Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rhinitis Alergi merupakan penyakit yang umum terjadi dengan morbiditas yang besar dan
beban sosial dan ekonomi yang signifikan. Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan
gejala bersin-bersin, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.
Dewasa ini rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang mengenai 10−25%
populasi di seluruh dunia dimana prevalensinya terus meningkat. Meskipun rinitis alergi
bukan suatu penyakit yang amat serius, namun secara signifikan berdampak pada penurunan
kualitas hidup penderitanya, penurunan produktivitas kerja, prestasi di sekolah dan aktivitas
sosial, bahkan penderita dengan alergi berat dan lama dapat menyebabkan gangguan
psikologis seperti depresi.
Penggunaan kortikosteroid baik tunggal maupun kombinasi dengan histamin telah
direkomendasikan oleh ARIA-WHO dan sering digunakan dalam penatalaksanaan.
Kortikosteroid intranasal direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan
penyakit sedang sampai berat, terutama bila gejala yang utama adalah hidung tersumbat.
Namun penggunaan kortikosteroid yang tidak tepat akan menimbulkan berbagai macam efek
samping yang tidak diinginkan, sehingga pentingnya untuk mengetahui pemakaian yang tepat
dalam mengatasi gejala-gejala rhinitis alergi.
Selain itu, untuk membandingkan profil kemanjuran dan keamanan dari berbagai
kortikosteroid intranasal yang tersedia untuk pengobatan rhinitis, penting untuk memahami
struktur dan sifat farmakokinetik dan farmakodinamik mereka yang berbeda. Pengetahuan
tentang obat ini telah meningkat pesat dalam dekade terakhir. Meskipun kortikosteroid
intranasal yang ada sudah sangat efisien, pengenalan formulasi yang lebih baik dengan profil
efikasi / keamanan yang lebih baik merupakan suatu yang diharapkan.
B. Tujuan
- Mengetahui efektivitas kortikosteroid intranasal atau nasal spray dengan atau tanpa
kombinasi antihistamin
- Mengetahui efek samping penggunaan kortikosteroid nasal spray
- Mengetahui berbagai macam kortikosteroid yang sering digunakan

C. Manfaat
- Dokter dapat lebih memahami tentang efektivitas penggunaan nasal spray untuk
pengobatan Rhinitis Alergi
- Dokter dapat mengetahui berbagai keuntungan dan kerugian penggunaan berbagai
macam kortikosteroid nasal spray
- Sebagai pedoman yang nantinya dapat diaplikasikan dalam praktik kesehatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi Hidung


A. Anatomi
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior hingga koana
di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi membagi tengah
bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4
buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh palatum durum. Ke
arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral dan depan
dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan orbita : sinus
maksilaris, sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.

Gambar 1. Anatomi Cavum Nasi


A) Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Atap hidung
terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan tulang-tulang os nasale, os frontale
lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding medial rongga hidung
adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os
etmoidale, dan os vomer. Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan oleh
kulit, jaringan subkutis, dan kartilago alaris major.
B) Dinding lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat prosesus frontalis
os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta konka, dan di posterior terdapat
lamina perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoides medial. Bagian terpending pada
dinding lateral adalah empat buah konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konka inferior kemudian konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang
paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan mengalami rudimenter.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan
dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior.
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan
massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus sfenoetmoidal terletak di posterosuperior
konka superior dan di depan konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat
bermuaranya sinus sfenoid.
Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara sinus maksila,
sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang
letaknya menggantung, pada dinding lateralnya terdapat celah berbentuk bulan sabit yang
disebut sebagai infundibulum. Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan
meatus medius dengan infundibulum dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior bermuara
di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior
atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.
Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus
nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior
nostril.
C) Septum Hidung

Gambar 2. Anatomi Septum Hidung


Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh
lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum, premaksila dan
kolumela membranosa. Bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista
palatina dan krista sfenoid.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s
area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering
menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arteri.
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan
dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan
faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.

Gambar 3. Vaskularisasi Hidung


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior,
yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga
hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.
Gambar 4. Inervasi Hidung
B. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara
sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.
Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut . Menurut
WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Klasifikasi
Rinitis berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
a) Rinitis alergi
Disebabkan oleh adanya allergen yang terhirup oleh hidung.
b) Rinitis non-alergi
Disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu. Rinitis non-alergi dibagi lagi menjadi tiga,
yaitu rinitis vasomotor, rinitis medicamentosa, dan rinitis struktural.
1) Rinitis vasomotor
Merupakan tipe rinitis di mana terjadi reaksi hiperresponsivitas pada saluran pernapasan
bagian atas terhadap faktor pemicu eksternal non-spesifik, seperti perubahan suhu dan
kelembaban, asap rokok, atau aroma tajam. Simptom yang sering muncul pada tipe ini
adalah inflamasi nasal (sebagian kecil pasien), hiperreaktivitas parasimpatik dan/atau
glandular.
2) Rinitis medicamentosa
Rinitis medicamentosa adalah obstruksi nasal yang terjadi pada pasien yang
menggunakan vasokonstriktor intranasal secara kronis. Belum diketahui dengan jelas
penyebabnya, namun vasodilatasi dan edema intravaskular telah menjadi implikasi
utamanya. Penanganan rinitis medicamentosa membutuhkan penghentian penggunaan
nasal dekongestan untuk memulihkan kondisi nasal, lalu diikuti dengan terapi sesuai
dengan simptom yang timbul.
3) Rinitis stuktural
Rinitis tipe ini disebabkan oleh adanya kelainan anatomi hidung yang diakibatkan oleh
injury (kecelakaan), congenita (kelainan bawaan), maupun kelainan tumbuh-kembang.
Pasien rinitis
tipe ini dapat mengalami simptom rinitis kapan saja dalam setahu dan biasanya
keparahannya lebih tinggi pada salah satu sisi hidun dibanding sisi lainnya.

Rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:


1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya. Saat ini
digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang):
- Kurang dari 4 hari/minggu
- Atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap
- Lebih dari 4 hari/minggu
- Dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan hal berikut :
- Gangguan tidur
- Gangguan aktifitas harian
- Gangguan pekerjaan atau sekolah
- Gejala dirasa mengganggu
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi
rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan
pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.
Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis
alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan
seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau
biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.
Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai
pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik
diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
 Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
 Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang.
 Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
 Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit
B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin
(IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan
lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan
sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-
5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel
goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan
submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus
(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu
terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung
menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat
berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi
respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas
seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka
reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis
(immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun
dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.
Gejala Klinik
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan
sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap
serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis. Gejala
lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda
alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan
hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering
menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema
mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret
mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani
atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk
faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk
suara serak dan edema pita suara. Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala,
masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa
orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.
Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas
ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan
keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. Perlu ditanyakan pola
gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi
karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan,
hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta
berair maka dinyatakan positif.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan
gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati,
2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada
dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok
oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung
basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu
juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung
tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan
IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno
Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan
sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial
untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas
kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi
(“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan
setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan.
Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara
inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang
paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi
dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif).
Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak
(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat
simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau
tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat
kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil
diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa,
budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik
topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas
inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor.
b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3
25 % atau troklor asetat.
c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi
membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat,
berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.
Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-
sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia
epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia
sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan
menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya
fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang
dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.
Efektivitas Penggunaan Kortikosteroid Nasal Spray untuk Rhinitis Alergi
Glukokortikoid adalah obat yang paling poten dalampengobatan RA. Oleh karena
pemberiannya secara sistemik menimbulkan berbagai efek samping, saat ini telah
dikembangkan pemberian topikal secara intranasal. Kortikosteroid intranasal memiliki
keunggulan yang nyata dalam pengobatan RA. Obat ini lebih unggul dibandingkan dengan
antihistamin oral dan kromolin intranasal. Satu studi metaanalisis mendapatkan penggunaan
KSIN sebagai pengobatan utama pada RA lebih unggul dibandingkan antihistamin oral.
Mekanisme Kerja Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai penyakit alergi oleh karena
sifat antiinflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai oleh
pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah diketahui bahwa kortikosteroid
menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti interleukin IL-1 sampai IL-6, tumor nekrosis
factor-α (TNF-α), dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF).
Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8, regulated on activation normal T cell
expressed and secreted (RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory protein-1α (MIP-1α),
dan monocyt chemoattractant protein-1. Ekspresi enzim-enzim seperti nitric oxide synthase,
phosphilipase A2, cyclooxygenase pada sel epitel saluran nafas diubah oleh kortikosteroid.
Selain itu kortikosteroid juga mengatur ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1),
dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1).
Kortikosteroid bebas adalah molekul yang kecil dan bersifat lipofilik, mudah mengalami difusi
melalui membran sel ke dalam sitoplasma dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid.
Kompleks reseptor glukokortikoid-kortikosteroid ini bekerja dengan memodifikasi aktifitas
transkripsi yang menyebabkan penurunan ekspresi molekul pro-inflamasi dan sel-sel seperti
sel Langerhans, limfosit, sel mast, basofil, eosinofil, disertai dengan peningkatan ekspresi
molekul anti inflamasi dan reseptor β adrenergik. Kerja dari kortikosteroid pada sel efektor
terangkum dalam Tabel. Selain pada sel efektor, kortikosteroid intranasal juga berperan dalam
menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan produksi mukus.
Saat ini belum diketahui bagaimana molekul kortikosteroid dapat bekerja secara khusus pada
sel-sel inflamasi dan sel-sel epitel di hidung tanpa diserap ke dalam sirkulasi. Mekanisme kerja
beberapa molekul kortikosteroid dapat mencapai sirkulasi sistemik sedangkan yang lain sangat
sedikit mencapai sirkulasi sistemik masih belum jelas. Belum diketahui pula apakah molekul
kortikosteroid hanya melakukan penetrasi pada mukosa hidung atau membutuhkan penetrasi
ke bawah membran mukosa, mungkin ke sirkulasi dan kemudian ke sumsum tulang, untuk
bekerja pada semua sel-sel target dan mencapai efikasi yang optimal.
Rangkuman Kerja Kortikosteroid pada Sel Efektor
Sel-sel Efektor Kerja Kortikosteroid
Sel Epitel Penurunan ekspresi GM-CSF, IL-6, IL-8, dan RANTES
Limfosit Penurunan produksi IL-4, IL-5
Penurunan jumlah sel-sel CD3+, CD4+, CD8+, dan CD25+
Eosinofil Penurunan sekresi dan ekspresi IL-5 (yang menstimulasi eosinofil)
Penurunan ekspresi ICAM-1 dan VCAM-1 (yang mengurangi adhesi
eosinofil)
Penurunan produksi RANTES, macrophage chemoatactic protein-1
(MCP-1),
MCP-4, dan eotaksin (kemokin yang menahan eosinofil di jalan nafas)
Meningkatkan apoptosis eosinofil
Penurunan degranulasi eosinofil
Basofil Penurunan jumlah basofil dalam sekresi hidung
Penurunan produksi IL-4, IL-13 (yang mengurangi molekul adhesi)
Penurunan produksi chemoattractant basofil
Sel mast Penurunan jumlah sel mast intraepitel
Penurunan histamin dan triptase dalam cairan lavase
Penurunan produksi IL-4
Sel Langerhans Penurunan jumlah sel

Sitokin Th2 Menghambat transformasi sel Th0


Menghambat formasi sel Th2, isotipe yang mengubah sel B, sintesis IgE
antibodi

Jenis dan cara pemberian kortikosteroid


Kortikosteroid yang lebih dahulu dikenal seperti deksametason dan betametason memiliki efek
sistemik bila digunakan intranasal. Kortikosteroid yang lebih baru seperti beklometason
dipropionat (BDP), triamsinolon asetonid (TAA), flunisolid (FLU), budesonid (BUD),
flutikason propionat (FP) dan mometason furoat (MF), memiliki efek sistemik yang sangat
rendah. Obat-obat tersebut tersedia dalam bentuk semprot larutan zat tersebut dalam air (aqua
based) dan inhaler.
Obat Dosis per semprot/inhaler Dosis per nostril
Beklometasone (BDP)
Inhaler 42 mcg 1 semprot, 2-3x/hari
Aqua based 84 mcg 1-2 semprot/hari
Budesonid (BDU)
Inhaler 32 mcg 2 semprot, 2x/hari, 4 semprot/hari
Aqua based 32 mcg 1 semprot/hari
Flunisolid (FLU)
Aqua based 25 mcg 2 semprot, 2x/hari
Fluticasone (FP)
Aqua based 50 mcg 1-2 semprot/hari
Mometasone (MF)
Aqua based 50 mcg 1-2 semprot/hari
Triamcinolon (TAA)
Inhaler 55 mcg 1-2 semprot/hari
Aqua based 55 mcg 1-2 semprot/hari

Kortikosteroid intranasal sangat efektif dalam menghilangkan gejala RA seperti bersin, rasa
gatal, hidung berair, dan hidung tersumbat. Efek terapi mulai kelihatan pada hari kedua sampai
ketiga pengobatan dengan puncaknya pada minggu kedua sampai ketiga. Mengenai berapa
lamanya penggunaan KSIN ini tidak ada standar bakunya, sehingga penggunaannya disesuai
kan dengan kondisi rhinitis alergi yang dialami. Tetapi biasanya untuk penggunaan jangka
pendek KSIN diberikan selama 2-4 minggu, sedangkan untuk penggunaan jangka panjang
dapat diberikan selama 3-12 bulan misalnya pada rhinitis perrenial (intermiten maupun
persisten) dengan pengawasan. Oleh karena gejala RA didahului oleh proses alergi dan
hipereaktivitas, terapi KSIN sebaiknya diberikan sebelum gejala timbul. Akan tetapi jika
diberikan segera setelah timbulnya reaksi terhadap alergi, obat tersebut dapat juga mencegah
berlanjutnya inflamasi dan mencegah timbulnya gejala. Biasanya pada permulaan terapi sering
dikombinasikan dengan antihistamin. Kortikosteroid intranasal saat ini dianjurkan untuk anak
berumur di atas 6 tahun, dengan pengecualian MF dapat diberikan pada anak di atas 3 tahun,
dan FP dapat diberikan pada anak di atas 4 tahun.
Efek samping dan keamanan terapi kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid secara topikal dapat dengan mengurangi dosis yang dibutuhkan
sehingga dapat mengurangi efek samping. Meskipun penggunaan KSIN dapat mengurangi efek
samping sistemik, efek samping lokal dapat juga timbul. Efek samping lokal yang kadang
timbul adalah krusta pada hidung, rasa kering, dan epistaksis. Efek samping ini biasanya ringan
dan akan hilang dengan sendirinya. Perforasi septum dapat juga terjadi, namun hal ini sangat
jarang. Untuk mengurangi efek lokal ini dapat digunakan formulasi aqua, karena kurang
menimbulkan iritasi.
Dengan pemberian KSIN diharapkan tercapai rasio aktifitas topikal terhadap sistemik yang
tinggi, sehingga efek samping sistemik dapat dikurangi. Namun terdapat juga absorbsi ke
sirkulasi sistemik dengan jumlah yang bermakna melalui fraksi yang tertelan atau melalui
mukosa hidung. Efek sistemik KSIN yang banyak diteliti adalah penekanan pada poros
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) dan gangguan pertumbuhan. Rendahnya dosis yang
diberikan dan keterbatasan ketersediaan dalam sirkulasi sistemik menyebabkan pasien yang
mendapat KSIN memiliki risiko yang sangat rendah untuk mengalami penekanan poros HPA.
Satu studi pada orang dewasa mendapatkan penurunan pengeluaran kortisol melalui urin
selama pengobatan dengan BUD dan FP, sedangkan studi lain pada anak tidak menemukan
efek pemberian BUD dan FP pada penekanan poros HPA. Satu studi jangka pendek
mendapatkan bahwa pemberian BUD inhaler 200mcg, 2 kali sehari, secara bermakna
menurunkan pertumbuhan tungkai bawah, sedangkan studi lain dengan pemberian BUD
inhaler 200mcg, 1 kali sehari, tidak mempengaruhi pertumbuhan. Galant dan kawan-kawan
melaporkan pemberian FP intranasal pada anak penderita RA musiman selama 4 minggu tidak
menunjukkan pengaruh pada penekanan poros HPA.
Beklometason dipropionat menunjukkan pengaruh pada pengeluaran kortisol melalui urin pada
sukarelawan sehat, namun studi jangka panjang pada anak tidak menunjukkan pengaruh pada
penekanan poros HPA. Skoner dan kawan-kawan dalam satu studi pada anak penderita RA
perenial yang diberi 168mcg BDP, 2 kali sehari, selama 1 tahun, mendapatkan perlambatan
pertumbuhan dibandingkan kelompok plasebo, tetapi tidak dijumpai penekanan pada
konsentrasi kortisol basal. Pada studi tersebut terdapat perbedaan umur dan tinggi badan kedua
kelompok sebelum penelitian dilakukan. Penelitian secara ekstensif telah dilakukan untuk
meneliti efek pemberian mometason furoat dalam lebih dari 20 studi pada anak dan dewasa.
Tidak dijumpai pengaruh pemberian MF intranasal pada penekanan poros HPA pada anak-
anak dan dewasa.19 Studi yang dilakukan oleh Schenkel dan kawan-kawan men dapatkan
pemberian MF intranasal 100mcg sehari, selama 1 tahun, pada anak penderita RA perenial
dapat ditoleransi dengan baik dan tidak dijumpai retardasi pertumbuhan dan penekanan poros
HPA.
Perry dan kawan-kawan melaporkan pemberian BUD, FLU, dan BDP intranasal berkaitan
dengan timbulnya sindrom Cushing, gangguan pertumbuhan dan penekanan adrenal. Namun
dalam laporan tersebut selain mendapat KSIN untuk pengobatan RA, pasien juga mendapat
kortikosteroid inhalasi untuk pengobatan asma. Pasien anak RA sering juga menderita penyakit
atopik lain, seperti asma dan dermatitis, yang mungkin memerlukan kortikosteroid topikal pada
beberapa tempat. Untuk mengurangi timbulnya efek sistemik, dosis kortikosteroid harus
dititrasi sampai dosis yang paling rendah, yang dapat mengendalikan penyakit.
Penelitian Mengenai Efektivitas Berbagai Macam Kortikosteroid Intranasal
1. Grossman dkk, pada penelitiannya menyebutkan : Pada anak-anak 4 tahun, pemberian FP
100 mikrogram yang diberikan sekali sehari sama efektifnya dengan 200 mikrogram yang
diberikan satu kali sehari pada dewasa untuk pengobatan rinitis alergi musiman. Kedua
dosis fluticasone dapat ditoleransi dengan baik dan tidak ada dosis yang tampaknya
mengganggu sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal pada anak-anak.
2. Martin dkk, dalam penelitiannya menyebutkan : Sebuah studi dosis pada remaja dan orang
dewasa dengan rhinitis alergi musiman terhadap serbuk sari cedar gunung menunjukkan
bahwa FP dosis 110 mcg memberikan rasio manfaat-risiko optimal. Penurunan signifikan
pada pagi hari, predose, skor gejala nasal total seketika (iTNSS) menunjukkan paling tidak
durasi efikasi 24 jam.
3. Rita Talango dkk, dalam penelitiannya menyebutkan : Terapi Fluticasone tunggal maupun
dikombinasikan dengan Loratadin efektif menurunkan kadar eosinofil dan gejala klinis
serta tidak ada perbedaan efektivitas, namun terapi kombinasi masih lebih baik dibanding
terapi tunggal apabila diberikan selama 4 minggu pada rhinitis alergi.
4. Wytske dkk, dalam penelitiannya menyebutkan : Budesonide 128 μg sekali sehari pada RA
musiman, secara signifikan lebih efektif daripada plasebo dalam memperbaiki skor gejala
PNIF (Peak Nasal Inspiratory Flow) dan khasiatnya ditunjukan dalam 12 jam.
5. David dkk, dalam penelitiannya menyebutkan : pemberian triamcinolone acetonide selama
4 minggu lebih efektif dari pada astemizole dalam mengurangi gejala rhinitis alergi.
BAB III
KESIMPULAN

Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, keluar ingus (rinore)
yang encer dan banyak, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh Ig E. Penyakit ini tidak hanya mengganggu kesehatan fisik dan
psikososial, kualitas hidup, kapasitas belajar dan bekerja anak, tetapi juga berperan terhadap
timbulnya penyakit lain seperti asma, sinusitis, dan otitis media. Tata laksana rinitis alergi
meliputi pengendalian lingkungan untuk menghindari alergen, pemberian obat-obatan seperti
antihistamin, dekongestan, dan kortikosteroid, serta imunoterapi. Pemberian kortikosteroid
intranasal merupakan indikasi bagi penderita rinitis alergi intermiten sedang-berat dan rinitis
alergi persisten. Efek anti inflamasi dari obat ini diperantarai oleh pengaturan ekspresi gen
target spesifik. Kortikosteroid intranasal sangat efektif dalam menghilangkan gejala rinitis
alergi. Obat ini dapat diberikan dalam bentuk semprot aqua dan inhaler dengan dosis terukur.

Efek terapi mulai kelihatan pada hari kedua sampai ketiga pengobatan dengan puncaknya pada
minggu kedua sampai ketiga. Mengenai berapa lamanya penggunaan KSIN ini tidak ada
standar bakunya, sehingga penggunaannya disesuai kan dengan kondisi rhinitis alergi yang
dialami. Tetapi biasanya untuk penggunaan jangka pendek KSIN diberikan selama 2-4 minggu,
sedangkan untuk penggunaan jangka panjang dapat diberikan selama 3-12 bulan misalnya pada
rhinitis perrenial (intermiten maupun persisten) dengan pengawasan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Meltzer EO. Quality of life adults and children with allergic rhinitis. J Allergy Clin
Immunol 2001;108:S45-53.

2. Suyoko EMD. Penggunaan kortikosteroid topikal pada penatalaksanaan rinitis alergi.


Dalam: Akib AAP, Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Pendekatan
Imunologis Berbagai Penyakit Alergi dan Infeksi. PKB Dep IKA FKUI Jakarta: Balai
penerbit FKUI, 2001. h. 149-53.

3. Scadding GK. Corticosteroids in the treatment of pediatric allergi rhinitis. J Allergy


Clin Immunol 2001;108:S59-63.

4. Weiner JM, Abramson MJ, Puy RM. Intranasal corticosteroids versus oral H1 receptor
antagonists in allergicrhinitis: Systematic review of randomized controlled trials. BMJ
1998; 317:1624-9.

5. Atkins D, Leung DYM. Principles of treatment of allergic disease. Dalam: Behrman RE,
Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia: WB Saunders Company, 2004. h.752-8.

6. Mygind N, Nielsen LP, Hoffmann HJ, dkk. Mode of action of intranasal


corticosteroids. J Allergy Clin Immunol 2001; 108:S16-25.

7. Boguniewicz M, Leung DYM. Allergic rhinitis. Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin
MJ, Sondheimer JM. Penyunting. Current Pediatrics Diagnosis and Treatment. Edisi
ke-17. New York: McGraw-Hill Co, 2001.h. 938-50.

8. Dibildox J. Safety and efficacy of mometason furoate agueous nasal spray in children
with allergic rhinitis: result of recent clinical trials. J Allergy Clin Immunol 2001;
108:S54-8.

9. Szefler SJ. Pharmakokinetics of intranasal corticosteroids. J Allergy Clin Immunol


2001; 108:S26-31.

10. Boner AL. Effects of intranasal corticosteroids on the hypothalamic-pituitary-adrenal


axis in children. J Allergy Clin Immunol 2001; 108:S32-9.

11. Pedersen S. Assessing the effect of intranasal steroids on growth. J Allergy Clin Immunol
2001; 108:S40-4.

12. Galant SP, Ahrens RC, Dockhorn RJ, dkk. Fluticasone propionate collaborative pediatric
working group. Treatment of seasonal allergic rhinitis with once-daily intra-nasal
fluticasone propionate therapy in children. J Ped 1994; 125:628-34.
13. Skoner DP, Rachelefsky GS, Meltzer EO. Detection of growth suppression in children
during treatment with intranasal beclomethasone dipropionate. Pediatrics 2000;105.
Didapat dari : http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/105/2/e23

14. Schenkel EJ, Skoner DP, Bronsky EA. Absence of growth retardation in children with
perennial allergic rhinitis after one year of treatment with mometasone furoate
aqueous nasal spray. Didapat dari: http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/105/2/e22

15. Perry RJ, Findlay CA, Donaldson MDC. Cushing’s syndrome, growth impairment, and
occult adrenal suppression associated with intranasal steroids. Arch Dis Child 2002; 87:45-
8.

16. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono., 2012. Rhinitis Alergi. Edisi VII. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI. Hal 106-110

17. Craig LaForce MD. Use of nasal steroids in managing allergic rhinitis. J Allergy Clin
Immunol Vol. 103 : 1999 ; 388-390.
18. David et al., Comparison of triamcinolone acetonide nasal inhaler with astemizole in the
treatment of ragweed-induced allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol ; 1995 ; 748

Anda mungkin juga menyukai