Anda di halaman 1dari 18

Referat

PATOFISIOLOGI DAN PENEGAKAN DIAGNOSIS


RINOSINUSITIS KRONIK

Oleh :

Nurul Insani Surury


NIM 2008434537

Pembimbing :
dr. Loriana Ulfa, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU


PENYAKIT THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS RIAU RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI
RIAU PEKANBARU
2021
PATOFISIOLOGI DAN PENEGAKAN DIAGNOSIS RINOSINUSITIS
KRONIK

I. DEFINISI
Rinosinusitis terdiri dari dua hal patologis, yaitu sinusitis dan rinitis.
Definisi sinusitis adalah inflamasi pada sinus paranasal, sedangkan rinitis yaitu
inflamasi pada kavum nasi. European Position Paper on Rinosinusitis and Nasal
Polyps (EPOS) mendefinisikan rinosinusistis sebagai suatu inflamasi hidung dan
sinus paranasal dengan terdapatnya dua atau lebih dari gejala salah satunya berupa
keluhan sumbatan atau obstruksi, kongesti hidung atau keluhan sekret hidung
pada anterior maupun posterior, keluhan nyeri pada wajah atau rasa tertekan pada
wajah, dan penurunan atau hilangnya penciuman. Rinosinusitis dinyatakan kronis
apabila gejala muncul minimal selama 12 minggu.1

II. ANATOMI
Hidung dibentuk oleh os nasal, processus frontalis maxillaris dan pars
nasalis ossis frontalis. Kavum nasi atau rongga hidung terbentang dari nares
anterior hingga ke koana. Vestibulum nasi adalah area dalam cavum nasi yang
terletak tepat di belakang nares. cavum nasi terbagi menjadi dua bagian oleh
septum nasi yaitu kiri dan kanan. Septum nasi terbentuk dari cartilago septum
nasi, lamina verticalis osis etmoidalis dan vomer. Bagian septum anterior terdapat
anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri
labialis superior, dan arteri palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach
(Little’s area). Dasar cavum nasi dibentuk oleh processus palatinus os maxilla dan
lamina horizontalis ossis palatina. Dinding bagian lateral cavum nasi memiliki
tiga tonjolan yaitu konka nasalis superior, konka nasalis media dan konka nasalis
inferior. Ruang atau celah di bawah konka disebut meatus. Meatus nasi inferior
terletak di bawah konka nasalis inferior dan merupakan tempat muara ductus
nasolakrimalis. Meatus nasi media terletak di bawah konka nasalis media,
merupakan tempat muara sinus frontalis, Sinus maxillaris dan sinus ethmoidalis

1
anterior. Meatus nasi superior terletak di bawah konka nasalis superior,
merupakan tempat muara sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoid. Anatomi
hidung dapat dilihat pada gambar 1.2,3
Vestibulum dilapisi oleh kulit dan mempunyai rambut yang kasar. Area di
atas konka nasalis superior dilapisi membrana mukosa olfactorius dan berisi
ujung-ujung saraf sensitif reseptor penghidu. Bagian bawah cavum nasi dilapisi
oleh membrana mukosa respiratorius. Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah area
yang dibatasi oleh konka media di medial dan lamina papirasea di lateral.
Kompleks ini berperan penting dalam patofisiologi sinusitis paranasalis. Struktur
yang termasuk dalam kompleks ini adalah prosesus unsinatus, bulla etmoid,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, resesus frontal, ostium sinus maksilaris
dan sel-sel agger nasi (gambar.2).3

Gambar 1. Anatomi hidung.2

Gambar 2. Kompleks ostiomeatal.2

2
Sinus paranasal adalah rongga-rongga yang terdapat di dalam os maxilla,
os frontal, os sfenoid dan os etmoid yang berisi udara (Gambar 3). Sinus
maxillaris berbentuk piramid dan terletak di dalam corpus maxillaris di belakang
pipi. Atap dibentuk oleh dasar orbita, sedangkan dasar berhubungan dengan akar
gigi premolar dan molar. Sinus frontalis terdapat di dalam os frontal, terdiri atas
dua buah, setiap sinus berbentuk segitiga. Sinus sfenoidalis ada dua buah, terletak
di dalam corpus ossis sphenoidalis. Setiap sinus bermuara ke konka nasalis
superior. Sinus etmoidalis terletak di anterior, dan posterior, serta terdapat di
dalam os etmoid.2

Gambar 3. Sinus paranasal.2

III. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh The National Health
Interview Survey di Amerika Serikat pada tahun 2012 dari 243.921 responden
dewasa didapatkan sebanyak 12,1% didiagnosis sinusitis, 7% terjadi pada orang
Asia dan 13,8% terjadi pada orang kulit putih. Penelitian di Kanada dengan
jumlah responden 73.364 dilaporkan sebanyak 4,5% terdiagnosis rinosinusitis
kronik (RSK).4 Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2017
RSK adalah penyakit yang menyerang 11% orang dewasa di Eropa dan sekitar
12% orang dewasa di Amerika Serikat.5 Prevalensi RSK dengan polip hidung
meningkat seiring bertambahnya usia pada orang dewasa (≥18 tahun), terutama
setelah usia 40 tahun dan RSK tanpa polip hidung lebih sering terjadi pada usia
yang lebih muda dari 40 tahun.1

3
Menurut data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun
2003 menyatakan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari
50 pola penyakit utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
Data di bagian Rinologi-Alergi Rumah Sakit Hasan Sadikin pada tahun 2011
tercatat 46% kasus rinosinusitis.6 Penelitian yang dilakukan di RSUD dr.
Mohammad Hoesin Palembang pada tahun 2015, terdapat 73 kasus RSK dari 140
kasus rinosinusitis. Perbandingan laki-laki dan wanita adalah 1,4 : 1. Rinosinusitis
yang paling sering ditemukan adalah rinosinusitis maksilla sebanyak 38,4%.7

IV. PATOFISIOLOGI
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi sinus
anterior (sinus frontalis, sinus etmoid anterior dan sinus maksilaris) dan berperan
dalam transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang
cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM
merupakan faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya RSK.
Obstruksi ostium sinus KOM akan mengakibatkan akumulasi dan stagnasi cairan,
membentuk lingkungan yang lembab dan suasana hipoksia yang ideal bagi
pertumbuhan kuman patogen. Siklus patologis RSK dapat dilihat pada gambar 4. 8

Gambar 4. Siklus patologis RSK.8

4
Faktor yang berperan dalam terbentuknya RSK:1,8,9
1. Faktor struktural
Mukosa cavum nasi dan sinus paranasal memproduksi sekitar satu
liter mukus per hari, yang dibersihkan oleh transport mukosiliar. Obstruksi
ostium sinus KOM akan mengakibatkan akumulasi dan stagnasi cairan,
membentuk lingkungan yang lembab dan suasana hipoksia yang ideal bagi
pertumbuhan kuman patogen. Obstruksi KOM dapat disebabkan oleh
berbagai kelainan anatomis seperti deviasi septum, konka bulosa, sel Haier
(ethmoidal infraorbital), prosesus unsinatus horizontal, skar akibat bekas
operasi dan anomali kraniofasial.
Epitel pada hidung sebagai barrier atau penghalang fisik.
Permukaan epitel hidung dilindungi oleh produksi mucus dan mukosiliar
(yang bertanggung jawab untuk pergerakan mucus di sepanjang saluran
pernapasan). Disfungsi barrier epitel dapat menyebabkan aktivasi saraf
sensorik, yang dapat bermanifestasi gatal, nyeri atau sensasi tersumbat.
Kerusakan struktur nasoepitel pada RSK berupa akantosis dan akantolisis.
Hilangnya barrier dan akantosis dipicu oleh TGFβ, oncostatin dan
epiregulin, yang dapat dilepaskan dari sel epitel (TGFβ dan epiregulin)
atau neutrofil (oncostatin) sebagai respons terhadap cedera langsung atau
tidak langsung pada epitel.
Fase inisial yang terjadi pada RSK adalah iritasi mukosa. Fase
inisial mengakibatkan peningkatan ICAM-1 (intercellullar adhesion
molecule-1) dan sitokin lainnya. Molekul HLA-DR (human leukocyte
antigen DR) pada permukaan epitelial juga meningkat, selanjutnya
memegang peranan pada respon imun spesifik melalui sel TH-1 dan TH-2
kemudian melepaskan berbagai sitokin spesifik. GM-CSF (granulocyte-
macrophage-colony stimulating factor), IL-8 dan TNF-α (tumor necrosing
factor alpha) ikut dilepaskan yang memberikan efek kepada sel makrofag,
mastosit, eosinofil dan neutrofil. Interferon gamma yang dilepaskan sel
TH-1 juga ikut meningkatkan produksi ICAM-1 pada permukaan sel epitel

5
respiratorik. Skema proses inflamasi pada RSK dapat dilihat pada
gambar 5.

Gambar 5. Skema proses inflamasi pada RSK.8

2. Faktor genetik / fisiologik


Hipereaktivitas saluran napas (contohnya asma) merupakan faktor
yang berperan bagi RSK, banyak penelitian menemukan bahwa ada
hubungan yang kuat antara asma dengan rinosinusitis kronik. Identifikasi
gen ADAM-33 (disintegrin dan metaloprotease-33) pada pasien asma
semakin memperkuat kemungkinan adanya hubungan asma dengan RSK.
Imunodefisiensi juga berperan terhadap terjadinya RSK. Imunoglobulin
(IgG, IgA, IgM) yang rendah dan kurangnya fungsi sel limfosit T, maka
kejadian sinusitis cenderung meningkat. Defisiensi IgG menjadi penyebab
RSK yang paling sering. Pada individu dengan HIV, rinosinusitis sering
terjadi (38-68 %) dengan klinis yang lebih berat.
Keadaan autoimun yang berhubungan dengan RSK adalah sistemik
lupus eritematosus. Kelainan bawaan seperti kistik fibrosis berkaitan
dengan klirens mukosiliar sinus yang abnormal sehingga menyebabkan
timbulnya rinosinusitis kronik.

6
3. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang menyebabkan RSK adalah alergi. Alergi
akan pelepasan mediator inflamasi. Limfosit T-helper 2 (Th-2) menjadi
aktif dan melepaskan sejumlah sitokin yang berefek aktivasi sel mastosit
dan eosinofil. Pengaktifan eosinofil dirangsang oleh IL-3 dan IL-5.
Eosinofil menuju permukaan sel endotel, sel akan berikatan kuat pada
molekul kuat golongan integrin, kemudian sel migrasi di antara sel
endoelium, menembus dinding kapiler. Eosinofil melepaskan protein yang
mengakibatkan reaksi inflamasi. Inflamasi yang terjadi terutama
berhubungan dengan penebalan mukosa sinus dan obstruksi ostium sinus.
Faktor iritan dan polutan menjadi faktor penyebab rinosinusitis
kronik, seperti : asap rokok, debu, ozon, sulfur dioksida, komponen volatil
organik. Bahan polutan ini sebagai iritan nasal mengakibatkan inflamasi
lokal yang diikuti influks neutrofil. Asap rokok juga menyebabkan
kelainan siliar sekunder. Peranan virus dalam menyebabkan RSK belum
diketahui secara jelas.
4. Faktor Mikroorganisme
Virus menyebabkan perubahan morfologis dan fungsional multipel
pada sel epitel nasal, termasuk peningkatan pelepasan sel epitel,
pemendekan silia, berkurangnya frekuensi gerakan silia serta penurunan
klirens mukosiliar.
RSK yang disebabkan oleh bakteri dapat mengaktifkan mediator
inflamasi. Bakteri superantigen staphylococcal enterotoxin dapat langsung
mengaktifkan sel limfosit T melalui jalur aktivasi sel T dengan mekanisme
antigen presenting cell. Istilah superantigen digunakan untuk menjelaskan
kemampuan bakteri (S.aureus dan S.pyogenes) memproduksi partikel yang
dapat mengaktifkan sejumlah sel T. Antigen difagosit oleh APC (antigen
presenting cell), terdegradasi menjadi sejumlah fragmen peptida yang
kemudian diproses pada permukaan sel setelah berikatan dengan reseptor
MHC (major histocompatibility complex) kelas II, selanjutnya akan

7
dikenal oleh sel limfosit T dan dimulailah respon inflamasi. Superantigen
mempunyai kemampuan memintas proses diatas, langsung berikatan
dengan permukaan domain HLA-DR alpha pada MHC kelas II dan
domain V beta pada reseptor sel T. Selanjutnya terjadi stimulasi ekspresi
masif IL-2, kemudian IL-2 menstimulasi produksi sitokin lainnya seperti
TNF-α, IL-1, IL-8 dan PAF (platelet activating factor) yang memicu
terjadinya respon inflamasi.
Bentuk rinosinusitis karena jamur antara lain: sinusitis fungal
invasif baik dalam bentuk acute-fulminant maupun chronic-indolent
(biasanya terjadi pada penderita immunocompromized), fungal ball
(pembentukan massa berbentuk bola) dan rinosinusitis alergi fungal / AFS
(allergic fungal rhinosinusitis) sebagai bentuk reaksi hipersensitivitas
terhadap antigen fungal. AFS ditandai dengan pembentukan musin, reaksi
inflamasi tanpa diperantarai IgE, eosinofilia disertai peningkatan IL-5 dan
IL-13. Patofisiologi RSK dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Patofisiologi RSK.9

8
V. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis RSK dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
2.1 Anamnesis
Anamnesis berupa riwayat lengkap gejala, termasuk onset, lokasi, kualitas,
kuantitas, faktor yang memperingan atau faktor yang memperberat serta riwayat
pengobatan yang sudah dilakukan.1
Gejala klinis RSK berupa:1
1. Kongesti hidung atau hidung tersumbat.
Keluhan hidung tersumbat biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara
sampai dengan sensasi terasa penuh pada daerah hidung dan sekitarnya. Kongesti
hidung terjadi akibat edema konka yang disebabkan proses infeksi, serta sekret
kental dan juga oleh karena sebab lain seperti polip nasi dan hipertrofi konka.1
2. Sekret atau nasal discharge
Sekret dapat berupa anterior atau posterior nasal drip dan umumnya
berbentuk mukopurulen. sekret yang dikeluarkan viskositas mukusnya meningkat
namun produksinya berbanding terbalik dengan viskositas sehingga pasien lebih
banyak mengeluhkan gejala obstruksi karena viskositas sekret yang tinggi
daripada jumlah sekret yang banyak.10
3. Abnormalitas penciuman
Sekitar 60-80% pasien rinosinusitis kronik mengalami penurunan fungsi
penciuman.1 Penurunan fungsi penciuman disebabkan oleh obstruksi mukosa
fisura olfaktorius.11
4. Nyeri pada wajah atau rasa tertekan pada wajah
Perbedaan nyeri wajah pada rhinosinusitis akut dan rhinosinusitis kronis
yaitu: lebih nyata dan terlokalisir pada pasien rinosinusitis akut, keluhan lebih
difus dan fluktuatif pada pasien rhinosinusitis kronik. Nyeri wajah bisa menjalar
hingga ke kepala.11
5. Rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok.

9
6. Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan
tuba eustachius.

2.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu rinoskopi anterior, rinoskopi
posterior dan transiluminasi sinus.
1. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan rinoskopi anterior menggunakan spekulum hidung.
Rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan kavum nasi yang berkaitan dengan RSK
seperti edema konka, hiperemis, sekret (nasal drip) mukopurulen terutama di
meatus media, dan polip.11
2. Rinoskopi Posterior
Rinoskopi posterior dilakukan untuk melihat kelainan rongga hidung
bagian posterior seperti post nasal drip yang tidak terlihat dengan rinoskopi
anterior.11
3. Transiluminasi Sinus
Pemeriksaan transiluminasi sinus dilakukan di ruangan yang gelap. Untuk
pemeriksaan sinus maksilla, senter diletakkan didalam mulut pasien pada satu sisi
palatum durum, maka cahaya akan dihantarkan ke sinus maksilla dan akan tampak
seperti bentuk bulan sabit dibawah area mata. Untuk pemeriksaan sinus frontal,
senter diletakkan di area sedikit dibawah alis, maka akan tampak cahaya diatas
mata. Transiluminasi tidak dapat digunakan untuk memeriksa sinus etmoid dan
sinus sfenoid. Pada keadaan normal, terangnya cahaya pada kedua sisi normal.
Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi antara
sinus kanan dan kiri.11

2.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Endoskopi Nasal
Endoskopi nasal dapat menilai kondisi rongga hidung, sekret, ukuran
konka, edema disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan mukosa sinus.

10
Untuk RSK, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan
spesifisitas 86 %. Endoskopi nasal dapat membantu mengurangi pemanfaatan CT-
scan dalam menegakkan diagnosis RSK.12 Temuan pada endoskopi meliputi polip
nasal, sekret mukopurulen dan edema atau obstruksi mukosa.11 gambaran
endoskopi RSK dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Gambaran sekret pada meatus media.13


2. X-ray
X-ray memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang relatif rendah untuk
mengidentifikasi perubahan mukosa.11 Gambaran RSK terjadi penebalan mukosa
lebih dari 5 mm atau gambaran air fluid level dan gambaran radioopak pada sinus
(gambar 11). Pada rinosinusitis maksilaris dilakukan pemeriksaan rontgen gigi
untuk mengetahui adanya abses gigi. X-ray yang dapat dilakukan yaitu posisi
waters, Caldwell dan lateral. 14,15
a. Posisi waters (occipitomental)
Posisi ini didapat dengan menengadahkan kepala pasien sehingga dagu
menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus medial mata
dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37°dengan film. Posisi waters
untuk evaluasi sinus maksilaris. Hasil x-ray posisi waters dapat dilihat pada
gambar 8.

11
Gambar 8. Posisi waters.16

b. Posisi Caldwell (occipitofrontal)


Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja sehingga
garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus lateralis mata dengan
batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus terhadap film.
Sudut sinar rontgen adalah 15°. Posisi Caldwell untuk evaluasi sinus
frontalis dan etmoidalis. Hasil x-ray posisi caldwell dapat dilihat pada
gambar 9.

Gambar 9. Posisi Caldwell.16

c. Posisi Lateral
Film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak. Posisi
lateral untuk evaluasi sinus sfenoid. Hasil x-ray posisi lateral dapat dilihat
pada gambar 10.

12
Gambar 10. Posisi Lateral.16

Gambar 11. gambaran radioopak (kiri) dan air fluid level pada sinus
maxillaris sinistra (kanan).14
3. CT-Scan
CT-scan merupakan gold standard pilihan dalam menilai proses patologi
dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan
medikamentosa tidak memberikan respon. Pemeriksaan CT-Scan diperlukan pada
RSK yang akan dilakukan pembedahan. Hasil gambaran CT-Scan sinus paranasal
yang didapat digunakan pada skoring Lund-Mackay untuk menilai prognosis
RSK. Sistem Lund-Mackay berdasarkan penilaian skor kuantifikasi proses
peradangan pada sinus paranasal sebelum intervensi bedah dengan menilai
opasitas sinus KOM. Setiap sinus diberi skor 0-2 (0-tidak ada; 1-parsial; 2-
lengkap), untuk KOM diberi skor 0 dan 2 (0-tidak ada obstruksi; 2-ada obstruksi)

13
dan skor total yang didapat yaitu antara 0-24.1 Gambaran CT-scan pada RSK
dapat dilihat pada gambar 12.

Gambar 12. CT-scan pada RSK.1


4. Histopatologi
Gambaran histopatologi mukosa RSK menunjukkan adanya penebalan
membran sel, hiperplasia sel goblet, edema subepitelial dan infiltrasi sel
mononuklear.8
5. Transportasi mukosiliar
Transportasi mukosiliar normal sangat penting untuk pemeliharaan
rongga sinonasal. RSK dapat menyebabkan perubahan silia. Waktu pembersihan
mukosiliar dianggap normal di bawah 15 menit dan harus kurang dari satu jam.
Cara pemeriksaan yaitu pasien harus duduk dengan tenang dengan kepala ditekuk
ke depan dan tanpa batuk, bersin, minum atau makan selama pemeriksaan,
memantau waktu yang dibutuhkan untuk pewarna seperti metilen biru diangkut
dari mukosa sepertiga anterior rongga hidung menuju hipofaring. Pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah serta membutuhkan waktu yang
lama. Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan. 1
6. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
CRP (C-reactive protein) dan leukosit untuk menilai apakah terdapat infeksi pada
pasien. Namun, peningkatan CRP dan leukosit tidak khas pada RSK. 1

14
DAFTAR PUSTAKA
1. Fokkens W, Lund V, Hopkins C, Hellings P, Kern R, Reitsma S, et al.
European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2020.
Rhinology. 2020; 58(29): 115-70.
2. Snell R. Anatomi klinik berdasarkan sistem. edisi 7. Jakarta: EGC. 2010:
35-42.
3. Dhingra P, Dhingra S (Eds). Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and
Neck Surgery. 7th ed. New Delhi: Elsevier; 2018. 149–212.
https://www.amazon.com/Diseases-Ear-Nose-
ThroatDhingra/dp/8131248844
4. Deconde AS, Soler ZM. Chronic rhinosinusitis: epidemiology and
burden of disease; 2016: 134–9.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26980394/
5. Zhang Y, Gevaert E, Lou H, Wang X. Current perspectives chronic
rhinosinusitis. Asia Journal of Allergy and Clinical Immunology. 2017;
140(5): 1230–9. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33578812/
6. Candra E, Madiadipoera T, Sumarman I, Ratunanda S. Penurunan IL-8
sekret mukosa hidung pada rhinosinusitis tanpa polip non alergi oleh
antibiotik makrolid meningkatkan fungsi penghidu. Indonesian journal of
otorhinolaryngology-head and neck surgery. 2013; 43(1): 60-70.
http://journal.fk.unpad.ac.id/index.php/mkb/article/view/221
7. Amelia N, Zuleika P, Utama D. Prevalensi rinosinusitis kronik di RSUP
dr. Mohammad Hoesin Palembang. Jurnal sriwijaya. 2017; 49(2): 75-83.
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/mks/article/view/8377/4526
8. Selvianti, Kristyono I. Patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa. Journal Unair.
2013; 1(1): 52-61.
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-patofisiologi,
%20diagnosis%20dan%20penatalaksanaan%20rinosinusitis%20kronik%

15
20tanpa%20polip%20nasi%20pada%20orang%20dewasa%20jurnal%20t
ht-kl.docx
9. Bachert C, Marple B, Schlosser R, Hopkins C, Schleimer R, lambrecht B,
et al. Adult chronic rhinosinusitis. Primers. 2020; 6(86): 1-19.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33122665/
10. Samara A, Sutikno B, I’tishom R. Gambaran derajat keparahan gejala
pasien rinosinusitis kronik di RSUD dr. Soetomo Surabaya. Jurnal Ilmiah
Ilmu Kesehatan. 2020; 8(2): 235-245.
https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/care/article/view/1666
11. Manes R, Batra P. Etiologi, diagnosis, management of chronic
rhinosinustis. Expert reviews. 2013; 11(1): 25-35.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3084646/
12. Shargorodsky J, Bhattacharyya N. what is the role of nasal endoscopy in
the diagnosis of chronic rhinosinusitis. The Laryngoscope. 2013; 123(1):
4-6.
https://www.enttoday.org/article/what-is-the-role-of-nasal-endoscopy-in-
the-diagnosis-of-chronic-rhinosinusitis/
13. Pokharel M, Karki S, Shrestha BL, Shrestha I, Amatya R. Correlations
between symptoms, nasal endoscopy, computed tomography and surgical
findings in patients with chronic rhinosinusitis. Nepal journal. 2013; 11(3):
201-5. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24442166/
14. Kolethekkat A, Paul R, Kurien M, Kumar S, Abri R, Thomas K. Diagnosis
of adult chronic rhinosinusitis: Can nasal endoscopy predict intrasinus
disease?. Oman medical journal. 2013; 28(6):427-31.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24223247/
15. Heilingoetter A, Tajudeen B, Kuhar H, Gattuso P, Ghai R, Mahdavinia M,
et al. Histopathology in chronic rhinosinusitis varies with sinus culture.
American journal of rhinology & allergy. 2018; 32(2): 112-8.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29644905/

16
16. Nirmala W, editors. Pembuatan foto diagnostik (teknik dan proyeksi
radiografi). Jakarta: EGC; 2011: 37-41.
https://apps.who.int/iris/bitstream/10665/42720/3/9789790440593_ind.pdf

17

Anda mungkin juga menyukai