PNEUMONIA
Oleh
Ahmad Haviz
H1A 013 004
Pembimbing Fakultas
dr. Ika Primayanti, M.Kes
dr. Ni Ketut Wilmayani
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru yang dapat
disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus, jamur dan bakteri. Gejala
penyakit pneumonia yaitu sesak napas, demam, dan batuk berdahak. Salah satu upaya
yang dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini yaitu dengan meningkatkan
penemuan pneumonia pada balita. Pneumonia merupakan penyebab dari 15%
kematian balita, yaitu diperkirakan sebanyak 922.000 balita di tahun 2015.
Pneumonia menyerang semua umur di semua wilayah, namun terbanyak terjadi di
Asia Selatan dan Afrika sub-Sahara. Populasi yang rentan terserang pneumonia
adalah anak-anak usia kurang dari 2 tahun, usia lanjut lebih dari 65 tahun dan orang
yang memiliki masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan imunologi, dan penyakit
kronis). Perkiraan kasus pneumonia secara nasional sebesar 3.55% 1
Risiko terbesar dari kematian akibat pneumonia di masa anak-anak ialah pada
masa neonatal. Setidaknya sepertiga dari 10,8 juta kematian pada anak-anak di
seluruh dunia yang terjadi pada usia 28 hari kehidupan diakibatkan oleh pneumonia.
Diperkirakan bahwa pneumonia memberikan kontribusi antara 750.000 sampai 1,2
juta kematian neonatal per tahun, terhitung 10% kematian anak secara global. Dari
semua kematian neonatal, 96% terjadi di negara berkembang.2 Berdasarkan data riset
kesehatan dasar tahun 2013, lima provinsi di Indonesia yang mempunyai insiden
pneumonia balita tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (38,5%), Aceh (35,6%),
Bangka Belitung (34,8%), Sulawesi Barat (34,8%), dan Kalimantan Tengah (32,7%).
Insidens tertinggi pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 12-23 bulan
(21,7%). Berikut ditampilkan perkiraan kasus Pneumonia balita dan penderita yang
ditemukan dan ditangani di Provinsi NTB tahun 2011-2016.
2
Sementara kasus penyakit yang paling banyak diderita masyarakat di Provinsi NTB
berdasarkan Laporan Bulanan (LB1) di puskesmas dan jaringannya terlihat pada
gambar berikut:
3
Gambar diatas memperlihatkan bahwa kunjungan terbanyak di puskesmas
adalah infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas. Kondisi ini erat kaitannya
kejadian pneumonia pada balita. Sementara itu, gambaran penyakit pneumonia di
kabupaten Lombok barat adalah sebagai berikut:
4
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan jumlah penderita
pneumonia di puskesmas Gunung Sari dari 188 kasus pada tahun 2015 menjadi 512
kasus pada tahun 2016. Pneumonia tergolong penyakit ringan apabila segera
ditangani dengan tepat dan cepat, tetapi bisa menjadi penyakit berbahaya dan
mematikan apabila tidak ditangani dengan baik. Pada bayi atau balita umumnya
terjadi pada balita dengan gizi kurang dan kondisi lingkungan yang tidak sehat.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
7
2.2 Pneumonia
2.2.1 Definisi
Pneumonia adalah suatu penyakit klinis sehingga didefinisikan berdasarkan
gejala dan tanda klinis, dan perjalanan penyakitnya. Salah satu definisi klasik
menyatakan bahwa pneumonia merupakan suatu peradangan pada saluran napas
bagian bawah, meliputi alveolus dan jaringan interstitiil, yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Pnemonia
ditandai oleh demam, batuk, sesak (peningkatan frekuensi pernapasan), napas cuping
hidung, retraksi dinding dada, ronkhi, dan kadang-kadang sianosis. 7
2.2.2 Etiologi
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme dan sebagian
kecil disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia (hidrokarbon, lipoid substances)
dan benda yang teraspirasi. Patogen penyebab pneumonia bermacam-macam, virus
merupakan penyebab pada kebanyakan kasus, seperti adenovirus, respiratory
syncytial, parainfluenza, serta virus influenza. Pneumonia pada bayi baru lahir
biasanya disebabkan oleh organisme yang berasal dari organ genital wanita sewaktu
hamil. Haemophillus influenza merupakan salah satu penyebab pneumonia yang
kasusnya semakin menurun karena telah ditemukan vaksinnya. Mycoplasma
pneumoniae dan Streptococcus pneumoniae penyebab paling umum kasus pneumonia
pada anak-anak di atas 6 tahun. Chlamydia pneumoniae menimbulkan infeksi pada
anak-anak (5-14 tahun). Beberapa kasus pneumonia disebabkan oleh kontak langsung
dengan binatang, seperti : Francisella tularensis (kelinci), Chlamydia psittaci
(burung), Coxiella burnetti (domba), Salmonella choleraesuis (babi). Di Indonesia,
penelitian di Pulau Lombok 1997-2003 usap tenggorok pada anak usia <2 tahun yang
menderita pneumonia ditemukan Streptococcus pneumoniae (48%) dan
Haemophyllus influenzae B (8%). 2,3,8
8
Tabel 1. Etiologi pneumonia.7,8
Lahir 20 hari
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus Sitomegalo
3 minggu-3 bulan
9
4 bulan – 5 bulan
Virus Parainfluenza
Virus Rino
5 tahun – remaja
Virus
Virus Adeno
Virus Eptain-Barr
Virus Influenza
10
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial
Virus
Virus Varisela-Zoster
a. Faktor Host
2. Jenis Kelamin: hasil penelitian menunjukkan anak laki-laki memiliki risiko lebih
besar untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan.
3. Riwayat BBLR: BBLR atau berat bayi lahir rendah adalah bayi yang lahir dengan
berat kurang dari 2500 gram. Bayi dan balita dengan riwayat BBLR umumnya
lebih berisiko terhadap kematian, bahkan sejak masa-masa awal kehidupannya.
Hal ini disebabkan karena zat anti kekebalan di dalam tubuhnya belum sempurna.
Sebuah penelitian juga menyebutkan bahwa bayi 0-4 bulan dengan riwayat BBLR
memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita pneumonia.
11
penyebab tersebut saling berpengaruh. Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi timbulnya penyakit pneumonia pada anak antara lain adanya
kekurangan energi protein. Timbulnya Kekurangan Energi Protein (KEP) tidak
hanya karena kurang makan tetapi juga karena penyakit, terutama diare dan ISPA.
Anak yang tidak memperoleh makanan cukup dan seimbang, daya tahan tubuhnya
(imunitas) dapat melemah. Dalam keadaan demikian, anak mudah diserang
penyakit infeksi. Anak dengan daya tahan tubuh yang terganggu akan menderita
pneumonia berulang-ulang atau tidak mampu mengatasi penyakit pneumonia
dengan sempurna. Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran
anthropometri dengan melihat kriteria yaitu: Berat Badan per Umur (BB/U),
Tinggi Badan per Umur (TB/U), Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB).
5. Pemberian ASI: ASI mengandung nutrisi dan zat-zat penting yang berguna
terhadap kekebalan tubuh bayi. Zat-zat yang bersifat protektif tersebut dapat
melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. Oleh sebab itu, sangat penting
bagi bayi agar segera diberikan ASI sejak lahir karena saat itu bayi belum dapat
memproduksi zat kekebalannya sendiri. Pemberian ASI ternyata dapat
menurunkan risiko pneumonia pada bayi dan balita. Bayi yang dirawat dirumah
sakit karena pneumonia lebih berisiko meninggal dengan Case Fatality Rate dua
kali lebih besar pada bayi yang tidak memperoleh ASI.
12
yang dianjurkan sesuai dengan pemberian imunisasi nasional yaitu BCG (pada
usia 0-11 bulan), DPT I-III (pada usia 2-11 bulan), Polio I-IV (pada usia 2-11
bulan), Hepatitis B I-III (pada usia 0-9 bulan), dan Campak (pada usia 9-11
bulan). Imunisasi yang tidak lengkap merupakan faktor risiko yang dapat
meningkatkan insidens ISPA terutama pneumonia. Penyakit pneumonia lebih
mudah menyerang anak yang belum mendapat imunisasi campak dan DPT
(Difteri, Pertusis, Tetanus). Oleh karena itu untuk menekan tingginya angka
kematian karena pneumonia, dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi
seperti imunisasi DPT dan campak.
b. Faktor Agent
c. Faktor Perilaku
1. Pekerjaan Orang Tua: Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil
pekerjaan utama maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang rendah
menyebabkan orang tua sulit menyediakan fasilitas perumahan yang baik,
perawatan kesehatan dan gizi anak yang memadai. Rendahnya kualitas gizi anak
menyebabkan daya tahan tubuh berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi
termasuk penyakit pneumonia.
2. Pendidikan Ibu: Tingkat pendidikan ibu yang rendah juga merupakan faktor risiko
yang dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama pneumonia. Tingkat
pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada
anak-yang menderita ISPA. Jika pengetahuan ibu untuk mengatasi pneumonia
tidak tepat ketika bayi atau balita menderita pneumonia, akan mempunyai risiko
13
meninggal karena pneumonia sebesar 4,9 kali jika dibandingkan dengan ibu yang
mempunyai pengetahuan yang tepat.
d. Faktor Lingkungan
1. Fisik. Polusi udara dalam rumah: Rumah atau tempat tinggal yang kurang baik
dapat mendukung terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan,
diantaranya adalah infeksi saluran napas. Rumah kecil yang penuh asap, baik yang
berasal dari kompor gas, pemakaian kayu sebagai bahan bakar maupun dari asap
kendaraan bermotor, dan tidak memiliki sirkulasi udara yang memadai akan
mendukung penyebaran virus atau bakteri yang mengakibatkan penyakit infeksi
saluran pernapasan yang berat. Insiden pneumonia pada anak kelompok umur
kurang dari lima tahun mempunyai hubungan bermakna dengan kedua orang
tuanya yang mempunyai kebiasaan merokok. Anak dari perokok aktif yang
merokok dalam rumah akan menderita infeksi pernapasan lebih sering
dibandingkan dengan anak dari keluarga bukan perokok.
14
Gambar 1. Faktor Risiko untuk Pneumonia pada Balita
2.2.4 Klasifikasi
Pneumonia berat atau sangat berat, adanya nafas sesak dengan tarikan dinding
dada atau saturasi oksigen <90 persen. Dan harus dirawat serta diberikan
antibiotik.
Pneumonia, bila tidak ada tarikan dinding dada namun ada nafas cepat, usia 2
bulan - 1 tahun > 50 kali permenit, untuk usia 1 tahun - 5 tahun > 40 kali
permenit. Dan pasien tidak perlu dirawat, dapat diberikan antibiotik oral.
Batuk bukan pneumonia, bila tidak ada napas cepat, hanya batuk pilek biasa
tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam dan pasien tidak perlu
dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simtomatis
seperti penurun panas.
15
2.2.5 Patofisiologi
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
napas. Ada 3 stadium dalam patofisiologi penyakit pneumonia, yaitu :
Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan
penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami
konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan
ditemukannya kuman di alveoli.1,6
Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di
alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat.1,6
3) Stadium resolusi
Setelah itu, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi,
fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Sistem bronkopulmoner jaringan paru
yang tidak terkena akan tetap normal.1,6
2.2.6 Diagnosis
1. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan GIT seperti mual, muntah atau diare, kadang-kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
2. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,
suara napas melemah, dan ronki, akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan
tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat.1,4
16
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis sederhana yang meliputi napas
cepat, sesak napas, disertai demam dan berbagai tanda bahaya agar anak segera
dirujuk ke pelayanan kesehatan. Napas cepat di hitung dengan frekuensi napas selama
satu menit penuh ketika bayi dalam keadaan tenang. Sesak napas di nilai dengan
melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas.
Tanda bahaya pada anak usia 2 bulan – 5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang,
kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk. Diagnosis ditegakkan sesuai dengan
klasifikasi MTBS.3,6,7
2.2.7 Tatalaksana
Dasar tatalaksana pneumonia adalah pengobatan kausal dengan antibiotik
yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan
intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam basa,
elektrolit dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan
analgetik/antipiretik.6,7
Rawat jalan
Pneumonia
Rawat jalan
17
berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3
hari. Jika frekuensi pernapasan, demam dan nafsu makan tidak ada perbaikan,
ganti ke antibiotic lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali 2 hari lagi. Jika
ada tanda pneumonia berat, rawat anak di fasilitas kesehatan yang sesuai. 6,7
Rawat inap/rujuk
Terapi antibiotik
Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen
dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-
gentamicin.
18
Apabila diduga peneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan
gentamisin (7,5 mg/kgBB IM sehari sekali) dan kloksasilin (50
mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari
– 3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin
(atau dikoksasilin) secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan
mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral sampai 2 minggu.
Terapi oksigen
Perawatan penunjang
19
2.8 Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis
purulenta, pneumotoraks atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta.
Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia
bakteri.6
20
BAB III
LAPORAN KASUS
21
3.2 Heteroanamnesis
Keluhan utama: Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli anak puskesmas Gunung Sari dengan keluhan sesak.
Keluhan ini dikeluhkan sejak 1 hari yang lalu. Pasien dikeluhkan mengalami batuk
dan pilek sejak 3 hari yang lalu. Keluhan demam (+) sejak kemarin bersifat terus-
menerus dan turun saat diberikan obat penurun panas. Nafsu makan pasien juga
menurun sejak mengalami sakit.
Mual muntah disangkal, riwayat BAB (+) normal dengan frekuensi 1-2 kali
per hari dengan konsistensi lunak dan berwarna kuning, darah (-), lendir(-). BAK (+)
normal dengan frekuensi 4-5 kali per hari berwarna kuning jernih.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien beberapa kali memiliki riwayat keluhan serupa sebelumnya dan sudah
3 kali masuk rumah sakit. Riwayat alergi makanan maupun obat disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat sesak napas pada keluarga yang tinggal serumah, keluarga lain,
tetangga sekitar dan teman-teman pasien disangkal. Riwayat asma didalam keluarga
pasien (-). Riwayat sesak napas, sering bersin pagi hari pada keluarga disangkal.
Riwayat alergi obat/makanan disangkal. Keluarga pasien mengatakan tidak pernah
sakit berat namun hanya mengalami flu biasa.
Genogram Keluarga Pasien
28 tahun 23 tahun
22
5 tahun 14 bulan
Keterangan:
: Laki-Laki
: Perempuan
/ : Penderita pneumonia
Riwayat Imunisasi:
Ibu pasien mengatakan sampai saat ini pasien sudah mendapatkan semua
imunisasi dasar kecuali campak.
Riwayat Nutrisi:
Pasien minum ASI eksklusif hingga usia 6 bulan dan sampai saat ini masih
minum ASI. Pasien mulai makan makanan tambahan pada usia 6 bulan berupa bubur.
Saat ini pasien sudah mulai diberikan nasi.
23
Riwayat Tumbuh Kembang:
Saat ini pasien berusia 14 bulan dan sudah mampu berdiri dan berjalan 1-2
langkah. Pasien dapat mengenali benda dan orang-orang disekitarnya. Saat ini pasien
sudah dapat mengatakan mama-papa.
24
Palpasi : pembesaran kelenjar (-)
Thorax
Cor :
Inspeksi : Tde
Palpasi : Tde
Perkusi : Tde
Auskultasi : S1 S2 Normal, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
Inspeksi : Gerakan dada simetris (+), retraksi (+)
Palpasi : Tde
Perkusi : Tde
Auskultasi : Vesikuler +/+, Rhonki +/+, Wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Tde
Perkusi : Tde
Ekstremitas:
Inguinal-genitalia-anus: Tde
25
3.4 Diagnosis Holistik
a. Aspek personal
Pasien datang dengan keluhan sesak, demam, dan pilek.
b. Aspek klinik
Pneumonia berat
c. Aspek risiko internal
Usia bayi dan balita juga merupakan salah satu faktor yang memudahkan
terjadinya risiko infeksi karena sistem imun yang belum terbentuk secara
sempurna.
d. Aspek keluarga
Pengetahuan dan perilaku keluarga mengenai faktor risiko dan pencegahan
pneumonia.
3.5 Penatalaksanaan
- Rawat inap (rujuk)
- Oksigen 2 lpm
- Pasang IV line
- Ampisilin IV
- Selanjutnya dilanjutkan dengan konseling:
- Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa penyakit yang diderita pasien
adalah pneumonia atau peradangan paru berat.
- Edukasi untuk rawat inap (rujuk).
3.6 Prognosis pasien
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad functionam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad bonam
26
BAB IV
4.1 Tujuan
Mengetahui faktor risiko terjadinya pneumonia pada pasien.
4.2 Metodologi
Metodologi yang dipakai meliputi wawancara dan pengamatan
langsung terhadap lingkungan tempat tinggal pasien.
4.3 Hasil Penelusuran
Denah Rumah
Keterangan:
II : Pintu
O : Sumur 27
[] : Jendela/ventilasi
Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan seorang kakaknya di rumah sendiri
berukuran 7x6 m. Rumah tersebut memiliki satu ruang keluarga dan dua kamar. Satu
kamar digunakan untuk tidur sekeluarga dan kamar lainnya digunakan untuk
menyimpan barang rumah tangga. Rumah pasien memiliki 2 jendela dan 2 ventilasi
kecil di ruang keluarga sementara di dalam kamar tidak terdapat ventilasi. Rumah
pasien tidak memiliki plafon dan atap terbuat sebagian besar dari seng. Dapur dan
tempat MC (mandi dan cuci) terpisah dari rumah dengan jarak 3 meter. Sementara
itu, sumber air yang digunakan berasal dari sumur milik sendiri. Jarak dengan rumah
sekitar berkisar 2-3 meter. Pasien buang air besar di rumah orang tuanya. Jarak septic
tank dari sumur berkisar 6 meter. Pembuangan limbah air dari rumah pasien dialirkan
ke parit dibelakang rumahnya yang berbatasan dengan sawah dengan langsung
dialirkan ke sungai. Pembuangan sampah dikumpulkan di belakang rumah dekat
sawah yang kemudian nantinya akan dibakar.
28
Pembuangan air Plafon rumah
29
Gudang Tempat MC
sumur
Pembuangan sampah
30
4.4 Analsis Permasalahan dalam Manajemen Pelayanan Kesehatan dan
Kedokteran Keluarga
Dari segi pelayanan kesehatan, terdapat beberapa masalah yang
mengakibatkan terjadinya pneumonia. Masalah yang pertama adalah masih
belum maksimalnya pemberdayaan kader pneumonia dalam penemuan kasus
pneumonia. Hal ini dapat disebabkan oleh karena beban kerja
petugas/programmer yang terlalu tinggi sehingga perhatian terhadap kasus
pneumonia menjadi kurang fokus. Selain itu, dari segi kader pneumonia masih
banyak yang merangkap tugas sebagai kader program kesehatan yang lain
sehingga penemuan kasus belum maksimal. Masalah kedua adalah dari segi
metode penemuan kasus yang masih pasif sehingga penemuan kasus
pneumonia menjadi kurang maksimal. Dengan adanya sistem kedokteran
keluarga diharapkan penemuan kasus menjadi lebih aktif dan penemuan kasus
pneumonia menjadi lebih maksimal.
31
BAB V
KERANGKA KONSEP DETERMINAN MASALAH KESEHATAN
BIOLOGIS/GENETIK
MELITUS
Masa bayi-balita sehingga sistem
imun belum terbentuk secara
sempurna yang mengakibatkan
DIABETES
rentan terkena penyakit.
Gizi buruk
MELITUS
PERILAKU LINGKUNGAN
DIABETES
32
MELITUS
BAB V
PEMBAHASAN
33
dan kesehatan. Analisa munculnya penyakit pneumonia pada pasien
berdasarkan empat faktor tersebut meliputi:
1) Faktor Genetik dan Biologis
- Usia
Usia muda rentan terkena penyakit karena imunitas tubuh belum terbentuk
secara sempurna.
- Gizi buruk
Gizi buruk mengakibatkan individu lebih rentan terkena penyakit terutama
penyakit infeksi karena penurunan fungsi sistem imun.
2) Faktor Perilaku
- Faktor perilaku orang tua merokok dan membakar sampah di sekitar rumah
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia
pada pasien. Hal tersebut mungkin berhubungan dengan pemahaman orang
tua mengenai penyakit pasien. Selain itu, pendidikan orang tua juga dapat
memengaruhi pemahaman terhadap penyakit serta tindakan perawatan yang
akan dilakukan selanjutnya.
3) Faktor Lingkungan
- Lingkungan fisik: Polusi udara di lingkungan rumah
Polusi baik dari asap rokok maupun asap pembakaran sampah merupakan
salah satu faktor lingkungan pada pasien. Sampah tersebut dilakukan
pembakaran karena tidak adanya tempat sampah khusus di lingkungan
rumah pasien. Selain itu, perbandingan kepadatan hunian dengan luas rumah
meningkatkan kerentanan terjadinya pneumonia pada pasien melalui
penularan ISPA dari keluarga.
- Lingkungan non fisik: Keadaan ekonomi menengah kebawah
Keadaan ekonomi menengah kebawah pada keluarga pasien mengakibatkan
kurangnya kemampuan untuk memperbaiki kondisi lingkungan rumah
sehingga sesuai kriteria rumah sehat.
34
4) Pelayanan Kesehatan
- Pemberdayaan kader yang belum maksimal mengakibatkan belum
maksimalnya promosi kesehatan tentang pneumonia kepada masyarakat.
Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya dana yang digunakan dalam
program pengendalian penyakit ISPA/pneumonia. Selain itu, beban kerja
petugas kesehatan yang tinggi mengakibatkan menurunnya konsentrasi
petugas dalam menjalankan program-programnya. Sementara itu, dari segi
method, penemuan kasus pneumonia masih dilakukan secara pasif.
35
BAB VII
36
DAFTAR PUSTAKA
37