BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2.3 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya.2.3 Faktor genetik
dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. 1,2Pada 20-30%
semua populasi dan pada 10-15% anak semuanya atopi. Apabila kedua
orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai
50%. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa
dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi
lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. 6 Penyebab rinitis alergi
dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif
terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi
musiman biasanya berupa ragweed (bulu-bulu rumput yang paling umum
terdapat sebagai pencetus di musim gugur), serbuk sari di rumput dan
pohon (di akhir musim semi dan musim panas) atau jamur (jamur yang
tumbuh di daun kering, umumnya terjadi di msuim panas).2,4
Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat dua spesies utama tungau, yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur yang tumbuh (di dinding,
tanaman rumah, karpet, dan kain pelapis), binatang peliharaan seperti
kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau
biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara.1 Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko
untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca. 2
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis),
kecoa, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang, rerumputan (Bermuda
grass), dan jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang, dan kacang-kacangan.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.4
2.2.4 Epidemiologi
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) Fase III, prevalensi rhinitis alergi di seluruh dunia berkisar 0,8
hingga 14,9 persen pada usia 6-7 tahun dan 1,4 hingga 39,7 persen pada
usia 13-14 tahun.2Rhinitis merupakan penyakit umum yang mengenai
hampir 40% dari populasi umum, dan sekitar 15-30% pada kelompok
anak.Rhinitis alergi adalah penyebab tersering dari rhinitis kronis,
menyerang 10-20% dari populasi dan terus meningkat. Rhinitis alergi
berkaitan erat dengan perubahan signifikan terhadap kualitas hidup, tidur
dan pekerjaan.1Prevalensi rinitis alergi di dunia semakin meningkat
termasuk di Indonesia. Peningkatan prevalensi 9% menjadi 12,3% terjadi
di Jakarta, sedangkan 17,3% terjadi di Semarang.7
Di Amerika Serikat, rinitis alergi merupakan penyakit alergi
terbanyak dan menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun
(kronis). Rinitis alergi juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan
masyarakat ke ahli kesehatan profesional setelah pemeliharaan gigi. Angka
kejadian rinitis alergi mencapai 20%.Serta, sekitar 20-40% pasien rinitis
alergi menderita asma bronkial. Sebaliknya 30-90% pasien asma bronkial
memiliki gejala rinitis alergi sebelumnya.7
2.2.5 Patofisiologi10
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi
alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam
(fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48
jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-
13.
Gambar 9. Patofisiologi Rhinitis Alergi12
Pemeriksaan Fisik2
Pemeriksaan fisik pasien dengan dugaan rinitis alergi harus
mencakup penilaian tanda-tanda luar, hidung, telinga, sinus, orofaring
posterior (area tenggorokan yang berada di belakang mulut), dada dan
kulit. Tanda-tanda luar yang mungkin menunjukkan rinitis alergi meliputi:
pernapasan mulut yang persisten, menggosok hidung atau lipatan hidung
transversal yang jelas, sering membersihkan ingus atau tenggorokan, dan
shiner alergi (lingkaran hitam di bawah mata yang disebabkan oleh
kongesti nasal). Pemeriksaan hidung biasanya menunjukkan
pembengkakan mukosa hidung dan sekresi tipis pucat. Pemeriksaan
endoskopi internal hidung juga harus dipertimbangkan untuk menilai
kelainan struktural termasuk deviasi septum, ulserasi hidung, dan polip
hidung. Telinga umumnya tampak normal pada pasien dengan rinitis
alergi; Namun, penilaian untuk disfungsi tuba eustachius menggunakan
otoskop pneumatik harus dipertimbangkan. Manuver valsalva
(meningkatkan tekanan di rongga hidung dengan mencoba meniup hidung
sambil menahannya) juga dapat digunakan untuk menilai cairan di
belakang gendang telinga. Pemeriksaan sinus harus meliputi palpasi sinus
untuk bukti nyeri tekan atau penyadapan gigi rahang atas dengan penekan
lidah untuk bukti sensitivitas. Orofaring posterior juga harus diperiksa
untuk melihat tanda-tanda postnasal drip (akumulasi lendir di belakang
hidung dan tenggorokan), dan dada dan kulit harus diperiksa dengan
cermat untuk melihat tanda-tanda asma bersamaan (misalnya mengi) atau
dermatitis .
Tes diagnostik2
Meskipun riwayat dan pemeriksaan fisik menyeluruh diperlukan
untuk menetapkan diagnosis klinis rinitis, tes diagnostik lebih lanjut
diperlukan untuk memastikan alergi yang mendasari menyebabkan rinitis.
Pengujian skin-prick dianggap sebagai metode utama untuk
mengidentifikasi pemicu alergi spesifik dari rhinitis. Pengujian skin-prick
melibatkan penempatan setetes ekstrak komersial alergen spesifik pada
kulit lengan bawah atau belakang, kemudian tusuk kulit melalui tetesan
untuk memasukkan ekstrak ke epidermis. Dalam 15-20 menit, respons
wheal-and-fare (wheal blansed yang tidak teratur dikelilingi oleh area
kemerahan) akan terjadi jika tes positif. Pengujian biasanya dilakukan
dengan menggunakan alergen yang relevan dengan lingkungan pasien
(misal: serbuk sari, bulu binatang, jamur dan tungau debu rumah).
Alternatif yang masuk akal untuk pengujian tusukan kulit adalah
penggunaan tes IgE spesifik alergen (misal: dilakukan oleh uji
imunosorben — yang sebelumnya dilakukan oleh tes
radioallergosorbent /RASTs) yang memberikan pengukuran in vitro dari
kadar IgE spesifik pasien terhadap alergen tertentu. Tes in vitro ini dapat
dilakukan ketika eksim luas, atau jika pasien tidak dapat menghentikan
terapi antihistamin untuk memungkinkan pengujian. Namun, tes skin-prick
umumnya dianggap lebih sensitif dan lebih efektif daripada tes IgE serum
alergen spesifik, dan memiliki keuntungan lebih lanjut dengan
memberikan hasil segera kepada dokter dan pasien.
Berikut ini adalah algoritma dalam mengevaluasi pasien dengan
dugaan rinitis.
Gambar 10. Algoritma evaluasi pasien suspek rinitis8
2.2.8 Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana rhinitis alergi adalah meringankan dari gejala.
Pilihan terapi dapat berupa langkah-langkah menghindari penyebab
rhinitis alergi, irigasi hidung dengan cairan saline, antihistamin oral,
kortikosteroid intranasal, kombinasi kortikosteroid intranasal/semprot
antihistamin, pemberian antagonis reseptor leukotriene (LTRAs), dan
immunoterapi alergen penyebab RA. Terapi lain yang dapat juga berguna
pada beberapa pasien yaitu pemberian dekongestan dan kortikosteroid
oral.
1. Menghindari alergen12
Lini pertama tatalaksana RA meliputi menghindari (avoidance) dan
eliminasi alergen terkait (house dust mites, moulds, pets, pollens) dan
zat iritan (asap rokok). Pasien dengan alergi terhadap house dust mites
diinstruksikan untuk menggunakan pelindung alergen impermeabel
pada sprei dan untuk menjaga kelembapan rumah di bawah 50%
(menghambat pertumbuhan). Paparan serbuk sari dan jamur outdoor
dapat diturunkan dengan tetap menjaga agar jendela tertutup,
menggunakan filter layar jendela, menggunakan air conditioner, dan
membatasi keluar rumah selama musim serbuk sari. Untuk pasien
dengan alergi terhadap bulu binatang, pemindahan hewan dari rumah
disarankan. Hal ini biasanya akan memberikan penurunan gejala pada
pasien dalam waktu sekitar 4-6 bulan.
2. Antihistamin13
Antihistaminyang dipakai adalah antagonis H-1. Antagonis
reseptor histamin H1 berikatan dengan reseptor H1 tanpa
mengaktivasi reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja histamin.
Merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai
lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan, yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin
generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah
otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik.Yang termasuk kelompok ini adalah difenhidramin,
klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat
diberikan secara topikal adalah azelastin. Generasi kedua lebih bersifat
lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih besar sehingga lebih
banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma dan berkurang
kemampuannya melintasi sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat
reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik,
antiadrenergik, dan efek pada SSP minimal (non-sedatif).
Antihistamin diabsorbsi secara oral denagn cepat dan mudah serta
efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat seperti rinore,
bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi
hidung pada fase lambat.
Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan
farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja
cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata,
namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi
kongesti hidung.
Antihistamin non-sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut
keamanannya. Kelompok pertama adalah asemisol dan terfenadin
yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung
tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat
menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung, dan bahkan kematian
mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah
loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.
3. Preparat Simpatomimetik Golongan Agonis Adrenergik Alfa10
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa
hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang
membengkak, dan memperbaiki pernapasan.
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin,
merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala
kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit
jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain
hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit
kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi
glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan
dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek
samping juga bertambah
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin,
oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat
ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral.
Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah
terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti
sediaanoral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal
tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun
karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada
dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf
pusat.
4. Kortikosteroid 10
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terumata sumbatan hidung
akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.
Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan
triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi
jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,
mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
hiperrespinsif terhadap rangsangan alergen bekerja pada fase respon
cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat bekerja menstabilkan
mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan
mediator dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga
menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifitas sel
neutrofil, eosinofil, dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila
diberikan sebagai profilaksis.
5. Preparat antikolinergik topikal11
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik permukaan sel efektor.
6. Sodium kromolin14
Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel
mast dan pelepasan mediator termasuk histamin dengan cara
memblokade pengangkutan kalsium yang dirangsang antigen
melewati membran sel mast.
7. Antagonis reseptor leukotriene (LTRAs)
LTRA (montelukast dan zafirlukast) dapat juga secara efektif
digunakan dalam tatalaksana RA walaupun tidak lebih efektif
daripada pemberian kortikosteroid intranasal.1 Salah satu studi jangka
pendek yang dilakukan oleh Wilson et al. menunjukkan bahwa
kombinasi LTRA dan antihistamin sama efektifnya dengan pemberian
kortikosteroid intranasal.15Montelukast hanya diperbolehkan
pemberiannya pada dewasa. LTRA dapat dipertimbangkan untuk
digunakan jika pasien tidak dapat mentolerir pemberian antihistamin
oral, kortikosteroid intranasal dan atau kombinasi kortikosteroid
intranasal/spray antihistamin dalam mengontrol gejala rhinitis alergi.
Bila pemberian LTRA, antihistamin oral, kortikosteroid intranasal dan
atau kombinasi kortikosteroid intranasal/spray antihistamin tidak
dapat mengontrol gejala rhinitis alergi, maka imunoterapi alergen
dapat diberikan.
8. Immunoterapi alergen16
Imunoterapi alergen meliputi administrasi subkutan kuantitas
alergen relevan hingga didapat dosis yang efektif dalam menimbulkan
toleransi imunologis terhadap alergen. Imunoterapi alergen dapat
menjadi tatalaksana yang efektif pada rhinitis alergi, khususnya pada
pasien dengan rhinitis seasonal (intermiten) disebabkan oleh serbuk
sari. Imunoterapi ini juga sama efektifnya dalam tatalaksana rhinitis
alergi yang disebabkan oleh house dust mites, kecoa, bulu hewan
seperti kucing ataupun anjing. Imunoterapi sublingual adalah cara
untuk desentisisasi pasien dengan melibatkan penempatan tablet berisi
ekstrak alergen di bawah lidah hingga terlarut sempurna. Biasanya
juga pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama , serta dengan pengobatan cara lain
tidak memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG
blocking antibody dan penurunan IgE. Dapat dilakukan intradermal
dan sub-lingual.
Efek samping tersering adalah reaksi lokal seperti pruritus oral,
iritasi tenggorokan, dan pruritus pada telinga. Gejala ini akan
menghilang setelah 1 minggu pasca terapi.
9. Opsi terapeutik lain16
Dekongestan oral dan intranasal ( pseudoephedrine, phenylephrine)
bermanfaat untuk meredakan kongesti nasal pada pasien RA.
Meskipun, efek samping terkait dekongestan oral (agitasi, insomnia,
sakit kepala, palpitasi) menghambat penggunaan jangka panjang.
Golongan ini merupakan kontraindikasi pada pasien dengan hipertensi
tidak terkontrol dan gangguan koroner berat. Penggunaan dekongestan
intranasal berkepanjangan meningkatkan risiko terjadinya rhinitis
medikamentosa (rebound kongesti nasal), oleh karena itu, tidak
dianjurkan untuk digunakan lebih dari 3-5 hari. Pemberian
kortikosteroid oral menunjukkan keefektifan pengobatan pada pasien
dengan rhinitis alergi berat yang refrakter terhadap pemberian
antihistamin oral dan kortikosteroid intranasal. Terapi bedah dapat
membantu pada pasien dengan rhinitis, poliposis, atau penyakit sinus
kronis. Sodium kromoglikat intranasal dapat digunakan sebagai terapi
lini pertama untuk RA pada kehamilan mengingat tidak adanya efek
teratogenik. Antihistamin juga dipertimbangkan untuk pasien RA
sedang hamil. Imunoterapi alergen tidak direkomendasikan pada
kehamilan akibat risiko anafilaksis yang mungkin terjadi dan
berdampak pada fetus.
10. Operasi10
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplastyperlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak
berhasildikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 %
atau troklor asetat.
Gambar 11. Algoritma Tatalaksana Rhinitis Alergi
2.2.9 Diagnosis Banding
Rinitis secara umum dapatdibedakan menjadi alergi dan non alergi.
Berikut ini perbedaan rinitis alergi dan non alergi.
Tabel 2. Perbedaan rinitis alergi dan non alergi.8
Selain itu ada beberapa kondisi atau penyakit yang secara klinis
atau tanda dan gejalanya menyerupai rinitis. Berikut ini adalah beberapa
diagnosi banding dari rinitis.8
Tabel 3. Diagnosis banding rinitis alergi.8
2.2.10 Komplikasi9
Komplikasi rhinitis alergitermasukberikutini:
Sinusitis akut atau kronis
Sinus secara alami menghasilkan lendir, yang biasanya didrainase ke
hidungmelalui saluran kecil. Tetapi jika saluran drainase tersebut
meradang atau tersumbat (bisa disebabkan oleh rhinitis), lendir tidak
dapat mengalir keluar dan dapat terinfeksi.9
Otitis media
Infeksi ini dapat terjadi jika rinitis menyebabkan masalah dengan tuba
eustachius, yang menghubungkan bagian belakang hidung dan telinga
tengah, di bagian belakang hidung. Jika tabung ini tidak berfungsi
dengan baik, cairan dapat menumpuk di telinga tengah di belakang
gendang telinga dan menjadi terinfeksi. Ada juga kemungkinan
infeksi di bagian belakang hidung menyebar ke telinga melalui tuba
eustachius.9
Polip Nasal
Gangguan tidur atau apnea
Masalah gigi (overbite): disebabkan oleh pernapasan yang berlebihan
melalui mulut
Kelainan palatal
Disfungsi tabung eustachius
2.2.11 Prognosis18
Secara umum, pasien dengan rhinitis alergi tanpa komplikasi yang
respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang
diketahui alergi terhadap sebuk sari, maka kemungkinan rhinitis pasien ini
dapat terjadi musiman. Prognosis sulit diprediksi pada anak-anak dengan
penyakit sinusitis dan telinga yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat
dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun
anomaly anatomi. Perjalanan penyakit rhinitis alergi dapat bertambah berat
pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga decade lima dan enam.
Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena
menurunnya sistem kekebalan tubuh.
BAB III
KESIMPULAN
1. Dhingra PL, Dhingra S. Textbook of diseases of Ear, Nose and Throat and
Head and Neck surgery. Elsevier publisher; 2014;134-136
2. Small P, Keith PK, Kim H. Allergic rhinitis. Allergy, Asthma Clin Immunol.
2018;14(2):1–11.
4. Chiwstek, Marcin. Risk Factor of Allergic Rhinitis. Beth Israel Lahey Health:
Winchester Hospital; 2019.
9. Sheikh, Javed. What are the complications of allergic rhinitis (hay fever)?.
MedScape; 2018.
10. Soetjipto D, Wardani RS. Hidung, dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga.
Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher, ed. 2007;6:118–122.
11. Hwang PH, Abdalkhani A. Anatomy and Physiology of the Nose and
Paranasal Sinuses. In James B, Snow JR, Wackym PA, eds. Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 17th ed. Vol 1. Connecticut:
BC Decker Inc, 2009:484-494
13. Seidman MD, Gurgel RK, Lin SY, Schwartz SR, Baroody FM, Bonner JR, et
al. Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis. Otolaryngol Neck Surg.
2015;152(1):1–43.
14. Utama DS. Hubungan Antara Jenis Aeroalergen dengan Manifestasi Klinis
Rinitis Alergika [Tesis], Bagian THT RSUP dr. Kariadi, Semarang. 2010;19–
28
16. Kakli, H. A., & Riley, T. D. Allergic Rhinitis. Primary Care: Clinics in Office
Practice.2016;43(3).465–475.
17. Wilson AM, Orr LC, Sims EJ, Lipworth BJ. Effects of monotherapy with
intra-nasal corticosteroid or combined oral histamine and leukotriene receptor
antagonists in seasonal allergic rhinitis. Clin Exp Allergy. 2001;31(1):61–80.
18. Javed, S., Allergic Rhinitis [Internet]. Medscape. 2020. Diakses pada tanggal
10 Maret 2020. https://emedicine.medscape.com/article/134825-overview.