Anda di halaman 1dari 83

ANATOMI HIDUNG

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares
anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan superior. 1

Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh
palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui
koana. Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah
lateral belakang berbatasan dengan orbita : sinus maksilaris, sinus etmoidalis,
fossa pterygopalatina, fossa pterigoides. 14

Gambar 1. Hidung (Sumber : Netter, 2016)

A) Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os
palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan
tulang-tulang os nasale, os frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus
os sphenoidale. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum
nasi terdiri atas kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale, dan

3
os vomer. Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan oleh
kulit, jaringan subkutis, dan kartilago alaris major. 1

B) Dinding lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat
prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta
konka, dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina
pterigoides medial. Bagian terpending pada dinding lateral adalah empat buah
konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian
konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang paling kecil
adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan mengalami rudimenter.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan
superior.
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus
sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan konka os
spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus sfenoid.
Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik
bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding
lateralnya terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai
infundibulum. Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan
meatus medius dengan infundibulum dinamakan hiatus semilunaris. Dinding
inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti
laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum
maksila, dan sel-sel etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan
sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus
maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.

4
Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai
3,5 cm di belakang batas posterior nostril.
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior
yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media
dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan ressus frontal 2. Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh
infundibulum karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan
dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan
pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang
disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret
dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara
prosesus unsinatus dan konka media1.

Gambar 2 Kompleks Ostio Meatal (Sumber : Netter, 2016)

5
C) Septum Hidung

Gambar 3. Anatomi septum hidung (Netter FH, 2016)

Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posterior dan
inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina dan krista sfenoid.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.

6
Gambar 4. Vaskularisasi Hidung (Netter FH, 2016)
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media.
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

7
Gambar 5. Inervasi hidung (Netter FH, 2016)

FISIOLOGI HIDUNG
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2)
fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik
untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas;
5) refleks nasal. 2

8
BAB II. PENYAKIT HIDUNG

RHINITIS ALERGI
Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 2016). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2012 adalah kelainan pada hidung dengan
gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE 2.

Patofisiologi
Awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan
alergen/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit dan atau
sel dendrit. Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji ( antigen presenting
cell/sel APC), dan berada di mukosa saluran pernafasan. Antigen yang menempel
pada permukaan mukosa tersebut ditangkap oleh sel-sel APC, kemudian dari
antigen terbentuk fragmen peptida imunogenik. Fragmen pendek peptida ini
bergabung dengan MHC-II yang berada pada permukaan sel APC. Komplek
peptida-MHC-II ini akan dipresentasikan ke limfosit T yang diberi nama Helper-T
cells (TH0). Apabila sel TH0 memiliki reseptor spesifik terhadap molekul komplek
peptida-MHC-II tersebut, maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tesebut.
Sel APC akan melepas sitokin yang salah satunya adalah IL-1. IL-1 akan
mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2 melepas sitokin antara lain IL-3,
IL-4, IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resptornya pada permukaan
limfosit-B, akibatnya akan terjadi aktivasi limfosit-B. Limfosit-B aktif ini
memproduksi IgE 2.
Molekul IgE beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan
ditangkap eleh reseptor IgE pada permukaan sel mastosit atau sel basofil. Maka
akan terjadi degranulasi sel mastosit dengan akibat terlepasnya mediator alergis.
Mediator yang terlepas terutama histamin. Histamin menyebabkan kelenjar
mukosa dan goblet mengalami hipersekresi, sehingga hidung beringus. Efek
lainnya berupa gatal hidung, bersin-bersin, vasodilatasi dan penurunan
permeabilitas pembuluh darah dengan akibat pembengkakan mukosa sehingga
terjadi gejala sumbatan hidung 2.
Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi
alergi fase cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca
paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC
mastosit juga melepas molekul-molekul kemotaktik yang terdiri dari ECFA
(eosinophil chemotactic factor of anaphylatic) dan NCEA (neutrophil chemotactic
factor of anaphylatic). Kedua molekul tersebut menyebabkan penumpukkan sel
eosinofil dan neutrofil di organ sasaran 2.
Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase
lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas RAFL adalah
terlihatnya pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yangberakumulasi di
jaringan sasaran dengan puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling konstan
bertambah banyak jumlahnya dalam mukosa hidung dan menunjukkan korelasi
dengan tingkat beratnya gejala pasca paparan adalah eosinofil 2.

Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi 5.
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan 5.
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa
pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi
musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang

10
peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.. Faktor resiko untuk terpaparnya
debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke pegunungan membantu
identifikasi untuk terpaparnya serbuk sari 5.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa
faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi 5.

Klasifikasi
Rinitis alergi sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi
1. Rinitis alergi musiman (seasonal)
2. Rinitis sepanjang tahun (perenial)
3. Rinitis akibat kerja (occasional).
Rinitis alergi musiman hanya ada di negara yang memiliki empat musim.
Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari dan spora jamur. Gejala ketiganya
hampir sama, hanya sifat berlangsungnya yang berbeda. Gejala rinitis alergi
sepanjang tahun timbul terus menerus atau intermiten 5.
Namun sekarang klasifikasi rinitis alergi menggunakan parameter gejala
dan kualitas hidup, berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala
≤4 hari perminggu atau ≤4 minggu dan persisten dengan gejala >4 hari perminggu
dan >4 minggu. Berdasarkan beratnya penyakit dibagi dalam ringan dan sedang-
berat tergantung dari gejala dan kualitas hidup. Dikatakan ringan yaitu tidak
ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, olah raga, belajar,
bekerja dan lain-lain yang mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu
atau lebih gangguan tersebut di atas 5.

11
Intermiten Persisten
Gejala Gejala
 ≤ 4 hari per minggu  > 4 hari per minggu
 atau ≤ 4 minggu  dan > 4 minggu

Ringan Sedang-Berat
 tidur normal Satu atau lebih gejala
 aktivitas sehari-hari, saat olah  tidur terganggu
raga dan santai normal  aktivitas sehari-hari, saat olah
 bekerja dan sekolah normal raga dan santai terganggu
 tidak ada keluhan yang  masalah dalam sekolah dan
mengganggu bekerja
 ada keluhan yang mengganggu

Tabel 1. Klasifikasi Rinitis Alergi

Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dari anamnesis dengan
adanya trias gejala yaitu beringus (rinorea), bersin dan sumbatan hidung, ditambah
gatal hidung. Perlu diperhatikan juga gejala alergi di luar hidung (asma, dermatitis
atopi, injeksi konjungtiva, dan lain sebagainya) 5.

Pemeriksaan Fisik
1. Gejala yang mendukung diagnosis rinitis alergi (2 atau lebih >1 jam hampir
setiap hari): rinorea berair, bersin paroksismal, obsturiksi nasal, hidung
gatal, dan konjungtivitis (mata berair, gatal tau bengkak)

12
2. Gejala yang tidak mendukung diagnosis rinitis alergi: bersifat unilateral,
obstruksi nasala tanpa disertai gejala lainnya, rinorea mukopurulen, post
nasal drip dengan mukus tebal, tidak ditemui rinorea anterior, nyeri
epistaksis berulang, dan anosmia
3. Tanda klinis yang diasosiasikan dengan rinitis alergi:
 Allergic shinners – lingkaran hitam di sekitar mata dan berhubungan
dengan vasodilatasi atau kongesti nasal
 Nasal/allergic crease – suatu garis horizontal di dorsum hidung yang
disebabkan oleh gesekan berulang ke atas pada ujung hidung oleh
telapak tangan (dikenal dengan allergic salute)
 Pemeriksaan hidung dengan spekulum hidung: mukosa hidung
edematosa atau hipertrofi, berwarna pucat atau biru-keabuan dan sekret
cair
 Pemeriksaan mata: injeksi dan pembengkakan konjungtiva alpebra
dengan roduksi air mata berlebihan, garis Dennie-Morgan (garis di
bawah kelopak mata inferior)
 Pemeriksaan faring: penampakan cobblestone (pembengkakan jaringan
limfoid pada faring posterior) dan pembengkakan arkus faring posterior.
Maloklusi dan lengkung palatum yang tinggi dapat ditemukan pada
pasien yang bernafas dengan mulut secara berlebihan
 Pada anak dapat ditemukan hipertrofi adenoid (dari foto lateral di leher)
 Paru-paru: Perhatikan adanya tanda-tanda asma
 Kulit: Kemungkinaan adanya dermatitis atopi.

13
Gambar 6. Gambaran klinis Rinitis Alergi

4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sitologi hidung
Tidak dapat memastikan diagnosis pasti, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalen. Jika basofil mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan PMN menunjukkan adanya infeksi
bakteri.
Hitung eosinofil dalam darah tepi.
Jumlah eosinofil dapat meningkat atau normal. Begitu juga dengan
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, Kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu penyakit, misalnya selain rinitis
alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria 5.

14
Diagnosis Banding
Rinitis alergika harus dibedakan dengan:
1. Rinitis vasomotor
2. Rhinitis bacterial
3. Rinitis virus
4. Influenza (Flu)

Tabel 2. Diagnosis banding rhinitis alergika dan rhinitis vasomotor. 2

Perbedaan rhinitis alergika dan influenza:


1. Rinitis Alergi ( RA ) : Sesudah kontak dengan hal2 pencetus alergi
langsung timbul gejala.
Influenza ( I ) : Sesudah masuknya virus influenza selama 1 – 3
hari baru gejala timbul.
2. RA : Memiliki gejala hidung yang berlendir encer tanpa disertai
demam.
I : Lendir dari encer / cair, mengental kekuningan dan disertai
dengan demam.
3. RA : Serangan yang terjadi dapat dalam kurun waktu selama masih ada
kontak dengan penyebab dan belum diobati.
I : Serangan 5 – 6 hari tergantung daya tahan tubuh dan efektifitas
pengobatan. 5

15
Tata Laksana
Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :
a. Penghindaran alergen.
Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk
mencegah kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga
degranulasi sel mastosit tidak berlangsung dan gejalapun dapat dihindari.
Namun, dalam praktek adalah sangat sulit mencegah kontak dengan alergen
tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui pentingnya
peranan penghindaran alergen 5.
b. Pengobatan medikamentosa
Cara penngobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau
menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi
alergis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat
dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan
intranasal atau oral 5.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis
alergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif
untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal,
tetapi tidak efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada fase lambat 5.
Antihistamin oral - lini pertama untuk gejala ringan (Cetirizine 1x10mg atau
loratadin 1x10 mg atau fexofenadin 1x120 mg) 5.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin
atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk <5 hari hari
saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa diberikan jika disertai
obstruksi nasal seperti pseudefedrin, oksimetazolin, dan fenilepinefrin 5.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons
fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja
untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah

16
pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.
Contoh kortikosteroid intranasal yang dipakai adalah beclomethasone 168-
336mcg/hari, budesonide 252 mcg/hari, fluticasone 100-200 mcg/hari,
mometasone furoate 100-200mcg/hari 5.
Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena
aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan
baru lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti
leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan 5.
Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan.
Karenanya pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.
c. Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi
subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan
keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin
yang diberi label dalam unit biologis atau dalam ukuran masa dari alergen
utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai
20 g. Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan
penderita harus dipantau selama 20 menit setelah pemberian subkutan 5.
Indikasi imunoterapi spesifik subkutan
- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi
konvensional
- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan
antihistamin H1 dan farmakoterapi
- Prnderita yang tidak menginginkan farmakoterapi
- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping
yang tidak diinginkan
- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka
panjang.
Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi spesifik
oral

17
- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali
lebih besar dari pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.
- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak
imunoterapi subkutan
- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan
Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak
direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur
5 tahun 5.
d. Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir
sama seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu
sama-sama mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek
biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda.
Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang
berada di dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan
mempengaruhi DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat
selanjutnya menghambat produksi sitokin pro-inflammatory 5.
e. Edukasi
Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui
berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya
terajadi pada peningkatan populasi limfosit TH yang berguna pada
penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme
imunopsikoneurologis 5.

18
Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi Menurut WHO Initiative ARIA
Diagnosis Rinitis Alergi (Anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit)

Penghindaran allergen

Intermitten Persisten/menetap

Ringan Sedang/berat Ringan Sedang/berat

- AH oral/ -AH oral/topical


topical atau atau
- AH + KS topical
dekongestan - AH + dekongestan
oral oral atau

- KS topical atau
Membaik Tidak ada
- Na kromoglikat
↓ ↓

Th/ Mundur 1 - salah diagnosis
Gejala persisten langkah dan - nilai kepatuhan pasien
th/ diteruskan
2-4 ming - komplikasi/ infeksi
↓ untuk 1 bulan - factor kelainan
anatomis
Evaluasi setelah 2-4
minggu


Tingkatkan Jika gagal:
Sumbatan
maju hidung
1 Bersin/Gatal Rinore
dosis intranasal menetap
langkah hidung menetap
KS

Jika th/ berhasil: ↓ ↓
lanjutkan 1 bulan
Dekongestan (3-5 Tambahkan Ipratroprium
hari) atau KS oral H1 blocker bromida
(jangka pendek)

Gagal


Jika ada conjungtivitis :
Kaustik konka /
- Oral H1-blocker atau konkotomi
- Intraocilar H1-blocker atau
- Intraocular chromone

19
Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi
utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan sumbatan sekitar
ostia sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda patognomonis :
inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa
banyaknya (lebih-lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel,
hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. Ditemukan juga mRNA untuk
GM-CSF, TNF-alfa, IL-4 dan IL-5 yang berperan meningkatkan reaksi
alergis.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat
edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia
menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan menyebabkan
penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri
terutama bakteri anaerob. Selain dari itu, proses alergi akan menyebabkan
rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh
mediator-mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan
akibat sinusitis akan semakin parah 2.

20
RINITIS VASOMOTOR
Definisi
Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa
hidung yang disebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. Penyakit ini
termasuk dalam penyakit rinitis kronis selain rinitis alergika 5.
Rinitis vasomotor adalah inflamasi kronis lapisan mukosa hidung yang
disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan
simpatis. Parasimpatis menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan
pembangkakan pembuluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa hidung
tersumbat, bersin dan ingus yang encer 5.
Rinitis vasomotor adalah kondisi dimana pembuluh darah yang terdapat di
hidung menjadi membengkak sehingga menyebabkan hidung tersumbat dan
kelenjar mukus menjadi hipersekresi 5.
Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu Beberapa
faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor:
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor
topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara
yang tinggi dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti
hamil dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue 5.
Patofisiologi
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi
dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf
simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis
vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan
kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem
simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya
dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas
kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti.
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari sel-
sel seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin,
prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak
hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi
juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi
hidung, yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai
oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi.
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis
vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang
spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara,
perfume, asap rokok, polusi udara dan stress (emosional atau fisikal) (Sanico,
2007).
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis
vasomotor yaitu:
1. Meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis.
2. Mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. Mengurangi peptide vasoaktif
4. Mencari dan menghindari zat-zat iritan.

22
Gejala Klinik
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan
dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan
bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat
bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu
perubahan posisi.
Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis
alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk
pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang
ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya.1 Selain itu
juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok (post nasal drip).
Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2
kelompok, yaitu golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore
(runners/sneezers). Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada
golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi,
perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya 5.

Diagnosis
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan
vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Biasanya penderita tidak
mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia
dewasa. Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap
paparan zat iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar 2.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema
mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua
(karakteristik), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka dapat
licin atau berbenjol (tidak rata). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid,
biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat
serosa dengan jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post
nasal drip 2.

23
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rinitis alergi. Test kulit (skin test) biasanya negatif, demikian pula
Radioallergosorbent testing (RAST), serta kadar Ig E total dalam batas normal.
Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam
jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel
neutrofil dalam sekret 2.
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan
mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat 2.

Tabel 3. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor


Riwayat Penyakit - Tidak berhubungan dengan
musim.
- Riwayat keluarga ( - )
- Riwayat alergi sewaktu anak-
anak ( - )
- Timbul sesudah dewasa.
- Keluhan gatal dan bersin ( - )
Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - )
- Tanda – tanda infeksi ( - )
- Pembengkakan pada mukosa ( +
)
- Hipertrofi konka inferior sering
dijumpai.
Radiologi X-Ray/CT - Tidak dijumpai bukti kuat
keterlibatan sinus.
- Umumnya dijumpai penebalan
mukosa.
Bakteriologi - Rinitis bakterial ( - )
Tes Alergi Ig E total - Normal
Prick test - Negatif atau positif lemah

24
RAST - Negatif atau positif lemah

Diagnosis Banding
1. Rinitis alergi
2. Rinitis infeksi
Tabel 4. Perbedaan Karakteristik antara Rhinitis Alergi dan Rhinitis Vasomotor
Karakteristik Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor
Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4
Riwayat terpapar allergen Riwayat terpapar allergen (
( +) -)
Etiologi Reaksi Ag - Ab terhadap Reaksi neurovaskuler
rangsangan spesifik terhadap
beberapa rangsangan
mekanis atau
kimia, juga faktor
psikologis
Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol
Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat
Neurektomi Tidak membantu Membantu
n. vidianus

Tata Laksana
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab
dan gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :

25
a. Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk
mengurangi keluhan hidung tersumbat. Contohnya:
Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine (oral) serta
Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ).
b. Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
c. Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat,
rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal
yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan
paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil
yang memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide,
Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone
d. Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai
keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium bromide (nasal spray)
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :
a. Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25%
atau triklorasetat pekat (chemical cautery) maupun secara
elektrik (electrical cautery).
b. Diatermi submukosa konka inferior (submucosal diathermy of
the inferior turbinate).
c. Bedah beku konka inferior (cryosurgery).
d. Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate
resection).
e. Turbinektomi dengan laser (laser turbinectomy).
f. Neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy), yaitu dengan
melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas
tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada
pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit
dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan
dapat menimbulkan berbagai komplikasi 5.

26
Gambar 7. Algoritme tatalaksana Rhinitis Vasomotor 2.

27
RHINITIS MEDIKAMENTOSA
Definisi
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan
respon normal vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokonstriktor topical (obat
tetes hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga
menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan hal ini disebabkan
oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse) 5.
Rinitis medikamentosa dikenal juga dengan rebound rhinitis atau rinitis
kimia karena menggambarkan kongesti mukosa hidung yang diakibatkan
penggunaan vasokontriksi topikal yang berlebihan. Obat-obatan lain yang bisa
mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah antagonis ß-adrenoreseptor oral,
inhibitor fosfodiester, kontrasepsi pil, dan antihipertensi. Tetapi mekanisme
terjadinya kongesti antara vasokontriktor hidung dengan obat-obat di atas berbeda
sehingga istilah rinitis medikamentosa hanya digunakan untuk rinitis yang
disebabkan oleh penggunaan vasokontiktor topikal sedangkan yang disebabkan
oleh obat-obat oral dinamakan rhinitis yang dicetuskan oleh obat (drug-induced
rhinitis) 5.

Etiologi
Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan
menyebabkan siklus nasal terganggu dan akan berfungsi kembali bila pemakaian
dihentikan. Pemakaian vasokontriktor topikal yang berulang dan waktu lama akan
menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang (rebound dilatation) setelah
vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian obat diteruskan maka
akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan, pertambahan mukosa jaringan dan
rangsangan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap dan produksi sekret
berlebihan 5.
Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema
mukosa diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin, estrogen,
fenotiazin, dan guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang menyebabkan kekeringan

28
pada mukosa hidung adalah atropin, beladona, kortikosteroid dan derivat
katekolamin 5.
Penyakit rinitis medikamentosa disebabkan oleh pemakaian obat sistemis
yang bersifat sebagai antagonis adreno-reseptor alfa seperti anti hipertensi dan
psikosedatif . Selain itu aspirin, derivat ergot, pil kontrasepsi , dan anti
cholinesterasi yang digunakan secara berlebihan juga dapat menyebabkan
gangguan hidung. Obat vasokonstriktor topikal sebaiknya isotonik dengan sekret
hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5, serta pemakaiannya tidak lebih
dari satu minggu. Jika tidak, akan terjadi kerusakan pada mukosa hidung berupa:
1. Silia rusak
2. Sel goblet berubah ukurannya
3. Membran basal menebal
4. Pembuluh darah melebar
5. Stroma tampak edema
6. Hipersekresi kelenjar mukus
7. Lapisan submukosa menebal
8. Lapisan periostium menebal.

Antihipertensi Phosphodiesterase Hormon


type 5 inhibitors

 Amiloride  Sildenafil  Estrogen


 Angiotensin-converting enzyme  Tadalafil Eksogenous
inhibitors  Vardenafil  Pil kontrasepsi
 ß-blockers
 Chlorothiazide
 Clonidine
 Hydralazine
 Hydrochlorothiazide
 Prazosin

29
 Reserpine

Anti-nyeri Psikotropik Lain- lain

 Aspirin  Chlordiazepoxide-  Kokain


 NSAIDs amitriptyline  Gabapentin
 Chlorpromazine
 Risperidone
 Thioridazine

Tabel 5. Obat yang menyebabkan Drug-Induced Rhinitis 5.

Dekongestan Imidazolines
– Simpatomimetik :
 Amfetamin  Klonidin
 Benzedrine  Naphazolin
 Kafein  Oxymetazolin
 Ephedrin  Xylometazolin
 Mescalin
 Phenylephrin
 Phenylpropanolamin
 Pseudoephedrin

Tabel 6. Dekongestan yang menyebabkan Rhinitis Medikamentosa 5.

30
Patofisiologi
Mukosa hidung merupakan organ yang amat peka terhadap rangsangan atau
iritan sehingga harus berhati hati dalam mengkonsumsi obat vasokonstriksi topikal
dari golongan simptomatik yang dapat mengakibatkan terganggunya siklus nasal
dan akan berfungsi kembali dengan menghentkan pemakaian obat. Pemakaian
vasokonstriktor topikal yang berulang dalam waktu lama, akan mengakibatkan
terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi,
sehingga menimbulkan terjadinya obstruksi atau penyumbatan. Dengan adanya
gejala obstruksi hidung ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi
memakai obat tersebut sehingga efek vasokonstriksi berkurang, pH hidung berubah
dan aktivitas silia terganggu, sedangkan efek blik akan menyebabkan obstruksi
hidung lebih hebat dari keluhan sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan akan
menyebabkan dilatasi dan kongesti jaringan. Kemudian terjadi pertambahan
mukosa jaringan dan rangsangan sel–sel mukoid, sehingga sumbatan akan menetap
dengan produksi sekret yang berlebihan 5.
Pemberian antibiotik selama minimal 2 minggu dan obat simptomatik
lainnya. Tindakan meliputi diatermi, fungsi dan irigasi sinus (sinusitis maksila),
pencucian Proetz (sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid),
pembedahan radikal dan tidak radikal. Diatermi menggunakan gelombang pendek
di daerah sinus paranasal yang sakit selama 10 hari 5.
Selain itu, terdapat juga hipotesis bahwa rhinitis medikamentosa terjadi
sebagai akibat berkurangnya produksi nor-epinefrin simpatetik endogen menerusi
jalur umpan balik negatif. Dengan penggunaan dekongestan dalam jangka waktu
yang lama, saraf simpatetik tidak bisa berfungsi untuk mempertahankan
vasokonstriksi karena pelepasan nor-epinefrin yang ditekan 5.

Gambaran Klinis
Anamnesis
Gejala terbatas pada hidung dan terdiri dari kongesti hidung kronis tanpa
rhinore signifikan atau bersin dan keluhan lain berupa :
 Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair.

31
 Gejala tidak berubah berdasarkan musim atau saat pasien di dalam
ruangan atau di luar ruangan.
 Pasien tidak mempunyai pengetahuan tentang penggunaan dekongestan
sebelumnya. Dalam upaya untuk mengontrol gejala, pasien sering
mencoba untuk meningkatkan baik dosis dan frekuensi dekongestan
topikal, yang menyebabkan ketergantungan.
 Gejala timbul akibat penggunaan semprot hidung atau nasal
dekongestan.
 Mencari tahu frekuensi dan durasi penggunaan semprot hidung.
 Penghentian dekongestan yang diikuti oleh hidung tersumbat beberapa
jam kemudian menggunakan lebih banyak dekongestan. Semakin banyak
dekongestan yang digunakan, semakin pendek periode lega. Hal ini
akhirnya mengarah pada pasien yang mencari perawatan medis.
 Tidak ada alergen tertentu yang teridentifikasi.
 Pasien dengan rhinitis medikamentosa sering mendengkur, sleep apnea,
dan sering bernapas dengan mulut sehingga mengakibatkan sakit
tenggorokan dan mulut kering 5.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, temuan terbatas pada rongga hidung. Pemeriksaan
yang dilakukan berupa rhinoskopi anterior. Pada pemeriksaan tampak edema
konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin,
edema konka tidak berkurang. Membran mukosa hidung dapat bengkak dan
memerah (beefy-red) dapat berdarah, granular, mukosa sering kemerahan karena
iritasi mukosa kadang mukosa pucat. Rhinitis vasomotor dapat dibedakan dari
sekret purulen dan krusta yang terdapat pada rhinitis infektif 5.

32
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium seperti smear hidung, IgE total, CBC, laju endap
darah (LED), tes kulit alergi, dan CT scan sinus dapat membantu dalam
mengidentifikasi kondisi yang mendasarinya 5.
Pemeriksaan radiologi tidak membantu dalam mendiagnosis rhinitis, tetapi
untuk mengidentifikasi komplikasi seperti sinusitis kronis, infeksi, polip hidung,
dan sinus fluid level 5.
Rhinomanometri digunakan untuk mengukur aliran udara di hidung, tes
provokasi hidung dengan histamin dan melihat secara mikrskopik spesimen mukus
hidung yang berguna untuk mencari tahu penyebab lainnya. Dapat mengetahui
seberapa baik bernapas melalu hidung dan mengevaluasi pengobatan yang pernah
diresepkan. Metode pengobatannya disebut metode rhinostat dimana bergantung
pada kerja rinomanometri. Tujuannya untuk menurunkan secara bertahap
pengobatan pasien dengan mempertahankan aliran inspirasi hidung normal,
dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan metode lain dan tidak dapat
menghirup udara dengan baik antara 4-7 hari pertama 5.

Gambar 8. Pemeriksaan rhinomanometri


Rhinostereometri merupakan metode yang tepat untuk mendeteksi
perubahan mukosa hidung yang mengalami udema, dimana mukosa hidung diamati
melalui mikroskop (surgical mikroskop) Rhinostereometri telah dipakai pada
beberapa penelitian rhinitis medikamentosa dan penggunaan benzalkonium
chloride. Dengan rhinostereometri dapat menunjukan penggunaan benzalkonium
chloride (BKC) dalam oxymetazolin yang berlangsung lama 5.

33
Diagnosis
Kriteria bagi diagnosis Rhinitis Medikamentosa adalah:
 Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau
obat semprot hidung dalam waktu lama dan berlebihan.
 Obstruksi hidung yang berterusan (kronik) tanpa pengeluaran sekret atau
bersin.
 Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisis.
Rhinitis medikamentosa sering terjadi disebabkan oleh kondisi medis
lainnya yang menyebabkan penggunaan dekongestan. Jadi, penting untuk
menjalankan beberapa pemeriksaan lainnya untuk mengidentifikasi kondisi medis
lainnya yang berpotensi untuk diobati. Di antara pemeriksaannya adalah uji tusuk
bagi pasien yang mempunyai riwayat rhinitis alergi, uji aspirin bagi pasien yang
mempunyai trias ASA dan pemeriksaan rinoskopi untuk mengidentifikasi deviasi
septal, abnormalitas 5.

Tata Laksana
Setelah rhinitis medikamentosa diidentifikasi, penggunaan dekongestan
topikal harus dihentikan sesegera mungkin. Tujuan pertama dalam pengobatan
rhinitis medikamentosa adalah penghentian langsung dari dekongestan hidung.
Pasien harus dididik tentang kondisi mereka dan menawarkan metode pengobatan
lain 5.
Kortikosteroid
Kortikosteroid hidung membantu mengurangi peradangan lokal tanpa efek
sistemik, dengan mengurangi hidung tersumbat lebih cepat. Kortikosteroid
memiliki sifat anti-inflamasi dan imunosupresif, dan menyebabkan efek metabolik
yang bervariasi. Kortikosteroid oral jarang diperlukan tapi disarankan dalam terapi
pada orang dewasa (misalnya, prednison 20-40 mg / hari untuk rata-rata berat badan
orang dewasa, selama 7-10 hari). Beberapa steroid hidung antara lain termasuk
budesonide, ciclesonide, flutikason propionat, fluticasone furoate, mometasone,
beklometason, flunisolide, dan triamcinolone 5.

34
Budesonide inhalasi (Rhinocort, Rhinocort AQ), mengurangi tingkat
peradangan di saluran napas dengan menghambat beberapa jenis sel inflamasi dan
penurunan produksi sitokin dan mediator lain yang terlibat. Dapat dipakai untuk
mengobati rhinitis medikamentosa pada anak-anak. Keamanan obat sama seperti
ketika digunakan untuk rhinitis alergi 5.
Flutikason (Flonase), memiliki vasokonstriksi sangat ampuh dan aktivitas
anti-inflamasi. Memiliki daya hambat yang lemah terhadap axis hipotalamus-
hipofisis-adrenocortical ketika digunakan. Berisi 50 mcg per aktuasi 5.
Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion), dapat diberikan
kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis diturunkan secara bertahap
(tapering off) dengan menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari (misalnya hari
1: 40 mg, hari 2 : 35 mg dan seterusnya) 5.
Kortikosteroid oral jangka pendek efektif untuk memecahkan penggunaan
siklik vasokonstriktor topikal. Kortikosteroid oral sering digunakan selama 5-10
hari. Dapat juga dengan pemberian kortikosteroid topikal selama minimal 2 minggu
untuk mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung. Obat dekongestan oral
juga dapat diberikan (biasanya mengandung pseudoefedrin) 5.
Dekongestan sistemik
Pseudoephedrine (Sudafed) adalah satu dari banyak dekongestan sistemik
yang dapat digunakan. Merangsang vasokonstriksi dengan langsung mengaktifkan
reseptor alpha-adrenergik dari mukosa pernapasan. Menginduksi relaksasi bronkial
dan meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas dengan menstimulasi reseptor
beta-adrenergik 5.
Larutan saline
Tambahan larutan salin buffer seperti Cromolin, sedatif/hipnotik, semprotan
hidung yang menggunakan larutan saline untuk irigasi hidung selain sebagai
pelembab mukosa hidung juga sebagai dekongestan non-adiksi. Dapat disimpan
dalam waktu yang lama dan sebagai pencegahan bila kembali menggunakan
dekongestan topikal 5.

35
Tindakan Bedah
Pembedahan tidak dianjurkan kecuali terdapat polip atau deviasi septum.
Reduksi konka hidung tidak dilakukan dalam kasus sederhana. Jika dilakukan,
pengurangan ini menghasilkan efek yang singkat dengan kembalinya kongesti jika
nasal dekongestan tidak dihentikan. Dengan penghentian dekongestan, kondisi ini
dapat teratasi dengan sendirinya. Dalam kasus refrakter terhadap pemberhentian
pengobatan, pasien rawat jalan dapat diberikan laser dioda konka inferior reduksi
hiperplastik. Cara ini merupakan pilihan pengobatan yang sangat efektif, aman, dan
ditoleransi dengan baik dan pemulihan tahan lama dan meningkatkan aliran udara
hidung dan menghentikan kecanduan dekongestan hidung 4.

Komplikasi
Hampir semua pasien pada akhirnya bisa menghentikan penggunaan obat
tetes hidung dengan penyembuhan sempurna. Pada pasien yang tidak bisa
menghentikan penggunaannya, menurut penelitian dapat terjadi hiperplasia
menetap yang memerlukan intervensi yang bervariasi dari elektrokauter
submukosa atau kryoterapi untuk mengurangkan destruksi turbinasi melalui
penggunaan laser dan reseksi bedah. Komplikasi lainnya yang dapat terjadi adalah
seperti perforasi septum, rinitis atropi dan infeksi sinus 4

36
POLIP HIDUNG
Definisi
Sumbatan hidung adalah salah satu masalah yang paling sering dikeluhkan
pasien ke dokter pada pelayanan primer. Ini adalah gejala bukan diagnosis, banyak
faktor dan kondisi anatomi yang dapat menyebabkan sumbatan hidung. Penyebab
sumbatan hidung dapat bervariasi. Polip merupakan salah satu dari penyebab rasa
hidung tersumba 3.
Polip hidung sampai saat ini masih merupakan masalah medis, selain itu
juga memberikan masalah sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya seperti di sekolah, di tempat kerja, aktifitas harian dsb. Gejala utama
yang paling sering dirasakan adalah sumbatan di hidung yang menetap dan semakin
lama semakin berat keluhannya, hal ini dapat mengakibatkan hiposmia sampai
anosmia. Bila menyumbat ostium sinus paranasalis mengakibatkan terjadinya
sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan hidung berair 3.
Polip nasi merupakan massa lunak berwarna putih atau keabu-abuan yang
terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari pembengkakan mukosa hidung
atau sinus. Etiologi dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui secara pasti.
Dengan patogenesis dan etiologi yang masih belum ada kesesuaian, maka sangatlah
penting untuk dapat mengenali gejala dan tanda polip nasi untuk mendapatkan
diagnosis dan pengelolaan yang tepat.
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
ronggahidung, bewarna putih keabu-abuan yang terjadi akibat inflamasi mukosa.
Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel an dapat
bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah
belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal 3.

Patofisiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi
alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum
diketahui dengan pasti tetapi ada keragu-raguan bahwa infeksi dalam hidung atau
sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal
dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian
menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak
mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak
mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah 3.
Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak-anak.
Pada anak-anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis. Yang dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain 3:
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka.
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi
saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Brenstein, terjadi perubahan
mukosahidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi, terutama di
daerah sempitdi kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti
oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan
penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga
terbentuk polip 3.
Teori lain mengatakan karena ketidak seimbngan saraf vasomotor, terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang
menyebabkanedema dan lama kelamaan menjadi polip 2.
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab semakin membesar menjadi
polip dan kemudian akan turun ke rongga hidungdengan membentuk tangkai. 3.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab
terseringadalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama,
vasodilatasilama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa.
Mukosa akanmenjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya
membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila,
kemudian sinus etmoid. Setelah polipterus membesar di antrum, akan turun ke
kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang

38
yang sering dialami oleh orang yang mempunyairiwayat rinitis alergi karena pada
rinitis alergi terutama rinitis alergi perenial yang banyak terdapat di Indonesia
karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapatsepanjang tahun.
Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisamenyebabkan
obstruksi di meatus medial 2.

Diagnosis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang
ringansampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia. Keluhan bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala daerah
frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip danrinore
purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara
sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
Dapatmenyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan
mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma. Selain itu harus
ditanyakanriwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat
lainnyaserta alergi makanan 2.
Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus
medius dan mudah digerakkan 2.
Pemeriksaan Penunjang dapat dilakukan dengan adanya fasilitas endoskop
(teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus polip nasi yang baru. Polip
stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior
tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga
sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila
2
.
Pemeriksaan Radiologi dapat dilakukan dengan foto polos sinus paranasal
(posisi Waters, AP, Cadwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa
dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus
polip.

39
Pemeriksaan tomografi computer (TK, CT Scan) sangat bermanfaat untuk
melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses
radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal. TK
terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi
medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan
bedah terutama bedah endoskopi 2.

Tata Laksana
Satu-satunya pengobatan yang efektif untuk polip nasal adalah kortikosteroid.
Baik bentuk oral maupun topikal, memberikan respon anti inflamasi non-spesifik.
yang mengurangi ukuran polip dan mengurangi gejala sumbatan hidung. Obat-
obatan lain tidak memberikan dampak yang berarti. Selain itu, terapi medika
mentosa juga bertujuan untuk menunda selama mungkin perjalanan penyakit,
mencegah pembedahan dan mencegah kekambuhan setelah prosedur pembedahan
2
.
Antibiotik Polip nasi dapat menyebabkan obstruksi dari sinus yang berakibat
timbulnya infeksi. Pengobatan infeksi dengan antibiotik akan mencegah
perkembangan polip lebih lanjut dan mengurangi perdarahan selama pembedahan.
Pemililihan antibbiotik dilakukan berdasarkan kekuatan daya bunuh dan hambat
terhadap species staphylococcus dan golongan anaerob yang merupakan
mikroorganisme mikroorganisme tersering yang ditemukan pada sinusitis kronik.
Kalau ada tanda-tanda infeksi harus diberikan juga antibiotik. Pemberian antibiotik
pada kasus polip dengan sinusitis sekurang-kurangnya selama 10-14 hari 3.
Terapi pembedahan bertujuan menghilangkan obstruksi hidung dan
mencegah kekambuhan. Oleh karena sifatnya yang rekuren, kadang-kadang terapi
pembedahan juga mengalami kegagalan dimana 7-50% pasien yang menjalani
pembedahan akan mengalami kekambuhan 3
Terapi pembedahan dapat dilakukan dengan cara:
1. Polipektomi
Sebelum polipektomi hidung dilakukan, perlu diberikan premedikasi dan
anestesi topikal memadai. Kawat pengait kemudian dilingkarkan pada tangkai polip

40
tanpa perlu diikatkan erat-erat, kemudian polip dengan tangkai dan dasar pedikel
seluruhnya ditarik bersamaan. Infeksi sinus akibat tangkai polip yang menyumbat
ostium, biasanya mereda lebih cepat setelah polipektomi. Jika polip kembali
kambuh dan disertai sinusitisrekurens, mungkin terdapat indikasi koreksi bedah
terhadap penyakit sinus 4
2. Etmoidektomi
Etmoidektomi, artinya di samping mengangkat polip yang berada dalam
hidung, diangkat juga polip yang berada di dalam sinus paranasalis. Keuntungan
cara operasi ini adalah kans residif lebih kecil dan kalau memang terjadi, maka
jangka waktunya cukup lama. Kerugian operasi ini ialah prosedur operasi lebih
sukar dan waktu perawatan lebih panjang serta resiko komplikasi post operasi
relatif lebih besar. Operasi Etmoidektomi di bagi menjadi dua yaitu:
a. Etmoidektomi Intranasal
Tindakan dilakukan dengan pasien dibius umum. Dapat juga dengan bius
lokal. Setelah konka media di dorong ke tengah, maka dengan cunam sel etmoid
yang terbesar (bula etmoid) dibuka. Polip yang ditemukan dikeluarkan sampai
bersih. Sekarang tindakan ini dilakukan dengan menggunakan endoskop, sehigga
apa yang akan dikerjakan dapat dilihat dengan baik. Perawatan pasca-bedah yang
terpenting ialah memperhatikan kemungkinan perdarahan.
b. Etmoidektomi Ekstranasal
Insisi dibuat di sudut mata, pada batas hidung dan mata. Di daerah itu sinus
etmoid dibuka, kemudian dibersihkan.
3. Operasi Caldwell-Luc
Operasi ini ialah membuka sinus maksila, dengan menembus tulang pipi.
Supaya tidak terdapat cacat di muka, maka insisi dilakukan di bawah bibir, di
bagian superior ( atas ) akar gigi geraham 1 dan 2. Kemudian jaringan diatas tulang
pipi diangkat kearah superior, sehingga tampak tulang sedikit di atas cuping hidung,
yang disebut fosa kanina. Dengan pahat atau bor tulang itu dibuka, dengan demikian
rongga sinus maksila kelihatan. Dengan cunam pemotong tulang lubang itu
diperbesar. Isi sinus maksila dibersihkan. Seringkali akan terdapat jaringan
granulasi atau polip di dalam sinus maksila. Setelah sinus bersih dan dicuci dengan

41
larutan bethadine, maka dibuat anthrostom. Bila terdapat banyak perdarahan dari
sinus maksila, maka dimasukkan tampon panjang serta pipa dari plastik, yang
ujungnya disalurkan melalui antrostomi ke luar rongga hidung. Kemudian luka
insisi dijahit 4.
4. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan teknik yang lebih
baik tidak hanya membuang polip tapi juga membuka celah di meatus media, yang
merupakan tempat asal polip yang tersering sehingga akan membantu mengurangi
angka kekambuhan 4.
Indikasi pembedahan umumnya adalah untuk rinosinusitis kronik atau
rinosinusitis akut berulang dan polip hidung yang telah diberi terapi medikamentosa
yang optimal. Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan
komplikasi dan perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau
sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia. Bedah sinus endoskopi sudah meluas
indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal,
menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah
anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita,
dekompresi nervus optikus, kelainan kogenital (atresia koana) dan lainnya.
Kontraindikasi BSEF adalah osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai
pembentukan sekuester, pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil
(hipoplasi), penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, dan
kelainan hemostasis yang tidak terkontrol 4.

42
KELAINAN SEPTUM

Gejala sumbatan hidung meskipun bukan suatu gejala penyakit yang berat,
tetapi dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab
sumbatan hidung dapat bervariasi dari berbagai penyakit dan kelainan septum nasi.
Salah satu penyebabnya dari kelainan septum nasi yang paling sering ditemukan
adalah deviasi septum nasi, hematoma septum, dan abses septum 3
Deviasi septum nasi memang merupakan masalah yang sering ditemukan di
masyarakat. Kelainan ini ditandai dengan bengkoknya lempeng kartilago septum,
yaitu struktur yang memisahkan antara kedua nostril. Deviasi septum biasanya
disebabkan oleh trauma, walaupun terdapat beberapa kasus yang merupakan
bawaan sejak lahir dengan deviasi septum nasi. Sedangkan hematoma septum nasi
terjadi akibat trauma pada septum nasi yang merobek pembuluh darah yang
berbatasan dengan tulang rawan septum nasi. Abses septum nasi dapat terjadi akibat
furunkel intranasal, peradangan sinus, akibat komplikasi operasi hidung dan
penyakit sistemik. Abses septum nasi hampir selalu didahului oleh hematoma
septum nasi yang terinfeksi 3.
Kelainan ini dapat menyebabkan terjadinya obstruksi nasal unilateral
maupun bilateral, yang bermanifestasi sebagai gangguan pernapasan melalui
hidung, tidur mendengkur, sakit kepala, infeksi sinus rekuren, ataupun perdarahan
hidung yang rekuren 3.
Penyakit – Penyakit kelainan Pada septum Hidung
1. Deviasi Septum
Bentuk septum normal ialah lurus di tengah rongga hidung, tetapi pada
orang dewasa biasanya tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang
ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat akan
menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat terjadi
gangguan fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi 4.
a. Definisi dan Klasifikasi
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum
nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum
menurut Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi,
yaitu :
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun
masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain
masih normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI 4.

44
Gambar 10. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina

45
b. Etiologi
Deviasi septum umumnya disebabkan oleh trauma langsung dan
biasanya berhubungan dengan kerusakan pada bagian lain hidung, seperti
fraktur os nasal.
Faktor risiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah
lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung
(tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman
ketika berkendara 4.

c. Gambaran klinis
Keluhan yang paling sering pada deviasi septum adalah sumbatan
hidung. Sumbatan dapat unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi
deviasi terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi
konka yang hipertrofi, sebagai akibat mekanisme kompensasi.
Keluhan lainnya adalah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata.
Selain dari itu penciuman dapat pula terganggu, apabila terdapat deviasi
pada bagian atas septum. Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus,
sehingga merupakan factor predisposisi terjadinya sinusitis
Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang
rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah
menetap, juga karena perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum 4.

d. Penatalaksanaan
 Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan
tindakan koreksi septum.
 Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
 Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
 Pembedahan :
o Septoplasty (Reposisi Septum)
Septoplasty merupakan operasi pilihan (i) pada anak-anak, (ii) dapat
dikombinasi dengan rhinoplasty, dan (iii) dilakukan bila terjadi

46
dislokasi pada bagian caudal dari kartilago septum. Operasi ini juga
dapat dikerjakan bersama dengan reseksi septum bagian tengah atau
posterior.
Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian
yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat
dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi
submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan saddle nose.
Operasi ini juga tidak berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan
wajah pada anak-anak.
o SMR (Sub-Mucous Resection)
Pada operasi ini, muko-perikondrium dan muko-periosteum kedua sisi
dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau
tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga muko-
perikondrium dan muko-periosteum sisi kiri dan kanan akan langsung
bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti terjadinya
hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh
karena bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat.
Tindakan operasi ini sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak karena
dapat mempengaruhi pertumbuhan wajah dan menyebabkan
runtuhnya dorsum nasi 4.

2. HEMATOMA SEPTUM
Hematoma septum nasi adalah terkumpulnya darah diantara tulang rawan
septum nasi (kondrium) dan perikondrium septum nasi. Hematoma septum nasi
dapat terjadi unilateral ataupun bilateral yang biasanya diakibatkan oleh trauma
pada daerah hidung 2.
Ketika hidung terkena trauma, pembuluh darah akan ada yang robek,
sehingga darah akan terkumpul di rongga antara kartilago dan perikondrium. Jika
darah ini terus menerus tertimbun maka suplai darah ke kartilago hidung akan

47
tersumbat. Hal ini menimbulkan nekrosis avaskular kartilago hidung akibat tekanan
2
.
Penyebab utama terjadinya hematoma septum nasi adalah karena trauma
pada daerah hidung. Hematoma septum nasi muncul secara langsung atau bahkan
beberapa hari setelah cedera awal.
Penyebab lainnya seperti karena adanya gangguan perdarahan, violent
sneezing (bersin yang kuat sekali) dan dikarenakan obat seperti aspirin dan warfarin
2
.
Hematoma septum memiliki gejala yang khas, seperti adanya nyeri hebat
yang terlokalisasi, palpasi pada ujung hidung akan terasa lebih lunak, dan
pembengkakan seperti buah ceri pada mukosa hidung di daerah septum yang
menyumbat seluruh lubang hidung 2.
Penatalaksanaan pada hematoma septum nasi adalah drainase dan insisi.
Drainase yang segera dilakukan dapat mencegah terjadinya nekrosis tulang rawan.
Dilakukan pungsi dan kemudian dilanjutkan dengan insisi pada bagian hematoma
yang paling menonjol tanpa menginsisi kartilago. Bila tulang rawan masih utuh
dilakukan insisi bilateral 2.
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder yang akan
menyebabkan komplikasi abses septum yang dapat menyebabkan deformitas
hidung 2.

3. ABSES SEPTUM
Abses septum nasi adalah pus yang terkumpul di antara tulang rawan
dengan mukoperikondrium atau tulang septum dengan mukoperiosteum yang
melapisinya. Biasanya terjadi pada kedua sisi rongga hidung, dan sering merupakan
komplikasi dari hematoma septum yang terinfeksi bakteri piogenik 2.
Kebanyakan abses septum nasi disebabkan oleh trauma yang kadang tidak
disadari oleh pasien. Selain trauma, abses septum nasi juga disebabkan oleh pasca
bedah atau sebagai komplikasi penyakit infeksi, bakteri pyogenik yang menyerang
suatu hematom yang kemudian menjadi suatu abses 2.

48
Gejala abses septum nasi adalah hidung tersumbat progresif disertai dengan
rasa nyeri hebat, terutama terasa di puncak hidung. Juga tedapat keluhan demam
dan sakit kepala. Obstruksi umumnya satu sisi setelah beberapa hari karena nekrose
kartigalo pus mengalir ke sisi lain menyebabkan obstruksi nasi bilateral dan total.
Dengan adanya proses supurasi tersebut akan terjadi penumpukan pus yang
semakin lama 3.
Pemeriksaan
a. Inspeksi
Tampak hidung bagian luar ( apex nasi) yang hiperemi, oedem, dan kulit
mengkilat.
b. Palpasi
Didapatkan nyeri pada sentuhan
c. Rhinoskopi anterior
Tampak tumor pada septum nasi berwarna merah keabu-abuan, pada
sentuhan terasa lunak dengan pemberian kapas yang dibasahi dengan solutio
tetrakain efedrin 1% tidak mengempisi
d. Pungsi dan aspirasi
Tindakan ini berguna untuk membantu menegakkan diagnosis, pemeriksaan
kultur, selain itu juga dapat mengurangi tekanan dalam abses dan mencegah
terjadinya infeksi intrakranial.
Penanganan abseb septum harus mendapat perhatian yang darurat, karena
menyebabkan komplikasi yang berapt yaitu nekrosis tulang rawan septum. Terapi
dapat dilakukan incisi. Incisi di buat vertikal pada daerah yang paling berfluktuasi.
Incisi abses dapat unilateral atau bilateral, kemudian dilakukan evakuasi pus,
bekuan darah, jaringan nekrotik dan jaringan granulasi sampai bersih, kemudian
dilanjutkan dengan pemasangan drain. Drain dipertahankan sampai 2-3 hari, jika
drain masih diperlukan dapat dipertahankan 4.
Pada kedua rongga hidung dipasang tampon anterior setelah dilakukan
incisi dan pemasangan drain, tampon anterior tiap hari diganti, dan dipertahankan
selama 2 sampai 3 hari. Bila pus masih ada luka dibuka lagi 4.

49
Antibiotik spektrum luas untuk gram positif dan gram negatif, serta kuman
anaerob dapat diberikan secara parenteral. Sebelum diperoleh hasil kultur dan tes
resistensi dianjurkan untuk pemberian preparat penicillin IV dan kloramfenikol IV,
serta terapi terhadap kuman anaerob. Pada kasus tanpa komplikasi, terapi antibiotik
parenteral diberikan selama 3 sampai 5 hari dan dilanjutkan dengan pemberian oral
selama 7-10 hari kemudian

50
INFEKSI HIDUNG

Infeksi pada hidung dapat mengenai hidung luar yaitu bagian kulit hidung,
dan rongga dalam hidung, yaitu bagian mukosanya. Infeksi pada hidung luar bisa
berbentuk selulitis dan vestibulitis, sedangkan rinitis adalah terjadinya proses
inflamasi mukosa hidung yang dapat disebabkan oleh infeksi, alergi atau iritasi 2.
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, infeksi dapat berlangsung akut
maupun kronis, dengan batasan waktu kurang atau lebih dari 12 minggu.
Mikroorganisme penyebab infeksi terdiri dari virus, bakteri non spesifik, bakteri
spesifik dan jamur. Infeksi hidung dapat disebabkan oleh suatu mikroorganisme,
atau beberapa mikroorganisme dan mengakibatkan infeksi primer, sekunder atau
infeksi multipel 2.
Rinitis spesifik yang akan dibicarakan antara lain : 1) Rinitis atrofi, 2)
Rinitis hipertrofi 3) Rinitis simpleks 4) Rinitis jamur, 5) Rinitis tuberkulosa, 6)
Rinitis sifilis, 7) Rinitis difteri 8) Rinoskleroma 9) Myiasis Hidung 10) Sinusitis
Penyakit – Penyakit Infeksi Pada Hidung
1. SELULITIS
Penyakit ini merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh
Staphylococcus, Streptococcus atau oleh keduanya yang disebut dengan pioderma.
Penyebab utamanya ialah Staphylococcus Aureus, Streptococcus B hemolyticus,
sedangkan Staphylococcus epidermidis merupakan penghuni normal di kulit dan
jarang menyerang infeksi. Faktor predisposisi adalah higiene yang kurang dan
menurunnya daya tahan tubuh 2.
Selulitis seringkali mengenai puncak hidung dan batang hidung, dapat
terjadi sebagai akibat perluasan furunkel pada vestibulum. Pada pemeriksaan
didapatkan tampak hidung bengkak, berwarna kemerahan dan dirasakan sangat
nyeri 2.
Terapinya adalah dengan pemberian obat antibiotika secara sistemik dalam
dosis tinggi 2.
2. VESTIBULITIS
Vestibulitis adalah suatu peradangan atau infeksi pada kulit vestibulum.
Biasanya terjadi karena iritasi dari sekret dari rongga hidung (rinore) akibat
inflamasi mukosa yang menyebabkan hipersekresi sel goblet dan kelenjar
seromusinosa. Bisa juga akibat trauma karena sering dikorek-korek 2.
Vestibulitis dapat berupa infeksi pada pangkal akar rambut (folikulitis) atau
keropeng di sekitar lubang hidung. Infeksi yang lebih berat bisa menyebabkan
terjadinya bisul atau furunkel. Infeksi juga bisa menyebar ke lapisan jaringan di
bawah kulit (selulitis), bahkan adakalanya bisa sampai mengenai pembuluh darah
otak dan menyebabkan keadaan yang mengancam nyawa, karena bisa terjadi
sumbatan pada pembuluh darah otak (thrombosis sinus kavernosus) dan penyebaran
infeksi ke otak 3.
Gejala gejala yang dapat ditemukan antara lain ditemukan antara lain
adanya rasa nyeri, kemerahan, atau benjolan pada lubang hidung bagian depan. Jika
infeksi menyebar, maka kulit bisa menjadi sangat merah, membengkak, dan panas.
Infeksi yang mengenai sinus kavernosus bisa menyebabkan pembengkakan atau
penonjolan mata, penglihatan ganda, atau penurunan penglihatan .
Menjaga higiene dan pemberian antibiotika dosis tinggi harus dilakukan 3.

3. RINITIS SIMPLEKS
Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan
pada manusia. Penyebabnya ialah beberapa jenis virus dan yang paling penting
ialah Rhinovirus. Virus-virus lainnya adalah Myxovirus, virus Coxsackle dan virus
ECHO 4.
Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak
adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan,
adanya penyakit menahun dan lain-lain) 4.
Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa
panas, kering dan gatal didalam hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang-
ulang, hidung tersumbat dan ingus encer, yang biasanya disertai dengan demam dan
nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak 4.

52
Selanjutnya akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, sehingga sekret
menjadi kental dansumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi,
gejala kemudian akan berkurang dan penderita akan sembuh sesudah 5 – 10 hari 4.
Komplikasi yang mungkin ditemukan adalah sinusitis, otitis, media,
faringtis, bronkitis dan pneumonia 4.
Tidak ada terapi yang spesifik untuk rinitis simpleks. Di samping istirahat
diberikan obat-obatan simtomatis, seperti analgetik, antipretik dan obat
dekongestan. Antibiotik hanya diberikan bila terdapat komplikasi 4.

4. Rinitis Hipertrofi
Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan
sinus, atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor 5.
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak,
mukopurulen dan sering ada keluhan nyeri kepala. Pada pemeriksaan akan
ditemukan konka yang hipertrofi, terutama konka inferior. Permukaannya
berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi. Akibatnya saluran
udara sangat sempit. Sekret mukopurulen yang banyak biasanya ditemukan di
antara konka inferior dan septum, dan di dasar rongga hidung 5.
Harus dicari faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya rinitis hipertrofi
dan kemudian memberikan pengobatan yang sesuai. Untuk mengurangi sumbatan
hidung akibat konka hipertrofi dapat dilakukan kauterisasi konka dengan zat kimia
(nitras argenti atau asam triklor asetat) atau elektrokauter. Bila tak menolong,
dilakukan luksasi konka atau bila perlu dilakukan konkotomi 5.

5. Rinitis Atrofi
Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk 5.

53
Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasa muda. Sering ditemukan
pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi
lingkungan yang buruk 5.
Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitl torak bersilia
menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang, lapisan
submukosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenarasi atau atrofi 5.
Banyak teori mengenai etiologi dan patogenesis rinitis atrofi dikemukakan,
antara lain : 1) Infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering ditemukan adalah
spesies Klebsiella, terutama Klebsiella Ozaena. Kuman lainnya yang juga sering
ditemukan adalah Stafilokokus, Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa. 2)
Defisiensi FE, 3) Defisiensi vitamin A, 4) Sinusitis Kronik, 5) Kelainan hormonal
6) Penyakit Kolagen, yang termasuk penyakit autoimun. Mungkin penyakit ini
terjadi karena adanya kombinasi beberapa faktor penyebab tersebut diatas 5.
Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental yang berwarna
hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung
merasa tersumbat 5.
Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka
inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan krusta yang
berwarna hjau 5.
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis adalah
pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsi konka media, pemeriksaan
mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi komputer (CT scan) sinus
paranasal 5.
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada
yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan
gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif, atau kalau tidak dapat
menolong dilakukan pembedahan 5.
Pengobatan konservatif. Diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai
dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat. Lama pengobatan
bervariasi tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa sekret purulen kehijauan 5.

54
Untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat hasil proses infeksi serta
sekret purulen dan krusta, dapat dipakai obat cuci hidung. Larutan yang dapat
digunakan adalah larutan garam hipertonik 5.
Pengobatan Operatif. Jika dengan pengobatan konservatif tidak ada
perbaikan, maka dilakukan tindakan operasi. Tekhnik operasi antara lain operasi
penutupan lubang hidung atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau
dengan jabir osteoperioseal. Tindakan ini diharapkan akan mengurangi turbulensi
udara pengeringan sekret, inflamasi mukosa berkurang, sehingga mukosa akan
kembali normal. Penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau
pada koana selama 2 tahun. Untuk menutup koana dipakai flap palatum 5.
Akhir – akhir ini bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) sering
dilakukan pada kasus rinitis atrofi. Dengan melakukan pengangkatan sekat – sekat
tulang yang mengalami osteomielitis, diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi
ventilasi dan drenase sinus kembali normal, sehingga terjadi regenerasi mukosa 5.

6. Rinitis Difteri
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, dapat terjadi
primer pada hidung atau sekunder dari tenggorok, dapat ditemukan dalam keadaan
akut maupun kronik. Dugaan adanya rintis difteri harus dipikirkan pada penderita
dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini emakin jarang
ditemukan, karena cakupan program imunisasi yang semakin meningkat 5.
Gejala rinitis difteri akut ialah demam, toksemia, terdapat limfadenitis dan
mungkin ada paralisis otot pernapasan. Pada hidung ada ingus yang bercampur
darah, mungkin ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah, dan ada
krusta coklat di nares anterior dan rongga hidung. Jika perjalanan penyakitnya
menjadi kronik, gejala biasanya lebih ringan dan mungkin dapat sembuh sendiri,
tetapi dalam keadaan kronik, masih dapat menulari. 1,3 Diagnosis pasti ditegakkan
dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung 5.
Sebagai terapi diberikan ADS, penisilin lokal dan intramuskuler. Pasien
harus diisolasi sampai hasil pemeriksaan kuman negatif 5.

55
7. Rinitis Jamur
Dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan besifat invasif atau non-invasif.
Rinits jamur nin invasif dapat menyerupai rinolit dengan inflamasi mukosa yang
lebih berat. Rinolit ini sebenarnya adalah gumpalan jamur (fungus ball). Biasanya
tidak terjadi destruksi kartilago dan tulang 5.
Tipe invasif ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propria.
Jika terjadi invasi jamur pada submukosa dapat mengakibatkan perforasi septum
atau hidung pelana. Jamur sebagai penyebab dapat dilihat dengan pemeriksaan
histopatologi, pemeriksaan sdiaan langsung atau kultur jamur, misalnya
Aspergillus, Candiida, Hystoplasma, Fussarium dan Mucor 5.
Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya sekret mukopurulen, mungkin
terlihat ulkus atau perforasi pada septum disertai dengan jaringan nekrotik berwarna
kehitaman (black eschar) 5.
Untuk rinitis jamur non-invasif, terapinya dengan mengangkat seluruh
gumpalan jamur.pemberian obat jamur sistemik maupun topikal tidak diperlukan.
Terapi untuk rinitis jamur invasif adalah mengeradikasi agen penyebabnya dengan
pemberian anti jamur oral dan topikal. Cuci hidung dan pembersihan hidung secara
rutin dilakukan untuk mengangkat krusta. Bagian yang terinfeksi dapat pula diolesi
dengan gentian violet. Untuk infeksi jamur invaif, kadang – kadang diperlukan
debridement seluruh jaringan yang nekrotik dan tidak sehat. Kalau jaringan
nekrotik sangat luas, dapat terajdi destruksi yang memerlukan tindakan
rekonstruksi 5.

8. Rinitis Tuberkulosa
Rinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra
pulmoner. Seiring dengan peningkatan kasus tuberkulosis (new emerging disease)
yang berhubungan dengan kasus HIV-AIDS, penyakit ini harus diwaspadai
keberadaannya. Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama
mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi 5.
Pada pemeriksaan klinis terdapat sekret mukopurulen dan krusta, sehingga
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan dengan

56
ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret hidung. Pada pemeriksaan
histopatologi ditemukan sel datia Langhans dan limfositosis 5.
Pengobatan diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung 5.

9. Rinitis sifilis
Penyakit ini sudah jarang ditemukan. Penyebab rinitis sifilis adalah kuman
Treponema pallidum. Pada rinitis sifilis yang primer dan sekunder gejalanya serupa
dengan rinitis akut lainnya, hanya mungkin dapat terlihat adanya bercak/bintik pada
mukosa. Pada rinitis sifilis tersier dapat ditemukan gumma atau ulkus, yang
terutama mengenai septum nasi dan mengakibatkan perforasi septum 5.
Pada pemeriksaan klinis didapatkan sekret mukopurulen yang berbau dan
krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik dan biopsi 5.
Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung. Dan krusta
harus dibersihkan secara rutin 5.

10. Rinoskelroma
Penyakit infeksi granulomatosa kronik pada hidung yang disebabkan
Klebsiella rhinoscleromatis. Penyakit ini endemis di beberapa negara termasuk
indonesia yang kasusnya ditemukan di Indonesia Timur 5.
Perjalanan penyakitnya terjadi dalam 3 tahapan ;
1) Tahap kataral atau atrofi.
2) Tahap granulomatosa
3) Tahap sklerotik
Diagnosis rinoskelroma mudah ditegakkan di daerah endemis, tapi ditempat
non endemis perlu diagnosis banding dengan penyakit granulomatosa lainnya.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan bakteriologik dan
gambaran histopatologi yang sangat khas dengan adanya sel – sel Mikulicz
(Wardani, 2012).
Penatalaksanaannya mencakup terapi antibiotik jangka panjang serta
tindakan bedah untuk obstruksi pernapasan. Antibiotik direkomendasikan antara

57
lain tetrasiklin, kloramfenikol, trimetropim-sulfametoksazol, siprofloksasin,
klindamisin, sefalosporin. Pemberian antibiotik palingkurang selama 4 minggu, ada
yang sampai berbulan – bulan 5.
Operasi diperlukan untuk mengangkat jaringan granulasi dan sikatriks.
Seringkali juga perlu dilakukan operasi plastik untuk memperbaiki jalan napas atau
deformitas 5.
Penyakit ini jarang bersifat fatal kecuali bila menyumbat saluran napas,
tetapi rekurensinya tinggi, terutama bila pengobatan tidak tuntas 5.

11. Myiasis Hidung (Larva di dalam hidung)


Merupakan masalah umum untuk daerah tropis, ialah adanya infestasi larva
lalat dalam rongga hidung. Lalat Chrysomia Bezziana dapat bertelur di organ atau
jaringan tubuh manusia, yang kemudian menetas menjadi larva (ulat=belatung).
Sering terjadi pada luka yang bernanah, luka terbuka, terutama jaringan nekrotik
dan dapat mengenai setiap lubang atau rongga, seperti mata, telinga, hidung, mulut,
vagina dan anus. Faktor predisposisinya rhinitis atrofi dan keganasan 5.
Perubahan patologis yang terjadi tergantung dari kebiasaan makan ulat
tersebut, ulat membuat lubang sehingga dapat masuk ke dalam jaringan. Gejala
klinis yang terlihat, hidung dan muka menjadi bengkak dan merah, yang dapat
meluas ke dahi dan bibir. Terjadi obstruksi hidung sehingga bernapas melalui mulut
dan suara sengau. Dapat menjadi epitaksis dan mungkin ada ulat yang keluar dari
hidung 5.
Pada pemeriksaan rinoskopi terlihat banyak jaringan nekrotik di rongga
hidung, adanya ulserasi membrane mukosa dan perforasi septum. Sekret purulen
berbau busuk. Pada kasus yang lanjut menyebabkan sumbatan duktus
nasolakrimalis dan perforasi palatum. Ulat dapat merayap ke dalam sinus atau
menembus ke intrakranial 5.
Pemeriksaan nasoendoskopi memperlihatkan keadaan rongga hidung lebih
jelas tetapi seringkali ulatnya tidak terlihat karena larva cenderung menghindari
cahaya. Pada pemeriksaan tomografi computer dapat terlihat bayangan ulat yang
bersegmen – segmen di dalam sinus 5.

58
Penderita myiasis sebaiknya dirawat di rumah sakit. Diberikan antibiotika
spectrum luas atau sesuai kultur. Untuk pengobatan local pada hidung, dianjurkan
pemakaian kloroform dan minyak terpentin dengan perbandingan 1:4, diteteskan ke
dalam rongga hidung, dilanjutkan dengan pengangkatan ulat secara manual
menggunakan cunam 5.
Komplikasi dapat terjadi hidung pelana, perforasi septum, sinus paranasal,
radang orbita dan perluasan ke intracranial. Kematian dapat disebabkan oleh sepsis
dan meningitis 5.

59
EPISTAKSIS

Definisi
Epistaksis atau perdarahan dari hidung adalah keluarnya darah dari hidung
yang merupakan keluhan atau tanda bukan penyakit. Perdarahan yang terjadi adalah
kelainan setempat atau penyakit umum. Penting sekali mencari asal perdarahan dan
menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan mengobati penyebab
yang mendasarinya.
Epistaksis sering ditemukan sehari- hari dan hampir 90% dapat berhenti
dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh
pasien sendri dengan menekan hidungnya. Epistaksis berat walaupon jarang
dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien bahkan dapat berakibat fatal
bila tidak segera ditolong.
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bahagian anterior
dan bahagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach
atau dari arteri ethmoidalis anterior sedangkan epistaksis posterior dapat berasal
dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior.
Epistaksis biasanya terjadi secara tiba- tiba yang perdarahannya bisa banyak
atau bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu ke dokter.
Sebahagian darah keluar melalui hidung atau dimuntahkan kembali.

Etiologi
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.
1. Penyebab lokal :
a. Idopatik (85% kasus) biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang
pada anak dan remaja.
b. Trauma ; epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengorek
hidung, bersin, mengeluarkan ingus dengan kuat, atau sebagai akibat trauma
yang hebat seperti terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas.
c. Iritasi ; epistaksis juga timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia,
udara panas pada mukosa hidung.
d. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi,
tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.
e. Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral
disertai ingus yang berbau busuk.
f. Infeksi, misalnya pada rhinitis, sinusitis akut maupun kronis serta
vestibulitis.
g. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal
maupun nasofaring.
h. Iatrogenic, akibat pembedahan atau pemakaian semprot hidung steroid
jangka lama.
2. Penyebab sistemik :
a. Penyakit kardiovaskular, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah,
seperti yang dijumpai pada arteriosclerosis, nefritis kronis, sirosis hepatic,
sifilis dan diabetes mellitus. Epistaksis juga dapat terjadi akibat peninggian
tekanan vena seperti pada emfisema, bronchitis, pertusis, pneumonia, tumor
leher dan penyakit jantung. Epistaksis juga dapat terjadi pada pasien yang
mendapat obat anti koagulan (aspirin, walfarin, dll).
b. Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili,
demam tifoid.
c. Kelainan endokrin misalnya pada kehamilan, menarche, menopause.
d. Kelainan congenital, biasanya yang sering menimbulkan epistaksis
adalah hereditary haemorrhagic teleangiectasis atau penyakit Osler-
Weber-Rendu.
Patofisiologi
Terdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anterior dan posterior. Pada
epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering
terjadi dan biasanya pada anak-anak) yang merupakan anastomosis cabang arteri
ethmoidalis anterior, arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor dan arteri labialis
superior.
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan
arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia

61
lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler.
Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia, akibatnya
dapat timbul iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga
dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu pemberian infuse dan tranfusi darah
harus cepat dilakukan.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menilai keadaan umum penderita,
sehingga pengobatan dapat cepat dan untuk mencari etiologi. Pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi
hemostatis, uji faal hati dan faal ginjal. Jika diperlukan pemeriksaan radiologik
hidung, sinus paranasal dan nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut dapat
diatasi.

Penatalaksanaan
Pertama-tama keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis
singkat sambil mempersiapkan alat, kemudian yang lengkap setelah perdarahan
berhenti untuk membantu menentukan sebab perdarahan.
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang
cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut :
1. riwayat perdarahan sebelumnya
2. lokasi perdarahan
3. apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior)
ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
4. lama perdarahan dan frekuensinya
5. kecenderungan perdarahan
6. riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. hipertensi
8. diabetes mellitus
9. penyakit hati

62
10. gangguan anti koagulan
11. trauma hidung yang belum lama
12. obat-obatan misalnya aspirin, fenilbutazon (butazolidin).
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada
syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.
Dampak hilangnya darah harus ditentukan terlebih dahulu sebelum melakukan
usaha mencari sumber perdarahan dan menghentikannya. Walaupun sudah
dihentikan, kemungkinan fatal untuk beberapa jam kemudian untuk seorang pasien
tua yang mengalami perdarahan banyak akibat efek kehilangan darahnya adalah
lebih besar jika dibanding dengan akibat perdarahan (yang terus berlangsung) itu
sendiri. Penilaian klinis termasuk pengukuran nadi dan tekanan darah akan
menunjukkan apakah pasien berada dalam keadaan syok. Bila ada tanda-tanda syok
segera infus plasma expander.

Menghentikan perdarahan.
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan
tampon, lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu
epistaksis berhenti dengan sendirinya.
Posisi penderita sangat penting, sering terjadi pasien dengan perdarahan
hidung harus dirawat dengan posisi tegak agar tekanan vena turun. Sedangkan kalau
sudah terlalu lemah, dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang
punggungnya, kecuali sudah dalam keadaan syok.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk
membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah
dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2 % dimasukkan
ke dalam rongga hidung, untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa
nyeri pada waktu tindakan-tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3-5
menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di
bagian anterior atau posterior.

63
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kiesselbach di septum
bagian depan. Perdarahan anterior terutama pada anak dapat coba dihentikan
dengan menekan hidung dari luar selama 10- 15 menit, tindakan ini walaupun
terlihat sederhana tetapi sering berhasil. Bila sumbernya terlihat, tempat asal
perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30%, atau dengan larutan
Asam Trikloroasetat 10%, atau dapat juga dengan elektrokauter.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau
salep antibiotik. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon
tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut.
Tampon dimasukkan melalui nares anterior sebanyak 2-4 buah dan harus dapat
menekan tempat asal perdarahan. Tampon ini dapat dipertahankan selama 2x24 jam
dan harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.
Bila hanya memerlukan tampon hidung anterior dan tanpa adanya gangguan
medis primer, pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan diberitahu
untuk duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala sedikit ditinggikan
pada malam hari. Pasien tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.
Perdarahan posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi
perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon
Bellocq.
Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter
kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi
dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares
posterior).
Untuk memasang tampon posterior ini kateter karet dimasukkan melalui
kedua nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut.
Kedua ujung kateter kemudian dikaitkan masing-masing pada 2 buah benang pada
tampon Bellocq, kemudian kateter itu ditarik kembali melalui hidung. Kedua ujung
benang yang sudah keluar melalui nares anterior kemudian ditarik dan dengan
bantuan jari telunjuk, tampon ini didorong ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika

64
masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan
tampon anterior ke dalam cavum nasi. Kedua benang yang keluar dari anres anterior
itu kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung,
supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat di
rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq, dilakatkan pada pipi pasien.
Gunanya adalah untuk menarik tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari. Obat
hemostatik diberikan juga di samping tindakan penghentian perdarahan itu.
Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan
pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Arteri
tersebut antara lain arteri karotis interna, arteri maksilaris interna, arteri
sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior dan anterior.

Mencegah komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis sendiri atau
sebagai akibat usaha penanggulangan epistaksis.
Sebagai akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi syok dan anemia.
Turunnya tekanan darah mendadak dapat menimbulkan iskemia serebri,
insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan
septikemia. Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan pada setiap
pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut, meskipun
akan dipasang tampon baru, bila masih ada perdarahan.
Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum, sebagai akibat mengalirnya
darah melalui tuba Eustachius, dan air mata yang berdarah (bloody tears), sebagai
akbat mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis.
Laserasi palatum mole dan sudut bibir terjadi pada pemasangan tampon
posterior, disebabkan oleh benang yang keluar melalui mulut terlalu ketat
dilakatkan di pipi.

65
Mencegah epistaksis berulang
Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan
aktif, namun mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu
terakhir. Biasanya berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali.
Pemeriksaan hidung dalam keadaan ini dapat mengungkap adanya
pembuluh-pembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan sedikit
bekuan darah. Pembuluh tersebut dapat dikauterisasi secara kimia atau listrik.
Penggunaan anestetik topical dan agen vasokonstriktor, misalnya larutan kokain
4% atau Xilokain dengan epinefrin, selanjutkan lakukan kauterisasi, misalnya
dengan larutan asam trikloroasetat 50% pada pembuluh tersebut.
Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi
dengan meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata
dirinya sendiri, atau dengan merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk
menghilangkan daerah-daerah atrofi setempat dan lokasi tegangan mukosa.
Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak
diketahui, dokter harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus paranasalis
yang mengikis pembuluh darah. Sinusitis kronik merupakan penyebab lain yang
mungkin. Akhirnya pemeriksa harus mencari gangguan patologik yang terletak
jauh seperti penyakit ginjal dan uremia, atau penyakit sistemik seperti gangguan
koagulasi. Agar epistaksis tidak berulang, haruslah dicari dan diatasi etiologi dari
epistaksis.
Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan
fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT-
scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan
Anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.

66
GANGGUAN PENGHIDU
Kemampuan penghidu normal didefinisikan sebagai normosmia. Gangguan
penghidu dapat berupa 2:
 Anosmia yaitu hilangnya kemampuan menghidu.
 Agnosia yaitu tidak bisa menghidu satu macam odoran.
 Parsial anosmia yaitu ketidak mampuan menghidu beberapa odoran
tertentu.
 Hiposmia yaitu penurunan kemampuan menghidu baik berupa sensitifitas
ataupun kualitas penghidu.
 Disosmia yaitu persepsi bau yang salah, termasuk parosmia dan phantosmia.
Parosmia yaitu perubahan kualitas sensasi penciuman, sedangkan
phantosmia yaitu sensasi bau tanpa adanya stimulus odoran/ halusinasi
odoran.
 Presbiosmia yaitu gangguan penghidu karena umur tua.

Etiologi Gangguan Penghidu


Penyebab gangguan penghidu dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu
gangguan transpor odoran, gangguan sensoris, dan gangguan saraf. Gangguan
transpor disebabkan pengurangan odoran yang sampai ke epitelium olfaktorius,
misalnya pada inflamasi kronik dihidung. Gangguan sensoris disebabkan kerusakan
langsung pada neuroepitelium olfaktorius, misalnya pada infeksi saluran nafas atas,
atau polusi udara toksik. Sedangkan gangguan saraf disebabkan kerusakan pada
bulbus olfaktorius dan jalur sentral olfaktorius, misalnya pada penyakit
neurodegeneratif, atau tumor intrakranial 2.
Penyakit yang sering menyebabkan gangguan penghidu adalah trauma
kepala, infeksi saluran nafas atas, dan penyakit sinonasal 3.
a. Trauma kepala
Trauma kepala dapat menyebabkan kehilangan sebagian atau
seluruh fungsi penghidu. Hal ini disebabakan kerusakan pada epitel
olfaktorius dan gangguan aliran udara dihidung. Adanya trauma
menyebabkan hematom pada mukosa hidung, atau luka pada epitel
olfaktorius. Kerusakan dapat terjadi pada serat saraf olfaktorius,
bulbus olfaktorius dan kerusakan otak di regio frontal, orbitofrontal,
dan temporal. Prevalensi gangguan penghidu yang disebabkan
trauma kepala terjadi ±15-30% dari kasus gangguan penghidu.
b. Infeksi saluran nafas atas
Infeksi saluran nafas atas yang sering menyebabkan gangguan
penghidu yaitu common cold. Kemungkinan mekanismenya adalah
kerusakan langsung pada epitel olfaktorius atau jalur sentral karena
virus itu sendiri yang dapat merusak sel reseptor olfaktorius.
Prevalensi gangguan penghidu yang disebabkan oleh infeksi saluran
nafas atas ±11-40% dari kasus gangguan penghidu. Gangguan
penghidu yang disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas tidak
seberat gangguan penghidu yang disebabkan trauma kepala.
c. Penyakit sinonasal
Gangguan penghidu pada penyakit sinonasal seperti rinosinusitis
kronik atau rinitis alergi disebabkan inflamasi dari saluran nafas
yang menyebabkan berkurangnya aliran udara dan odoran yang
sampai ke mukosa olfaktorius. Gangguan penghidu pada
rinosinusitis kronik dan rinitis alergi dapat berupa gangguan
konduktif atau saraf. Perubahan pada aliran udara di celah
olfaktorius yang disebabkan rinosinusitis kronik yaitu edem atau
adanya polip yang menyebabkan gangguan konduksi.
Inflamasi pada epitel olfaktorius menghasilkan mediator inflamasi yang
akan merangsang hipersekresi dari kelenjar bowman’s. Hal ini akan mengubah
konsentrasi ion pada mukus olfaktorius yang akan mengganggu pada tingkat
konduksi atau transduksi. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh limfosit,
makrofag, dan eosinofil yaitu sitokin yang bersifat toksik terhadap reseptor neuron
olfaktorius. Disini yang terlibat adalah proses di saraf. Proses inflamasi kronik bisa
menyebabkan kerusakan permanen pada reseptor olfaktorius.11,14,18 Hasil
penelitian Chang, pada pasien rinosinusitis kronik didapatkan 21%-25% anosmia.
Guilermany, mendapatkan pasien dengan rinitis alergi persisten sedang berat yang

68
mengalami hiposmia sebesar 84,8%, dan rinitis alergi persisten ringan yang
mengalami hiposmia sebesar 20% 4.
Penyakit lain yang menyebabkan gangguan penghidu adalah penyakit
endokrin (hipotiroid, diabetes melitus, gagal ginjal, penyakit liver), Kallmann
syndrome, penyakit degeneratif (alzheimer, parkinson, multipel sklerosis), pasca
laringektomi, paparan terhadap zat kimia toksik, peminum alkohol, skizofrenia,
tumor intranasal atau intrakranial 4.
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap fungsi penghidu adalah usia.
Kemampuan menghidu akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Ada
banyak teori yang menerangkan penyebab gangguan penghidu pada orang tua,
diantaranya terjadi perubahan anatomi pengurangan area olfaktorius, pengurangan
jumlah sel mitral pada bulbus olfaktorius, penurunan aktivasi dari korteks
olfaktorius. Gangguan penghidu pada usia lebih dari 80 tahun sebesar 65%.23
Penelitian lain mendapatkan gangguan penghidu pada usia lebih dari 50 tahun
sebesar 24%. Doty, pada peneitiannya menyatakan terdapatnya penurunan
penghidu yang signifikan pada usia lebih dari 65 tahun 4.
Ganguan penghidu lebih sering ditemukan pada jenis kelamin perempuan
dibandingkan laki-laki. Pada penelitian Rouby, ditemukan gangguan penghidu
hiposmia ditemukan pada 61% wanita dan 39% laki-laki. Gangguan penghidu juga
ditemukan pada perokok. Disini temukan kerusakan dari neuroepitel olfaktorius.
Pada analisis imunohistokimia ditemukan adanya apoptosis proteolisis pada
neuroepitel olfaktorius. Obat-obatan dan polusi udara juga berpengaruh terhadap
fungsi penghidu seperti obat kanker, antihistamin, anti mikroba, anti tiroid dan lain
lain. Polusi udara yang berpengaruh yaitu aseton, gas nitrogen, silikon dioksida,
dan lain-lain 3.

Pemeriksaan Fungsi Penghidu


Dalam menentukan diagnosis dan untuk menyingkan dari diagnosis
pembandingnya, diperlukan pemeriksaan yang holistik kepada pasien. Pada
pemeriksaan fungsi penghidu dapat dilakukan melalui beberapa tahap dan beberapa
car 4:

69
a. Anamnesis
Anamnesis sangat diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis
gangguan penghidu. Pada anamnesis ditanyakan riwayat trauma kepala,
penyakit sinonasal, dan infeksi saluran nafas atas, riwayat penyakit
sistemik, riwayat penyakit neurodegeneratif, kebiasaan merokok, dan
semua faktor yang bisa menyebabkan gangguan penghidu.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik THT meliputi pemeriksaan hidung dengan rinoskopi
anterior, posterior dan nasoendoskopi untuk menilai ada atau tidaknya
sumbatan di hidung, seperti inflamasi, polip, hipertrofi konka, septum
deviasi, penebalan mukosa, dan massa tumor akan mempengaruhi proses
transport odoran ke area olfaktorius.
c. Pemeriksaan pencitraan.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan kelainan intrakranial
dan evaluasi kondisi anatomis dari hidung, misalnya pada kasus tumor
otak atau kelainan dihidung. Pemeriksaan foto polos kepala tidak banyak
memberikan data tentang kelainan ini. Pemeriksaan tomografi komputer
merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk memperlihatkan
adanya massa, penebalan mukosa atau adanya sumbatan pada celah
olfaktorius. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk kelainan pada jaringan
lunak. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada kecurigaan adanya tumor.
d. Pemeriksaan kemosensoris penghidu.
Pemeriksaan kemosensoris penghidu yaitu pemeriksaan dengan menggunakan
odoran tertentu untuk merangsang sistem penghidu. Ada beberapa jenis
pemeriksaan ini, diantaranya tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell
Identification), Tes The Connectitut Chemosensory Clinical Research, Center
(CCCRC), Tes “Sniffin Sticks”, Tes Odor Stick Identification Test for Japanese
(OSIT-J) 3.

70
TUMOR SINUNASAL
Definisi
Tumor sinunasal adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung
dan lesi yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung
luar dan vestibulum nasi. Tumor sinunasal sering tidak diketahui sejak dini karena
letaknya yang terlindung dan sulit dideteksi. Gejala awalnya pun tidak spesifik
seperti hidung tersumbat, epistaksis, atau nyeri wajah 2.
Klasifikasi Tumor sinunasal dibagi menjadi 2, yaitu Tumor sinunasal ganas
dan Tumor sinunasal jinak. Contoh tumor jinak adalah papilloma squamosa,
displasia fibros dan angiofibroma. Sedangkan contoh tumor ganas adalah
melanoma, karsinoma adenoid kistik, dan karsinoma sel squamosa 2.
Tumor sinunasal mengakibatkan kavum nasi semakin menyempit. Hal ini
akan berakibat pada tahanan hidung yang meningkat sehingga aliran udara
terhambat dan semakin sempit yang akhirnya menyebabkan sumbatan hidung 2.

Etiologi
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga
beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu
kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropl dan lain-lain. Pekerja di bidang
ini mengalami peningkatan risiko untuk terjadinya keganasan sinonasal. Alkohol,
asap rokok, makanan yang diasinkan atau diasap diduga meningkatkan
kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi
kemungkinan terjadi keganasan. Jenis histologis yang paling umum adalah
karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar 70% kasus. Gejala klinis yang paling
sering adalah obstruksi hidung dan epistaksis. Selain akibat pekerjaan, ada yang
menganggap bahwa sinusitis kronis dapat menyebabkan metaplasia yang kemudian
menjadi karsinoma sel skuamosa pada sinonasal 3.
Gejala Klinis
Menurut Roezin, gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan
perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul
setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke
rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau intrakranial. Gejala nasal berupa
obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya sering bercampur darah atau
terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi
deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung
jaringan nekrotik. Pada gejala orbital ada perluasan tumor ke arah orbita
menimbulkan gejala diplopia, proptosis (penonjolan bola mata), oftalmoplegia,
gangguan visus, dan epifora 3.
Pada gejala oral dapat disertai perluasan tumor ke rongga mulut
menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien
mengeluh gigi palsunya tidak tepat melekat atau gigi geligi goyang. Sering kali
pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi
yang sakit telah dicabut. Pada pasien dengan gejala fasial adanya perluasan tumor
ke area wajah dimana akan menyebabkan penonjolan pipi. Gejala dapat disertai
nyeri, hilang sensasi (anesthesia atau parastesia) jika mengenai nervus trigeminus.
Sementara perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia, dan gangguan visus, yang dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak
yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf
otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat
terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang
dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis 3.

72
Diagnosis
Tujuan utama pemeriksaan adalah untuk mengetahui seberapa jauh
perluasan tumor, sehingga dapat merencanakan pengobatan dan mengevaluasi
prognosisnya 3.
a. Anamnesis
Perlu ditanyakan adalah hiperestesia atau anestesia di daerah pipi,
adanya massa atau radang di daerah muka, rasa kebas atau keluhan gigi
goyang, adakah gigi palsu yang tidak terfiksasi dengan baik lagi,
penglihatan ganda, kesulitan membuka mulut, keluhan hidung
tersumbat, sekret atau mengeluarkan darah, keluhan nyeri kepala,
perubahan keperibadian, gangguan penciuman atau keluarnya air mata
terusmenerus 3.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama, dengan penekanan
pada regio sinonasal, orbita dan syaraf-syaraf kranial, dan juga harus
dilakukan endoskopi nasal. Meskipun bukan patognomonik, mati rasa
(kebas) atau hiperestesia syaraf infraorbital (V2) atau supraorbital (V3)
secara kuat merupakan dugaan invasi keganasan. Temuan-temuan lain
seperti proptosis, kemosis, kelemahan otot ekstraokular, dan adanya
massa di pipi, gingival atau sulkus ginggivo-bukal juga sangkaan
adanya tumor sinonasal 3.
c. Gambaran radiologi
Pencitraan radiologi penting untuk menentukan staging. Foto X-Ray
(Plain film) dapat menunjukkan destruksi tulang. Meskipun demikian
pada beberapa kasus dapat menunjukkan keadaan normal 3.
Computerized Tomography Screening (CT scan) lebih akurat daripada
foto sinar-X untuk menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih
murah daripada foto sinar-X. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat
terpapar karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial,
eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan gejala persisten
setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan

73
pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT scan merupakan pemeriksaan
superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang
tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor,
vaskularisasi, dan hubungannya dengan arteri karotid.
MRI dipergunakan untuk membedakan tumor dengan jaringan lunak
sekitarnya, membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari
space occupying lesion (SOL), menunjukkan penyebaran perineural,
membuktikan keunggulan imaging pada sagital plane, dan tidak
melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image
terdepan untuk mengevaluai foramen rotundum, vidian canal, foramen
ovale dan kanal optik. Sagital image berguna untuk menunjukkan
replacement signal berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave
signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam fossa pterygopalatine
oleh signal tumor yang mirip dengan otak 4.
d. Biopsi
Diagnosis suatu tumor berdasarkan hasil histopatologi biopsi tumor.
Untuk mengambil biopsi dari Tumor sinunasal tidaklah sulit. Jaringan
langsung diambil sedikit dengan tang biopsi dan perdarahan yang
timbul biasanya cukup diatasi dengan tampon anterior. Biopsi tumor
sinus maksila biasanya dilakukan melalui pendekatan Caldwell-Luc,
yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal. Biopsi tumor sinus
etmoid biasanya diambil dari perluasan tumor di rongga hidung atau di
kantus medius. Biopsi tumor sinus sfenoid dilakukan melalui pendekatn
transnasal, tetapi sering kali biopsy didapat dari perluasan tumor ke
nasofaring atau rongga hidung. Biopsi tumor sinus frontal dilakukan
dengan insisi supraorbital dan osteotomi 4.

74
Klasifikasi Tumor sinunasal
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa diikuti oleh inverted
papilloma dimana ini bersifat sangat invasif, dapat merusak jaringan di sekitarnya
serta sangat cenderung untuk menetap dan dapat berubah menjadi ganas.
Karsinoma sel skuamosa merupakan gambaran histopatologi yang paling sering
pada keganasan sinonasal (70%), dimana sinus maksila adalah yang tersering
terkena (65%-80%), disusul sinus etmoid (15%-25%), sedangkan sinus sfenoid dan
frontal jarang terkena 4.

Tabel 7. Klasifikasi jenis tumor sinunasal


Jinak Ganas
 Squamous papilloma  Carcinoma
 Inverted papilloma  Squamous cell carcinoma
 Pleomorphic adenoma  Adenocarcinoma
 Schwannoma  Malignant melanoma
 Meningioma  Olfactory neuroblastoma
 Haemangioma  Haemangiopericytoma
 Chondroma  Lymphoma
 Angiofibroma  Solitary plasmacytoma
 Encephalocele  Various type of sarcoma
 Glioma
 Demoid

A. Tumor jinak sinunasal


1. Papiloma Skuamosa
Lesi verrucous mirip dengan kutil kulit yang berasal dari nasal vestibule
atau bagian bawah dari septum hidung, dapat tunggal atau multiple,
pedunkulata atau sessile. Pengobatan eksisi lokal dengan kateterisasi

75
dari dasar untuk mencegah rekurensi (kekambuhan). Tumor ini juga
dapat diterapi dengan cryosurgery atau laser 4.
2. Inverted Papilloma
Kebanyakan tumor terlihat pada usia antara 40-70 tahun dan lebih
sering pada laki-laki dibanding wanita (5:1). Tumor ini juga bersifat
sangat invasif, dapat merusak jaringan di sekitarnya serta sangat
cenderung untuk menetap dan dapat berubah menjadi ganas. Tumor ini
berasal dari dinding lateral hidung dan seringnya pada unilateral
(Nagel, 2012). Ditandai dengan massa merah atau keabu-abuan, dapat
menyebabkan edema, seperti polip nasal. Inverted papilloma memiliki
kecenderungan untuk timbul lagi setelah operasi pengangkatan dan
mungkin terkait dengan karsinoma sel skuamosa 10-15% dari kasus
tumor ini. Terapinya dengan eksisi bedah luas rhinotomi lateral atau
maksilektomi medial dan en bloc ethmoidectomy 4.
3. Pleomorphic adenoma
Tumor yang biasa terjadi, biasanya timbul dari septum hidung.
Terapinya dengan bedah eksisi yang luas
4. Schwannoma dan Meningioma
Tumor ini sangat jarang ditemukan pada intranasal. Terapinya adalah
dengan eksisi bedah dengan rhinotomi lateral
5. Haemangioma
Menurut Sukardja (2000) tumor jinak yang berasal dari pembuluh
darah. Tumor ini berwarna merah atau merah kebiru-biruan.
Haemangioma kapiler (pendarahan polip pada septum) memiliki ciri
lembut, merah tua, tumor pedunkulata atau sessile berasal dari bagian
anterior septum hidung. Biasanya dapat menjadi ulserasi dan hadir
dengan epistaksis berulang dan obtruksi pada hidung. Terapi dengan
local excision dengan mengunakan cuff sekitarnya
mucoperichondrium. Sedangkan jenis lain adalah haemangioma
kavernosum. Ini berasal dari perbatasan pada dinding lateral hidung.

76
Terapinya adalah eksisi bedah dengan cryotherapy awal. Lesi yang luas
mungkin memerlukan radioterapi dan eksisi bedah 4.

Gambar 11. Hemangioma


6. Kondroma
Tumor ini dapat timbul di sinus etmoid, rongga hidung atau septum
hidung. Kondroma ini biasanya halus, tegas dan berlobul. Ada juga
yang bercampur dengan tipe lain seperti fibro, osteo, atau
angiokondromas. Tumor ini diterapi dengan eksisi bedah. Untuk tumor
yang berulang atau besar, eksisi luas harus dilakukan karena
kecenderungan untuk berubah menjadi ganas setelah kejadian tumor
yang berulang 4.
7. Angiofibroma
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak
diajukan. Salah satu di antaranya adalah teori jaringan asal, yaitu
pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di
dinding posterolateral atap rongga hidung. Tumor jinak angiofibroma
nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang mengisi rongga
hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus patanasal dan
mendorong bola mata ke anterior 4.
8. Glioma
Dari semua glioma, 30% adalah intranasal dan 10% terdiri dari intra
dan extranasal. Biasanya terlihat pada bayi dan anak-anak. Glioma
intranasal muncul sebagai polip yang tegas, kadang-kadang menonjol
pada nares anterior 4.

77
9. Dermoid Nasal
Tumor ini tampak seperti perluasan septum pada atas bagian superior
hidung dengan penyebaran pada tulang nasal dan hypertelorism. Sinus
bisa terlihat di tengah dorsum nasal dengan rambut yang menonjol dari
permukaannya 4.

B. Tumor ganas sinunasal


1. Karsinoma Sel Skuamosa
Menurut Barnes (2005) karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma
epitelial maligna yang berasal dari epitelium mukosa kavum nasi atau
sinus paranasal termasuk tipe keratinizing dan non keratinizing.
Karsinoma sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus
maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%)
dan sinus sfenoid dan frontal (sekitar 1%). Secara makroskopik,
karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic, fungating
atau papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau
indurated, demarcated atau infiltratif 4.
 Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel
skuamosa dari lokasi mukosa lain pada daerah kepala dan leher.
Ditemukan diferensiasi skuamosa, di dalam bentuk keratin
ekstraseluler atau keratin intraseluler (sitoplasma merah muda,
sel-sel diskeratotik) dan/atau intercellular bridges. Tumor
tersusun di dalam sarang-sarang, massa atau sebagai kelompok
kecil selsel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan tidak
beraturan. Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik.
Karsinoma ini terbagi atas diferensiansi baik, sedang atau
buruk.
 Mikroskopik Non-Keratinizing (Cylindrical Cell, transitional)
Carcinoma

78
Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal
yang dikarakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like
growth pattern. Tumor dapat menginvasi ke dalam jaringan
dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini berdiferensiasi
sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal sebagai
skuamosa dan harus dibedakan dari olfactory neuroblastoma
atau karsinoma neuroendokrin.
 Undifferentiated Carcinoma
Undifferentiated carcinoma merupakan karsinoma yang jarang
ditemukan, sangat agresif dan histogenesisnya tidak pasti.
Undifferentiated carcinoma berupa massa yang cepat
memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran
sinonasal) dan melampaui batas-batas anatomi dari saluran
sinonasal. Gambaran mikroskopik berupa proliferasi
hiperselular dengan pola pertumbuhan yang bervariasi,
termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita, lobular, dan
organoid. Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar dan
bentuk bulat hingga oval dan memiliki inti sel pleomorfik dan
hiperkromatik, anak inti menonjol, sitoplasma eosinofilik, rasio
inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan
gambaran mitosis atipikal, nekrosis tumor dan apoptosis.
Pemeriksaan tambahan seperti imunohistokimia, mikroskop
elektron dan biologi molekuler seringkali diperlukan dalam
diagnosis undifferentiated carcinoma dan dapat membedakan
keganasan ini dari neoplasma ganas lainnya 4.

2. Adenokarsinoma
Adenokarsinoma mempunyai asosiasi epidemiologi pada tukang kayu,
pembuat perabut dan tukang pengrajin kulit. Biasanya tampak pada
bagian atas rongga hidung serta pada sinus etmoid. Adenokarsinoma

79
lebih cenderung terhadap progresif lokal yang ganas dan diobati dengan
en bloc recsection bila diperlukan 3.
3. Melanoma Maligna
Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara pria dan wanita. Secara makroskopik, massa polipoid
berwarna keabu-abuan atau hitam kebiru-biruan ditemui pada 45%
kasus. Di dalam kavum nasi, lokasi yang sering ditemukan melanoma
maligna ini adalah daerah posterior septum nasal diikuti dengan
turbinate medial dan inferior. Tumor menyebar melalui aliran darah
atau limfatik. Metastasis nodul servikal dapat ditemukan pada
pemeriksaan awal 3.
4. Olfaktori Melanoma
Tumor ini dijumpai pada semua usia, tidak ada perbedaan insidens pada
pria ataupun wanita. Tumor ini berwarna merah disertai massa
polipoidal di superior rongga hidung, merupakan tumor vaskular dan
tampak berdarah pada biopsi. Tumor ini mempunyai radiosensitif
sedang dan dapat terapi dengan radiasi saja 3.
5. Haemangiopericytoma
Tumor ini jarang dijumpai, berasal dari sel pericyte-a yang dikelilingi
kapiler. Tumor ini bisa tampak pada lingkungan umur 60-70 tahun dan
biasa disertai dengan epitaksis. Tumor ini juga bisa jinak ataupun ganas
tetapi tidak dapat dibedakan secara histologis. Terapinya adalah eksisi
bedah. Radioterapi digunakan untuk lesi yang bisa dioperasi atau
kambuh 3.
6. Plasmacytoma
Plasmacytoma ini biasanya mempengaruhi pria pada lingkungan usia
lebih dari 40 tahun. Terapinya adalah dengan radioterapi dikuti operasi
tiga bulan kemudian, jika penyembuhan total tidak terjadi. Follow-up
jangka waktu panjang adalah penting untuk menghindari
perkembangan myeloma multiple 3.

80
7. Sarcoma
Sarkoma osteogenik, chondrosarcoma, rhabdomyosarcoma,
angiosarcoma, histiocytoma ganas adalah tumor yang jarang
mempengaruhi rongga hidung 3.
10.1. Sistem staging dan klasifikasi TNM
Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang
terbaru adalah menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu:
Tumor Primer (T)
Sinus maksilaris
TX Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak tampak tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi
tulang (Gambar 2.2.1)
T2 Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau
meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan fossa
pterigoid (Gambar 2.2.2)
T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan
subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus
etmoidal (Gambar 2.2.3)
T4a Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa
infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal (Gambar
2.2.4 A,B)
T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa
kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus
trigeminal V2, nasofaring atau klivus.

81
Gambar 12. Stage T1 Gambar 13. Stage T2

Gambar 14. Stage T3 Gambar 15. Stage T4a

Gambar 16. Stage T4b

82
Tabel 8. Staging tumor.
Kavum Nasi dan Sinus Etmoidalis
TX Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak tampak tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang
(Gambar 2.2.6)
T2 Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan
Melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks, dengan atau tanpa invasi
tulang (Gambar 2.2.7)
T3 Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksilaris,
palatum atau fossa kribriformis (Gambar 2.2.8)
T4a Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung
ataupipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid, sinus
sfenoid atau frontal (Gambar 2.2.9)
T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa kranial
medial, nervus kranialis selain dari V2, nasofaring atau klivus (Gambar
2.2.10)

Gambar 17. Stage T1 Gambar 18. Stage T2

83
Gambar 19. Stage T3 Gambar 20.Stage T4a

Stage 21. Stage T4b

84
DAFTAR PUSTAKA

1. Netter, F.H. 2016. Atlas of Human Anatomy. 10th ed.Saunders Elsevier.


Philadelphia.pp.294.
2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke
lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2014.
3. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and Neck
Surgery-Otolaryngology. 5rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams &
Wilkins. Philadelphia. 273-9. 2016.
4. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke delapan.
McGrawl-Hill. 2015.
5. Sanico A, Togias A. Noninfectious, nonallergic rhinitis (NINAR). Dalam:
Lalwani KA,Ed. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery fifth edition. New York: Lange McGrawHill Comp, 2017.p. 112-
117.

85

Anda mungkin juga menyukai