Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

RHININTIS ALERGI + TONSILITIS KRONIS

PEMBIMBING:
dr. Markus Rambu, Sp.THT-KL

OLEH:
Luh Made Tantri Chandra Parwathi
H1A012029

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF


ILMU PENYAKIT THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM PROPINSI NTB
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Rhinitis alergi merupakan suatu kumpulan gejala kelainan hidung yang disebabkan
proses inflamasi yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) akibat paparan alergen pada
mukosa hidung. Rhinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang banyak ditemui dan
merupakan masalah kesehatan global. Di indonesia prevalensi 40% anak-anak, 10-30% dewasa.
Prevalensi tersebar pada usia 15-30 tahun.1,2,3 Gejala rhinitis alergi meliputi hidung gatal, bersin
berulang, cairan hidung yang jernih dan hidung tersumbat yang bersifat hilang timbul atau
reversibel, secara spontan atau dengan pengobatan. WHO melalui International Rhinitis
Management Working Group dan Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) pada tahun
2001 mengklasifikasikan rhinitis alergi berdasarkan tipenya yaitu intermiten dan persisten
dengan tingkat keparahan penyakit dibagi menjadi derajat ringan dan sedang-berat.1,2
Rhinitis sering terjadi berbarengan dengan adanya peradangan pada tonsil. Tonsil terdiri
dari jaringan limfoid yang diliputi oleh epitel skuamosa yang berisi beberapa kripta didalamnya.
Tonsil merupakan organ yang berada di daerah orofaring, beberapa jenis tonsil yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina, tonsil lingual, tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding
faring/Gerlach’s tonsil) yang membentuk cincin Waldeyer.4,5 Tonsilitis dapat terjadi secara akut
maupun kronis. Tonsillitis kronis tanpa diragukan merupakan penyakit yang paling sering dari
semua penyakit tenggorokan yang berulang. Gambaran klinisnya yang bervariasi, dan diagnosis
sebagian besar tergantung pada inspeksi.4,6 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim
spesialis telinga hidung dan tenggorokan di Jerman, prosedur tindakan operasi tonsil
(tonsilektomi) masih cukup sering dilakukan yaitu 28 dari 10.000 anak dan tonsilitis kronis lebih
banyak menyerang anak-anak dan remaja.7
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa rhinitis dan tonsilitis masih
merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian, sebab angka kejadiannya yang
cukup tinggi dan komplikasinya yang dapat menyebabkan masalah kesehatan yang cukup serius.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI HIDUNG


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah8,9:
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung

Gambar 1. Hidung bagian luar


Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari8,9:
1. Tulang hidung (os nasalis)
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontalis
Kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu :
1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor,
3) beberapa pasang kartilago alar minor dan
3
3. tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi
yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior.8

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan
krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.8

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior
dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral
hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga
meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat
muara (ostium) duktus nasolakrimalis.8

Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum
etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara
sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan
ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus

4
sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis,
yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat
pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika,
sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis interna.8

2.2. RHINITIS ALERGI


A. Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.1,2,3
Rhinitis alergi menurut ARIA WHO (2001) adalah kelainan pada hidung setelah
mukosa hidung terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.1,2,3
B. Epidemiologi
Rhinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan. Berdasarkan
studi epidemiologi, prevalensi rhinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10-20% dan secara
konstan meningkat dalam dekade terakhir. Usia rata-rata onset rhinitis alergi adalah 8-11
tahun, dan 80% rhinitis alergi berkembang saat usia 20 tahun. Biasanya rhinitis alergi timbul
pada usia muda (remaja dan dewasa muda). Dalam beberapa penelitian didapatkan bahwa
penderita rhinitis alergi lebih banyak ditemukan perempuan daripada laki-laki. Riwayat
keluarga atopi mempunyai prevalensi lebih besar daripada non atopi.1,2,
C. Patofisiologi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.2,3

5
Gambar 2. Patofisiologi Rhinitis Alergi

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL
1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. 2,3
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin. Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai

6
sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor)
dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 2,3
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
2,3

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-
CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. 2,3
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinis rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin yang berulang.
Bersin merupakan gejala normal, yang merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
pembersihan diri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih
dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada reaksi alergi fase cepat dan
kadang-kadang pada reaksi alergi fase lambat sebagai akibat pelepasan histamin.1,2,3
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-
kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang

7
diutarakan oleh pasien. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di
daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala
ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung
karena gatal dengan punggung hidung. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan
menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di
dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease. 1,2,3
E. Klasifikasi
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi2,3 :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi :
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
F. Penegakan diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi di hadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis saja. Hal yang
perlu ditanyakan adalah gejala utama yang menonjol, usia timbulnya gejala, frekuensi/ lama
dan beratnya serangan, pengaruh terhadap aktifitas dan tidur, faktor pencetus apakah di
dalam rumah, di sekolah, di tempat kerja, adakah hipereaktifitas hidung, faktor penyakit
atopi lain dan atopi dalam keluarga, serta riwayat pengobatan dan hasilnya.2,3
Gejala-gejala rhinitis yang perlu ditanyakan adalah:
 Adanya bersin-bersin lebih dari 5 kali (setiap kali serangan)
 Rinore (ingus bening, encer, dan banyak)
 Gatal di hidung, tenggorokan, langit-langit atau telinga
 Gatal di mata, berair dan kemerahan
 Hidung tersumbat(menetap/berganti-ganti)

8
 Hiposmia/anosmia
 Sekret di belakang hidung/post nasal drip atau batuk kronik
 Adanya variasi diurnal (memburuk pada pagi hari-siang dan membaik pada saat malam
hari)
 Penyakit penyerta: sakit kepala berhubungan dengan tekanan hidung dan sinus akibat
sumbatan yang berat, kelelahan, penurunan konsentrasi, gejala radang tenggorokan,
mendengkur, gejala sinusitis, gejala sesak nafas dan asma.
 Frekuensi serangan, lama sakit (intermiten/persisten), beratnya penyakit, efeknya pada
kualitas hidup seperti adanya gangguan pada pekerjaan, sekolah, berolahraga, bersantai
dan melakukan aktifitas sehari-hari.
Pada reaksi alergi fase cepat, gejala klinik yang menonjol adalah bersin-bersin, gatal,
rinore dan kadang-kadang hidung tersumbat, sedang pada reaksi alergi fase lambat gejala
yang dominan adalah hidung tersumbat, post nasal drip dan hiposmia. Perlu ditanyakan
riwayat atopi dalam keluarga, serta manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan
dengan rhinitis seperti asma bronkial, dermatitis atopi, urtikaria dan alergi terhadap
makanan. Sumber penting alergen di lingkungan pasien juga ditanyakan seperti bagaimana
kualitas udara dan sistem ventilasi dirumah maupun di lingkungan kerja, adanya binatang
peliharaan, tipe lantai, keadaan kamar mandi dan ruang bawah tanah sebagai gudang (bila
ada). Faktor pemicu timbulnya gejala juga perlu ditanyakan seperti lingkungan di rumah,
kamar tidur, tempat kerja, sekolah, kegemaran atau hobi yang dapat mimicu terjadinya
gejala. Bila pasien alergi terhadap debu rumah, gejala memburuk di dalam rumah dan
membaik di luar rumah.
Gejala juga di picu bila pasien membersihkan rumah, biasanya memburuk 30 menit
sebelum tidur malam. Bila alergi terhadap jamur, gejala dapat terjadi sepanjang tahun,
memburuk pada lingkungan dengan kelembaban tinggi, dan pada sore hari. Adanya keadaan
hiperreaktifitas hidung terhadap iritan non spesifik seperti asap rokok, udara dingin, bau
merangsang seperti bau parfum, masakan, dan polutan juga dapat memicu serta
memperberat gejala rhinitis. Riwayat pengobatan yang pernah diiakukan dan hasil dari
pengobatan serta kepatuhan berobat juga perlu ditanyakan.

9
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik
lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari
itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung
tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan
akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut sebagai allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengjung langit-langit yang
tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid).
Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding
lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). 2,3
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rhinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan
ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu
keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.2,3
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi
makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya
ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). 2,3

10
G. Diagnosis Banding
Rhinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung
yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Kelainan ini merupakan keadaan
yang non-infektif dan non-alergi. Rhinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan
rhinitis alergi sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala
hidung tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang.
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan
fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan
vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi,
posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang
pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu
tersebut.
Tabel 1. Diagnosis banding rhinitis alergika dan rhinitis vasomotor.

H. Tatalaksana
Secara garis besar, penatalaksanaan rhinitis alergi terdiri dari 3 cara yaitu menghindari
atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi dan imunoterapi, sedangkan
tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi komplikasi seperti sinusitis dan polip
hidung.
1. Menghindari atau eliminasi alergen
Pada dasamya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:2
a. Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap
allergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko

11
atopi. Pada ibu hamil diberikan diet restriksi ( tanpa susu, telur, ikan laut dan kacang
) mulai trimester III dan selama menyusui. dan bayi mendapat ASI eksklusif selama
5 - 6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan
terhadap allergen dan polutan.
b. Pencegahan sekunder untuk meneegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa
asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal
berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran
terhadap pajanan allergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui dengan uji
kulit.
c. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit
alergi dengan penghindaran allergen dan pengobatan.

Penghindaran alergen bertujuan mencegah terjadinya kontak antara alergen dengan


IgE spesifik yang terdapat dipermukaan sel mast atau basofil sehingga degranulasi tidak
terjadi dan gejala dapat dihindarkan. Pencegahan kontak dengan alergen dapat dilakukan
dengan menjaga kebersihan rumah, menghindari penggunaan karpet, memperbaiki
ventilasi dan kelembaban udara. Edukasi terhadap penderita perlu diberikan secara teratur
mengenai penyakit, penatalaksanaan, kepatuhan dalam berobat baik secara lisan maupun
pertanyaan.
2. Farmakoterapi
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif
pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dikombinasi
dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu
golongan antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin
generasi 1 bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan adrenergik alfa dipakai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal.
Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala
trauma sumbatan hidung akibat respon fae lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang

12
sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometason, budesonid, flusolid,
flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah
ipratropium bromida, bermanfaat mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor
kolinergik permukaan sel efektor.3
3. Imunoterapi
Imunoterapi hanya diberikan pada penderita respons terhadap farmakoterapi, bila
penghindaran rhinitis alergi yang tidak ada terhadap alergen tidak dapat dilakukan atau
bila terdapat efek samping dari pemakaian obat. Imunoterapi akan meningkatkan sel Thl
dalam memproduksi IFN Y, sehingga aktifitas sel B akan terhambat dan selanjutnya
pembentukan IgE akan tertahan. Selain itu imunoterapi akan menurunkan produksi
molekul inflamasi seperti IL-4,IL-5,PAF, ICAM I dan akumulasi sel eosinofil. Terdapat
beberapa cara pemberian imunoterapi seperti injeksi subkutan, pernasal, sub lingual, oral
dan lokal.1,2,3
4. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25% atau triklor asetat.

13
I. Komplikasi
Komplikasi rhinitis alergi yang paling sering adalah2,3 :
- Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
- Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
- Sinusitis paranasal.
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rhinitis alergi, tetapi
karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drainase.

14
2.3. ANATOMI TONSIL
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina dan tonsil lingual. Tonsila palatina biasanya disebut dengan istilah “tonsil”. Tonsila
palatina merupakan massa limfoid oval yang cukup besar pada masing-masing sisi di daerah
perbatasan rongga mulut dengan faring dalam sela antara lengkung-lengkung palatum. Tonsila
faringeal merupakan atau adenoid merupakan sekumpulan nodus limfatikus yang berdekatan di
daerah perbatasan rongga hidung dengan faring. Pembesaran tonsila faringeal dapat mengganggu
pernafasan. Tonsila lingualis merupakan sekumpulan nodus limfatikus yang tersusun tidak
terlalu padat pada bagian permukaan posterior dari lidah. Ketiga kelompok tonsil tersebut
disertai dengan tonsil tuba Eustachius merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di
faring yang disebut Cincin Waldeyer.6,10
Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang meliputi kriptus. Didalam kriptus,
biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan
lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak
melekat erat pada otot faring sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. 6,10
Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot palatoglossus, posterior
oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial oleh ruang orofaring, bagian
lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, bagian superior oleh palatum mole, bagian
inferior oleh tonsil lingual. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh jaringan alveolar yang tipis dari
fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil
membentuk kantong yang dikenal dengan kripta. Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30
buah. Epitel kripta tonsil merupakan lapisan membrane tipis yang bersifat semipermiabel,
sehingga epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan
untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut tertarik
sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin longgar akibat peradangan
kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan antigen tertahan di dalam kripta tonsil. 6,10

15
2.4. TONSILITIS
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.
Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada
semua umur, terutama pada anak.

2.4.1 TONSILITIS AKUT


A. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, tonsilitis akut dibagi menjadi tonsilitis viral dan tonsilitis
bakterial3. Virus yang paling sering menyebabkan tonsilitis adalah virus Epstein Barr. Hemofilus
influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie,
maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang
sangat nyeri dirasakan pasien. Sedangkan bakteri penyebab radang akut tonsil dapat berupa
kuman grup A Streptokokus β hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus,
Streptokokus viridan dan Streptokokus piogenes. Penularan infeksi terjadi melalui kontak dari
sekret hidung dan ludah (droplet infections).4,10
B. Patogenesis
Bakteri dan virus masuk dalam tubuh melalui saluran nafas bagian atas akan menyebabkan
infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar melalui sistem limfa ke tonsil. Adanya
bakteri dan virus patogen pada tonsil menyebabkan terjadinya proses inflamasi dan infeksi
sehingga tonsil membesar dan dapat menghambat keluar masuknya udara.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa
keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan
kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi
kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang
jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-
alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar sehingga
terbentuk semacam membran semu (pseudo-membrane) yang menutupi tonsil.
C. Manifestasi Klinis
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.
Pada tonsilitis bakteri terdapat masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan
adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa

16
lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di
telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf n.glosofaringeus (N.IX). Pada
pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel,
lakuna atau tertutup oleh membran semu. Membran semu pada tonsilitis akut mudah dilepaskan,
sedangkan membran “sejati” pada tonsilitis difteri sangat melekat pada mukosa. Hal ini penting
untuk dibedakan dalam menegakkan diagnosis. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri
tekan. 4,10
D. Penatalaksanaan
Pada tonsilitis viral, terapinya berupa istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus,
diberikan jika gejala berat. Pada tonsilitis bakteri dapat diberikan antibiotika spektrum lebar
seperti penisilin dan eritromisin, antipiretik, serta obat kumur yang mengandung desinfektan. 4,10
E. Komplikasi
Pada anak, khususnya tonsilitis bakteri, sering menimbulkan komplikasi otitis media akut,
sinusitis, abses peritonsil (Quincy thorat), abses parafaring, bronkitis, glomerulonefritis akut,
miokarditis, artritis serta septikemia akibat infeksi v. jugularis interna (sindrom Lemierre).
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut, tidur mendengkur
(ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai Obstructive Sleep
Apnea Syndrome (OSAS). 4,10

2.2.2 TONSILITIS KRONIS


A. Faktor Resiko dan Etiologi
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi akut atau
subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat hyperplasia parenkim atau degenerasi
fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang relatif kecil
akibat pembentukan sikatrik yang kronis. Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah
rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman
penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman
golongan Gram negative.

17
B. Patogenesis4,10
Tonsil yang berulang kali terkena infeksi akibat dari penjagaan higiene mulut yang tidak
memadai serta adanya faktor-faktor lain, maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh
kuman-kuman semuanya, akibat kuman yang bersarang di tonsil dan akan menimbulkan
peradangan tonsil yang kronik. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah
menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi.
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena proses radang berulang
yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan
sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula.
Ukuran besarnya tonsil dinyatakan dengan10,11 :
1. T0 : bila tonsil sudah dioperasi
2. T1 : bila tonsil berada pada fossa tonsilaris
3. T2 : bila tonsil sudah berada pada pilar arkus posterior (50% dari pharyngeal space)
4. T3 : bila tonsil sudah melewati pilar arkus posterior (50-75% dari pharyngeal space)
5. T4 : bila tonsil sudah mendekati atau melebihi uvula (>75%pharyngeal space)

Gambar 3. Klasifikasi Pembesaran Tonsil Menurut Brodsky10

18
Gambar 4. Klasifikasi Pembesaran Tonsil Menurut Friedman10

C. Manifestasi Klinis
Gejala tonsilits kronis dapat berupa gejala lokal, sistemik, dan klinis. Gejala lokal, yang
bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan. Gejala
sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot
dan persendian. Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis
kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil
(tonsilitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe
regional.4,10
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorok,
dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau.
D. Diagnosis4,10
1. Anamnesis

Keluhan kelainan didaerah faring umumnya adalah :

1. Nyeri tenggorok, keluhan ini dapat hilang timbul atau menetap. Apakah nyeri
tenggorok ini disertai dengan demam, batuk, serak dan tenggorok terasa kering.
Apakah pasien merokok dan berapa jumlahnya perhari.
2. Nyeri menelan (odinofagia) merupakan rasa nyeri ditenggorok waktu gerakan
menelan. Apakah rasa nyeri ini dirasakan sampai telinga.
3. Rasa banyak dahak ditenggorokan merupakan keluhan yang sering timbul akibat
adanya inflamasi dihidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lendir saja, pus atau
bercampur darah. Dahak ini dapat turun, keluar bila dibatukan atau terasa turun di
tenggorok.

19
4. Sulit menelan (disfagia) sudah berapa lama dan untuk jenis makanan cair atau padat.
Apakah juga disertai muntah dan berat badan menurun dengan cepat.
5. Rasa ada yang menyumbat atau mengganjal (sense of lumf in the neck) sudah lama,
tempatnya dimana.

Keluhan pada pasien yang datang dengan penyakit pada mulut dan tenggorokan

-
Nyeri tenggorokan seperti : tonsilitis akut atau kronis, faringitis, lesi ulseratif pada faring.
-
Odinofagi (nyeri menelan) : ulkus abses peritonsilar atau retrofaringeal, tonsilitis lingua
dll.
-
Disfagia : pembesaran tonsil, tumor farafaringeal, keganasan pada tonsil, pangkal
lidah,dinding faring posterior, paralisis palatum molle.
-
Perubahan suara
-
nyeri telinga
-
mendengkur atau snoring : tonsil yang besar, lesi orofaringeal yang menyebabkan
obstruksi saluran nafas
-
Halitosis (bau mulut) : infeksi tonsil, post nasal discharge, keganasan
-
Gangguan pendengaran konduktif : gangguan tuba eustachius (karena pembesaran tonsil,
celah pada palatum , paralisis palatum, faringitis atau tosilitis berulang)
2. Pemeriksaan Faring dan Rongga Mulut

Dengan menekan bagian tengah lidah memakai spatula lidah maka bagian-bagian rongga
mulut lebih jelas terlihat. Pemeriksaan dimulai dengan melihat keadaan dinding belakang faring
serta kelenjar limfanya, uvula, arkus faring serta gerakannya, tonsil, mukosa, pipi, gusi dan gigi
geligi. Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista dan lain-lain.

3. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan darah rutin
- Pemeriksaan kultur kuman pada dinding faring
- Tes laboratorium : digunakan tes labolatorium ini digunakan untuk menentukan apakah
bakteri yang ada dalam tubuh pasien dengan tonsilitis merupakan bakteri grup A,
kemudian pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenisnya, serta laju endap darah.
Persiapan pemeriksaan yang perlu sebelum tonsilektomi adalah : 1. Rutin: hemoglobin,

20
leukosit, urin. 2. Reaksi alergi, gangguan pendarahan, pembekuan, 3. Pemeriksaan lain
atas indikasi (rontegen photo, EKG, gula darah, elektrolit dan sebagainya 5
- Kultur dan uji resistensi bila diperlukan

E. Tatalaksana
1) Medikamentosa
Tonsilitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara simptomatik. Obat kumur,
analgetik, dan antipiretik biasanya dapat membantu. Gejala-gejala yang timbul biasanya akan
hilang sendiri. Tonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus perlu diobati dengan Penisilin V
secara oral, Sefalosporin, Makrolida, Klindamisin, atau injeksi secara intramuskular Penisilin
Benzatin G. Terapi yang menggunakan Penisilin mungkin gagal (6-23%), oleh karena itu
penggunaan antibiotik tambahan mungkin akan berguna.
2) Operatif
Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan pada pasien
dengan tonsilitis kronik, yaitu berupa tindakan pengangkatan jaringan tonsila palatina dari fossa
tonsilaris. Tetapi tonsilektomi dapat menimbulkan berbagai masalah dan berisiko menimbulkan
komplikasi seperti perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi. Tonsilektomi
sebagai tindakan operasi terbanyak dan biasa dilakukan di bidang THT belum mempunyai
keseragaman indikasi. Indikasi tonsilektomi yang diterima luas pada saat ini adalah tonsilitis
kronik dengan insidensi 7 atau lebih episode sakit tenggorok akibat tonsilitis dalam 1 tahun atau
5 episode/tahun dalam dua tahun dan 3 episode/tahun dalam 3 tahun.

Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology – Head and Neck


Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan Indikasi tonsilektomi menurut
The American Academy of Otolaryngology, Head and Neck Surgery.
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi yang
adekuat.
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofacial.
c. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertropi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep
apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonal.

21
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil hilang
dengan pengobatan.
e. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus β haemoliticus.
g. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
h. Otitis media efusa atau otitis media supuratif.
Kontraindikasi untuk tonsilektomi antara lain adalah:
a. Infeksi pernapasan bagian atas berulang,
b. Infeksi sistemik atau kronis,
c. Demam yang tidak diketahui penyebabnya,
d. Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi,
e. Rhinitis alergika,
f. Asma,
g. Diskrasia darah,
h. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh,
i. Tonus otot yang lemah,
j. Sinusitis.
E. Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar atau
secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi
yang kerap ditemui adalah sebagai berikut:
1. Komplikasi ke sekitar tonsil (perkontinuitatum):
- Peritonsilitis. Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus
dan abses.
- Abses Peritonsilar (Quinsy). Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil.
Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi,
menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.
- Abses Parafaringeal. Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah
bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal,
adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.

22
- Abses Retrofaring. Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya
terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi
kelenjar limfe.
- Krista Tonsil. Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan
fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan
berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.
- Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil). Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat
dalam jaringan tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.
2. Komplikasi Organ jauh:
- Demam rematik dan penyakit jantung rematik
- Glomerulonefritis
- Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
- Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
- Artritis dan fibrositis

23
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama pasien : Tn. F
Umur : 29 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Kayangan, Kabupaten Lombok Utara
Tanggal Pemeriksaan : 2 Oktober 2017
3.2. Anamnesis
Keluhan Utama:
Bersin-bersin.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan bersin-bersin sejak ± 1 tahun terakhir. Bersin-bersin terutama
muncul di pagi hari dan saat terpapar debu atau asap, keluar ingus encer, jernih dan tidak berbau.
Dalam 1 minggu pasien hampir setiap hari merasakan keluhan ini. Hidung terasa gatal, bersin-
bersin sampai hidung tersumbat dan mata juga terasa merah, gatal, dan berair. Pasien terkadang
merasakan demam dan nyeri-nyeri pada tubuh. Pasien juga kadang merasakan sering pusing.
Pasien tidak mengeluhkan penurunan ganggguan penciuman. Keluhan telinga terasa sakit dan
penuh juga tidak ada. Pasien masih bisa menjalani aktivitas sehari-hari, namun terasa sedikit
terganggu karena keluhan ini. Pasien juga dikeluhkan sering mengalami nyeri tenggorok yang
dapat kambuh > 2 kali dalam setahun, pasien mengatakan sering susah menelan. Pasien mengaku
kadang mengorok saat tidur. Pasien mengaku sering mengkonsumsi minuman dingin, makanan
berminyak seperti goreng-gorengan, dan jajanan atau makanan yang pedas. Pasien juga
merupakan seorang perokok aktif.

24
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien mengaku memang sudah sering mengalami keluhan serupa selama 1 tahun
terakhir. Riwayat bersin-bersin atau hidung gatal bila terkena debu atau udara dingin (+), asma (-
), tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-), dan penyakit sistemik lain (-).
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa. Riwayat asma (-), riwayat
alergi pada keluarga (-).
Riwayat Alergi:
Riwayat alergi obat-obatan (-), alergi terhadap makanan (-)
Riwayat Pengobatan:
Pasien mengatakan belum pernah berobat ke dokter dan hanya membeli obat di warung.
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
 Keadaan umum: Baik
 Kesadaran: Compos Mentis
 Tanda vital:
 TD : 110/80 mmHg
 Nadi : 92 x/menit
 Respirasi : 18 x/menit
 Temperatur : 36,7 oC
 Allergic shiner (+)

Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No. Area Telinga Kanan Telinga Kiri
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri tarik normal, hematoma (-), nyeri tarik
aurikula (-) aurikula (-)

25
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), sekret (-) furunkel (-), edema (-), sekret(-)

4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-), hiperemi Retraksi (-), bulging (-), hiperemi
(-), edema (-), perforasi (-), (-), edema (-), perforasi (-),
kolesteatom (-), cone of light (+) kolesteatom (-), cone of light (-)

MT intak MT intak
Cone of light (+) Cone of light (+)

Pemeriksaan hidung

Pemeriksaan
Hidung Kanan Hidung Kiri
Hidung
Hidung luar Bentuk normal, hiperemi (-), nyeri Bentuk normal, hiperemi (-), nyeri
tekan (-), deformitas (-) tekan (-),deformitas (-)
Rinoskopi Anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)

Cavum nasi Bentuk normal, mukosa livid (+), Bentuk normal, mukosa livid (+),
edema mukosa (-) sekret mukoid edema mukosa (-) sekret mukoid

26
(+) (+)
Meatus nasi media Edema (-) hipertrofi (-) mukosa Edema (-) hipertrofi (-) mukosa
livid (+) livid (+)
Konka nasi inferior Hipertrofi (-) mukosa livid (+), Hipertrofi (-) mukosa livid (+),
kongesti (+) kongesti (+)
Septum nasi Deviasi (-), benda asing(-), Deviasi (-), benda asing(-),
perdarahan (-), ulkus (-) perdarahan (-), ulkus (-)

Pemeriksaan Sinus Paranasalis


Inspeksi dan Palpasi sinus maksilaris dan sinus frontalis
Tidak ditemukan kelainan pada inspeksi.
Tidak ditemukan kelainan pada palpasi.
Transiluminasi
Sinus Frontalis Dekstra Sinus Frontalis Sinistra
+ +
Sinus Maksila Dekstra Sinus Maksila Sinistra
+ +

Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir & mulut Mukosa bibir & mulut basah, berwarna merah muda (N)
Geligi Tidak ada lubang atau tanda infeksi pada gigi rahang atas.
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-)
Tonsila palatina Kanan: T3, Hiperemi (+), detritus (-), permukaan tidak rata (+), kripte

27
melebar (-)
Kiri: T3, Hiperemi (+), detritus (-),permukaan tidak rata (+), kripte
melebar (-)

a. Assessment
Rhinitis Alergi + Tonsilitis Kronis
DD: rhinitis vasomotor
3.4 Planning
Planning diagnostik:
- Sitologi hidung (eosinofil, basofil dan PMN)
- Hitung eosinofil
- IgE total
- Tes pada kulit ( skin prick test dan scratch test)
Planning terapi :
- Rhinitis Alergi : Kombinasi pseudoefedrin dengan antihistamin yaitu Demacoline 3x1 dan
Cetirizine 1x1, serta penggunaan NaCl 0,9% untuk cuci hidung.
- Tonsilitis Kronis : Rencana tindakan tonsilektomi.
3.5 KIE
1. Hindari kontak dengan alergen. Amati benda-benda apa yang menjadi pencetus (debu,
serbuk sari, bulu binatang, dingin, dll)
2. Jaga stamina untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
3. Makan teratur dan bergizi
4. Istirahat yang cukup.
5. Kenali gejala awal dari alergi.
6. Gunakan masker pada tempat beresiko terpapar alergen.
7. Berhenti merokok.
3.6 Prognosis
Quo Ad Vitam : bonam
Quo Ad Functionam : bonam

28
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis pasien pada kasus ini dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan informasi yang mengarah kepada gejala
rhinitis alergi seperti keluhan bersin berulang, hidung gatal, cairan hidung yang jernih dan
hidung tersumbat yang bersifat hilang timbul atau reversible dan muncul saat terpapar debu dan
suhu dingin. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konka inferior tampak kongesti dan livid, juga
tampak pada kavum nasi adanya sekret mukoid. Pada pemeriksaan juga ditemukan tanda khas
rhinitis alergi yaitu allergic shiner (+). Pemeriksaan penunjang seperti sitologi hidung, hitung IgE
total dan skin prick test perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis rhintis alergi. Pada kasus
ini diagnosis banding masih belum dapat disingkirkan karena belum dilakukan pemeriksaan
penunjang, namun dari gejala yang ditampakkan pada pasien dengan keluhan gatal pada hidung
serta bersin yang menonjol dan juga keluhan mata gatal dan berair, hal ini dapat lebih
mengarahkan kita pada rhinitis alergi.
Penatalaksanaan rhinitis alergi pada pasien ini meliputi edukasi, penghindaran alergen, dan
farmakoterapi. Pemilihan penggunaan antihistamin dan dekongestan oral pada pasien ini
disesuaikan dengan derajat rhinitis alergi pasien yang dapat diklasifikasi sebagai persisten ringan
dimana gejala muncul lebih dari 4 hari/minggu dan sudah dirasakan pasien ± 1 tahun, dan
keluhan ini tidak mengganggu aktivitas harian, tidur, maupun olahraga pasien. Pilihan obat yang
digunakan pada kasus ini yaitu antihistamin tablet cetirizin 1x10 mg dan dekongestan oral tablet
pseudoefedrin. Dekongestan dipilih sediaan oral karena kurang menyebabkan iritasi lokal dan
tidak menimbulkan resiko rhinitis medikamentosa dimana pada penggunaan dekongestan topikal
yang lama (lebih dari 3-5 hari) dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa, di mana hidung
kembali tersumbat akibat vasodilatasi perifer. Intervensi farmakologi saja tidak cukup,
diperlukan juga upaya penghindaran terhadap alergen terutama bila alergen penyebab dapat
diidentifikasi.
Pasien juga dikeluhkan sering mengalami nyeri tenggorok yang dapat kambuh > 2 kali
dalam setahun, pasien mengatakan sering susah menelan. Pasien mengaku kadang mengorok saat
tidur. Pasien mengaku sering mengkonsumsi minuman dingin, makanan berminyak seperti
goreng-gorengan, dan jajanan atau makanan yang pedas, dan pasien merupakan perokok. Pada

29
pemeriksaan tenggorokan dengan spatula lidah didapatkan pembesaran pada daerah tonsil
(tonsila palatina), dengan ukuran pembesaran tonsil T3 (kanan) –T3 (kiri), tak tampak kripte yang
melebar dan tidak ditemukan dedritus. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
tersebut maka diagnosis dapat mengarah pada tonsilitis kronis. Pemeriksaan penunjang yang bisa
dilakukan di pasien ini adalah kultur kuman dan uji resistensi bakteri dari swab yang diambil dari
lendir pada permukaan tonsil pasien sehingga dapat diberikan antibiotika sesuai.
Terapi yang direncanakan untuk penderita ini adalah tonsilektomi namun sebelumnya
diperbaiki terlebih dahulu kondisi umum pasien yang saat ini masih mengalami pilek. Pada
pasien ini akan dilakukan pengangkatan tonsil (Tonsilektomi) karena sudah sesuai dengan
indikasinya yaitu karena terdapat obstructive sleep apnea, serta gangguan menelan berulang.
Untuk tindakan operatif ini perlu diberikan KIE yang jelas kepada penderita khususnya keluarga
penderita. Selain itu, pasien dan keluarga juga diingatkan jika pasien tiba-tiba mengalami sesak
atau pasien tidak bisa makan sama sekali atau terdapat perdarahan aktif pasca operasi, segera
bawa pasien ke IGD RSUP NTB untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

30
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan

Telah dilaporkan seorang pria berusia 29 tahun datang dengan keluhan bersin-bersin
sejak ± 1 tahun terakhir. Bersin-bersin terutama muncul di pagi hari dan saat terpapar debu atau
asap, keluar ingus encer, jernih dan tidak berbau. Dalam 1 minggu pasien hampir setiap hari
merasakan keluhan ini. Hidung terasa gatal, bersin-bersin sampai hidung tersumbat dan mata
juga terasa merah, gatal, dan berair. Pasien terkadang merasakan demam dan nyeri-nyeri pada
tubuh. Pasien juga kadang merasakan sering pusing. Pasien tidak mengeluhkan penurunan
ganggguan penciuman. Keluhan telinga terasa sakit dan penuh juga tidak ada. Pasien masih bisa
menjalani aktivitas sehari-hari, namun terasa sedikit terganggu karena keluhan ini. Pasien juga
dikeluhkan sering mengalami nyeri tenggorok yang dapat kambuh > 2 kali dalam setahun, pasien
mengatakan sering susah menelan. Pasien mengaku kadang mengorok saat tidur. Pasien
mengaku sering mengkonsumsi minuman dingin, makanan berminyak seperti goreng-gorengan,
dan jajanan atau makanan yang pedas. Pasien juga merupakan seorang perokok aktif.
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, diagnosis pada pasien mengarah pada rhinitis alergi dan
tonsilitis kronis. Untuk dapat menyingkirkan diagnosis banding dibantu ditegakkan melalui
pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan IgE atau skin prick test. Saat ini pasien diterapi
dengan antihistamin dan dekongestan untuk mengatasi keluhan pada hidung dan dapat
direncanakan untuk operasi tonsilektomi setelah kondisi pasien membaik.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Huriyati A., Hafiz A. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rhinitis Alergi yang Disertai Asma
Bronkial. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas - RSUP Dr. M. Djamil Padang, 2009.
2. Ghanie A. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Terkini. Palembang: Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya, 2007
3. Irawati, Nina, Kasakeyan E, Rusmono N. Alergi Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam.
Jakarta: FKUI, 2007.
4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.
5. Seeley, Stephens, Tate. Anatomy and Physiology. Sixth Edition. New York: McGraw-Hill
Companies; 2004.
6. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics. Seventeenth
Edition. USA: Saunders Elsevier; 2004.
7. Stelter. K. 2014. Tonilitis and throat in Children. Dept Of Otorhinolaryngology, head and
neck sugery,Grosshadern Medical Centre,University of Munich, Munich, Germany.
(Internet) Available at https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4273168/.(Akses pada
Oktober 2017)
8. Soetjipto, Damayanti, Endang M. Sumbatan Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta:
FKUI, 2007.
9. Moore KL, Dalley AF. Chater 7: Head. Clinically Orientes Anatomy, 5th Edition. p.1012-
1017. USA : Lippincott Williams & Wilkins, 2006.
10. Hwang, S, et al. 2015. Brodsky and Friedman Scales and Clinical Tonsil Size Grading in
Children. Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26402214.
11. Cahali, MB, et al. 2011. Tonsil Volume, Tonsil Grade and Obstructive Sleep Apnea : Is
There Any Meaningful Correlation. Clinics.66(8).1347-1351.

32

Anda mungkin juga menyukai