HEARING LOSS
Oleh :
Gerry Albilardo
NIM I4061192061
Pembimbing :
dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp. THT, KL
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
Hearing Loss. Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan
kepaniteraan klinik stase ilmu THT-KL RSUD dr. Soedarso Pontianak.
Penulisan ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dukungan, serta
bimbingan dari semua pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp.
THT-KL selaku pembimbing laporan kasus di SMF Ilmu THT-KL RSUD dr.
Soedarso Pontianak yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, kritik, serta
saran yang membangun. Tidak lupa rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada
para tenaga medis dan karyawan yang telah membantu selama kami mengikuti
kepaniteraan klinik di SMF Ilmu THT-KL RSUD RSUD dr. Soedarso Pontianak
dan juga berbagai pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, maka
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat di harapkan demi
penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya semoga penulisan ini bermanfaat bagi
banyak pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
BAB I
PENDAHULUA
N
Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar
serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat
pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit
dijumpai kelenjar serumen.
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar yaitu membran timpani,
batas depan yaitu tuba eustachius, batas bawah yaitu vena jugularis (bulbus
jugularis), batas belakang yaitu aditus ad antrum, kanalis facialis pars vertikalis.
Batas atas yaitu tegmen timpani (meningens/otak), dan batas dalam berturut-turut
dari atas kebawah yaitu kanalis semisirkularis horizontal, kanalis facialis, tingkap
lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promomtorium. Di
dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar
ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga
saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada inkus, dan inkus
melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan
persendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Ditempat ini
terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah
dengan antrum mastoid. Tuba eustahius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.
2. Tuli Sensorineural
3. Tulu Campuran
1. Faktor Genetik
2. Faktor Didapat
a. Infeksi
b. Kongenital
c. Obat Ototoksik
d. Trauma
0-25 dB : Normal
Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara tidak dapat
mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa gangguan
atau lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang telinga tengah,
fenestra ovalis, fenestra rotunda, dan tuba auditiva. Pada bentuk yang murni (tanpa
komplikasi) biasanya tidak ada kerusakan pada telinga dalam, maupun jalur
persyarafan pendengaran nervus vestibulokoklearis (N.VIII).
Gambaran khas yang terjadi pada penderita tuli konduktif diantaranya yaitu :
Adanya riwayat penyakit telinga luar atau tengah seperti riwayat keluar
cairan dari telinga, rasa penuh di telinga, infeksi sebelumnya, atau
mengorek-ngorek telinga sebelumnya. Mungkin juga dapat ditemukan
riwayat adanya kerusakan membrane timpani, trauma dan sebagainya. Pada
tuli konduktif kongenital biasanya dapat diketahui sejak anak masih sangat
kecil, seperti keluhan anak yang tidak responsif terhadap sekitarnya,
keterlambatan bicara, dan sebagainya.
Keluhan tinitus sering didapatkan, dengan kekhasan bunyi bernada rendah,
berdengung atau bergemuruh di telinga.
Penderita biasanya mendengar lebih jelas pada tempat yang ribut (paracusis
Willisi), biasanya berbicara dengan suara yang pelan. Hal ini diakibatkan
karena hantaran tulang pada tuli konduktif meningkat sehingga penderita
merasakan suaranya lebih keras dari yang sebenarnya.
Biasanya kerabat harus berteriak di depan telinganya. Namun penderita
masih dapat membedakan atau mendiskrimasi berbagai silabel huruf, hanya
kurang keras terdengar di telinga. Fenomena ini terjadi karena pada tuli
konduktif yang terjadi adalah menurunnya ambang pendengaran, bukan
kemampuan mendiskrimasi bunyi.
Seringkali penderita juga mengeluh sulit mendengar suara-suara bila ia
sedang mengunyah makanan yang menimbulkan suara. Hal ini disebabkan
karena terjadi transmisi suara makanan yang dikunyah melalui mekanisme
hantaran tulang yang menyebabkan efek masking terhadap hantaran udara.
Pemeriksaan fisik pada telinga luar dan telinga tengah dapat menunjukkan
penyebab gangguan konduktif, yang akan dibahas selanjutnya. Pemeriksaan atau
uji penala Rinne pada tuli konduktif menunjukkan hasil negatif, yaitu pada sesaat
setelah bunyi tak lagi terdengar melalui hantaran tulang dan penala dipindahkan ke
depan telinga, penderita tidak dapat mendengar bunyi yang dihasilkan. Sementara
pada tes
penala Weber, akibat meningkatnya kemampuan hantaran tulang pada telinga yang
sakit, maka akan terjadi lateralisasi bunyi ke telinga yang sakit, atau telinga yang
lebih parah tingkat tuli konduktifnya bila terjadi pada kedua telinga. Penentuan tuli
konduktif secara pasti melalui pemeriksaan audiometri. Adapun kriteria khusus
yang dipertimbangkan dalam menentukan tuli konduktif diantaranya:
Hantaran tulang haruslah lebih baik daripada hantaran udara, dengan
ambang dengar normal atau kurang dari 25 dB.
Terdapat gap atau perbedaan ambang dengar hantaran udara dan tulang ≥ 10
dB pada dua frekuensi berdekatan, terutama pada frekuensi rendah.
Ambang dengar hantaran udara > 25
dB Tidak terdapat gangguan
diskriminasi.
Gambaran khas yang terjadi pada penderita tuli sensorineural diantaranya yaitu :
Selain hantaran udara, hantaran tulang juga mengalami gangguan. Hal ini
karena terjadi hambatan dalam transmisi seluruh impuls saraf.
Penderita tuli sensorineural mengalami kesulitan diskriminasi, sehingga
sulit membedakan bunyi-bunyi konsonan terutama yang berada pada daerah
frekuensi lemah yang dideritanya. Sehingga seringkali sulit memahami apa
yang dibicarakan orang lain. Musik dan kalimat yang terdengar bersamaan
mempersulit pemahaman.
Jika tuli terjadi bilateral dan dalam waktu yang lama, biasanya penderita
akan berbicara dalam suara yang sangat keras dan bertekanan. Sulit untuk
mendengar apabila berada di tempat yang ramai (cocktail party’s deafness).
Jika terdapat tinnitus, biasanya bernada tinggi atau terdengar seperti berbisik.
Ambang dengar hantaran udara dan hantaran tulang mengalami penurunan
dan cenderung berhimpit sehingga tidak ditemukan gap.
Klasifikasi etiologi dari gangguan pendengaran jenis sensorineural yaitu :
Etiologi Tuli Sensorineural dengan Onset Gradual
1. Presbikusis
2. Occupational hearing loss
3. Tuli sensorineural pada otosklerosis dan OMK
4. Tuli sensorineural penyakit Paget dan Van der Hoeve’s syndrome
5. Efek amplifikasi ABM
6. Neuritis nervus auditorius dan penyakit sistemik
7. Penyebab tidak diketahui
Etiologi Tuli Sensorineural dengan Onset Mendadak Bilateral
1. Meningitis
2. Infeksi
3. Functional hearing loss
4. Obat-obatan ototoksik
5. Multiple sclerosis
6. Sifilis
7. Penyakit autoimun
8. Penyebab tidak diketahui
Etiologi Tuli Sensorineural dengan Onset Mendadak Unilateral
1. Gondongan / Mumps
2. Trauma kepala/trauma akustik
3. Penyakit Meniere’s
4. Infeksi viral
5. Ruptur membran tingkap bulat atau membran telinga dalam
6. Penyakit vaskuler
7. Pasca bedah telinga
8. Fistula tingkap lonjong
9. Pasca bedah umum dan narkose umum
10. Sifilis
11. Penybab tidak diketahui
- Etiologi Tuli Sensorineural Kongenital
1. Herediter
2. Inkompatibilitas Rh dengan kern ikterus
3. Anoxia
4. Virus
Prebiskusis adalah gangguan pendengaran sensorineural yang paling
sering terjadi pada orang dewasa. Sangat erat kaitannya dengan proses
degenerasi seiring dengan pertambahan usia. Biasanya terjadi perlahan-
lahan tetapi semakin berat, diawali dengan frekuensi tinggi kemudian
diikuti
frekuensi rendah. Kedua telinga terkena, walaupun derajatnya bisa saja tidak
sama berat. Penurunan ambang dengar sebenarnya terjadi sejak masa awal
kehidupan, sejak anak-anak dengan penurunan 10 dB per dekade dengan
dimulai pada frekuensi tinggi (> 8000 Hz).
Kejadian penurunan ambang dengar secara nyata mulai terasa pada
usia 50 tahun keatas. Occupational hearing loss/trauma bising sering juga
disebut sebagai Noise Induced Hearing Loss. Disebabkan oleh terpajan oleh
bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang lama, dan seringkali
berkaitan dengan lingkungan kerja. Umumnya terjadi pada kedua telinga.
Bising yang intensitasnya > 85 dB dapat menyebabkan kerusakan
pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam. Yang sering mengalami
kerusakan adalah organ Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 –
6000 Hz. Banyak hal yang berkaitan dengan mudahnya seseorang
mengalami tuli akibat bising dipengaruhi oleh intensitas bising yang tinggi,
frekuensi yang lebih tinggi, lama waktu paparan, atau faktor predisposisi
lain seperti penggunaan obat-obatan ototoksik sebelumnya.
Infeksi telinga tengah dapat menyebabkan gangguan pendengaran.
Hal ini disebabkan karena perluasan infeksi dari telinga tengah ke telinga
dalam dan ke serabut saraf telinga dalam. Seringkali merupakan komplikasi
dari otitis media kronik. Sudden sensorineural hearing loss atau disebut
juga tuli mendadak merupakan tuli yang timbul tiba-tiba tanpa penyebab
jelas dan tuli sensorineural ≥30 dB, minimal 3 frekuensi berturut-turut pada
audiometri dan berlangsung < 3 hari. Tuli jenis ini merupakan bentuk
kedaruratan neurotologi dengan kerusakan utama pada koklea yang
umumnya bersifat permanen dan unilateral.
Meskipun dikatakn idiopatik, diperkirakan beberapa hal berikut
dapat menyebabkan tuli mendadak :
Vascular : iskemia koklea sebagai penyebab utama tuli mendadak.
Spasme/thrombosis/ perdarahan arteri auditiva interna (satu-satunya arteri
yang memperdarahi koklea), iskemia koklea, degenerasi sel-sel ganglion
pada stria vaskularis dan ligamentum spiralis, embentukan jaringan ikat,
kerusakan sel rambut.
Infeksi virus atau reaktivasi virus laten (parotitis/mumps, campak, influenza
B) yang mengenai organ corti, membrane tektoria, selubung myelin saraf
akustik, tuli berat, terutama frekuensi sedang dan tinggi
Keganasan seperti neuroma kaustik, metastasis ke tulang temporal atau
meningen, leukemia.
Neuroma akustik merupakan tumor jaringan saraf auditorius
sehingga menyebabkan kerusakan sel rambut atau telinga dalam. Gejala
awal dari acoustic neuroma adalah gangguan pendengaran tingkat sedang
unilateral. Tinitus sering ditemukan dan vertigo bisa didapatkan atau tidak.
Pemeriksaan fisik harus memeriksa secara menyeluruh telinga, hidung, dan
tenggorokan, penilaian nervus kranialis, penilaian serebelum dan tes
Romberg. Sensasi kornea dan kanalis akustikus dapat diperiksa segera
dengan apus kapas, refleks muntah, dengan apusan kapas. Jika refleks
kornea, refleks muntah, atau keterlibatan nervus fasialis, biasanya tumor
berukuran besar.
Kelainan imunologik peserti penyakit autoimun pada telinga dalam,
penyakit imun sistemik (granulomatosis Wegene, arteritis temporal)
Obat ototoksik seperti :
- Aminoglikosida, kehilangan sel-sel rambut pada putaran basal koklea,
bersifat bilateral dan bernada tinggi. Golongan obat ini diantaranya
streptomisin, neomisin, gentamisin, kanamisin, dan sebagainya.
- Eritromisin, biasanya terjadi gangguan pendengaran nada tinggi bilateral
dengan tinitus meniup, dan disertai vertigo.
- Loop diuretics, biasanya ringan, terutama bila diberikan intravena.
Golongan obat ini diantaranya furosemide, bumetanide, dan ethycrynic acid.
- OAINS, mengakibatkan tuli berfrekuensi tinggi dan tinnitus, yang sifatnya
sementara.
- Obat Malaria, efeknya tinnitus dan tuli. Karena dapat melalui plasenta,
maka dikhawatirkan dapat menyebabkan tuli kongenital.
- Obat Anti Tumor, gejalanya berupa tuli dengan tinnitus, otalgia dan
gangguan keseimbangan. Biasanya bilateral dimulai pada frekuensi antara
6000-8000 Hz. Golongan obat ini : Cisplatin.
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Untuk pemeriksaan audiologi pada tes penala rinne
(+), Weber lateralisasi ke telinga sehat, audiometri nada murine : tuli
sensorineural ringan-berat, short increment sensitivity index (SISI) : skor <
70% atau 100%.
Tata laksana pada kasus ini, preventifnya seperti diberi vaksin
measles,mumps, rubella pada anak-anak. Untuk kuratifnya dapat dilakukan
tirah baring selama dua minggu untuk menurunkan stress terkait kegagalan
neurovascular, antiviral sesuai dengan etiologi , dan diberikan vasodilator
seperti :
Papaverin, histamine, aprokain, niasin
Inhalasi karbogen (oksigen 95% + karbon dioksida 5%) selama 30 menit
sebanyak 6 kali per hari untuk 5 hari
Evaluasi fungsi pendengaran setiap minggu selama satu bulan untuk
menilai
perbaikan pendengaran pada tuli mendadak :
- Sangat baik : perbaikan >30dB pada 5 frekuensi
- Sembuh, perbaikan <30db (frekuensi 250Hz, 500 Hz, 1000Hz, 2000Hz),
<25dB (4000Hz)
- Baik : perbaikan 10-30dB pada 5 frekuensi
- Tidak ada perbaikan : perbaiakan <10dB pada 5 frekuensi.
Tes Penala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Terdapat berbagai macam tes penala
seperti:
Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran
melalui tulang pada telinga yang diperiksa. Cara pemeriksaannya yaitu penala
digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid, setelah tidak terdengar
penala dipegang di depan telinga kira-kira 2 1/2 cm. Bila masih terdengar disebut
Rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut Rinne negatif (-).
Tes Weber ialah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga
kiri dengan telinga kanan. Cara pemeriksaannya penala digetarkan dan tangkai
penala diletakkan di garis tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di
tengah-tengah gigi seri atau di dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih keras
pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak
dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber
tidak ada lateralisasi.
Tes Schwabach : membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan
pemeriksa yang pendengarannya normal. Cara pemeriksaannya penala digetarkan,
tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi.
Kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga
pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar
disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,
pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada
prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat mendengar
bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira
sama-sama mendengarnya disebut dengan Schwabach sama dengan pemeriksa.
Tabel 3.2 Interpretasi Tes Penala
Hidung Discharge - -
Concha Eutrofi Eurtrofi
Septum DBN DBN
Tumor - -
Sinus paranasalis DBN DBN
c. Pemeriksaan Telinga
Bagian Kelainan Auris
Kiri Kanan
Preaurikula Kelainan - -
kongenital
Radang dan tumor - -
Nyeri tekan tragus - -
Aurikula Kelainan - -
kongenital
Radang dan tumor - -
Nyeri penarikan - -
telinga
Krusta - -
Kanalis Kelainan - -
Akustikus kongenital
Eksterna Secret debris - -
Serumen - -
Edema - -
Jaringan granulasi - -
Massa - -
Kolesteatoma - -
Membrane Bentuk Konkaf Konkaf
Timpani Warna Abu-abu Abu-abu
Intak Intak Intak
Reflek cahaya Arah jam 7 Arah jam 5
Gambar
2. Impan Koklea
b. Non-medikamentosa
1. Tidak boleh berenang, jika mandi lubang telinga ditutup.
2. Tidak boleh mengorek telinga sendiri
3.8 Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad
ad Malam
BAB IV
PEMBAHASA
N
Dilaporkan satu kasus hearing loss pada pasien laki-laki, 54 tahun yang
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Pasien datang dengan keluhan utama pendengaran berkurang di telinga
kiri sejak satu bulan yang lalu. Gangguan pendengaran dibedakan menjadi
gangguan pendengaran konduktif, sensorineural dan campuran. Dan untuk
derajatnya dibedakan menjadi gangguan pendengaran derajat ringan (26-40 dB),
sedang (41- 60 dB), berat (61-80 dB), dan sangat berat (>81 dB). Klasifikasi
derajat gangguan pendengaran menurut International Standard Organization (ISO)
dan American Standard Association (ASA) yaitu:1
Tabel 3.1 Derajat Gangguan Pendengaran1
Derajat Gangguan Pendengaran ISO ASA
Normal 10-25 dB 10-15 dB
Ringan 26-40 dB 16-29 dB
Sedang 41-55 dB 30-44 dB
Sedang Berat 56-70 dB 45-59 dB
Berat 71-90 dB 60-79 dB
Tn. L datang dengan keluhan pendengaran berkurang di telinga kiri sejak satu
bulan lalu. Keluhan disertai telinga kiri terasa penuh/tesumbat dan berdenging jika
kepala digoyangkan. Keluhan yang dirasakan semakin berat setiap hari. Keluhan
nyeri dirasakan saat 1 minggu yang lalu, keluhan gatal dan keluar cairan disangkal
pasien. Keluhan lain seperti demam, pusing berputar dan sakit tenggorokan
disangkal pasien. Pada pemeriksaan otoendoskopi didapatkan dalam batas normal pada
kedua telinga pasien. Pada pemeriksaan audiometri didapatkan tuli campuran derajat
sedang pada telinga kanan dan tuli campuran derajat sedang berat pada telinga
kiri.
Tn. L didiagnosis Mixed Hearing Loss dan diberikan tatalaksana berupa
rehabilitasi dengan alat bantu dengar.
DAFTAR PUSTAKA