PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4 4
5
2
Tegaknya hidung didukung oleh rangka hidung yang terdiri dari :
1) Os. Nasal D/S
2) Prosesus frontalis maksila D/S
3) Kartilago lateralis D/S
4) Kartilago alaris D/S
5) Septum nasi
2. Kavum Nasi
Kavum nasi merupakan rongga yang mempunyai :
1. Atap : dibentuk lam. Kribosa os. Etmoidalis
2. Dasar:
- dibentuk proc. Palatina os. Maksila
- dibentuk proc. Horisontalis os. Palatina
3. Dinding lateral : dibentuk konka nasi & meati nasi
4. Dinding medial : dibentuk sept. nasi
3
Gambar 2.3 Kavum Nasi (Netter, 2014)
Septum nasi membagi 2 bagian kavum nasi kanan kiri. Septum nasi dibentuk
oleh :
1. bag. Superior oleh lamina perpendicularis os. Etmoidalis
2. bag. Anterior oleh kartil. Quadrangularis (kartil. septi nasi)
3. bag. Posterior oleh vomer
4
Konka nasalis terdiri dari :
1. Konka Nasi Inferior
• Terbesar & Terpanjang
• Kaya Pembuluh Darah Plx. Cavernosus Concharum
• Dibawahnya Ada Meatus Nasi Inferior Muara Duct. Nasolacrimalis
(Katub Hasner)
2. Konka Nasi Medius
Dibawahnya Ada Meatus Nasi Medius Muara Sinus Frontalis, Etmoid
Anterior & Maxillaris.
Kompleks Ostiomeatal ( KOM) terdiri dari :
a. Proc. Unsinatus
b. Infundibulum Ethmoid
c. Hiatus Semilunaris
d. Bula Ethmoid
e. Ostium Maksilaris
3. Konka Nasi Superior
Dibawahnya Ada Meatus Nasi Superior Muara Sinus Ethmoid Posterior &
Sphenoid
4. Konka Nasi Suprema
Terkecil & Biasanya Rudimenter
5
Vaskularisasi hidung terdiri dari pleksus kisselback (Little’s area) dan pleksus
woodruff (Dhingra, 2018; Higler, 2012).
1. Pleksus Kiesselbach (Little’s area)
Pleksus Kiesselbach (Little’s area) terdiri dari anastomose a. sfenopalatina.
A. etmoid anterior, a. labialis superior & a. palatina mayor yg terletak
superfisial di bagian anterior septum.
2. Pleksus Woodruff
Pleksus woodruff terdiri dari anastomose a. sfenopalatina & a. faringeal
posterior yg terletak di posterior konka inferior (Dhingra, 2018; Higler,
2012).
6
Gambar 2. 7 Transduksi Olfaktori (Tortora, 2009)
7
Gambar 2.8 Olfactory tract (Tortora, 2009)
8
Gambar 2.9 Fisiologi Fungsi Penghidu (Tortora, 2009)
9
terdapatnya gejala (Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah
Kepala dan Leher, 2015; Septriana, 2018; Klimek, 2018):
1. RA Intermiten, bila gejala berlangsung:
- kurang dari 4 hari dalam seminggu, atau
- kurang dari 4 minggu
2. RA Persisten, bila gejala berlangsung:
- lebih dari 4 hari dalam seminggu, dan
- lebih dari 4 minggu
Berdasarkan beratnya gejala:
1. Ringan, berarti tidak terdapat salah satu dari hal-hal sebagai berikut:
- gangguan tidur
- gangguan aktivitas sehari-hari/malas/olahraga
- gangguan pekerjaan atau sekolah
- gejala dirasakan mengganggu
2. Sedang-berat, berarti didapatkan satu atau lebih hal-hal berikut:
- gangguan tidur
- gangguan aktivitas sehari-hari/malas/olahraga
- gangguan pekerjaan atau sekolah
- gejala dirasakan mengganggu
Berdasarkan uraian tersebut, rinitis alergi dapat dikelompokkan menjadi 4:
1. Intermiten ringan
2. Intermiten sedang-berat
3. Persisten ringan
4. Persisten sedang-berat
10
berperan pada ekspresi rinitis alergi. Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi
atas:
1. Alergen inhalan, yaitu alergen yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang, serta jamur.
2. Alergen ingestan, yaitu alergen yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan
misalnya susu, telur, coklat, ikan, dan udang.
3. Alergen injektan, yaitu alergen yang masuk melalui suntikan atau tusukan,
misalnya penisilin atau sengatan lebah
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan
pada anak-anak, dimana pada anak-anak sering dijumpai gejala alergi lain serperti
urtikaria dan gangguan pencernaan (Dhingra, 2018; Kolegium Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Dan Leher, 2015; Putra, 2017).
Sedangkan berdasarkan jenis alergennya, penyebab rinitis alergi dapat
digolongkan menjadi dua kelompok, yakni penyebab spesifik dan non spesifik.
1) Penyebab Spesifik
Sebagian besar anggota kelompok ini merupakan alergen hirupan (inhalan),
dimana alergen inhalan merupakan alergen yang sering ditemukan, biasanya
terbagi ke dalam 2 jenis berdasarkan kemampuan hidup dalam lingkungannya,
yaitu perenial dan seasonal :
A. Alergen perenial
Merupakan alergen yang ada sepanjang tahun dan sulit dihindari. Contoh:
1. Debu rumah
Debu rumah adalah alergen gabungan yang terdiri dari tungau, kecoa,
partikel kapas, serpih kulit manusia, dan lain-lain. Merupakan alergen
udara dengan ukuran >10µm yang sering pada ruang tertutup.
2. Tungau debu rumah
Merupakan komponen alergi tersering yang hidup dari serpihan kulit
manusia. Terdapat dua spesies utama yaitu Dermatophagoides farinae
dan Dermatophagoides pteronyssinus. Mereka lebih suka hidup pada
11
suhu 21,1-26,6˚C sehingga tidak ditemukan pada ketinggian lebih dari
5000 kaki.
3. Serpihan kulit binatang
Serpihan kulit kucing mengandung antigen Fel D1 yang diproduksi pada
kelenjar sebasea kulit kucing. Serpihan kulit anjing mempunyai antigen
yang bervariasi dan umumnya kurang kuat untuk menyebabkan alergi.
Serpihan kulit binatang lainnya juga ditemukan menyebabkan alergi
seperti unggas, kuda, atau sapi yang biasanya terjadi di kawasan
pertanian dan peternakan.
4. Jamur
Jamur merupakan alergen yang ditemukan baik di dalam maupun di luar
ruangan. Berkembang dengan baik pada daerah yang lembab diatas
barang yang busuk, ruang bawah tanah, tumpukan koran lama, debu
kayu, dan tempat lainnya. Penyebab tersering diantaranya genus
Alternaria, Aspergillus, Pullularia, Hormodendrum, Penicillium, dan
Cephalosphorium.
5. Kecoa
Alergen ini sulit dihilangkan dan terdapat pada rumah yang kotor. Pada
anak-anak, alergi terhadap kecoa berhubungan dengan asma. Alergen
berasal dari sekresi serangga, yang terdapat pada badan dan sayap kecoa
(Dhingra, 2018; Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Dan Leher, 2015; Putra, 2017).
12
3. Terdistribusi luas dan,
4. Bersifat alergik
Tipe-tipe allergen musiman adalah:
1. Pohon, biasanya pada musim dingin dan musim semi, bulan Februari-Mei
2. Rumput, biasanya pada musim semi, dan gugur, bulan April-Desember
3. Rumput liar, biasanya pada musim panas dan gugur, bulan Juli-Desember.
2) Penyebab Nonspesifik
Penyebab nonspesifik rinitis alergi diantaranya iklim, hormonal, psikis, infeksi,
dan iritasi. Perubahan iklim akan menyebabkan perubahan lingkungan. Udara
lembab, perubahan suhu, dan angin secara tidak langsung berpengaruh
terhadap penyebaran debu rumah dan serbuk sari bunga, disamping memberi
suasana yang baik untuk tumbuhnya berbagai macam jamur (Dhingra, 2018;
Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Dan
Leher, 2015; Putra, 2017)..
13
2.6 Patofisiologi Rhinitis Alergi
14
Mukosa hidung, merupakan daerah yang langsung berhubungan dengan
lingkungan luar dan terus menerus terpapar dengan polusi udara, virus patogen,
bakteri, spora jamur dan alergen yang berasal dari serbuk sari, debu rumah, debu
tungau dan bulu binatang dan lain sebagainya. Oleh karena itu, hidung berfungsi
untuk melindungi saluran nafas bawah dari dampak buruk akibat paparan tersebut
dengan cara menyaring dan menghangatkan udara inspirasi yang masuk melalui
hidung (Jimenez, 2012; Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Dan Leher, 2015).
Pada Rhinitis Alergi (RA) bisa terjadi inflamasi membrana mukosa hidung,
mata, tuba Eustachius, telinga tengah, hidung, sinus dan faring. Hidung merupakan
organ yang sudah pasti terkena, sedangkan organ yang lain dapat bersifat
individual. Inflamasi pada membrana mukosa memiliki karakteristik yang
disebabkan oleh interaksi berbagai mediator inflamasi tetapi yang paling dominan
berperan adalah IgE. Kecenderungan untuk berkembang menjadi alergi tehadap
alergen erat kaitannya berhubungan dengan komponen genetik yaitu riwayat atopi.
Karakteristik yang membedakan RA dengan rinitis lainnya adalah adanya
keterlibatan dari IgE. IgE itu sendiri adalah suatu fraksi terkecil dari serum manusia,
akan tetapi aktifitas biologis IgE dipengaruhi oleh aktifitas reseptor permukaan
spesifik yang berikatan dengannya. Dampak ikatan antibodi-anti IgE pada gejala
RA membuktikan peranan IgE dalam patofisiologi RA (Jimenez, 2012; Kolegium
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Dan Leher, 2015).
Gejala klinis RA berlangsung dalam beberapa fase, yaitu :
Fase sensitisasi
Setiap individu dengan dugaan penyakit alergi, kontak awal dengan alergen
akan menghasilkan produksi molekul IgE spesifik sebagai suatu proses yang
dinamakan sensitisasi. Hal ini dimulai ketika makrofag dan Antigen Presenting
Cel (APC) sebelum dipresentasikan pada sel T helper, yang kemudian
berinteraksi dengan limfosit B dan kemudian mengalami diferensiasi menjadi
sel IgE plasma. Bentuk baru molekul antigen IgE spesifik ini disekresikan dan
berikatan dengan reseptor afinitas tinggi (FceRI) yang berada pada sel mast
dan basofil, platelet, eosinofil teraktifasi, dan sel langerhans dan menjadi
15
afinitas rendah (FceRII/CD23) yang berada pada berbagai jenis sel termasuk
sel B, makrofag, monosit sel dendrit folikular dan eosinofil. Reseptor IgE
afinitas tinggi pada sel mast berperan pada respon alergi awal (Jimenez, 2012)..
Fase respon cepat
Fase ini diperantarai oleh sel mast dan basofil. Pada individu yang telah
tersensitisasi, paparan berulang dengan alergen yang sama memulai langkah
kedua pada proses respon alergi, yaitu suatu reaksi alergi cepat, dengan
karakteristik hidung berair, hidung buntu, bersin dan hidung gatal. Cross link
IgE dengan alergen muncul sangat cepat sekitar 5 menit dan dapat bervariasi
bergantung pada mediator kedua jenis sel tersebut, termasuk histamin,
prostaglandin, kininogen dan protease (triptase, kinase) serta TNF α. Dalam
fase kedua ini pada rongga hidung, terjadi interaksi antigen dengan molekul
IgE spesifik pada permukaan sel mast. Eksudasi plasma menghasilkan edema
pada mukosa hidung. Eksudasi juga menimbulkan pelepasan mediator dan
enzim termasuk kinin, albumin, mediator proinflamasi, dan fraksi komplemen
aktifasi yang tampak pada sekret hidung. Pada reaksi fase cepat juga terjadi
aktifasi sel epitel dan pelepasan neuropeptida substansi P (Jimenez, 2012)..
Fase respon lambat
Fase respon lambat muncul 4-6 jam setelah paparan alergen dengan
karakteristik berupa terkumpulnya sel-sel inflamasi diantaranya eosinofil,
basofil, makrofag dan sel T yang dihasilkan oleh aktivasi sel endotelial pada
ujung vena kapiler oleh mediator inflamasi yang dikeluarkan selama fase
respon cepat. Pada fase ini terjadi peningkatan gejala dan karakteristik level
mediator dibandingkan reaksi alergi cepat. Jika dilakukan monitor secara
terus menerus terhadap respon selama beberapa jam, gejala timbul kembali,
berhubungan dengan tingginya mediator inflamasi yang dijumpai pada
sekitar 50% pasien, dapat menunjukkan adanya fase respon lambat. Selama
fase respon lambat, penderita kembali mengalami gejala bersin, hidung
berair, dan hidung buntu, dengan gejala yang paling dominan adalah hidung
buntu. Mediator inflamasi dilepaskan selama reaksi fase lambat yang
kemudian menstimulasi produksi, maturasi dan infiltrasi sel inflamasi,
16
termasuk basofil, eosinofil, neutrofil, dan sel mononuklear yang dapat
ditemukan pada sekret hidung (Jimenez, 2012).
17
posterior (daerah tenggorokan yang berada dibelakang mulut), dada, dan kulit.
Tanda-tanda outward yang menunjukkan rinitis alergi meliputi: bernafas lewat
mulut secara persisten, menggaruk hidung atau daerah lipatan hidung
transversal, sering pilek, batuk/membersihkan tenggorokan, dan allergic
shiners (daerah hitam di bawah mata akibat kongesti nasal). Pemeriksaan
hidung menunjukkan (Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Dan Leher, 2015; Dhingra, 2018; Adelien, 2018):
1) Rinoskopi anterior menggunakan cahaya yang cukup dan spekulum
hidung: udim dari konka inferior/media yang diliputi sekret cair, mukosa
pucat, kemungkinan adanya polip nasi.
2) Nasoendoskopi, terdapat gambaran konka bulosa atau polip nasi kecil di
meatus medius dan keadaan kompleks ostiomeatal .
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas
yang ada. Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain skin
prict test (SPT/tes cukit kulit), IgE serum total, IgE serum spesifik, maupun
pemeriksaan histologis. SPT merupakan tes yang paling sesuai karena mudah
dilakukan, dapat ditoleransi oleh sebagian besar penderita termasuk anak. Tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE
spesifik (Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Dan
Leher, 2015; Dhingra, 2018; Adelien, 2018).
Sekitar 12-18 ekstrak alergen terstandar digunakan dalam setiap pemeriksaan
SPT bergantung pada jenis kit SPT komersial yang digunakan. Beberapa ekstrak
alergen merupakan alergen yang telah dicampur, sehingga total jumlah alergen
yang diuji mencapai 50. Histamin hidroklorin (10mg/Ml) dan saline gliserol
digunakan berturut-turut sebagai kontrol positif dan kontrol negatif. SPT dilakukan
pada permukaan volar kulit yang sehat lengan bawah pasien, 5 cm dibawah siku
dan 5 cm diatas pergelangan tangan, dengan jarak alergen masing-masing 20-30
mm. Pada permukaan kulit diteteskan masing-masing 1 tetes dari setiap ekstrak
alergen, kemudian ditusuk menggunakan lanset steril. Dua puluh menit kemudian
weal dihitung diameternya. Pemeriksaan diaggap valid apabila ukuran kontrol
18
positif ≥ 4mm dan kontrol negatif ≤ 3 mm. Reaksi dianggap positif apabila diameter
weal lebih besar > 2mm dibanding kontrol negatif. Diameter weal ≤ 3mm dianggap
negatif (Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Dan
Leher, 2015; Dhingra, 2018; Adelien, 2018).
Adapun pemeriksaan IgE serum total dinilai kurang bermanfaat sedangkan IgE
serum spesifik tergolong mahal.Pemeriksaan histologis dilakukan bila ingin
menentukan jenis rinitis antara alergi/non alergi dan rinitis akibat infeksi dan
menindaklanjuti respons terhadap terapi atau melihat perubahan morfologik dari
mukosa hidung. (Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah
Kepala Dan Leher, 2015; Dhingra, 2018; Adelien, 2018)
19
2.8 Tatalaksana Rhinitis Alergi
20
Eliminasi alergen masih merupakan terapi utama dalam penatalaksanaan RA,
akan tetapi dalam prakteknya tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Di negara tropis
seperti Indonesia, yang sangat berperan pada rinitis alergi adalah tungau debu
rumah, bulu binatang dan alergen kecoa. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
menghindari tercetusnya RA yaitu membungkus kasur dan bantal dengan bahan
khusus, atau mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila
mungkin dengan air panas (>55 C) (Putra, 2017; Dhingra, 2018).
Farmakoterapi diperlukan karena penderita RA tidak bisa secara total
menghindari paparan alergen terutama alergen inhalan dan harus memenuhi
kriteria: aman dan efikasi tinggi, mudah pemberiannya, absorbsi cepat, cara kerja
cepat, tidak ada efek samping dan mempunyai aktivitas ‘anti-alergenik tinggi’.
Farmakoterapi yang dapat diberikan meliputi: anti histamin, kortikosteroid
intranasal, dekongestan, stabilisator sel mast, anti kolinergik intranasal, anti
leukotrien dan anti IgE antibodi. Pemilihan obat yang diberikan harus
bijaksana dan selektif dengan memperhatikan keluhan yang dirasakan oleh
penderita. Obat yang dipilih disesuaikan dengan keluhan penderita baik berupa obat
tunggal maupun kombinasi ) (Putra, 2017; Dhingra, 2018).
Imunoterapi spesifik adalah memberikan alergen yang sesuai dengan hasil tes
kulit, dosisnya secara bertahap dinaikkan sampai dosis maksimal yang tidak
menimbulkan serangan/gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang
simptomnya pada paparan alergen penyebab. Secara klinik imunoterapi pada rinitis
alergi terbukti efektif. Terdapat beberapa cara imunoterapi yaitu injeksi sub kutan,
pernasal, sub lingual, oral dan lokal) (Putra, 2017; Dhingra, 2018).
21
Berdasarkan ARIA guideline 2019 treatment of allergic rhinitis in the
German health system, tatalaksana rhinitis alergi dibagi menjadi dua yaitu pada
untreated patients dan treated patients. Pada step-up algorithm di untreates patients
bedasarkan skala analog visul. Berdasarkan nilai VAS apabila nilai VAS <5 maka
diberikan treatment lini pertama kemudian dievaluasi selama 48-72 jam kemudian
dinilai kembali VAS. Apabila VAS ≥5 maka akan di golongkan menjadi
intermittent rhinitis atau persistent rhinitis kemudian di sesuaikan terapinya sesuai
bagan dibawah ini, kemudian dilakukan evaluasi 48-72 jam sesuai bagan di bawah
ini (Klimek, 2019).
22
Gambar 2.13 Algorithm Treated Patients (Klimek, 2019)
23
BAB 3.
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
25