Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN TUTORIAL

BLOK THT

SKENARIO 1

KELOMPOK A-3
Aryanda Taufirachman G0014041
Arrina Esthesia Karim G0014045
Evan Permana Putra G0014087
Fauziah Nur Sabrina G0014097
Indah Ariesta G0014121
Lestari Eliza G0014137
Muhammad Adi Amali G0014141
Nur Fajri Rahmi G0014179
Putra Priambodo G0014189
Ratna Ningsih G0014197
Sarah Azzahro G0014217
Tiara Wahyu G0014229

TUTOR : dr. Muthmainah, M.NeuroSci

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Blok THT merupakan blok ke-17 dalam pendidikan di program studi
Fakultas Kedokteran UNS. Blok THT merupakan blok yang mempelajari
dasar-dasar sistem penghidu, vestibuler dan auditori manusia meliputi
anatomi, histologi, dan fisiologi organ penghidu, vestibuler dan auditori
yang kemudian diimplementasikan dalam berbagai macam penyakit
berdasarkan patofisiologi gejala, patomekanisme penyakit, penunjang
diagnostik, dan penatalaksanaan secara komprehensif. Diharapkan blok ini
dapat menjadi media untuk mempelajari kelainan pada sistem tersebut
berdasarkan patofisiologi, gejala, patomekanisme penyakit, penunjang
diagnostik dan penatalaksanaan secara komprehensif.
Dalam laporan ini kami akan membahas kompetensi yang harus
dikuasai dokter umum diatas berdasarkan skenario pertama blok THT
yaitu bagaimana patogenesis dan patofisiologi gejala, patomekanisme
penyakit, penunjang diagnostik, dan penatalaksanaan secara komprehensif
serta berbagai materi lain yang berhubungan.

B. Tujuan Pembahasan
1. Menjelaskan dasar anatomi, fisiologi dan histologi laring dan
faring.
2. Menjelaskan patofisiologi laringitis.
3. Menjelaskan faktor-faktor pencetus terjadinya gangguan penyakit
laring dan faring.
4. Menjelaskan definisi, penyebab, serta macammacam laringitis.
5. Menbandingkan perbedaan manifestasi klinis laringitis dan
faringitis.
6. Menentukan dan memahami hasil interpretasi pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang diagnosa pada penyakit laringitis.

1
7. Menjelaskan etiopatofisiologi dan gambaran klinis serta terapi dari
berbagai penyakit laring dan faring (diagnosis dan diagnosis kerja).
8. Menentukan prognosis dan komplikasi.
9. Menjelaskan manajemen dan penatalaksanaan diagnosis kerja yang
meliputi terapi konservatif, medikamentosa, non medikamentosa
dan lain-lain.

C. Skenario

SUARAKU SERAK

Seorang laki-laki, usia 32 tahun, pekerjaan penyanyi kafe, datang ke


Poliklinik THT dengan keluhan suara serak dan makin lama makin hilang.
Keluhan sudah dirasakan sejak 4 bulan terakhir. Keluhan disertai dengan
tenggorokan terasa kering terutama pada pagi hari, kadang dirasakan nyeri telan,
kadang disertai batuk. Tidak didapatkan keluhan sulit menelan. Pasien
mempunyai hobi menyanyi dan sejak timbul keluhan tersebut pasien sudah tidak
dapat bernyanyi lagi. Pasien merokok, setiap hari menghabiskan + bugkus
rokok. Pasien juga mempunyai kebiasaan mengkonsumsi goreng-gorengan, es dan
makanan instant.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan: kesadaran compos mentis, tekanan
darah 120/80 mmHg, denyut nadi 80 x/menit, respiration rate 18 x/menit, suhu
360 c. Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan: tonsil T1-T1, granulasi (+) di
dinding faring posterior, hiperemis (+). Dari pemeriksaan laringoskopi indirek
didapatkan epiglotis edema (-), plica aryepiglotica edema (-), aritenoid edema (+),
mukosa hiperemis, plica vocalis edema (+), gerakan plica vocalis sulit dievaluasi.
Pada pemeriksaan hidung dan telinga tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan
kelenjar getah bening leher tidak didapatkan lymphadenopathy.

2
Dari skenario di atas, terdapat beberapa istilah yang perlu diklarifikasi di
antaranya adalah
1. Granulasi : jaringan fibrosa yang dibentuk dari bekuan darah dan
membentuk jaringan parut yang berasal dari agregat makrofag.
2. Plica aryepiglottica edema : Pembengkakan pada membran mucosa
yang melapisi cartilago arytenoidea dan cartilago epiglotica. Lipatan
ini berjalan ke belakang dari bagian samping epiglotis menuju
cartilago arytenoidea membentuk batas aditus laryngis
3. Laringoskopi indirect : pemeriksaan laring secara visual secara tidak
langsung dengan menggunakan kaca laring.
4. Plica vocalis : dua lembar membrana mukosa tipis yang terletak di
atas ligamentum vocale, dua pita fibrosa yang teregang diantara
bagian dalam kartilago thyroidea di bagian depan dan cartilago
arytenoidea di bagian belakang.
5. Arytenoid : salah satu kartilago yang menyusun laring, mempunyai
ukuran yang kecil berjumlah sepasang terletak di dekat permukaan
belakang laring, berbentuk seperti piramid, bertanggung jawab untuk
membuka dan menutup laring dan membentuk sendi dengan kartilago
krikoid disebut artikulasi krikoaritenoid.
6. Tonsil T1-T1 : bila besar tonsil 1/4 jarak arkus anterior dan uvula
(ukuran yang normal ada).
7. Hiperemis : : Mucosa tampak kemerahan karena inflamasi

D. Rumusan Masalah
1. Mengapa tenggorokan kering saat pagi hari, batuk, dan nyeri
menelan?
a. Tenggorokan kering saat pagi hari
Pada pagi hari, secara fisiologis akan terjadi vasokontriksi
dari pembuluh darah akibat udara yang dingin, sehingga sel-sel
goblet yang fungsinya mensekresi mukus juga berkurang
sekresinya. Akibat berkurangnya sekresi mukus tersebut, pasien

3
dalam skenario mengalami keluhan tenggorokan terasa kering. Hal
ini diperparah dengan kebiasaan merokok pasien bungkus rokok
setiap hari, dimana paparan asap rokok ini menyebabkan iritasi
dan kerusakan sel-sel goblet pada traktus respiratorius pasien.
Kerusakan pada sel goblet ini menyebabkan sekresi mukus yang
dihasilkan juga semakin sedikit.
b. Batuk
Pasien dalam skenario juga mempunyai kebiasaan
mengonsumsi gorengan. Minyak goreng yang dipanaskan
melebihi titik didihnya akan menyebabkan kandungan gliserol di
dalamnya berubah menjadi akrolein. Rasa gatal pada tenggorokan
sebenarnya disebabkan oleh akrolein, senyawa yang terbentuk
karena suhu pemanasan minyak goreng melebihi titik asapnya.
Minyak goreng yang baik memiliki titik asap yang tinggi. Makin
tinggi titik asapnya, makin baik mutu minyak goreng tersebut.
Bila minyak digunakan berulang kali, maka akrolein semakin
cepat terbentuk sehingga gorengan yang dimakan menimbulkan
batuk.
Akrolein merupakan iritan yang dapat mengiritasi mukosa
laring sehingga menyebabkan sekresi mukus berkurang.
Akibatnya tenggorokan akan terasa kering dan suara serak
(hoarshness).
Secara fisiologis, bronchus dan trachea sangat sensitif
terhadap sentuhan ringan oleh jumlah yang sangat kecil dari benda
asing atau hal lain yang menyebabkan iritasi yang menginisiasi
refleks batuk. Larynx dan carina terutama adalah bagian yang
paling sensitif. Impuls saraf aferen bergerak menuju batang otak
melalui nervus vagus. Disana, urutan otomatis dari batuk dipicu
oleh sirkuit neuronal dari medulla.
Pertama, sebanyak 2.5 liter udara dihirup dengan cepat.
Kedua, epiglottis menutup, dan pita suara menutup dengan ketat

4
untuk menahan udara di dalam paru. Ketiga, otot abdominal,
kontraksi dengan kuat, mendorong diafragma sementara otot
ekspirasi, seperti mm. intercostales juga berkontraksi dengan kuat.
Akibatnya, tekanan di dalam paru meningkat dengan cepat
menjadi 100 mmHg bahkan lebih. Keempat, pita suara dan
epiglottis membuka secara tiba-tiba yang menyebabkan udara
dalam tekanan tinggi meledak keluar. Kadang udara yang
dikeluarkan dapat mencapai kecepatan 120 160 km/jam.
Kecepatan udara yang tinggi biasanya membawa benda asing yang
terdapat di bronchus atau trachea.
c. Terjadinya nyeri telan
Odinofagia berawal ketika bolus bergerak dari rongga mulut ke
orofaring akan menyebabkan iritasi saat mengangkat palatum
molle karena adanya peradangan di daerah faring, laring, serta
tonsilla palatina. Nyeri menelan dapat disertai dengan disfagia
atau tidak

2. Bagaimana patofisiologi suara serak dan terjadinya edema pada


kartilago arytenoid?
a. Patofisiologi suara serak
Hoarseness/Dysphonia (suara serak) didefinisikan sebagai
kelainan yang ditandai oleh perubahan kualitas suara, tinggi-
rendahnya, kenyaringannya ataupun upaya memproduksi suara
yang menyebabkan gangguan berkomunikasi yang berkaitan
dengan penurunan kualitas hidup.
Pada keadaan normal, plica vocalis membuka secara halus,
membentuk suara melalui pergerakan dan getaran. Dalam keadaan
laryngitis, plica vocalis mengalami inflamasi dan iritasi sehingga
tekanan yang diperlukan untuk proses fonasi mengalami
peningkatan, maka terjadi kesulitan dalam memproduksi tekanan
fonasi yang adekuat. Udara yang melewati kedua plica vocalis

5
yang mengalami edema menyebabkan suara yang dihasilkan
mengalami distorsi, sehingga hasil yang dikeluarkan menjadi
parau. Bahkan pada beberapa kasus suara dapat menjadi lemah
atau bahkan tidak terdengar.
Edema pada plica vocalis juga menyebabkan udara yang
menggetarkannya mengalami turbulensi, hal ini menyebabkan
suara yang timbul dari fonasi menjadi tidak normal.
Ruang reinke atau Reinkes space adalah matriks
subepitelial dari mukosa plika vokalis yang tersusun atas elastin,
kolagen, dan protein ekstraseluler lainnya, tempat ini juga
diketahui sebagai lamina propria superfisialis. Reinkes edema
adalah suatu keadaan di mana terdapatnya polip pada pita suara.
Reinkes edema adalah akumulasi dari cairan di ruang ini.
Reinkes edema biasanya terjadi pada pasien wanita dengan
riwayat merokok. Faktor lain yang dapat meningkatkan insidensi
reinkes edema adalah GERD dan vocal abuse.
Suara normal sebenarnya dihasilkan oleh gelombang yang
dihasilkan oleh getaran osilasi dari bagian membran pita suara
(mukosa), yang meluncur secara bergelombang di otot yang
mendasarinya. Ketika mukosa, ruang submukosa, otot-otot, unsur
pembuluh darah, kartilago, atau kompresi glotis terpengaruh,
termasuk struktur subglottic dan supraglottic, akan menghasilkan
suara yang patologis.
Seluruh voice box bertumpu pada trakea dan digantung di
atas tulang hyoid, yang berhubungan dengan pangkal lidah. Ketika
koneksi ini dipengaruhi oleh ketengan dari lidah atau posisi
vertical laring yang tidak semestinya maka akan dihasilkan pula
perubahan kualitas suara. Satu hal lagi yang tidak kalah
pentingnya adalah gerakan laring vertikal yang berperan dalam
fonasi (menyanyi), menelan, pernapasan, dan menguap, dan dalam
artikulasi bicara. Ketika gerakan vertikal dipengaruhi, produksi

6
suara mungkindapat terganggu walaupun glottis terlihat "normal"
pada pemeriksaan rutin.
Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan getaran,
ketegangan dan pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan akan
menimbulkan suara serak. Gangguan dalam bersuara seperti suara
serak, biasanya disebabkan berbagai macam faktor yang
prinsipnya menimpa laring dan sekitarnya. Penyebabnya dapat
berupa radang, tumor, paralisis otot-otot laring, kelainan laring
sepserti sikatriks akibat operasi, fiksasi pada sendi krikoaritenoid
dan lain-lain. Serta dikarenakan penggunaan suara yang
berlebihan. Penyebab yang paling sering adalah laringitis akut
yang biasanya muncul karena common cold, infeksi saluran
pernapasan atas, atau iritasi saat bersuara keras. Kebiasaan
menggunakan suara berlebihan mengakibatkan timbulnya vocal
nodule atau polip pada pita suara. Vocal nodule sering terjadi pada
anak-anak dan dewasa yang berteriak saat bermain atau bekerja.
Polip dan nodul dapat merupakan suatu keganasan akan tetapi hal
ini jarang terjadi. Penyebab suara serak yang biasa terjadi pada
orang dewasa adalah refluk gastroesofageal ketika asam lambung
naik ke esofagus dan mengiritasi pita suara. Beberapa pasien
dengan refluk gastroesofageal yang mengalami perubahan suara,
tidak menunjukkan gejala lain seperti rasa terbakar pada ulu hati.
Biasanya, suara memburuk di pagi hari dan membaik di siang hari.
Pasien ini merasakan ada sesuatu yang mengganjal di
tenggorokan, stagnasi mukus atau keinginan berdehem untuk
membersihkan tenggorokan. Penyebab lain suara serak adalah
merokok. Rokok dapat merupakan penyebab keganasan di
tenggorokan.
b. Patofisiologi edema pada kartilago arytenoid

7
Hiperemis
(rubor)
Vasodilatasi
Panas (calor)
Inflamasi
Edema
(tumor)
Permeabilitas Eksudasi
kapiler cairan
Menekan
Nyeri (dolor)
saraf

Dari skema di atas, dapat disimpulkan bahwa edema disebabkan


oleh inflamasi yang akan melepaskan berbagai mediator. Salah
satu efek dari mediator tersebut adalah meningkatan permeabilitas
kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan keluar dan menyebabkan
pembengkanan (edema)

3. Bagaimanakah fisiologis bersuara normal dan menelan?


a. Fisiologis bersuara normal
Terdapat beberapa komponen sistem tubuh yang berperan
dalam proses manusia berbicara, yakni aktivitas otot yang
menyusun laring dan sistem pernapasan, sistem saraf pusat dan
tepi, serta sistem pernapasan.
Aktifitas otot yang mengkomando organ bicara diatur oleh
motor nuclei di otak, dengan produksi suara diatur oleh control
pusat di bagian rostral otak. Proses berbicara diawali oleh sifat
energi dalam aliran udara. Pada proses bicara yang normal,
aparatus pernapasan selama ekshalasi menyediakan aliran
berkesinambungan dari udara dengan volume yang cukup dan
tekanan (di bawah kontrol volunteer adekuat) untuk phonasi.
Aliran dari udara dimodifikasi dalam fungsinyadari paru-paru oleh
fasial dan struktur oral dan memberikan peningkatan terhadap
simbol suara yang dikenal sebagai bicara.
Struktur fungsional organ pengucapan :
a. Laring

8
Di dalam laring terdapat pita suara yang dapat
menghasilkan gelombang suara yang nantinya akan
dimodifikasi oleh resonator dan articulator yang kemudian
dihasilkan suara yang seperti kita ucapkan sehari hari.
Pergerakan pita suara (abduksi, adduksi, dan tension)
dipengaruhi oleh otot-otot yang terdapat di sekitar laring, di
mana fungsi otot-otot tersebut adalah:
1) M. Cricothyroideus : menegangkan pita suara.
2) M. Tyroarytenoideus (vocalis) : relaksasi pita suara.
3) M. Cricoarytenoideus lateralis: adduksi pita suara.
4) M. Cricoarytenoideus posterior : abduksi pita suara.
5) M. Arytenoideus transversus : menutup bagian
posterior rima glotidis.
b. Vocal Tract
Vocal tract pada manusia merupakan acoustic tube
dari cross section dengan panjang sekitar 17 cm dari vocal
fold hingga bibir. Untuk bunyi suara, sumber rangsang
adalah velocity volume dari udara yang melewati vocal
cords. Vocal tract bertindak pada sumber ini sebagai filter
dengan frekuensi yang diinginkan, berkorespondensi
dengan resonansi akustik dari vocal tract.
Proses pembentukan suara menurut teori myoelastik
aerodinamic yaitu selama ekspirasi aliran udara melewati
ruang glotis dan secara tidak langsung menggetarkan plika
vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan
memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai
variasi) dan menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja
dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses
pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang
subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi
kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis

9
akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior.
Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang
pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak
kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi pelepasan
udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan
plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat
(kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan
aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran
udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan
negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis
akan kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan
udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas
akan terulang kembali
c. Voiced Sounds (Suara)
Suara, contohnya huruf vocal (a,i,u,e,o), diproduksi
dengan meningkatkan tekanan udara di paru-paru dan
menekan udara untuk bergerak ke glotis, sehingga vocal
cords bergetar. Getaran tersebut mengganggu aliran udara
dan menghasilkan suara. Naik dan turunnya pitch dari
suara dikontrol oleh aksi tensor crico thyroid dan otot
vocalis
d. Artikulasi dan resonansi
Ketika suara dasar dihasilkan oleh vocal tract, suara
tersebut dimodifikasi untuk menghasilkan suara yang jelas
dengan proses resonansi dan artikulasi.
Dengan kegunaan sifat sifat resonasi dari vocal
tract, bunyi suara dasar disaring. Kualitas akhir dari suara
tergantung dari ukuran dan bentuk berbagai cavitas yang
berhubungan dengan mulut dan hidung. Bentuk dari
beberapa cavitas ini bisa diubah oleh berbagai macam

10
aktivitas bagian yang dapat bergerak dari pharynx dan
cavum oris.
Artikulasi adalah proses penghasilan suara dalam
berbicara oleh pergerakan bibir, mandibula, lidah, dan
mekanisme palatopharyngeal dalam koordinasi dengan
sistem respirasi dan phonasi.
e. Vokalisasi
Laring khususnya berperan sebagai penggetar
(vibrator). Elemen yang bergetar adalah pita suara. Pita
suara menonjol dari dinding lateral laring ke arah tengah
dari glotis, pita suara ini diregangkan dan diatur posisinya
oleh beberapa otot spesifik pada laring itu sendiri.
Pita suara dapat diregangkan oleh rotasi kartilago tiroid ke
depan atau oleh rotasi posterior dari kartilago aritenoid,
yang diaktivasi oleh otot-otot dari kartilago tiroid dan
kartilago aritenoid menuju kartilago krikoid
b. Fisiologis menelan
1) Fase Oral
Terjadi secara volunter makanan yang telah dikunyah dan
bercapur dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus
ini bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah. Kontraksi
musculus levator veli palatini mengakibatkan rongga pada
lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan
bagian superior dari dinding posterior faring akan terangkat.
Bolus terdorong ke posterior, dan nasofaring tertutup.
Selanjutnya terjadi kontraksi musculus palatoglossus sehingga
isthmus fausium tertutup, lalu kontraksi musculus
palatopharingeus mencegah terjadinya refluks makanan ke
cavum oris
2) Fase Pharyngeal

11
Saat bolus makanan masuk ke dalam pharynx, bolus
tersebut akan merangsang area epitel reseptor menelan yang
ada di bukaan pharynx, terutama di pilar tonsil, dan impuls
yang dikirim ke batang otak akan menginisiasi berbagai
kontraksi otot pharynx secara otomatis:
i. Palatum molle terangkat ke nares posterior untuk mencegah
refluks makanan ke dalam cavum nasi.
ii. Lipatan palatopharyngeal di kedua sisi akan tertarik ke arah
medial mendekati masing-masing. Hal ini akan membentuk
celah sagittal dimana makanan harus melewati posterior
pharynx. Celah ini membuat hanya makanan yang sudah
halus lah yang bisa melewatinya.
iii. Pita suara di larynx tertarik ke arah masing-masing. Larynx
tertarik ke atas dan anterior oleh otot-ototnya. Aksi ini,
dikombinasikan dengan kontraksi otot yang mencegah
epiglottis bergerak ke atas menyebabkan epiglottis menutup
aditus laryngis. Seluruh efek ini bekerja bersama.
Pergerakan ke arah atas dari larynx juga mengangkat glottis
dari jalur makanan, jadi makanan sebagian besar melewti
sisi epiglottis, bukan diatasnya.
Pergerakan ke atas dari larynx juga menarik dan melebarkan
bukaan esophagus. Di waktu bersamaan, 3-4 sentimeter dari
dinding muskuler esophagus, bernama sphincter esophagus
superior, relaks, menyebabkan makanan bisa bergerak dengan
mudah ke dalam esophagus
3) Fase Esophageal
Terjadi perpindahan bolus makanan dari esofagus ke gaster.
Adanya rangsangan bolus makanan, terjadi relaksasi musculus
criocopharyngeus, sehingga jalan masuk ke esofagus terbuka
dan bolus makanan bisa masuk. Setelah bolus lewat, sphincter
superior berkontraksi lebih kuat sehingga bolus makanan tidak

12
kembali ke faring. Gerak bolus makanan di superior esofagus
dipengaruhi oleh kontraksi musculus constrictor pharyngeus
inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus didorong
ke arah distal esofagus oleh gerakan peristaltik. Pada akhir fase
ini, sphincter gaster-esophageal akan terbuka secara refleks

4. Adakah hubungan riwayat pasien dengan kebiasaan perilaku hidup


dan keluhan yang timbul?
Pasien dalam skenario bekerja sebagai penyanyi. Keluhan suara
serak atau hilang erat kaitannya dengan vocal abuse, yaitu
penyalahgunaan suara secara berlebihan dalam waktu yang lama dan
sering. Misalkan berbicara dalam durasi yang lama, berbicara dengan
keras atau teriak-teriak pada durasi yang lama. Vocal abuse ini dapat
menyebabkan perubahan epitel pda larynx, sehingga akan menyebabkan
gangguan bersuara, karena udara yang melewati larynx yang dapat
menyebabkan keluarnya suara terhambat.
Pasien dalam skenario juga mempunyai kebiasaan mengonsumsi
gorengan. Minyak goreng yang dipanaskan melebihi titik didihnya akan
menyebabkan kandungan gliserol di dalamnya berubah menjadi akrolein.
Rasa gatal pada tenggorokan sebenarnya disebabkan oleh akrolein,
senyawa yang terbentuk karena suhu pemanasan minyak goreng melebihi
titik asapnya. Minyak goreng yang baik memiliki titik asap yang tinggi.
Makin tinggi titik asapnya, makin baik mutu minyak goreng tersebut. Bila
minyak digunakan berulang kali, maka akrolein semakin cepat terbentuk
sehingga gorengan yang dimakan menimbulkan batuk
Akrolein merupakan iritan yang dapat mengiritasi mukosa laring
sehingga menyebabkan sekresi mukus berkurang. Akibatnya tenggorokan
akan terasa kering dan suara serak (hoarshness).
Sementara makanan instan pada umumnya mengandung
kandungan garam yang tinggi. Jika dilihat menurut sifatnya, garam sangat
kuat menarik partikel air dalam tubuh. Kandungan logam alkali dan alkali

13
tanah memang mempunyai kandungan yang baik dalam menyerap air.
Fenomena ini jelas terlihat pada hewan dengan kandungan air yang tinggi
seperti ular atau pacet (lintah) yang jika disekelilingnya terdapat garam
akan berusaha menjauh dari partikel garam tersebut, hal ini dimaksudkan
untuk mencegah proses kondensasi atau penguapan yang berlebihan
dalam tubuh hewan tersebut. Akibat dari tingginya kadar garam,
tenggorokan akan terasa kering dan gatal.
Merokok sendiri dapat menyebabkan edema pada pita suara. Ini
mengakibatkan terjadinya gangguan vibrasi sehingga frekuensi
fundamental (F0) menurun. Damborenea (1999) pada studinya
menemukan bahwa frekuensi fundamental (F0) lebih rendah ditemukan
pada perokok dibanding dengan yang bukan perokok. Kebiasaan pasien
merokok juga berpengaruh terhadap keluhan pasien dalam skenario ini.
Asap rokok dapat mengiritasi mukosa dari saluran pernapasan, disamping
itu paparan asap rokok yang terus menerus mengakibatkan epitel
respiratorius (pseudokompleks kolumner bersilia dengan sel goblet)
mengalami metaplasia menjadi epitel skuamous kompleks sebagai bentuk
pertahanan. Akibatnya, fungsi silia sebagai proteksi juga akan berkurang.
Selain itu, pasien dalam skenario mempunyai kebiasaan
mengonsumsi es. Es akan mengubah viskositas/ kekentalan mukus
sehingga menjadi lebih encer, hal ini menyebabkan kemampuan mukus
sebagai proteksi berkurang sehingga kuman akan mudah menginfeksi.
5. Apa saja faktor resiko dari penyakit yang dikeluhkan pasien?
Dilihat dari keluhan yang dialami pasien, kami menduga bahwa pasien
terkena laringofaringitis kronis. Perbedaan antara pharyngitis dengan
laryngitis adalah posisi anatomi dari daerah yang terinflamasi (The
NetDoctor Medical Team, 2015). Pharyngitis merupakan eritema pada
oropharynx yang disertai atau tidak disertai inflamasi pada tonsil. Pada
pharyngitis atau tonsillitis, pasien akan mengalami nyeri tenggorok, nyeri
menelan, sulit menelan, otalgia, dan halitosis. Menurut Erlich (2013),
faktor resiko untuk pharyngitis adalah :

14
a) Musim pilek dan flu
b) Mempunyai close contact dengan seseorang yang menderita nyeri
tenggorok atau pilek
c) Merokok atau terpapar asap rokok
d) Sering infeksi sinusitis
e) Alergi
f) Mendatangi tempat penitipan anak atau sekolah yang crowded
Pada laryngitis, inflamasi muncul di bagian bawah tenggorok pada
larynx. Tanda yang muncul biasanya suara serak atau hilangnya suara.
Dari riwayat pasien, didapatkan indikasi over-use pada suara. Suara serak,
batuk, dan stridor cenderung menunjukkan adanya gangguan pada larynx
(Aziz, 2011). Menurut Mayo Clinic (2015), resiko terjadinya laryngitis
adalah :
a) Menderita infeksi saluran napas, seperti pilek, bronkitis, atau sinusitis.
b) Terpapar substansi iritatif, seperti merokok, konsumsi alcohol yang
berlebihan, asam lambung, dan bahan kimia di tempat kerja.
c) Penggunaan suara berlebihan, yaitu dengan terlalu banyak berbicara,
berbicara terlalu keras, berteriak, atau bernyanyi
Hubungan jenis kelamin, usia, pekerjaan, dengan keluhan

a) Jenis kelamin
Secara histoanatomi wanita lebih berisiko untuk memiliki keluhan
tersebut (laringofaringitis), sebab (Dollinger et al, 2012):
STRUKTUR LAKI-LAKI PEREMPUAN
Plica Vocalis Lebar Sempit
Larynx Panjang Pendek
Sel goblet Banyak Sedikit
b) Usia
Usia yang terlalu muda atau usia yang semakin tua meningkatkan
risiko terjadinya keluhan terkait dengan fisiologis pharynx larynx
yang sudah menurun fungsinya (Joo YHet al, 2015)
c) Pekerjaan
Hubungan pekerjaan dengan keluhan pasien, kemungkinan karena
penggunaan suara yang berlebihan mengingat pekerjaan pasien yang
merupakan pengguna suara professional (contoh: penyanyi, aktor,
dosen/guru, penceramah, tenaga penjual, pelatih olahraga, operator

15
telepon, dan lain-lain) lebih sering dan lebih banyak menggunakan
suara. Pada skenario ini, kemungkanan pasien menderita disfonia
ventricular, yaitu keadaan plika ventricular mengambil alih fungsi
fonasi dari plika vokalis, karena penggunaan suara yang terus
menerus

6. Jelaskan anatomi laring dan faring!


a. Anatomi Pharynx
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya
seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah
serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra. Kantong ini mulai
dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi
vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga
hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut
melalui ismus fausium. Sedangkan laring di sebelah bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan
esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding faring yang
terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput
lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring
(hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir
(mukosa blanket) dan otot. Faring terdiri atas :
1) Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian
bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung
sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang
relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa
struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding
lateral faring dengan resesus faring yang disebut fossa
Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur

16
embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa
faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana,
foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan
n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian
petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba
Eustachius.
2) Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah
palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan
adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra
sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding
posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring
anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.
3) Laringofaring (Hipofaring)

Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis,


batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas
posterior ialah vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di
bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan
yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan
ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut
juga kantong pil (pill pockets) sebab pada beberapa orang,
kadang kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di
bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini
berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar,
meskipun kadang kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini
tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat
menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan
ke esofagus
b. Anatomi Larynx

17
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang
merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong
dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV VI, dimana pada
anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada
umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila
sedang menelan makanan.
Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi
dimana didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa
lebih menonjol kedepan dan disebut prominensia laringatau
disebut juga Adams apple atau jakun.
Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat aditus
laringeus yang berhubungan dengan hipofaring, di sebelah kaudal
dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan berhubungan
dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra
cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum
laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan
lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-
otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus kelenjar tiroid.
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding
kartilago tiroid di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah
bawahnya. os hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana
tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan
ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2
tahun. Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago,
ligamentum dan otot-otot
KARTILAGO.
Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :
a) Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :
kartilago tiroidea, 1 buah
kartilago krikoidea, 1 buah
kartilago aritenoidea, 2 buah
b) Kartilago minor, terdiri dari :
kartilago kornikulata santorini, 2 buah
kartilago kuneiforme wrisberg, 2 buah

18
kartilago epiglotis, 1 buah
LIGAMENTUM DAN MEMBRANA
Ligamentum dan membran laring terbagi atas 2 grup, yaitu
a) Ligamentum ekstrinsik, terdiri dari :
Membran tirohioid
Ligamentum tirohioid
Ligamentum tiroepiglotis
Ligamentum hioepiglotis
Ligamentum krikotrakeal
b) Ligamentum intrinsik, terdiri dari :
Membran quadrangularis
Ligamentum vestibular
Konus elastikus
Ligamentum krikotiroid media
Ligamentum vokalis
Membrana laring dari posterior (Kartilago Ariteoid kanan
digeser ke lateral)

7. Kenapa suara bisa menghilang secara bertahap/ gradual?


Suara yang menghilang secara bertahap kemungkinan disebabkan oleh
proses inflamasi yang semakin lama semakin parah. Pada awalnya,
inflamasi pada mucosa larynx menyebabkan penurunan vibrasi pada plica
vocalis. Kemudian, karena semakin berlanjut, maka kelamaan plica
vocalis tidak dapat bervibrasi sehingga suara menjadi hilang

8. Mengapa pasien tidak mengeluh sulit menelan?


Pasien tidak mengalami disfagi (gangguan menelan) kemungkinan
karena pasien hanya mengalami kelainan pada larynx saja, sehingga
bermanifestasi pada gangguan suara. Sedangkan, tidak ada kelainan pada
pharynx sehingga tida mengalami gangguan menelan. Karena secara
anatomis, posisi makanan ketika ditelan, akan masuk ke laryngopharynx
bukan ke larynx, sehingga ketika terdapat kelainan pada larynx tidak akan
bermanifestasi disfagi.
9. Mengapa dilakukan pemeriksaan kelenjar getah bening?
Pemeriksaan kelenjar limfe leher dilakukan untuk menyingkirkan
dugaan ada tidaknya kelainan pada kelenjar limfe leher/limfadenopati,
yang dapat disebabkan karena peradangan pada kelenjar limfe, keganasan,

19
atau metastasis tumor secara limfogen. Limfadenitis kronis pada kelenjar
limfe leher yang secara klinis tidak nyeri tekan bisa merupakan akibat dari
adanya tonsilitis kronis, begitu juga adanya limfadenopati pada kelenjar
limfe leher bisa merupakan akibat adanya metastasis dari kanker
nasofaring.
Pada pasien dalam skenario, tidak ditemukan adanya limfadenopati pada
kelenjar limfe leher. Hal ini bisa menyingkirkan diagnosis adanya
keganasan satau peradangan kronis dari kelenjar limfe (Kumar, 2010).
10. Bagaimanakah interpretasi pemeriksaan fisik, tenggorok dan
laringoskopi?
a. Pemeriksan Fisik
Didapatkan hasil kesadaran compos mentis, suhu 36 oC, tekanan darah
120/80 mmHg, respiratory rate 18x/menit, dan nadi 80x/menit. Dari
hasil tersebut, menunjukkan bahwa tanda-tanda vital pada pasien
dalam batas normal, tidak menunjukkan bahwa keluhan pasien
memberi dampak perubahan fisiologis secara sistemik
b. Pemeriksaan Tenggorok
Didapatkan hasil tonsil T1-T1, adanya granulasi pada dinding posterior
faring, dan hiperemis (+). Tonsil T1-T1 menandakan bahwa ukuran
tonsil masih dalam batas normal, berada didalam fossa tonsilaris.
Granulasi pada dinding posterior faring menandakan terjadinya
inflamasi berulang yang kronis pada dinding faring posterior.
Granulasi muncul ketika fase epitelialisasi belum sempurna terbentuk,
kemudian terjadi kembali perdarahan (reaksi inflamasi). Sementara
epitel tidak akan tumbuh pada jaringan yang kering atau yang sudah
berulang kali mengalami inflamasi. Maka terbentuklah jaringan fibrosa
dari bekuan darah berupa jaringan granulasi. Hiperemis (+)
menandakan bahwa mukosa pada dinding posterior faring tersebut
sedang berada pada fase inflamasi untuk penyembuhan luka
c. Pemeriksaan Laringoskopi

20
Didapatkan hasil epiglottis edema (-), plica aryepiglottica (-),
arytenoids edema (+), mukosa hiperemis, plica vocalis edema (+), dan
gerakan plica vocalis sulit dievakuasi. Epiglottis edema (-)
menunjukkan bahwa tidak adanya sumbatan pada jalan napas, karena
pada saat terjadi edema, maka epiglottis yang berfungsi sebagai katup
untuk menutup jalan napas saat makan menjadi membengkak
dikarenakan lendir pada submukosa epiglottis yang banyak. Hal ini
akan menyebabkan adanya sumbatan jalan napas. Dengan hasil ini,
maka menyingkirkan satu diagnosis banding yaitu epiglotitis. Plica
aryepiglottica (-) juga menunjukkan bahwa tidak adanya sumbatan
pada jalan napas, dan dapat menyingkirkan satu diagnosis banding
yaitu edema laring (penyempitan saluran napas atas seperti epiglottis
dan plica aryepiglottica yang disebabkan oleh penumpukkan cairan
pada lapisan submukosa). Arytenoid edema (+) menunjukkan bahwa
fungsinya sebagai kartilago yang menggerakan plica vocalis
terganggu. Mukosa hiperemis menunjukkan adanya inflamasi pada
mukosa laring. Plica vocalis edema (+) menunjukkan bahwa terjadi
penumpukkan cairan pada lapisan mukosa plica vocalis sehingga
pergerakannya terganggu. Hal ini mengarahkan pada satu diagnosis
banding yaitu laryngitis. Gerakan plica vocalis sulit dievakuasi
menunjukkan bahwa kemungkinan plica vocalis tidak bisa bergetar
sehingga tidak menunjukkan gerakan, atau adanya penghalang lain
sehingga plica vocalis tidak terlihat
11. Mengapa dilakukan pemeriksaan hidung dan telinga?
Pemeriksaan hidung dan telinga dilakukan untuk mendeteksi apakah
terdapat gangguan pada hidung dan telinga yang mungkin dapat menyebar
ke larynx
12. Apasajakah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
penegakan diagnosis?
Foto rontgen leher AP dan lateral untuk mengetahui
pembengkakan jaringan subglotis

21
Foto thorax AP
Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui leukositosis, laju
endap darah, dan lain lain
Laringoskopi direct untuk mengetahui kondisi mucosa larynx
secara langsung
Stroboscopy digunakan untuk mengetahui proses vibrasi pada
plica vocalis. Dilakukan jika hasil laringoskopi belum dapat
menegakkan diagnosis
13. Apakah diagnosis kerja dan diagnosis banding pada skenario tersebut?
Jelaskan!
LARINGITIS
Radang akut pada laring, pada umumnya merupakan kelanjutan dari
rinofaringitis (common cold).
a. Etiologi
Bakteri dapat menyebabkan radang lokal, sedangkan virus dapat
menyebabkan peradangan sistemik.
b. Gejala dan Tanda
Gejala umum, seperti demam, dedar (malaise), serta gejala lokal,
seperti suara parau sampai tidakbersuara sama sekali (afoni), nyeri
ketika menelan atau berbicara, serta gejala sumbatan laring. Selain itu
terdapat batuk kering danlama kelamaan disertai dengan dahak kental.
Pada pemeriksaan didapatkan mukosa laring hiperemis, membengkak,
terutama di atas dan bawah pita suara. Biasanya juga terdapat tanda
radang akut di hidung atau sinusparanasala atau paru.
c. Penatalaksanaan dan Terapi Laringitis Akut
Laringitis akut biasanya penyakit yang akan sembuh dengan
sendirinya (self-limiting disease). Hal tersebut disebabkan karena
sebagian besar penyebab laryngitis adalah virus, termasuk didalamnya
rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus, adenovirus, coxsackie
virus, coronavirus, dan RSV (Kasper et al, 2008). Perawatan laryngitis

22
akut hanya butuh waktu dan menjauhi dari penggunaan suara yang
berlebihan dan iritan lainnya.
Isirahat berbicara (vocal rest) selama2-3 hari.menghirup udara
lembab. Menghindari iritasi pada faring dan laring, misalnya merokok,
makan makanan pedas, atau minum es.
Antibiotika diperlukan apabila peradangan berasal dari paru. Bila
terdapat sumbatan laring, dilakukan pemasangan pipa endotrakea, atau
jika hasil kultur menunjukkan bahwa infeksi disebabkan karena
bakteri, misal Streptococcus grup A. Hal berikut ini dapat mengurangi
intensitas laringitis:
Menghirup udara lembab akan melembabkan saluran napas atas,
hal ini akan membantu mengeluarkan sekret dan eksudat.
Istirahat bersuara secara total disarankan, walau rekomendasi ini
hampir mustahil untuk dilakukan. Jika pasien harus berbicara,
berbicara dengan nada yang halus dan rendah dianjurkan. Hindari
berbisik karena berbisik akan membuat laring mengalami
hiperfungsi (Shah, 2015).
LARINGITIS KRONIS
a. Etiologi
Sering merupakan radang kronis yang disebabkan oleh infeksi pada
saluran pernapasan, seperti selesma, influenza, bronkhitis atau
sinusitis. Akibat paparan zat-zat yang membuat iritasi, seperti asap
rokok, alkohol yang berlebihan, asam lambung atau zat-zat kimia yang
terdapat pada tempat kerja. Terlalu banyak menggunakan suara,
dengan terlalu banyak bicara, berbicara terlalu keras atau menyanyi
(vocal abuse). Pada peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis,
permukaan yang tidak rata dan menebal
b. Gejala Klinis
Sering merupakan radang kronis yang disebabkan oleh infeksi pada
saluran pernapasan, seperti selesma, influenza, bronkhitis atau
sinusitis. Akibat paparan zat-zat yang membuat iritasi, seperti asap

23
rokok, alkohol yang berlebihan, asam lambung atau zat-zat kimia yang
terdapat pada tempat kerja. Terlalu banyak menggunakan suara,
dengan terlalu banyak bicara, berbicara terlalu keras atau menyanyi
(vocal abuse). Pada peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis,
permukaan yang tidak rata dan menebal
c. Pengobatan
Pengobatan yang dilakukan tergantung pada penyebab terjadinya
laryngitis dan simptomatis. Pengobatan terbaik untuk langiritis yang
diakibatkan oleh sebab-sebab yang umum, seperti virus, adalah dengan
mengistirahatkan suara sebanyak mungkin dan tidak membersihkan
tenggorokan dengan berdehem. Bila penyebabnya adalah zat yang
dihirup, maka hindari zat penyebab iritasi tersebut. Dengan menghirup
uap hangat dari baskom yang diisi air panas mungkin bisa membantu.
(Lalwani,2007)
Untuk mencegah kekeringan atau iritasi pada pita suara :
Jangan merokok, dan hindari asap rokok dengan tidak menjadi
perokok tidak langsung. Rokok akan membuat tenggorokan kering
dan mengakibatkan iritasi pada pita suara.
Minum banyak air. Cairan akan membantu menjaga agar lendir
yang terdapat pada tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah
untuk dibersihkan.
Batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah
tenggorokan kering. Bila mengalami langiritis, hindari kedua zat
tersebut diatas.
Jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan. Berdehem
tidak akan berakibat baik karena berdehem akan menyebabkan
terjadinya vibrasi abnormal peda pita suara dan meningkatkan
pembengkakan. Berdehem juga akan menyebabkan tenggorokan
memproduksi lebih banyak lendir dan merasa lebih iritasi,
membuat ingin berdehem lagi

VOCAL NODULE
a. Etiologi

24
Merupakan penyebab tersering disfonia. Nodul pita suara
merupakan pembengkakan pita suara bilateral dengan ukuran
bervariasi yang ditemukan pada bagian tengah membran pita suara.
Nodul ini memiliki karakteristik berupa penebalan epitel dengan
tingkatan reaksi inflamasi berbeda pada lapisan superfisial lamina
propia. Nodul pita suara biasanya terjadi karena penyalahgunaan suara
sehingga menyebabkan penambahan masa namun tidak terlalu
mepengaruhi ketegangan pita suara
Bila jaringan mengalami cedera, maka pada jaringan ini akan
terjadi serangkaian reaksi yang menyebabkan musnahnya agen yang
membahayakan, mencegah agen ini menyebar lebih luas atau bahkan
memperbaiki kondisi jaringan yang mengalami cedera. Rangkaian
reaksi yang terjadi pada tempat jaringan cedera ini dinamakan radang.
Rangkaian reaksi ini akan mengakibatkan jaringan mengalami edema
dan kemerahan, termasuk jika hal ini terjadi pada pita suara
b. Gejala Klinis
1. Suara terdengar kasar, pecah, serak
2. Menghilangnya kemampuan bernyanyi nada tinggi dengan halus
3. Menurunnya kemampuan modulasi suara
4. Meningkatnya pengeluaran udara saat berbicara
5. Pada saat menyanyi, terkesan seperti memaksa
6. Pemanasan suara yang lebih lama
7. Peningkatan tegangan oot leher dan masalah tenggorokan (Natalia,
2014).
c. Pengobatan
Vokal nodul and polip dapat diterapi dengan medis, pembedahan,
dan perilaku. Tindakan medis berupa pengangkatan nodul dari pita
suara. Hal ini dilakukan hanya jika terbentuk nodul yang sangat besar
dan sudah ada dalam waktu yang lama. Pembedahan jarnag dilakukan
pada anak-anak.

25
Lalu, masalah medis lainnnya yang berdampak pada pite suara juga
perlu diobati. Pengobatan ini termasuk pengobatan untuk
gastoesophageal reflux disease (GERD), alergi, dan masalah thyroid.
Selain itu, pasien juga perlu berhenti merokok atau mengontrol stres.
Beberapa orang menjalani behavioral intervention, atau terapi
suara, dari seorang speech-language pathologist. Terapi suara berupa
pengajaran tentang higine vocal yang baik, mengurangi/menyetop
perilaku penyalahgunaan suara, dan direct voice treatment untuk
merubah pitch, loudness, dan breath support untuk suara yang bagus
(ASHA, 2015)

FARINGITIS KRONIS
Faktor predisposisi untuk proses peradangan ini adalah rinitis kronis,
sinusitis, iritasi kronis karena rokok, minum alkohol, debu, dan inhalasi
uap yang merangsang mukosa faring. Faktor lainnya adalah kebiasaan
pasien bernapas dengan mulut karena hidungnya tersumbat.
a. Faringitis kronis hiperplastik
Pada faringitis ini, terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.
Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band
hiperplasi. Pada pemeriksaan, mukosa dinding posterior tampak tidak
rata, bergranular. Mula-mula, pasien mengeluh tenggorok terasa kering
dan gatal dan akhirnya batuk yang berdahak. Terapi lokal dengan
melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras
argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan simptomatis
diberikan obat kumur atau tablet hisap. Dapat juga diberikan obat
batuk antitusif atau ekspektoran bila perlu. Penyakit di hidung dan
sinus paranasal harus diobati.
b. Faringitis kronis atrofi

Faringitis ini sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Pada rinitis
atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu dan kelembabannya
sehingga menimbulkan rangsang serta infeksi pada faring. Pasien akan
mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau. Pada

26
pemeriksaan, mukosa faring tampak ditutupi oleh lendir yang kental
dan bila diangkat tampak mukosa kering. Pengobatan ditujukan pada
rinitis atrofi. Untuk faringitis kronik atrofinya ditambahkan obat
kumur dan menjaga kebersihan mulut (Soepardi et al. 2012)

TUMOR LARYNX
Tumor ini dapat berupa tumor jinak dan tumor yang malignan. Tumor
jinak larynx jarnag terjadi dan dapat menyebabkan persistent hoarseness.
Tumor jinak yang umum terjadi adalah :
Papillomasoliter atau multipel
Haemangiomapada bayi
Fibroma
Tumor malignant larynx biasanya berupa carcinoma sel skuamosa.
Carcinoma kistik adenoid dan sarcoma jarnag terjadi. Tumor ini biasa
terjadi pada laki-laki dengan rasio 10:1 dan paling sering pada perokok.
Usia puncak insiden ini adalah 55-65 tahun, tetapi dapat pula terjadi pada
dewasa muda.

a. Glottic carcinoma
Gejala utama dari penyakit ini adalah suara serak, yang mana dapat
persisten sebagai gejala tunggal dalam beberapa bulan. Ketika
carcinoma ini menyebar, akan terjadi otalgia, disfagia, dan dispneu
b. Supraglottic carcinoma
Carcinoma in dapat menyebabkan perubahan pada suara dan
metastasis awalnya terjadi pada nodus cervical
c. Infraglottic carcinoma
Carcinoma ini terjadi lebih sedikit suara serak, tetapi meningkatkan
obstruksi jalan napas. Tumor ini dapat disalah artikan sebagai asma
atau bronkitis kronis
Diagnosis kasus ini adalah dengan melakukan laryngoskopi indirek
pada setiap kasus serak. Dengan pemeriksaan ini, pertumbuhan yang
malignan biasanya dapat mudah terlihat. Diagnosis dikonfirmasi dengan

27
microlaryngoscopy dan biopsi. CT scan larynx dapat membantu melihat
perluasan tumor dan penetapan terapi. Tatalaksana untuk kasus ini adalah :
1) Radioterapi dengan external radiation.
Terapi ini dilakukan untuk tumor berukuran kecil, terbatas pada satu
pita, pasien dengan 5-year survival rate-nya sebesar 8090% dan
pasien dengan kondisi larynx yang normal.
2) Jika penyakitnya luas atau ada rekurensi setelah radioterapi, perlu
dilakukan laringektomi total.
3) Pasien dengan tracheostomy permanen perlu mengembangkan
oesophageal speech.
4) Pemasangan tracheopharyngeal valve.

Glottis carcinoma yang didiagnosis secara dini dan diobati dengan efektif
akan dapat sembuh. Semakin lama terdiagnosis, prognosis juga semakin
buruk. Oleh karena itu, jangan mengabaikan suara serak. Tumor
supraglottic dan subglottic memiliki prognosis yang lebih buruk karena
perkembangan gejalanya muncul di kemudian dan terjadi penyebaran
awal ke nodus lymphaticus. Sekitar 10% dari semua pasien berhasil
diobati untuk kanker laring yang akan berkembang menjadi karsinoma
bronkus (Bull, 2002)

14. Bagaimanakah prognosis dan komplikasi dari penyakit yang dikeluhkan


pasien?
Prognosis dari diagnosis kerja yaitu laringitis cenderung baik
selama dapat menjauhi hal-hal pencetus inflamasi tersebut dan
mendapatkan tatalaksana medikamentosa secara tepat, begitu juga pada
penyakit-penyakit pada diagnosis banding (faringitis, tonsilitis, dll). Akan
tetapi keganasan pada plica vocalis cenderung memiliki prognosis yang
buruk karena progesifitas degeneratif dari keganasan yang ada.
Komplikasi yang muncul antara lain :
a. Abses pertonsil

28
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum
mole, abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan
biasanya disebabkan oleh Streptococcus group A.
b. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius
(eustochi) dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat
mengarah pada ruptur spontan gendang telinga.
c. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke
dalam sel-sel mastoid melalui adytus ad anthrum pada pars
mastoidea sebagai pintu masuk penyebaran infeksi.
d. Faringitis
Merupakan proses peradangan dari membran mukosa yang
membentuk pharynx. Peradangan ini mungkin akut atau kronis
yang disebabkan bisa karena virus, bakter, lingkungan, maupun
karena alergi yang menyebar dari larynx melalui adytus laryngis.
e. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua
atau lebih dari sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu
rongga atau ruangan berisi udara dari dinding yang terdiri dari
membran mukosa.
f. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal
dan nasopharynx.
g. Meningitis
Merupakan penyakit inflamasi pada selaput otak/ meningen yang
terjadi karena persebaran infeksi melalui tegmen tympani sebagai
atap pembatas fossa cranii dengan cavum tympani.
15. Penatalaksanaan apakah yang diberikan sesuai dengan diagnosis kerja?
a. Istirahat yang cukup, terutama pada laringitis akibat virus.
Istirahat ini juga meliputi pengistirahatan pita suara (vocal rest).

29
b. Menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk
yaitu menghindari konsumsi gorengan, es, maupun makanan
instan, serta mengurangi atau menghentikan kebiasaan merokok.
c. Menghindari udara kering.
d. Minum cairan yang banyak. Cairan akan membantu agar lendir
yang terdapat di tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk
dibersihkan.
e. Berhenti merokok, rokok akan membuat tenggorokan kering dan
mengakibatkan iritasi pada pita suara.
f. Batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah
tenggorokan kering. Bila mengalami laringitis, hindari kedua zat
tersebut di atas.
g. Jangan berdeham untuk membersihkan tenggorokan. Berdeham
tidak akan berakibat baik, karena berdeham akan menyebabkan
terjadinya vibrasi abnormal pada pita suara dan meningkatkan
pembengkakan. Berdeham juga akan menyebabkan tenggorokan
memproduksi lebih banyak lendir dan merasa lebih iritasi,
membuat ingin berdeham lagi.
h. Bila diperlukan rehabilitasi suara (voice therapy).
i. Pengobatan simptomatik dapat diberikan dengan parasetamol atau
ibuprofen sebagai antipiretik jika pasien demam. Bila ada gejala
nyeri tenggorokan dapat diberikan analgetik dan bila hidung
tersumbat dapat diberikan dekongestan nasal seperti
fenilpropanolamin (PPA), efedrin, pseudoefedrin.
j. Pemberian antibiotik dilakukan bila peradangan dari paru dan bila
penyebab berupa streptokokus grup A dapat ditemukan melalui
kultur. Pada kasus ini, antibiotik yang dapat digunakan yaitu
penicillin.
k. Proton Pump Inhibitor pada laringitis dengan penyebab GERD
(Laringofaringeal refluks).

30
l. Kortikosteroid dapat diberikan jika laringitis berat, untuk jangka
pendek dapat diberikan kortikosteroid yang diberikan dengan
mekanisme tappering off.
m. Bila terdapat sumbatan laring dilakukan pemasangan pipa
endotrakea, atau trakeostomi.
n. Laringitis tuberkulosa, sesuai dengan penyakit TBC diberikan obat
antituberkulosa.
o. Laringitis Luetika diberikan obat sesuai penyakit leutika, penisilin
dengan dosis tinggi.

E. Hipotesis
1. xxx
2. xxx
3. xxx

31
BAB II
PEMBAHASAN

Berikut adalah kerangka berpikir skenario 1.

32
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
Dari diskusi tutorial kali ini, penulis mengambil beberapa kesimpulan.

33
SARAN

Pasien disarankan untuk sesegera mungkin periksa ke dokter ketika


terdapat keluhan menghilangnya suara. Sehingga penatalaksanaannya dapat
dilakukan lebih dini dan efektif. Dan pasien disarankan untuk melakukan vocal
rest (istirahat berbicara) untuk mengembalikan fungsi pita suaranya secara alami.

Secara umum diskusi tutorial skenario I Blok THT berjalan dengan baik
dan lancar. Namun, masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki seperti peserta
diskusi yang terkadang kurang disiplin waktu sehingga tutorial tidak dapat
dimulai tepat waktu dan peserta yang mempersiapkan materi kurang memadai
Adapun saran untuk diskusi ini antara lain:

1. Dapat menggunakan waktu secara efisien mengenai hal-hal yang penting


dalam skenario supaya waktu yang dialokasikan untuk diskusi dapat
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

2. Mahasiswa diharapkan lebih fokus lagi dalam menginventarisasi


permasalahan-permasalahan secara sistematis yang mengenai
permasalahan di skenario agar tidak membahas hal hal yang jauh dari LO
(Learning Objective).

3. Mahasiswa diharapkan datang tepat waktu dan tertib agar diskusi dapat
berjalan dengan baik.

4. Mahasiswa diharapkan dapat lebih kritis terhadap pendapat peserta diskusi


tutorial sehingga semakin memperkaya materi yang didiskusikan.

34
DAFTAR PUSTAKA

Barret, Kim E. 2009. Ganong Review of Medical Physiology, 23rd edition. New
York: McGraw-Hill.

Cotran RS., Kumar V., Collins T. 2010. Robbins Pathologic basis of disease, 7th
ed. Philadelphia: WB Saunders Co.

Hermani, Bambang, dkk. 2002. Disfonia. Dalam: SoepardiEA, Iskandar N


(editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
KepalaLeher. Edisike- 6. Jakarta. Balai PenerbitFK UI. Pp. 231.

http://emedicine.medscape.com/article/864565-overview diakses Agustus 2016.

http://www.ent.uci.edu/clinical-specialties/university-voice-and-swallowing-
center/reinkes-edema diakses Agustus 2016.

Kasper D.L. et al. (2008) Harrisons principle of internal medicine. 17th ed . New
York: McGraw-Hill Medical Publishing Division.

Mansjoer, A dkk. 2004. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I Edisi Ketiga. Jakarta:
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Natalia, Yuwono, dkk. Nodul Pita Suara, CDK-217. Volume 41.2014; Vol 41 no
6 : 428-429.

Shah, RK. 2015. Acute laryngitis. http://emedicine.medscape.com/article/864671-


treatment. Diakses Agustus 2016.

Banovetz JD (1997). Gangguan laring jinak. Dalam: Boies buku ajar penyakit
THT. Edisi keenam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, h. 378-396

35
Cohen James (1997). Anatomi dan fisiologi laring. Dalam: Boies Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi keenam. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran.EGC, h. 369-376.

Erlich SD (2013). Pharyngitis. University of Maryland Medical Center.


https://umm.edu/health/medical/altmed/condition/pharyngitis. Diakses 21
September 2015

Mayo Clinic Staff (2015). Diseases and Conditions Laryngitis. Mayo Foundation
for Medical Education and Research.
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/laryngitis/basics/risk-
factors/con-20021565. Diakses 21 September 2015.

McGlashan J, Costello D, Bradley PJ (2007). Hoarseness and voice problems.


Dalam: Ludman H, Bradley PJ (eds). ABC of ear, nose, and throat fifth
edition. United States: Blackwell Publishing Ltd

The American Speech-Language Hearing Association (2015). Vocal cord nodule


and polyps. The American Speech-Language Hearing Association.
http://www.asha.org/public/speech/disorders/NodulesPolyps/#d . Diakses
21 September 2015

Wilson L, Price S (2006). Patofisiologi: konsep klinis dan proses-proses penyakit.


Edisi keenam. Jakarta: EGC

36
37

Anda mungkin juga menyukai