Anda di halaman 1dari 21

JOURNAL READING

Allergic rhinitis

Disusun untuk Memenuhi Syarat dalam Mengikuti Ujian Profesi Kedokteran


Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
RSUD Wonosari

Disusun Oleh:
Savitri Indrasari
16711072

Pembimbing:
dr. Ima Dewi Rosmawati, M.Sc., Sp.THT-KL

SMF ILMU KESEHATAN THT


RSUD WONOSARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2022
Anatomi Hidung
 Hidung bagian luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan pangkal hidung dibagian atas dan
puncaknya berada dibawah. Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang
rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat. Kerangka tulang terdiri dari sepasang os
nasal, prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terdiri dari sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala
mayor) dan tepi anterior kartilago septum nasi. Otot-otot ala nasi terdiri dari dua
kelompok, yaitu kelompok dilator, terdiri dari muskulus dilator nares (anterior dan
posterior), muskulus proserus, kaput angular muskulus kuadratus labii superior dan
kelompok konstriktor yang terdiri dari muskulus nasalis dan muskulus depressor septi
(Dhingra, 2007).

 Hidung bagian dalam


Hidung bagian dalam dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi
kavum nasi kanan dan kavum nasi kiri yang tidak sama ukurannya. Lubang hidung
bagian depan disebut nares anterior dan lubang hidung bagian belakang disebut nares
posterior atau disebut choana. Bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan
ala nasi disebut vestibulum yang dilapisi oleh kulit yang mempunyai kelenjar keringat,
kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrisae. Rongga hidung dilapisi oleh
membran mukosa yang melekat erat pada periosteum dan perikondrium, sebagian besar
mukosa ini mengandung banyak pembuluh darah, kelenjar mukosa dan kelenjar serous
dan ditutupi oleh epitel torak berlapis semu mempunyai silia (Dhingra, 2007).
Kavum nasi terdiri dari :
1. Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum.
2. Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal prosesus frontalis, os
maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung
dibentuk oleh lamina kribrosa.
3. Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis
os palatum dan lamina pterigoideus medial.
4. Konka
Pada dinding lateral terdapat empat buah konka yaitu konka inferior, konka
media, konka superior dan konka suprema. Konka suprema biasanya rudimenter.
Konka inferior merupakan konka yang terbesar dan merupakan tulang tersendiri
yang melekat pada os maksila. Sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari etmoid.
5. Meatus nasi
Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus
nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus superior yang merupakan ruang antara konka
superior. Dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.
6. Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi.

Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh selaput lendir. Epitel organ pernapasan yang
biasanya berupa epitel kolumnar bersilia, berbeda- beda pada bagian hidung, pada ujung
anterior konka dan septum sedikit melampaui os internum masih dilapisi oleh epitel
berlapis gepeng tanpa silia, lanjutan epitel kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama
arus inspirasi epitel menjadi kolumnar, silia pendek agak ireguler. Sel-sel meatus media
dan inferior yang terutama menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang
tersusun rapi (Dhingra, 2007).

Gambar 2. Anatomi hidung bagian dalam


Definisi
Rinitis alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperantarai oleh IgE
dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama setelah terpapar dengan aeroalergen
(Dhingra, 2007; Bousquet, et al., 2008)
Epidemiologi
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang memberi dampak 10-
20% populasi. Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara mencapai 10-20%, di Eropa
sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10% (Madiadipoera, 2009).
Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami
peningkatan setiap tahunnya (Nurcahyo dan Eko, 2009).
Tomonaga, Kurono dan Mogi (1987) melaporkan hasil penelitian tentang rinitis
alergi dan terjadinya otitis media efusi, 21% dari subjek rinitis alergi mengalami otitis
media efusi. Sente, et al., (2001) melaporkan 86,5% timpanogram tipe B dan 13.5% tipe
C dari subjek rinitis alergi. Nguyen, et al., (2004) melaporkan hasil penelitian bahwa
pada subjek dengan atopi, inflamasi alergi terjadi pada kedua sisi tuba Eustachius, kedua
telinga tengah dan nasofaring.
Lazo Saenz, et al., (2005) melaporkan penelitian mengenai disfungsi tuba
Eustachius pada subjek rinitis alergi pada 80 orang subjek rinitis alergi dan 50 orang
normal dilakukan pemeriksaan skin prick test dan timpanometri, dilaporkan hasil
timpanometri yang signifikan pada subjek rinitis alergi (P<0.05) terutama pada anak
umur di bawah 11 tahun, di kelompok rinitis alergi didapatkan 16% timpanogram
abnormal (13% tipe C dan 3% tipe B) sedangkan di kelompok kontrol seluruhnya dengan
timpanogram tipe A.
Kudelska, et al., (2005) melakukan pemeriksaan audiometri dan timpanometri
pada 30 subjek rinitis alergi seasonal dan 30 subjek rinitis alergi perennial. Hasilnya pada
subjek rinitis alergi perennial ditemukan gangguan pendengaran tipe konduktif 26,7%
dengan gambaran timpanogram tipe B dan tipe C masing-masing 20% sedangkan pada
subjek rinitis alergi seasonal ditemukan gangguan pendengaran tipe konduktif 10%
dengan gambaran timpanogram tipe B 3,33% dan tipe C 6,67%. Skoner (2009)
melaporkan penelitian dari subjek otitis media efusi, terdapat 50% menderita rinitis
alergi.
Karya,et al., (2007) dalam studi mengenai pengaruh rinitis alergi sesuai
klasifikasi ARIA-WHO 2001 terhadap fungsi ventilasi tuba Eustachius pada 30 orang
subjek rinitis alergi dan 30 orang normal yang dilakukan pemeriksaan timpanometri
menemukan rinitis alergi terdiri atas rinitis alergi intermitten ringan 4 orang (13,3%),
rinitis alergi persisten ringan 11 orang (36,7%), rinitis alergi intermitten sedang-berat 1
orang (3,3%), rinitis alergi persisten sedang- berat 14 orang (46,7%). Dari subjek rinitis
alergi ada 1 orang (3,3%) timpanogram tipe B, 3 orang (10%) timpanogram tipe C dan
sisanya 26 orang (86,7%) tipe A . Dari semua subjek yang ada kelainan timpanometri,
semuanya adalah dengan persisten sedang-berat. Pada kelompok kontrol semuanya
normal.
Wulandari (2010) melaporkan penelitiannya tentang hubungan rinitis alergi
dengan penurunan tekanan udara telinga tengah, dimana menunjukkan ada hubungan
yang bermakna antara rinitis alergi dengan penurunan tekanan telinga tengah P =0,001;
OR 3,6; KI 95%.
Beberapa penelitian yang terkait melaporkan bahwa OMSK tipe benigna
mempunyai hubungan dengan faktor alergi yang sudah lazim terjadi selalu diawali oleh
gangguan fungsi tuba Eustachius. Suparyadi pada tahun 1990 di Semarang dalam
penelitiannya terhadap 60 orang OMSK tipe benigna mendapatkan 25,67% subjek
kemungkinan mempunyai faktor alergi. Susilo (2010) melaporkan terdapat hubungan
yang signifikan antara alergi dengan OMSK benigna.
Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2007, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Etiologi.
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak-anak. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman
biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides
farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa
dan binatang pengerat.
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat
tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa
berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang.
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan

Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung
sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau
reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA
kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex)
yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan
melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-
3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE
di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang
sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat
alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta
peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO).
Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat
serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa,
sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam
tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1,
yaitu rinitis alergi.
Gejala
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik,
yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik,
bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Disebut juga sebagai bersin patologis.. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung,
mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis
hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas
menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang
dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair.
Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam
dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani
atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal
termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda
laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara. Gejala lain yang tidak khas dapat
berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri
wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah,
kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.
Diagnosis
Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit secara umum dan
dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk
keterangan mengenai tempat tinggal, tempat kerja dan pekerjaan pasien.
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya adanya
rinore (cairan hidung yang bening encer), bersin berulang dengan frekuensi lebih dari 5
kali setiap kali serangan, hidung tersumbat baik menetap atau hilang timbul, rasa gatal di
hidung, telinga atau daerah langit-langit, mata gatal, berair atau kemerahan, hiposmia atau
anosmia (penurunan atau hilangnya ketajaman penciuman) dan batuk kronik.
Ditanyakan juga apakah ada variasi diurnal (serangan yang memburuk pada pagi
hari sampai siang hari dan membaik saat malam hari). Frekuensi serangan dan pengaruh
terhadap kualitas hidup perlu ditanyakan.
Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis, riwayat
atopi di keluarga, faktor pemicu timbulnya gejala, riwayat pengobatan dan hasilnya
adalah faktor-faktor yang tidak boleh terlupakan.
Pada pemeriksaan hidung (rinoskopi anterior) diperhatikan adanya edema dari
konka media atau inferior yang diliputi sekret encer bening, mukosa pucat dan edema.
Perhatikan juga keadaan anatomi hidung lainnya seperti septum nasi dan kemungkinan
adanya polip nasi.
Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas yang
ada.
1. Uji kulit cukit (Skin Prick Test).
Tes ini mudah dilakukan untuk mengetahui jenis alergen penyebab alergi.
Pemeriksaan ini dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak-anak. Tes
ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE
spesifik. Akan lebih ideal jika bisa dilakukan Intradermal Test atau Skin End Point
Titration Test bila fasilitas tersedia.
2. IgE serum total.
Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis alergi dan 75%
penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rinitis alergi. Kadar dapat
meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan menurun pada imunodefisiensi.
Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk
diagnostik.
3. IgE serum spesifik.
Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang diagnosis rinitis alergi
seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil negatif tapi dengan gejala klinis yang
positif. Sejak ditemukan teknik RAST (Radioallergosorbent test) pada tahun 1967,
teknik pemeriksaan IgE serum spesifik disempurnakan dan komputerisasi sehingga
pemeriksaan menjadi lebih efektif dan sensitif tanpa kehilangan spesifisitasnya,
seperti Phadebas RAST, Modified RAST, Pharmacia CAP system dan lain-lain.
Waktu pemeriksaan lebih singkat dari 2-3 hari menjadi kurang dari 3 jam saja.
4. Pemeriksaan sitologis atau histologis
Bila diperlukan untuk menindaklanjuti respon terhadap terapi atau melihat
perubahan morfologik dari mukosa hidung.
5. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test).
Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi,
dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu negatif.
6. Foto polos sinus paranasal/CT Scan/MRi.
Dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti adakah
komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi dan jika direncanakan
tindakan operasi.
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah:
1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan
inflamasi.
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-
hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan.
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan
terhadap penyakitnya. Termasuk dalam hal ini mengubah gaya hidup seperti pola
makanan yang bergizi, olahraga dan menghindari stres.
5. Mengubah jalannya penyakit atau pengobatan kausal.
Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat diberikan obat-obatan
sebagai berikut:
1. Antihistamin
Antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinitis alergi. Secara
garis besar dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1 golongan
baru. Antihistamin H1 klasik seperti Diphenhydramine, Tripolidine,
Chlorpheniramine dan lain-lain. Golongan ini efektif dalam mengendalikan
rhinorhea, bersin dan gaatal yang berhubungan dengan rinitis alergi, tidak ada studi
keamanan jangka panjang pada antihistamin generasi pertama, obat ini memiliki
resseptor selektivitas dan bertindak pada reseptor muscarinik yang menyebabkan
mulut kering, retensi urin, konstipasi dan takikardi. Sedangkan antihistamine
generasi baru seperti Terfenadine, Loratadine, Desloratadine dan lain-lain.
2. Kortikosteroid intranasal.
Kortikosteroid inranasal juga merupakan terapi lini pertama untuk pasien rinitis
alergi persisten atau dengan gejala yang berat dan dapat menggunakanya sendiri,
serta dapat dikombinasikan dengan antihistamin oral. Bila digunakan secara teratur
dan benar, kortikosteroid intranasal efektif mengursngi peradangan mukosa hidung.
Kortikosteroid intranasal yang tersedia di Kanada seperti flutikason furoat (avamys),
beclimethason (beconase), flutikason propianat (flonase), triamcinolone acetonide
(nasacort), mometason (nasonex).
3. Antagonis reseptor leukotrien
Pertimbangan pemberian antagonis reseptor leukotrien (LTRas) ketika antihistamin
oral dan/ atau kortikosteroid intranasal tidak ditoleransi dengan baik atau tidak
efektif dalam mengendalikan gejala rinitis alergi. Jika terapi farmakologi kombinasi
antara antihistamin oral, kortikosteroid intranasal dan LTRas tidak efektif, maka
pemberian alergen imunoterapi harus dipertimbangkan.
Komplikasi.
a) Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan
limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia
skuamosa.
b) Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c) Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri
terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel
antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel
eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.
Allergic rhinitis
Peter Small, Paul K. Keith and Harold Kim

ABSTRAK
Rinitis alergi adalah gangguan umum yang sangat terkait dengan asma dan konjungtivitis.
Ini biasanya merupakan kondisi lama yang sering tidak terdeteksi. Gejala klasik
gangguan ini adalah hidung tersumbat, hidung gatal, rhinorrhea dan bersin. Anamnesis
yang lengkap, pemeriksaan fisik dan tes kulit allergen penting untuk menegakkan
diagnosis rinitis alergi. Antihistamin oral generasi kedua dan kortikosteroid intranasal
adalah pengobatan utama. Imunoterapi alergen adalah pengobatan modulasi kekebalan
yang efektif yang harus direkomendasikan jika terapi farmakologis untuk rinitis alergi
tidak efektif atau tidak dapat ditoleransi, atau jika dipilih oleh pasien. Artikel ini
memberikan gambaran tentang patofisiologi, diagnosis, dan manajemen yang tepat dari
gangguan ini

Latar Belakang
Rhinitis secara luas didefinisikan sebagai peradangan pada mukosa hidung. Ini
adalah gangguan umum yang mempengaruhi hingga 40% dari populasi. Rinitis alergi
adalah jenis rinitis kronis yang paling umum, mempengaruhi 10-20% populasi, dan bukti
menunjukkan bahwa prevalensi gangguan ini meningkat. Rhinitis alergi parah telah
dikaitkan dengan gangguan yang signifikan dalam kualitas hidup.
Rinitis alergi dianggap sebagai kelainan yang terlokalisasi pada hidung dan
saluran hidung, tetapi bukti saat ini menunjukkan bahwa itu mungkin mewakili
komponen penyakit saluran napas sistemik yang melibatkan seluruh saluran pernapasan.
Ada sejumlah hubungan fisiologis, fungsional dan imunologis antara bagian atas (hidung,
rongga hidung, sinus paranasal, tuba Eustachius, faring dan laring) dan saluran
pernapasan bawah (trakea, saluran bronkial, bronkiolus dan paru-paru). Misalnya, kedua
saluran mengandung epitel bersilia yang terdiri dari sel goblet yang mengeluarkan lendir,
yang berfungsi untuk menyaring udara yang masuk dan melindungi struktur di dalam
saluran udara. Selanjutnya, submucosa saluran udara atas dan bawah mencakup
kumpulan pembuluh darah, kelenjar lendir, sel pendukung, saraf, dan sel inflamasi
menyebabkan respon inflamasi lokal, tetapi juga dapat menyebabkan proses inflamasi di
saluran pernapasan bagian bawah, dan ini didukung oleh fakta bahwa rinitis dan asma
sering terjadi bersamaan. Oleh karena itu, rinitis alergi dan asma tampaknya mewakili
penyakit inflamasi saluran napas gabungan, dan ini perlu dipertimbangkan untuk
memastikan penilaian dan pengelolaan yang optimal pada pasien dengan rinitis alergi.

Patofisiologi
Pada rinitis alergi terdapat banyak sel inflamasi, termasuk sel mast, sel T CD4,
sel B, makrofag, dan eosinofil, yang dikeluarkan ke lapisan hidung saat terpapar alergen
pemicu (paling sering partikel debu tungau di udara, residu kecoa, bulu binatang), dan
serbuk sari). Pada individu yang alergi, sel T yang menginfiltrasi mukosa hidung
sebagian besar bersifat T helper 2 (Th2) dan melepaskan sitokin (misalnya interleukin
[IL]-3, IL-4, IL-5, dan IL-13) yang meningkatkan imunoglobulin. Produksi E (IgE) oleh
sel plasma. Ikatan silang IgE yang terikat pada sel mast oleh alergen, selanjutnya memicu
pelepasan mediator, seperti histamin dan leukotriene yang bertanggung jawab untuk
pelebaran arteriolar, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, gatal-gatal, rinore,
sekresi lendir, dan kontraksi otot polos di paru-paru. Mediator dan sitokin yang
dilepaskan selama fase awal respons imun terhadap alergen pemicu yang akan memicu
respons inflamasi seluler lebih lanjut selama 4-8 jam berikutnya (respon inflamasi fase
akhir) yang menghasilkan gejala berulang (biasanya hidung tersumbat) yang sering
menetap.

Klasifikasi
Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh merupakan landasan untuk
menegakkan diagnosis rhinitis alergi. Tes alergi juga penting untuk memastikan bahwa
alergi yang mendasari menyebabkan rinitis. Rujukan ke ahli alergi harus dipertimbangkan
jika diagnosis rinitis alergi dipertanyakan.
Meskipun anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh diperlukan untuk
menegakkan diagnosis klinis rinitis, tes diagnostik lebih lanjut diperlukan untuk
memastikan bahwa alergi yang mendasari menyebabkan rinitis. Skin-prick testing
dianggap sebagai metode utama untuk mengidentifikasi pemicu alergi spesifik rinitis.
Skin-prick testing menempatkan setetes ekstrak komersial dari alergen tertentu pada kulit
lengan bawah atau punggung, kemudian memasukkan ekstrak ke dalam epidermis. Dalam
waktu 15-20 menit, sebuah wheal-and-flare respon (benjolan pucat tidak teratur yang
dikelilingi oleh area kemerahan) akan terjadi jika tesnya positif. Pengujian biasanya
dilakukan dengan menggunakan alergen yang relevan dengan lingkungan pasien
(misalnya, serbuk sari, bulu binatang, jamur dan tungau debu rumah). Sebuah alternatif
dari Skin-prick testing adalah penggunaan tes IgE spesifik allergen (misalnya, dilakukan
dengan uji imunosorben-sebelumnya dilakukan oleh tes radioallergosorbent [RASTs])
yang memberikan ukuran in vitro dari tingkat IgE spesifik pasien terhadap allergen
tertentu.

Tatalaksana
Kesimpulan
Rhinitis alergi adalah gangguan umum yang secara signifikan dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang komprehensif. Tes diagnostik lebih lanjut menggunakan skin
prick test atau tes IgE spesifik alergen biasanya diperlukan untuk memastikan bahwa
alergi yang mendasari menyebabkan rinitis. Pilihan terapi yang tersedia untuk pengobatan
rinitis alergi efektif dalam mengelola gejala dan umumnya aman dan dapat ditoleransi
dengan baik. Antihistamin oral generasi kedua dan kortikosteroid intranasal adalah
pengobatan utama untuk gangguan ini. Imunoterapi alergen serta obat lain seperti
dekongestan dan kortikosteroid oral mungkin berguna pada kasus tertentu.
Critical Appraisal
Section A: Are the results of the review valid?

1. Did the review address a Yes HINT: An issue can be ‘focused’ In terms
clearly focused question? of
Can’t Tell • the population studied
• the intervention given
No • the outcome considered

Comments:

4. Did the authors look for the Yes HINT: ‘The best sort of studies’ would
right type of papers?  address the review’s question
Can’t Tell  have an appropriate study design
(usually RCTs for papers evaluating
No
interventions)

Comments:

Is it worth continuing?

5. Do you think all the Yes HINT: Look for


important, relevant studies • which bibliographic databases were
were included? Can’t Tell used
• follow up from reference lists
No
• personal contact with experts
• unpublished as well as published studies
• non-English language studies

Comments:

4. Did the review’s authors do Yes HINT: The authors need to consider the
enough to assess quality of rigour of the studies they have identified.
the included studies? Can’t Tell Lack of rigour may affect the studies’
results (“All that glisters is not gold”
No Merchant of Venice – Act II Scene 7)

Comments:

5. If the results of the review Yes HINT: Consider whether


have been combined, was it • results were similar from study to study
reasonable to do so? Can’t Tell • results of all the included studies are
clearly displayed
No
• results of different studies are similar
• reasons for any variations in results are
discussed

Comments:

Section B: What are the results?

6. What are the overall results of the review? HINT: Consider


• If you are clear about the review’s
‘bottom line’ results
• what these are (numerically if
appropriate)
• how were the results expressed (NNT,
odds ratio etc.)

Comments:
Hasil dari review baik karena dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai patofisiologi,
diagnosis, dan manajemen yang tepat dari rhinitis alergi

7. How precise are the results? HINT: Look at the confidence intervals,
if given
Comments:
Tidak dapat dijelaskan

Section C: Will the results help locally?

8. Can the results be applied to Yes HINT: Consider whether


the local population?  the patients covered by the review could
Can’t Tell be sufficiently different to your
population to cause concern
No  your local setting is likely to differ
much from that of the review

Comments:

9. Were all important outcomes Yes HINT: Consider whether


considered?  there is other information you would
Can’t Tell like to have seen

No

Comments:

10. Are the benefits worth the Yes HINT: Consider


harms and costs?  even if this is not addressed by the
Can’t Tell review, what do you think?

No

Comments:

Anda mungkin juga menyukai