Anda di halaman 1dari 41

\

BAB I
PENDAHULUAN

Rhinitis secara umum didefinisikan sebagai inflamasi dari mukosa


hidung.Rhinitis diklasifikasikan menjadi beberapa kategori berdasarkan
etiologinya: Dimediasi IgE (alergi), otonomik, infeksius dan idiopatik. Rhinitis
alergi (RA) merupakan reaksi inflamasi mukosa hidung setelah terpajan oleh
alergen.1
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama.
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan hidung tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE.Saat ini telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema atopik
rinitis alergika memperlihatkan 17-19% dari mereka juga menderita asma, namun
56 -74% pasien asmatik ternyata menderita rinitis alergika.2
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) Fase III, prevalensi rhinitis alergi di seluruh dunia berkisar 0,8 hingga
14,9 persen pada usia 6-7 tahun dan 1,4 hingga 39,7 persen pada usia 13-14
tahun.2 Rhinitis merupakan penyakit umum yang mengenai hampir 40% dari
populasi umum, dan sekitar 15-30% pada kelompok anak. Rhinitis alergi adalah
penyebab tersering dari rhinitis kronis, menyerang 10-20% dari populasi dan terus
meningkat. Rhinitis alergi berkaitan erat dengan perubahan signifikan terhadap
kualitas hidup, tidur dan pekerjaan. 1Prevalensi rinitis alergi di dunia semakin
meningkat termasuk di Indonesia. Peningkatan prevalensi 9% menjadi 12,3%
terjadi di Jakarta, sedangkan 17,3% terjadi di Semarang.3
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Tujuan tatalaksana rhinitis alergi
adalah meringankan dari gejala. Terapi pada rinitis alergi adalah menghindari
kontak dengan alergen penyebab, medikamentosa, operatif dan imunoterapi.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung


2.1.1 Anatomi Hidung Luar
Hidung berbentuk piramid yang dibentuk dari kerangka
osteokartilagenus serta dilapisi oleh otot dan kulit. Hidung dapat dibagi
pula menjadi hidung bagian luar dan dalam. Struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian, terdiri dari kubah tulang yang tak dapat
digerakkan pada bagian atas, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang
sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung
yang mudah digerakkan.1
Bagian kerangka osteokartilagenus hidung dibagi menjadi 2, yaitu:1
a. Bagian Tulang
Merupakan satu pertiga atas hidung bagian luar, sedangkan
sisanya di bagian bawah terbentuk dari tulang kartilago. Bagian
tulang ini terdiri dari dua tulang nasal yang berhubungan ditengah
dan berada pada baguan atas procesuss nasal os frontal dan diantara
processus frontalis os maxila.
b. Bagian Kartilago
Terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut
juga sebagai kartilago ala mayor dan tepi anterior kartilago septum.4
Gambar 1. Kerangka osteokartilagenus hidung1

2.1.2 Anatomi Hidung Dalam1


Hidung dalam dibagi menjadi rongga hidung kanan dan kiri oleh
septum hidung. Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah
dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.Setiap kavum
nasi berkomunikasi dengan bagian luar melalui naris atau nostril dan
dengan nasofaring melalui bukaan hidung posterior atau choana. Bagian
inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh
palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui
koana. Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus eksternus. Di
sebelah lateral belakang berbatasan dengan orbita: sinus maksilaris, sinus
etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.
Gambar 2. Anatomi Kavum Nasi.2
Hidung juga terdapat beberapa meatus, diantaranya meatus superior
adalah daerah drainase untuk sel ethmoid posterior dan sinus sphenoid.
Meatus mediasebagai drainase ethmoid anterior dan sinus maksilaris dan
frontalis. Meatus inferior menyediakan drainase dari saluran nasolacrimal.
Gambar 3. Meatus dan sinus dari potongan sagital2

2.1.3 Vaskularisasi dan Inervasi Hidung1


Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina
mayor yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.
Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang
berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan
sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor
dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media. Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 4. Inervasi Hidung.1


2.1.4. Fisiologi Hidung1
Adapun fungsi dari hidung adalah untuk respirasi,mengatur suhu
udara inspirasi, proteksi saluran napas bawah, resonansi vokal, fungsi
refleks nasal, dan penghidu.
1. Respirasi
Hidung adalah jalur alami untuk bernafas. Hidung juga
memungkinkan pernapasan dan makan berlangsung secara
bersamaan. Selama pernapasan tenang, aliran udara inspirasi
melewati bagian tengah hidung antara turbinat dan septum hidung.
Sangat sedikit udara yang melewati meatus inferior atau daerah
olfaktori/penghidu.
Gambar 5. Fisiologi aliran udara nasal (A) Inspirasi, (B) Ekspirasi.

Oleh karena itu, zat-zat berbau lemah harus dihirup sebelum


dapat mencapai daerah penciuman. Selama ekspirasi, aliran udara
mengikuti jalur yang sama seperti saat inspirasi, tetapi seluruh arus
udara tidak dikeluarkan secara langsung melalui nares.
2. Mengatur suhu udara inspirasi
Hidung disebut "AC" untuk paru-paru. Karena berfungsi untuk
menyaring dan memurnikan udara yang diinspirasi dan
menyesuaikan suhu dan kelembabannya sebelum udara masuk ke
paru-paru.
a. Filtrasi dan pemurnian.
Vibrissae nasal di pintu masuk hidung bertindak sebagai
filter untuk menyaring partikel yang lebih besar seperti kapas.
Partikel yang lebih halus seperti debu, serbuk sari, dan bakteri
menempel pada lendir yang tersebar seperti selembar kertas di
seluruh permukaan selaput lendir. Bagian depan hidung dapat
menyaring partikel hingga 3 μm, sementara lendir hidung
menjebak partikel halus hingga 0,5-3,0 μm. Partikel yang lebih
kecil dari 0,5 μm masihdapat melewati hidung ke saluran udara
yang lebih rendah tanpa kesulitan.
b. Kontrol suhu udara yang diinspirasi.
Ini diatur oleh permukaan besar mukosa hidung yang secara
struktural disesuaikan untuk melakukan fungsi ini. Selaput
lendir ini, khususnya di daerah turbinat tengah dan inferior dan
bagian septum yang berdekatan, sangat tervaskularisasi dengan
ruang vena kavernosa atau sinusoid yang mengontrol aliran
darah, dan ini dapat menambah atau mengurangi ukuran
turbinat. Ini juga membuat mekanisme "radiator" yang efisien
untuk menghangatkan udara dingin. Udara yang diinspirasikan
yang mungkin pada 20°C atau 0°C atau bahkan pada suhu di
bawah nol dipanaskan hingga mendekati suhu tubuh (37°C)
dalam seperempat detik, setara dengan waktu yang dibutuhkan
udara untuk lewat dari lubang hidung ke nasofaring . Demikian
pula, udara panas didinginkan ke tingkat suhu tubuh.
c. Humidifikasi.
Fungsi ini berjalan bersamaan dengan kontrol suhu udara
yang diinspirasi. Kelembaban relatif udara atmosfer bervariasi
tergantung pada kondisi iklim. Udara kering di musim dingin
dan tersaturasi dengan kelembaban di bulan-bulan musim panas.
Selaput lendir hidung menyesuaikan kelembaban relatif udara
inspirasi hingga 75% atau lebih. Air yang digunakan untuk
mensaturasiudara yang diinspirasi berasal dariselaput lendir
hidung yang kaya akan kelenjar sekresi mukus dan serosa.
Sekitar 1000 mL air diuapkan dari permukaan mukosa hidung
dalam 24 jam. Kelembaban sangat penting untuk integritas dan
fungsi epitel silier. Pada kelembaban relatif 50%, fungsi silia
berhenti dalam 8-10 menit. Dengan demikian, udara kering
merupakan predisposisi infeksi saluran pernapasan.
Humidifikasi juga memiliki efek signifikan pada pertukaran gas
di saluran udara yang lebih rendah.
3. Proteksi saluran napas bawah
a. Mekanisme mukosiliar.
Mukosa hidung kaya akan sel goblet, kelenjar sekretori
baik lendir dan serosa. Sekresi ini akan membentuk selembar
kontinu yang disebut selimut mukosa yang tersebar di atas
mukosa normal. Selimut mukos/mucous blanket terdiri dari
lapisan mukus superfisial dan lapisan serosa yang lebih dalam,
mengambang di atas silia yang untuk membawa partikel seperti
"sabuk konveyor" ke arah nasofaring.

Gambar 6. Mekanisme “sabuk konveyor” selimut mukus untuk menangkap


dan membawa orgaisme dan partikel debu.

Bergerak dengan kecepatan 5-10 mm/ menit dan mukus


secara keseluruhan dibersihkan ke faring setiap 10-20 menit.
Bakteri, virus, dan partikel debu yang terinspirasi terperangkap
pada selimut mukus kental dan kemudian dibawa ke nasofaring
untuk ditelan. Sekitar 600-700 mL sekresi hidung diproduksi
dalam 24 jam. Pada mamalia, silia bergerak 10-20 kali per detik
pada suhu kamar. Gerakan silia dipengaruhi oleh pengeringan,
obat-obatan (adrenalin), panas atau dingin yang berlebihan,
merokok, infeksi dan asap berbahaya seperti sulfur dioksida dan
karbon dioksida.
b. Enzim dan imunoglobulin.
Sekresi hidung juga mengandung enzim yang disebut
muramidase (lisozim) yang membunuh bakteri dan virus.
Imunoglobulin IgA dan IgE, dan interferon juga ada dalam
sekresi hidung dan memberikan kekebalan terhadap infeksi
saluran pernapasan atas.
c. Bersin
Ini adalah refleks pelindung. Partikel asing yang
mengiritasi mukosa hidung dikeluarkan dengan bersin. Aliran
sekresi hidung yang berlebihan setelah iritasi oleh zat berbahaya
membantu menghilangkannya. PH sekresi hidung hampir
konstan pada 7. Silia dan lisozim bekerja paling baik pada pH
ini. Perubahan pH hidung, karena infeksi atau tetes hidung,
secara serius merusak fungsi silia dan lisozim.
4. Resonansi vokal.
Hidung membentuk ruang beresonansi untuk konsonan tertentu
dalam berbicara. Dalam fonasi konsonan nasal (M / N / NG), suara
melewati isthmus nasofaring dan dipancarkan melalui hidung. Ketika
hidung (atau nasofaring) tersumbat, ucapan menjadi denasal, misal: M
/ N / NG diucapkan sebagai B / D / G.
5. Refleks nasal.
Beberapa refleks dimulai di mukosa hidung. Bau makanan enak
menyebabkan refleks sekresi air liur dan cairan lambung. Iritasi pada
mukosa hidung menyebabkan bersin. Fungsi hidung berkaitan erat
dengan fungsi paru melalui refleks nasobronkial dan nasopulmoner.
Telah diamati bahwa obstruksi hidung menyebabkan peningkatan
resistensi paru.
6. Penghidu
Bau dirasakan di daerah penghidu/penciuman hidung yang
terletak di atas di rongga hidung. Daerah ini mengandung jutaan sel
reseptor olfaktori. Proses perifer dari setiap sel penciuman mencapai
permukaan mukosa hingga ke ventrikel dengan beberapa silia di
atasnya. Ini bertindak sebagai reseptor sensorik untuk menerima zat
berbau. Proses sentral dari sel-sel olfaktori dikelompokkan menjadi
saraf olfaktori yang melewati cribiform plate dari ethmoid dan
berakhir di sel-sel mitral dari olfactory bulb. Akson sel mitral
membentuk saluran olfaktori dan membawa bau ke korteks
prepyriform dan inti amygdaloid. Sistem olfaktori juga terkait dengan
sistem otonom pada tingkat hipotalamus.

2.1.5 Kompleks ostiomeatal (KOM)


KOM adalah unit drainase fungsional yang terdiri atas bula etmoid
dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya, prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, ostium sinus maksila dan resesus
frontalis. Celah sempit ini (KOM) berperan sangat penting dalam
mempertahankan kondisi fisiologis sinus paranasal. Mukus atau sekret
yang berasal dari sinus frontal, etmoid anterior dan maksila akan mengalir
melalui daerah ini. Kompleks ostiomeatal merupakan area yang dikelilingi
oleh konka media di bagian medial, lamina papirasea di bagian lateral dan
lamela basalis pada bagian posterior serta atap etmoid pada bagian
superior.4
Prosesus unsinatus adalah penonjolan tulang mirip bukit pada
dinding meatus medius yang letaknya anterior dari bula etmoidalis.
Infundibulum merupakan ruang berbentuk corong antara bula etmoidalis
dan prosesus unsinatus, pada akhirnya menerima aliran sekret dari sinus
frontalis dan maksilaris. Hiatus semilunaris merupakan cekungan
berbentuk sabit dengan panjang sekitar 2 cm dan kedalaman 3-4 mm,
terletak diantara bula etmoidalis dan prosesus unsinatus. Sekret yang
berada di hiatus semilunaris berasal dari infundibulum, selanjutnya
menuju meatus medius dan kemudian ke dalam hidung.4

Gambar 7. Kompleks Ostiomeatal.1


2.2 Rhinitis Alergi
2.2.1 Definisi dan Klasifikasi
Rinitis secara luas diartikan sebagai peradangan pada mukosa
hidung.2 Rinitis alergi adalah proses inflamasi pada mukosa hidung,
biasanya dimediasi oleh IgE, ditimbulkan oleh alergen lingkungan dan
ditandai dengan adanya sel-sel inflamasi di dalam mukosa dan submukosa.
Perjalanan penyakit ini melibatkan satu atau lebih dari gejala yang
bertahan selama setidaknya satu jam sehari selama setidaknya dua hari
berturut-turut, yang dapat disembuhkan secara spontan atau dengan
pengobatan. Gejala-gejalanya termasuk keluarnya cairan dari hidung, gatal
pada hidung, bersin dan sumbatan hidung.3
Dahulu, rinitis alergi dianggap sebagai kelainan yang terlokalisasi
pada hidung dan saluran hidung, tetapi bukti saat ini menunjukkan bahwa
itu dapat mewakili komponen penyakit saluran napas sistemik yang
melibatkan seluruh saluran pernapasan.2
Klasifikasi rinitis alergi saat ini mempertimbangkan kriteria
berikut:3
1. Sifat berlangsungnya
a. Rhinitis alergi musiman (SeasonalAllergic Rhinits/SAR, hay
fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi
musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim.
Alergen penyebabnya spesifik , yaitu serbuk (pollen) dan spora
jamur. Oleh karena itu, nama yang tepat ialah pollinosis.
b. Rhinitis alergi sepanjang tahun (Perennial Allergic
Rhinitis/PAR). Gejala pada penyakit ini timbul intermitem atau
terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan
sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen
inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor)
contoh: tungau dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen
ingestan sering menjadi penyebab pada anak-anak dam
biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti
urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada
golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan
musiman, tetapi karena lebih persisten maka komplikasi lebih
sering ditemukan.
2. Durasi gejala (klasifikasi klinis),
Berdasarkan kriteria ini, bisa dilihat salah satunya dari durasi,
rinitis alergi diklasifikasikan menjadi tipe intermiten dan persisten
(Gambar 8).

Gambar 8. Rhinitis Alergi Intermiten dan Persisten3


Rinitis alergi intermiten didefinisikan dengan durasi gejala
kurang dari 4 hari per minggu atau kurang dari sebulan per tahun, dan
rhinitis alergi persisten mengacu pada adanya gejala selama ≥ 4 hari
per minggu dan ≥ 1 bulan per tahun.
3. Keparahan gejala klinis yang dilaporkan oleh pasien, termasuk
kualitas hidup terkait rinitis alergi (klasifikasi klinis),
Menurut kriteria ketiga, rinitis alergi diklasifikasikan sebagai
ringan atau sedang/berat (klasifikasi oiginal Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma/ARIA, oARIA), tergantung pada dampak penyakit
pada ukuran kualitas hidup berikut ini (Gambar 1):
a. kegiatan dan olahraga sehari-hari,
b. kehadiran di sekolah / pekerjaan,
c. tidur, dan
d. kebutuhan terapi, seperti yang dilaporkan oleh pasien.
Pada rinitis alergi ringan, tidak ada dampak pada aspek kualitas
hidup yang tercantum di atas. Pada rinitis alergi sedang/berat, ada efek
buruk pada satu atau lebih komponen di atas. Karena heterogenitas
tinggi yang diamati pada kelompok pasien dengan bentuk penyakit ini,
klasifikasi yang lebih rinci telah diusulkan, terdiri dari tiga tingkat
keparahan rinitis alergi: ringan, sedang dan berat. Berbeda dengan
oARIA, sistem yang direvisi disebut sebagai klasifikasi modifikasi
ARIA (mARIA). Bentuk ringan didefinisikan dengan cara yang sama
seperti pada oARIA. Dalam bentuk moderat, penyakit ini
memengaruhi keberadaan satu, dua atau tiga dari empat (a, b, c, d)
elemen penilaian keparahan rinitis alergi yang disebutkan di atas.
Dalam bentuk yang parah, dampak penyakit terlihat pada keempat
elemen.
4. Patofisiologi penyakit (klasifikasi patofisiologis).
Berdasarkan kriteria ini dilihat dari patofisiologi, rinitis alergi
dibagi menjadi tipe yang diperantarai IgE dan tanpa diperantarai IgE.
Yang pertama jauh lebih umum (> 90% kasus), dan yang terakhir
mungkin melibatkan antibodi IgG, limfosit T dan/atau eosinofil.
Namun, penerapannya dalam praktik sehari-hari masih dalam tahap
awal (pasien memerlukan penilaian imunologis terperinci), sama
seperti variasi potensial dalam terapi yang dihasilkan dari klasifikasi.
Beberapa pasien dipengaruhi oleh apa yang disebut rinitis campuran
di mana rinitis alergi hidup berdampingan dengan rhinitis non-alergi
(44-87% pasien dengan rinitis alergi).

2.2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi


Faktor risiko meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami
rinitis alergi. Semakin banyak risiko yang dimiliki seseorang, semakin
tinggi peluang untuk mengalami rinitis alergi. Berikut adalah beberapa
faktor risiko.4
1. Genetika
Alergi sering terjadi pada keluarga. Peluang untuk rinitis alergi
jauh lebih tinggi jika salah satu atau kedua orang tuanya memilikinya.
Seperti pada kondisi atopi (bahasa Yunani: atopia, tidak pada
tempatnya) menunjukkan suatu kecenderungan genetik bawaan atau
respons keluarga yang mengakibatkan peningkatan ekspresi antibodi
imunoglobulin E (IgE).5
2. Masalah Kesehatan
Banyak orang dengan rinitis alergi juga menderita asma,
konjungtivitis alergi, atau dermatitis atopik karena termasuk kondisi
atopi.3
3. Usia
Rinitis alergi paling sering muncul ketika masih anak-anak.
Namun tidak menutup kemungkinan untuk dialami setelah usia 20
tahun.
4. Pekerjaan
Beberapa orang memiliki masalah karena pekerjaan yang
mereka lakukan. Dapat disebabkan oleh:
a. Debu biji
b. Debu kayu
c. Bulu binatang
d. Debu tekstil
e. Bahan kimia
f. Lateks karet

2.2.3 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya.2.3 Faktor genetik
dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. 1,2Pada 20-30%
semua populasi dan pada 10-15% anak semuanya atopi. Apabila kedua
orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai
50%. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa
dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi
lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. 6 Penyebab rinitis alergi
dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif
terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi
musiman biasanya berupa ragweed (bulu-bulu rumput yang paling umum
terdapat sebagai pencetus di musim gugur), serbuk sari di rumput dan
pohon (di akhir musim semi dan musim panas) atau jamur (jamur yang
tumbuh di daun kering, umumnya terjadi di msuim panas).2,4
Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat dua spesies utama tungau, yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur yang tumbuh (di dinding,
tanaman rumah, karpet, dan kain pelapis), binatang peliharaan seperti
kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau
biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara.1 Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko
untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca. 2
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis),
kecoa, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang, rerumputan (Bermuda
grass), dan jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang, dan kacang-kacangan.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.4
2.2.4 Epidemiologi
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) Fase III, prevalensi rhinitis alergi di seluruh dunia berkisar 0,8
hingga 14,9 persen pada usia 6-7 tahun dan 1,4 hingga 39,7 persen pada
usia 13-14 tahun.2Rhinitis merupakan penyakit umum yang mengenai
hampir 40% dari populasi umum, dan sekitar 15-30% pada kelompok
anak.Rhinitis alergi adalah penyebab tersering dari rhinitis kronis,
menyerang 10-20% dari populasi dan terus meningkat. Rhinitis alergi
berkaitan erat dengan perubahan signifikan terhadap kualitas hidup, tidur
dan pekerjaan.1Prevalensi rinitis alergi di dunia semakin meningkat
termasuk di Indonesia. Peningkatan prevalensi 9% menjadi 12,3% terjadi
di Jakarta, sedangkan 17,3% terjadi di Semarang.7
Di Amerika Serikat, rinitis alergi merupakan penyakit alergi
terbanyak dan menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun
(kronis). Rinitis alergi juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan
masyarakat ke ahli kesehatan profesional setelah pemeliharaan gigi. Angka
kejadian rinitis alergi mencapai 20%.Serta, sekitar 20-40% pasien rinitis
alergi menderita asma bronkial. Sebaliknya 30-90% pasien asma bronkial
memiliki gejala rinitis alergi sebelumnya.7

2.2.5 Patofisiologi10
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi
alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam
(fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48
jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-
13.
Gambar 9. Patofisiologi Rhinitis Alergi12

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel


limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien
C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin
(IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala
akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada
RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada
fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Peralmuni, 2006).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular
bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat
juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar
keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan
terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat
dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal
Denganmasuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang
secara garis besar terdiri dari:
a. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon
sekunder.
b. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau
keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
c. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi
ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu
tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau
reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi
tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan
yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi
(Peralmuni, 2006).
2.2.6 Manifestasi Klinis14
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5
kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin.6
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat
di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan
hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung
akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat
(allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul
kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau
cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata (konjungtiva palpebra),
kongesti konjungtiva dengan produksi air mata yang berlebih. Garis
dennie-Morgan (lipatan yang menonjol di bawah kelopak mata inferior);
dan lingkaran hitam di sekitar mata ("alergi shiners"), yang berkaitan
dengan vasodilatasi atau hidung tersumbat.6 Tanda pada telinga termasuk
retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari
hambatan tuba eustachius. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler
akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid, "cobblestoning" yaitu,
goresan jaringan limfoid pada faring posterior; Hipertrofi tonsil; dan
maloklusi (Overbite). Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita
suara.6
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala,
masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post
nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah,
kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.6
2.2.7 Kriteria Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan dasar diagnosis
rhinitis alergi. Pemeriksaan alergi juga penting untuk keperluan konfirmasi
kausal rhinitis. Merujuk ke praktisi alergi perlu dipertimbangkan bila
diagnosis rhinitis alergi dipertanyakan.1
Rinitis alergi biasanya merupakan kondisi yang berlangsung lama
dan sering tidak terdeteksi pada fasilitas layanan primer. Pasien juga
sering gagal mengenali dampak kelainan padafungsi dan kualitas hidup,
oleh karena itu, tidak sering mencari perhatian medis. Selain itu, dokter
tidak secara teratur mempertanyakan pasien tentang gangguan selama
kunjungan rutin. Oleh karena itu, skrining untuk rinitis direkomendasikan,
terutama pada pasien asma karena penelitian telah menunjukkan bahwa
rinitis hadir hingga 95% dari pasien dengan asma.1
Anamnesis2
Selama anamnesis, pasien akan sering menggambarkan gejala
klasik rinitis alergi berikut: hidung tersumbat, hidung gatal, rinore dan
bersin. Konjungtivitis alergi (peradangan selaput yang menutupi bagian
putih mata) juga sering dikaitkan dengan rinitis alergi dan gejala umumnya
meliputi kemerahan, robek dan gatal pada mata.
Evaluasi terhadap lingkungan rumah dan pekerjaan/sekolah pasien
direkomendasikan untuk menentukan pemicu potensial dari rinitis alergi.
Riwayat lingkungan harus berfokus pada alergen yang umum dan
berpotensi relevan termasuk serbuk sari, hewan berbulu, tekstil/pelapis,
asap tembakau, tingkat kelembaban di rumah, serta zat berbahaya
potensial lainnya yang mungkin terpapar pada pasien di tempat kerja atau
di rumah. Penggunaan obat-obatan tertentu (misalnya, betablocker, asam
asetilsalisilat (ASA), obat antiinflamasi non-steroid (NSAID), angiotensin
converting enzyme inhibitor(ACEi), dan terapi hormon) serta penggunaan
kokain dapat menyebabkan gejala rhinitis,oleh karena itu pasien harus
ditanyai tentang pengobatan terkini dan penggunaan obat baru-baru ini.
Anamnesis juga harus mencakup pertanyaan pasien mengenai
riwayat keluarga penyakit atopik, dampak gejala pada kualitas hidup dan
adanya komorbiditas seperti asma, pernapasan mulut, mendengkur, sleep
apnea, keterlibatan sinus, otitis media (gangguan pada bagian
telingatengah), atau polip hidung. Pasien mungkin mengaitkan gejala
hidung persisten dengan "pilek konstan" dan, oleh karena itu, penting juga
untuk mencatat frekuensi dan durasi "pilek". Sebelum mencari pengobatan
medis, pasiensering mencoba menggunakan obat bebas atau obat lain
untuk mengatasi gejalanya. Menilai respons pasien terhadap perawatan
tersebut dapat memberikan informasi yang dapat membantu dalam
diagnosis dan pengelolaan rinitis alergi selanjutnya. Misalnya, perbaikan
gejala dengan antihistamin generasi kedua yang lebih baru (misal:
Desloratadine, fexofenadine, loratadine, cetirizine) sangat menunjukkan
etiologi alergi. Namun, penting untuk dicatat bahwa respons terhadap
antihistamin generasi pertama (misalnya, brompheniramine maleate,
chlorpheniramine maleate, clemastine) tidak menyiratkan etiologi alergi
karena sifat antikolinergik dan obat penenang dari sifat-sifat antikolinergik
dan obat penenang ini. Agen yang mengurangi rhinorrhea dan dapat
meningkatkan kualitas tidur terlepas dari apakah peradangan itu alergi.
Respons sebelumnya terhadap kortikosteroid intranasal mungkin juga
menunjukkan etiologi alergi, dan kemungkinan mengindikasikan bahwa
pengobatan tersebut akan terus menguntungkan di masa depan. Elemen
penting dari riwayat pasien dengan dugaan rinitis alergi dirangkum dalam
tabel berikut.
Tabel 1. Komponen untuk riwayat dan pemeriksaan fisik pasien
dengan dugaan rinitis alergi.

Pemeriksaan Fisik2
Pemeriksaan fisik pasien dengan dugaan rinitis alergi harus
mencakup penilaian tanda-tanda luar, hidung, telinga, sinus, orofaring
posterior (area tenggorokan yang berada di belakang mulut), dada dan
kulit. Tanda-tanda luar yang mungkin menunjukkan rinitis alergi meliputi:
pernapasan mulut yang persisten, menggosok hidung atau lipatan hidung
transversal yang jelas, sering membersihkan ingus atau tenggorokan, dan
shiner alergi (lingkaran hitam di bawah mata yang disebabkan oleh
kongesti nasal). Pemeriksaan hidung biasanya menunjukkan
pembengkakan mukosa hidung dan sekresi tipis pucat. Pemeriksaan
endoskopi internal hidung juga harus dipertimbangkan untuk menilai
kelainan struktural termasuk deviasi septum, ulserasi hidung, dan polip
hidung. Telinga umumnya tampak normal pada pasien dengan rinitis
alergi; Namun, penilaian untuk disfungsi tuba eustachius menggunakan
otoskop pneumatik harus dipertimbangkan. Manuver valsalva
(meningkatkan tekanan di rongga hidung dengan mencoba meniup hidung
sambil menahannya) juga dapat digunakan untuk menilai cairan di
belakang gendang telinga. Pemeriksaan sinus harus meliputi palpasi sinus
untuk bukti nyeri tekan atau penyadapan gigi rahang atas dengan penekan
lidah untuk bukti sensitivitas. Orofaring posterior juga harus diperiksa
untuk melihat tanda-tanda postnasal drip (akumulasi lendir di belakang
hidung dan tenggorokan), dan dada dan kulit harus diperiksa dengan
cermat untuk melihat tanda-tanda asma bersamaan (misalnya mengi) atau
dermatitis .

Tes diagnostik2
Meskipun riwayat dan pemeriksaan fisik menyeluruh diperlukan
untuk menetapkan diagnosis klinis rinitis, tes diagnostik lebih lanjut
diperlukan untuk memastikan alergi yang mendasari menyebabkan rinitis.
Pengujian skin-prick dianggap sebagai metode utama untuk
mengidentifikasi pemicu alergi spesifik dari rhinitis. Pengujian skin-prick
melibatkan penempatan setetes ekstrak komersial alergen spesifik pada
kulit lengan bawah atau belakang, kemudian tusuk kulit melalui tetesan
untuk memasukkan ekstrak ke epidermis. Dalam 15-20 menit, respons
wheal-and-fare (wheal blansed yang tidak teratur dikelilingi oleh area
kemerahan) akan terjadi jika tes positif. Pengujian biasanya dilakukan
dengan menggunakan alergen yang relevan dengan lingkungan pasien
(misal: serbuk sari, bulu binatang, jamur dan tungau debu rumah).
Alternatif yang masuk akal untuk pengujian tusukan kulit adalah
penggunaan tes IgE spesifik alergen (misal: dilakukan oleh uji
imunosorben — yang sebelumnya dilakukan oleh tes
radioallergosorbent /RASTs) yang memberikan pengukuran in vitro dari
kadar IgE spesifik pasien terhadap alergen tertentu. Tes in vitro ini dapat
dilakukan ketika eksim luas, atau jika pasien tidak dapat menghentikan
terapi antihistamin untuk memungkinkan pengujian. Namun, tes skin-prick
umumnya dianggap lebih sensitif dan lebih efektif daripada tes IgE serum
alergen spesifik, dan memiliki keuntungan lebih lanjut dengan
memberikan hasil segera kepada dokter dan pasien.
Berikut ini adalah algoritma dalam mengevaluasi pasien dengan
dugaan rinitis.
Gambar 10. Algoritma evaluasi pasien suspek rinitis8

2.2.8 Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana rhinitis alergi adalah meringankan dari gejala.
Pilihan terapi dapat berupa langkah-langkah menghindari penyebab
rhinitis alergi, irigasi hidung dengan cairan saline, antihistamin oral,
kortikosteroid intranasal, kombinasi kortikosteroid intranasal/semprot
antihistamin, pemberian antagonis reseptor leukotriene (LTRAs), dan
immunoterapi alergen penyebab RA. Terapi lain yang dapat juga berguna
pada beberapa pasien yaitu pemberian dekongestan dan kortikosteroid
oral.
1. Menghindari alergen12
Lini pertama tatalaksana RA meliputi menghindari (avoidance) dan
eliminasi alergen terkait (house dust mites, moulds, pets, pollens) dan
zat iritan (asap rokok). Pasien dengan alergi terhadap house dust mites
diinstruksikan untuk menggunakan pelindung alergen impermeabel
pada sprei dan untuk menjaga kelembapan rumah di bawah 50%
(menghambat pertumbuhan). Paparan serbuk sari dan jamur outdoor
dapat diturunkan dengan tetap menjaga agar jendela tertutup,
menggunakan filter layar jendela, menggunakan air conditioner, dan
membatasi keluar rumah selama musim serbuk sari. Untuk pasien
dengan alergi terhadap bulu binatang, pemindahan hewan dari rumah
disarankan. Hal ini biasanya akan memberikan penurunan gejala pada
pasien dalam waktu sekitar 4-6 bulan.
2. Antihistamin13
Antihistaminyang dipakai adalah antagonis H-1. Antagonis
reseptor histamin H1 berikatan dengan reseptor H1 tanpa
mengaktivasi reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja histamin.
Merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai
lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan, yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin
generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah
otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik.Yang termasuk kelompok ini adalah difenhidramin,
klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat
diberikan secara topikal adalah azelastin. Generasi kedua lebih bersifat
lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih besar sehingga lebih
banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma dan berkurang
kemampuannya melintasi sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat
reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik,
antiadrenergik, dan efek pada SSP minimal (non-sedatif).
Antihistamin diabsorbsi secara oral denagn cepat dan mudah serta
efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat seperti rinore,
bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi
hidung pada fase lambat.
Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan
farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja
cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata,
namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi
kongesti hidung.
Antihistamin non-sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut
keamanannya. Kelompok pertama adalah asemisol dan terfenadin
yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung
tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat
menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung, dan bahkan kematian
mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah
loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.
3. Preparat Simpatomimetik Golongan Agonis Adrenergik Alfa10
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa
hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang
membengkak, dan memperbaiki pernapasan.
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin,
merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala
kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit
jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain
hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit
kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi
glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan
dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek
samping juga bertambah
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin,
oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat
ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral.
Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah
terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti
sediaanoral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal
tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun
karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada
dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf
pusat.
4. Kortikosteroid 10
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terumata sumbatan hidung
akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.
Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan
triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi
jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,
mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
hiperrespinsif terhadap rangsangan alergen bekerja pada fase respon
cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat bekerja menstabilkan
mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan
mediator dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga
menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifitas sel
neutrofil, eosinofil, dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila
diberikan sebagai profilaksis.
5. Preparat antikolinergik topikal11
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik permukaan sel efektor.
6. Sodium kromolin14
Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel
mast dan pelepasan mediator termasuk histamin dengan cara
memblokade pengangkutan kalsium yang dirangsang antigen
melewati membran sel mast.
7. Antagonis reseptor leukotriene (LTRAs)
LTRA (montelukast dan zafirlukast) dapat juga secara efektif
digunakan dalam tatalaksana RA walaupun tidak lebih efektif
daripada pemberian kortikosteroid intranasal.1 Salah satu studi jangka
pendek yang dilakukan oleh Wilson et al. menunjukkan bahwa
kombinasi LTRA dan antihistamin sama efektifnya dengan pemberian
kortikosteroid intranasal.15Montelukast hanya diperbolehkan
pemberiannya pada dewasa. LTRA dapat dipertimbangkan untuk
digunakan jika pasien tidak dapat mentolerir pemberian antihistamin
oral, kortikosteroid intranasal dan atau kombinasi kortikosteroid
intranasal/spray antihistamin dalam mengontrol gejala rhinitis alergi.
Bila pemberian LTRA, antihistamin oral, kortikosteroid intranasal dan
atau kombinasi kortikosteroid intranasal/spray antihistamin tidak
dapat mengontrol gejala rhinitis alergi, maka imunoterapi alergen
dapat diberikan.

8. Immunoterapi alergen16
Imunoterapi alergen meliputi administrasi subkutan kuantitas
alergen relevan hingga didapat dosis yang efektif dalam menimbulkan
toleransi imunologis terhadap alergen. Imunoterapi alergen dapat
menjadi tatalaksana yang efektif pada rhinitis alergi, khususnya pada
pasien dengan rhinitis seasonal (intermiten) disebabkan oleh serbuk
sari. Imunoterapi ini juga sama efektifnya dalam tatalaksana rhinitis
alergi yang disebabkan oleh house dust mites, kecoa, bulu hewan
seperti kucing ataupun anjing. Imunoterapi sublingual adalah cara
untuk desentisisasi pasien dengan melibatkan penempatan tablet berisi
ekstrak alergen di bawah lidah hingga terlarut sempurna. Biasanya
juga pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama , serta dengan pengobatan cara lain
tidak memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG
blocking antibody dan penurunan IgE. Dapat dilakukan intradermal
dan sub-lingual.
Efek samping tersering adalah reaksi lokal seperti pruritus oral,
iritasi tenggorokan, dan pruritus pada telinga. Gejala ini akan
menghilang setelah 1 minggu pasca terapi.
9. Opsi terapeutik lain16
Dekongestan oral dan intranasal ( pseudoephedrine, phenylephrine)
bermanfaat untuk meredakan kongesti nasal pada pasien RA.
Meskipun, efek samping terkait dekongestan oral (agitasi, insomnia,
sakit kepala, palpitasi) menghambat penggunaan jangka panjang.
Golongan ini merupakan kontraindikasi pada pasien dengan hipertensi
tidak terkontrol dan gangguan koroner berat. Penggunaan dekongestan
intranasal berkepanjangan meningkatkan risiko terjadinya rhinitis
medikamentosa (rebound kongesti nasal), oleh karena itu, tidak
dianjurkan untuk digunakan lebih dari 3-5 hari. Pemberian
kortikosteroid oral menunjukkan keefektifan pengobatan pada pasien
dengan rhinitis alergi berat yang refrakter terhadap pemberian
antihistamin oral dan kortikosteroid intranasal. Terapi bedah dapat
membantu pada pasien dengan rhinitis, poliposis, atau penyakit sinus
kronis. Sodium kromoglikat intranasal dapat digunakan sebagai terapi
lini pertama untuk RA pada kehamilan mengingat tidak adanya efek
teratogenik. Antihistamin juga dipertimbangkan untuk pasien RA
sedang hamil. Imunoterapi alergen tidak direkomendasikan pada
kehamilan akibat risiko anafilaksis yang mungkin terjadi dan
berdampak pada fetus.
10. Operasi10
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplastyperlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak
berhasildikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 %
atau troklor asetat.
Gambar 11. Algoritma Tatalaksana Rhinitis Alergi
2.2.9 Diagnosis Banding
Rinitis secara umum dapatdibedakan menjadi alergi dan non alergi.
Berikut ini perbedaan rinitis alergi dan non alergi.
Tabel 2. Perbedaan rinitis alergi dan non alergi.8

Selain itu ada beberapa kondisi atau penyakit yang secara klinis
atau tanda dan gejalanya menyerupai rinitis. Berikut ini adalah beberapa
diagnosi banding dari rinitis.8
Tabel 3. Diagnosis banding rinitis alergi.8
2.2.10 Komplikasi9
Komplikasi rhinitis alergitermasukberikutini:
 Sinusitis akut atau kronis
Sinus secara alami menghasilkan lendir, yang biasanya didrainase ke
hidungmelalui saluran kecil. Tetapi jika saluran drainase tersebut
meradang atau tersumbat (bisa disebabkan oleh rhinitis), lendir tidak
dapat mengalir keluar dan dapat terinfeksi.9
 Otitis media
Infeksi ini dapat terjadi jika rinitis menyebabkan masalah dengan tuba
eustachius, yang menghubungkan bagian belakang hidung dan telinga
tengah, di bagian belakang hidung. Jika tabung ini tidak berfungsi
dengan baik, cairan dapat menumpuk di telinga tengah di belakang
gendang telinga dan menjadi terinfeksi. Ada juga kemungkinan
infeksi di bagian belakang hidung menyebar ke telinga melalui tuba
eustachius.9
 Polip Nasal
 Gangguan tidur atau apnea
 Masalah gigi (overbite): disebabkan oleh pernapasan yang berlebihan
melalui mulut
 Kelainan palatal
 Disfungsi tabung eustachius

2.2.11 Prognosis18
Secara umum, pasien dengan rhinitis alergi tanpa komplikasi yang
respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang
diketahui alergi terhadap sebuk sari, maka kemungkinan rhinitis pasien ini
dapat terjadi musiman. Prognosis sulit diprediksi pada anak-anak dengan
penyakit sinusitis dan telinga yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat
dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun
anomaly anatomi. Perjalanan penyakit rhinitis alergi dapat bertambah berat
pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga decade lima dan enam.
Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena
menurunnya sistem kekebalan tubuh.
BAB III
KESIMPULAN

Rinitis alergi merupakan suatu reaksi inflamasi mukosa hidung


diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE), setelah terjadi paparan alergen (reaksi
hipersensitivitas tipe I Gell dan Comb). Rhinitis alergi dan atopi secara umum
disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetic memiliki potensi alergi
dengan lingkungan. Peran lingkungan pada kejadian rhinitis alergi adalah sangat
penting, ditinjau dari faktor allergen yang mensensitisasi terjadinya penyakit ini.
Rinitis alergi seperti penyakit alergi yang lain terjadi akibat dominasi Th-2
dibandingkan Th-1 sehingga produksi IgE meningkat. IgE berperan penting dalam
proses inflamasi yang diinduksi alergen dengan berikatan dengan reseptor afinitas
tinggi (FcåRI ) di sel mast atau basofil sehingga terjadi pelepasan mediator-
mediator inflamasi. Diferensiasi sel B ke dalam IgE yang disekresi ke dalam
plasma paling tidak melalui 2 signal yang berbeda, pertama diperantarai IL-4 dan
IL-13 dan yang kedua dikirim melalui interaksi CD40L pada permukaan sel T
dengan CD40 sebuah kostimulator pada mermukaan membran sel B. Meskipun
penelitian terbaru memperlihatkan bahwa antigen yang menaktivasi sel mast juga
bisa diinduksi sintesis IgE pada sel B.
Tujuan utama tatalaksana rhinitis alergi adalah meringankan dari gejala.
Pilihan terapi dapat berupa langkah-langkah menghindari penyebab rhinitis alergi,
irigasi hidung dengan cairan saline, antihistamin oral, kortikosteroid intranasal,
kombinasi kortikosteroid intranasal/semprot antihistamin, pemberian antagonis
reseptor leukotriene (LTRAs), dan immunoterapi alergen penyebab RA. Terapi
lain yang dapat juga berguna pada beberapa pasien yaitu pemberian dekongestan
dan kortikosteroid oral.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dhingra PL, Dhingra S. Textbook of diseases of Ear, Nose and Throat and
Head and Neck surgery. Elsevier publisher; 2014;134-136

2. Small P, Keith PK, Kim H. Allergic rhinitis. Allergy, Asthma Clin Immunol.
2018;14(2):1–11.

3. Emeryk, Andrzej. New guidelines for the treatment of seasonal allergic


rhinitis. Adv Dermatol Allergol 2019; XXXVI (3): 255–260.

4. Chiwstek, Marcin. Risk Factor of Allergic Rhinitis. Beth Israel Lahey Health:
Winchester Hospital; 2019.

5. Martin et al. Allergic rhinitis: To sneeze or to wheeze. Pollen is the question,


what is the answer?. S Afr Pharm J; 2018;85(5):37-42.

6. Levine HL, Clemente MP. Sinus surgery: endoscopic and microscopic


approaches. Thieme New York; 2005;16-19.

7. Netter FH. Atlas of human anatomy, Professional Edition E-Book. Elsevier


Health Sciences; 2014; 35-39.

8. Quillen, David dan David Feller. Diagnosing Rhinitis: Allergic vs.


Nonallergic. American Family Physician; 2006; 73(9): 1584-1590

9. Sheikh, Javed. What are the complications of allergic rhinitis (hay fever)?.
MedScape; 2018.

10. Soetjipto D, Wardani RS. Hidung, dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga.
Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher, ed. 2007;6:118–122.

11. Hwang PH, Abdalkhani A. Anatomy and Physiology of the Nose and
Paranasal Sinuses. In James B, Snow JR, Wackym PA, eds. Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 17th ed. Vol 1. Connecticut:
BC Decker Inc, 2009:484-494

12. Mangunkusumo Endang, Soetjipto Damajanti. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta:
FKUI,2019:195-200.

13. Seidman MD, Gurgel RK, Lin SY, Schwartz SR, Baroody FM, Bonner JR, et
al. Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis. Otolaryngol Neck Surg.
2015;152(1):1–43.
14. Utama DS. Hubungan Antara Jenis Aeroalergen dengan Manifestasi Klinis
Rinitis Alergika [Tesis], Bagian THT RSUP dr. Kariadi, Semarang. 2010;19–
28

15. Bernstein, D. I., Schwartz, G., & Bernstein, J. A.. Allergic Rhinitis.


Immunology and Allergy Clinics of North America. 2016;36(2):261–278

16. Kakli, H. A., & Riley, T. D. Allergic Rhinitis. Primary Care: Clinics in Office
Practice.2016;43(3).465–475.

17. Wilson AM, Orr LC, Sims EJ, Lipworth BJ. Effects of monotherapy with
intra-nasal corticosteroid or combined oral histamine and leukotriene receptor
antagonists in seasonal allergic rhinitis. Clin Exp Allergy. 2001;31(1):61–80.

18. Javed, S., Allergic Rhinitis [Internet]. Medscape. 2020. Diakses pada tanggal
10 Maret 2020. https://emedicine.medscape.com/article/134825-overview.

Anda mungkin juga menyukai