RINOSINUSITIS AKUT
Agum Tizy, Yoan Levia Magdi
Bagian IKTHT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/
Departemen IKTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Abstrak
Abstract
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
seperti X-ray (foto polos), Computed Tomography Scan (CT scan), Magnetic
Resonance Imaging (MRI) serta pungsi sinus dan pemeriksaan mikrobiologi.3,4,8,12
Tatalaksana rinosinusitis akut virus lebih difokuskan pada kontrol gejala,
karena merupakan suatu keadaan yang akan membaik spontan (self limited
disease). Sedangkan tatalaksana pada rinosinusitis akut bakteri menggunakan
antibiotik. Antibiotik yang direkomendasikan yaitu amoksisilin sebagai terapi lini
pertama. Golongan penisilin dengan kombinasi penghambat beta laktamase, atau
golongan sefalosporin generasi dua atau tiga juga merupakan lini pertama
tatalaksana rinosinusitis akut bakteri. Pemberian analgesik dan antipiretik akan
membantu mengurangi gejala nyeri dan demam. Penggunaan dekongestan, baik
lokal maupun sistemik dapat membantu meringankan gejala yang dikeluhkan
pasien dan mempermudah pemeriksaan terhadap keadaan mukosa hidung dan
sinus paranasal. Tindakan operatif dibutuhkan bila pasien mengalami gejala yang
terus menerus dan bila terbukti adanya kelainan pada mukosa yang persisten atau
obstruksi sinus pada hasil tomografi komputer atau pemeriksaan endoskopi serta
bila terjadi komplikasi.5,10,11,12
Gejala akan membaik secara sempurna dengan pengobatan medis hingga
mencapai 90% kasus. Insidensi dari keparahan komplikasi dan progresifitas dari
rinosinustis akut menjadi kronik sangat rendah. Komplikasi rinosinusitis akut
bakteri diperkirakan terjadi 1 dari 1000 kasus. Komplikasi rinosinusitis akut dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu komplikasi orbital, intrakranial dan
komplikasi pada tulang. Mortalitas komplikasi intrakranial berkisar antara 20-
60%.1,4,7,12
3
BAB II
RINOSINUSITIS AKUT
Gambar 1. Anatomi sinus. F: sinus frontal; E: sinus etmoid; M: sinus maksila; O: ostium
sinus maksila; ST: turbin superior; T: turbin media; IT: turbin inferior; SM: meatus
superior; MM: meatus media; S: septum.24
4
Atap sinus terbentuk dari dasar orbita dan dasar sinus berhubungan
dengan akar premolar dan molar. Sinus ini bermuara pada meatus media
melalui hiatus semilunaris. Sinus frontalis berada pada os frontalis,
dipisahkan oleh septum tulang. Masing-masing sinus berbentuk segitiga
(triangular), memanjang sampai batas atas ujung medial alis dan kebelakang
hingga bagian medial atap orbita. Sinus frontalis bermuara pada meatus
media melalui infundibulum nasi. Sinus sfenoid berada pada os sfenoid. Sinus
ini bermuara pada resesus sfenoetmoidal diatas konka superior. Sinus etmoid
berada pada anterior, media dan posterior os etmoid, antara hidung dan orbita.
Sinus etmoid anterior bermuara pada infundibulum, sinus etmoid media
bermuara pada meatus media, di atas bula etmoidalis, dan sinus etmoid
posterior bermuara pada meatus superior.16,17,18
Gambar 2. Dinding lateral nasal. I. Meatus superior; II. Meatus media; III. Meatus inferior.
1. Vestibulum nasi; 2. Muara duktus nasolakrimal; 3. Konka inferior; 4. Hiatus semilunaris;
5. Insersi konka media; 6. Sinus sfenoid; 7. Insersi konka superior; 8. Sinus frontalis. a.
drainase rongga antral; b. Drainase sinus frontal; c. Drainase sinus etmoid anterior; d.
Drainase sinus etmoid posterior; e. Drainase sinus sfenoid; f. Infundibulum18
5
cabang arteri fasialis. Septum mendapat perdarahan dari anastomosis cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach yang terletak superfisial dan
mudah terkena trauma. Vena-vena di hidung memiliki nama yang sama dan
berjalan berdampingan dengan sinus kavernosa. Saraf kranial yang terlibat
langsung yaitu nervus olfaktorius yang turun melalui lamina kribosa dan
permukaan bawah bubus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu, nervus fasialis untuk gerakan otot-otot pernapasan pada hidung
luar, serta ganglion sfenopalatina yang memberi persarafan vasomotor untuk
mukosa hidung.16,17,18
6
2.3 Definisi
Sinusitis merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal dan rinitis
merupakan inflamasi yang terjadi pada mukosa hidung. Pada tahun 1996,
pertemuan mengenai rinosinusitis, yang disponsori oleh American Academy
of Otolaryngology Head and Neck Surgery, The American Rhinologic Society
dan The American Academy of Otolaryngologic Allergy merekomendasikan
penggantian istilah sinusitis menjadi rinosinusitis. Rekomendasi ini
didasarkan pada struktur anatomi baik kavum nasi maupun sinus paranasal
dilapisi oleh jenis epitel yang sama yaitu epitel respiratorius sehingga rinitis
biasanya disertai dengan adanya sinusitis, begitu pula sinusitis sangat jarang
tanpa disertai rinitis. Rinosinusitis didefinisikan sebagai adanya kondisi
inflamasi yang terjadi pada mukosa hidung dan satu atau lebih sinus
paranasal. Secara klasik, rinosinusitis dapat diklasifikasikan menjadi empat
berdasarkan waktu atau onset timbulnya gejala, yaitu rinosinusitis akut bila
gejala dirasakan kurang dari empat minggu, rinosinusitis subakut bila gejala
dirasakan selama empat sampai dua belas minggu, rinosinusitis kronik bila
gejala dialami lebih dari dua belas minggu dan rekuren bila terjadi empat atau
lebih episode rinosinusitis dalam satu tahun dengan adanya resolusi gejala
diantara episode dengan masing-masing episode tujuh sampai sepuluh
hari.2,7,8
Menurut EPOS tahun 2012, rinosinusitis akut didefinisikan adanya
onset tiba-tiba dua atau lebih gejala, dimana gejala berupa hidung tersumbat
atau sekret nasal (anterior atau postnasal drip) disertai sensasi nyeri atau
tertekan pada wajah dan perubahan kemampuan menghidu. Rinosinusitis
dibagi menjadi rinosinusitis akut bila durasi penyakit kurang dari dua belas
minggu dengan resolusi komplit dari gejala dan rinosinusitis kronik bila
durasi penyakit lebih dari sama dengan dua belas minggu tanpa resolusi
komplit dari gejala. Task Force pada tahun 1997 membagi menjadi dua gejala
atau riwayat dalam menegakkan diagnosis rinosinusitis yaitu gejala mayor
dan gejala minor. Rinosinusitis termasuk dua atau lebih gejala mayor, atau
satu mayor dan dua minor.3,12
7
2.4 Epidemiologi
Rinosinusitis akut merupakan salah satu penyakit yang cukup sering
ditemukan di layanan kesehatan primer. Namun yang dilaporkan berobat pada
layanan kesehatan primer sebanyak 5%. Rinosinusitis akut disebabkan oleh
virus, bakteri dan penyebab lainnya. Prevalensi rinosinusitis akut dan kronik
di Amerika Serikat berkisar 14% dan menghabiskan biaya pengobatan
pertahun sekitar 3,5 milyar dolar. Pada penelitian di Amerika Serikat tahun
2007, rinosinusitis akut terjadi pada 26 juta individu. Rinosinusitis akut
terjadi pada satu dari tujuh orang dewasa setiap tahunnya. Berdasarkan data
tahun 1999 di Eropa, setidaknya terdapat satu episode rinosinusitis akut setiap
tahunnnya dengan prevalensi berkisar 8,4% dari populasi. Di Makassar
Indonesia, dari tiga rumah sakit pendidikan periode 2003-2007 dilaporkan
sebanyak 41,5% penderita rinosinusitis akut. Rinosinusitis akut bakteri
biasanya berkembang sebagai komplikasi dari infeksi saluran napas atas
dengan prevalensi 0,5-2%.1,4,5,6,8
Prevalensi rinosinusitis akut lebih tinggi pada wanita 5,7%
dibandingkan laki-laki 3,4% pada individu ≥ 12 tahun dan meningkat seiring
peningkatan usia. Pada penelitian contact and epidemiological pattern survey
pada tahun 2010, proporsi wanita dan pria berkisar 62% dan 38%, 46 wanita
pada usia subur dan 21 laki-laki didiagnosis dengan rinosinusitis akut.
Patogenesis mengenai jenis kelamin tidak dimengerti sepenuhnya, tetapi
kondisi hormonal, alergi dan fakta bahwa wanita lebih sering berkontak
dengan anak-anak baik dirumah maupun tempat perawatan anak
meningkatkan risiko infeksi dari anak ke orang dewasa. Penelitian juga
menunjukkan bahwa wanita hamil lebih sering mengalami rinosinusitis akut
dibandingkan yang tidak hamil. Penelitian ini tidak menunjukkan hubungan
yang jelas antara konsentrasi esterogen atau progesteron selama kehamilan
dan siklus menstruasi. Bagaimanapun, beberapa penelitian menduga produksi
faktor pertumbuhan plasenta terkait dengan perkembangan rinosinusitis akut
pada kehamilan.8,9
8
2.5 Etiopatogenesis
Rinosinusitis akut merupakan inflamasi pada mukosa hidung dan
sinus paranasal. Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar didalam kompleks osteomeatal serta mukus yang
mengandung substansi antimikrobial dan zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernapasan. Beberapa organisme yang paling sering pada rinosinusitis akut
bakteri yakni Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus dan Moraxella catarrhalis. Virus yang paling sering
pada rinosinusitis akut virus yakni rhinovirus, adenovirus, influenza virus dan
parainfluenza virus. Beberapa faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
terlampir pada tabel dibawah ini.1,7,9,19
9
sering dan penting dalam pembengkakan mukosa. Ketika obstruksi ostium
sinus terjadi, terdapat peningkatan tekanan didalam rongga sinus. Oksigen
menjadi menurun dan karbondioksida meningkat dalam ruang ini, tekanan
didalam sinus menjadi negatif dibandingkan tekanan atmosfir. Tekanan
negatif dapat menyebabkan bakteri hidung masuk kedalam sinus selama
bersin atau menghembuskan napas. Sebuah penelitian menginvestigasi peran
hembusan napas dari cairan hidung dan kemungkinan mikroba dalam cairan
menuju rongga sinus.2,9,10
Ketika obstruksi ostium sinus terjadi, sekresi mukus dari mukosa terus
berlanjut sehingga menyebabkan akumulasi di dalam sinus. Akumulasi sekret
merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri.
Penelitian baru menyebutkan bahwa rinosinusitis akut dapat terjadi
tergantung pada respon inflamasi host. Hal ini dikaitkan dengan mekanisme
pertahanan tubuh host terhadap infeksi virus yang mencetuskan kemotaksis
dan aktivasi reaksi kaskade inflamasi menjadi rinosinusitis akut dibandingkan
aktivitas dari sitotoksin virus. Akumulasi dari sel mediator inflamasi dan
edema mukosa menyebabkan sumbatan pada ostium dan meningkatkan
kerentanan terhadap superinfeksi bakteri dalam sinus. Meskipun tanpa
infeksi, sumbatan ostium sendiri dapat menyebabkan perubahan proinflamasi
dengan menghambat pertukaran gas normal dalam sinus dan mengganggu
fungsi dari mekanisme pertahanan tubuh.2,5
10
Gambar 3. Patogenesis Rinosinusitis akut12
11
2.6 Diagnosis
2.6.1. Anamnesis
Diagnosis rinosinusitis akut ditegakkan berdasarkan klinis, baik gejala
maupun tanda yang didapat pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, atau
prosedur diagnostik lain seperti pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
radiologis dan pemeriksaan mikrobiologi. Kriteria diagnosis rinosinusitis akut
berdasarkan EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps) tahun 2012, yaitu adanya onset tiba-tiba dua atau lebih gejala, dimana
gejala berupa hidung tersumbat atau sekret nasal (anterior atau postnasal
drip) disertai sensasi nyeri atau tertekan pada wajah dan perubahan
kemampuan menghidu, didukung hasil pemeriksaan seperti rinoskopi anterior
yang menunjukkan adanya pembengkakan, kemerahan dan pus. Task Force
pada tahun 1997 mengklasifikasikan rinosinusitis berdasarkan durasi gejala
dan riwayat. Riwayat rinosinusitis termasuk dua atau lebih gejala mayor, atau
satu mayor dan dua minor. Gejala mayor berupa nyeri atau rasa tekanan pada
wajah, rasa penuh pada wajah, hidung tersumbat, rinorrhae purulen atau post
nasal drip, hiposmia atau anosmia, purulen pada kavum nasi dan demam.
Gejala minor berupa sakit kepala, demam, halitosis, lelah, nyeri pada gigi,
batuk, nyeri telinga. 2,7,9
Pada anamnesis, dapat ditemukan gejala yang paling sering
dikeluhkan antara lain hidung tersumbat (obstruksi nasal), sekret nasal yang
purulen, postnasal drip, nyeri pada wajah, perubahan kemampuan menghidu,
batuk, demam, halitosis atau nafas berbau, fatigue, nyeri gigi, nyeri
tenggorokan, sensasi penuh pada telinga, otalgia dan nyeri kepala. Nyeri
merupakan salah satu dari tiga tanda kardinal yang mengarah pada kriteria
diagnosis rinosinusitis akut bakteri. Tiga tanda kardinal rinosinusitis akut
antara lain, sekret nasal yang purulen, obstruksi nasal dan nyeri, sensasi
tertekan atau sensasi penuh pada wajah. Adanya sekret nasal yang purulen,
yang ditemukan baik dari anamnesis maupun pemeriksaan bagian posterior
faring atau intranasal dekat ostium sinus, mengindikasikan adanya infeksi
bakteri pada sinus paranasal atau rinosinusitis akut bakteri. Nyeri pada wajah
12
dan gigi juga merupakan gejala yang mengarahkan diagnosis pada
rinosinusitis akut bakteri dan harus dipastikan melalui pemeriksaan kultur
serta radiografi. Adanya kondisi komorbid seperti diabetes melitus, defisiensi
imun, penyakit paru atau penyakit kongenital serta riwayat rinitis alergi
merupakan hal penting dalam membantu penegakan diagnosis rinosinusitis
akut dan perencanaan tatalaksana. Adanya riwayat trauma nasal atau wajah,
operasi pada wajah atau operasi sinonasal serta riwayat sakit gigi atau gigi
berlubang dapat mempengaruhi gejala yang dikeluhkan pada pasien
rinosinusitis akut. Riwayat sosial pasien seperti merokok dan kondisi sekitar
pasien juga merupakan hal penting untuk menegakkan diagnosis dan
tatalaksana. 7,9
Rinosinusitis akut bakteri dan virus sulit untuk dibedakan. Namun,
jika gejala kurang dari 10 hari dipertimbangkan rinosinusitis akut virus. Jika
gejala lebih dari 10 hari dipertimbangkan sebagai rinosinusitis akut bakteri.
Pada rinosinusitis akut virus, gejala pada hidung meliputi kongesti dan
discharge menonjol pada infeksi saluran nafas atas karena virus. Discharge
pada hidung memiliki pola yang dapat diprediksi yaitu cairan bening encer
dan selanjutnya akan menjadi mukoid dan kental, yang akhirnya akan
menjadi berwarna atau opak sebelum sembuh. Manifestasi klinik dari
rinosinusitis akut bakteri terdiri dari tiga pola, pertama gejala persisten,
dikarakteristikan dengan discharge pada hidung atau batuk atau keduanya
yang terjadi lebih dari sepuluh hari tanpa perbaikan. Karena gejala infeksi
saluran nafas atas karena virus akan membaik dalam waktu sepuluh hari,
sehingga hal tersebut menandakan bahwa terjadi proses infeksi bakteri.
Gejala yang menyertai dapat termasuk edema periorbita, malodorous
(Halitosis-bad breath), demam. discharge pada hidung dari tipis dan mukoid
menjadi tebal dan purulen. Manifestasi kedua dikarakteristikan dengan onset
dari keparahan gejala. Demam yang menyertai discharge pada hidung yang
purulen pada periode tiga sampai empat hari. Pasien sering tampak sakit.
Gejala memburuk dikarakteristikan pada manifestasi yang ketiga yaitu pasien
mengalami regresi awal dari gejala batuk, nasal discharge, dan kongesti
13
namun memburuk lagi dalam waktu sepuluh hari. Tanda perburukan dapat
berupa timbul demam baru, nasal discharge yang bertambah banyak,
kongesti atau batuk yang terjadi sepanjang hari. 7,9,10,12
14
deviasi septum dapat membatasi pemeriksaan ini. Visualisasi aliran postnasal
purulen di dinding faring pada pemeriksaan orofaring lebih sensitif dan
spesifik terhadap rinosinusitis akut bakteri. Adanya peningkatan suhu diatas
38oC dan nyeri gigi maksilaris merupakan gejala dan tanda signifikan yang
menunjukkan adanya infeksi bakteri sehingga mengarahkan pada diagnosis
rinosinusitis akut bakteri. Transluminasi sinus dapat dilakukan sebagai
tambahan tes diagnostik dan terbatas pada sinus frontal dan maksila, karena
sinus lain terlalu berada di bagian distal untuk dilakukan pemeriksaan. Untuk
memeriksa sinus maksila, digunakan sumber cahaya yang ditempatkan di atas
rim infraorbital, transmisi cahaya diamati melalui palatum durum. Kegunaan
dari tes ini masih diperdebatkan. 3,7,8,9,10
Setelah melakukan anamnesis mengenai gejala-gejala, maka diagnosis
dapat diarahkan secara spesifik yaitu rinosinusitis akut bakteri, rinosinusitis
akut virus atau rinosinusitis akut akibat etiologi non infeksi. Berdasarkan
petunjuk diagnosis tahun 2007 dan EPOS (European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps) tahun 2012, rinosinusitis akut virus yang
disebabkan adanya infeksi virus dapat ditegakkan bila tanda dan gejala
rinosinusitis akut dirasakan selama kurang dari dua belas hari dan gejala tidak
memberat, sedangkan rinosinusitis akut bakteri dapat ditegakkan bila terdapat
minimal tiga gejala seperti sekret nasal purulen, nyeri lokalis yang berat
dengan predominansi unilateral, demam (>38oC), peningkatan laju endap
darah atau CRP (C reactive protein) selama sepuluh hari atau lebih di luar
gejala saluran napas atas, atau bila gejala atau tanda rinosinusitis akut
memburuk dalam waktu sepuluh hari setelah onset. Pada tiga sampai empat
hari pertama, rinosinusitis akut virus sulit dibedakan dari adanya rinosinusitis
akut bakteri. Sekret purulen tidak mengindikasikan adanya bakteri pada
mukus, namun lebih menunjukkan adanya netrofil yang merupakan ciri
inflamasi akut. Rinore yang jernih merupakan indikasi adanya rinosinusitis
akut virus, rinosinusitis alergi atau rinosinusitis non alergi akibat etiologi lain.
Pada hari kesepuluh atau lebih, inflamasi dan edema pada rinosinusitis akut
virus masih dapat ditemukan, namun bila gejala makin memberat pada hari
15
kesepuluh maka diagnosis lebih mengarah pada rinosinusitis akut
bakteri.3,4,7,11
16
keterlibatan intrakranial atau orbita. MRI lebih sensitif untuk menilai
perubahan mukosa dan tidak baik digunakan untuk menilai keadaan anatomi
tulang dari kompleks osteomeatal. 4,8,9,10
17
CT scan sebagai pembengkakan jaringan lunak dan bermanifestasi sebagai
nyeri mata, edema dan demam tinggi. CT scan yang menunjukkan bukti
adanya abses dan sedikit perbaikan klinis setelah 24-48 jam dengan
penggunaan antibiotik intravena merupakan indikasi untuk pembedahan
eksplorasi dan drainase. Untuk membantu interpretasi CT scan, tabel dua
menunjukkan“red flag” keadaan yang merupakan indikasi rujukan segera
dan kelainan lainnya.4,8,9,10
18
dengan aspirasi sinus maksilaris memiliki hasil yang mirip. Sebuah
metaanalisis membandingkan sensitivitas dan spesifisitas dari endoskopi
langsung pada meatus media dan aspirasi sinus maksilaris dilaporkan bahwa
endoskopi langsung meatus media memiliki sensitifitas 81% dan spesifisitas
91% dan secara keseluruhan akurat 87% dibandingkan aspirasi sinus
maksilaris.5,8,10,20
2.8 Tatalaksana
Tatalaksana rinosinusitis akut dapat berupa konservatif dan operatif.
Langkah awal tatalaksana kasus rinosinusitis akut adalah menentukan
diagnosis berdasarkan etiologi terlebih dahulu, rinosinusitis akut virus atau
rinosinusitis akut bakteri. Pemberian tatalaksana pada rinosinusitis tidak dapat
dibedakan antara virus maupun bakteri sebelum hari kesepuluh onset gejala.
Pada hari kesepuluh, pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan, namun
tetap harus memperhatikan klinis pasien karena 40-60% rinosinusitis akut
dapat membaik secara spontan. Pemberian antibiotik sebelum hari kesepuluh
onset gejala, dapat dipertimbangkan pada pasien dengan relaps gejala
(perburukan gejala) atau pasien dengan gejala berat. Tatalaksana rinosinusitis
akut virus lebih difokuskan pada kontrol gejala, karena ini merupakan suatu
keadaan yang akan membaik spontan (self limited disease). 2,10,11
Antibiotik yang direkomendasikan yaitu amoksisilin sebagai terapi
lini pertama rinosinusitis akut bakteri. Golongan penisilin dengan kombinasi
penghambat beta laktamase, atau golongan sefalosporin generasi dua atau tiga
juga merupakan lini pertama tatalaksana rinosinusitis akut bakteri. Jika pasien
tidak memberikan respon yang baik, maka dianjurkan pemberian antibiotik
golongan fluorokuinolon atau amoksiklav (amoksisilin-asam klavulanat)
dosis tinggi (4 gram/hari). Antibiotik alternatif lain pada kasus adanya
resistensi terhadap golongan penisilin antara lain antibiotik golongan
makrolida, fluorokuinolon generasi ketiga atau keempat dan golongan
sefalosporin generasi kedua atau ketiga yang memiliki tingkat resistensi lebih
rendah. Durasi pemberian antibiotik dianjurkan selama sepuluh sampai empat
19
belas hari atau hingga tujuh hari bebas gejala. Bila gejala tidak membaik
dalam 48-72 jam, maka dianjurkan untuk mengganti antibiotik dengan
antibiotik lini kedua.2,10,11,22
Tabel 3. Pemberian antibiotik dan dosis pada rinosinusitis akut (10-14 hari pengobatan)4
Antibiotik Dosis
- Levofloksasin (hanya bila alergi terhadap 500 mg/hari selama 10 hari atau
semua antibiotik diatas) 750mg/hari selama 5 hari
20
obat-obatan penghilang nyeri, terutama pada rinosinusitis akut virus dengan
membantu mekanisme klirens mukosiliar. Penggunaan dekongestan, baik
lokal maupun sistemik, dapat menurunkan resistensi jalan napas dan dapat
memperlebar ostium serta memperbaiki ventilasi nasal sehingga dapat
membantu meringankan gejala yang dikeluhkan pasien dan mempermudah
pemeriksaan terhadap keadaan mukosa nasal dan sinus paranasal. Pemberian
steroid sistemik tidak memberikan efektivitas pada rinosinusitis akut virus.
Steroid topikal nasal dapat mengurangi proses inflamasi mukosa nasal setelah
adanya paparan antigen serta dapat mengurangi reaksi alergi fase awal dan
lanjut. Steroid nasal akan mengalami absorpsi sistemik minimal dan memiliki
risiko rendah terhadap efek samping sistemik penggunaan steroid. Pemberian
antihistamin dapat dipertimbangkan bila terdapat riwayat alergi yang
dicurigai sebagai penyebab rinosinusitis akut, serta mukolitik untuk
membantu mengencerkan mukus sehingga memperbaiki klirens atau
pembersihan mukosilier. Pada rinosinusitis akut virus dapat diberikan
kombinasi antihistamin, analgesik dan dekongestan untuk mengurangi gejala
yang dikeluhkan pasien. Algoritme penatalaksanaan rinosinusitis akut
berdasarkan EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps) tahun 2012 ditunjukkan pada gambar enam.1,3,10,11,22
21
Rujuk segera:
22
Gambar 7. Skema tatalaksana rinosinusitis akut pada dewasa dan anak untuk spesialis THT 3
23
maksila. Lakukan pembukaan atau paparan terhadap sel etmoid anterior, yang
memungkinkan ventilasi sinus menjadi lebih baik, kemudian ostium maksila
dapat diidentifikasi dan bila ditemukan obstruksi pada ostium ini, lakukan
antrostomi. Teknik bedah sinus endoskopik fungsional ini akan memperbaiki
fungsi kompleks osteomeatal dan memperbaiki ventilasi sinus maksila,
etmoid dan frontal. Perbaikan gejala dengan tindakan bedah sinus endoskopik
fungsional (functional endoscopic sinus surgery) didapatkan pada lebih dari
90% pasien dengan rinosinusitis akut.10,11,12,20
2.9 Komplikasi
24
Tabel 4. Komplikasi orbital rinosinusitis12
Edema Periorbital
Tanpa keterbatasan gerak otot ekstraokular, penglihatan normal. Infeksi meluas pada
bagian anterior septum orbita
Selulitis Orbital
Infeksi jaringan lunak pada bagian posterior septum orbita
Abses Subperiosteal
Akumulasi pus pada periosteum lamina papirasea, bola mata bergeser ke arah inferolateral
Abses Orbital
Akumulasi pus pada rongga orbita, terdapat gerakan ekstra okular terbatas, eksoftalmus
dan perubahan kemampuan penglihatan
Trombosis Sinus Kavernosus
Trombosis septik pada sinus kavernosus, demam, oftalmoplegia, ptosis, proptosis,
kebutaan, Meningitis
25
BAB III
SIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
27
15. Leung RM, Walsh WE, Kern RC. Sinonasal Anatomy and Physiology. In:
Johnson JT, Rosen CA. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5 th
Ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2014.p.359-70.
16. Snell RS. Clinical anatomy by regions. 9th Ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business, 2012.p.639-44.
17. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: balai
Penerbit FKUI, 2009.p.118-22.
18. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter II. Nose, Nasal Sinuses
and Face. In : Ear, Nose and Throat Disease With Head and Neck Surgery. 3rd
Ed. Thieme: New York. 2009.p.116-24.
19. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar.
Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.p.150-4.
20. Slack R, Bates G. Functional endoscopic sinus surgery. American Academy
of Family Physician. 1998:1-11.
21. Mian MY. Functional endoscopic sinus surgery. Furness General Hospital
Cumbria. 2008.
22. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter II. Nose, Nasal Sinuses
and Face, Acute and Chronic Rhinosinusitis. In : Ear, Nose and Throat
Disease With Head and Neck Surgery. 3rd Ed. Thieme: New York.
2009.p.155-66.
23. Giannoni CM. Complication of Rhinosinusitis. In: Johnson JT, Rosen CA.
Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5th Ed. Vol 1. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins.2014.p.573-85.
24. Elden L, Tom LW. Chapter 13. Pediatric Prespectives of Rhinosinusitis. In:
Thaler ER, Kennedy DW. Rhinosinusitis A Guide For Diagnosis And
Management. Springer: New York. 2008.p.206
28