1
HIPERNASAL DAN HIPONASAL
PENDAHULUAN
Resonansi bicara adalah hasil transfer suara yang dihasilkan oleh plica vokalis melalui
traktus vokalis yang terdiri dari faring, kavum oris, dan kavum nasi.1,2 Traktus vokalis
menyaring suara, secara selektif berdasarkan ukuran dan/atau bentuk traktus vokalis.
Resonansi yang dirasakan adalah hasil dari nada yang disaring ini. Katup velopharyngeal (VP)
memainkan peran integral dalam menentukan resonansi bicara; namun, aspek lain dari saluran
vokal juga berkontribusi pada suara yang dirasakan, termasuk ukuran dan bentuk rongga
resonansi (seperti faring, kavum oris, dan kavum nasi), posisi lidah, dan derajat pembukaan
mulut. Pembukaan dan penutupan katup di sepanjang traktus vokalis (misalnya plica vokalis,
katup VP, dan tempat artikulasi) berkontribusi pada ukuran dan bentuk traktus vokalis.3
Pasien memiliki kelainan bicara hipernasal atau hiponasal. Kelainan bicara hipernasal
terjadi ketika ada aliran udara yang keluar ke dalam rongga hidung selama berbicara,
umumnya karena disfungsi (mekanis atau neuromuskular) mekanisme katup velofaringeal,
seperti pada sindrom velokardiofasial. Sebaliknya, kelainan bicara hiponasal disebabkan oleh
berkurangnya resonansi rongga hidung selama berbicara, biasanya karena obstruksi anatomi
rongga hidung. Dalam mendemonstrasikannya, cukup dengan menutup hidung saat berbicara.
Membedakan antara kedua kelainan ini penting, baik dalam diagnosis maupun dalam
penatalaksanaan kondisi di mana mereka terjadi.4
Gejala klinis hipernasal berupa misatikulasi sedangkan pada hiponasal biasanya pasien
dengan suara sengau terutama pada komponen nasal (m, n, dan n). Pemeriksaan fisik yang
dapat dilakukan yaitu hidung, rongga mulut, dan tenggorok dilakukan untuk menilai kelainan
pada kavum nasi, kavum oris, dan faring. Pemeriksaan sederhana untuk menilai komponen
oral dapat dilakukan dengan cul-de-sac test dilakukan dengan mengucapkan kalimat memakai
konsonan oral saat hidung terbuka dan tertutup. Pemeriksaan penunjang dapat berupa
pengukuran skor nasalance, speech videofluoruscopy atau nasofaringoskopi. Tatalaksana
dapat meliputi oeprasi dan terapi bicara. Terapi bicara dilakukan pada keadaan hipernasal-
1
hiponasal ringan tanpa memerlukan tindakan bedah, kelainan neurogenik, penutupan
velofaring yang tidak konsisten dan setelah pembedahan. 5
ANATOMI RESONANSI
Resonansi yang fisiologis tergantung pada struktur dan anatomi dari velofaring.
Struktur velofaring terdiri atas velum, dinding faring lateral, dan dinding faring posterior.
Penutupan velofaring dilakukan oleh gerakan terkoordinasi dari struktur-struktur tersebut.5
Otot-otot Velofaring
M. levator veli palatini berasal dari bagian petrosa anterior tulang temporal di dasar
tengkorak dan berjalan ke anterior, medial, dan inferior ke titik insersi dalam velum. Otot ini
dapat juga memiliki perlekatan pada sambungan bagian tulang rawan dan tulang tuba
Eustachius. Serabut m. levator veli palatini menyebar saat otot memasuki corpus velum, dan
tidak ada pemisahan garis tengah antara kedua berkas otot. M. levator veli palatini adalah otot
utama yang bertanggung jawab untuk elevasi dan retraksi velar. Setelah kontraksi, m. levator
veli palatini mengangkat dan menarik velum untuk membuat kontak dengan dinding faring
posterior.6
M. uvulae berasal dari aponeurosis palatina pada kira-kira seperempat panjang velum
dan berjalan ke posterior sepanjang garis tengah velum. Otot ini dapat divisualisasikan pada
Gambar 2 (berlabel "B"). M. uvulae berfungsi untuk menambah massa pada velum dan
menciptakan batas yang jelas antara velum dan dinding posterior faring. Telah diusulkan
bahwa, seperti lapisan atas balok lapisan ganda, kontraksi m. uvulae menyebabkan velum
melengkung ke atas dan melengkung ke posterior terhadap dinding faring posterior .6
3
Gambar 2. Tampilan tiga perempat dari otot-otot velofarying. Mm. (A) levator veli palatini,
(B) musculus uvulae, (C) tensor veli palatini, (D) palatopharyngeus, dan (E) palatoglossus. 6
Sebagian besar otot m. tensor palatini terletak di antara lempeng lamina medialis dan
lateralis prosesus pterygoidei di dalam fossa pterygoideus. Otot ini berjalan ke medial dan
inferior, sejajar dengan m. levator veli palatini, di mana ia berakhir di tendon tensor yang
membungkus hamulus dari lamina medialis prosesus pterygoideus. Tendon berjalan ke medial,
memasuki daerah antara palatum durum dan palatum molle anterior untuk melekat dan
membentuk bagian dari aponeurosis palatina. M. tensor veli palatini ditunjukkan pada Gambar
2 (berlabel “C”). Fungsi utama dari tensor veli palatini adalah untuk membuka tabung
Eustachius selama menelan dan menguap, memungkinkan drainase cairan dari telinga tengah
dan pemerataan tekanan udara di gendang telinga. 6
M. palatoglossus adalah otot berpasangan yang terletak di dalam pilar faucium anterior.
Berasal dari tepi lateral velum, berjalan melalui pilar faucium anterior, dan berinsersi ke lateral
korpus lidah. M. palatoglossus ditunjukkan pada Gambar 2 (berlabel "E"). M. palatoglossus
merupakan antagonis langsung terhadap m. levator veli palatini, artinya kontraksi otot ini
menghasilkan respon yang berlawanan dengan velum dibandingkan dengan m. levator veli
palatini. Secara khusus, kontraksi m. palatoglossus dapat bertindak untuk menurunkan velum,
mengangkat lidah, dan/atau menyempitkan isthmus faucium. Meskipun semua fungsi ini
penting dalam menelan, aktivitas m. palatoglossus selama produksi bicara bervariasi antar
individu, dan meskipun umumnya aktif selama semua bicara, otot ini paling aktif selama
produksi konsonan hidung. Secara anatomis, posisi pilar faucium anterior (dan oleh karena itu
m. palatoglossus) mungkin lebih anterior atau posterior, masing-masing memberikan jalan
untuk elevasi lidah atau penurunan velum. Selanjutnya, sejumlah besar jaringan elastis yang
ada di sepanjang pilar faucium anterior dapat membantu menurunkan velum dan menjaga
velopharyngeal port tetap terbuka selama tidur.6
5
FISIOLOGI RESONANSI
Resonansi merupakan kualitas suara yang dihasilkan dari faring, kavum oris, dan
kavum nasi. Energi bunyi dihasilkan oleh getaran pita suara sehingga memproduksi suara.
Energi bunyi akan merambat ke arah superior menuju resonator yang meliputi faring,kavum
oris, dan kavum nasi.Ukuran dan sudutkavitas resonansi tersebut akan mempengaruhi kualitas
suara dan resonansi. Mekanisme velofaring berfungsi meregulasi dan mentransmisikan energi
bunyi dan tekanan udara pada kavum oral dan kavum nasi.5
Selama produksi bunyi di kavum oris, mekanisme velofaring berfungsi sebagai katup
dengan menutup kavum nasi. Sehingga secara langsung akan terjadi produksi suara oral.
Resonator bunyi untuk fonem oral adalah kavum oris dan faring.5
Untuk konsonan nasal (m, n, ng), velofaring akan terbuka sehingga memungkinkan
transmisi suara ke kavum nasi, dimana merupakan resonator utama. Pada produksi suara nasal,
akan dihasilkan juga resonansi dalam jumlah sangat rendah pada kavum oris. Hal tersebut
dikarenakan seluruh energi akustik akan merambat ke arah superior menuju kavum nasi tanpa
adanya obstruksi dan akan berubah menjadi energi bunyi. Pada keadaan normal, penutupan
komplit dari velofaring akan menghasilkan suara oral. 5
6
Pada saat bicara, velum bergerak dengan arah superior dan posterior seperti
pergerakan “lutut kaki” agar terjadi penutupan velofaring ke arah dinding faring posterior.
Dinding faring posterior akan bergerak ke anterior untuk membantu penutupan velofaring.
Dinding faring lateral akan bergerak ke medial untuk membantu penutupan velofaring.
Penutupan velofaring ini berfungsi sebagai katup atau sfingter.5
7
menunjukkan sistem dinamis yang kurang dapat beradaptasi pada mereka yang memiliki
palatoschisis.6
Gambar 5. Velopharyngeal port ditunjukkan melalui nasendoskopi saat istirahat (a) dan
selama produksi ucapan lisan dengan pola penutupan sirkuler (b). PPW = dinding faring
posterior, LPW = dinding faring lateral.6
Definisi
Hipernasalitas sering terjadi pada anak-anak dengan celah palatum karena resonansi
hidung yang berlebihan saat berbicara karena rongga mulut tidak terpisah dengan baik dari
8
rongga hidung. 7 Dalam persentase kecil, anak-anak dengan celah palatum memiliki kesulitan
bicara. Terkadang terlalu banyaknya udara yang masuk melalui hidung dapat menyebabkan
suara hipernasal.8 Adanya pengaruh hipernasalitas terhadap keterampilan berbicara anak
dengan celah palatum merupakan akibat dari insufisiensi velofaringeal.9 Adanya
hipernasalitas dan berkurang keterampilan berbicara anak dikaitkan dengan skor bahasa dan
skor membaca yang lebih rendah.11 Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa sebagian
besar pasien yang menderita gangguan pendengaran derajat berat dan sangat berat akan
mengalami hipernasal.10
Di sisi lain, rhinolalia atau perubahan suara yang tiba-tiba pada pasien dengan trauma
wajah bagian tengah mungkin merupakan tanda yang menunjukkan diseksi udara melalui
ruang retrofaring dan, oleh karena itu, kemungkinan menyebar ke rongga mediastinum.
Rhinolalia tertutup atau "rhinolalia clausa" dicirikan oleh hiponasalitas, yang menyiratkan
pengurangan atau tidak adanya resonansi normal dari konsonan hidung "m," "n," dan "ng,"
dan vokal di dekatnya. Temuan ini menunjukkan berbagai penyebab obstruksi di rongga
hidung atau nasofaring (misalnya tumor, polip hidung, hipertrofi adenoid). Namun, jika
obstruksi secara khusus mempengaruhi bagian posterior rongga hidung atau nasofaring,
rhinolalia tertutup (posterior) ditunjukkan dengan "m," "n," "ng" nasal yang masing-masing
terdengar sebagai plosifnya "b," "d ," dan "g". 11
Etiologi
Hipernasalitas Hiponasalitas
Insufisiensi velofaringeal Common cold
Palatum molle yang pendek secara bawaan Alergi hidung
Palatum submukosa nasofaring besar Polip nasi
Celah palatum molle Pertumbuhan hidung
Parese palatum molle Adenoid
Post-adenoidektomi Massa nasofaring
Fistula oronasal Trauma wajah bagian tengah
Pola bicara keluarga Pola bicara keluarga
Pola bicara habitual Habitual
9
Patogenesis
Kelainan resonansi dapat disebabkan oleh variasi struktur abnormal pada resonating
chamber atau disfungsi velofaring. Kelainan tersebut meliputi Hipernasal (rhinolalia aperta),
hiponasal (rhinolalia clausa), dan resonansicul-de-sac. Kelainan resonansi banyak ditemukan
pada pasien dengan anomaly kraniofasial seperti celah palatum. Pada hipernasal terjadi
penutupan velofaring yang tidak adekuat. Akibat dari penutupan yang tidak adekuat tersebut,
terjadi resonansi suara yang tidak adekuat pada kavum nasisehinggamempengaruhi kualitas
bicara. Pada keadaan normal, seluruh bunyi konsonan dan vocal diproduksi secara oral kecuali
huruf m dan n. Terdapat huruf konsonan yang memerlukan tekanan tinggi seperti p, b, t, d, k,
g, s, z, sh, ch, dan j. Sedangkan huruf r, l, w, h, y, dan huruf vokal adalah tekanan rendah.
Hipernasal terjadi pada komponen vokal dengan durasi yang lama dan komponen konsonan
tekanan tinggi. Selain itu, hipernasal menyebabkan adanya emisi udara nasal selama produksi
komponen oral. Velofaring yang tidak adekuat disebabkan oleh defisiensi anatomis atau
defisiensi fisiologis. Insufisiensi velofaring merupakan salah satu defisiensi anatomi dimana
ditemukan velum yang pendek. Inkompetensi velofaring merupakan defisiensi fisiologis
dimana diakibatkan oleh kelemahan pergerakan velofaring. Sehingga kelainan pada katup
velofaring dikenal dengan insufisiensi velofaring. Insufisiensi velofaring ditemukan pada
pasien dengan celah palatum, abnormalitas basis kranii. Inkompeten velofaring ditemukan
pada pasien dengan kelainan neurologis seperti pasien disartria. 5
Pada hiponasal terjadi penurunan resonansi nasal akibat obstruksi pada nasofaring atau
kavum nasi. Jika terjadi obsruksi total pada kavum nasi, dapat terjadi denasal. Hiponasal atau
denasal dapat mempengaruhi kualitas komponen vokal selain itu dapat mempengaruhi
produksi konsonan nasal (m, n, ng) sehingga pada komponen konsonan nasal akan terdengar
seperti fonem oral (b, d, dan g). Hiponasal dan denasal dapat ditemukan pada pasien dengan
pembesaran adenoid, rinitis alergi, common cold, deviasi septum nasi, atresia koana, stenosis
nares, dan defisiensi midfasial.5
10
Gejala Klinis
Pada hipernasal dapat ditemukan gejala klinis regurgitasi nasal, misartikulasi. Pada
hiponasal, gejala klinis yang ditemukan pada pasien adalah suara sengau terutama pada
komponen nasal (m, n, dan ng).5
Pemeriksaan fisik hidung, rongga mulut, dan tenggorok dilakukan untuk menilai
kelainan pada kavum nasi, kavum oris, dan faring. Pemeriksaan sederhana untuk menilai
resonansi komponen oral dapat dilakukan dengan cul-de-sac test dilakukan dengan
mengucapkan kalimat memakai konsonan oral saat hidung terbuka dan tertutup, apabila
didengar bunyi yang sama maka dikatakan normal. Pemeriksaan kedua yang dapat dilakukan
adalah tes cermin nasal, dimana dilakukan pemeriksaan emisi udara dari kavum nasi selama
bicara dan tidak bicara. Pada hiponasal ditemukan reduksi emisi pada cermin nasal pada saat
produksi konsonan nasal.5
Pemeriksaan Penunjang
11
An : Energi akustik yang dihasilkan dari nares
Gambar 6 : Representation of the most common types of cleft affecting the palate. (a)
Unilateral cleft lip with alveolar involvement; (b) bilateral cleft lip with alveolar involvement;
(c) unilateral cleft lip associated with cleft palate; (d) bilateral cleft lip and palate; (e) cleft
palate only. 13
13
Labiopalatoschizis dapat berupa terbuka langsung (overt palatal cleft) dimana dapat
dinilai dari inspeksi intraoral dan dapat juga berupa submucous cleft palate (SCMCP),
dimana mukosa oral intak namun otot otot yang mendasari velum tidak menyatu.
Normal proses penutupan velopharhyngeal (VP) dipengaruhi oleh nasal dan oral
cavitas yang nantinya akan mengahasilkan suara. 13
Velopharyngeal Dysfunction/ VPD dapat dibagi menjadi cleft dan Non- cleft. Cleft
VPD atau disebut juga velopharyngeal Insufficiency merupakan kelainan structural
berupa cleft palate (overt ataupun submucous) dan insufisiensi post surgical ( post
adenoidektomi atau palatum yang terlalu Panjang post operasi. Untuk VPD yang non-
cleft dapat berupa kelainan structural, neurogenik dan mislearning. Mengenai
pembagian Velopharyngeal Dysfunction / VPD dapat dilihat lebih jelas pada gambar
7.
Pada saat memproduksi suara, VPD dapat menyebabkan hipernasal. Dampak dari
VPD pada proses artikulasi dapat dihubungkan dengan cleft lip and palate. Karea
14
dalam proses resonasi dibuthkan otot otot velum serta anatomi yang baik untuk
menghasilkan resonansi yang sempurna. 13
2. Post adenoidektomi
Pada proses bicara normal nasofaring berpengaruh untuk menghasilkan suara seperti
as/ em / en. Penutupan nasofaring juga dibutuhkan untuk memproduksi huruf fokal
seperti /ee/ dan /ah/, konsonan seperti /k/p/d/ dan frikatif /s/ dan /f/. Hubugan antara
nasofaring dan orofaring berfungsi untuk mengkontrol spincter muscular. Pada saat
penutupan soft palate (velum) bertentangan dengan proyeksi lateral dan posterior
dinding faring. Kegagalan mekanisme ini dapat menyebabkan gangguan resonansi
seperti hipernasal. 14
Kelenjar adenoid terletak dibagian atap nasofaring dan berkurang ukurannya jika ada
gangguan Velopharyngeal. Kontraksi dari soft palatum yang bertentangan dengan
adenoid mencegah masuk kedalam nasofaring. Removal dari adenoid yang membesar
pada gangguan velopharyngeal. Semua pasien tidak harus selalu mengalami hipernasal
setelah adenoidektomi sebagai kompensasi dari soft palatum dengan meningkatkan
efektivitas jarak terhadap dinding faring. Masalah yang sering timbul karena nyeri
pada post operasi bengkak atau neuropraksia tetapi umumnya cepat pulih kembali.
Pada anak yang sering mengalami hipernasal setelah adenoidektomi dapat
dikonsulkan ke speech terapi dan sebaiknya dilakukan follow up setelah 1 tahun
adenoidektomi. 14
1. Hipetrofi Adenoid
Hipertorfi adenoid adalah kondisi yang paling sering pada anak anak yang dapat
menyebabkan bernafas melalui mulut (mouth- breathing), sekret pada hidung,
mendengkur dan sleep apnea. Kualitas hidup anak dengan hipertorfi adenoid juga
terganggu termasuk kemampuannya dalam berbicara. 15
Gejala hipertrofi adenoid tergantung pada letak obstruksinya. Jika pasien mengalami
obstruksi pada hidung maka gejala yang timbul dapat berupa rhinorea, sulit bernafas,
batuk, post nasal drip dan snoring. Jika obstruksi pada tuba Eustachia biasanya gejala
dapat berupa gangguan pendengaran, otalgia dan tinnitus. 15
15
Dari pemeriksaan fisik, pasien tampak sering bernafas dari mulut, memiliki karakter
suara hyponasal dan karakteristik wajah (adenoid face).
Pada kasus akut dan kronik terapi dapat dengan pemberian antibiotik seperti
Amoxicilin. Jika pemberian antibiotik tidak efektif tindakan bedah berupa
adenoidektomi dapat dilakukan. 15
2. Deviasi Septum
Deviasi septum nasi didefinisikan sebagai bentuk septum yang tidak lurus di tengah
sehingga membentuk deviasi ke salah satu rongga hidung atau kedua rongga hidung
yang mengakibatkan penyempitan pada rongga hidung. Bentuk septum normal adalah
lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak
lurus sempurna di tengah. Angka kejadian septum yang benar-benar lurus hanya
sedikit dijumpai, biasanya terdapat pembengkokan minimal atau terdapat spina pada
septum nasi. Bila kejadian ini tidak menimbulkan gangguan respirasi, maka tidak
dikategorikan sebagai abnormal.16 Deviasi yang cukup berat dapat menyebabkan
obstruksi hidung yang mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi atau
bahkan menimbulkan gangguan estetik wajah karena tampilan hidung menjadi
bengkok. Gejala sumbatan hidung dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas
penderita. 16
Keluhan yang paling sering pada deviasi septum nasi adalah sumbatan hidung.
Sumbatan dapat unilateral dan dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat
konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi, sebagai
akibat mekanisme kompensasi. 16
Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan sekitar mata. Selain itu penciuman dapat
terganggu, dan hiponasal speech akibat adanya obstruksi hidung pada deviasi septum
16
yang berat. Pada deviasi septum nasi ringan yang tidak menyebabkan gejala,
dilakukan observasi. Pada septum deviasi yang memberikan gejala obstruksi
dilakukan pembedahan septoplasti. 16
16
3. Atresia Koana
Atresia koana adalah tertutupnya satu atau kedua posterior kavum nasi oleh membran
abnormal atau tulang. Hal ini terjadi akibat kegagalan embriologik dari membrane
bukonasal untuk membelah sebelum kelahiran. 17
Gejala yang paling khas pada atresia koana adalah tidak adanya atau tidak adekuatnya
jalan napas hidung. Pada bayi baru lahir yang hanya bisa bernapas melalui hidung,
kondisi ini merupakan keadaan gawat darurat dan perlu pertolongan yang cepat pada
jalan napas atas untuk menyelamatkan hidupnya. Obstruksi koana unilateral kadang-
kadang tidak menimbulkan gejala pada saat lahir tapi kemudian akan menyebabkan
gangguan drainase nasal kronis unilateral pada masa anak-anak sedangkan atresia
koana bilateral menyebabkan keadaan darurat pada saat kelahiran. Pada atresia koana
terjadi penyempitan jalan udara dari hidung ke faring sehingga menyebabkan
timbulnya gejala hiponasal. 17
Pemeriksaan tambahan dapat berupa endoskopi fleksibel karena dapat menilai anatomi
secara baik. Pemeriksaan radiologi yaitu CT scan kontras juga dapat membantu
menenutkan diagnosa. Tindakan bedah yang dapat dilakukan adalah koanoplasti. 17
Penatalaksanaan
Waktu penutupan palatal bervariasi, dan ada trade-off antara penutupan palatum dini
untuk membantu berbicara, dan penundaan penutupan palatum durum untuk memperbaiki
pertumbuhan wajah. Tujuan dari palatoplasti adalah untuk mengorientasikan kembali otot-
otot palatum untuk mencapai pemanjangan dan meningkatkan pergerakan palatum untuk
menciptakan penutupan velofaringeal yang memadai. Ada berbagai pilihan bedah yang
17
tersedia untuk ahli bedah terkait celah palatum, yang masing-masing memiliki preferensi
tersendiri. Intravelarveloplasty, yang dipopulerkan oleh Sommerlad, melibatkan diseksi
radikal otot velar dan reorientasi ke posisi melintang untuk menciptakan kembali sling levator
anatomis. Mukosa hidung dan mulut dilakukan diseksi dari otot dan diperbaiki di atas sling
yang baru terbentuk untuk menutup celah (Gambar 8).
Gambar 8. Otot-otot celah palatum. LP, m. levator palatini; PP, m. palatopharyngeus; TP, m.
tensor palatini. 19
Gambar 9. Repair palatum dengan teknik Furlow. Perhatikan orientasi melintang dari m.
levator veli palatini. 19
Tatalaksana lain adalah sfingteroplasti, dimana dibuatkan sfingter pada faring dengan
mereposisi m. palatofaringeus.5 Faringoplasti sfingter ini biasanya digunakan pada pasien
dengan gerakan palatum yang baik, celah velofaringeal sentral yang kecil, dan gerakan
dinding lateral yang buruk. Konversi pada furlow palatoplasty juga merupakan teknik yang
digunakan untuk mengoreksi insufisiensi velofaring pada pasien yang sebelumnya telah
menjalani straight-line palatoplasty. Pasien yang dipilih untuk speech surgery sekunder
sering menjalani prosedur tonsilektomi dan adenoidektomi 6 minggu sebelum operasi tersebut
untuk menghilangkan jaringan yang dapat menyebabkan obstruksi yang signifikan pada port
velofaring, mengurangi risiko hiponasalitas dan kemungkinan obstructive sleep apnea (OSA).
18
Gambar 10. A; Desain flap mukoperiosteal palatum durum unipedikel bilateral. B: Diseksi
flap mukoperiosteal palatum durum unipedikel bilateral, masing-masing berisi arteri palatina
mayor di setiap sisi. C: Diseksi lapisan hidung dari tepi posterior palatum durum. D:
Perbaikan/repair selaput hidung di sepanjang tepi palatum durum dan molle dilakukan dengan
cepat. E: Perbaikan lapisan mulut di sepanjang tepi palatum durum dan molle dilakukan
dengan cepat. 18
19
Pada pasien dengan hiponasal dimana terjadi obstruksi pada kavum nasi, dilakukan
operasi sesuai dengan obstruksi yang terjadi. Misalnya, pada deviasi septum dilakukan
septoplasti.5 Septoplasti merupakan pendekatan konservatif untuk operasi septum. Dalam
operasi ini, sebagian besar kerangka septum dipertahankan. Hanya bagian yang paling
mengalami deviasi yang dihilangkan. Sisa kerangka septum dikoreksi dan direposisi. Flap
mukoperikondrium/periosteal umumnya diangkat hanya pada satu sisi septum,
mempertahankan perlekatan dan suplai darah di sisi lain. Septoplasti saat ini hampir
menggantikan operasi reseksi submukosa/submucous resection (SMR). Operasi septum
biasanya dilakukan setelah usia 17 tahun agar tidak mengganggu pertumbuhan tulang hidung.
Namun, jika seorang anak memiliki deviasi septum yang parah yang menyebabkan obstruksi
hidung yang nyata, pembedahan septum konservatif (septoplasty) dapat dilakukan untuk
memberikan jalan napas yang baik.14 Pada keadaan hiponasal akibat rinitis alergi maupun
common cold diberikan terapi medikamentosa meliputi pemberian dekongestan. 5
20
choana. Kontraindikasi relatif lainnya untuk adenoidektomi termasuk diathesis perdarahan
yang signifikan dan infeksi aktif. 22
• Discrimination training
Mendengarkan hypenasal speech dan oral speech secara simultan melalui tape recorder.
• Nasal/oral contrast
Meninggikan dan merendahkan velum selama produksi huruf “a”, dan menghasilkan
perbedaan nasal/oral dengan huruf “ng-a”.
• Simulate denasality
Pasien diminta berpura-pura berbicara seperti orang terkena flu. Secara gradual,
kemampuan tersebut dikurangi untuk memproduksi resonansi oral.
• Tactile feedback
Meminta pasien menutup salah satu lubang hidung dengan jari tangan, kemudian
mengucapkan fonem nasal “mamamama”, pasien diminta merasakan vibrasi yang terjadi
pada hidung yang ditutup. Lakukan hal yang sama dengan mengucapkan fonem oral
“papapapa”. Apabila pasien merasakan vibrasi yang sama. Pasien dilatih agar dapat
mengurangi vibrasi pada saat mengucapkan fonem oral.
21
• Tongue blade manipulation
Pemeriksa diminta untuk menahan lidah dengan spatula sehingga velum akan naik.
Kemudian pasien diminta untuk berbicara fonem vokal. Pasien diminta untuk menaikkan
velum tanpa bantuan dengan mengucapkan fonem vokal seperti saat lidah ditahan oleh
pemeriksa.
• Yawn tehnique
Pasien diminta untuk menguap sehingga diharapkan basis lidah emendek dan
menaikkan velum. Kemudian pasien diminta mengucapkan fonem vokal dan konsonan oral
dengan membayangkan saat sedang menguap.
22
KESIMPULAN
Kelainan resonansi dapat disebabkan oleh variasi struktur abnormal pada resonating
chamber atau disfungsi velofaring. Kelainan bicara hipernasal terjadi ketika ada aliran udara
dan energi akustik yang keluar ke dalam rongga hidung selama berbicara, umumnya karena
disfungsi (mekanis atau neuromuskular) mekanisme katup velofaringeal, seperti pada sindrom
velokardiofasial. Sebaliknya, kelainan bicara hiponasal disebabkan oleh berkurangnya
resonansi rongga hidung selama berbicara, biasanya karena obstruksi anatomi rongga hidung.
Pada hipernasal dapat ditemukan gejala klinis regurgitasi nasal, misartikulasi. Pada hiponasal,
gejala klinis yang ditemukan pada pasien adalah suara sengau terutama pada komponen nasal
(m, n, dan ng).
23
DAFTAR PUSTAKA
2. Peterson RK, Ashford JM, Scott SM, Wang F, Zhang H, Bradley JA, et al. Predicting
parental distress among children newly diagnosed with craniopharyngioma. Pediatr Blood
Cancer. 2018 Oct;65(10):e27287.
4. Kirk EP. ‘Nasal’ speech–hyper or hypo? Eur J Hum Genet. 2012 Apr;20(4):367–367.
5. Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL. Hipernasal dan Hiponasal. In: Modul Utama THT
Komunitas. 2nd ed. 2015. (IX).
6. Kotlarek KJ, Perry JL. Velopharyngeal Anatomy and Physiology. Perspect ASHA SIGs.
2018 Jan;3(5):13–23.
8. Dewi PS. Management of Cleft Lip and Palate (Literature Review). Interdental: Jurnal
Kedokteran Gigi [Internet]. 2019 Jul 2 [cited 2022 Feb 9];15(1):25–9. Available from:
https://e-journal.unmas.ac.id/index.php/interdental/article/view/340
10. Yassi D, Widiarni D, Airlangga TJ, Aryanti L, Mansyur M. Kajian faktor-faktor yang
berhubungan dengan skor nasalance pada pasien celah palatum. Oto Rhino Laryngologica
Indonesiana [Internet]. 2015;45(2):131–42. Available from:
http://www.orli.or.id/index.php/orli/article/view/117
24
12. Dhingra PL, Dhingra S. Diseases of Ear, Nose and Throat-eBook [Internet]. Elsevier
India; 2017. Available from:
https://www.google.co.id/books/edition/Diseases_of_Ear_Nose_and_Throat_eBook/JfH
QDwAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Diseases+of+Ear,+Nose+and+Throat-
eBook+2017&printsec=frontcover
15. Gupta N, Geiger Z. Adenoid Hypertrophy. NCBI Bookshelf. A service of the National
Library of Medicine, National Institutes of Health. 2021; 1-7.
16. Budiman J Bestari, Asyari A. Pengukuran Sumbatan hidung pada Deviasi Septum Nasi.
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang. 2013; 16-17.
17. Perkasa. F. M, Penanganan Meningosil dan Atersia Koana Bilateral. Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin/RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar. 2013; 1-6
18. Johnson JT, Rosen CA. Bailey’s Head and Neck Surgery-Otolaryngology Review
[Internet]. 5th ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2014. 2227 p. Available from:
https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=hS_lAgAAQBAJ&oi=fnd&pg=PT23&d
q=bailey+head+and+neck+surgery+otolaryngology&ots=DoM982jYZG&sig=08Uy-
LXBR0hBSArrntg242laXYI&redir_esc=y#v=onepage&q=bailey%20head%20and%20ne
ck%20surgery%20otolaryngology&f=false
19. Watkinson JC, Clarke RW, Clarke R. Scott-Brown’s Otorhinolaryngology and Head and
Neck Surgery, Eighth Edition: 3 Volume Set. Taylor & Francis Group; 2018. 4356 p.
20. Ingram DG, Friedman NR. Toward Adenotonsillectomy in Children: A Review for the
General Pediatrician. JAMA Pediatrics [Internet]. 2015 Dec 1 [cited 2022 Feb
10];169(12):1155–61. Available from: https://doi.org/10.1001/jamapediatrics.2015.2016
21. Schupper AJ, Nation J, Pransky S. Adenoidectomy in Children: What Is the Evidence and
What Is its Role? Curr Otorhinolaryngol Rep [Internet]. 2018 Mar 1 [cited 2022 Feb
10];6(1):64–73. Available from: https://doi.org/10.1007/s40136-018-0190-8
25
22. Miller BJ, Gupta G. Adenoidectomy. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022 [cited 2022 Feb 10]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535352
26