oleh kerusakan atau malfungsi koklea, saraf pendengaran, dan


batang otak sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya. Bila
kerusakan terbatas pada rambut di sel koklea, maka sel anglion dapat
bertahan dan mengalami degenerasi transneural. Bila sel ganglion rusak,
maka nervus VIII akan mengalami degenerasi Wallerian . Penyebabnya
antara lain adalah: kelainan bawaan, genetik, penyakit/kelainan pada saat
anak dalam kandungan, proses kelahiran, infeksi virus, pemakaian obat yang
merusak koklea (kina, antibiotik seperti golongan makrolida), radang selaput
otak, dan hiperbilirubinemia.9

3. Tulu Campuran

Bila gangguan pendengaran atau tuli kondutif dan sensorineural terjadi


bersamaan.10
2.3.3 Faktor Penyebab
Secara garis besar faktor penyebab gangguan pendengaran dapat berasal dari
genetik maupun didapat;

1. Faktor Genetik

Gangguan pendengaran karena faktor genetik pada umumnya berupa


gangguan pendengaran bilateral tetapi dapat pula asimetrik dan mungkin
bersifat statis maupun progresif. Kelainan dapat bersifat dominan, resesif,
berhubungan dengan kromosom X (Hunter’s syndrome, Alport syndrome,
Norrie’s disease), kelainan mitokondria (Kearns-Sayre syndrome) atau
merupakan suatu malformasi pada satu atau beberapa organ telinga (stenosis
atau atresia kanal telinga eksternal sering dihubungkan dengan malformasi
pinna dan rantai osikuler yang menimbulkan tuli konduktif)11

2. Faktor Didapat

Antara lain dapat disebabkan oleh:

a. Infeksi

Antara lain disebabkan oleh otitis media, otitis eksterna sirkumskripta.

b. Kongenital

Contohnya adalah atresia liang telinga

c. Obat Ototoksik

Obat-obatan yang menyebabkan gangguan pendengaran adalah;


Golongan antibiotika; Eritromisin, gentamisin, streptomisin,
netilmisin, amikasin, neomisin, (pada pemakaian eardrop),
kanamisin, etiomisin, vankomisin. Golongan diuretik; furosemid.

d. Trauma

Fraktur tulang temporal, perdarahan telinga tengah, hemotimpanum,


atau perdarahan koklea, dislokasi osikular, trauma suara, dislokasi
osikula auditorius, trauma akustik.
e. Neoplasma

Bilateral acoustic neurinoma (neurofibromatosis) cerebellopontine


tumor, tumor telinga tengah (contoh: rhabdomyosarcoma, glomus
tumor), osteoma liang telinga.12

2.3.4 Derajat Ketulian13,14

Berdasarkan ISO derajat tuli terbagi atas

 0-25 dB : Normal

 26-40 dB : Tuli Ringan

 41-55b dB : Tuli Sedang

 56-70 dB : Tuli Sedang-Berat

 71-90 dB : Tuli Berat

 >90 dB : Tuli Sangat Berat (profound):

Menurut American National Standard Institute, derajat tuli terbagi atas:

 16-25 dB HL : Tuli Sangat Ringan

 26-40 dB HL : Tuli Ringan, tidak dapat mendengar bisikan

 41-70 dB HL : Tuli Sedang, tidak dapat mendengar percakapan

 71-95 dB HL : Tuli Berat, tidak dapat mendengar teriakan

 >95 dB HL : Tuli Sangat Berat, tidak dapat mendengar suara


yang menyakitkan

Tabel 2.1 Derajat Gangguan Pendengaran


Derajat Gangguan Pendengaran ISO ASA

Pendengaran Normal 10-25 dB 10-15 Db


Ringan 26-40 dB 16-29 Db
Sedang 41-55 dB 30-44 Db
Sedang Berat 56-70 dB 45-59 dB
Berat 71-90 dB 60-79 dB
Sangat Berat Lebih 90 dB Lebih 80 dB
2.3.5 Gangguan Pendengaran Jenis Konduktif1

Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara tidak dapat
mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa gangguan
atau lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang telinga tengah,
fenestra ovalis, fenestra rotunda, dan tuba auditiva. Pada bentuk yang murni (tanpa
komplikasi) biasanya tidak ada kerusakan pada telinga dalam, maupun jalur
persyarafan pendengaran nervus vestibulokoklearis (N.VIII).

Gambaran khas yang terjadi pada penderita tuli konduktif diantaranya yaitu :
 Adanya riwayat penyakit telinga luar atau tengah seperti riwayat keluar
cairan dari telinga, rasa penuh di telinga, infeksi sebelumnya, atau
mengorek-ngorek telinga sebelumnya. Mungkin juga dapat ditemukan
riwayat adanya kerusakan membrane timpani, trauma dan sebagainya. Pada
tuli konduktif kongenital biasanya dapat diketahui sejak anak masih sangat
kecil, seperti keluhan anak yang tidak responsif terhadap sekitarnya,
keterlambatan bicara, dan sebagainya.
 Keluhan tinitus sering didapatkan, dengan kekhasan bunyi bernada rendah,
berdengung atau bergemuruh di telinga.
 Penderita biasanya mendengar lebih jelas pada tempat yang ribut (paracusis
Willisi), biasanya berbicara dengan suara yang pelan. Hal ini diakibatkan
karena hantaran tulang pada tuli konduktif meningkat sehingga penderita
merasakan suaranya lebih keras dari yang sebenarnya.
 Biasanya kerabat harus berteriak di depan telinganya. Namun penderita
masih dapat membedakan atau mendiskrimasi berbagai silabel huruf, hanya
kurang keras terdengar di telinga. Fenomena ini terjadi karena pada tuli
konduktif yang terjadi adalah menurunnya ambang pendengaran, bukan
kemampuan mendiskrimasi bunyi.
 Seringkali penderita juga mengeluh sulit mendengar suara-suara bila ia
sedang mengunyah makanan yang menimbulkan suara. Hal ini disebabkan
karena terjadi transmisi suara makanan yang dikunyah melalui mekanisme
hantaran tulang yang menyebabkan efek masking terhadap hantaran udara.
Pemeriksaan fisik pada telinga luar dan telinga tengah dapat menunjukkan
penyebab gangguan konduktif, yang akan dibahas selanjutnya. Pemeriksaan atau
uji penala Rinne pada tuli konduktif menunjukkan hasil negatif, yaitu pada sesaat
setelah bunyi tak lagi terdengar melalui hantaran tulang dan penala dipindahkan ke
depan telinga, penderita tidak dapat mendengar bunyi yang dihasilkan. Sementara
pada tes
penala Weber, akibat meningkatnya kemampuan hantaran tulang pada telinga yang
sakit, maka akan terjadi lateralisasi bunyi ke telinga yang sakit, atau telinga yang
lebih parah tingkat tuli konduktifnya bila terjadi pada kedua telinga. Penentuan tuli
konduktif secara pasti melalui pemeriksaan audiometri. Adapun kriteria khusus
yang dipertimbangkan dalam menentukan tuli konduktif diantaranya:
 Hantaran tulang haruslah lebih baik daripada hantaran udara, dengan
ambang dengar normal atau kurang dari 25 dB.
 Terdapat gap atau perbedaan ambang dengar hantaran udara dan tulang ≥ 10
dB pada dua frekuensi berdekatan, terutama pada frekuensi rendah.
 Ambang dengar hantaran udara > 25
dB Tidak terdapat gangguan
diskriminasi.

2.3.6 Gangguan Pendengaran Jenis Sensorineural1

Tuli sensorineural menjadi masalah yang cukup menyulitkan. Pekerja


industry dan usia tua menderita jenis gangguan dengar ini. Secara umum tuli ini
bersifat irreversible dan sangat mengganggu komunikasi sehari-hari. Kerusakan
jaras pendengaran dapat terjadi baik di tlinga dalam (sensory loss) ataupun di saraf
pendengaran (neural loss).

Gambaran khas yang terjadi pada penderita tuli sensorineural diantaranya yaitu :
 Selain hantaran udara, hantaran tulang juga mengalami gangguan. Hal ini
karena terjadi hambatan dalam transmisi seluruh impuls saraf.
 Penderita tuli sensorineural mengalami kesulitan diskriminasi, sehingga
sulit membedakan bunyi-bunyi konsonan terutama yang berada pada daerah
frekuensi lemah yang dideritanya. Sehingga seringkali sulit memahami apa
yang dibicarakan orang lain. Musik dan kalimat yang terdengar bersamaan
mempersulit pemahaman.
 Jika tuli terjadi bilateral dan dalam waktu yang lama, biasanya penderita
akan berbicara dalam suara yang sangat keras dan bertekanan. Sulit untuk
mendengar apabila berada di tempat yang ramai (cocktail party’s deafness).
 Jika terdapat tinnitus, biasanya bernada tinggi atau terdengar seperti berbisik.
 Ambang dengar hantaran udara dan hantaran tulang mengalami penurunan
dan cenderung berhimpit sehingga tidak ditemukan gap.
Klasifikasi etiologi dari gangguan pendengaran jenis sensorineural yaitu :
 Etiologi Tuli Sensorineural dengan Onset Gradual
1. Presbikusis
2. Occupational hearing loss
3. Tuli sensorineural pada otosklerosis dan OMK
4. Tuli sensorineural penyakit Paget dan Van der Hoeve’s syndrome
5. Efek amplifikasi ABM
6. Neuritis nervus auditorius dan penyakit sistemik
7. Penyebab tidak diketahui
 Etiologi Tuli Sensorineural dengan Onset Mendadak Bilateral
1. Meningitis
2. Infeksi
3. Functional hearing loss
4. Obat-obatan ototoksik
5. Multiple sclerosis
6. Sifilis
7. Penyakit autoimun
8. Penyebab tidak diketahui
 Etiologi Tuli Sensorineural dengan Onset Mendadak Unilateral
1. Gondongan / Mumps
2. Trauma kepala/trauma akustik
3. Penyakit Meniere’s
4. Infeksi viral
5. Ruptur membran tingkap bulat atau membran telinga dalam
6. Penyakit vaskuler
7. Pasca bedah telinga
8. Fistula tingkap lonjong
9. Pasca bedah umum dan narkose umum
10. Sifilis
11. Penybab tidak diketahui
- Etiologi Tuli Sensorineural Kongenital
1. Herediter
2. Inkompatibilitas Rh dengan kern ikterus
3. Anoxia
4. Virus
Prebiskusis adalah gangguan pendengaran sensorineural yang paling
sering terjadi pada orang dewasa. Sangat erat kaitannya dengan proses
degenerasi seiring dengan pertambahan usia. Biasanya terjadi perlahan-
lahan tetapi semakin berat, diawali dengan frekuensi tinggi kemudian
diikuti
frekuensi rendah. Kedua telinga terkena, walaupun derajatnya bisa saja tidak
sama berat. Penurunan ambang dengar sebenarnya terjadi sejak masa awal
kehidupan, sejak anak-anak dengan penurunan 10 dB per dekade dengan
dimulai pada frekuensi tinggi (> 8000 Hz).
Kejadian penurunan ambang dengar secara nyata mulai terasa pada
usia 50 tahun keatas. Occupational hearing loss/trauma bising sering juga
disebut sebagai Noise Induced Hearing Loss. Disebabkan oleh terpajan oleh
bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang lama, dan seringkali
berkaitan dengan lingkungan kerja. Umumnya terjadi pada kedua telinga.
Bising yang intensitasnya > 85 dB dapat menyebabkan kerusakan
pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam. Yang sering mengalami
kerusakan adalah organ Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 –
6000 Hz. Banyak hal yang berkaitan dengan mudahnya seseorang
mengalami tuli akibat bising dipengaruhi oleh intensitas bising yang tinggi,
frekuensi yang lebih tinggi, lama waktu paparan, atau faktor predisposisi
lain seperti penggunaan obat-obatan ototoksik sebelumnya.
Infeksi telinga tengah dapat menyebabkan gangguan pendengaran.
Hal ini disebabkan karena perluasan infeksi dari telinga tengah ke telinga
dalam dan ke serabut saraf telinga dalam. Seringkali merupakan komplikasi
dari otitis media kronik. Sudden sensorineural hearing loss atau disebut
juga tuli mendadak merupakan tuli yang timbul tiba-tiba tanpa penyebab
jelas dan tuli sensorineural ≥30 dB, minimal 3 frekuensi berturut-turut pada
audiometri dan berlangsung < 3 hari. Tuli jenis ini merupakan bentuk
kedaruratan neurotologi dengan kerusakan utama pada koklea yang
umumnya bersifat permanen dan unilateral.
Meskipun dikatakn idiopatik, diperkirakan beberapa hal berikut
dapat menyebabkan tuli mendadak :
 Vascular : iskemia koklea sebagai penyebab utama tuli mendadak.
Spasme/thrombosis/ perdarahan arteri auditiva interna (satu-satunya arteri
yang memperdarahi koklea), iskemia koklea, degenerasi sel-sel ganglion
pada stria vaskularis dan ligamentum spiralis, embentukan jaringan ikat,
kerusakan sel rambut.
 Infeksi virus atau reaktivasi virus laten (parotitis/mumps, campak, influenza
B) yang mengenai organ corti, membrane tektoria, selubung myelin saraf
akustik, tuli berat, terutama frekuensi sedang dan tinggi
 Keganasan seperti neuroma kaustik, metastasis ke tulang temporal atau
meningen, leukemia.
Neuroma akustik merupakan tumor jaringan saraf auditorius
sehingga menyebabkan kerusakan sel rambut atau telinga dalam. Gejala
awal dari acoustic neuroma adalah gangguan pendengaran tingkat sedang
unilateral. Tinitus sering ditemukan dan vertigo bisa didapatkan atau tidak.
Pemeriksaan fisik harus memeriksa secara menyeluruh telinga, hidung, dan
tenggorokan, penilaian nervus kranialis, penilaian serebelum dan tes
Romberg. Sensasi kornea dan kanalis akustikus dapat diperiksa segera
dengan apus kapas, refleks muntah, dengan apusan kapas. Jika refleks
kornea, refleks muntah, atau keterlibatan nervus fasialis, biasanya tumor
berukuran besar.
 Kelainan imunologik peserti penyakit autoimun pada telinga dalam,
penyakit imun sistemik (granulomatosis Wegene, arteritis temporal)
 Obat ototoksik seperti :
- Aminoglikosida, kehilangan sel-sel rambut pada putaran basal koklea,
bersifat bilateral dan bernada tinggi. Golongan obat ini diantaranya
streptomisin, neomisin, gentamisin, kanamisin, dan sebagainya.
- Eritromisin, biasanya terjadi gangguan pendengaran nada tinggi bilateral
dengan tinitus meniup, dan disertai vertigo.
- Loop diuretics, biasanya ringan, terutama bila diberikan intravena.
Golongan obat ini diantaranya furosemide, bumetanide, dan ethycrynic acid.
- OAINS, mengakibatkan tuli berfrekuensi tinggi dan tinnitus, yang sifatnya
sementara.
- Obat Malaria, efeknya tinnitus dan tuli. Karena dapat melalui plasenta,
maka dikhawatirkan dapat menyebabkan tuli kongenital.
- Obat Anti Tumor, gejalanya berupa tuli dengan tinnitus, otalgia dan
gangguan keseimbangan. Biasanya bilateral dimulai pada frekuensi antara
6000-8000 Hz. Golongan obat ini : Cisplatin.
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Untuk pemeriksaan audiologi pada tes penala rinne
(+), Weber lateralisasi ke telinga sehat, audiometri nada murine : tuli
sensorineural ringan-berat, short increment sensitivity index (SISI) : skor <
70% atau 100%.
Tata laksana pada kasus ini, preventifnya seperti diberi vaksin
measles,mumps, rubella pada anak-anak. Untuk kuratifnya dapat dilakukan
tirah baring selama dua minggu untuk menurunkan stress terkait kegagalan
neurovascular, antiviral sesuai dengan etiologi , dan diberikan vasodilator
seperti :
 Papaverin, histamine, aprokain, niasin
 Inhalasi karbogen (oksigen 95% + karbon dioksida 5%) selama 30 menit
sebanyak 6 kali per hari untuk 5 hari
Evaluasi fungsi pendengaran setiap minggu selama satu bulan untuk
menilai
perbaikan pendengaran pada tuli mendadak :
- Sangat baik : perbaikan >30dB pada 5 frekuensi
- Sembuh, perbaikan <30db (frekuensi 250Hz, 500 Hz, 1000Hz, 2000Hz),
<25dB (4000Hz)
- Baik : perbaikan 10-30dB pada 5 frekuensi
- Tidak ada perbaikan : perbaiakan <10dB pada 5 frekuensi.

2.3.7 Gangguan Pendengaran Jenis Campuran1

Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis


konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula gangguan
pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya otosklerosis), kemudian
berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya,
mula- mula gangguan pendengaran jenis sensorineural, lalu kemudian disertai dengan
gangguan hantaran (misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis media.
Kedua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma kepala yang
berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga.
Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua komponen gejala
gangguan pendengaran jenis hantaran dan sensorineural. Pada pemeriksaan fisik atau
otoskopi tanda-tanda yang dijumpai sama seperti pada gangguan pendengaran jenis
sensorineural. Pada tes bisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara bisik
pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata baik yang mengandung nada
rendah maupun nada tinggi. Tes garputala Rinne negatif. Weber lateralisasi ke arah
yang sehat. Schwabach memendek.
2.3.8 Pemeriksaan Pendenfaran1

Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara


dan melalui tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer nada murni.

 Tes Penala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Terdapat berbagai macam tes penala
seperti:
Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran
melalui tulang pada telinga yang diperiksa. Cara pemeriksaannya yaitu penala
digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid, setelah tidak terdengar
penala dipegang di depan telinga kira-kira 2 1/2 cm. Bila masih terdengar disebut
Rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut Rinne negatif (-).
Tes Weber ialah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga
kiri dengan telinga kanan. Cara pemeriksaannya penala digetarkan dan tangkai
penala diletakkan di garis tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di
tengah-tengah gigi seri atau di dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih keras
pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak
dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber
tidak ada lateralisasi.
Tes Schwabach : membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan
pemeriksa yang pendengarannya normal. Cara pemeriksaannya penala digetarkan,
tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi.
Kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga
pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar
disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,
pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada
prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat mendengar
bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira
sama-sama mendengarnya disebut dengan Schwabach sama dengan pemeriksa.
Tabel 3.2 Interpretasi Tes Penala

 Audiometri Nada Murni


Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC, yaitu dibuat dengan garis lurus
penuh (lntensitas yang diperiksa antara 125 - 8000 Hz) dan grafik BC yaitu dibuat
dengan garis terputus-putus (lntensitas yang diperiksa : 250-4000 Hz). Untuk
telinga kiri dipakai warna biru, sedangkan untuk telinga kanan, warna merah. Dari
audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (N) atau tuli. Jenis ketulian,
tuli konduktif, tuli sensorineural atau tuli campur. Dapat dihitung ambang dengar
hantaran udara (AC) atau hantaran tulang (BC). Pada interpretasi audiogram harus
ditulis (a) telinga yang mana, (b) apa jenis ketuliannya, (c) bagaimana derajat
ketuliannya, misalnya : telinga kiri tuli campur sedang. Dalam menentukan derajat
ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran udaranya (AC) saja.
Derajat ketulian ISO
Berikut interpretasi hasil audiogram telinga
BAB III
PENYAJIAN
KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. L
No. RM 146408
Jenis kelamin : Laki-
laki Usia : 54 tahun
Agama : Budha
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Perum 2
Tanggal Periksa : 02 Juli 2021
Pembiayaan : BPJS
3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Pendengaran berkurang di telinga kiri
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli THT RSUD dr. Soedarso dengan keluhan pendengaran
berkurang di telinga kiri sejak satu bulan lalu. Keluhan disertai telinga kiri
terasa penuh/tesumbat dan berdenging jika kepala digoyangkan. Keluhan
yang dirasakan semakin berat setiap hari. Terdapat nyeri seminggu yang lalu
terasa nyut-nyut, cairan (-), gatal (-). Saat berbaring kearah kiri telinga pasien
terasa penuh. Pasien biasa membersihkan telinga dengan cottonbud. Saat
pertama kali keluhan muncul pasien pernah membeli obat tetes di apotik
namun keluhan yang dirasakan tidak berubah. Pada saat pemeriksaan pasien
mengaku tidak ada keluhan lain seperti demam, pusing berputar, dan sakit
tenggorokan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa : tidak ada
Alergi : tidak ada alergi makanan, obat, alergi debu, dan
bahan iritan.
Asma : tidak ada
Rhinitis : Rhinitis kronik (+)
DM: tidak ada
Hipertensi : Hipertensi tidak terkontrol (+)
d. Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan serupa.
e. Riwayat Pengobatan
3 minggu yang lalu pasien menggunakan obat tetes telinga. Namun
pasien lupa nama obat yang digunakan.
f. Riwayat Operasi
Pada tahun 2018 pasien pernah operasi nasal polip.
3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
(E4V5M6) Tekanan Darah :
223/123mmHg
Nadi : 129x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,4°C
SpO2 : 99%
Tinggi Badan : 165
cm Berat Badann: : 67 kg
b. Status Lokalis
Kiri Gambar Kanan
Telinga Auricula DBN DBN
Planummastoidium DBN DBN
Gld. Lymphatica DBN DBN
Can. And. Ext DBN DBN
Membrane DBN DBN
Tympani

Hidung Discharge - -
Concha Eutrofi Eurtrofi
Septum DBN DBN
Tumor - -
Sinus paranasalis DBN DBN

Orofaring Palatum DBN DBN


Uvula DBN DBN
Tonsilo Palatinal T1 T1
Tonsilo Lingualis DBN DBN
Dinding belakang DBN DBN

c. Pemeriksaan Telinga
Bagian Kelainan Auris
Kiri Kanan
Preaurikula Kelainan - -
kongenital
Radang dan tumor - -
Nyeri tekan tragus - -
Aurikula Kelainan - -
kongenital
Radang dan tumor - -
Nyeri penarikan - -
telinga
Krusta - -
Kanalis Kelainan - -
Akustikus kongenital
Eksterna Secret debris - -
Serumen - -
Edema - -
Jaringan granulasi - -
Massa - -
Kolesteatoma - -
Membrane Bentuk Konkaf Konkaf
Timpani Warna Abu-abu Abu-abu
Intak Intak Intak
Reflek cahaya Arah jam 7 Arah jam 5
Gambar

3.4 Resume Medis


Pasien datang ke Poli THT RSUD dr. Soedarso dengan keluhan pendengaran
berkurang di telinga kiri sejak satu bulan lalu. Keluhan disertai telinga kiri terasa
penuh/tesumbat dan berdenging jika kepala digoyangkan. Keluhan yang dirasakan
semakin berat setiap hari. Keluhan nyeri dirasakan saat 1 minggu yang lalu,
keluhan gatal dan keluar cairan disangkal pasien. Keluhan lain seperti demam,
pusing berputar dan sakit tenggorokan disangkal pasien. Pada pemeriksaan
otoendoskopi didapatkan dalam batas normal pada kedua telinga pasien. Pada
pemeriksaan audiometri didapatkan tuli campuran derajat sedang pada telinga
kanan dan tuli campuran derajat sedang berat pada telinga kiri.
3.5 Pemeriksaan Penunjang
Audiometri (terlampir)
3.6 Diagnosis
Mixed Hearing Loss
3.7 Tatalaksana
a. Medikamentosa
1. Alat Bantu Dengar

2. Impan Koklea
b. Non-medikamentosa
1. Tidak boleh berenang, jika mandi lubang telinga ditutup.
2. Tidak boleh mengorek telinga sendiri
3.8 Prognosis
Ad vitam : Bonam

Ad sanationam : Dubia ad

Malam Ad fungsionam : Dubia

ad Malam
BAB IV
PEMBAHASA
N

Dilaporkan satu kasus hearing loss pada pasien laki-laki, 54 tahun yang
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Pasien datang dengan keluhan utama pendengaran berkurang di telinga
kiri sejak satu bulan yang lalu. Gangguan pendengaran dibedakan menjadi
gangguan pendengaran konduktif, sensorineural dan campuran. Dan untuk
derajatnya dibedakan menjadi gangguan pendengaran derajat ringan (26-40 dB),
sedang (41- 60 dB), berat (61-80 dB), dan sangat berat (>81 dB). Klasifikasi
derajat gangguan pendengaran menurut International Standard Organization (ISO)
dan American Standard Association (ASA) yaitu:1
Tabel 3.1 Derajat Gangguan Pendengaran1
Derajat Gangguan Pendengaran ISO ASA
Normal 10-25 dB 10-15 dB
Ringan 26-40 dB 16-29 dB
Sedang 41-55 dB 30-44 dB
Sedang Berat 56-70 dB 45-59 dB
Berat 71-90 dB 60-79 dB

Karena pasien mengeluhkan gangguan pendengaran pada telinga kirinya, maka


dilakukan pemeriksaan audiometri. Dengan derajat ketulian dihitung dengan
menggunakan indeks Fletcher:

Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Audiometri


AC BC
Kanan 55 43
Kiri 60 41
Dari pemeriksaan audiometri didapatkan hasil pendengaran pada telinga
kanan pasien terdapat penurunan ambang dengar pada hantaran udara sebesar 55
dB dan hantaran tulang sebesar 43 dB. Pada telinga kiri pasien didapatkan
penurunan ambang dengar pada hantaran udara sebesar 60 dB dan hantaran tulang
sebesar 41 dB. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada telinga kanan pasien
terdapat tuli campuran dengan derajat sedang dan tuli campuran dengan derajat
sedang berat pada telinga kiri pasien.
Rehabilitasi sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi pendengaran
dilakukan dengan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Pemasang suatu
alat bantu dengar merupakan suatu proses yang rumit yang tidak hanya
melibatkan derajat dan tipe ketulian, namun juga perbedaan antar telinga,
kecakapan diskriinasi dan psikoakustik lainnya. Selain itu pertimbangan kosmetik,
tekanan sosial dan keluarga. Peraturan dari Food and Drug Administration
mengharuskan masa uji coba selam 30 hari untuk alat bantu dengar yang baru,
suatu masa untuk mengetahui apakah alat tersebut cocok dan efektif bagi
pemakai.15,16
BAB V
KESIMPULA
N

Tn. L datang dengan keluhan pendengaran berkurang di telinga kiri sejak satu
bulan lalu. Keluhan disertai telinga kiri terasa penuh/tesumbat dan berdenging jika
kepala digoyangkan. Keluhan yang dirasakan semakin berat setiap hari. Keluhan
nyeri dirasakan saat 1 minggu yang lalu, keluhan gatal dan keluar cairan disangkal
pasien. Keluhan lain seperti demam, pusing berputar dan sakit tenggorokan
disangkal pasien. Pada pemeriksaan otoendoskopi didapatkan dalam batas normal pada
kedua telinga pasien. Pada pemeriksaan audiometri didapatkan tuli campuran derajat
sedang pada telinga kanan dan tuli campuran derajat sedang berat pada telinga
kiri.
Tn. L didiagnosis Mixed Hearing Loss dan diberikan tatalaksana berupa
rehabilitasi dengan alat bantu dengar.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-


KL FK UI. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012
2. Adams, George, Boies, Lawrence, Higler, Peter. BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi VI. Jakarta : EGC. 2012
3. WHO. No Title Hearing loss due to recreational exposure to loud sounds. World
Health Organization. 2015.
4. Meyerhoff W, Carter J. Anatomy and physiology of hearing. In: Diagnosis
and Management of Hearing Loss. WB Saunders; 1984.
5. Nugroho P, WIyadi H. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran Perifer. J THT-
KL. 2009;2(2):76-85.
6. Alberty P. The Anatomy and Physiology of The Ear and Hearing. University
of Toronto; 2006.
7. Helmi, Djafaar, Zainul A, Restuti, Ratna D. Buku Ajar Ilmu KesehatanTelinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher edisi 6. Jakarta: Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2010.
8. Dobie, RA. Hearing loss (Determining Eligibility for Social SecurityBenefits).
Washington DC: The National Academia Press. 2005
9. Wiertsema SP, Leach AJ. Theories of Otitis Media
Pathogenesis.Melbourne: The Medical Journal of Australia. 2009.
10. Ballenger J. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Dan Leher,. 13th
ed. Binarupa Aksara; 1997.
11. He P, Wen X, Hu X, Gong R, Luo Y, Guo C, et al. Hearing Aid Acquisition
in Chinese Older Adults With Hearing Loss. 2018;108(2):241–7.
12. Felfela GM. Ear Anatomy. Global Journal of Otolaryngology.2017; 4(1):1-18.
13. Northern J.L. and Down M.P. Behavioral Hearing Testing in Children. In : Hearing
test in Children. 4rd ed. Williams & Wilkins. 1991. pp 139-187
14. Bellman M. Hearing test in Children. MSc Course in Audiological Medicine.
University College London. 1990.
15. Moore, K. dkk. Clinically Oriented Anatomy. Edisi ke-5. Lippincott Wiliams. 2006
16. Sataloff, R.T et al. Hearing Loss. 3rd ed. Marcel Dekker, Inc. New York. 1993

Anda mungkin juga menyukai