Oleh :
Agus Rumpedai (2019086016365)
Alowisia T Seralarat (2019086016271)
Nadine G Patanduk ( 2019086016421)
Pembimbing :
dr. Rosmini, Sp.THT-KL
dr. Agustina, Sp.THT-KL
a. Septum Nasi
Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum
dibentuk oleh tulang rawan, dilapisi oleh perikondrium pada bagian
tulang rawan dan periostium pada bagian tulang sedangkan diluarnya
dilapisi juga oleh mukosa hidung. Bagian Tulang terdiri dari :
1) Lamina perpendikularis os etmoid:
Lamina perpendikularis os etmoid terletak pada bagian supero-
posterior dari septum nasi dan berlanjut ke atas membentuk lamina
kribriformis dan Krista gali.
2) Os Vomer:
Os vormer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os
vomer merupakan ujung bebas dari septum nasi.
3) Krista nasi os maksila: Tepi bawah os vomer melekat pada krista
nasiis os maksila dan os palatina.
4) Krista nasi os palatine
Bagian Tulang Rawan terdiri dari :
1) Kartilago septum (kartilago kuadrangularis) : Kartilago septum
melekat dengan erat pada os nasi, lamina perpendikularis os etmoid,
os vomer dan krista nasiis os maksila oleh serat kolagen.
2) Kolumela: Kedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan
satu sama lain oleh sekat tulang rawan dan kulit yang disebut
kolumela.
b. Pendarahan Hidung
Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri
sfenopalatina yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari
arteri karotis eksterna). Septum bagian antero-inferior diperdarahi
oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari arteri maksilaris) yang
masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang dari
arteri fasialis) memperdarahi septum bagian anterior mengadakan
anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih
superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga
Little’s area yang merupakan sumber perdar ahan pada epistaksis.
Arteri karotis interna memperdarahi septum nasi bagian
superior melalui arteri etmoidalis anterior dan superior. Bagian
bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan
arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang
ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Vena sfenopalatina
mengalirkan darah balik dari bagian posterior septum ke
pleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis.
Pada bagian superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui
vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus sagitalis superior.
c. Persarafan Hidung
Bagian antero-superior septum nasi mendapat persarafan
sensori dari nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari
nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (n.V1).
Sebagian kecil septum nasi pada antero-inferior mendapatkan
persarafan sensori dari nervus alveolaris cabang antero-superior.
Sebagian besar septum nasi lainnya mendapatkan persarafan sensori
dari cabang maksilaris nervus trigeminus (n.V2). Nervus
nasopalatina mempersarafi septum bagian tulang, memasuki rongga
hidung melalui foramen sfenopalatina berjalan berjalan ke septum
bagian superior, selanjutnya kebagian antero-inferior dan mencapai
palatum durum melalui kanalis insisivus.
d. Sistem Limfatik
Aliran limfatik hidung berjalan secara paralel dengan aliran
vena. Aliran limfatik yang berjalan di sepanjang vena fasialis
anterior berakhir pada limfe submaksilaris.
a. Bagian-Bagian Sinus
Gambar 1.2. Bagian-bagian Sinus
1) Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus pertama yang muncul (7-10
minggu masa janin). Sinus maksila adalah sinus paranasal yang
terbesar dan bervolume 6-8 ml saat lahir (Soetjipto, 2010). Proses
terbentuknya sinus maksila berasal dari ekspansi infundibulum
etmoid ke dalam maksila hingga membuat suatu massa. Proses
ekspansi tersebut menghasilkan suatu rongga kecil pada saat lahir
yang berukuran 7 x 4 x 4 mm. Pertumbuhan dan
perkembangannya terus berlanjut pada masa anak-anak kira-kira 2
mm secara vertikal dan 3 mm anteroposterior. Proses
perkembangan tersebut mulai menurun pada usia 7 tahun,
diikuti fase pertumbuhan kedua berikutnya. Pada usia 12 tahun,
pneumatisasi mencapai bagian lateral, yaitu di bawah bagian
lateral dinding orbita pada sisipan prosesus zigomatikus, secara
inferior ke bagian dasar hidung dan setelah pertumbuhan gigi
(dentisi) kedua di bawah dasar hidung. Setelah proses dentisi,
sinus hanya akan membesar secara perlahan-lahan dan mencapai
ukuran maksimum pada usia 17 hingga 18 tahun. Ukuran standar
volume sinus maksila pada orang dewasa adalah sekitar 15 cm2
dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid. Dasar piramid
dibentuk oleh dinding medial sinus maksilaris dengan sisi apeks
piramid ke arah resesus zigomatikus.
Menurut Damayanti Soetjipto dan Endang Mangunkusumo
(2010), yang perlu diperhatikan dari segi anatomi sinus maksila
berdasarkan segi klinis adalah bahwa dasar sinus maksila sangat
berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan
P2), molar (M1 dan M2), dan terkadang gigi taring (C) dan gigi
moral M3.
Selanjutnya sinusitis maksilaris juga dapat menimbulkan
komplikasi orbita. Selain itu, letak ostium sinus maksila yang
lebih tinggi dari dasar sinus menyebabkan drenase hanya
tergantung dari gerak silia. Drenase yang harus melalui
infundibulum yang sempit juga dapat menyebabkan sinusitis jika
di daerah tersebut mengalami inflamasi.
Batas – batas dinding sinus maksilaris :
Dinding anterior : permukaan fasial os maksila (fossa kanina)
Dinding posterior : permukaan infra-temporal maksila
Dinding medial : dinding lateral rongga hidung
Dinding superior : dasar orbita
Dinding inferior : prosesus alveolaris dan palatum
2) Sinus Frontal
Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam
ukuran dan bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin
dikenal sebagai sebuah sel etmoidalis anterior. Ukurannya
tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin tidak ada sama
sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan sebuah
septum intersinus. Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus
frontal yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian
yang paling anterior dan segmen superior dari kompleks etmoid
anterior ini, tulang frontal secara berangsur-angsur mengalami
pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal yang ukurannya
bervariasi. Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit
dibedakan dari sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan
pneumatisasi sinus maksilaris yang cepat, proses pneumatisasi
sinus frontal secara inisial sangat lambat. Meskipun begitu,
pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CT-scan
pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun,
pneumatisasi akan meluas secara superior dan pada usia 12 tahun
sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi mungkin akan
berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal
merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan variasi.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu
lebih besar dari pada yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat
yang terletak di bagian tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa
hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus
frontalnya tidak berkembang.
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x
2 cm (dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi
sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum
atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukan
adanya infeksi sinus.
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relative tipis dari
orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini. Draenase sinus ini melalui
ostium yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan denga
infundibulum etmoid.
3) Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling
bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena
dapat merupakan ‘fokus infeksi’ bagi sinus-sinus lainnya. Selama
9 dan 10 minggu masa gestasi, 6 hingga 7 lipatan muncul di
bagian dinding lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan-lipatan
ini dipisahkan dari satu dengan yang lain sesuai alurnya. Lebih
dari seminggu kemudian, lipatan-lipatan tersebut berfusi menjadi
3-4 puncak dengan sebuah bagian anterior 'ascending ' dan
sebuah bagian posterior 'descending ' (ramus asendens dan ramus
desendens). Semua struktur permanen etmoid berkembang dari
puncak tersebut.
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke
posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian
anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-
rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini
jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius
dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior.
Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian
posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan
lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina
basalis.
Pada bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat
resesus frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Di
daerah etmoid anterior terdapat suatu area penyempitan disebut
infundibulum yang merupakan tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Peradangan di resesus frontal mengakibatkan sinusitis
frontal. Sementara jika peradangan terjadi di infundibulum
mengakibatkan sinusitis maksila.
Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian resesus yang dibatasi
5 sekat tulang atau lamela. Lamela ini diberi nama dari yang
paling anterior ke posterior : prosesus uncinatus, bula etmoidalis
(sel etmoid yang terbesar), dasar atau lamela basalis dan konka
superior. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis
berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah
lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid
dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.
4) Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling
posterior. Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan
ketiga intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus
sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga
kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3
tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7
tahun mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm
(tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya). Volumenya bervariasi
dari 5 sampai 7,5 ml (Soetjipto, 2010). Pada orang dewasa,
derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan
menjadi hal utama yang harus diperhatikan.
Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di
bagian lateral os sphenoid akan menjadi sangat berdekatan
dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding
sinus sphenoid. Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa
serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah
atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons.
2.2. Sinusitis
2.2.1. Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Sesuai dengan anatomi
sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis
ethmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.
Paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis
ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinisitis sfenoid lebih jarang.
Pada anak hanya sinus maksila dan sinus ethmoid yang berkembang,
sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid belum.
2.2.2. Epidemiologi
Prevalensi sinusitis tinggi di masyarakat. Di bagian THT
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta, pada tahun 1999
didapatkan data sekitar 25% anak-anak dengan ISPA menderita
sinusitis maksila akut. Sedangkan pada Departemen Telinga Hidung
dan Tenggorokan sub bagian Rinologi didapatkan data dari sekitar 496
dari penderita rawat jalan, 249 orang terkena sinusitis (50%). Di
Amerika Serikat diperkirakan 0,5% dari ISPA karena virus dapat
menyebabkan sinusitis akut. Sinusitis kronis mengenai hamper 31 juta
rakyat Amerika Serikat.
Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia dewasa 18-75 tahun dan
kemudian anak-anak berusia 15 tahun. Pada anak-anak berusia 5-10
tahun. Infeksi saluran pernafasan dihubungkan dengan sinusitis akut.
Sinusitis jarang pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun karena
sinus belum berkembang dengan baik sebelum usia tersebut.
Hal ini dibuktikan dalam beberapa penelitian yang telah
dilakukan. Penelitian Hedayati, et al tahun 2010 di Rumah Sakit Boo
Ali Iran, didapatkan proporsi penderita sinusitis kronik tertinggi yaitu
pada kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 21 orang (42%). Penderita
terdiri dari 26 laki-laki (52%) dan 24 perempuan (48%), dimana
keluhan terbanyak yaitu hidung tersumbat pada 48 orang (96%). Hasil
penelitian Sogebi, et al (2002-2006) di Sagamu Nigeria didapatkan
110 penderita sinusitis kronik dengan distribusi umur yaitu < 18 tahun
21 orang (19,1%) dan ≥ 18 tahun 89 orang (80,9%). Penderita terdiri
dari 54 laki-laki (49,09%) dan 56 perempuan (50,91%), dimana lokasi
rinosinusitis terbanyak yaitu sinus maksila (70,51%).
Penelitian Multazar tahun 2008 di RSUP H. Adam Malik
Medan, didapatkan proporsi penderita sinusitis kronis tertinggi pada
kelompok umur 28 – 35 tahun 20,61%, umur diatas 18 tahun 88,18%,
dengan proporsi laki-laki 42,91% dan perempuan 57,09%. Keluhan
utama ialah hidung tersumbat (75,3%). Pada pemeriksaan foto polos
SPN didapatkan proporsi single sinusitis 87,8%, sedangkan
multisinusitis pada pemeriksaan CT Scan SPN 44,4%. Penatalaksanaan
medikamentosa 77,36%, sedangkan operasi BSEF 80,6%.
Penelitian Darmawan dkk tahun 2005, jumlah penderita sinusitis
pada anak di RSCM Jakarta tahun 1998-2004 adalah 163 orang, terdiri
dari 90 lelaki (55,2%) dan 73 perempuan (44,8%). Kelompok umur
terbanyak yaitu > 6 tahun 113 orang (69,3%) dan manifestasi klinis
terbanyak adalah batuk 152 orang (93,3%). Asma ditemukan pada 84
orang (51,5%) dan rinitis alergi 44 orang (27%).
2.2.4. Klasifikasi
Menurut Cauwenberg berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi
atas :
1) Sinusitis Akut, yaitu sinusitis yang berlangsung sampai 4 minggu.
2) Sinusitis SubAkut, yaitu sinusitis yang berlangsung antara 4 minggu
sampai 3 bulan.
3) Sinusitis Kronis, yaitu sinusitis yang berlangsung lebih dari 3 bulan.
2.2.5. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM.
Mucus juga mengandung substansi antimicrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga
silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadinya
tekanan negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai
sinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari
tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus
merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri.
Secret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai sinusitis akut
bacterial dan memerlukan terapi antibiotika.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada factor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus
berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu
hipertrofi, polipoid, atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini
mungkin diperlukan tindakan operasi.
2.3. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi
anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi dianjurkan untuk
diagnosis yang lebih tepat dan dini.
Pada sinusitis akut, pemeriksaan rinoskopi anterior menampakkan
mukosa konka nasi hiperemis dan edema. Terdapat mukopus (nanah) di
meatus nasi medius pada sinusitis maksila, sinusitis forntal, dan
sinusitis etmoid anterior. Nanah tampak keluar dari meatus nasi
superior pada sinusitis etmoid posterior dan sinusitis sfenoid.
Pemeriksaan rinoskopi posterior menampakkan adanya mukopus (nanah)
di nasofaring (post nasal drip).
Pemeriksaan penunjang berupa transiluminasi dan radiologik dapat
kita gunakan untuk membantu diagnosa sinusitis akut. Pemeriksaan
transiluminasi menampakkan sinus paranasal.
2.4. Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus
dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan
kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter,
kronis atau berkomplikasi.
Komplikasi Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada
orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan
manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus
maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan
infeksi isi orbita.
Terdapat 5 tahapan :
1) Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi
orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini
terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang
memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah
pada kelompok umur ini.
2) Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara
aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
3) Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan
dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
4) Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur
dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis
optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan
gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis
konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis
yang makin bertambah.
5) Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran
bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus,
kemudian terbentuk suatu tromboflebitis patognomonik,
thrombosis sinus kavernosus terdiri dari ;
a) Oftalmoplegia
b) Kemosis konjuctiva
c) Gangguan penglihatan yang berat
d) Kelemahan pasien
e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus
yang berdekatan dengan saraf cranial II, III, IV, VI, serta
berdekatan juga dengan otak.
Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang
timbul dalam sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus
maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya
tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan
sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan
mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi
sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat
menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat
menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan
menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama
dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Prinsip
terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat
semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik
atau obliterasi sinus.
2.6. Prognosis
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yakni sekitar 40% akan
sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotika. Terkadang juga
penderita bias mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya
sedikit, yaitu kurang dari 5%.
Sedangkan prognosis sinusitis kronis yaitu jika dilakukan
pengobatan yang dini maka akan mendapatkan hasil yang baik.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Ny. M.Y.
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Agama : Kristen Protestan
Alamat : DOK V
Tanggal pemeriksaan : 13 September 2021
No.RM : 336768
3.2 Anamnesis
A. Keluhan Utama :
Sakit kepala
Status Lokalis
Organ Dextra Sinistra
a. Telinga
Bentuk Telinga. Normotia
Preaurikular
- Kelainan congenital - -
- Radang dan tumor - -
- Trauma - -
- fistula - -
Auricula
- Kelainan congenital - -
- Hiperemis - -
- Masa - -
- Edema - -
- Nyeri tekan tragus - -
- Nyeri tarik - -
Retroaurikular
- -
- Hiperemis
- -
- Edema
- -
- Nyeri tekan
- -
- Sikatriks
- -
- Fistel
- -
- Pembesaran KGB
Kanalis Akustikus
Eksterna -
-
- Kelainan congenital -
-
- Peradangan -
-
- Secret -
-
- Serumen -
-
- Edem -
-
- Jaringan granulasi -
-
- Massa -
-
- Cholesteatoma
Membran timpani intak Intak
- Warna Putih ke abu-abuan Putih ke abu-abuan seperti
seperti Mutiara mutiara
- Reflek cahaya (+) Tampak pada jam 5 (+) Tampak pada jam 7
- Edem - -
- Hiperemis - -
- Retraksi - -
- Bulging - -
- Perforasi - -
- Bula - -
- Sekret - -
- Gambar
b. Hidung
- Inspeksi Bentuk simetris, Deformitas (-), discharge (-),
hiperemi (-), lesi (-), hematom (-), edema (-)
- Palpasi Deformitas (-), krepitasi (-), Nyeri tekan sinus
paranasal (-), massa (-).
Rinoskopi anterior
- Kavum Nasi Hiperemis (+), sekret (+), Hiperemis (+), sekret (+),
rambut (+) rambut (+)
- Selaput Lendir Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)
- Septum Nasi Deviasi (-), massa (-) Deviasi (-), massa (-)
- Lantai + dasar hidung Licin, massa (-) Licin, massa (-)
- Konka inferior Hiperemis (+), edema Hiperemis (+), edema (+),
- Konka media (+), permukaan licin permukaan licin
- Meatus nasi media Sulit dinilai, Sekret (-), Sulit dinilai, Sekret (-),
- Polip polip (-) polip (-)
- Korpus alienum - -
- Massa tumor - -
Fenomena palatum mole Sulit dinilai Sulit dinilai
Rinoskopi posterior ( Tidak Dilalukan)
- Nasofaring - -
- Selaput Lendir - -
- Koana - -
- Konka superior - -
- Konka Media - -
- Kelenjar adenoid - -
- Selaput Lendir - -
- Masa - -
- Polip - -
c. Tenggorok
- Tonsil T1-T1
- Dinding faring Hiperemis (-)
- Uvula Hiperemis (-)
3.8 Terapi
- Cefixime 2 x 200 mg
- Natrium diklofenak 2 x 50 mg
- Methylprednisolone 3 x 4 mg
- Cetirizine 2 x 10 mg
- Lansoprazole 2 x 30 mg
3.9 Follow Up
Kembali ke RS 1 minggu berikutnya untuk evaluasi.
3.10 Prognosis
Quo Ad vitam : ad bonam
Quo Ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien pernah mengalami keluhan yang sama ± 3 tahun yang
lalu pada tahun 2018. Awalnya pasien merupakan pasien THT tahun 2015 karena
pasien sering merasa nyeri tenggorokan dan didiagnosis oleh dokter dengan
Faringitis. Namun karena sakit faringitis yang sering kambuh pasien kembali lagi
pada tahun 2018 dengan keluhan tambahan dan didiagnosis dengan Sinusitis
Akut. Namun setelah didiagnosis sinisitis akut pasien tidak pernah rutin lagi
menjalani pengobatan sampai pasien kembali lagi berobat pada september 2021
karena mengalami keluhan yang serupa dan mengganggu aktivitasnya. Lalu
kepada dokter THT di sarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan penunjang
yaitu dengan foto waters dan yang didapatkan pada foto waters dengan kesan
Sinusitis Frontalis dan Sinusitis Maxilaris Bilateral.
Sehingga dapat disimpulkan penyebab sinusitis pada kasus ini adalah
pengobatan infeksi akut yang tidak sempurna atau tidak adekuat yang
mengakibatkan pasien pada kasus ini mengalami sinusitis frontalis dan maxilaris
bilateral yang bersifat kronis.
1. Diagnosa pada kasus ini sudah tepat yaitu sinusitis frontalis et maxilaris
yang bersifat kronis.
2. penyebab sinusitis pada kasus ini adalah pengobatan infeksi akut yang
tidak sempurna atau tidak adekuat sehingga mengakibatkan pasien
dalam kasus ini pengalami sinus yang bersifat kronis.