Anda di halaman 1dari 28

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

RINOSINUSITIS AKUT
Agum Tizy, Yoan Levia Magdi
Bagian IKTHT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/
Departemen IKTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Rinosinusitis akut merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal


dengan karakteristik adanya dua atau lebih gejala, dimana salah satunya yaitu hidung
tersumbat atau sekret nasal berupa anterior maupun postnasal drip, disertai rasa nyeri
atau tertekan pada wajah dan penurunan kemampuan menghidu yang berlangsung hingga
kurang dari duabelas minggu. Kejadian rinosinusitis akut banyak terjadi, namun yang
dilaporkan berobat sebanyak 5% pada layanan kesehatan primer dengan prevalensi lebih
tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki dan meningkat seiring peningkatan usia.
Pengobatan rinosinusitis akut virus berupa analgetik, antipiretik, irigasi hidung dan
dekongestan sedangkan pengobatan lini pertama rinosinusitis akut bakteri yaitu
amoksisilin. Komplikasi rinosinusitis akut jarang terjadi, diperkirakan hanya sekitar
1:1000 kasus, terutama akibat rinosinusitis akut bakteri. Komplikasi rinosinusitis akut
dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu komplikasi orbital, intrakranial dan
komplikasi pada tulang.

Kata kunci : Rinosinusitis akut, virus, bakteri, komplikasi

Abstract

Acute rhinosinusitis is inflammation of the mucosa of the nasal and paranasal


sinuses which characterized by two or more symptoms, one of which should be either
nasal obstruction or nasal discharge anterior or posterior nasal drip with facial pain or
pressure and reduction or loss of smell lasting no longer than twelve weeks. Acute
rhinosinusitis is common, however it is reported 5% of visits to primary care physicians
which prevalence more common in woman than man and increases with age. Treatment
of acute virus rhinosinusitis are analgesic, antipyretic, nasal irrigation and decongestant
while first line therapy for acute bacterial rhinosinusitis is antibiotic like amoxicillin.
Complications of acute rhinosinusitis are rare, estimated just about 1:1000 cases,
especially caused by acute bacterial rhinosinusitis. Complication of acute rhinosinusitis
classified into three; orbital, intracranial and bony complications.

Keywords : Acute rhinosinusitis, viral, bacterial, complication

1
BAB I
PENDAHULUAN

Rinosinusitis didefinisikan sebagai adanya kondisi inflamasi yang terjadi


pada mukosa hidung dan satu atau lebih sinus paranasal. Menurut EPOS
(European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps) tahun 2012,
rinosinusitis dibagi menjadi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik.
Rinosinusitis akut umum terjadi, yang dilaporkan berobat sebanyak 5% pada
layanan kesehatan primer. Prevalensi rinosinusitis akut dan kronik di Amerika
Serikat berkisar 14% dan menghabiskan biaya pengobatan pertahun sekitar 3,5
milyar dolar. Di Makassar Indonesia, dari 3 rumah sakit pendidikan periode 2003-
2007 dilaporkan sebanyak 41,5% penderita rinosinusitis. Prevalensi rinosinusitis
akut lebih tinggi pada wanita 5,7% dibandingkan laki-laki 3,4% pada individu ≥
12 tahun dan meningkat seiring peningkatan usia. Beberapa organisme yang
paling sering pada rinosinusitis akut bakteri yakni Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus dan Moraxella catarrhalis,
sedangkan virus yang paling sering pada rinosinusitis akut virus yakni rhinovirus,
adenovirus, influenza virus dan parainfluenza virus. Patogenesis dari rinosinusitis
akut melibatkan tiga elemen yakni ostium sinus yang sempit atau sumbatan
ostium, disfungsi silia, dan sekresi sinus yang kental.1,2,3
Diagnosis rinosinusitis akut ditegakkan berdasarkan klinis, baik gejala
maupun tanda yang didapat pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, atau prosedur
diagnostik lain seperti pemeriksaan penunjang. Kriteria diagnosis rinosinusitis
akut berdasarkan EPOS tahun 2012, yaitu adanya onset tiba-tiba dua atau lebih
gejala, dimana salah satunya yaitu hidung tersumbat atau sekret nasal (anterior
atau postnasal drip) disertai sensasi nyeri atau tertekan pada wajah dan perubahan
kemampuan menghidu. Task Force pada tahun 1997 mengklasifikasikan
rinosinusitis berdasarkan durasi gejala dan riwayat. Riwayat rinosinusitis
termasuk dua atau lebih gejala mayor, atau satu mayor dan dua minor.
Pemeriksaan fisik berupa rinoskopi anterior yang menunjukkan adanya
pembengkakan, kemerahan dan pus. Didukung hasil pemeriksaan penunjang

2
seperti X-ray (foto polos), Computed Tomography Scan (CT scan), Magnetic
Resonance Imaging (MRI) serta pungsi sinus dan pemeriksaan mikrobiologi.3,4,8,12
Tatalaksana rinosinusitis akut virus lebih difokuskan pada kontrol gejala,
karena merupakan suatu keadaan yang akan membaik spontan (self limited
disease). Sedangkan tatalaksana pada rinosinusitis akut bakteri menggunakan
antibiotik. Antibiotik yang direkomendasikan yaitu amoksisilin sebagai terapi lini
pertama. Golongan penisilin dengan kombinasi penghambat beta laktamase, atau
golongan sefalosporin generasi dua atau tiga juga merupakan lini pertama
tatalaksana rinosinusitis akut bakteri. Pemberian analgesik dan antipiretik akan
membantu mengurangi gejala nyeri dan demam. Penggunaan dekongestan, baik
lokal maupun sistemik dapat membantu meringankan gejala yang dikeluhkan
pasien dan mempermudah pemeriksaan terhadap keadaan mukosa hidung dan
sinus paranasal. Tindakan operatif dibutuhkan bila pasien mengalami gejala yang
terus menerus dan bila terbukti adanya kelainan pada mukosa yang persisten atau
obstruksi sinus pada hasil tomografi komputer atau pemeriksaan endoskopi serta
bila terjadi komplikasi.5,10,11,12
Gejala akan membaik secara sempurna dengan pengobatan medis hingga
mencapai 90% kasus. Insidensi dari keparahan komplikasi dan progresifitas dari
rinosinustis akut menjadi kronik sangat rendah. Komplikasi rinosinusitis akut
bakteri diperkirakan terjadi 1 dari 1000 kasus. Komplikasi rinosinusitis akut dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu komplikasi orbital, intrakranial dan
komplikasi pada tulang. Mortalitas komplikasi intrakranial berkisar antara 20-
60%.1,4,7,12

3
BAB II
RINOSINUSITIS AKUT

2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan rongga yang terdapat pada bagian dalam
tulang maksila, frontal, sfenoid dan etmoid. Sinus-sinus ini dilapisi oleh
lapisan mukoperiosteum dan berisi udara, serta berhubungan dengan kavum
nasi melalui beberapa apertura kecil, salah satu struktur yang berhubungan
yaitu dinding lateral kavum nasi. Dinding lateral kavum nasi memiliki
struktur yang lebih kompleks dibanding dinding medial kavum nasi. Dinding
lateral kavum nasi terdiri dari beberapa struktur yang penting pada fungsi
hidung dan kavum nasal, antara lain : konka nasal (konka superior, konka
media dan konka inferior) dan drainase sinus paranasal (sinus frontalis dan
sinus maksilaris melalui hiatus semilunaris pada meatus media, terletak antara
konka inferior dan konka media; sinus sfenoid memiliki ostium pada masing-
masing resesus sfenoetmoidal). Muara duktus nasolakrimal ke meatus inferior
dimana meatus superior, meatus media dan meatus inferior terletak pada
bagian inferior ketiga konka nasal. Terdapat empat sinus paranasal yaitu sinus
maksilaris, sinus frontalis, sinus sfenoid dan sinus etmoid. Sinus maksilaris
berbentuk piramid dan terletak pada regio maksilaris dibelakang kulit pipi.

Gambar 1. Anatomi sinus. F: sinus frontal; E: sinus etmoid; M: sinus maksila; O: ostium
sinus maksila; ST: turbin superior; T: turbin media; IT: turbin inferior; SM: meatus
superior; MM: meatus media; S: septum.24

4
Atap sinus terbentuk dari dasar orbita dan dasar sinus berhubungan
dengan akar premolar dan molar. Sinus ini bermuara pada meatus media
melalui hiatus semilunaris. Sinus frontalis berada pada os frontalis,
dipisahkan oleh septum tulang. Masing-masing sinus berbentuk segitiga
(triangular), memanjang sampai batas atas ujung medial alis dan kebelakang
hingga bagian medial atap orbita. Sinus frontalis bermuara pada meatus
media melalui infundibulum nasi. Sinus sfenoid berada pada os sfenoid. Sinus
ini bermuara pada resesus sfenoetmoidal diatas konka superior. Sinus etmoid
berada pada anterior, media dan posterior os etmoid, antara hidung dan orbita.
Sinus etmoid anterior bermuara pada infundibulum, sinus etmoid media
bermuara pada meatus media, di atas bula etmoidalis, dan sinus etmoid
posterior bermuara pada meatus superior.16,17,18

Gambar 2. Dinding lateral nasal. I. Meatus superior; II. Meatus media; III. Meatus inferior.
1. Vestibulum nasi; 2. Muara duktus nasolakrimal; 3. Konka inferior; 4. Hiatus semilunaris;
5. Insersi konka media; 6. Sinus sfenoid; 7. Insersi konka superior; 8. Sinus frontalis. a.
drainase rongga antral; b. Drainase sinus frontal; c. Drainase sinus etmoid anterior; d.
Drainase sinus etmoid posterior; e. Drainase sinus sfenoid; f. Infundibulum18

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri


maksilaris interna, diantaranya adalah arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina, sedangkan bagian depan hidung mendapatkan perdarahan dari

5
cabang arteri fasialis. Septum mendapat perdarahan dari anastomosis cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach yang terletak superfisial dan
mudah terkena trauma. Vena-vena di hidung memiliki nama yang sama dan
berjalan berdampingan dengan sinus kavernosa. Saraf kranial yang terlibat
langsung yaitu nervus olfaktorius yang turun melalui lamina kribosa dan
permukaan bawah bubus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu, nervus fasialis untuk gerakan otot-otot pernapasan pada hidung
luar, serta ganglion sfenopalatina yang memberi persarafan vasomotor untuk
mukosa hidung.16,17,18

2.2 Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal


Kavum nasi berfungsi untuk menghangatkan dan melembabkan udara
inspirasi. Beberapa fungsi lain yaitu sebagai rongga resonansi suara, proteksi
terhadap otak dan orbita dari trauma, melembabkan dan humidifikasi udara
ambient dan meringankan berat tulang wajah. Mukosa sinonasal dilapisi oleh
epitel kolumnar pseudostratifikasi bersilia. Epitel respirasi ini terdiri dari sel
silia (<75%), sel goblet yang mensekresi mukus (<20%) dan sel basal (<5%).
Terdapat sekitar 50-200 silia pada permukaan apikal sel epitel. Pada keadaan
normal, seluruh lapisan mukus pada hidung atau sinus dibersihkan dalam
waktu sepuluh menit. Kerja silia tergantung pada respon terhadap stimulus
kimia, termal, mekanik dan hormonal. Gangguan pada mekanisme
pembersihan mukosiliar akan menyebabkan stasis mukus yang dapat
mengakibatkan pertumbuhan bakteri dan infeksi. Mukus yang disekresi oleh
sel goblet terdiri dari air, glikoprotein, imunooglobulin, leukosit, garam dan
neurotransmiter. Di dalam sinus, mukus ini akan dialirkan menuju ostium
sinus, bila terjadi obstruksi pada ostium akibat inflamasi maka akan
menyebabkan infeksi dan reaksi inflamasi pada kavum nasi dan sinus
paranasal.10,12,15

6
2.3 Definisi
Sinusitis merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal dan rinitis
merupakan inflamasi yang terjadi pada mukosa hidung. Pada tahun 1996,
pertemuan mengenai rinosinusitis, yang disponsori oleh American Academy
of Otolaryngology Head and Neck Surgery, The American Rhinologic Society
dan The American Academy of Otolaryngologic Allergy merekomendasikan
penggantian istilah sinusitis menjadi rinosinusitis. Rekomendasi ini
didasarkan pada struktur anatomi baik kavum nasi maupun sinus paranasal
dilapisi oleh jenis epitel yang sama yaitu epitel respiratorius sehingga rinitis
biasanya disertai dengan adanya sinusitis, begitu pula sinusitis sangat jarang
tanpa disertai rinitis. Rinosinusitis didefinisikan sebagai adanya kondisi
inflamasi yang terjadi pada mukosa hidung dan satu atau lebih sinus
paranasal. Secara klasik, rinosinusitis dapat diklasifikasikan menjadi empat
berdasarkan waktu atau onset timbulnya gejala, yaitu rinosinusitis akut bila
gejala dirasakan kurang dari empat minggu, rinosinusitis subakut bila gejala
dirasakan selama empat sampai dua belas minggu, rinosinusitis kronik bila
gejala dialami lebih dari dua belas minggu dan rekuren bila terjadi empat atau
lebih episode rinosinusitis dalam satu tahun dengan adanya resolusi gejala
diantara episode dengan masing-masing episode tujuh sampai sepuluh
hari.2,7,8
Menurut EPOS tahun 2012, rinosinusitis akut didefinisikan adanya
onset tiba-tiba dua atau lebih gejala, dimana gejala berupa hidung tersumbat
atau sekret nasal (anterior atau postnasal drip) disertai sensasi nyeri atau
tertekan pada wajah dan perubahan kemampuan menghidu. Rinosinusitis
dibagi menjadi rinosinusitis akut bila durasi penyakit kurang dari dua belas
minggu dengan resolusi komplit dari gejala dan rinosinusitis kronik bila
durasi penyakit lebih dari sama dengan dua belas minggu tanpa resolusi
komplit dari gejala. Task Force pada tahun 1997 membagi menjadi dua gejala
atau riwayat dalam menegakkan diagnosis rinosinusitis yaitu gejala mayor
dan gejala minor. Rinosinusitis termasuk dua atau lebih gejala mayor, atau
satu mayor dan dua minor.3,12

7
2.4 Epidemiologi
Rinosinusitis akut merupakan salah satu penyakit yang cukup sering
ditemukan di layanan kesehatan primer. Namun yang dilaporkan berobat pada
layanan kesehatan primer sebanyak 5%. Rinosinusitis akut disebabkan oleh
virus, bakteri dan penyebab lainnya. Prevalensi rinosinusitis akut dan kronik
di Amerika Serikat berkisar 14% dan menghabiskan biaya pengobatan
pertahun sekitar 3,5 milyar dolar. Pada penelitian di Amerika Serikat tahun
2007, rinosinusitis akut terjadi pada 26 juta individu. Rinosinusitis akut
terjadi pada satu dari tujuh orang dewasa setiap tahunnya. Berdasarkan data
tahun 1999 di Eropa, setidaknya terdapat satu episode rinosinusitis akut setiap
tahunnnya dengan prevalensi berkisar 8,4% dari populasi. Di Makassar
Indonesia, dari tiga rumah sakit pendidikan periode 2003-2007 dilaporkan
sebanyak 41,5% penderita rinosinusitis akut. Rinosinusitis akut bakteri
biasanya berkembang sebagai komplikasi dari infeksi saluran napas atas
dengan prevalensi 0,5-2%.1,4,5,6,8
Prevalensi rinosinusitis akut lebih tinggi pada wanita 5,7%
dibandingkan laki-laki 3,4% pada individu ≥ 12 tahun dan meningkat seiring
peningkatan usia. Pada penelitian contact and epidemiological pattern survey
pada tahun 2010, proporsi wanita dan pria berkisar 62% dan 38%, 46 wanita
pada usia subur dan 21 laki-laki didiagnosis dengan rinosinusitis akut.
Patogenesis mengenai jenis kelamin tidak dimengerti sepenuhnya, tetapi
kondisi hormonal, alergi dan fakta bahwa wanita lebih sering berkontak
dengan anak-anak baik dirumah maupun tempat perawatan anak
meningkatkan risiko infeksi dari anak ke orang dewasa. Penelitian juga
menunjukkan bahwa wanita hamil lebih sering mengalami rinosinusitis akut
dibandingkan yang tidak hamil. Penelitian ini tidak menunjukkan hubungan
yang jelas antara konsentrasi esterogen atau progesteron selama kehamilan
dan siklus menstruasi. Bagaimanapun, beberapa penelitian menduga produksi
faktor pertumbuhan plasenta terkait dengan perkembangan rinosinusitis akut
pada kehamilan.8,9

8
2.5 Etiopatogenesis
Rinosinusitis akut merupakan inflamasi pada mukosa hidung dan
sinus paranasal. Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar didalam kompleks osteomeatal serta mukus yang
mengandung substansi antimikrobial dan zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernapasan. Beberapa organisme yang paling sering pada rinosinusitis akut
bakteri yakni Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus dan Moraxella catarrhalis. Virus yang paling sering
pada rinosinusitis akut virus yakni rhinovirus, adenovirus, influenza virus dan
parainfluenza virus. Beberapa faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
terlampir pada tabel dibawah ini.1,7,9,19

Tabel 1. Faktor Predisposisi Terjadinya Rinosinusitis7


Faktor host Faktor lingkungan
Kondisi kongenital Agen infeksi
 Fibrosis kistik  Virus
 Immotile cilia syndrome  Bakteri
Kelainan sinus paranasal Trauma
 Konka media bulosa  Edema mukosa dan inflamasi
 Sumbatan resesus frontal  Kelainan anatomi tulang
 Deviasi septum berat
Alergi dan kondisi imun Paparan bahan kimia berbahaya
 Alergi lingkungan Iatrogenik
 HIV  Obat-obatan
 Agen imunosupresan (kemoterapi)  Pembedahan
 Transplantasi sumsum tulang
Kondisi inflamasi sistemik
 Sarkoidosis
 Wegener granulomatosus

Patogenesis dari rinosinusitis akut melibatkan tiga elemen yakni


ostium sinus yang sempit atau sumbatan ostium, disfungsi silia, dan sekresi
sinus yang kental. Faktor predisposisi yang menyebabkan ostium menjadi
tersumbat antara lain pembengkakan mukosa dan faktor lain yang dapat
menyebabkan sumbatan mekanik secara langsung. Infeksi virus saluran
pernapasan atas dan inflamasi akibat alergi merupakan faktor yang paling

9
sering dan penting dalam pembengkakan mukosa. Ketika obstruksi ostium
sinus terjadi, terdapat peningkatan tekanan didalam rongga sinus. Oksigen
menjadi menurun dan karbondioksida meningkat dalam ruang ini, tekanan
didalam sinus menjadi negatif dibandingkan tekanan atmosfir. Tekanan
negatif dapat menyebabkan bakteri hidung masuk kedalam sinus selama
bersin atau menghembuskan napas. Sebuah penelitian menginvestigasi peran
hembusan napas dari cairan hidung dan kemungkinan mikroba dalam cairan
menuju rongga sinus.2,9,10
Ketika obstruksi ostium sinus terjadi, sekresi mukus dari mukosa terus
berlanjut sehingga menyebabkan akumulasi di dalam sinus. Akumulasi sekret
merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri.
Penelitian baru menyebutkan bahwa rinosinusitis akut dapat terjadi
tergantung pada respon inflamasi host. Hal ini dikaitkan dengan mekanisme
pertahanan tubuh host terhadap infeksi virus yang mencetuskan kemotaksis
dan aktivasi reaksi kaskade inflamasi menjadi rinosinusitis akut dibandingkan
aktivitas dari sitotoksin virus. Akumulasi dari sel mediator inflamasi dan
edema mukosa menyebabkan sumbatan pada ostium dan meningkatkan
kerentanan terhadap superinfeksi bakteri dalam sinus. Meskipun tanpa
infeksi, sumbatan ostium sendiri dapat menyebabkan perubahan proinflamasi
dengan menghambat pertukaran gas normal dalam sinus dan mengganggu
fungsi dari mekanisme pertahanan tubuh.2,5

10
Gambar 3. Patogenesis Rinosinusitis akut12

Disfungsi dari aparatus mukosilier juga berkontribusi dalam


patogenesis rinosinusitis akut. Selama infeksi virus, baik struktur maupun
fungsi dari aparatus mukosilier mengalami gangguan. Pada beberapa
penelitian yang dilakukan pada anak-anak dengan infeksi saluran napas atas
akibat virus, mukosa hidung dibiopsi dan dilakukan pemeriksaan ultrastruktur
dari silia. Tampak gambaran dismorfik dari silia yang termasuk dalam
abnormalitas mikrotubular yang diteliti selama fase akut (7 hari) penyakit.
Progresifitas hilangnya sel silia diobservasi pada pola penyakit. Sebuah
penelitian infeksi pernapasan atas akibat virus pada dewasa menyebutkan
bahwa waktu pembersihan mukosilier secara signifikan melambat selama fase
akut dari penyakit. Hal ini menyebabkan berkurangnya fungsi pembersihan
material dan menumpuk pada rongga sinus. Kualitas dan karakter dari sekresi
sinus berperan dalam patogenesis rinosinusitis akut. Silia tidak dapat bekerja
hanya pada media cair. Lapisan mukus pada saluran pernapasan terdiri dari
dua lapisan. Lapisan dasar yang tipis, lapisan ini memiliki viskositas yang
rendah yang menyelubungi akar silia dan memungkinkan silia dapat bergerak
secara bebas. Lapisan dengan viskositas yang lebih tinggi yaitu lapisan gel
berada diatas lapisan dasar. Perubahan pada lapisan mukus yang terjadi bila
terdapat febris inflamasi seperti pada infeksi sinus dapat mengganggu
pergerakan silia. 2,10

11
2.6 Diagnosis
2.6.1. Anamnesis
Diagnosis rinosinusitis akut ditegakkan berdasarkan klinis, baik gejala
maupun tanda yang didapat pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, atau
prosedur diagnostik lain seperti pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
radiologis dan pemeriksaan mikrobiologi. Kriteria diagnosis rinosinusitis akut
berdasarkan EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps) tahun 2012, yaitu adanya onset tiba-tiba dua atau lebih gejala, dimana
gejala berupa hidung tersumbat atau sekret nasal (anterior atau postnasal
drip) disertai sensasi nyeri atau tertekan pada wajah dan perubahan
kemampuan menghidu, didukung hasil pemeriksaan seperti rinoskopi anterior
yang menunjukkan adanya pembengkakan, kemerahan dan pus. Task Force
pada tahun 1997 mengklasifikasikan rinosinusitis berdasarkan durasi gejala
dan riwayat. Riwayat rinosinusitis termasuk dua atau lebih gejala mayor, atau
satu mayor dan dua minor. Gejala mayor berupa nyeri atau rasa tekanan pada
wajah, rasa penuh pada wajah, hidung tersumbat, rinorrhae purulen atau post
nasal drip, hiposmia atau anosmia, purulen pada kavum nasi dan demam.
Gejala minor berupa sakit kepala, demam, halitosis, lelah, nyeri pada gigi,
batuk, nyeri telinga. 2,7,9
Pada anamnesis, dapat ditemukan gejala yang paling sering
dikeluhkan antara lain hidung tersumbat (obstruksi nasal), sekret nasal yang
purulen, postnasal drip, nyeri pada wajah, perubahan kemampuan menghidu,
batuk, demam, halitosis atau nafas berbau, fatigue, nyeri gigi, nyeri
tenggorokan, sensasi penuh pada telinga, otalgia dan nyeri kepala. Nyeri
merupakan salah satu dari tiga tanda kardinal yang mengarah pada kriteria
diagnosis rinosinusitis akut bakteri. Tiga tanda kardinal rinosinusitis akut
antara lain, sekret nasal yang purulen, obstruksi nasal dan nyeri, sensasi
tertekan atau sensasi penuh pada wajah. Adanya sekret nasal yang purulen,
yang ditemukan baik dari anamnesis maupun pemeriksaan bagian posterior
faring atau intranasal dekat ostium sinus, mengindikasikan adanya infeksi
bakteri pada sinus paranasal atau rinosinusitis akut bakteri. Nyeri pada wajah

12
dan gigi juga merupakan gejala yang mengarahkan diagnosis pada
rinosinusitis akut bakteri dan harus dipastikan melalui pemeriksaan kultur
serta radiografi. Adanya kondisi komorbid seperti diabetes melitus, defisiensi
imun, penyakit paru atau penyakit kongenital serta riwayat rinitis alergi
merupakan hal penting dalam membantu penegakan diagnosis rinosinusitis
akut dan perencanaan tatalaksana. Adanya riwayat trauma nasal atau wajah,
operasi pada wajah atau operasi sinonasal serta riwayat sakit gigi atau gigi
berlubang dapat mempengaruhi gejala yang dikeluhkan pada pasien
rinosinusitis akut. Riwayat sosial pasien seperti merokok dan kondisi sekitar
pasien juga merupakan hal penting untuk menegakkan diagnosis dan
tatalaksana. 7,9
Rinosinusitis akut bakteri dan virus sulit untuk dibedakan. Namun,
jika gejala kurang dari 10 hari dipertimbangkan rinosinusitis akut virus. Jika
gejala lebih dari 10 hari dipertimbangkan sebagai rinosinusitis akut bakteri.
Pada rinosinusitis akut virus, gejala pada hidung meliputi kongesti dan
discharge menonjol pada infeksi saluran nafas atas karena virus. Discharge
pada hidung memiliki pola yang dapat diprediksi yaitu cairan bening encer
dan selanjutnya akan menjadi mukoid dan kental, yang akhirnya akan
menjadi berwarna atau opak sebelum sembuh. Manifestasi klinik dari
rinosinusitis akut bakteri terdiri dari tiga pola, pertama gejala persisten,
dikarakteristikan dengan discharge pada hidung atau batuk atau keduanya
yang terjadi lebih dari sepuluh hari tanpa perbaikan. Karena gejala infeksi
saluran nafas atas karena virus akan membaik dalam waktu sepuluh hari,
sehingga hal tersebut menandakan bahwa terjadi proses infeksi bakteri.
Gejala yang menyertai dapat termasuk edema periorbita, malodorous
(Halitosis-bad breath), demam. discharge pada hidung dari tipis dan mukoid
menjadi tebal dan purulen. Manifestasi kedua dikarakteristikan dengan onset
dari keparahan gejala. Demam yang menyertai discharge pada hidung yang
purulen pada periode tiga sampai empat hari. Pasien sering tampak sakit.
Gejala memburuk dikarakteristikan pada manifestasi yang ketiga yaitu pasien
mengalami regresi awal dari gejala batuk, nasal discharge, dan kongesti

13
namun memburuk lagi dalam waktu sepuluh hari. Tanda perburukan dapat
berupa timbul demam baru, nasal discharge yang bertambah banyak,
kongesti atau batuk yang terjadi sepanjang hari. 7,9,10,12

2.6.1. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik harus dilakukan terdiri dari pemeriksaan status
generalis dan status lokalis. Pemeriksaan status generalis dimulai dari
pemeriksaan tanda-tanda vital. Auskultasi rongga dada penting dilakukan
terutama pada pasien dengan riwayat disfungsi paru yang meningkatkan
risiko terjadinya inflamasi pada saluran napas atas dan bawah. Pemeriksaan
kepala dan leher dimulai dengan pemeriksaan pada wajah. Pembengkakan,
eritema atau edema lokal yang melibatkan edema pada pipi atau periorbital
mengindikasikan adanya rinosinusitis akut bakteri dengan komplikasi
perluasan ke jaringan lunak sekitar. Palpasi dan perkusi pada wajah dan
bagian bagian gigi maksilaris dapat menentukan lokasi spesifik nyeri yang
menunjukkan adanya inflamasi lokal. Pemeriksaan mata meliputi
pemeriksaan terhadap konjungtiva, kemampuan visual, evaluasi terhadap
fungsi otot okular, inspeksi adanya proptosis dan funduskopi dapat dilakukan
pada kasus rinosinusitis akut. Pemeriksaan neurologis termasuk saraf kranial
dapat mengindikasikan adanya komplikasi rinosinusitis akut bakteri dengan
perluasan intrakranial. Pemeriksaan fisik lain berupa analisis vokal dapat
menunjukkan suara hiponasal, akibat reduksi resonansi akibat penurunan
aerasi sinus paranasal. 3,7,8,9,10
Pada status lokalis, pemeriksaan rinoskopi anterior merupakan
pemeriksaan dasar yang secara spesifik dapat menunjukkan adanya keadaan
patologis pada sinonasal. Pemeriksaan hidung dilakukan sebelum dan
sesudah pemberian dekongestan. Sebelum pemberian dekongestan seperti
oksimetazolin atau neosinefrin, bagian anterior nasal dan konka inferior dapat
diinspeksi. Setelah pemberian dekongestan nasal, maka visualisasi konka
media dan inspeksi adanya pus pada bagian meatus media, serta adanya
keadaan hiperemis, edema atau krusta. Pembesaran konka, adanya massa dan

14
deviasi septum dapat membatasi pemeriksaan ini. Visualisasi aliran postnasal
purulen di dinding faring pada pemeriksaan orofaring lebih sensitif dan
spesifik terhadap rinosinusitis akut bakteri. Adanya peningkatan suhu diatas
38oC dan nyeri gigi maksilaris merupakan gejala dan tanda signifikan yang
menunjukkan adanya infeksi bakteri sehingga mengarahkan pada diagnosis
rinosinusitis akut bakteri. Transluminasi sinus dapat dilakukan sebagai
tambahan tes diagnostik dan terbatas pada sinus frontal dan maksila, karena
sinus lain terlalu berada di bagian distal untuk dilakukan pemeriksaan. Untuk
memeriksa sinus maksila, digunakan sumber cahaya yang ditempatkan di atas
rim infraorbital, transmisi cahaya diamati melalui palatum durum. Kegunaan
dari tes ini masih diperdebatkan. 3,7,8,9,10
Setelah melakukan anamnesis mengenai gejala-gejala, maka diagnosis
dapat diarahkan secara spesifik yaitu rinosinusitis akut bakteri, rinosinusitis
akut virus atau rinosinusitis akut akibat etiologi non infeksi. Berdasarkan
petunjuk diagnosis tahun 2007 dan EPOS (European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps) tahun 2012, rinosinusitis akut virus yang
disebabkan adanya infeksi virus dapat ditegakkan bila tanda dan gejala
rinosinusitis akut dirasakan selama kurang dari dua belas hari dan gejala tidak
memberat, sedangkan rinosinusitis akut bakteri dapat ditegakkan bila terdapat
minimal tiga gejala seperti sekret nasal purulen, nyeri lokalis yang berat
dengan predominansi unilateral, demam (>38oC), peningkatan laju endap
darah atau CRP (C reactive protein) selama sepuluh hari atau lebih di luar
gejala saluran napas atas, atau bila gejala atau tanda rinosinusitis akut
memburuk dalam waktu sepuluh hari setelah onset. Pada tiga sampai empat
hari pertama, rinosinusitis akut virus sulit dibedakan dari adanya rinosinusitis
akut bakteri. Sekret purulen tidak mengindikasikan adanya bakteri pada
mukus, namun lebih menunjukkan adanya netrofil yang merupakan ciri
inflamasi akut. Rinore yang jernih merupakan indikasi adanya rinosinusitis
akut virus, rinosinusitis alergi atau rinosinusitis non alergi akibat etiologi lain.
Pada hari kesepuluh atau lebih, inflamasi dan edema pada rinosinusitis akut
virus masih dapat ditemukan, namun bila gejala makin memberat pada hari

15
kesepuluh maka diagnosis lebih mengarah pada rinosinusitis akut
bakteri.3,4,7,11

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain X-ray (foto
polos), Computed Tomography Scan (CT scan), Magnetic Resonance
Imaging (MRI) serta pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan radiologi dari
sinus biasanya dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis apabila terdapat
riwayat dan pemeriksaan fisik yang kurang jelas atau pengobatan
konvensional telah gagal. Pemeriksaan foto polos sinus akan menunjukkan
gambaran udara bebas atau kekeruhan (opasitas) baik pada pasien dengan
rinosinusitis akut virus maupun bakteri sehingga gambaran radiologi foto
polos tidak dapat membedakan infeksi akibat bakteri maupun virus.
Penebalan mukosa saja tidak dapat dianggap sebagai diagnosis rinosinusitis
akut. Terdapat tiga posisi foto polos sinus yang merupakan standar yakni
posisi Caldwell (anterior posterior) untuk menilai sinus frontal, posisi Waters
untuk menilai sinus maksila, frontal dan etmoid seta posisi lateral untuk
menilai sinus frontal, etmoid dan sfenoid. 1,2,9,10
CT scan dan MRI merupakan dua metode yang paling baik untuk
keakuratan dalam mendeteksi kelainan patologi pada sinus. Pencitraan
dengan CT atau MRI umumnya tidak direkomendasikan kecuali kalau terjadi
komplikasi. Hasil CT scan serial menunjukkan hingga satu mililiter dari
cairan kental terdorong ke dalam sinus ketika seseorang menghembuskan
napas sehingga menyebabkan bakteri pada cairan hidung dapat menginvasi
kedalam sinus. CT scan lebih baik dibandingkan MRI untuk mengevaluasi
struktur tulang. CT scan sinus juga lebih baik digunakan untuk menilai
keadaan patologi sinus, obstruksi sinus dan penyakit pada kompleks
osteomeatal. Sedangkan MRI merupakan pencitraan yang paling baik
digunakan untuk mengevaluasi struktur jaringan lunak dan dapat
membedakan antara inflamasi atau penyakit keganasan. MRI juga dapat
berguna dalam menentukan perluasan komplikasi dari sinus seperti

16
keterlibatan intrakranial atau orbita. MRI lebih sensitif untuk menilai
perubahan mukosa dan tidak baik digunakan untuk menilai keadaan anatomi
tulang dari kompleks osteomeatal. 4,8,9,10

Gambar 4. Gambaran CT Scan Kompleks Osteomeatal Normal20

Gambar 5. Gambaran CT Scan pada Rinosinusitis Maksilaris (kiri) dan rinosinusitis


Sfenoid (kanan)20,21

Kemampuan mengevaluasi anatomi dapat membantu dalam persiapan


operasi. Bagaimanapun, CT scan tidak dapat digunakan untuk membedakan
rinosinusitis akut virus atau bakteri. Pada tahun 1994, Gwaltney dkk
menemukan bahwa ketidaknormalan dari sinus paranasal pada CT scan lebih
sering pada dewasa muda dengan rinosinusitis akut virus tanpa komplikasi.
Komplikasi rinosinusitis akut seperti periorbital selulitis akan tampak pada

17
CT scan sebagai pembengkakan jaringan lunak dan bermanifestasi sebagai
nyeri mata, edema dan demam tinggi. CT scan yang menunjukkan bukti
adanya abses dan sedikit perbaikan klinis setelah 24-48 jam dengan
penggunaan antibiotik intravena merupakan indikasi untuk pembedahan
eksplorasi dan drainase. Untuk membantu interpretasi CT scan, tabel dua
menunjukkan“red flag” keadaan yang merupakan indikasi rujukan segera
dan kelainan lainnya.4,8,9,10

Tabel 2. Interpretasi Hasil CT Scan5


Red flags Abnormal Temuan lain yang tidak
berhubungan
 Penyakit unilateral  Opasitas (kekeruhan) sinus  Kista retensi
berulang atau kronik  Gambaran udara bebas  Konka bulosa dan variasi
 Perluasan ke sinus  Penebalan mukosa anatomi
 Erosi tulang  Polip  Penembalan mukosa
minimal

Pungsi sinus dan aspirasi untuk menentukan etiologi rinosinusitis akut


bakteri. Pungsi sinus dan aspirasi tidak lakukan rutin untuk rinosinusitis akut
karena tindakan ini invasif dan membutuhkan tenaga ahli untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Pada kenyataannya, hal ini digunakan pada pasien
dengan daya tahan tubuh rendah atau keterlambatan secara klinis dengan
gejala lokal dan sistemik yang parah saat didiagnosis sehingga dibutuhkan
mikrobiologi untuk diidentifikasi. Identifikasi organisme patologi baik
dilakukan dengan aspirasi sinus maksilaris. Setelah dilakukan sterilisasi pada
sisi yang akan dipungsi, biasanya dilakukan aspirasi pada sinus maksilaris
dari dinding lateral meatus inferior. Rinosinusitis akut bakteri dibedakan dari
virus dengan aspirasi sinus yang menunjukkan >104 koloni unit dari bakteri
per mililiter atau jika sel PMN di cairan sinus melebihi 5000 sel per mililiter.
Jumlah bakteri yang lebih rendah akan tampak pada stadium awal infeksi.
Perbandingan dari endoskopi secara langsung pada kultur meatus media

18
dengan aspirasi sinus maksilaris memiliki hasil yang mirip. Sebuah
metaanalisis membandingkan sensitivitas dan spesifisitas dari endoskopi
langsung pada meatus media dan aspirasi sinus maksilaris dilaporkan bahwa
endoskopi langsung meatus media memiliki sensitifitas 81% dan spesifisitas
91% dan secara keseluruhan akurat 87% dibandingkan aspirasi sinus
maksilaris.5,8,10,20

2.8 Tatalaksana
Tatalaksana rinosinusitis akut dapat berupa konservatif dan operatif.
Langkah awal tatalaksana kasus rinosinusitis akut adalah menentukan
diagnosis berdasarkan etiologi terlebih dahulu, rinosinusitis akut virus atau
rinosinusitis akut bakteri. Pemberian tatalaksana pada rinosinusitis tidak dapat
dibedakan antara virus maupun bakteri sebelum hari kesepuluh onset gejala.
Pada hari kesepuluh, pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan, namun
tetap harus memperhatikan klinis pasien karena 40-60% rinosinusitis akut
dapat membaik secara spontan. Pemberian antibiotik sebelum hari kesepuluh
onset gejala, dapat dipertimbangkan pada pasien dengan relaps gejala
(perburukan gejala) atau pasien dengan gejala berat. Tatalaksana rinosinusitis
akut virus lebih difokuskan pada kontrol gejala, karena ini merupakan suatu
keadaan yang akan membaik spontan (self limited disease). 2,10,11
Antibiotik yang direkomendasikan yaitu amoksisilin sebagai terapi
lini pertama rinosinusitis akut bakteri. Golongan penisilin dengan kombinasi
penghambat beta laktamase, atau golongan sefalosporin generasi dua atau tiga
juga merupakan lini pertama tatalaksana rinosinusitis akut bakteri. Jika pasien
tidak memberikan respon yang baik, maka dianjurkan pemberian antibiotik
golongan fluorokuinolon atau amoksiklav (amoksisilin-asam klavulanat)
dosis tinggi (4 gram/hari). Antibiotik alternatif lain pada kasus adanya
resistensi terhadap golongan penisilin antara lain antibiotik golongan
makrolida, fluorokuinolon generasi ketiga atau keempat dan golongan
sefalosporin generasi kedua atau ketiga yang memiliki tingkat resistensi lebih
rendah. Durasi pemberian antibiotik dianjurkan selama sepuluh sampai empat

19
belas hari atau hingga tujuh hari bebas gejala. Bila gejala tidak membaik
dalam 48-72 jam, maka dianjurkan untuk mengganti antibiotik dengan
antibiotik lini kedua.2,10,11,22

Tabel 3. Pemberian antibiotik dan dosis pada rinosinusitis akut (10-14 hari pengobatan)4
Antibiotik Dosis

Antibiotik Lini Pertama

- Amoksisilin 500 mg per 8 jam

- Trimetoprim/sulfametoksazol 160 mg/800 mg per 12 jam

Antibiotik alternatif bila terjadi resistensi antibiotik lini


pertama
100 mg per 12 jam
- Doksisiklin
500 mg/hari selama 3 hari
- Azitromisin
250-500 mg per 12 jam
- Cefuroksim asetil
1000 mg per hari
- Klaritromisin
250-500 mg per 12 jam
- Cefprozil
300 mg per 12 jam
- Cefdinir

- Levofloksasin (hanya bila alergi terhadap 500 mg/hari selama 10 hari atau
semua antibiotik diatas) 750mg/hari selama 5 hari

Bila pengobatan gagal – Antibiotik lini kedua

- Amoksisilin dosis tinggi 875-1000 mg per 8 jam

- Amoksisilin/asam klavulanat 875/125 mg per 12 jam

- Levofloksasin 500 mg per hari

- Moksifloksasin 400 mg per hari

Pemberian analgesik dan antipiretik akan membantu mengurangi


gejala nyeri dan demam. Irigasi nasal dengan larutan saline hipertonik
menunjukkan perbaikan terhadap gejala dan dapat mengurangi penggunaan

20
obat-obatan penghilang nyeri, terutama pada rinosinusitis akut virus dengan
membantu mekanisme klirens mukosiliar. Penggunaan dekongestan, baik
lokal maupun sistemik, dapat menurunkan resistensi jalan napas dan dapat
memperlebar ostium serta memperbaiki ventilasi nasal sehingga dapat
membantu meringankan gejala yang dikeluhkan pasien dan mempermudah
pemeriksaan terhadap keadaan mukosa nasal dan sinus paranasal. Pemberian
steroid sistemik tidak memberikan efektivitas pada rinosinusitis akut virus.
Steroid topikal nasal dapat mengurangi proses inflamasi mukosa nasal setelah
adanya paparan antigen serta dapat mengurangi reaksi alergi fase awal dan
lanjut. Steroid nasal akan mengalami absorpsi sistemik minimal dan memiliki
risiko rendah terhadap efek samping sistemik penggunaan steroid. Pemberian
antihistamin dapat dipertimbangkan bila terdapat riwayat alergi yang
dicurigai sebagai penyebab rinosinusitis akut, serta mukolitik untuk
membantu mengencerkan mukus sehingga memperbaiki klirens atau
pembersihan mukosilier. Pada rinosinusitis akut virus dapat diberikan
kombinasi antihistamin, analgesik dan dekongestan untuk mengurangi gejala
yang dikeluhkan pasien. Algoritme penatalaksanaan rinosinusitis akut
berdasarkan EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps) tahun 2012 ditunjukkan pada gambar enam.1,3,10,11,22

21
Rujuk segera:

Edema periorbita atau


eritema, diplopia,
oftalmoplegia, penurunan
tajam penglihatan, nyeri
kepala frontal berat bilateral
atau unilateral,
pembengkakan frontal, tanda
meningitis, tanda neurologis

Gambar 6. Skema tatalaksana rinosinusitis akut3

Tindakan operatif dibutuhkan bila pasien mengalami gejala yang terus


menerus dan bila terbukti adanya kelainan pada mukosa yang persisten atau
obstruksi sinus pada hasil tomografi komputer atau pemeriksaan endoskopi
serta bila terdapat komplikasi. Bedah sinus endoskopik fungsional (functional
endoscopic sinus surgery) didasarkan pada beberapa keadaan antara lain
antrostomi besar pada posisi non anatomis yang akan menyebabkan gangguan
drainase sinus akibat gangguan arah aliran mukosiliar terdapat konstriksi atau
penyempitan pada kompleks osteomeatal dan adanya paparan pada mukosa
sinus yang akan menyebabkan penyembuhan menjadi lambat dan hilangnya
fungsi silia normal. 10,11,12

22
Gambar 7. Skema tatalaksana rinosinusitis akut pada dewasa dan anak untuk spesialis THT 3

Tindakan bedah sinus endoskopik fungsional dilakukan pada keadaan


patologis dengan obstruksi ostium pada kompleks osteomeatal yang
menyebabkan adanya inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal.
Tindakan ini didesain sebagai teknik untuk mengatasi obstruksi osteomeatal
dan memperbaiki ventilasi sinus dan fungsi mukosiliar. Prinsip teknik
operatif ini adalah penggunaan alat “through cutting” yang memungkinkan
visualisasi mukosa sinonasal dengan menggunakan teleskop. Setelah
dilakukan vasokonstriksi dengan menggunakan efedrin, lakukan identifikasi
konka media, yang merupakan langkah penting pada prosedur ini. 10,11,12
Pada dinding lateral nasal setinggi ujung anterior konka media,
terdapat prosesus unsinatus kemudian lakukan pengangkatan terhadap
struktur ini sehingga dapat memvisualisasi bula etmoid dan ostiumnya yang
disebut hiatus semilunaris, yang merupakan drainase sinus frontal dan sinus

23
maksila. Lakukan pembukaan atau paparan terhadap sel etmoid anterior, yang
memungkinkan ventilasi sinus menjadi lebih baik, kemudian ostium maksila
dapat diidentifikasi dan bila ditemukan obstruksi pada ostium ini, lakukan
antrostomi. Teknik bedah sinus endoskopik fungsional ini akan memperbaiki
fungsi kompleks osteomeatal dan memperbaiki ventilasi sinus maksila,
etmoid dan frontal. Perbaikan gejala dengan tindakan bedah sinus endoskopik
fungsional (functional endoscopic sinus surgery) didapatkan pada lebih dari
90% pasien dengan rinosinusitis akut.10,11,12,20

2.9 Komplikasi

Komplikasi rinosinusitis akut jarang terjadi, diperkirakan hanya


sekitar 1:1000 kasus, terutama akibat rinosinusitis akut bakteri. Komplikasi
ini rinosinusitis akut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu
komplikasi orbital, intrakranial dan komplikasi pada tulang. Adanya edema
periorbital, eritema, gangguan motilitas ekstraokular atau penurunan tajam
penglihatan dapat mengindikasikan perluasan infeksi ke rongga orbita.
Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan kontras diperlukan untuk
memastikan apakah terdapat perluasan infeksi ke ekstra sinus dan dapat
dipertimbangkan pemberian antibiotik intravena serta tindakan operatif.
Chandler membagi infeksi orbital sinonasal menjadi lima stadium yaitu
stadium pertama yaitu edema periorbita dimana terjadi selulitis pada kelopak
mata tanpa gangguan penglihatan ataupun oftalmoplegia, stadium kedua
selulitis orbita dimana infeksi menyebar hingga ke septum orbital yang
menyebabkan keluhan berupa nyeri, proptosis dan dapat disertai
oftalmoplegia, stadium ketiga yaitu abses periosteal, stadium keempat yaitu
abses orbital dan stadium kelima yaitu trombosis sinus kavernosus akibat
tromboflebitis retrograd vena oftalmikus.2,11,12,23

24
Tabel 4. Komplikasi orbital rinosinusitis12
Edema Periorbital
Tanpa keterbatasan gerak otot ekstraokular, penglihatan normal. Infeksi meluas pada
bagian anterior septum orbita
Selulitis Orbital
Infeksi jaringan lunak pada bagian posterior septum orbita
Abses Subperiosteal
Akumulasi pus pada periosteum lamina papirasea, bola mata bergeser ke arah inferolateral
Abses Orbital
Akumulasi pus pada rongga orbita, terdapat gerakan ekstra okular terbatas, eksoftalmus
dan perubahan kemampuan penglihatan
Trombosis Sinus Kavernosus
Trombosis septik pada sinus kavernosus, demam, oftalmoplegia, ptosis, proptosis,
kebutaan, Meningitis

Nyeri kepala hebat, perubahan status mental dan demam tinggi


harus menjadi peringatan akan adanya perluasan infeksi ke intrakranial.
Meningitis, abses epidural, trombosis sinus kavernosus atau abses otak dapat
mengakibatkan gejala penyerta (sequale) yang potensial. Meningitis biasanya
terjadi akibat adanya perluasan infeksi dari sinus etmoid atau sinus sfenoid.
Pada pemeriksaan, pasien dengan komplikasi ini akan mengalami penurunan
kesadaran, tanda khas adanya meningitis seperti tanda Kernig dan
Brudzkinski dapat ditemukan. Bila dicurigai adanya meningitis sekunder
akibat infeksi sinus, maka harus dilakukan pemeriksaan tomografi komputer
dengan kontras pada otak dan sinus paranasal. 2,4,12,
Abses epidural merupakan komplikasi akibat akumulasi pus antara
tulang tengkorak dan lapisan duramater, biasanya akibat rinosinusitis
frontalis. Penyebaran infeksi yang lebih luas, baik akibat penyebaran
langsung maupun secara hematogen, dapat menyebabkan empiema subdural
hingga terkadang abses otak. Tumor pott puffy merupakan keadaan
osteomielitis pada tulang frontal dengan adanya abses subperiosteal dengan
manifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau lapisan tulang tengkorak
(scalp). Keadaan ini biasanya merupakan komplikasi rinosinusitis frontalis.
Tatalaksana komplikasi pada ini berupa tindakan operatif drainase disertai
pemberian antibiotik spectrum luas secara intravena.1,2,4,12,23

25
BAB III
SIMPULAN

Rinosinusitis akut merupakan infeksi pada mukosa hidung dan sinus


paranasal disertai adanya gejala dan tanda khas yang berlangsung hingga kurang
dari dua belas minggu. Rinosinusitis akut umum terjadi, namum yang dilaporkan
berobat ke layanan kesehatan primer sebanyak 5% dengan prevalensi lebih tinggi
pada wanita dibandingkan laki-laki dan meningkat seiring peningkatan usia.
Beberapa organisme yang paling sering pada rinosinusitis akut bakteri yakni
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus dan
Moraxella catarrhalis, sedangkan virus yang paling sering pada rinosinusitis akut
virus yakni rhinovirus, adenovirus, influenza virus dan parainfluenza virus.
Diagnosis rinosinusitis akut ditegakkan berdasarkan klinis, baik gejala maupun
tanda yang didapat pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, atau prosedur
diagnostik lain. CT scan sinus direkomendasikan ketika diduga adanya
komplikasi dari rinosinusitis akut dan MRI untuk melihat perluasan ke
intrakranial. Pengobatan rinosinusitis akut berupa pengobatan konservatif dan
operatif. Rinosinusitis akut virus diberikan pengobatan berupa analgetik,
antipiretik, irigasi hidung dan dekongestan sedangkan pengobatan lini pertama
rinosinusitis akut bakteri yaitu amoksisilin. Tatalaksana operatif dilakukan bila
terjadi komplikasi. Komplikasi rinosinusitis akut dapat diklasifikasikan menjadi
tiga kategori yaitu komplikasi orbital, intrakranial dan komplikasi pada tulang.
Komplikasi rinosinusitis akut bakteri yang mengancam jiwa membutuhkan
keterlibatan dokter ahli THT dalam perawatan pasien.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Aring A, Chan M. Acute rhinosinusitis in adults. American Academy Family


Physicians. 2011;83(9):1057-63.
2. Mustafa M et al. Acute and chronic rhinosinusitis, pathophysiology and
treatment. International Journal of Pharmaceutical Science Invention.
2015;4(2):30-6.
3. Fokken WJ et al. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps. Rhinol Suppl. 2012;23:1-19.
4. Skye EP et al. Acute rhinosinusitis in adults. Guidelines for Clinical Care
Ambulatory. 2011:1-9.
5. Ryan D. Management of acute rhinosinusitis in primary care: changing
paradigms and the emerging role of intranasal corticosteroids. Primary Care
Respiratory Journal. 2010;17(3):148-55.
6. Nohong H, Kadir A, Perkasa M. Perbandingan fungsi penghidu penderita
rinosinusitis kronikpre dan post bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF)
menurut hasil CT scan menggunakan sniffin’ sticks test. Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. 2015:1-12.
7. Hoddeson EK, Wise SK. Acute Rhinosinusitis. In: Johnson JT, Rosen CA.
Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5th Ed. Vol 1. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins. 2014:509-24.
8. Desrosiers M et al. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic
rhinosinusitis. Journal of Otolaryngology Head and Neck Surgery.
2011;40(2):99-142.
9. Hansen JG. Acute rhinosinusitis (ARS) diagnosis and treatment of adults in
general practice. Dan Med J. 2014;61(2):1-15.
10. Leung RS, Katial R. The diagnosis and management of acute and chronic
sinusitis. Prim Care Clin Office Pract. 2008;38:11-24.
11. Patel ZM, Hwang PH. Nonpolypoid Rhinosinusitis: Pathogenesis, Diagnosis,
Staging and Treatment. In: Johnson JT, Rosen CA. Bailey’s Head and Neck
Surgery Otolaryngology. 5th Ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins.2014.p.535-49.
12. Suh JD, Chiu AG. Acute and Chronic Sinusitis. In: Lalwani AK, editor.
Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery.
3rd Ed. New York: Mc Graw Hill.2012:291-301.
13. Sadler TW. Langman Embriologi Kedokteran. Ed 10. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006.p.322.
14. Suuma MV. Congenital Nasal Anomalies. In: Lalwani AK, editor. Current
Diagnosis and Treatment In Otolaryngology Head and Neck Surgery. 3 rd Ed.
New York: McGraw Hill. 2012.p.258-9.

27
15. Leung RM, Walsh WE, Kern RC. Sinonasal Anatomy and Physiology. In:
Johnson JT, Rosen CA. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5 th
Ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2014.p.359-70.
16. Snell RS. Clinical anatomy by regions. 9th Ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business, 2012.p.639-44.
17. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: balai
Penerbit FKUI, 2009.p.118-22.
18. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter II. Nose, Nasal Sinuses
and Face. In : Ear, Nose and Throat Disease With Head and Neck Surgery. 3rd
Ed. Thieme: New York. 2009.p.116-24.
19. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar.
Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.p.150-4.
20. Slack R, Bates G. Functional endoscopic sinus surgery. American Academy
of Family Physician. 1998:1-11.
21. Mian MY. Functional endoscopic sinus surgery. Furness General Hospital
Cumbria. 2008.
22. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter II. Nose, Nasal Sinuses
and Face, Acute and Chronic Rhinosinusitis. In : Ear, Nose and Throat
Disease With Head and Neck Surgery. 3rd Ed. Thieme: New York.
2009.p.155-66.
23. Giannoni CM. Complication of Rhinosinusitis. In: Johnson JT, Rosen CA.
Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5th Ed. Vol 1. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins.2014.p.573-85.
24. Elden L, Tom LW. Chapter 13. Pediatric Prespectives of Rhinosinusitis. In:
Thaler ER, Kennedy DW. Rhinosinusitis A Guide For Diagnosis And
Management. Springer: New York. 2008.p.206

28

Anda mungkin juga menyukai