Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN KASUS

SINUSITIS FRONTALIS et MAXILARIS BILATERAL


PADA PASIEN WANITA DI POLIK THT-KL RSUD DOK II
JAYAPURA
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian akhir stase
Pada Bagian Ilmu Kesehatan THT Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

Oleh :
Agus Rumpedai (2019086016365)
Alowisia T Seralarat (2019086016271)
Nadine G Patanduk ( 2019086016421)

Pembimbing :
dr. Rosmini, Sp.THT-KL
dr. Agustina, Sp.THT-KL

SMF ILMU KESEHATAN THT RSUD JAYAPURA


UNIVERSITAS CENDERAWASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN
JAYAPURA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sinus paranasalis (maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan
sfenoidalis) adalah rongga di sekitar yang selalu terisi udara dan
berhubungan dengan saluran hidung melalui ostium yang kecil. Kondisi
inflamasi pada sinus paranasalis dapat menyebabkan sinusitis yang
mempunyai dampak sosial ekonomi yang signifikan setiap tahunnya,
berhubungan dengan biaya kesehatan dan jam kerja karena sakit.
Sinusitis mewakili salah satu dari penyakit yang paling sering
membutuhkan pengobatan dengan antibiotika pada populasi dewasa.
Tantangan bagi para klinisi dalam mengevaluasi pasien dengan
kemungkinan sinusitis adalah untuk mencoba membedaan infeksi
virus saluran nafas atau rhinitis alergika, yang tidak
membutuhkan pengobatan dengan menggunakan antibiotika, dengan
sinusitis kronis atau akut yang memberikan respon dengan pengobatan
antibiotika.
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan
tersering di dunia. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan
bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke- 25 dari 50
pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat
jalan di rumah sakit.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis
sehingga sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis.
Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan
mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat
mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting
bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki
pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis
dari penyakit rinosinusitis ini.
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh
infeksi bakteri. Kebanyakan infeksi bakteri terjadi pada keadaan
dimana terjadi gangguan fungsi, obstruksi anatomi, inflamasi,
drainase yang terganggu, dan perkembangan bakteri yang berlebihan.
Kemudian sinus akan dipenuhi oleh cairan purulen. Hal tersebut terjadi
karena proses inflamasi menyebabkan peningkatan sekresi dan edema
pada mukosa sinosial. Dengan progresifnya komponen inflamasi, secret
tersebut tertahan di dalam sinus paranasal yang dapat terjadi karena
gangguan fungsi silia dan obstruksi dari ostium sinus yang relative
kecil. Posisi ostium yang melawan gravitasi secara tidak langsung juga
menyebabkan buruknya drainase. Onstruksi tersebut menyebabkan
pengurangan tekanan parsial oksigen di dalam sinus dan menyebabkan
kondisi anaerobic di dalam sinus. Factor-faktor inilah yang
menyebabkan kondisi yang ideal dalam pertumbuhan bakteri pathogen,
dan menyebabkan sinusitis. Rhinitis alergi dan infeksi virus pada
saluran nafas atas yang berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya
sinusitis, dimana sinus maksilaris adalah sinus yang paling sering
terjadi infeksi.
Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus
etmoid dan maksila. Yang berbahaya dari sinusitis adalah
komplikasinya ke orbita dan intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat
tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat
dihindari.
Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi
penting karena hal diatas. Awalnya diberikan terapi antibiotik dan jika
telah begitu hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip
atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah diagnosa pada kasus sudah tepat ?
2. Apakah penyebab masalah pada kasus ini ?
3. Apakah penatalaksanaan yang di lakukan pada kasus sudah tepat ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi


2.1.1. Anatomi Hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah
dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Bagian dari
kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut sebagai vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang memiliki banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut
dengan vibrise.

a. Septum Nasi
Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum
dibentuk oleh tulang rawan, dilapisi oleh perikondrium pada bagian
tulang rawan dan periostium pada bagian tulang sedangkan diluarnya
dilapisi juga oleh mukosa hidung. Bagian Tulang terdiri dari :
1) Lamina perpendikularis os etmoid:
Lamina perpendikularis os etmoid terletak pada bagian supero-
posterior dari septum nasi dan berlanjut ke atas membentuk lamina
kribriformis dan Krista gali.

2) Os Vomer:
Os vormer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os
vomer merupakan ujung bebas dari septum nasi.
3) Krista nasi os maksila: Tepi bawah os vomer melekat pada krista
nasiis os maksila dan os palatina.
4) Krista nasi os palatine 
Bagian Tulang Rawan terdiri dari :
1) Kartilago septum (kartilago kuadrangularis) : Kartilago septum
melekat dengan erat pada os nasi, lamina perpendikularis os etmoid,
os vomer dan krista nasiis os maksila oleh serat kolagen.
2) Kolumela: Kedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan
satu sama lain oleh sekat tulang rawan dan kulit yang disebut
kolumela.

Gambar 1.1. Anatomi Hidung

Dinding lateral rongga hidung dibentuk oleh permukaan dalam


prosesus frontsalis os maksila, os lakrimalis, konka inferior dan
konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka
inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina
pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka.
Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,
kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi
konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan
konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan
tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian
dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus. Tergantung
dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk
oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os
palatum.

Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis


superior dan inferior, os nasi, prosesus frontalis os maksila, korpus os
etmoid dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk
oleh lamina kribrosa yang dilalui filament-filamen n.olfaktorius
yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka
superior.

b. Pendarahan Hidung
Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri
sfenopalatina yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari
arteri karotis eksterna). Septum bagian antero-inferior diperdarahi
oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari arteri maksilaris) yang
masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang dari
arteri fasialis) memperdarahi septum bagian anterior mengadakan
anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih
superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga
Little’s area yang merupakan sumber perdar ahan pada epistaksis.
Arteri karotis interna memperdarahi septum nasi bagian
superior melalui arteri etmoidalis anterior dan superior. Bagian
bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan
arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang
ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Vena sfenopalatina
mengalirkan darah balik dari bagian posterior septum ke
pleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis.
Pada bagian superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui
vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus sagitalis superior.

c. Persarafan Hidung
Bagian antero-superior septum nasi mendapat persarafan
sensori dari nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari
nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (n.V1).
Sebagian kecil septum nasi pada antero-inferior mendapatkan
persarafan sensori dari nervus alveolaris cabang antero-superior.
Sebagian besar septum nasi lainnya mendapatkan persarafan sensori
dari cabang maksilaris nervus trigeminus (n.V2). Nervus
nasopalatina mempersarafi septum bagian tulang, memasuki rongga
hidung melalui foramen sfenopalatina berjalan berjalan ke septum
bagian superior, selanjutnya kebagian antero-inferior dan mencapai
palatum durum melalui kanalis insisivus.

d. Sistem Limfatik
Aliran limfatik hidung berjalan secara paralel dengan aliran
vena. Aliran limfatik yang berjalan di sepanjang vena fasialis
anterior berakhir pada limfe submaksilaris.

2.1.2. Anatomi Sinus


Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan
langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus
maksila (antrum) dan sel-sel dari sinus etmoid, sebelah kranial
adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah sinus sphenoid. Sinus
sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap nasofaring. Sinus
paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir yang
dibentuk di dalam sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis.
Alirannya dimulai dari sinus frontal, sel etmoid anterior, dan sinus
maksila kemudian masuk ke meatus-medius. Sedangkan aliran dari sel
etmoid posterior dan sinus sfenoid masuk ke meatus superior. Aliran
yang menuju ke dalam meatus inferior hanya masuk melalui duktus
nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang penting ialah bagian depan-
tengah meatus medius yang sempit, yang disebut kompleks ostiomeatal.
Daerah ini penting karena hampir semua lubang saluran dari sinus
paranasal terdapat di sana.
Pada saat lahir, sinus paranasal belum terbentuk, kecuali beberapa
sel etmoid. Kemudian baru pada sekitar umur dua belas tahun, semua
sinus paranasal terbentuk secara lengkap. Kadang-kadang, salah satu
dari sinus frontal tidak terbentuk. Bagian belakang nasofaring
berbatasan dengan fossa sfeno-palatina. Secara embriologik, sinus
paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai dari pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada
sejak saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus
etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal
dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya
mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.

a. Bagian-Bagian Sinus
Gambar 1.2. Bagian-bagian Sinus

1) Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus pertama yang muncul (7-10
minggu masa janin). Sinus maksila adalah sinus paranasal yang
terbesar dan bervolume 6-8 ml saat lahir (Soetjipto, 2010). Proses
terbentuknya sinus maksila berasal dari ekspansi infundibulum
etmoid ke dalam maksila hingga membuat suatu massa. Proses
ekspansi tersebut menghasilkan suatu rongga kecil pada saat lahir
yang berukuran 7 x 4 x 4 mm. Pertumbuhan dan
perkembangannya terus berlanjut pada masa anak-anak kira-kira 2
mm secara vertikal dan 3 mm anteroposterior. Proses
perkembangan tersebut mulai menurun pada usia 7 tahun,
diikuti fase pertumbuhan kedua berikutnya. Pada usia 12 tahun,
pneumatisasi mencapai bagian lateral, yaitu di bawah bagian
lateral dinding orbita pada sisipan prosesus zigomatikus, secara
inferior ke bagian dasar hidung dan setelah pertumbuhan gigi
(dentisi) kedua di bawah dasar hidung. Setelah proses dentisi,
sinus hanya akan membesar secara perlahan-lahan dan mencapai
ukuran maksimum pada usia 17 hingga 18 tahun. Ukuran standar
volume sinus maksila pada orang dewasa adalah sekitar 15 cm2
dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid. Dasar piramid
dibentuk oleh dinding medial sinus maksilaris   dengan sisi apeks
piramid ke arah resesus zigomatikus.
Menurut Damayanti Soetjipto dan Endang Mangunkusumo
(2010), yang perlu diperhatikan dari segi anatomi sinus maksila
berdasarkan segi klinis adalah bahwa dasar sinus maksila sangat
berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan
P2), molar (M1 dan M2), dan terkadang gigi taring (C) dan gigi
moral M3.
Selanjutnya sinusitis maksilaris juga dapat menimbulkan
komplikasi orbita. Selain itu, letak ostium sinus maksila yang
lebih tinggi dari dasar sinus menyebabkan drenase hanya
tergantung dari gerak silia. Drenase yang harus melalui
infundibulum yang sempit juga dapat menyebabkan sinusitis jika
di daerah tersebut mengalami inflamasi.
Batas – batas dinding sinus maksilaris :
Dinding anterior : permukaan fasial os maksila (fossa kanina)
Dinding posterior : permukaan infra-temporal maksila
Dinding medial : dinding lateral rongga hidung
Dinding superior : dasar orbita
Dinding inferior : prosesus alveolaris dan palatum

2) Sinus Frontal
Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam
ukuran dan bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin
dikenal sebagai sebuah sel etmoidalis anterior. Ukurannya
tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin tidak ada sama
sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan sebuah
septum intersinus. Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus
frontal yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian
yang paling anterior dan segmen superior dari kompleks etmoid
anterior ini, tulang frontal secara berangsur-angsur mengalami
pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal yang ukurannya
bervariasi. Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit
dibedakan dari sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan
pneumatisasi sinus maksilaris yang cepat, proses pneumatisasi
sinus frontal secara inisial sangat lambat. Meskipun begitu,
pneumatisasinya akan tampak jelas  pada gambaran CT-scan
pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun,
pneumatisasi akan meluas secara superior dan pada usia 12 tahun
sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi mungkin akan
berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal
merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan variasi.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu
lebih besar dari pada yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat
yang terletak di bagian tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa
hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus
frontalnya tidak berkembang.
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x
2 cm (dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi
sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum
atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukan
adanya infeksi sinus.
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relative tipis dari
orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini. Draenase sinus ini melalui
ostium yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan denga
infundibulum etmoid.

3) Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling
bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena
dapat merupakan ‘fokus infeksi’ bagi sinus-sinus lainnya. Selama
9 dan 10 minggu masa gestasi, 6 hingga 7 lipatan muncul di
bagian dinding lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan-lipatan
ini dipisahkan dari satu dengan yang lain sesuai alurnya. Lebih
dari seminggu kemudian, lipatan-lipatan tersebut berfusi menjadi
3-4 puncak dengan sebuah bagian anterior 'ascending ' dan
sebuah bagian posterior 'descending ' (ramus asendens dan ramus
desendens). Semua struktur permanen etmoid berkembang dari
puncak tersebut.
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke
posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian
anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-
rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini
jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius
dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior.
Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian
posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan
lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina
basalis.
Pada bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat
resesus frontal yang  berhubungan dengan sinus frontal. Di
daerah etmoid anterior terdapat suatu area penyempitan disebut
infundibulum yang merupakan tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Peradangan di resesus frontal mengakibatkan sinusitis
frontal. Sementara jika peradangan terjadi di infundibulum
mengakibatkan sinusitis maksila.
Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian resesus yang dibatasi
5 sekat tulang atau lamela. Lamela ini diberi nama dari yang
paling anterior ke posterior : prosesus uncinatus, bula etmoidalis
(sel etmoid yang terbesar), dasar atau lamela basalis dan konka
superior. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis
berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah
lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid
dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. 

4) Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling
posterior. Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan
ketiga intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus
sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga
kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3
tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7
tahun mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm
(tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya). Volumenya bervariasi
dari 5 sampai 7,5 ml (Soetjipto, 2010). Pada orang dewasa,
derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan
menjadi hal utama yang harus diperhatikan.
Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di
bagian lateral os sphenoid akan menjadi sangat berdekatan
dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding
sinus sphenoid. Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa
serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah
atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons.

2.1.3. Kompleks Ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding
lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea.
Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid,
agger nasi dan ressesus frontal.
KOM merupakan unit fungsional yang merupakan
tempat ventilasi dan draenase dari sinus-sinus yang letaknya di
anterior yaitu sinus maksila, sinus etmoid anterior, dan sinus frontal.
Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi
perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.
(Gambar 1.3 Kompleks Ostiomeatal/ KOM)

2.1.4. Fisiologi Sinus Paranasal


Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai
fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal
ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat
pertumbuhan tulang muka.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain :
 Sebagai Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning) 
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembapan udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini
ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive
antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000
volume sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula
mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang
sebanyak mukosa hidung.
 Sebagai Penahan Suhu (Thermal Insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas,
melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang
berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar
tidak terletak di antara hidung da organ-organ yang dilindungi.
 Membantu Keseimbangan Kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti
dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat
sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap
tidak bermakna.
 Membantu Resonansi Suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara
dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang
berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan
sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada
korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinusa pada hewan-
hewan tingkat rendah.
 Sebagai Peredam Perubahan Tekanan Udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
 Membantu Produksi Mukus
Mucus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya
kecil disbanding dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif
untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara
inspirasi karena mucus ini keluar dari meatus medius, tempat
yang paling strategis.

2.2. Sinusitis
2.2.1. Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Sesuai dengan anatomi
sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis
ethmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.
Paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis
ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinisitis sfenoid lebih jarang.
Pada anak hanya sinus maksila dan sinus ethmoid yang berkembang,
sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid belum.

2.2.2. Epidemiologi
Prevalensi sinusitis tinggi di masyarakat. Di bagian THT
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta, pada tahun 1999
didapatkan data sekitar 25% anak-anak dengan ISPA menderita
sinusitis maksila akut. Sedangkan pada Departemen Telinga Hidung
dan Tenggorokan sub bagian Rinologi didapatkan data dari sekitar 496
dari penderita rawat jalan, 249 orang terkena sinusitis (50%). Di
Amerika Serikat diperkirakan 0,5% dari ISPA karena virus dapat
menyebabkan sinusitis akut. Sinusitis kronis mengenai hamper 31 juta
rakyat Amerika Serikat.
Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia dewasa 18-75 tahun dan
kemudian anak-anak berusia 15 tahun. Pada anak-anak berusia 5-10
tahun. Infeksi saluran pernafasan dihubungkan dengan sinusitis akut.
Sinusitis jarang pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun karena
sinus belum berkembang dengan baik sebelum usia tersebut.
Hal ini dibuktikan dalam beberapa penelitian yang telah
dilakukan. Penelitian Hedayati, et al tahun 2010 di Rumah Sakit Boo
Ali Iran, didapatkan proporsi penderita sinusitis kronik tertinggi yaitu
pada kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 21 orang (42%). Penderita
terdiri dari 26 laki-laki (52%) dan 24 perempuan (48%), dimana
keluhan terbanyak yaitu hidung tersumbat pada 48 orang (96%). Hasil
penelitian Sogebi, et al (2002-2006) di Sagamu Nigeria didapatkan
110 penderita sinusitis kronik dengan distribusi umur yaitu < 18 tahun
21 orang (19,1%) dan ≥ 18 tahun 89 orang (80,9%). Penderita terdiri
dari 54 laki-laki (49,09%) dan 56 perempuan (50,91%), dimana lokasi
rinosinusitis terbanyak yaitu sinus maksila (70,51%).
Penelitian Multazar tahun 2008 di RSUP H. Adam Malik
Medan, didapatkan proporsi penderita sinusitis kronis tertinggi pada
kelompok umur 28 – 35 tahun 20,61%, umur diatas 18 tahun 88,18%,
dengan proporsi laki-laki 42,91% dan perempuan 57,09%. Keluhan
utama ialah hidung tersumbat (75,3%). Pada pemeriksaan foto polos
SPN didapatkan proporsi single sinusitis 87,8%, sedangkan
multisinusitis pada pemeriksaan CT Scan SPN 44,4%. Penatalaksanaan
medikamentosa 77,36%, sedangkan operasi BSEF 80,6%.
Penelitian Darmawan dkk tahun 2005, jumlah penderita sinusitis
pada anak di RSCM Jakarta tahun 1998-2004 adalah 163 orang, terdiri
dari 90 lelaki (55,2%) dan 73 perempuan (44,8%). Kelompok umur
terbanyak yaitu > 6 tahun 113 orang (69,3%) dan manifestasi klinis
terbanyak adalah batuk 152 orang (93,3%). Asma ditemukan pada 84
orang (51,5%) dan rinitis alergi 44 orang (27%).

Sinusitis maksila paling sering terjadi daripada sinusitis paranasal


lainnya karena :
1) Ukuran. Sinus paranasal yang terbesar.
2) Posisi ostium. Posisi ostium sinus maksila lebih tinggi daripada
dasarnya sehingga aliran sekret / drainasenya hanya tergantung dari
gerakan silia.
3) Letak ostium. Letak ostium sinus maksila berada pada meatus nasi
medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah
tersumbat.
4) Letak dasar. Letak dasar sinus maksila berbatasan langsung dengan
dasar akar gigi (prosesus alveolaris) sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila.
2.2.3. Etiologi
Sinusitis dapat disebabkan oleh :
1) Bakteri :
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza, Streptococcus
group A, Staphylococcus aureus, Neisseria, Klebsiella, Basil gram,
Pseudomonas.
2) Virus : Rhinovirus, Influenza Virus, Parainfluenza Virus.
3) Bakteri Anaerob : Fusobakteria
4) Jamur

Sinusitis akut dapat disebabkan oleh :


1) Rhinitis akut
2) Faringitis
3) Adenoiditis
4) Tonsillitis akut
5) Dentogen. Infeksi dari gigi rahang atas seperti M1, M2, M3, P1, dan
P2.
6) Berenang, Menyelam
7) Trauma. Menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal.
8) Barotrauma. Menyebabkan nekrosis mukosa sinus paranasal.

Infeksi kronis dari sinusitis kronis disebabkan :


1) Gangguan drainase.
Gangguan drainase dapat disebabkan oleh obstruksi mekanik dan
kerusakan silia.
2) Perubahan mukosa.
Perubahan mukosa dapat disebabkan alergi, defisiensi imunologik,
dan kerusakan silia.
3) Pengobatan. Pengobatan infeksi akut yang tidak sempurna atau tidak
adekuat.
Faktor predisposisi terjadinya sinusitis antara lan :
1) Obstruksi mekanik, misalnya deviasi septum nasi.
2) Hipertrofi konka nasi media
3) Benda asing dalam rongga hidung
4) Polip nasi
5) Tumor dalam rongga hidung
6) Rhinitis. Rhinitis kronis dan Rhinitis alergi menyebabkan obstruksi
ostium sinus dan menghasilkan lendir yang banyak sehingga menjadi
media yang baik bagi pertumbuhan bakteri.
7) Lingkungan. Lingkungan yang berpolusi dan udara dingin serta
kering dapat menyebabkan perubahan mukosa dan kerusakan silia.

2.2.4. Klasifikasi
Menurut Cauwenberg berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi
atas :
1) Sinusitis Akut, yaitu sinusitis yang berlangsung sampai 4 minggu.
2) Sinusitis SubAkut, yaitu sinusitis yang berlangsung antara 4 minggu
sampai 3 bulan.
3) Sinusitis Kronis, yaitu sinusitis yang berlangsung lebih dari 3 bulan.

Berdasarkan gejala sinusitis juga dibedakan menjadi :


1) Sinusitis Akut : memiliki tanda-tanda peradangan akut.
2) Sinusitis SubAkut : sinusitis yang memiliki tanda-tanda peradanga
akut yang telah mereda. Perubahan histologik mukosa sinus
paranasal masih reversible.
3) Sinusitis Kronis : perubahan histologik mukosa sinus paranasal
sudah irreversible. Misalnya berubah menjadi jaringan granulasi dan
polipoid.

2.2.5. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM.
Mucus juga mengandung substansi antimicrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga
silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadinya
tekanan negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai
sinusitis non-bacterial dan  biasanya sembuh dalam beberapa hari
tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus
merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri.
Secret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai sinusitis akut
bacterial dan memerlukan terapi antibiotika.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada factor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus
berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu
hipertrofi, polipoid, atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini
mungkin diperlukan tindakan operasi.

2.2.6. Gejala (Manifestasi Klinis)


Manifestasi klinis sinusitis dapat dinilai melalui gejala subjektif
dan gejala objektif. Gejala subjektif sinusitis akut dapat bersifat
sistemik dan lokal. Gejala sistemik berupa demam dan rasa lesu. Gejala
local dapat kita temukan pada daerah hidung, sinus paranasal, dan
tempat lainnya sebagai nyeri alih (reffered pain).

2.2.7. Sinusitis Akut


2.2.7.1. Gejala Subjektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas
atas (terutama pada anak kecil), berupa batuk dan pilek yang lama,
lebih dari 7 hari. Gejala subjektif dibagi menjadi gejala sistemik,
yaitu demam dan lesu, serta gejala gejala local, yaitu hidung
tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke
nasofaring (post nasal drip, halitosis, sakit kepala yang lebih berat
pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang
disertai nyeri alih ke tempat lain.
 Sinusitis Maksilaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan
sinus yang sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus
paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari
dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya
tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar
akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak
di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit
sehingga mudah tersumbat.
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri
biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis
maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar
ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan
depan telinga.
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan
kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga.
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk.
Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang
berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada.
 Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak,
seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding
leteral labirin ethmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah
dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis
orbita. Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis
maksilaris serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang
tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan
kantus medius, kadang-kadang nyeri dibola mata atau
belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di
pelipis, post nasal drip dan sumbatan hidung.
 Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan
infeksi sinus etmoidalis anterior. Gejala subyektif terdapat nyeri
kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada
pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian
perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya
menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin
terdapat pembengkakan supra orbita.
 Sinusitis Sfenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex,
oksipital, di belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun
penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga
gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.

2.2.7.2. Gejala Objektif


Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan
ethmoid anterior) terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan
dan edema kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari
mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau seperti meraba
beludru. Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan
kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan
kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul
pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan
edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid
anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan
pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak
keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak
ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan
maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai. Pada
rinoskopi posterior tampak mukopus dinasofaring ( post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud
selama kurang lebih 5 menit dan provokasi test yakni suction
dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung pasien
kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan
rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar pus dari
hidung.
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu
sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang
normal. Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA
dan lateral. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau
batas cairan udara (air fluid level)  pada sinus yang sakit.

(Gambar 1.4 X-ray foto Waters)

Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus


medius atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam
bakteri yang merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen,
seperti pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan
haemophylus influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau
jamur.
2.2.8. Sinusitis Sub-Akut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda
radang akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior.
Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada
pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap.

2.2.9. Sinusitis Kronis


Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek,
umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa
saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi
perubahan mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan
oleh alergi dan defisiensi imunologik, sehingga mempermudah
terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan
sinusitis akut tidak sempurna.
1) Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
1. Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan
sekret pasca nasal (post nasal drip)  yang seringkali mukopurulen
dan hidung biasanya sedikit tersumbat.
2. Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di
tenggorokan.
3. Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi
sumbatan tuba eustachius.
4. Ada nyeri atau sakit kepala.
5. Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus
nasolakrimalis.
6. Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa
bronkhitis atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.
7. Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi
gastroenteritis. 
2) Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan
tidak terdapat pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior
dapat ditemukan sekret kental, purulen dari meatus medius atau
meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi
sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di
nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat
ditemukan etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis
frontalis atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini dapat menyertai
poliposis hidung kronis.
Pemeriksaan Mikrobiologi merupakan infeksi campuran oleh
bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S. aureus, S.
viridans, H. influenzae  dan kuman anaerob Pepto streptococcus dan
fuso bakterium.

2.3. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi
anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi dianjurkan untuk
diagnosis yang lebih tepat dan dini.
Pada sinusitis akut, pemeriksaan rinoskopi anterior menampakkan
mukosa konka nasi hiperemis dan edema. Terdapat mukopus (nanah) di
meatus nasi medius pada sinusitis maksila, sinusitis forntal, dan
sinusitis etmoid anterior. Nanah tampak keluar dari meatus nasi
superior pada sinusitis etmoid posterior dan sinusitis sfenoid.
Pemeriksaan rinoskopi posterior menampakkan adanya mukopus (nanah)
di nasofaring (post nasal drip).
Pemeriksaan penunjang berupa transiluminasi dan radiologik dapat
kita gunakan untuk membantu diagnosa sinusitis akut. Pemeriksaan
transiluminasi menampakkan sinus paranasal.

2.3.1. Diagnosis Sinusitis Kronis


Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakan dengan :
 Anamnesis yang cermat
 Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
 Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal,
yakni pada sinus yang terinfeksiakan terlihat suram dan gelap.
 Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi
Waters, PA dan Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters
adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di
bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala
pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan
meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus
maksila, frontal dan etmoid. Posisi Posteroanterior untuk menilai
sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal,
sphenoid dan etmoid.
 Pungsi sinus maksila
 Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat
keadaan dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi,
massa tumor atau kista dan bagaimana keadaan mukosa dan
apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis
akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga
drenase menjadi terganggu.
 Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu
dilakukan sinoskopi.
 Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan
menggunakan naso- endoskopi.
 Pemeriksaan CT–Scan, merupakan cara terbaik untuk
memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan
komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan
mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak
homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding
sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).
 Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-scan :
1) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin,
homogen, pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami
ehans. Kadang sukar membedakannya dengan polip yang
terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat
menyebabkan gambaran air-fluid level.
2) Polip yang mengisi ruang sinus
3) Polip antrokoanal
4) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
5) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-
angsur oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar
dan gambaran pada CT Scan sebagai perluasan yang
berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.
6) Tumor

2.4. Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus
dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan
kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter,
kronis atau berkomplikasi.
 Komplikasi Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada
orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan
manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus
maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan
infeksi isi orbita.
Terdapat 5 tahapan :
1) Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi
orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini
terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang
memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah
pada kelompok umur ini.
2) Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara
aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk. 
3) Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan
dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
4) Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur
dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis
optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan
gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis
konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis
yang makin bertambah.
5) Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran
bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus,
kemudian terbentuk suatu tromboflebitis patognomonik,
thrombosis sinus kavernosus terdiri dari ;
a) Oftalmoplegia
b) Kemosis konjuctiva
c) Gangguan penglihatan yang berat
d) Kelemahan pasien
e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus
yang berdekatan dengan saraf cranial II, III, IV, VI, serta
berdekatan juga dengan otak.
 Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang
timbul dalam sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus
maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya
tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan
sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan
mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi
sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat
menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat
menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan
menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama
dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Prinsip
terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat
semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik
atau obliterasi sinus.

 Komplikasi Intra Kranial


 Meningitis Akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat
adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat
menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang
berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau
melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara
ethmoidalis.
 Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula
interna kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses
ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala
dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan
intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan
arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama
dengan abses dura.
 Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus
terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara
hematogen ke dalam otak. Terapi komplikasi intra kranial
ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada
ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran
infeksi.
 Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada
tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi
setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam
dan menggigil.
2.5. Tatalaksana dan Terapi
Tujuan terapi sinusitis adalah
1) Mempercepat penyembuhan
2) Mencegah komplikasi
3) Mencegah perubahan menjadi kronik
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga
draenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.

2.5.1. Sinusitis Akut


Tujuan dari terapi sinusitis akut adalah memperbaiki fungsi
mukosilia dan mengontrol infeksi. Terapi sinusitis karena infeksi virus
tidak memerlukan antibiotika. Terapi standart nonantibiotika
diantaranya topical steroid, dan atau oral decongestan, mucolytics, dan
intranasal saline spray. Sedangkan untuk terapi sinusitis akut bacterial
diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam).
Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau
cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral +
topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk
menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin
atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada
perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni
amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II,
makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan
sampai mencukupi 10-14 hari.
Berdasarkan pedoman Sinus and Allergy Health Partnership tahun
2000, terapi sinus akut yang disebabkan bakteri dikategorikan menjadi 3
kelompok :
1) Dewasa dengan sinusitis ringan yang tidak meminum antibiotic :
Amoxicillin/clavulanate, amoxicillin (1,5-3,5 g/d), cefrodoxime
proxetil, atau cefuroxime direkomendasikan sebagai terapi awal.

2) Dewasa dengan sinusitis ringan yang telah mendapat antibiotika


sebelumnya 4-6 minggu dan dewasa dengan sinusitis sedang :
Amoxicillin/clavulanate, amoxicillin 93-3,5 g/d), cefrodoxime
proxetil, atau cefixime.
3) Dewasa dengan sinusitis sedang yang telah mendapat antibiotika
sebelumnya 4-6 minggu : Amoxicillin/clavulanate, levofloxacin,
moxifloxacin, atau doxycycline.

Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24


jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau
cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral +
topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk
menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin
atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada
perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni
amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II,
makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan
sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau
CT Scan dan atau naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut
ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada
kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi
komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali
bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada
nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan. yang sakit
lebih suram / lebih gelap daripada sinus paranasal yang sehat.
Pemeriksaan radiologik dapat menggunakan posisi Waters, PA, atau
lateral. Akan tampak adanya perselubungan, penebalan mukosa, atau
batas cairan-udara (air fluid level). Sebaiknya kita mengambil sekret
dari meatus nasi medius atau meatus nasi superior pada pemeriksaan
mikrobiologik. Mikrobiologi yang mungkin kita temukan yaitu bakteri,
virus atau jamur. Bakteri yang berfungsi sebagai flora normal di
hidung maupun bakteri patogen keduanya bisa kita dapatkan.
Bakteri patogen seperti Pneumococcus, Streptococcus, Staphyloccus,
dan Haemophilus influenzae.

2.5.2. Sinusitis Sub Akut


Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu
dibantu dengan tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus. Obat-
obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang
sesuai dengan resistensi kuman selama 10  –   14 hari. Juga diberikan
obat-obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula
diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik.
Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang
pendek (Ultra Short Wave Diathermy) sebanyak 5 –  6 kali pada
daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum
membaik, maka dilakukan pencucian sinus. Pada sinusitis maksilaris
dapat dilakukan pungsi irigasi.
Pada sinusitis ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak
muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara
Proetz.

2.5.3. Sinusitis Kronis


Terapi untuk sinusitis kronis :
1) Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana
yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka
pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari.
2) Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada
episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau
tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat
kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari,
jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-
endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada
obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah
yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka
evaluasi diagnosis.
3) Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
4) Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang
sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian
Proetz.
5) Pembedahan
a) Radical :
Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc
Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi 
Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian
b) Non Radical
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.

2.6. Prognosis
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yakni sekitar 40% akan
sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotika. Terkadang juga
penderita bias mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya
sedikit, yaitu kurang dari 5%.
Sedangkan prognosis sinusitis kronis yaitu jika dilakukan
pengobatan yang dini maka akan mendapatkan hasil yang baik.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Ny. M.Y.
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Agama : Kristen Protestan
Alamat : DOK V
Tanggal pemeriksaan : 13 September 2021
No.RM : 336768

3.2 Anamnesis
A. Keluhan Utama :
Sakit kepala

B. Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke poli THT RSUD Dok II Jayapura dengan keluhan sakit
kepala yang dirasakan sejak dua minggu yang lalu. Awalnya pasien mengaku
sering sakit kepala bagian depan kepala dan seperti akan jatuh saat berdiri
dalam waktu yang lama. keluhan bertambah berat ketika lapar, stress, dan
terkena matahari terutama pada pagi hari. Keluhan dirasakan berkurang jika
pasien beristirahat dan minum obat. Selain itu pasien juga mengeluh hidung
terasa sakit disertai dengan adanya lendir yang keluar dari hidung, lendir
berwarna putih, berbau, dan jumlahnya sedikit. Hidung juga terasa tersumbat.
Pasien juga mengeluh nyeri pada bagian wajah. Keluhan disertai batuk dan
pilek yang hilang timbul, bersin-bersin (+), dan lendir yang terasa di
tenggorokan (+). demam (-), penurunan indra penciuman (-), bisa mencium
bau (+). Pasien mengaku pernah berobat ke poli THT dengan keluhan yang
sama namun pasien tidak rutin kontrol kembali.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Penyakit Serupa : (+) ± 3 tahun yang lalu
 Riwayat Hipertensi : Disangkal (-)
 Riwayat Diabetes melitus : Disangkal (-)
 Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal (-)
 Riwayat Penyakit Ginjal : Disangkal (-)
 Riwayat alergi : Disangkal (-)
 Riwayat Hiperkolesterol : (+)
 Riwayat Faringitis : (+) ± 6 tahun yang lalu

D. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat seperti ini di dalam keluarga : Disangkal (-)
 Riwayat Hipertensi : Disangkal (-)
 Riwayat Diabetes melitus : Disangkal (-)
 Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal (-)
 Riwayat Penyakit Ginjal : Disangkal (-)
 Riwayat alergi : Disangkal (-)
 Riwayat Hiperkolesterol : Disangkal (-)
 Riwayat Faringitis : Disangkal (-)

E. Riwayat Sosial- Ekonomi


 Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dan tinggal di Dok V

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 130/81 mmHg
 Pernafasan : 20 x/menit
 Suhu : 36,50C
 Nadi : 77 x/menit
Status Generalisata
 Kepala : Normochepal
 Mata :
Conjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), Udem Palpebra (-/-)
 Pemeriksaan Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (-)
 Pemeriksaan Thorax
 Jantung : Dalam Batas Normal
 Paru : Dalam Batas Normal

 Pemeriksaan Abdomen : Dalam Batas Normal


 Pemeriksaan Ekstremitas : Dalam Batas Normal

Status Lokalis
Organ Dextra Sinistra
a. Telinga
Bentuk Telinga. Normotia
Preaurikular
- Kelainan congenital - -
- Radang dan tumor - -
- Trauma - -
- fistula - -
Auricula
- Kelainan congenital - -
- Hiperemis - -
- Masa - -
- Edema - -
- Nyeri tekan tragus - -
- Nyeri tarik - -
Retroaurikular
- -
- Hiperemis
- -
- Edema
- -
- Nyeri tekan
- -
- Sikatriks
- -
- Fistel
- -
- Pembesaran KGB

Kanalis Akustikus
Eksterna -
-
- Kelainan congenital -
-
- Peradangan -
-
- Secret -
-
- Serumen -
-
- Edem -
-
- Jaringan granulasi -
-
- Massa -
-
- Cholesteatoma
Membran timpani intak Intak
- Warna Putih ke abu-abuan Putih ke abu-abuan seperti
seperti Mutiara mutiara
- Reflek cahaya (+) Tampak pada jam 5 (+) Tampak pada jam 7
- Edem - -
- Hiperemis - -
- Retraksi - -
- Bulging - -
- Perforasi - -
- Bula - -
- Sekret - -
- Gambar

b. Hidung
- Inspeksi Bentuk simetris, Deformitas (-), discharge (-),
hiperemi (-), lesi (-), hematom (-), edema (-)
- Palpasi Deformitas (-), krepitasi (-), Nyeri tekan sinus
paranasal (-), massa (-).
Rinoskopi anterior
- Kavum Nasi Hiperemis (+), sekret (+), Hiperemis (+), sekret (+),
rambut (+) rambut (+)
- Selaput Lendir Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)
- Septum Nasi Deviasi (-), massa (-) Deviasi (-), massa (-)
- Lantai + dasar hidung Licin, massa (-) Licin, massa (-)
- Konka inferior Hiperemis (+), edema Hiperemis (+), edema (+),
- Konka media (+), permukaan licin permukaan licin
- Meatus nasi media Sulit dinilai, Sekret (-), Sulit dinilai, Sekret (-),
- Polip polip (-) polip (-)
- Korpus alienum - -
- Massa tumor - -
Fenomena palatum mole Sulit dinilai Sulit dinilai
Rinoskopi posterior ( Tidak Dilalukan)
- Nasofaring - -
- Selaput Lendir - -
- Koana - -
- Konka superior - -
- Konka Media - -
- Kelenjar adenoid - -
- Selaput Lendir - -
- Masa - -
- Polip - -

c. Tenggorok
- Tonsil T1-T1
- Dinding faring Hiperemis (-)
- Uvula Hiperemis (-)

d. Kelenjar getah bening leher


- Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran KGB
- Massa : tidak ada

3.4 Diagnosis kerja


- Sinusitis
3.5 Diagnosis banding
- Rhinitis

3.6 Pemeriksaan penunjang


Pada pasien dalam kasus ini dilakukan pemeriksan foto waters
Gambaran foto Waters
Kesan :
a. Sinusitis frontalis
b. Sinusitis Maxilaris Bilateral
Kesimpulan : Sinusitis frontalis dan Sinusitis Maxilaris Bilateral

3.7 Diagnosa Akhir


Sinusitis Frontalis et Maxilaris

3.8 Terapi
- Cefixime 2 x 200 mg
- Natrium diklofenak 2 x 50 mg
- Methylprednisolone 3 x 4 mg
- Cetirizine 2 x 10 mg
- Lansoprazole 2 x 30 mg

3.9 Follow Up
Kembali ke RS 1 minggu berikutnya untuk evaluasi.

3.10 Prognosis
Quo Ad vitam : ad bonam
Quo Ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo Ad sanationam : dubia ad bonam

BAB IV
PEMBAHASAN

1. Apakah diagnosa pada kasus sudah tepat ?


Diagnosa pada kasus ini di tegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan teori, anamnesa yang akan di temukan pada sinusitis akut
adalah adanya demam, rasa lesu, hidung tersumbat, ingus kental yang
kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit
kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena,
serta kadang disertai nyeri alih ke tempat lain. Pada sinusitis maksila,
nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus
hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga,
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat
nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat
keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non
produktif seringkali ada. Nyeri alih di pelipis, post nasal drip dan
sumbatan hidung. Pada sinusitis frontalis, nyeri kepala yang khas, nyeri
berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk
menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga
menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri
bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
Pada sinusitis Sub-akut, anamnesa akan di temukan demam, sakit
kepala hebat, nyeri tekan (tanda-tanda radang) sama seperti sinusitis akut
hanya tanda-tanda radang akutnya sudah reda.
Pada sinusitis kronis, anamnesa akan ditemukan gejala hidung dan
nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post nasal
drip)  yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit tersumbat,
gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan,
gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan
tuba eustachius, ada nyeri atau sakit kepala, gejala mata, karena penjalaran
infeksi melalui duktus nasolakrimalis, gejala saluran nafas berupa batuk
dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau bronkhiektasis atau asma
bronkhial, gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi
gastroenteritis. 
Pada pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang, sinusitis akut
ketika Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan
atau seperti meraba beludru. Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di
pipi dan kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan
kelopak mata atas.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema.
Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior
tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis
ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari
meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip, tumor
maupun komplikasi sinusitis. Jika ditemukan maka kita harus melakukan
penatalaksanaan yang sesuai. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus
dinasofaring ( post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama
kurang lebih 5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada
hidung, pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh
menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis
maksilaris maka akan keluar pus dari hidung.
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus
yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan
lateral. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas
cairan udara (air fluid level)  pada sinus yang sakit.
Pemeriksaan mikrobiologik diambil sekret dari meatus medius atau
meatus superior kemungkinan akan ditemukan bermacam-macam bakteri
yang merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti
pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan haemophylus
influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur.
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang pada sinusitis sub-akut akan di
dapatkan pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau
superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring.
Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau
gelap.
Pemeriksaan fisik dan Penunjang pada sinusitis Kronis akan di
dapatkan temuan pemeriksaan klinis y a n g tidak seberat sinusitis
akut dan tidak terdapat pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi
anterior dapat ditemukan sekret kental, purulen dari meatus medius atau
meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi
sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring
atau turun ke tenggorok. Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT
Scan dapat ditemukan etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai
sinusitis frontalis atau maksilaris. Pemeriksaan Mikrobiologi akan di
temukan bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S. aureus, S.
viridans, H. influenzae  dan kuman anaerob Pepto streptococcus dan fuso
bakterium.
Berdasarkan kasus, pada anamnesa ditemukan keluhan sakit kepala yang
dirasakan sejak dua minggu yang lalu. Awalnya pasien mengaku sering sakit
kepala bagian depan kepala dan seperti akan jatuh saat berdiri dalam waktu yang
lama. Keluhan bertambah berat ketika lapar, stress, dan terkena matahari terutama
pada pagi hari. Keluhan dirasakan berkurang jika pasien beristirahat dan minum
obat. Selain itu pasien juga mengeluh hidung terasa sakit disertai dengan adanya
lendir yang keluar dari hidung, lendir berwarna putih, berbau, dan jumlahnya
sedikit. Hidung juga terasa tersumbat. Pasien juga mengeluh nyeri pada bagian
wajah. Keluhan disertai batuk dan pilek yang hilang timbul, bersin-bersin (+),
dan lendir yang terasa di tenggorokan (+). demam (-), penurunan indra penciuman
(-), bisa mencium bau (+). Pasien mengaku pernah berobat ke poli THT dengan
keluhan yang sama pada tahun 2018 namun pasien tidak rutin kontrol kembali.
Pada anamnesa didapatkan juga pada riwayat penyakit dahulu pasien
mengaku pada tahun 2015 pasien sering ke Polik THT untuk berobat nyeri
tenggorokan pasien atau sakit Faringitis. Sakit faringitis yang dialami pasien ini
hilang timbul dan terus berlangsung selama kurang lebih 6 tahun.
Pada pemeriksaan fisik dan penunjang pada kasus ditemukan adanya
konka dextra dan sinistra hiperemis dan edema serta adanya sekret pada kedua
nasal, pada foto waters terkesan sinusitis frontal, dan sinusitis maxilaris bilateral
dengan kesimpulan adalah sinusitis frontalis dan maxilaris bilateral.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
didapatkan adanya tanda peradangan pada sinus yaitu sinusitis, dimana mengenai
2 sinus yaitu sinusitis frontalis dan sinusitis maxilaris bilateral sehingga
didiagnosa sebagai Sinusitis Frontalis et Maxilaris Bilateral yaitu peradangan
yang terjadi pada mukosa sinus paranasal (sinusitis) yang mengenai sinus frontal
dan sinus maxilaris kiri dan kanan.
Sinusitis ini termasuk sinusitis kronis karena di temukan sinusitis frontalis
dan maxilaris yang sudah lama dengan riwayat pengobatan yang tidak terkontrol.
Selain itu gejala tidak seberat sinusitis akut, tidak terdapat pembengkakan wajah,
tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok, riwayat sakit kepala
terutama di pagi hari dan pusing berputar yang muncul hilang timbul kurang lebih
3 tahun yang lalu sehingga pada kasus ini didignosa sebagai Sinusitis Kronis.

2. Apakah penyebab masalah pada kasus ini ?


Berdasarkan teori, penyebab atau etiologi sinusitis adalah
1) Bakteri : Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza,
Streptococcus group A, Staphylococcus aureus, Neisseria,
Klebsiella, Basil gram, Pseudomonas.
2) Virus : Rhinovirus, Influenza Virus, Parainfluenza Virus.
3) Bakteri Anaerob : Fusobakteria
4) Jamur

Sinusitis akut dapat disebabkan oleh :


1) Rhinitis akut
2) Faringitis
3) Adenoiditis
4) Tonsillitis akut
5) Dentogen. Infeksi dari gigi rahang atas seperti M1, M2, M3, P1,
dan P2.
6) Berenang, Menyelam
7) Trauma. Menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal.
8) Barotrauma. Menyebabkan nekrosis mukosa sinus paranasal.

Infeksi kronis dari sinusitis kronis disebabkan :


1) Gangguan drainase.
Gangguan drainase dapat disebabkan oleh obstruksi mekanik dan
kerusakan silia.
2) Perubahan mukosa.
Perubahan mukosa dapat disebabkan alergi, defisiensi imunologik,
dan kerusakan silia.
3) Pengobatan. Pengobatan infeksi akut yang tidak sempurna atau
tidak adekuat.

Pada kasus ini pasien pernah mengalami keluhan yang sama ± 3 tahun yang
lalu pada tahun 2018. Awalnya pasien merupakan pasien THT tahun 2015 karena
pasien sering merasa nyeri tenggorokan dan didiagnosis oleh dokter dengan
Faringitis. Namun karena sakit faringitis yang sering kambuh pasien kembali lagi
pada tahun 2018 dengan keluhan tambahan dan didiagnosis dengan Sinusitis
Akut. Namun setelah didiagnosis sinisitis akut pasien tidak pernah rutin lagi
menjalani pengobatan sampai pasien kembali lagi berobat pada september 2021
karena mengalami keluhan yang serupa dan mengganggu aktivitasnya. Lalu
kepada dokter THT di sarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan penunjang
yaitu dengan foto waters dan yang didapatkan pada foto waters dengan kesan
Sinusitis Frontalis dan Sinusitis Maxilaris Bilateral.
Sehingga dapat disimpulkan penyebab sinusitis pada kasus ini adalah
pengobatan infeksi akut yang tidak sempurna atau tidak adekuat yang
mengakibatkan pasien pada kasus ini mengalami sinusitis frontalis dan maxilaris
bilateral yang bersifat kronis.

3. Apakah penatalaksanaan yang di lakukan pada kasus sudah tepat ?


Berdasarakan teori, tujuan terapi sinusitis adalah
1) Mempercepat penyembuhan
2) Mencegah komplikasi
3) Mencegah perubahan menjadi kronik
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga
draenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Tujuan dari terapi sinusitis akut adalah memperbaiki fungsi
mukosilia dan mengontrol infeksi. Terapi sinusitis karena infeksi virus
tidak memerlukan antibiotika. Terapi standart nonantibiotika diantaranya
topical steroid, dan atau oral decongestan, mucolytics, dan intranasal
saline spray. Sedangkan untuk terapi sinusitis akut bakterial diberikan
terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik
yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi
tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk
memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri.
Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal.
Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai
mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi
antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin
sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika
ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
Berdasarkan pedoman Sinus and Allergy Health Partnership tahun
2000, terapi sinus akut yang disebabkan bakteri dikategorikan menjadi 3
kelompok :
1) Dewasa dengan sinusitis ringan yang tidak meminum antibiotik :

Amoxicillin/clavulanate, amoxicillin (1 ,5-3,5 g/d), cefrodoxime


proxetil, atau cefuroxime direkomendasikan sebagai terapi awal.
2) Dewasa dengan sinusitis ringan yang telah mendapat antibiotika
sebelumnya 4-6 minggu dan dewasa dengan sinusitis sedang :
Amoxicillin/clavulanate, amoxicillin (3-3,5 g/d), cefrodoxime
proxetil, atau cefixime.
3) Dewasa dengan sinusitis sedang yang telah mendapat antibiotika
sebelumnya 4-6 minggu :
Amoxicillin/clavulanate, levofloxacin, moxifloxacin, atau
doxycycline.
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24
jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau
cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral +
topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk
menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin
atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada
perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni
amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II,
makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan
sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT
Scan dan atau naso-endoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut
ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada
kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi
komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali
bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada
nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.

2.6.1. Sinusitis Sub Akut


Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu
dengan tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus. Obat-obat yang
diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan
resistensi kuman selama 10  –  14 hari. Juga diberikan obat-obat
simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan
analgetika, anti histamin dan mukolitik.
Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek
(Ultra Short Wave Diathermy) sebanyak 5 –  6 kali pada daerah yang
sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik,
maka dilakukan pencucian sinus. Pada sinusitis maksilaris dapat
dilakukan pungsi irigasi.
Pada sinusitis ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya
dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz.

Terapi untuk sinusitis kronis :


1) Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata
laksana yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan
maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari.
2) Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada
episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau
tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau
buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-
14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan
pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak
membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka
dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional.
Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
3) Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
4) Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang
sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan
pencucian Proetz.
5) Pembedahan
a. Radical :
Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc
Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi 
Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian
b. Non Radical
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya
dengan membuka dan membersihkan daerah kompleks
ostiomeatal.
Pada kasus, penatalaksanaan yang di berikan adalah dengan
pemberian antibiotik yaitu Cefixime 2 x 200 mg untuk mengobati infeksi
bakteri, analgesik nonsteroid anti inflamasi (NSAID) untuk meredahkan
nyeri, mengurangi gangguan inflamasi yaitu Natrium diklofenak 2 x 50 mg,
kortikosteroid untuk mengurangi gejala peradangan yaitu Metil prednisolone
3 x 4 mg dan antihistamin yaitu Cetirizine 2 x 10 mg untuk meredakan gejala
alergi seperti pilek, hidung tersumbat,mata berair, bersin-bersin, rasa gatal
dan gejala lainnya akibat alergi. Pada kasus ini juga diberikan Proton Pump
Inhibitor (PPI) yaitu Lansoprazole 2 x 30 mg untuk memhambat atau
memblokir kerja dari enzim KH ATPase yang digunakan untuk mengeluarkan
asam dari kanalikuli serta pariental ke dalam lumen lambung.
BAB V
KESIMPULAN

1. Diagnosa pada kasus ini sudah tepat yaitu sinusitis frontalis et maxilaris
yang bersifat kronis.

2. penyebab sinusitis pada kasus ini adalah pengobatan infeksi akut yang
tidak sempurna atau tidak adekuat sehingga mengakibatkan pasien
dalam kasus ini pengalami sinus yang bersifat kronis.

3. Tatalaksana pada kasus ini sudah sesuai dengan teori penatalaksanaan


pada pansinusitis. Hanya saja antibiotik yang di gunakan merupakan
golongan sefalosporin generasi III yaitu cefixime yang menurut teori
Berdasarkan pedoman Sinus and Allergy Health Partnership tahun 2000
digunakan untuk pasien dewasa dengan sinusitis akut sedang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Keenam. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI. 2017.
2. Sugiarti, Tuti; Rhinosinusitis; Pekan Baru: Fakultas Kedokteran Universitas
Abdurrat; 2016.
3. Pletcher A. Higler,MD. BOIES Buku ajar penyakit THT. Jakarta : Penerbit
buku kedokteran EGC. 2012.
4. Itzhak Brook,MD,MSc. Epidemiology of Acute Sinusitis. Diunduh Dari
http//emedicine.medscape.com/article/232670-overview #a0156.
5. Snell Richard. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran Edisi 6.Jakarta :
EGC. 2006.
6. Ekayuda I. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Divisi
Radiodiagnostik Departemen Radiologi FKUI. 2005.

Anda mungkin juga menyukai