Anda di halaman 1dari 55

Kepada Yth :

Diberikan tanggal :

REFERAT DASAR

IMAGING PADA TULANG TEMPORAL

Oleh

dr. Agno Pajariu

Pembimbing:

dr. Sukma Imawati, Sp. Rad (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNVIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR GAMBAR iii

BAB I. PENDAHULUAN 1

BAB II. ANATOMI TULANG TEMPORAL 2

2.1. TELINGA LUAR 7

2.2. TELINGA TENGAH DAN MASTOID 7

2.3. TELINGA DALAM 10

2.4. KANALIS AUDITORIUS INTERNA 11

2.5. NERVUS FACIALIS (NERVUS VII KRANIALIS) 12

BAB III. MODALITAS RADIOLOGI PADA TULANG TEMPORAL 14

3.1. FOTO KONVENSIONAL PADA TULANG TEMPORAL 14

3.1.1. POSISI SCHULER 14

3.1.2. POSISI STENVERS 15

3.1.3. POSISI MAYER 15

3.2. COMPUTED TOMOGRAPHY 16

3.3. MAGNETIC RESONANCE IMAGING 17

BAB IV. LESI INFLAMASI PADA TULANG TEMPORAL 18

4.1. LESI INFLAMASI PADA KANALIS AUDITORIUS EKSTERNAL 18

4.1.1. KOLESTEATOMA KANALIS AUDITORIUS EKSTERNAL 18

4.1.2. KERATOSIS OBTURANS 19

4.1.3. OTITIS EKSTERNA MALIGNA 19

4.2. TELINGA TENGAH 20

4.2.1. OTITIS MEDIA AKUT 20

4.2.2. OTITIS MEDIA KRONIS 23

4.2.3. GRANULOMA KOLESTEROL 23

i
4.2.4. KOLESTEATOMA TELINGA TENGAH 25

4.3. NERVUS FACIALIS 27

4.3.1. BELL PALSY 27

4.3.2. RAMSAY HUNT SYNDROME 28

4.4. TELINGA DALAM 28

BAB V. TUMOR PADA TULANG TEMPORAL 30

5.1. TELINGA DALAM/ CEREBELLOPONTINE ANGLE 30

5.1.1. VESTIBULAR SCWANNOMA 30

5.1.2. MENINGIOMA 31

5.1.3. EPIDERMOID 32

5.2. TELINGA TENGAH 33

5.2.1. PARAGANGLIOMA 34

5.3. KANALIS AUDITORIUS EKSTERNUS DAN MASTOID 36

5.4. APEX PETROSUS 37

5.4.1. CHONDROSARCOMA 37

5.4.2. TUMOR KANTONG ENDOLIMFATIC 37

5.5. NERVUS FACIALIS 38

5.5.1. SCHWANNOMA FACIALIS 38

5.5.2. HEMANGIOMA 39

5.5.3. TUMOR YANG MENYEBAR SECARA PERINEURAL 40

BAB VI. TRAUMA TULANG TEMPORAL 41

6.1. FRAKTUR TULANG TEMPORAL 41

6.2. DISLOKASI OSSICULAR POST TRAUMA 43

6.3. OTORHEA CAIRAN SEREBROSPINAL POST TRAUMA 45

6.4. CEDERA NERVUS FACIALIS 47

BAB VII. KESIMPULAN 49

DAFTAR PUSTAKA 50

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tulang temporal kanan, inferior view 2

Gambar 2. Tulang temporal, permukaan dalam 2

Gambar 3. Tulang temporal kanan, terbuka, tampak dari anterolateral 3

Gambar 4. Tulang temporal kanan, tampak medial 3

Gambar 5. Tulang temporal kanan, tampak lateral 4

Gambar 6. Tulang temporal kanan, (A) tampak inferior, (B) tampak superior 4

Gambar 7. Citra CT tulang temporal potongan axial 5

Gambar 8. Citra CT tulang temporal potongan axial 5

Gambar 9. Citra CT tulang temporal potongan axial 6

Gambar 10. Citra CT tulang temporal potongan coronal 6

Gambar 11. Citra CT tulang temporal potongan coronal 7

Gambar 12. Ilustrasi diagram dari ossicular chain 8

Gambar 13. Incus pada Citra CT potongan axial dan koronal 9

Gambar 14. Stapes pada Citra CT potongan axial dan koronal 9

Gambar 15. Malleus pada Citra CT potongan axial dan koronal 9

Gambar 16. Diagram persarafan pada meatus akustikus internus 12

Gambar 17. Gambar nervus facialis potongan axial pada citra CT 12

Gambar 18. Foto Schuller pada tulang petrosus 14

Gambar 19. Posisi stenvers pada tulang petrosus 15

Gambar 20. Posisi mayer pada tulang petrosus 16

Gambar 21. Potongan koronal citra CT pasien 73 tahun dengan kolesteatoma 18

Gambar 22. Citra CT potongan koronal pasien dengan keratosis obturans 19

Gambar 23. Citra CT Scan pada pasien dengan otitis eksterna maligna 20

Gambar 24. Citra CT potongan axial pada pasien dengan mastoiditis koalesen 21

Gambar 25. Citra CT kontras potongan koronal menunjukkan abses Bezold 22

iii
Gambar 26. Citra CT pada pasien yang didapatkan petrous apicitis 22

Gambar 27. Gambar granuloma kolesterol CT potongan axial 24

Gambar 28. Citra CT potongan aksial efusi apeks petrosa 24

Gambar 29. Citra CT potongan koronal pada kolesteatoma pars flacida 26

Gambar 30. Citra CT potongan koronal pada kolesteatoma pars tensa 26

Gambar 31. Citra CT dari automastoidektomi 27

Gambar 32. Citra CT potongan axial dari pasien dengan labirintis osifikan 28

Gambar 33. Pemeriksaan CT scan dengan kontras massa CPA 31

Gambar 34. Pemeriksaan CT scan dengan kontras meningioma 32

Gambar 35. Pemeriksaan CT scan tanpa kontras kista epidermoid 32

Gambar 36. Gambar CT potongan coronal adenoma telinga tengah 33

Gambar 37. Citra CT potongan koronal glomus timpanicum 35

Gambar 38. Citra CT pada glomus jugulotimpanikum 35

Gambar 39. Citra CT potongan axial karsinoma sel skuamos 36

Gambar 40. Citra CT pada basis kranii kanan mengesankan chondrosarcoma 37

Gambar 41. Gambar CT tumor kantong endolimpatik 38

Gambar 42. CT bone window schawnoma segmen mastoid nervus facialis kanan 39

Gambar 43. Gambar hemangioma pada regio ganglion genikulatum 40

Gambar 44. Klasifikasi tradisional fraktur tulang temporal 42

Gambar 45. Separasi incudostapedial 43

Gambar 46. Separasi sendi incudomalleal 44

Gambar 47. Dislokasi stapediovestibular 44

Gambar 48. Kebocoran cairan serebrospinal post trauma 47

Gambar 49. Cedera pada nervus facialis 47

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Dari sudut pandang klinik-radiologis, terdapat sejumlah entitas penyakit maupun


kelainan struktur pada tulang temporal yang harus kita sebagai dokter radiologi pahami
guna menghasilkan ekspertise citra baik secara computed tomography (CT) atau
magnetic resonance (MR) secara akurat sehingga dapat membantu klinisi untuk dapat
men-terapi pasien dengan metoda yang efisien1. Sebelum memberikan suatu diagnosa
kita harus benar – benar memahami apakah suatu struktur yang terdapat dalam tulang
temporal merupakan struktur normal atau tidak. Hal tersebut tidak lah mudah, karena
untuk dapat membedakan suatu struktur yang normal atau merupakan suatu kelainan di
tulang temporal dibutuhkan latihan dan pengetahuan yang mendalam tentang anatomi,
fisiologi dan patologi yang umum terdapat pada tulang temporal2.

Pemeriksaan radiologis pada tulang temporal membutuhkan pemeriksaan yang


terfokus, terorganisir dan sistematik agar mendapatkan hasil yang informatif bagi
dokter radiologis maupun klinisi1. Pada referat ini penulis akan mencoba memberikan
pendekatan praktis untuk memahami tulang temporal, melokalisasi seuatu kelainan
patologis yang terfokus pada kelainan inflamasi, neoplastik maupun trauma pada tulang
temporal sehingga mampu untuk mengindentifikasi temuan positif dan negatif pada
citra radiologi hingga akhirnya dapat merumuskan suatu diferential diagnosa.

1
BAB II

ANATOMI TULANG TEMPORAL

Tulang Temporal terdiri dari bagian lateral basis kranii, yang membentuk bagian dari
fossa kranii posterior dan fossa kranii medialis1. Tulang Temporal kiri dan kanan masing -
masing tersusun atas lima bagian tulang yaitu tulang pars squamosa, pars mastoid, pars petrosa,
pars timpanika, dan os zygomatikus.

Sumber: Pocket atlas of human anatomy, thieme, 2000


Gambar 1. Tulang temporal kanan, inferior view. 17. Prosesus mastoid; 18. Arkus mastoid;
20. Sulkus a. occipitalis; 21. Foramen mastoid; 22. Kanalis facialis; 25. Apex pars petrosus;
26, kanalis karotikus; 27. Kanalikuli coraticotypmpanici; 28. Kanalis musculotubarius.

Sumber: Pocket atlas of human anatomy, thieme, 2000


Gambar 2. Tulang temporal kanan, permukaan dalam. 15. Pars petrosa ossis temporalis; 16.
Margo occipitalis; 19. Insisura mastoidea; 21. Foramen mastoideum; 22. Kanalis fasialis; 23.
Geniculum kanalis fasialis; 24. Kanalikulus khordae timpani; 25. Apex pars petrosa.

2
Sumber: Pocket atlas of human anatomy, thieme, 2000
Gambar 3. Tulang temporal kanan, terbuka, tampak dari anterolateral. 17. Prosesus
mastoideus; 22. Kanalis fasialis; 24. Kanalikulus khorda timpani; 28. Kanalis muskulotubarius;
29. Semikanalis m. tensor timpani; 30. Semikanalis tubae auditorius.

Sumber: Pocket atlas of human anatomy, thieme, 2000


Gambar 4. Tulang temporal kanan, tampak medial. 1. Facies anterior pars petrosa; 3.
Eminentia arcuata; 4. Hiatus canalis n. petrosi majoris; 5. Hiatus canalis n. petrosi minoris; 9.
Margo superior os petrosa; 10. Sulkus sinos petrosi superioris; 11. Facies posterior pars petrosa;
12. Porus acusticus internus; 13. Meatus acusticus internus; 14. Fossa subarcuata; 16. Aperture
externa aquaductus vestibulii; 17. Margo posterior pars petrosa; 18. Sulkus sinus petrosi
inferioris; 19. Incisura jugularis; 20. Processus intrajugularis; 21. Kanalikulus kokleae; 26.
Procesus styloideus.

3
Sumber: Pocket atlas of human anatomy, thieme, 2000
Gambar 5. Tulang temporal kanan, tampak lateral. 26. Prosesus styloideus; 31. Fissure
petrotympanica; 33. Fisura tympanosquamosa; 34. Fissure tympanomastoidea.

A B

Sumber: Pocket atlas of human anatomy, thieme, 2000


Gambar 6. Tulang temporal kanan, (A) tampak inferior, (B) tampak superior. 1. Facies
anterior pars petrosa; 2. Tegmen timpani; 3. Eminentia arcuata; 4. Hiatus canalis n. petrosi
majoris; 5. Hiatus canalis n. petrosi minoris; 6. Sulkus n. petrosi majoris; 7. Sulkus n. petrosi
minoris; 8. Impresio trigeminalis; 9. Margo superior pars petrosa; 10. Sulkus sinus petrosi
superioris; 12. Porus acusticus internus; 19. Incisura jugularis; 20. Prosesus intrajugularis; 22.
Aperture eksternal kanalikuli kokleae; 23. Facies inferior pars petrosa; 24. Fossa jugularis; 25.
Kanalikulus mastoideus; 26. Prosesus styloideus; 27. Foramen stylomastoideum; 28.
Kanalikulus timpanikus; 29. Fossula petrosa; 31. Fissure petrotympanica; 32. Fissure
petrosquamosa; 33. Fissure tympanosquamosa; 34. Fissure tympanomastoidea.

4
Dokter radiologis harus berhati – hati, karena beberapa kanalis, fisura dan sutura pada
citra CT dapat terlihat seperti fraktur (pseudofraktur) 3. Penanda anatomi dari tulang temporal
dapat dilihat pada citra CT potongan aksial dan koronal (gambar 7-11) dan dijelaskan dalam
subagian berikut.

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 7. Citra CT tulang temporal potongan axial menunjukkan: 1. Antrum mastoid; 2.


Aditus ad antrum; 3. Epitympanum; 4. Kanalis semisirkularis lateral; 5. Vestibula; 6. Segment
labirin nervus facialis; 7. Kanalis auditorius interna; 8. Kanalis semisirkularis.

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 8. Citra CT tulang temporal potongan axial: 1. Mastoid air cell; 2. Incus (procesus);
3. Incudomaleal joint; 4. Malleus (caput); 5. Epitimpanum (anterior resesus epitimpani); 6.
Skala timpani koklea; 7. Skala media koklea; 8. Kapsul otik; 9. Kanalis auditorius internus; 10.
Modiolus; 11. Vestibula.

5
Sumber: RSNA, 2013

Gambar 9. Citra CT tulang temporal potongan axial: 1. Stapes (caput); 2. Incus (prosesus); 3.
Maleus (collum); 4. Tensor timpani; 5. Kanalis karotikus; 6. Apeks koklea; 7. Skala media
koklea; 8. Skala timpani koklea; 9. Septum interscalar; 10. Fenestra koklea (Round window);
11. Akuaduktus vestibularis; 12. Sinus timpani; 13. Stapedius; 14. Eminensia piramidalis; 15.
Segmen mastoid nervus facialis; 16. Resesus fasialis.

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 10. Citra CT tulang temporal potongan coronal; 1. Kanalis auditorius eksternus; 2.
Mastoid air cell; 3. Tegmen mastoid; 4. Tegmen timpani; 5. Segmen timpani nervus facialis;
6. Segmen labirin nervus facialis; 7. Apex os petrosus; 8. Skala timpani koklea; 9. Septum
interskalar; 10. Skala media koklea; 11. Kanalis karotis; 12. Tendon musculus tensor timpani;
13. Prosesus lateral os melleus; 14. Ligamentum malleus lateral; 15. Malleus (caput).

6
Sumber: RSNA, 2013

Gambar 11. Citra CT tulang temporal potongan coronal: 1. Mastoid air cell; 2. Tegmen
mastoid; 3. Tegmen timpani; 4. Kanalis auditorius internus; 5. Vestibula; 6. Hypotympani; 7.
Mesotympani; 8. Epitimpani; 9. Promontorium koklear; 10. Membran timpani; 11. Scutum;
12. Ruang Prussak; 13. Malleus (caput); 14. Stapes (crus); 15. Kanalis semisirkularis superior;
16. Segmen timpani nervus facialis; 17. Fenestra vestibule (Oval window); 18. Krista
falsiformis; 19. Kanalis auditorius eksternus.

2.1. TELINGA LUAR

Telinga luar terdiri atas aurikula dan kanalis auditorius eksternus, yang memanjang
kedalam sampai ke membrana timpani. Membrana timpani melekat pada annulus timpani
dan memiliki diameter + 10 mm, tidak jarang membran timpani dapat terlihat samar pada
gambaran CT1. Sepertiga lateral dari kanalis auditorius eksternus terdiri atas jaringan
fibrocartilagenosa, sedangkan dua per tiga medialnya dikelilingi oleh bagian timpani dari
os temporal (Gambar 11). Dinding anterior kanalis auditorius eksternus berbatasan dengan
aspek posterior dari fosa glenoid mandibula. Dinding posterior dari kanalis auditorius
eksternus membentuk batas anterior segmen mastoid dari tulang temporal dan merupakan
bagian yang direseksi pada tindakan canal wall-down mastoidectomy (teknik bedah untuk
mencapai celah tengah)4.

2.2.TELINGA TENGAH DAN MASTOID

Telinga tengah merupakan rongga yang berisi udara dan berada pada bagian petrosus
tulang temporal yang berisi ossicular chain (malleus, incus dan stapes) dan berlekatan
dengan membran timpani disebelah lateralnya, dan struktur telinga dalam di sebelah
medialnya (dikelilingi oleh otic capsule dan promontorium koklear), tegmentum timpani
disebelah superior dan dinding jugular disebelah inferior (Gambar 11). Scutum merupakan

7
proyeksi tajam yang mana merupakan tempat perlekatan membran timpani disebelah
superior (Gambar 11)5.

Sumber: Prof. Frank Gaillard, 2008

Gambar 12. Ilustrasi diagram dari ossicular chain (malleus incus dan stapes)

Tegmen mengacu pada lapisan tulang yang tipis yang memisahkan lapisan dura dari
fossa cranialis medialis dengan telinga tengah dan rongga mastoid. Tegmen timpani
merupakan atap dari telinga tengah, dan tegmen mastoid adalah atap dari mastoid (Gambar
10, 11). Dinding posterior telinga tengah berbentuk irregular dan dari lateral ke medial
terdiri dari resesus fasialis (juga dikenal sebagai resesus nervus fasial), eminensia
piramidalis, sinus timpani, dan fenestra koklea (round window) (Gambar 9). Eminensia
piramidalis melapisi otot stepedius yang mana melekat ke caput stapes. Area lain yang tidak
kalah pentingnya adalah ruang Prussak (resesus superior) (Gambar 11). Ruangan ini
dibatasi oleh pars flacida dan scutum di sebelah lateral, ligamentum melleus di sebelah
superior dan collum malleus di medialnya 4.

8
Sumber: Prof. Frank Gaillard, 2008
Gambar 13. Incus pada Citra CT potongan axial dan koronal (warna biru)

Sumber: Prof. Frank Gaillard, 2008


Gambar 14. Stapes pada Citra CT potongan axial dan koronal (warna merah)

Sumber: Prof. Frank Gaillard, 2008


Gambar 15. Malleus pada Citra CT potongan axial dan koronal (warna kuning)

9
Telinga tengah dibagi menjadi epitimpanum (attic) di sebelah superior membran
timpani, mesotimpani setinggi membran timpani, dan hipotimpani di sebelah inferior
membran timpani (Gambar 11). Hipotimpani terdapat pintu masuk ke tuba eustacii,
dengan arteri carotis interna yang berjalan bersama disebelah medialnya. (Gambar 10).
Mesotimpani mengandung sebagian besar dari ossicular chain (Gambar 8-15).
Manubrium malleus melekat pada membran timpani, dan caput malleus berartikulasi
dengan incus pada epitimpanum mmembentuk incudomalleal joint, yang dikenal sebagai
“ice cream cone” pada potongan axial (Gambar 8). Prosesus lentikularis memanjang dari
long prosesus incus sampai caput stapes, membentuk incudostapeal joint. Footplate stapes
melekat pada oval window vestibula (Gambar 11)1.

Terdapat empat ligament ossikular yang berfungsi sebagai suspensi pada telinga
tengah: malleus superior, malleus lateral, malleus posterior dan incudal posterior.
Ligamentum ini terkadang terlihat pada pemeriksaan CT sebagai struktus tipis yang linear.
Ligamentum maleal lateral merupakan ligamentum suspensorium yang paling sering
terindientifikasi dibandingkan ligamentum yang lainnya (Gambar 10). Muskulus tensor
timpani berawal dari permukaan superior dari bagian cartilaginous tuba eustacii, berjalan
ke posterior di bagian medial dari telinga tengah, berbelok tajam pada prosesus
cochleariform dan melekat pada collum maleus (Gambar 9) 5.

Epitimpani berhubungan dengan mastoid melalui aditus ad antrum (Gambar 7). Secara
normal, mastoid merupakan rongga yang terisi udara yang ukuran dan konfigurasinya
bervariasi. Mastoid air cell melintasi septum Koerner.yang merupakan struktur tulang yang
tipis yang dibentuk oleh sutura petrosquamosa yang memanjang ke posterior dari
epitimpani, memisahkan mastoid air cell menjadi kompartemen medial dan lateral. Mastoid
air cell disebelah medial dipisahkan dari sinus sigmoid yang berdekatan oleh lempeng
sigmoid 1.

2.3. TELINGA DALAM

Telinga dalam terletak didalam bagian petrosus dan teridiri dari tulang labirin yang
termasuk didalamnya adalah koklea, vestibula dan kanalis semisirkularis (Gambar 8 - 11).
Koklea berisi organ pendengaran sementara vestibula dan kanalis semisirkularis berisi
organ keseimbangan. Bagian terpadat dari tulang temporal yang mengelilingi tulang labirin
disebut sebagai kapsul otic (Gambar 8). Tulang labirin melapisi labirin membranaseus,
yang mana didalamnya mengandung endolimfe dan dikelilingi oleh perilimfe. Struktur
labirin membranosa (duktus koklea, utrikulus, sakulus, duktus semisirkularis dan duktus
dan kantong eendolimfe) tidak dapat dilihat pada citra CT 4.

Koklea merupakan struktur berbentuk spiral yang terdiri atas bagian basal, tengah dan
apical (skala vestibule, skala media dan skala timpani), yang dipisahkan oleh septa
interscalar (Gambar 8-10). Lembaran spiral tulang koklea merupakan struktur
mikroanatomik yang secara samar dapat terlihat sebagai bagian tipis pada pemeriksaan CT
temporal; lembaran ini memanjang dari modiolus melintas secara parallel septa interscalar
1
. Aspek lateral dari tepi basal koklea menonjol ke dalam rongga telinga tengah membentuk

10
promontorium koklear (Gambar 11). Nervus Jacobson (cabang dari nervus IX kranialis)
melintas diatas promontorium koklear. Nervus koklearis melewati kanalis auditorius
internal melalui kanal tulang untuk saraf koklea (juga disebut sebagai aperture koklea) ke
dalam modiolus (Gambar 8), yang berbentuk seperti mahkota (crown shaped) yang
berpusat didalam koklea dan menstransmisikan cabang nervus koklearis ke organ Corti.
Organ Corti merupakan bagian dari organ pendengaran yang tidak terlihat pada gambar CT
1
.

Vestibula merupakan ruangan berbentuk ovoid yang berlokasi di superoposterior


koklea, yang berhubungan dengan kanalis semisirkularis (Gambar 8). Kanalis
semisirkularis terdiri atas tiga buah kanal, yaitu kanalis superior, posterior dan lateral
(horizontal) yang terorientasi secara orthogonal satu dengan yang lainnya (Gambar 7, 11).
Setiap kanalis semisirkularis memiliki suatu bagian yang terdilatasi yang disebut ampulla
di salah satu ujungnya. Kanalis semisirkularis posterior dan superior memiliki cruss yang
sama yang terbentuk dari gabungan antara crus posterior dari kanalis semisirkularis
superior dan cruss anterior dari kanalis semisirkularis posterior, yang terbuka di aspek
superomedial vestibula. Kanalis semisirkularis lateral, disisi lain, memiliki dua buah
bukaan terpisah ke dalam vestibula 1.

Duktus endolimpatik memanjang dari aspek posterior vestibula menuju ke fosa


kranialis posterior dan berakhir sebagai kantong buntu, kantong endolimpatik, pada batas
posterior dari petrosus ridge. Aquaduktus tulang vestibular (Gambar 9) dikelilingi oleh
duktus endolimfatik dan ukuran normalnya berkisar antara 1 mm pada bagian tengah dan
2 mm pada operkulum (berdasarkan kriteria Cincinati)4. Akuaduktus koklearis merupakan
celah sempit yang mengelilingi duktus perilimfatik dan memanjang dari basal koklea,
anterior ke fenestra koklea/round window, menuju ke ruang subarchnoid yang berdekatan
dengan foramen jugularis pars nervosa. Normalnya akuaduktus koklea memiliki diameter
yang berkisar antara 0.1 – 0.2 mm di bagian tengah dan melebar pada orificium medial 1.

2.4. KANALIS AUDITORIUS INTERNA

Kanalis auditorius interna merupakan saluran yang berada pada tulang petrous yang
bervariasi dalam ukuran, bentuk dan orientasinya. Pintu masuk dibagian medial kanalis
auditorius internal dikenal sebagai porus acousticus. Ujung lateral kanalis auditorius
internal disebut sebagai fundus dan berbatasan dengan labyrin. Pada bagian fundus, krista
transversal (krista falciformis) membagi kanalis auditorius internal menjadi kompartemen
superior dan inferior (Gambar 7). Krista vertical (Bill’s bar) membagi kompartemen
superior menjadi komponen anterior dan posterior. Nervus facialis berlokasi di
kompartemen anterosuperior, nervus koklearis terletak pada kompartemen antero inferior
dan nervus vestibularis terletak pada kompartemen superoposterior dan inferoposterior.
Mnemonic yang digunakan untuk mempermudah mengingat lokasi persyarafan kranialis
pada kompartemen anterior IAC adalah “Seven (nervus facialis) Up, Coke (nervus
Koklearis) down” (Gambar 16) 1.

11
2.5. NERVUS FACIALIS (NERVUS VII KRANIALIS)

Meskipun nervus facialis tidak dapat dilihat secara langsung pada gambar CT, kanalis
tempat nervus facialis melewati tulang tetap dapat diamati. Pada tulang temporal nervus
fasialis terdiri atas 3 segmen yaitu: segmen labirin, terletak antara akhir kanal auditorius
internus; segmen timpani: terletak di bagian distal ganglion genikulatum dan berjalan
kearah posterior telinga

Sumber: Prof. Frank Gaillard, 2008

Gambar 16. Diagram persarafan pada meatus akustikus internus

Sumber: Matt Skalski, 2015

Gambar 17. Gambar nervus facialis potongan axial pada citra CT

12
tengah, kemudian naik kearah fenestra vestibuli (oval window) dan stapes, lalu turun dan
kemudian terletak sejajar dengan kanal semisirkularis horizontal; dan segmen mastoid,
mulai dari dinding medial dan superior kavum timpani (Gambar 17) 5.

Nervus facialis keluar dari sisi lateral pons, melintasi cerebellopontine angle (CPA)
(segment cisternal), melewati porrus akustikus, menembus kanalis auditorius internus di
kuadran anterosuperior diatas krista falciformis (segmen kanalikular) dan menuju ke tulang
petrosus anterior kedalam koklea (segmen labirintine) untuk mencapai ganglion
geniculatum (Gambar 7). Dari sini nervus facialis memutar ke posterior menuju ke aspek
medial cavum telinga tengah (segmen timpani). Pada gambar CT potongan koronal,
proximal segmen timpani dan bagian distal segment labyrinthine nervus facialis dapat
tervisualisasi disebelah superior dari koklea, menimbulkan penampakan seperti mata ular
(snake eyes) atau mata siput (snail eyes) (Gambar 10). Segmen timpani dari nervus facialis
berjalan di ke inferior menuju kanalis semisirkularis lateral dan superolateral oval window
(Gambar 11). Di dinding posterior telinga tengah sejajar dengan resesus facialis, nervus
facialis memutar ke inferior membentuk genu posterior. Segmen mastoid dari nervus
facialismelintasi sisi medial tulang mastoid sampai keluar dari kranium melalui foramen
stylomastoideum dan masuk ke glandula parotis. Corda timpani mencabang dari segmen
mastoid nervus facialis dan kembali ke telinga tengah melalui kanalikulus dari chorda
tympani.

13
BAB III

MODALITAS RADIOLOGI PADA TULANG TEMPORAL

3.1. FOTO KONVENSIONAL PADA TULANG TEMPORAL

Foto konvensional pada tulang temporal merupakan pemeriksaan yang jarang di lakukan
karena seiring berkembangnya jaman dan kompleksnya anatomi tulang temporal, maka
dokter radiologis umumnya menggunakan modalitas yang lebih canggih yaitu CT dan MRI.
Meskipun begitul, pemeriksaan standar radiologi konvensional tetap digunakan terutama
pada fasilitas – fasilitas kesehatan yang tidak memiliki modalitas diatas. Pemerikssan foto
konvensional tulang temporal meliputi Law, Schuller, Mayer, Owen, Chausse III,
transorbital, Stenvers, submentovertical dan Towne.

3.1.1. POSISI SCHULLER

Posisi ini menggambarkan penampakan lateral dari tulang mastoid. Proyeksi foto
dibuat dengan bidang sagittal kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan berkas sinar
X ditujukan dengan sudut 30o chepalocaudal. Pada posisi ini perluasan pneumatisasi
mastoid serta struktur trabekulasi dapat tampak dengan lebih jelas. Posisi ini
memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis auditorius eksterna dan
hubungannya dengan sinus latelaris.

Sumber: Thieme, 2000

Gambar 18. Foto Schuller pada tulang petrosus. 1. Aurikula; 2. Squamous air cell; 3.
Angle of citeli; 4. Periantral air cell; 5. Sulkus sinus sigmoid; 6. Batas anterior tulang
petrosa; 7. Antrum mastoid; 8. Temporo mandibular joint; 9. Marginal air cells; 10.
Condyles mandibular; 11. Procesus zygomaticus tulang temporal; 12. Tuberkel

14
articular; 13. Retrofacial air cells; 14. Internal and external carotid canal; 15. Apex
tulang petrosa; 16. Air cells pada ujung proc. Mastoid; 17. Proc. Styloideus

3.1.2. POSISI STENVERS

Posisi stenvers atau dikenal juga dengan posisi obliq posteroanterior, didapatkan
dengan cara pasien menghadap film dan kepala sedikit flexi dan miring 15o dan diputar
35o menjauhi sisi yang ingin diperiksa dengan 12 o angulasi pada cranial, akan membuat
piramid petrosus parallel dengan lapangan film, dan mempermudah pemeriksaan pada
seluruh pyramid. Pemeriksaan ini biasanya digunakan dalam menilai pemasangan
implant koklea intra- maupun post operasi apakah sudah tepat atau belum. Pada
pemeriksaan ini kita dapat lokasi pemasangan elektroda pada koklea, jumlah maupun
kedalamannya sehingga sangat membantu klinisi dalam menentukan manajemen pasien
selanjutnya.

Sumber: Thieme, 2000

Gambar 19. Posisi stenvers pada tulang petrosus. 1. Sutura sphenosquamosa; 2.


Protuberantia occipital internal; 3. Internal occipital crest; 4. Fossa subarcuata; 5.
Eminentia arcuata; 6. Atap cavum tympani; 7. Apex dari pyramid petrosus; 8. Anterior
dari kanalis semisirkularis; 9. Kanalis auditorius internal; 10. Antrum; 11. Fissure
sphenopetrosal; 12. Vestibula; 13. Koklea; 14. Kanalis semisirkularis lateral; 15.
Kavum timpani; 16. Condyles mandibularis.

3.1.3. POSISI MAYER

Posisi mayer didapatkan dengan merotasi kan kepala pasien 45o ke samping dan
tabung X ray diarahkan sedemikian rupa sehingga arah sinar melewati meatus
auditorius eksternus yang dekat dengan film pada sudut 45o kearah kaki. Pemeriksaan
ini akan memberikan lapangan pandang axial pada tulang petrosus dan sel mastoid.
Antrum mastoid, meatus auditorius eksternal dan bagian atas dari cavum timpani dapat
terlihat dengan baik.

15
Sumber: Thieme, 2000

Gambar 20. Posisi Mayer pada tulang petrosus. 1. Periantral air cell; 2. Sinus sigmoid;
3. Antrum; 4. Retrosinus air cell; 5. Aperture dari antrum mastoid; 6. Kanalis auditorius
eksternus dan kavum timpani; 7. Osseous labyrinth; 8. Batas posterior tulang petrosus;
9. Tulang zygomaticus; 10. Apex mastoid; 11. Condilus mandibular; 12. Apex tulang
petrosus.

3.2. COMPUTED TOMOGRAPHY

Pada banyak kasus, pemeriksaan CT tanpa kontras menjadi pilihan utama saat
mengevaluasi tulang temporal. Dibandingkan dengan MR, pemeriksaan menggunakan CT
cenderung lebih mudah dikerjakan terutama pada kejadian yang sifatnya akut, selain itu
pemeriksaan menggunakan CT cenderung lebih murah dan waktu pemeriksaan yang lebih
singkat dibandingkan MR. Fraktur pada tulang, erosi pada tulang, massa pada tulang dan
kalsifikasi dapat diperiksa dengan menggunakan CT. CT juga digunakan untuk
mengevaluasi suatu kejadian inflamasi dan proses neoplastic yang melibatkan tulang
temporal karena kemampuan superiornya dalam menunjukkan detail anatomi tulang
temporal. CT juga penting untuk rencana preoperasi, lebih tepatnya karena kemampuannya
untuk melokalisasi kanal nervus facialis. Secara umum pemeriksaan CT pada tulang
temporal menggunakan lapangan axial dan coronal.

Kebanyakan pemeriksaan menggunakan CT merupakan pemeriksaan tanpa


menggunakan kontras. Hal tersebut dikarenakan, penyangatan akibat penggunaan kontras
dapat mempersulit evaluasi struktur yang berada didalam tulang temporal karena tulang
temporal tersusun atas banyak struktur tulang yang tumpang tindih satu dengan yang lain.
Penggunaan contrast intravena dapat diindikasikan pada kasus proses inflamasi akut seperti
mastoiditis, yang bertujuan untuk menilai keberadaan proses patologi ekstratemporal

16
seperti abses subperiosteal. Kontras juga dapat digunakan pada pasien dengan tinnitus
untuk menilai variasi anatomi vascular dan patologinya.

Akan tetapi karakteristik dari patologi jaringan lunak intrakranial dan saraf kranial akan
sulit diperiksa menggunakan CT, untuk kasus ini pemeriksaan yang dipilih adalah MR.
kekurangan lain dari pemeriksaan menggunakan CT adalah paparan radiasinya yang cukup
tinggi sehingga penggunaannya sangat terbatas pada pasien anak – anak.

3.3. MAGNETIC RESONANCE IMAGING

MRI menampilkan kontras dan resolusi jaringan lunak dengan sangat baik. Oleh karena
itu modalitas ini baik untuk pemeriksaan struktur tulang temporal yang nonosesus, termasuk
ruangan yang berisi cairan (cairan serebrospinal, labirin membranaseus), saraf, otot,
kartilago dan lemak. Tidak seperti pemeriksaan CT, penggunaan kontras (dengan
menggunakan Gandolinum) sangat baik digunakan untuk melihat struktur tulang temporal.
Tumor yang menyebar secara perineural, vascular dan ekstensi ke intracranial, atau proses
infeksi lebih baik ditunjukkan dengan MRI daripada menggunakan CT. meskipun CT lebih
superior dibandingkan MR dalam mengevaluasi erosi tulang kortikal, MRI lebih superior
dalam mengevaluasi invasi ke sumsum tulang, terutama pada basis kranii dan apex petrosus.
Pada referat ini, pemeriksaan menggunakan modalitas MRI tidak dibahas.

17
BAB IV

LESI INFLAMASI PADA TULANG TEMPORAL

4.1. LESI INFLAMASI PADA KANALIS AUDITORIUS EKSTERNAL

4.1.1. KOLESTEATOMA KANALIS AUDITORIUS EKSTERNAL

Kolesteatoma pada kanalis auditorius eksternus merupakan lesi langka dengan


insidensi sejumlah 0.1 – 0.5%. Kebanyakan kasus terjadi secara spontan atau
idiopatik, meskipun lesi ini dapat juga berupa lesi sekunder akibat trauma, bedah atau
radiasi. Kebanyakan pasien merupakan pasien berusia tua dan dengan keluhan nyeri
tumpul yang kronik dan otorhea, kebanyakan unilateral. Secara patologi kelainan ini
ditandai dengan invasi local pada barisan epitel squamous kanalis auditorius
eksternus sampai ke tulang dibawahnya, menyebabkan erosi dinding kanal dan
periostitis. Pada gambar CT, lesi ini ditandai dengan lesi fokal pada soft tissue
didalam EAC (biasanya dinding inferior), dengan erosi yang menjalar ke tulang
dibawahnya (Gambar 21) 6.

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 21. Potongan koronal citra CT pasien 73 tahun dengan kolesteatoma, pasien
ini memiliki riwayat erosi tulang kronis pada kanalis auditorius eksternus. Gambar
diatas menunjukkan soft tissue sepanjang dinding inferior EAC (*), menyebabkan erosi
tulang (panah).

Temuan imaging pada lesi ini tidak spesifik dan mungkin menyerupai kelainan
lain seperti karsinoma atau otitis eksterna, meskipun begitu, oleh karena itu penting
bagi dokter radiologi untuk mengetahui gejala klinis pasien sehingga dapat memberikan
gambaran penyakit apa yang sedang diderita oleh pasien tersebut 7.

18
4.1.2. KERATOSIS OBTURANS

Keratosis obturans mengggambarkan akumulasi ekspansil dari debris keratin


yang berada didalam kanalis auditorius eksternus. Pada pemeriksaan dengan kontras,
keratosis obturans muncul pada pasien berusia muda dan biasanya bilateral. Secara
klinis, pasien mengeluhkan nyeri dan tuli tipe konduktif, dengan otorrhea (jarang) 4.
Pada pemeriksaan CT, tampak ada pelebaran secara diffuse dari kanalis auditorius
eksterrnus karena sumbatan epidermal, yang meyebabkan scalloping halus yang
mengelilingi tulang, tetapi tidak ada erosi maupun periostitis yang muncul pada
kelainan ini (Gambar 22) 6.

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 22. Gambar CT potongan koronal pasien dengan keratosis obturans,


menunjukkan adanya soft-tissue plug pada kanalis eksternal (*), dengan ekspansi kanal
ringan tanpa erosi tulang.

4.1.3. OTITIS EKSTERNA MALIGNA

Otitis eksterna necrotizing / malignan muncul paling sering pada pasien lanjut
usia dengan riwayat diabetes mellitus dan pasien dengan gangguan system imun.
Pasien biasanya mengeluhkan otalgia yang parah dan otorhea. Penyakit ini memiliki
angka mortalitas yang tinggi 8. Infeksi ini pada umumnya disebabkan oleh
Pseudomonas aeruginosa. Secara klinis tampak adanya jaringan granulasi pada
inferior kanalis auditorius eksternus di bone – cartilagineous junction. Infeksi dapat
menyebar melalui fisura santorini ke soft tissue dibawah basis kranii, sehingga dapat
menyebabkan osteomyelitis, yang mana dapat menyebabkan kranial neurophati. Pada
citra CT scan, tampak penebalan soft tissue pada kanalis eksternal dan sering kali
disertai destruksi dan inflamasi pada os mastoid. Osteomyelitis pada basis kranii
merupakan hasil dari proses destruksi yang mencapai clivus, foramen jugular dan
jaringan soft tissue prevertebral (Gambar 23) 1. Abses dapat terbentuk di ruang

19
epidural, parenkim otak dan ruang prevertebral akibat komplikasi penyakit ini. MR
dan CT merupakan pemeriksaan imaging yang tepat untuk penyakit ini, dengan bone
window pada pemeriksaan CT dapat menunjukkan proses destruksi tulang dengan
baik, dan MR dapat menunjukkan jaringan soft tissue yang terlibat akibat komplikasi
penyakit ini. Diferential diagnosis penyakit ini meliputi, nasofaring carcinoma
dengan obstruksi sekunder pada oorrificium tuba eustachii yang mengakibatkan
otomastoiditis 2.

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 23. Gambar CT Scan pada wanita 93 tahun dengan otitis eksterna maligna
dan riwayat diabetes mellitus. Citra CT potongan axial menunjukka adanya opsitas
pada mastoid air cell kanan. Tampak adanya erosi pada region petroclival di sebelah
kanan (panah).

4.2. TELINGA TENGAH

4.2.1. OTITIS MEDIA AKUT

Otitis media akut merupakan penyakit yang sering menyerang bayi dan anak –
anak. Pada pemeriksaan umumnya didapatkan demam, otalgia dan benjolan
kemerahan pada membran timpani. Infeksi ini biasanya disebabkan oleh
Streptococccus sp. Atau Haemophilus influenza 2. Pemeriksaan imaging umumnya
tidak dibutuhkan pada penyakit ini (uncomplicated otitis media). Jika pemeriksaan
imaging dilakukan, dapat terlihat adanya opasitas pada telinga tengah dan mastoid,
dengan kemungkinan dapat ditemukan fluid level pada area yang terkena. Komplikasi
berupa mastoiditis dicurigai secara klinis apabila pasien menunjukkan eritema, nyeri
dan edema pada postauricular. Pada kondisi ini, pemeriksaan imaging menjadi krusial
untuk menyingkirkan komplikasi yang muncul baik itu intratemporal maupun
intracranial. Mastoiditis koalesen menunjukkan adanya destruksi pada trabekula
mastoid, yang dapat meluas sampai ke dalam ataupun luar korteks baik dengan jalan

20
resorpsi enzimatik ataupun tekanan erosi oleh mukosa yang terinflamasi (Gambar
24) 1. Jika memang terdapat destruksi pada korteks sisi sebelah luar mastoid, abses
subperiosteal dapat muncul di jaringan soft tissue dan pasien akan mengeluhkan
adanya benjolan berisi pus di postaurikular (Gambar 25). Abses Bezold dapat
muncul apabila terdapat defek tulang pada mastoid tip disebelah medial insersi
muskulus digastricus (Gambar 26)1. Reaksi inflamasi selanjutnya dapat terjadi jauh
sampai ke muskulus sternokleidomastoideus. Pada anak – anak, mastoid tip biasanya
tidak berisi rongga udara; sebagai hasilnya abses Bezold pada anak – anak, cukup
jarang terjadi9.

Saat muncul, petrosus apex air cell terhubung dengan mastoid air cell melalui
banyak saluran udara supra dan infra labirin yang dapat memfasilitasi penyebaran
infeksi dari mastoid air cell dan telinga tengah ke apex petrosus, menyebabkan
petrosus apicitis9. Streptococcus pneumonia, Hemophilus influenza, dan
Staphylococcus aureus merupakan penyebab paling umum dari penyakit ini1.
Petrosus apicitis terjadi pada kondisi dimana apeks petrosus berisi udara (kelainan ini
muncul pada 30% populasi). Kelainan ini ditandai dengan destruksi pada septal dan
kortikal os petrosus, osteitis dan inflamasi pada lapisan meningen didekatnya 10.

Sumber: RSNA, 2013


Gambar 24. Citra CT potongan axial dari pasien usia 7 tahun dengan mastoiditis
koalesen, pasien mengeluhkan otalgia pada telinga kanan dan demam. Pada gambar
ini menunjukkan adanya erosi pada sebelah dalam dan luar korteks mastoid (panah),
serta demineralisasi pada septa tulang didalamnya. Reaksi inflamasi juga muncul
didalam telinga tengah (*)

Karena lokasi apeks petrosus yang berdekatan dengan nervus V dan VI, maka
pasien dapat terkena nerve palsy pada nervus VI dan nyeri retroorbital akibat
otomastoiditis dan petrosus apicitis yang mengenai nervus V1. Kumpulan temuan ini
dinamakan Gradinego syndrome. Temuan pada gambaran CT petrosus apecitis antara
lain gambaran opaq pada apex petrosus disertai fluid levels dan destruksi pada septa

21
sebelah dalam dan pada korteks apeks petrosus (Gambar 23). Pada gambar MR,
enhance pada mengingen lebih mudah diamati.

Sumber: RSNA, 2013


Gambar 25. Citra CT kontras potongan koronal menunjukkan abses Bezold pada
anak 7 tahun dengan infeksi telinga akut. Gambar menunjukkan rim-enhancing
dibawah mastoid tip yang sesuai dengan gambaran abses Bezold (**). Pada gambar
diatas juga tampak thrombus pada sinus sigmoid kanan (panah).

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 26. Citra CT pada pasien laki laki 78 tahun dengan infeksi pada telinga
kanan dan didapatkan petrous apicitis. (a) gambar CT potongan axial menunjukkan
opasifikasi pada air cell apex os petrosus kanan dengan atenuasi pada soft tissue
(panah). Di gambar ini juga tampak opasifikasi mastoid yang tersebar. Sebagai
perbandingan apeks petrosus berongga yang normal berada di sisi sebelah kiri. (b)
gambar CT potongan koronal menunjukkan gambar destruksi pada os petrosus yang
lebih baik (panah).

22
Osteomyelitis dapat muncul pada apeks petrosus yang nonpneumatized
melalui kontak langsung dari penyebaran ke arah medial oleh necrotizing otitis
eksterna atau secara retrograde oleh karena thrombophlebitis sepanjang pleksus vena
pada kanalis karotis petrosus. Komplikasi intracranial pada mastoiditis akut termasuk
thrombosis dural sinus venosus, paling sering pada sinus sigmoid dan sinus
transversus (Gambar 22), abses epidural, subdural empiyema, meningitis dan abses
otak1.

4.2.2. OTITIS MEDIA KRONIS

Inflamasi kronis pada telinga tengah dikenal sebagai otitis media kronis atau
kronis osteomastoiditis apabila terdapat keterlibatan os mastoid. Kelainan ini
memiliki gejala, tanda dan temuan klinis yang bervariasi yang diakibatkan oleh
kerusakan jangka panjang pada telinga tengah akibat infeksi dan inflamasi.
Mekanisme yang umum terjadi pada terbentuknya otitis media kronis antara lain
disfungsi pada tuba eustacii dan perforasi membrana timpani. Sequele yang perlu
diperhatikan pada otitis media kronis antara lain efusi pada telinga tengah, granulasi
jaringan, granuloma kolesterol dan kolesteatom. Pada gambar CT, semua lesi diatas
memiliki penampilan yang sangat mirip satu dengan yang lain. Jaringan granulasi
merupakan sequele inflamasi pada telinga tengah dan mastoid. Kelainan ini melapisi
struktur telinga tengah, tetapi tidak menghancurkan atau menggantikan jaringan yang
ada dan tidak ada efek masa (pendesakan). Penyangatan jaringan granulasi meningkat
secara intens karena memiliki vaskularisasi yang banyak. Pada pemeriksaan MR
dengan gandolinum, kelainan ini mudah terlihat. Namun pada gambaran CT,
penyangatan pada kelainan ini cukup sulit untuk dinilai 9.

4.2.3. GRANULOMA KOLESTEROL

Pada disfungsi tuba eustacii, dapat terjadi tekanan negatif atau venomena
vakum pada kavum telinga tengah, yang menyebabkan edema mukosa dan pecahnya
pembuluh darah. Pemecahan dari eritrosit dan jaringan yang melepaskan kolesterol
akan memicu reaksi jaringan asing yang akan mengarah ke terbentuknya formasi
granuloma kronis, yang dikenal sebagai kolesterol granuloma 4. Lesi ini juga disebut
sebagai kista kolesterol, kista coklat atau kista kubah-biru. Lokasi umum tempat
munculnya lesi ini meliputi telinga tengah dan apeks petrosa; bisa juga (jarang) terjadi
di cavum mastoid. Apabila mengenai telinga tengah, maka pada pasien didapatkan
membran timpani yang kebiruan, hemotimpanum atau hearing loss tipe konduktif 11.
Pada apeks petrosa, lesi ini asimtomatik, terkadang pasien dapat memiliki gejala
seperti vertigo, dizziness atau kranial neuropati yang terkait dengan nervus V, VI, VII
dan VIII. Pada apeks petrosa, sebuah lesi yang ekspansil dapat terlihat pada CT scan
(Gambar 27). Diagnosis diferential yang penting diketahui untuk kelainan ini adalah
adanya cairan atau efusi pada apeks petrosa. Namun, meskipun efusi hampir
menyerupai granuloma kolesterol, efusi tidak menyebabkan ekspansi atau dekstruksi
pada apeks petrosa yang terlihat dengan sangat baik pada pemeriksaan CT (gambar
28) 1

23
Sumber: RSNA, 2013

Gambar 27. Gambar granuloma kolesterol. (a) Gambar CT potongan axial pada pasien
wanita 37 tahun dengan diplopia dan nyeri kepala, menunjukkan adanya masa
ekspansile pada apeks petrosa kiri dengan margin tulang yang tidak terlihat (panah).

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 28. Citra CT potongan aksial efusi apeks petrosa pada pasien 36 tahun
dengan sensorineural hearing loss sebelah kanan, menunjukkan opasifikasi PADA
apeks petrosa kanan (*). Kelainan tersebut tidak menunjukkan batas yang ekspansil,
sehingga membedakannya dengan mucocele apeks petrosa atau granuloma kolesterol.
Septasi internal dan korteks terlihat utuh, membedakannya dengan apicitis petrosa.

24
4.2.4. KOLESTEATOMA TELINGA TENGAH

Kolesteatoma merupakan komplikasi penting lainnya dari otitis media kronis.


Kelainan ini ditandai dengan adanya akumulasi dari desquamasi epitel keratin di
kavum telinga tengah atau di bagian lain yang berongga pada os temporal 6. Secara
histologis, kolesteatoma tersusun atas dua komponen –keratin debris yang aseluler,
yang membentuk isi di dalam kantong dan matrix, yang secara biologis merupakan
komponen aktif dari kulit kantong kolesteatoma. Matrix terdiri atas lapisan dalam
yang terdiri atas keratin epitel squamosa dan lapisan luar yang terdiri atas subepitelial
jaringan ikat yang dikenal sebagai perimatrix. Lapisan epithelial memproduksi
keratin, sedangkan perimatrix mengandung sel mesenkimal yang memproduksi
enzim proteolitik yang dapat meresorbsi tulang 1. Kolesteatoma dapat terinfeksi
secara sekunder sehingga dapat menghasilkan bau busuk. Sebagian besar kolesteatom
adalah didapat (98%), dengan sisanya adalah kongenital (2%).

Teori invaginasi menjelaskan tentang mekanisme terbentuknya kolesteatom


sebagai berikut: terjadi disfungsi tuba kronis yang mengakibatkan terjadinya
venomena vakum pada rongga telinga tengah, yang mengakibatkan terbentuknya
kantong retraksi pada pars flacida yang permukaannya dibatasi oleh permukaan epitel
membran timpani yang bertambah besar seiring bertambahnya waktu. Teori invasi
epitel menyatakan adanya pertumbuhan bertingkat epitel squamosal telinga tengah ke
dalam akibat adanya perforasi dari membran timpani 4.

Sekitar 80% dari acquired kolesteatoma terjadi di pars flacida, yang mana
merupakan bagian membrana timpani yang longgar yang membentuk bagian superior
dari gendang telinga. Sekitar 20% sisanya berkaitan dengan pars tensa membran
timpani. Kolesteatoma kongenital muncul pada pasien anak – anak tanpa ada riwayat
otorhea, perforasi membran timpani atau pasca tindakan otologik. Di apeks petrosa,
kolesteatoma acquired maupun kongenital. Kedua kolesteatoma, baik kongenital
maupun acquired tampak terlihat sebagai lesi putih seperti mutiara pada pemeriksaan
otoskopi 6. Secara klinis, pasien dengan kolesteatoma yang didapat memiliki gejala
dan tanda berupa othorea yang berbau busuk, perforasi membrana timpani, dan
kantong retraksi pada pars flaccida membrana timpani. Kolesteatoma kongenital
mungkin didapatkan secara tidak sengaja pada pasien yang asimtomatik atau pada
pasien dengan tuli tipe konduktif 4.

CT merupakan pencitraan andalan untuk menilai adanya suatu inflamasi pada


tulang temporal. Acquired Kolesteatoma pada pars flacida, terlihat sebagai lesi
ekspansil berbentuk lobular pada ruangan Prussak yang mengerosi scutum, dengan
displacement pada bagian medial dan erosi pada ossikula (Gambar 29). Lesi dapat
meluas ke superior dari attic dan ke mastoid air cell via aditus ad antrum. Sebaliknya
kolesteatoma pars tensa cenderung terjadi medial dari osikula dan menggesernya ke
lateral (Gambar 30) 1. Kolesteatoma kongenital umumnya terletak di kuadran
anterosuperior dari rongga telinga tengah, tepat diatas pembukaan tuba eustachii.

25
Sumber: RSNA, 2013

Gambar 29. Citra CT potongan koronal pada wanita 56 tahun dengan pars flacida
kolesteatoma pada pemeriksaan klinis didapatkan kantong retraksi yang dalam. Gambar
menunjukkan jaringan lunak berlobus pada ruang Prussak (mata panah) dan atapnya
(*), menggeser ossikula ke medial dan mengerosi skutum (panah).

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 30. Citra CT potongan koronal dari pasien pria 31 tahun dengan kolesteatoma
pars tensa dengan gangguan pendengaran sisi kiri dan ditemukan adanya kantung
retraksi pada pemeriksaan klinis. Gambar CT menunjukkan adanya masa di medial dari
osikula (*), menggeser osikula ke lateral. Scutum masih tampak tajam (panah), berbeda
dengan kolesteatoma pars flaccida.

26
Sumber: RSNA, 2013

Gambar 31. Citra CT dari automastoidektomi pada pria 51 tahun dengan riwayat
otitis media kronis yang berlangsung lama disebelah kiri. Gambar menunjukkan
rongga besar (*) di telinga tengah dan antrum mastoid, dengan ossikula yang non
visualized. Ada sejumlah kecil residu jaringan lunak yang inflamasi. Tidak ada
riwayat operasi.

Komplikasi yang umum pada kolesteatoma antara lain erosi atap telinga
tengah (tegmen timpani), dengan atau tanpa mengingoencephalocele; erosi pada
kanal tulang wajah di bagian timpanic atau di bagian mastoid; dan erosi tulang yang
menutupi kanalis semisirkularis lateral, yang dapat mengakibatkan terhubungnya
telinga tengah dan telinga dalam, yang dikenal sebagai fistula labyrintin atau fistula
perilympathic 4.

Kolesteatoma mengalirkan isi kistiknya ke dalam kanalis auditorius eksternus


melewati membran timpani dengan hanya menyisakan lapisan matrix. Hal ini
mengakibatkan gambaran seperti automastoidectomy, dengan proses dekstruktif
tulang yang luas di telinga tengah / mastoid menyerupai rongga mastoid pasca bedah
mastoidektomi (Gambar 31) 1.

4.3.NERVUS FACIALIS

4.3.1. BELL PALSY

Bell palsy mengacu pada kelumpuhan saraf wajah tanpa penyebab yang dapat
diidentifikasi. Inflamasi diduga akibat virus, dengan kemungkinan penyebab
terseringnya adalah peradangan virus herpes simpleks. Penyakit ini ditandai dengan
onset kelumpuhan saraf yang sangat cepat, yang berlangsung dari beberapa jam
sampai beberapa minggu (3 minggu) 6. Pada 80% gejala pasien membaik secara

27
spontan; jika gejala menetap selama lebih dari 3 minggu, penyebab lain seperti
neoplasma harus diselidiki dan penyelidikan mencakup pemeriksaan MR 1.

4.3.2. RAMSAY HUNT SYNDROME

Ramsay hunt syndrome juga dikenal sebagai herpes zoster oticus. Kelainan ini
diduga kuat akibat reaktivasi virus varicella zoster laten di ganglion genikulatum.
Reaktivasi dapat terjadi pada pasien dengan kondisi immunocommpromise, penyakit
systemic atau usia tua. Secara klinis, pasien mengeluhkan rasa sakit seperti terbakar
di telinga; keluhan ini diikuti dengan erupsi vesicular, paralisis facial, hearing loss
dan vertigo 1- 4 hari kemudian. Pada gambar MR, didapatkan ada saraf kranial VII
dan VIII, labirin dan/atau nucleus facialis di pons 4 .

4.4. TELINGA DALAM

Inflamasi pada telinga dalam atau labirintis dapat terjadi akibat infeksi (viral
atau bakterial) atau dapat juga karena proses autoimun atau post trauma. Labirintis
osifikan merupakan tahap akhir dari labirintis, dimana terdapat ossifikasi patologis di
dalam lumen tulang labirin (yang terdiri dari koklea dan system vestibularis). Regio
yang paling sering tempat terjadinya ossifikasi koklear terjadi di skala timpani tepatnya
di basal, dan kasus yang paling ekstensif dilihat sebagai komplikasi dari mengitis.
Perkembangan labirintis terdiri atas 3 stadium: akut, fibrinous dan ossifikasi (labirintis
ossifican). Pada stadium akut, enhancem pada telinga dalam teridentifikasi pada
pemeriksaan MR, akan tetapi pada pemeriksaan CT dapat terlihat normal. Pada
labirintis stadium fibrous gambaran CT masih terlihat normal. Pada stadium lanjut yaitu
ossifikasi, pemeriksa dapat melihat perubahan nilai atenuasi pada koklea, vestibula dan
kanalis semisirkularis (gambar 32). Pada pemeriksaan labirintis osifikan, pemeriksaan
menggunakan MR lebih baik daripada menggunakan CT 1.

Sumber: RSNA, 2013

28
Gambar 32. Citra CT potongan axial dari pasien dengan labirintis osifikan dan riwayat
meningitis. Gambar menunjukkan obliterasi dari koklea kiri (panah hitam) dan
vestibula (panah putih) karena tulang yang sklerotik. Perubahan yang sama juga tampak
pada sebelah kanan (tidak ditunjukkan).

29
BAB V

TUMOR PADA TULANG TEMPORAL

Untuk memeriksa tumor pada tulang temporal, akan sangat membantu kita melokalisasi
lesi ke area berikut karena masing – masing area tersebut menggambarkan kondisi patologis
yang unik satu dengan yang lainnya. Area tersebut antara lain: (a) telinga
dalam/cerebellopontin angle, (b) telinga tengah, (c) telinga luar dan mastoid, dan (d) apek
petrosus 6.

5.1. TELINGA DALAM/ CEREBELLOPONTINE ANGLE

Masa yang paling umum pada area ini adalah vestibular schwannoma, meningioma,
dan nonvestibular fosa posterior schwanoma (trigeminal, facial dan
glossopharyngeal). Keganasan yang cukup jarang antara lain seperti kista arachnoid,
lipoma, dermoid, dan metastasis. Sebagai tambahan, tumor yang berhubungan dengan
tulang petrosus (chondrosarkoma) dan otak (glioma) dapat meluas sampai ke telinga
dalam 4.

5.1.1. VESTIBULAR SCHWANNOMA

Tumor yang paling umum di telinga dalam adalah schwanoma vestibular (60% -
90% pada area ini). Penyakit ini juga umum ditemukan pada selubung saraf intracranial.
Insidensi paling tinggi pada decade ke 5 hingga 7. Pasien datang dengan keluhan
gangguan pendengaran sensorineural, tinnitus, gangguan keseimbangan atau gangguan
bicara, akibat tekanan tumor pada koklea dan cabang vestibular nervus VIII.
Manifestasi ke nervus facialis relatif jarang. Tumor yang bertambah besar dapat
menekan nervus trigeminalis (menyebabkan mati rasa di wajah), nervus kranialis
dibawahnya (menyebabkan cerebellar sign), atau ventricel empat (menyebabkan
hidrosefalus) 3.

Saat schwanoma vestibular membesar, tumor ini dapat meluas ke medial ke


cerebellopontine angle dan ke lateral menuju ke fundus dan/atau apertura koklea. Saat
tumor meluas ke cerebellopontine angle, porus dapat meluas dan komponen sperikal
sisterna biasanya membentuk sudut akut dengan tulang petrosa. Saat vestibular
schawnoma meluas ke aperture koklea, perluasan ini akan memberikan dampak
menurunnya kemungkinan perbaikan pendengaran meskipun pasien sudah dioperasi4.

Kebanyakan schwanoma vestibular tumbuh lambat, dengan pertumbuhan berkisar


0.2 mm sampai ke beberapa mm pertahun, meskipun pada beberapa kasus dapat tumbuh
lebih dari 10 mm pertahun. Reseksi dengan bedah mampu mengeradikasi tumor ini.
Ada tiga jalur bedah yang dapat digunakan untuk mencapai tumor ini:
retrosigmoid/subocipital, fossa mediana, translabirin. Jalur yang terkhir akan
berdampak pada dikorbankanya kemampuan mendengar pasien sehingga pasien
menjadi tuli pada telinga yang dioperasi, jadi jalur ini hanya digunakan untuk pasien

30
dengan pendengaran yang buruk atau tumor yang berukuran sangat besar. Alternatif
lain adalah menggunakan radiosurgery dapat dipertimbangkan, terutama apabila pasien
beresiko tinggi, dengan tumor bilateral, atau pasien dengan tumor residual10.

Pada pemeriksaan CT, didapatkan kebanyakan Schwanoma vestibular isoatenuasi


dengan cerebellum dan sulit untuk membedakannya tanpa bantuan kontras. Namun,
apabila ukuran tumor cukup besar dan berekspansi ke porus akustikus, tumor ini dapat
dilihat dengan cukup mudah pada gambar CT Bone window, dengan porus pada sisi
yang terkena tampak lebih lebar. Kalsifikasi dan perdarahan jarang terjadi apabila
tumor sudah di obati. Kontras biasanya tampak menyangat dan homogen, tetapi hal ini
sulit dideteksi pada pemeriksaan CT, terutama pada tumor yang berukuran kecil12.

Sumber: Prof. Frank Gailard, 2000

Gambar 33. Pemeriksaan CT scan dengan kontras menunjukkan adanya massa CPA
yang pelebaran pada meatus akustikus internus (trumpeted internal caoustic meatus
sign) mengesankan suatu vestibular schwanoma

5.1.2. MENINGIOMA

Berbeda dengan schwanoma vestibular, meningioma sering eccentric ke porus


acousticus, berpusat di CPA; saat meluas ke telinga dalam, tumor ini jarang
memperlebar porus dan telinga dalam 1. Meningioma dapat meluas ke fossa kranii
media melalui herniasi, melalui tentorium cerebri atau tumbuh melalui tulang temporal.
Meningioma juga dapat meluas ke telinga tengah dan sinus kavernosus. Seperti yang
disebutkan diatas, meningioma cenderung cenderung luas dan berjalan sepanjang
dinding posterior os petrosus, membentuk sudut yang obtuse pada pertemuan tumor-
tulang. Enhance lapisan dura yang meluas keluar dari batas tumor sering terlihat 4.

Pada gambar CT, meningioma tampak hiper atau iso atenuasi dibandingkan
parenkim otak dan tampak terkalsifikasi. Sclerosis atau hyperostosis pada tulang yang
berdekatan dapat terlihat. Pengobatan paling utama adalah dengan reseksi bedah,

31
bersama radiasi sebagai terapi ajuvan atau alternative terapi. Namun rekurensi local
tidak jarang terjadi11.

Sumber: Prof. Frank Gailard, 2000


Gambar 34. Pemeriksaan CT scan dengan kontras menunjukkan masa dengan enhance
yang homogen pada CPA mengesankan suatu meningioma.

5.1.3. EPIDERMOID

Kista epidermoid kongenital (kolesteatoma kongenital) merupakan urutan ke tiga


masa yang paling sering muncul di cerebellopontin angle; epidermoid terdiri atas
lapisan epitel squamosal bertingkat yang di selubungi oleh keratin yang terkelupas.
Epidermoid bukan merupakan neoplasma sejati dan masuk dalam kategori “lesi
inflamasi”. Pada gambar CT, epidermoid serupa dengan CSF dari segi atenuasinya; jika
epidermoid berukuran besar, maka remodeling pada tulang petrosus yang berdekatan
dapat diamati bersama dengan erosi akibat tekanan dalam kurun waktu yang lama. 1.

Sumber: Prof. Frank Gailard, 2000

32
Gambar 35. Pemeriksaan CT scan tanpa kontras. Pada CPA kanan terlihat adanya
masa dengan nilai atenuasi yang hampir menyerupai nilai atenuasi CSF. Gambar ini
mengesankan suatu kista epidermoid pada CPA kanan.

5.2. TELINGA TENGAH

Ketika masa jaringan lunak terlihat di telinga tengah, struktur vaskuler harus di
exclude kan. Struktur yang dimaksud termasuk arteri stapedial persisten, arteri carotis
yang aberrant, aneurysma arteri carotis, dan dehiscent jugular bulb yang terekspos.
True neoplasma yang muncul pada telinga tengah salah satunya adalah paraganglioma
(paling sering); lesi pada nervus facialis yang menyebar ke telinga tengah seperti
schawnoma dan hemangioma region genikulata, choristoma dan tumor yang menyebar
melalui perineural; meningioma; tumor adenomatosa tipe mixed; dan keganasan seperti
karsinoma dan metastasis (jarang). Kebanyakan choriostoma di telinga tengah terdiri
dari kelenjar air ludah, dan kelainan ini dapat menyebabkan kelainan pada
incudostapedial atau nervus facialis di kavum timpani4.

Tumor adenomatosa tipe Mixed juga dikenal dengan nama adenoma telinga
tengah. Kelainan ini merupakan tumor jinak yang tidak menunjukkan invasi pada
tulang. Pada CT, temuan bisa saja hanya berupa opasitas di kavum telinga tengah, dan
tumor ini sulit dibedakan dengan otitis media (Gambar 33). Pada pencitraan MR,
adenomatosa tampak hipointense pada T1-weighted image, hiperintese pada T2-
weighted image, dan menyangat pada pemberian material kontras1.

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 36. Gambar CT potongan coronal adenoma telinga tengah pada wanita 48
tahun dengan 6 bulan riwayat sensasi tertekan pada telinga kanan. Tampak adanya
atenuasi pada soft tissue di telinga tengah tanpa erosi tulang disekitarnya (panah).
Pasien mendapatkan tindakan timpanoplasti dan biopsy masa dan total reseksi masa
adenoma.

33
5.2.1. PARAGANGLIOMA

Tumor sel paraganglia disebut sebagai paraganglioma. Paraganglioma adalah tumor


paling sering kedua yang melibatkan tulang temporal. Tumor glomus pada daerah
temporal muncul dari paraganglia jugulotimpanic sepanjang saraf Jacobson dan Arnold
(masing - masing merupakan cabang tyimpanic dari nervus glossopharyngeal dan
cabang auricular dari nervus vagus). Glomus timpanicum mengacu kepada tumor
glomus yang terkurung didalam kavum timpani (berasal dari sel paraganglia sepanjang
saraf Jacobson) dan glomus jugular mengacu pada tumor – tumor glomus yang
melibatkan jugular bulb dan basis kranii (berasal dari sel paraganglia sepanjang saraf
Jacobson atau Arnold). Sedangkan untuk glomus jugulotimpanicum memiliki
komponen dari telinga tengah dan foramen jugular sekaligus4.

Paraganglioma jugulotimpanikum muncul 3 kali lebih banyak pada wanita dari


pada laki – laki. Pasien biasanya berasal dari usia decade ke-4 dan ke-6. 10% pasien
disertai dengan multiple paraganglioma, sehingga penting untuk radiologis untuk
melanjutkan pencarian lesi tambahan pada pasien dengan paraganglioma, apakah di
tulang temporal, basis kranii atau leher. Tumor ini tumbuh lambat dan menginfiltrasi
local, tumbuh di sepanjang tulang temporal dan jarang metastasis diluar dari lokasi
primernya. Kebanyakan pasien dengan paraganglioma mengeluhkan kelainan otologic
seperti: tuli konduktif, tinnitus yang pulsatif atau masa retrotimpani10.

Paraganglioma adalah tumor dengan vaskularisasi yang banyak, oleh sebab itu
tumor ini tampak menyangat pada pencitraan. Glomus timpanicum paraganglioma
biasanya ditemukan berlawanan dengan promontorium koklea dan biasanya ditemukan
dalam ukuran yang kecil pada pemeriksaan karena biasanya tumor ini langsung
memberikan gejala otologic meskipun masih baru dan berukuran kecil (Gambar 37).
Sangat penting untuk memeriksa perbatasan dari foramen jugular untuk menyangkirkan
diagnosa glomus jugulotimpanikum; karakteristik dari glomus yang melibatkan
foramen jugularis adalah tampak lesi litik local atau dekstruksi tulang yang permeatif
yang dapat terlihat dengan baik pada pemeriksaan CT scan (Gambar 38). Masa soft
tissue akan lebih baik diamati dengan pencitraan MR, akan tampak penyangatan yang
tajam pada masa yang diamati. Pada tumor yang lebih besar, pada pencitraan MR T-1
dan T-2 weighted akan tampak gambaran”salt and peper”. Pada pemeriksaan
angiography, arteri yang membesar dan memperdarahi tumor dapat terlihat. Pada tumor
timpanicum, perdarahan yang terjadi minimal, dan embolisasi preoperative tidak
diindikasikan. Akan tetapi embolisasi angiography dan embolisasi pada pada tumor
jugulotimpanicum sering dilakukan untuk mengulangi resiko perdarahan.

34
Sumber: RSNA, 2013

Gambar 37. Pada citra CT potongan koronal glomus timpanicum menunjukkan nodul
kecil berbentuk bulat di telinga tengah yang berbatasan dengan promontorium koklea
(panah). Pasien wanita 50 tahun dengan riwayat otitis media kronis. Pada pemeriksaan
otoskopi, tampak masa eritema berukuran 2 mm dan dicurigai merupakan glomus
timpanikum.

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 38. Citra pada glomus jugulotimpanikum. Citra CT potongan axial


menunjukkan gambaran moth eaten, destruksi tulang permeatif disekitar tumor. Pada
gambar ini tampak tulang temporal kanan, terlihat destruksi dari batas foramen
jugularis (*), caroticjugular spine (mata panah), dan kanalis karotis (panah kecil).
Perhatikan tumor meluas sampai ke telinga tengah (panah besar). Pasien 56 tahun ini
mengeluh telinganya terasa penuh, tuli dan gemrebeg pada telinga yang terkena. Selama

35
4 tahun tumor semakin membesar dan muncul gejala paralisis pita suara menunjukkan
keterlibatan nervus vagus. Pasien ini menerima terapi radiasi proton beam.

5.3. KANALIS AUDITORIUS EKSTERNUS DAN MASTOID

Tumor pada regio kanalis auditorius eksternus dan mastoid biasanya malignan,
dengan tumor sel skuamosa sebagai tumor yang paling sering terjadi. Pasien dengan
tumor sel skuamosa pada kanalis auditorius eksternus biasanya memiliki riwayat
infeksi telinga kronis. Terdapat dekstruksi tulang yang agresif dan mungkin ada invasi
ke soft tissue disekitarnya termasuk intracranial, inframastoid, telinga tengah, parotis,
karotis dan sendi temporomandibular (Gambar 36)1. Keganasan yang lain seperti basal
sel karsinoma, melanoma, limpoma, myeloma, metastasis, kondrosarkoma dan
osteosarcoma lebih jarang terjadi.

Dekstruksi tulang yang agresif dapat terlihat bersamaan dengan proses benigna dan
harus dipertimbangkan dalam menentukan diferential diagnosis nya. Diferential
diagnosisnya meliputi penyakit granulomatosa seperti histiositosis sel Langerhans,
tuberculosis dan Wegener granulomatosis. Infeksi yang agresif seperti otitis eksterna
maligna dan necrosis paska radiasi dapat dipertimbangkan sebagai diferential
diagnosis1

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 39. Citra CT potongan axial karsinoma sel skuamos pada kannalis auditorius
eksterna dengan perluasan ke mastoid. Pasien wanita usia 64 tahun dengan infeksi
telinga kiri yang rekuren dan persiten yang tidak membaik meski sudah diberikan
antibiotik. Biopsi membantu menegakkan diagnosis. Gambar CT menunjukkan
dekstruksi tulang yang meluas dan melibatkan batas kanalis auditorius eksternus dan
mastoid (panah hitam), meluas sampai ke apex petrosus (panah besar). Ketebalan
kapsul otic relatif normal (mata panah putih). Soft tissue abnormal mengisi kanalis

36
auditorius eksternus, telinga tengah dan mastoid, meluas sampai ke fosa kranii posterior
(panah kecil). Aurikula terlihat menebal dengan batas yang ulseratif.

5.4. APEX PETROSUS

Neoplasma true di dalam apex petrosus termasuk chondrosarcoma, chordoma,


osteosarcoma dan meningioma. Myeloma, limfoma dan metastasis juga kemungkinan
dapat muncul. Area petrosus dapat secara sekunder terlibat oleh tumor regional seperti
schwanoma trigeminal, paraganglioma jugular, dan karsinoma nasopharyngeal.
Karsinoma nasopharyngeal biasanya terlihat sepanjang fisura petroocipital, superior
dari fosa Rosenmuleri. Tidak seperti lesi di kanalis auditorius internus dan telinga
tengah, lesi di apex petrosus baru menimbulkan gejala apabila sudah mencapai ukuran
yang cukup besar4.

5.4.1. CHONDROSARCOMA

Kondrosarkoma merupakan keganasan tersering yang melibatkan apex petrosus.


Tumor ini sering terjadi sepanjang sinkondrosis petrospenoidal dan petroocipital. Pada
pemeriksaan CT, tumor ini tampak agak menyangat sampai sedang, dan mungkin
mengandung kalsifikasi dan menyebabkan destruksi tulang disekitarnya. Pada
pemeriksaan MR, lesi ini tampak hipointens pada T1 weighted image dan hiperintense
pada T2 weighted image, meskipun penampakannya cukup heterogen1.

Sumber: Prof. Frank Gailard, 2000


Gambar 40. Citra CT menunjukkan massa pada basis kranii kanan yang mengesankan
suatu chondrosarcoma.

5.4.2. TUMOR KANTONG ENDOLIMFATIC

Tumor kantong endolimpatic merupakan tumor papillary cystadenomatous lokal


invasif. Kebanyakan kasus bersifat sporadic, meskipun terkadang kelainan ini juga
dapat terlihat pada pasien dengan penyakit von Hippel-Lindau (7%). Tumor
menyebabkan destruksi tulang local di region akuaduktus vestibular didalam tulang
37
retrobalintin petrosus3. Pada pemeriksaan CT, tulang tampak terinvasi oleh tumor dan
memiliki gambaran moth-eaten, litik dengan spikula pada tulang intramoral sering
terlihat (Gambar 41)1.

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 41. Gambar tumor kantong endolimpatik pada pasien laki-laki 46 tahun
dengan keluhan vertigo dengan onset yang akut. Gambar CT potongan axial
menunjukkan lesi yang ekspansil yang menyebabkan destruksi tulang yang litik,
mengelilingi area disekitar akuaduktus vestibular. Spikula intramoral dapat terlihat
(panah).

5.5. NERVUS FACIALIS

Tumor jinak tersering yang menyerang nervus facialis adalah schawnnoma dan
hemangioma. Hal penting yang perlu dipertimbangkan pada tumor yang bersifat ganas
adalah tumor yang menyebar secara perineural sepanjang nervus facialis 1.

5.5.1. SCHWANNOMA FACIALIS

Schwannoma nervus facialis dapat melibatkan segmen manasaja dari nervus


facialis dan dapat menyebar pada lebih dari satu segmen. Ganglion genikulatum sering
terkena. Sedikit pasien dengan schwannoma facialis mengeluhkah facial palsy; bahkan
kebanyakan tidak memiliki gejala yang berkaitan dengan nervus facialis. Schwannoma
facialis pada kanalis auditorius internus/cerebellopntine angle biasanya bermanifest
sebagai tuli sensorineural, diperkirakan akibat tipisnya lapisan myelin serabut saraf
pada nervus kranialis VIII sehingga lebih rentan apabila terdapat kompresi dari tumor
dibandingkan dengan nervus facialis yang memiliki lapisan myelin yang tebal.
Schwannoma facial yang tebal pada region geniculatum dapat tumbuh sampai kedalam
fosa kranii medialis. Masa tumor bersama dengan segmen timpani dapat mendesak
telinga tengah dan mengkompresi ossicular chain dan menyebabkan tuli konduktif.
Masa tumor yang muncul di segmen mastoid lebih mungkin untuk menimbulkan
keluhan facial palsy, karena dikelilingi oleh kanal-kanal tulang yang sempit sehingga

38
meningkatkan tekanan dari masa tumor. Masa tumor yang tumbuh di segmen karotis
dapat muncul sebagai masa di leher yang tidak nyeri6.

Pada pemeriksaan CT, tumor dapat terlihat ekspansil dan menyebabkan remodeling
halus pada kanal tulang disekitarnya. Pada pemeriksaan MR, masa tampak ekspansil
dan menyangat1. Tumor dapat memiliki penampakan seperti tubular, dan dapat muncul
lebih dari satu segmen atau dapat membentuk gambaran seperti ”sausage-link”, dengan
area yang relative sempit di sepanjang “link” nya tersebut. Di kanalis auditorius
internus, masa tumor schwannoma facialis sulit dibedakan dengan schwannoma
vestibular. Di region ganglion genikulatum, differential diagnosa meliputi hemangioma
dan meningioma.

Sumber: Prof. Frank Gailard, 2000


Gambar 42. Gambar potongan axial dan coronal CT bone window pada tulang
temporal kanan menunjukkan suatu masa schawnoma segmen mastoid nervus facialis
kanan.

5.5.2. HEMANGIOMA

Hemangioma dapat terlihat sepanjang jalur intratemporal dari nervus facialis,


paling sering pada region ganglion genikulatum, diikuti oleh kanalis auditorius
internus, dan paling jarang terlihat pada segmen genu posterior. Tumor ini sering
tumbuh bersama dengan trabekula tulang dan dapat membentuk tulang; pada kasus ini
istilah”ossifying hemangioma” dapat digunakan4.

Literatur terbaru menyebutkan bahwa lesi ini, pada kenyataannya merupakan


malformasi pada vena. Lesi ini memiliki karakteristik antara lain berupa lesi yang
ekspansile dan memiliki gambaran seperti”honey comb” dan dapat menunjukkan
spikula tulang intratumoral pada pencitraan CT (Gambar 43) 1.

39
Sumber: RSNA, 2013

Gambar 43. Gambar hemangioma pada regio genikulatum pada pasien wanita 48 tahun
dengan fasikulasi facial yang baru pada mata kanan, yang melanjut ke wajah bagian
bawah dan kelemahan global pada wajah kanan disertai synkinesis. Pada gambar CT
potongan axial menunjukkan masa ekspansil dengan spikula tulang intramoral (panah)
pada region ganglion genikulatum.

5.5.3. TUMOR YANG MENYEBAR SECARA PERINEURAL

Apabila terdapat penebalan segmental pada nervus facialis disertai penyangatan/


enhancement, proses malignan yang penting untuk dipertimbangan adalah tumor yang
menyebar secara perineural. Sumber malignansi biasanya berasal dari kelenjar parotis,
sebagai contoh, karsinoma kista adenoid atau karsinoma mucoepidermoid atau
keganasan kulit yang menginvasi secara sekunder atau metastasis ke kelenjar parotis.
Beban tumor dapat bervariasi, tergantung dari jalur yang dilewati oleh saraf, sehingga
menyebabkan bervariasinya derajat penebalan dan pada pemeriksaan MR dpat terlihat
penyangatan; “skip lesions” dapat terlihat pada area yang tidak terkena1.

40
BAB VI

TRAUMA PADA TULANG TEMPORAL

6.1. FRAKTUR TULANG TEMPORAL

Fraktur pada tulang temporal biasanya terjadi pada petrosus Tulang temporal.
Dibagi menjadi longitudinal atau transversal, sering kompleks dengan komponen obliq
atau campuran. Fraktur longitudinall biasanya parallel dengan axis longitudinal dari
petrosus tulang temporal. Fraktur ini merupakan fraktur yang paling sering terjadi
(86%). Fraktur ini merupakan hasil dari cedera tumpul pada temporal-parietal.
Biasanya ekstralabirintin, dengan kapsul otik yang biasanya tidak terkena. Tuli
sensorineural tidak umum terjadi. Pada fraktur ini pasien cenderung beresiko tinggi
untuk terjadi tuli konduktif akibat dari ruptur membran timpani, hemotimpani atau
disrupsi tulang osikular. Sering kali terdapat keterlibatan dari nervus facialis (first genu)
lebih umum terjadi tetapi tidak sesering pada fraktur transversal. Terdapat dua buah
subtype: subtype anterior: melibatkan fossa glenoid; subtype posterior: fossa glenoid
tidak terkena4.

Fraktur transversal biasanya perpendicular sampai aksis longitudinal dari tulang


petrosus. Merupakan hasil dari cedera tumpul frontal-occipital. Subtype dari fraktur
transversal terdiri atas 2 subtipe yaitu medial dan lateral. Subtype medial: dari
permukaan posterior petrosus melewati fundus kanalis auditorius internus ke first genu;
seringkali terdapat tuli total yang permanen pada sisi yang terkena. Subtype lateral: dari
permukaan posterior petrosus melewati labirin, biasanya berhubungan dengan fistula
perilimfatik.

Hal yang perlu diperhatikan, 15% dari fraktur tulang temporal disertai dengan
kebocoran cairan cerebrospinal, 10% dari fraktur di daerah Tulang temporal
menyebabkan cedera nervus VII. Kebanyakan fraktur Tulang temporal merupakan
fraktur obliq.

Temuan CT lebih baik diamati pada potongan axial. Penting untuk memeriksa batas
kompartemen yang menghadap intrakranial karena potensi adanya kebocoran cairan
cerebrospinal. Penting untuk memeriksa kanalis auditorius internus, nervus facialis dan
rantai ossicular (nervus facialis umumnya cedera di fossa genikulatum).
Pneumolabirintin dapat ditemukan apabila terdapat hubungan antara labirin pars
membranaseus dengan telinga tengah atau mastoid. Pemeriksaan MR tidak dilakukan
secara rutin. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan komplikasi intrakranial
pada kasus trauma yang parah. Sekuensi GRE berguna untuk mendeteksi adanya
perdarahan. Pilihan utama pemeriksaan pada fraktur tulang temporal adalah CT Bone
window potongan axial dan coronal. Pemeriksaan MR direkomendasikan apabila
terdapat komplikasi intrakranial4.

41
Diferential diagnose pada fraktur temporal adalah adanya pseudofraktur.
Pseudofraktur adalah suatu kondisi anatomis yang fisiologis yang pada pemeriksaan
imaging tampak menyerupai fraktur. Contoh pseudofraktur antara lain: ekstrinsik
sutura-fisura (sutura occipitomastoid), fisura intrinsic (fisura petrotympanic) dan
saluran intrinsic (akuaduktus koklear-vestibular, canaliculus mastoid, kanal subcreate).
Akuaduktus koklear: paralel dan inferior dari kanalis auditorius internus, akuaduktus
ini mengandung perilimfe. Kanalikulus mastoid berada diantara foramen jugular dan
segmen mastoid dari kanal nervus VII, kanalikulus ini mengandung saraf dari Arnold
(cabang nervus X). Kanalikulus timpani inferior berorientasi vertical diantara kanal
karotis dan foramen jugular, kanalikulus ini mengandung nervus Jacobson (cabang
nervus IX) dan arteri timpani inferior (cabang kanalis auditorius eksternus). Kanalis
singular biasanya parallel dan posteroinferior dari kanalis auditorius internus 3.

Penyebab dari fraktur temporal adalah cedera kepala tumpul. Fraktur tulang
temporal merupakan fraktur yang paling sering pada basis kranii. 20% pasien dengan
fraktur kranial juga memiliki fraktur pada tulang temporal. 2.5% dari fraktur tulang
temporal tidak melibatkan kapsul otic. 10% berhubungan dengan kerusakan nervus 7,
dan 85% kerusakan nervus 7 berada di segmen ganglion genikulatum6.

Temuan klinis yang sering ditemukan pada pasien ini adalah hemotimpanum,
dengan gejala akut berupa darah dan/atau cairan cerebrospinal mengalir dari kanalis
auditorius eksternus dengan cedera kepala yang signifikan, paralisis nervus VII. Gejala
subakut nya berupa tuli yang persisten, bahkan setelah terapi. 9

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 44. Klasifikasi tradisional fraktur tulang temporal. Citra CT potongan axial
menunjukkan (a) fraktur longitudinal dan (b) fraktur transversal pada dua pasien
berbeda. Fraktur longitudinal parallel dengan axis longitudinal dari pyramid petrosus
(panah a) dan transversal dari bagian mastoid tulang temporal. Fracture transversal

42
berorientasi perpendicular dengan pyramid petrosus (panah b) dan transversal dengan
basal koklea (mata panah b)

Prognosis pada keluhan ini tergantung dari komplikasi intracranial. Hubungan


antara fraktur temporal dan kebocoran cairan cerebrospinal cukup sering terjadi.
Kebanyakan pasien membaik secara spontan dalam kurun waktu 7 hari. Kebocoran
cairan cerebrospinal lebih dari 7 hari membutuhkan intervensi bedah. 10% atau kurang
beresiko untuk menjadi meningitis dikemudian hari. Kerusakan pada nervus 7 dapat
sembuh secara spontan6.

6.2. DISLOKASI OSSICULAR POST TRAUMA

Disrupsi ossikkular merupaka kejadian ke dua tersering pada trauma tulang


temporal. Temuan imaging klasik pada pasien ini adalah terputusnya kontinuitas dari
ossikular normal, oleh karena itu pengetahuan terhadap anatomi ossicular normal
sangat penting. Tipe dari disrupsi ossikular antara lain: separasi incudostapedial joint,
separasi incudomaleal joint, dislokasi inkus, kompleks incudomalleal dislokasi, dan
dislokasi stapediovestibula6.

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 45. Separasi incudostapedial. (a) gambar CT potongan axial menunjukkan


adanya celah (panah hitam) diantara prosesus lenitkularis dari inkus (panah putih) dan
kaput dari stapes (mata panah) pada fraktur longitudinal. (b) Citra CT potongan axial
pada artikulasi incudostapedial (panah).

43
Sumber: RSNA, 2013

Gambar 46. Separasi sendi incudomalleal. Citra CT potongan axial menunjukkan


adanya celah (panah) antara “ice cream” (caput malleus) dan “cone” (corpus dan
prosesus dari incus) pada kasus fracture longitudinal (bandingkan dengan sendi
incudomalleal normal di Gambar 42).

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 47. Dislokasi stapediovestibular. Gambar CT potongan axial menunjukkan


pneumolabirin (mata panah) dan dislokasi dari footplate dari stapes ke dalam vestibula
(panah hitam). Tampak sendi incudostapedial yang normal tidak terdapat celah antara
kaput malleus dan korpus dari inkus dan short prosesus (panah putih).

44
Temuan citra CT pada disrupsi incudospadial berupa pelebaran abnormal dan/ atau
distraksi dari sendi incudostapedial, paling baik diamati pada citra CT potongan axial.
Dislokasi inkus bervariasi dari komplit sampai partial (dislokasi parsial disebut juga
sebagai subluksasi maleoincudal). Citra CT potongan axial tampak terpisahnya antara
“ice cream” (kaput malleus) dari “cone” nya (short procesus/prosesus brevis incus)13.
Dislokasi lateral membentuk huruf “Y” dengan caput malleus pada CT potongan
koronal. Disrupsi stapediovestibular didefinisikan sebagai displacement dari stapes ke
dalam vestibula. Seringkali disertai dengan kebocoran dari cairan perilimfe ke telinga
tengah3. Kelainan ini juga dikenal dengan nama fistula perilimfatik. Petunjuk citra
terbaik: tampak ossikular yang terlihat terdistorsi pada pasien dengan riwayat trauma
tulang temporal. MRI tidak memiliki peranan penting dalam mengevaluasi kerusakan
pada ossikular. MRI digunakan apabila dicurigai terdapat kelainan intracranial5.
Pemeriksaan imaging yang direkomendasikan pada kelainan ini adalah pemeriksaan
menggunakan CT scan potongan axial dan koronal (coronal images often not attainable
in severely injured patient). Hati – hati terlewat dalam mendiagnosa disrupsi ossikular
pada pemeriksaan CT Tulang temporal (fraktur yang konkomitan, hemotimpanum dan
cedera intracranial dapat mengaburkan temuan pada pemeriksaan imaging Tulang
temporal)4.

Diferential diagnosis dari dislokasi ossikular post trauma antara lain: deformitas
ossikular kongenital, atresia oval window, dan erosi ossikular sampai otomastoiditis
kronik. Deformitas kongenital ossikular merupakan kelainan yang sangat langka.
Atresia oval window merupakan bentuk dari stapedial dysmorphism, dimana segmen
nervus VII berada disebelah medial menuju ke oval window. Erosi ossikular dan
otomastoiditis kronis biasanya melibatkan bagian distal dari inkus6.

Disrupsi incudostapedial merupakan kelainan yang paling sering pada deformitas


post traumatic osicular. Yang paling jarang adalah fraktur – dislokasi malleus. Pada
pemeriksaan CT potongan axial, sendi malleoincudal di attic membentuk “ice cream
cone”. Incudostapedial berada di mesotimpani posterior dari tendon tensor timpani.
Superstruktur stapes (crura-footplate) berartikulasi di oval window3.

Kebanyakan pasien yang datang mengeluhkan tuli tipe konduktif (tuli konduktif
dapat persisten meskipun hemotimpanum membrana timpani sudah sembuh). Gejala
lain yang berkaitan antara lain paralisis nervus facialis, dizziness dan kebocoran cairan
serebrospinal6. Terapi bedah yang dianjurkan kepada pasien adalah ossiculoplasti, yaitu
rekonstruksi dari rantai osikular. Ossiculoplasti dianjurkan apabila tuli konduktif sudah
melebih 30 dB dan persisten selama lebih dari 6 bulan pasca trauma 3.

6.3. OTORHEA CAIRAN SEREBROSPINAL POST TRAUMA

Disebut juga sebagai otorhinorhea cairan serebrospinal atau fistula cairan


cerebrospinal. Pada kelainan ini cairan serebrospinal bocor dan mengalir ke rongga
yang berisi udara pada tulang temporal akibat disrupsi dari tulang kortikal dan
duramater. Perbedaan antara otorhea cairan serebrospinal post traumatic dengan

45
rhinorrhea cairan serebrospinal post traumatic adalah, pada otorhea cairan serebrospinal
terdapat disrupsi dari membran timpani sedangkan pada rhinorrhea cairan
serebrospinal, membran timpani tampak intak atau ada sumbatan pada kanalis
auditorius eksternus (cairan serebrospinal keluar anteroinferior melalui tuba eustachii).
Temuan klasik antara lain cairan di telinga tengah dan mastoid yang persisten
berminggu – minggu sampai ber bulan – bulan setelah trauma pada Tulang temporal
yang dibuktikan dengan pemeriksaan CT adanya fraktur pada tulang kortikalnya.
Kebocoran cairan serebrospinal tidak hanya dapat diakibatkan post trauma tetapi juga
dapat post bedah atau spontan6.

Petunjuk terbaik dari pencitraan yang menandakan adanya kebocoran cairan


serebrospinal antara lain: tampak defek kortikal pada Tulang temporal yang secara
riwayat dan pemeriksaan klinis dicurigai adanya kebocoran cairan serebrospinal (halo
sign). Temuan pada citra CT dapat berupa opsifikasi pada telinga tengah dan mastoid.
Tampak fraktur yang melewati korteks menuju ke rongga yang berisi udara pada tulang
temporal. Fraktur biasanya melewati tegmen timpani atau mastoid. Paling sering
kebocoran cairan serebrospinal diakibatkan oleh fraktur transversal dibandingkan
fraktur longitudinal. Pada pemeriksaan MR, terdapat sinyal cairan di telinga tengah dan
mastoid. Dapat juga ditemaukan cephalocele post traumatik. Pemeriksaan yang
dianjurkan untuk mendeteksi kebocoran cairan serebrospinal adalah citra CT potongan
axial dan koronal pada tulang temporal dan citra MR pada potongan axial dan koronal3.

Differential diagnosis pada kebocoran cairan serebrospinal post traumatic antara


lain: otomastoiditis akut, perdarahan post traumatic telinga tengah, dan karsinoma
nasopharing. Otomastoiditis akut menunjukkan adanya cairan di telinga tengah, secara
klinis didapatkan riwayat infeksi dan tidak didapatkan riwayat trauma3. Perdarahan
telinga tengah post trauma, pada pemeriksaan CT didapatkan “fluid level” di telinga
tengah tanpa adanya fraktur atau kebocoran secara klinis, pemeriksaan MR
menunjukkan sinyal tinggi cairan pada citra T1, cairan akan bersih dalam beberapa
minggu atau bulan. Pada karsinoma nasofaring, masa menyumbat tuba eustachii, tidak
didapatkan fraktur atau area yang rusak pada tulang temporal10.

Tegmen timpani dan mastoid membentuk lantai dari fosa kranii media. Lantai ini
berfungsi sebagai barrier antara Tulang temporal dan otak. Permukaan duramater
berhadapan langsung dengan otak sementar permukaan mukosa menghadap ke telinga
tengah dan mastoid. Kerusakan pada tegmen cukup umum terjadi, akan tetapi tidak
signifikan apabila duramater tetap intak9. Kebocoran cairan serebrospinal post trauma
terjadi akibat adanya fraktur pada tegmen dengan atau tanpa cephalocele. Dimana
fraktur transversus lebih umum menyebabkan kebocoran dibandungkan fraktur
longitudinal3.

46
Sumber: RSNA, 2013

Gambar 48. Kebocoran cairan serebrospinal post trauma. Pada gambar CT potongan
axial tampak ada defek pada tegmen anterior (panah). pada pasien ini terdapat otorhea
dengan kebocoran cairan serebrospinal yang terjadi setelah trauma. Perhatikan pula
opasitas yang muncul pada Mastoid air cell akibat cairan serebrospinal (*).

Gejala yang muncul pada pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal adalah,
cairan yang keluar dari liang telinga luar. Gejala lain adalah tuli konduktif, nyeri kepala
(pneumocephalus, meningitis dan/atau abses ekstradural) dan test laboratorium
mengkonfirmasi bahwa cairan yang keluar dari telinga dalah cairan serebrospinal.
Terapi yang diberikan pada pasien antara lain antibiotic inisial, pemasangan drain dan
repair secara bedah. Kebanyakan pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal dapat
sembuh secara spontan, sehingga prognosisnya umumnya cukup baik 4. Akan tetapi
resiko untuk terjadinya meningitis meningkat apabila kebocoran terjadi lebih dari 1
minggu. Tindakan repair dengan bedah dilakukan apabila kebocoran cairan
serebrospinal berlangsung lebih dari 7-10 hari, meskipun pasien sudah dipasang drain
untuk diversi untuk menghindari resiko meningitis. Kelainan ini terkadang disertai
dengan komplikasi dari fraktur tulang temporal berupa meningocele dan encepalocele,
bila dicurigai terdapat kelainan ini maka pemeriksaan dengan menggunakan MR akan
lebih baik karena dapat menunjukkan parenkim otak dengan lebih baik 3.

6.4. CEDERA NERVUS FACIALIS

Jika nervus facialis mengalami cedera, maka pasien akan segera merasakan paralisis
facialis. Cedera nervus facialis yang tertunda (delayed) umumnya diakibatkan karena
adanya hematoma, kontusio dan edema 3. Keparahan dan onset dari paralisis facialis
penting untuk menentukan prognosis. Facial paralisis yang tidak incompleteditangani
dengan observasi atau pemberian steroid dosis tinggi, dengan tindakan bedah
dipertimbangkan apabila memang tampak jelas adanya fragmen tulang yang menjepit
nervus facialis 2. Complete paralisis dapat menggambarkan kebutuhan untuk

47
dilakukannya tindakan bedah. Area perigeniculate lebih rentan untuk terjadinya cedera
karena adanya traksi dari nervus petrosa. Pada pemeriksaan CT, kita harus mencari
adanya garis fraktur yang melintasi nervus facialis dan fragmen tulang, ossikel atau
hematoma yang mendesak kanal facialis (Gambar 44) 4.

Sumber: RSNA, 2013

Gambar 49. Cedera pada nervus facialis. Gambar CT potongan axial menunjukkan
pembesaran pada fossa genikulatum (panah). Yang mana merupakan lokasi yang sering
terjadinya cedera nervus facialis. Selain itu tampak juga fraktur kompleks pada
temporal kiri.

48
BAB VII

KESIMPULAN

CT merupakan modalitas yang penting pada pemeriksaan tulang temporal. CT


menawarkan kemampuan yang hebat dalam menggambarkan kelainan jaringan lunak dengan
latar belakang udara (telinga tengah, kanalis auditorius eksternus, mastoid air cell) dan
mempermudah pemeriksaan apabila terdapat perubahan atau keterlibatan tulang dalam suatu
kondisi patologis. MR menawarkan karakteristik yang lebih detail dari jaringan lunak dan
cairan, sehingga memberikan visualisasi yang lebih baik pada penyangatan dala, struktur yang
kecil dan membantu dalam membedakan antara jaringan lunak yang berbeda sifat. Pemeriksaan
konvensional pun memiliki peran yang penting, terutama pada fasilitasi kesehatan yangbelum
memiliki modalitas canggih seperti CT dan MRI. Kemampuan dan pemahaman seorang dokter
radiologi dalam mengenal struktur anatomi yang terdapat dalam tulang temporal dengan
menggunakan berbagai modalitas pemeriksaan radiologi akan sangat membantu dalam
merumuskan suatu diagnosa yang tepat.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Amy F. Juliano, MD Daniel T. Ginat, MD Gul Moonis M. Imaging Review of the


Temporal Bone: Part I. Anatomy and Inflammatory and Neoplastic Processes 1.
2015;269(1):17-33.
2. William Herring M. LEARNING RADIOLOGY: RECOGNIZING THE BASICS. 3rd ed.
New York: ELSEVIER; 2016.
3. Amy F. Juliano, MD Daniel T. Ginat, MD Gul Moonis M. Imaging Review of the
Temporal Bone: Part II. Traumatic, Postoperative, and Noninflammatory
Nonneoplastic Conditions1 Amy. 2015;276(3):655-672.

4. Swartz JD, Loevner LA. Imaging of the Temporal Bone. 4th ed. New York: Georg
Thieme Verlag; 2008.
5. John R. Haaga. Haga CT and MRI of the Whole Body-2 Volume Set,5th Edition.Pdf.
5th ed. New York: Mosby, Inc., an affiliate of Elsevier Inc; 2012.
6. Harnsberger HR, III RHW, Swartz JD, Patricia A Hudgins. Pocket Radiologist:
Temporal Bone Top 100 Diagnoses. Utah: Amirsys; 2003.

7. MICHAEL J. AMINOFF, FRANC¸ OIS BOLLER ADFS. HANDBOOK OF


CLINICAL NEUROLOGY. Cambridge: ELSEVIER; 2016.
8. Kubik-Huch JH• RA, Schulthess GK von. Diseases of the Brain, Head and Neck,
Spine 2016–2019. (Jürg Hodler, ed.). Zurich: Springer International Publishing
Switzerland; 2016.
9. Adam A, Dixon A, Gillard J, Schaefer-Propok C. Grainger & Allison’s Diagnostic
Radiology. 6th ed. (Andreas Adam, CBE, MB, BS(Hons), PhD, FRCP, FRCR F,
FFRRCSI(Hon), FRANZCR(Hon), FACR(Hon) Fm, Adrian K. Dixon, MD, MD(Hon
caus), FRCP, FRCR F, et al., eds.). Edinburgh: CHURCHILL LIVINGSTONE an
imprint of Elsevier Limited; 2016.
10. Alexander L, Ba G, Frcr O. Essentials Diagnostic Radiology. New York: ELSEVIER;
2013.
11. Torsten B. Moeller M., Emil Reif MD. Pocket Atlas of Radiographic Anatomy. 2nd ed.
New York: Georg Thieme Verlag; 2000. doi:10.1097/00000539-199807000-00041
12. Meyers SP. Differential Diagnosis in Computed Tomography. 2nd ed. New York:
Georg Thieme Verlag; 2011.
13. William E. Brant, MD F. FUNDAMENTALS OF DIAGNOSTIC RADIOLOGY. 4th ed.
Philadelphia: LIPPINCOTT WILLIAMS & WILKINS, a WOLTERS KLUWER
business; 2012.

50

Anda mungkin juga menyukai