Anda di halaman 1dari 24

Tinjauan Pustaka

Rhinitis Alergi

Oleh
dr. Ari Utama

Pembimbing
Prof. Dr. dr. Eddy Mart Salim, Sp,PD, KAI

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah


Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang 2020
BAB I
Pendahuluan

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis
alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Rinitis alergi (RA) adalah
masalah kesehatan global Lebih dari 500 juta penduduk di dunia menderita penyakit ini karena
dapat terjadi pada semua negara, semua kelompok etnis maupun segala usia. RA dapat
menyebabkan gangguan tidur, gangguan pada aktivitas sehari-hari, gangguan bekerja serta
dapat meningkatkan keparahan asma, sehingga hal ini secara langsung berpengaruh pada
kondisi sosial dan ekonomi penderita.1,2,5
Rinitis menggambarkan penyakit yang melibatkan inflamasi epitel hidung dan
mempunyai gejala meliputi bersin, gatal, rinore, dan kongesti. Rhinitis alergi, yang biasanya
dikenal sebagai Hay Fever, disebabkan oleh respon alergi tipe I, yang diperantarai oleh IgE.
Rhinitis alergi dapat bersifat musiman, persisten atau episodik bergantung pada alergen tertentu
dan paparannya. Rhinitis kronik merupakan salah satu kelainan yang paling sering ditemui pada
bayi dan anak. Secara keseluruhan rhinitis alergi terlihat pada 10-25% populasi, dengan anak
dan remaja leih sering terkena dibandingkan dewasa. Prevalens rhinitis alergi yang didiagnosis
oleh dokter lebih kurang 40%. Komplikasi rhinitis alergi yang sering adalah polip hidung, Otits
media efusi yang sering residif terutama pada anak-anak dan rhinosinusitis. Rhinitis alergi
merupakan kondisi yang mungkin tidak mengalami perbaikan meskipun anak bertambah besar.
Penyingkiran atau penghindaran dari alergen mengganggu sangat dianjurkan.
Dilaporkan di seluruh dunia, RA terjadi pada 10% sampai dengan 30% dari populasi.2
Data ini didukung oleh sebuah studi pada tahun 2012 yang melaporkan sebanyak 9% atau 6,6
juta anak mengalami RA. Prevalensi gejala rinitis dalam survei dari International study of
asthma and allergic in childhood (ISAAC) bervariasi dari 0,8% sampai dengan 14,9% pada usia
6-7 tahun dan 1,4% sampai dengan 39,7% di usia 13-14 tahun.1,5
Di Indonesia, angka kejadian RA secara pasti belum diketahui, karena sampai saat ini
belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Berdasarkan survei dari International Study Of
Asthma And Allergic In Childhood (ISAAC) pada siswa SMP umur 13-14 tahun di Medan
tahun 2005-2006, prevalensi RA sebesar 18%.4 Penelitian Danandjaja, pada tahun 2000 di suatu
daerah di Jakarta mendapatkan prevalensi sebesar 23,7%.5 Sedangkan penelitian Madiadipoera
pada tahun 1991 di Bandung memperoleh prevalensi sebesar 1,5%. Rinitis alergi biasa terjadi
pada usia muda dengan prevalensi yang sama antara pria dan wanita. Riwayat keluarga atopi
mempunyai kecend-erungan menderita RA lebih besar daripada yang tidak memiliki riwayat
atopi.1,5,6
Pola rhintis alergen berdasarkan umur didapatkan paling banyak dijumpai pada kelompok
umur 11-20 tahun (35,84%).Jenis kelamin pria terbanyak menderita RA (52,83%). Berdasarkan
jenis pekerjaan, didapa-tkan penderita RA paling banyak pada pelajar, yaitu 20 penderita
(37,74%). Tungau debu rumah merupakan jenis alergen penyebab RA terban-yak yang
ditemukan pada 31 penderita (58,49%). Berdasarkan sebaran jenis alergen penyebab RA
dengan rentang umur, paling banyak ditemukan pada rentang umur 11-20 tahun dengan sebaran
yang sama antara debu rumah, serpihan kulit manusia dan tungau debu rumah.
Berdasarkan sebaran jenis alergen penyebab rinitis dengan jenis pekerjaan, didapatkan
tertinggi pada pelajar dengan sebaran yang sama antara serpihan kulit manusia dan tungau debu
rumah masing-masing yang didapat pada 12 penderita.
Terapi rinitis alergi dilakukan pendekatan bertahap sesuai dengan berat ringan penyakit
dan respon terhadap pengobatan yang diberikan. Prinsip terapi rinitis alergi meliputi
penghindaran terhadap alergen, edukasi, farmako terapi (antihistamin, kortikosteroid,
dekongestan, antikolinergik), operasi, maupun imunoterapi.1,2,6
Pada kenyataannya tidak semua pasien mempunyai respon yang baik terhadap terapi
rinitis alergi yang secara umum ditujukan mengontrol respon imun yang terlibat dalam reaksi
alergi, sehingga diperlukan modifikasi terapi dengan mengidentifikasi target baru untuk
intervensi pengobatan. Salah satu molekul yang terlibat dalam respon alergi adalah Ig E dan
dikembangkan terapi antibodi IgE yang berfungsi mengikat IgE sehingga tidak dapat berikatan
dengan alergen yang ada.2,6
BAB II
Tinjauan Pustaka

2. 1. Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dan dibentuk oleh kerangka tulang dantulang
rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung (Gambar 2.1).1,5,7

Gambar 1: Anatomi hidung luar7

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kiri dan kanan.
Lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior, sedangkan yang
di belakang disebut nares posterior (koana). Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai
dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior disebut vestibulum yang dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise (Gambar 2).1,7
Dinding medial hidung ialah septum nasi, yang dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Septum dilapisi oleh perikondium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung (Gambar 3).
Pada dinding lateral terdapat konka. Di antara konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus ada 3 meatus
yaitu meatus inferior, media dan superior. Dinding inferior merupakan dasar rongga
hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung
sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak
dari rongga hidung.1,7

Gambar 2.Dinding Lateral Hidung.7


1. Sinus frontal, 2. Konka media, 3. Meatus nasi media, 4. Ager nasi, 5. Atrium konka nasi media,
6. Limen, 7. Vestibulum, 8. Meatus nasi inferior 9.kanal incisivus, 10. Procesus palatina os
maksila, 11. Palatum molle, 12. Resesus faringeal, 13. Orifisium tuba Eustachius, 14. Torus
tubarius, 15. Adenoid, 16. Sinus Sfenoid, 17. Muara Sinus sfenoid, 18. Resesus sfenoetmoidal,
o Konka inferior, 20. Meatus superior, 21. Konka superior, 22. Os palatum
Gambar 2.3. Septum nasi.7
1. Perpendicular plate, 2.lamina kribosa, 3.krista Galli, 4. Os frontal, 5. Os nasal, 6. Kartilago
nasi, 7.crus medial, 8. Spina anterior, 9. Kanal incisivus, 10. Prosesus palatina, 11 Perpendikular,
12. Spina postnasal, 13. Horizontal, 14. Tulang lapisan perpendicular, 15. Pterygoid medial, 16.
Sinus sfenoid, 17. Puncak hidung, 18. Korpus hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan
hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid
anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut pleksus
Kiesselbach. Vena-vena pada hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara
ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.1,7
Persarafan sensoris bagian depan dan atas rongga hidung berasal dari nervus
etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari
nervus oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina
selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius.1,7

2. 2. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah: 1) sebagai jalan nafas; 2) pengatur kondisi udara (air
conditioning); 3) sebagai penyaring dan pelindung; 4) indra penghidu; 5) resonansi suara;
6) proses bicara; 7) refleks nasal.1,4
1) Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.4
2) Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara : 4
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah
melalui hidung kurang lebih 37o C.
3) Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh : 1,4
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

4) Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
nafas dengan kuat. 1,4
5) Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.4
6) Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.1,4
7) Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.1,4

2. 3. Rinitis Alergi
2. 3. 1. Definisi
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2016
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.2,5 Rinitis alergi adalah
penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya
sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 2020).1,3
Gambar 2.4 Rhinitis Alergi5,6

2. 3. 2. Imunopatogenesis
Penemuan antibodi E atau imunoglobulin E pada tahun 1966 oleh Ishizaka
(Amerika) dan Johansson & Bennich (Swedia) sebagai antibodi penghubung timbulnya
penyakit alergi, telah membuka cakrawala baru untuk pemeriksaan diagnostik.
Selanjutnya pemeriksaan invivo dan invitro ditujukan untuk membuktikan adanya IgE
yang bebas atau terikat pada sel atau mendeteksi mediator yang dilepaskan.7,8
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)
yang berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase
Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung
sampai 24-48 jam.1,8
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA
kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompability Complex)
yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan
melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.1,8
Gambar 2.5 Imunipatogenesis Rhinitis Alergi8

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4


dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit
B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi
yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat
alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators)
terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara
lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6,
GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1,5,8
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis
dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non
spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang , perubahan
cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.1,5,8

Mekanisme Terjadinya Nasal Allergy Syndrome Pada Rinitis Alergi


Nasal Allergy Syndrome terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan
rhinorrhea. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada hidung dan bersin-
bersin mewakili gejala karakteristik utama selain obstruksi hidung dan rhinorrhea pada
rhinitis alergi. Mukosa hidung diinervasi oleh saraf sensoris, simpatik dan parasimpatik.
Transmisi sinyal saraf sensoris menghasilkan sensasi gatal dan refleks motorik seperti
bersin sedangkan refleks parasimpatis dan simpatis mengatur sistem kelenjar dan
vaskular. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain
adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.5,6
Gambar 2.6 Patofisiologi Rhinitis Alergi8

Reaksi hipersensitivitas pada mukosa hidung yang memicu bermacam – macam


respon hidung terhadap paparan alergen merupakan proses dinamis yang disebabkan oleh
alergen yang spesifik. Pada proses ini terlibat berbagai macam tipe sel, mediator, dan
2,5
mekanisme yang berbeda pada setiap jenjang dan level yang berbeda.
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung
sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction
atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam
2,6
(fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

2.2.3.1 Fase sensitisasi


Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit

yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap

alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses di dalam

endosom, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan

molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major

Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).

Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan

mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan

berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,

sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE) serta

menghambat produksi sitokin dari sel Th1. Paparan alergen dosis rendah yang terus –

menerus dan presentasi alergen oleh sel penyaji kepada sel limfosit B akan memicu

bertambahnya produksi IgE oleh sel limfosit B. IgE yang bertambah banyak akan beredar

bebas di sirkulasi darah kemudian IgE akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor

IgE di permukaan sel mast atau basofil (sel mediator) termasuk di mukosa hidung,

2,6
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan

sel mediator yang tersensitisasi. Artinya, individu tersebut sudah menjadi hipersensitif

terhadap alergen tertentu.

2.3.3.2. Fase elisitasi


Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka dua

rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)

mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk

(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly

Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4),

Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin

(IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor)

dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga

menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan

menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas

kapiler meningkat sehingga terjadi rhinorrhea. Gejala lain adalah hidung tersumbat

akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga

menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter

Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).

Pada Reaksi alergi fase cepat, sel mast juga akan melepaskan molekul

kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.

Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai

puncak 6-8 jam setelah pemaparan serta dapat menetap hingga 24 – 48 jam. Respon ini

disebut reaksi alergi fase lambat.

Pada Reaksi alergi fase lambat ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah

sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung

serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony

Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Hal ini mengakibatkan
gejala utama berupa hidung tersumbat pada reaksi alergi fase lambat. Timbulnya gejala

hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator

inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic

Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase

(EPO). Mediator – mediator ini dapat berikatan dengan proteoglikan dan hyaluran

membran basalis menyebabkan disagregasi sel dan deskuamasi epitel. EDP dapat

menginaktifkan saraf mukosa dan EPO dapat menyebabkan kerusakan sel oleh karena

2,6,7
radikal bebas.

Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik

dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca

26
dan kelembaban udara yang tinggi. Reaksi alergi fase lambat ini menjadi alasan

mengapa gejala rinitis alergi dapat terjadi selama 24 jam dan paling berat di pagi hari.

Gejala hidung gatal pada anak penderita rinitis alergi menyebabkan anak sering

menggosok – gosok hidungnya yang gerakannya disebut “allergic salute”. Jika

berlangsung lama, akan menimbulkan bekas yang disebut “nasal crease”. Anak dengan

rinitis alergi berat biasanya memiliki manifestasi sulit bernafas melalui hidung sehingga

biasanya memiliki ciri mulut menganga atau terbuka, wajah yang lonjong, maloklusi

2,8
dental, allergic shiner, allergic salute dan allergic crease.
2,8
Gambar 2.7 Fase sensitisasi dan elitisasi alergi

2. 3. 4. Klasifikasi Rinitis Alergi


Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2016, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:1,5,8
1) Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu
2) Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.1,5,8
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:1,5,8
1) Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2) Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di
atas.1,5,8

2. 3. 5. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:1,2,8
1) Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit secara umum dan
dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung
termasuk keterangan mengenai tempat tinggal, tempat kerja dan pekerjaan
pasien.1,2,8
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya adanya
rinore (cairan hidung yang bening encer), bersin berulang dengan frekuensi lebih
dari 5 kali setiap kali serangan, hidung tersumbat baik menetap atau hilang timbul,
rasa gatal di hidung, telinga atau daerah langit-langit, mata gatal, berair atau
kemerahan, hiposmia atau anosmia (penurunan hilangnya ketajaman penciuman)
dan batuk kronik.1,2,8
Ditanyakan juga apakah ada variasi diurnal (serangan yang memburuk pada
pagi hari sampai siang hari dan membaik saat malam hari). Frekuensi serangan
dan pengaruh terhadap kualitas hidup perlu ditanyakan.1,2,8
Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis,
riwayat atopi di keluarga, faktor pemicu timbulnya gejala, riwayat pengobatan dan
hasilnya adalah faktor-faktor yang tidak boleh terlupakan.1,5

Gambar 2.8 Gejala Rhinitis Alergi 5


2) Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap
di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tongue).1,8

3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas yang
ada, meliputi :1,8
a. Uji kulit cukit (Skin Prick Test). Tes ini mudah dilakukan untuk mengetahui
jenis alergen penyebab alergi. Pemeriksaan ini dapat ditoleransi oleh sebagian
penderita termasuk anak-anak. Tes ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas
tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik. Akan lebih ideal jika bisa
dilakukan Intradermal Test atau Skin End Point Titration Test bila fasilitas
tersedia.1,4,8
b. IgE serum total.
Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis alergi dan 75%
penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rinitis alergi. Kadar
dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan menurun pada
imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai pemeriksaan
penyaring tetapi tidak untuk diagnostik. 1,4,8
c. IgE serum spesifik.
Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang diagnosis rinitis
alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil negatif tapi dengan
gejala klinis yang positif. Sejak ditemukan teknik RAST
(Radioallergosorbent test) pada tahun 1967, teknik pemeriksaan IgE serum
spesifik disempurnakan dan komputerisasi sehingga pemeriksaan menjadi
lebih efektif dan sensitif tanpa kehilangan spesifisitasnya, seperti Phadebas
RAST, Modified RAST, Pharmacia CAP system dan lain-lain. Waktu
pemeriksaan lebih singkat dari 2-3 hari menjadi kurang dari 3 jam saja. 1,4,8
d. Pemeriksaan sitologis atau histologis, bila diperlukan untuk menindaklanjuti
respon terhadap terapi atau melihat perubahan morfologik dari mukosa
hidung. 1,4,8
e. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test).
Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi,
dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu negatif. 1,4,8
f. Foto polos sinus paranasal/CT Scan/MRI
Dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti adakah
komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi dan jika
direncanakan tindakan operasi.1,4,8

2. 3. 6. Penatalaksanaan
Penderita RA yang dibiarkan dengan gejala tanpa diobati secara adekuat akan
mengalami penurunan kualitas hidup, antara lain berupa gangguan proses belajar,
produktivitas kerja, dan stabilitas emosi. Menurut American Collage ofAllergy, Asthma
and Immunology (ACAAI, 2005) penatalaksanaan RA antara lain allergen avoidance
(eliminasi alergen), farmakoterapi, imunoterapi danpembedahan.1,6,7
Eliminasi alergen masih merupakan terapi utama dalam penatalaksanaan RA, akan
tetapi dalam prakteknya tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Di negara tropis seperti
Indonesia, yang sangat berperan pada rinitis alergi adalah tungau debu rumah,
bulu binatang dan alergen kecoa. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
menghindari tercetusnya RA yaitu membungkus kasur dan bantal dengan bahan
khusus, atau mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila
mungkin dengan air panas (>55oC). 1,6,7
Farmakoterapi diperlukan karena penderita RA tidak bisa secara total
menghindari paparan alergen terutama alergen inhalan dan harus memenuhi kriteria:
aman dan efikasi tinggi, mudah pemberiannya, absorbsi cepat, cara kerja cepat, tidak
ada efek samping dan mempunyai aktivitas ‘anti-alergenik tinggi’. 1,6,7
Farmakoterapi yang dapat diberikan meliputi: anti histamin, kortikosteroid
intranasal, dekongestan, stabilisator sel mast, anti kolinergik intranasal, anti
leukotrien dan anti IgE antibodi. Pemilihan obat yang diberikan harus bijaksana dan
selektif dengan memperhatikan keluhan yang dirasakan oleh penderita. Obat yang
dipilih disesuaikan dengan keluhan penderita baik berupa obat tunggal maupun
kombinasi.2,3,4
Imunoterapi spesifik adalah memberikan alergen yang sesuai dengan hasil tes
kulit, dosisnya secara bertahap dinaikkan sampai dosis maksimal yang tidak
menimbulkan serangan/gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang
simptomnya pada paparan alergen penyebab. Secara klinik imunoterapi pada rinitis
alergi terbukti efektif. Terdapat beberapa cara imunoterapi yaitu injeksi sub kutan,
pernasal, sub lingual, oral dan lokal. Injeksi sub kutan lebih banyak dipraktekkan,
sedangkan imunoterapi sublingual/peroral masih banyak diteliti dan mulai banyak
dipakai. 1,6,7
Berdasarkan WHO-ARIA tahun 2008 terapi medikamentosa pada pasien
dengan RA persisten sedang-berat sesuai urutan adalah kortikosteroid topikal, anti
histamin H1 atau leukotrien receptor antagonist (LTRA) bila disertai dengan asma,
dan keputusan untuk melakukan tindakan pembedahan adalah setelah terapi
medikamentosa gagal. Sebagian besar penelitian memasukkan kriteria inklusi
gagalnya terapi medikamentosa untuk rinitis alergi selama 1 bulan lebih dulu,
sebelum pasien dilakukan pembedahan. Terapi pembedahan dilakukan bertujuan
mengurangi sumbatan hidung untuk melapangkan aliran udara di hidung. Terapi
pembedahan yang ada diantaranya reduksi konka, reseksi submukosa, septoplasti,
BSEF, dan neurektomi saraf vidianus. Konka inferior terbukti menjadi penyebab
terpenting sumbatan hidung pada pasien RA. Sebelum menjalani intervensi bedah,
sangat penting untuk memastikan bahwa segala terapi medikamentosa telah dilakukan
secara maksimal, karena intervensi bedah mungkin tidak efektif pada pasien yang
seharusnya masih dapat diterapi medikamentosa. 1,6,7 Adapun diagnosis dan terapi dari
RA menurut KODI Alergi dan Imunologi Perhati-KL dapat dilihat pada bagan berikut
ini (Gambar 2.9):7

Gambar 2.9. Guideline Diagnosis dan Pengobatan Rinitis Alergi6,7


Penatalaksanaan RA berdasarkan ARIA-WHO dapat dilihat pada
bagan berikut (Gambar 5):4,7

Gambar 2.10. Algoritma penatalaksanaan rinitis alergi berdasarkan ARIA-WHO 2,7

2. 3. 7. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :1,4,7
1) Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2) Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3) Sinusitis paranasal.

BAB III
Simpulan

Rinitis alergi adalah suatu penyakit akibat inflamasi pada mukosa hidung
dengan manifestasi pilek encer, bersin-bersin, hidung tersumbat, gatal pada hidung,
mata dan telinga maupun palatum. Penyakit ini merupakan penyakit yang tidak
mengancam nyawa tetapi pada kebanyakan kasus rinitis alergi dapat menyebabkan
gangguan pada aktifitas hidup sehari-hari yang pada akhirnya menyebabkan beban
pada masalah ekonomi dan kesehatan.
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien
yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Peran lingkungan
pada kejadian rhinitis alergi adalah sangat penting, ditinjau dari faktor alergen yang
mensensitisasi terjadinya penyakit ini.
Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menghindari faktor
penyebab yang dicurigai (avoidance), dimana apabila tidak dapat dihindari dapat
dibantu dengan terapi medika mentosa hingga pembedahan. Pasien dengan rinitis
alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik.

Daftar Pustaka
1. Lund, W. J. Fokkens. Dkk. 2020. European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps 2020. Amsterdam the Nattherlands.Official Journal of the European
and International Rhinologic Societies and of the Conference of European ORL-
HNS.
2. Aziza Atika et al. 2016. Effectiveness of Allergic Rhinitis Management Related to
WHO Guideline on Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA). Althea
Medical Journal; 3(4).
3. Diana Fatma, Haryuna Siti Hajar. 2017. Hubungan Rinitis Alergi dengan Kejadian
Otitis Media Supuratif Kronik. MKB volume 49 No.2.
4. Hilger PA. Penyakit Hidung. In: Highler, AB. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6 th
ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010. P. 210-7.
5. Lesmana, Wayan Lolik. Dkk. 2019. Distribusi berdasarkan umur, jenis kelamin, pekerjaan,
hasil tes cukit kulit dan jenis alergen pada penderita rinitis alergi di Poli THT-KL RSUP
Sanglah Denpasar Tahun 2015. MEDICINA 2019, Volume 50, Number 1: 109-114 P-
ISSN.2540-8313, E-ISSN.2540-8321.
6. Widuri, Astri. 2019. Terapi Antibodi IgE pada Rinitis Alergi- IgE Antibody Therapy in
Alerrgic Rhinitis. Mutiara Medika. Vol. 9 No. 1:63-68, Januari 2019.
7. Putra, Arta Eka. Dkk. 2017. ENT UPDATE. Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK
Udayana. PT. Percetakan Bali, Jl. Gajah Mada I/1 Denpasar 80112. Volume 01, No.1
Maret 2017.
8. Huriyati, Effy. 2018. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Disertai Asma
Bronkial. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas - RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Anda mungkin juga menyukai