Diberikan tanggal :
REFERAT DASAR
Oleh
Pembimbing:
SEMARANG
2018
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
BAB I. PENDAHULUAN 1
i
4.2.4. KOLESTEATOMA TELINGA TENGAH 25
5.1.2. MENINGIOMA 31
5.1.3. EPIDERMOID 32
5.2.1. PARAGANGLIOMA 34
5.4.1. CHONDROSARCOMA 37
5.5.2. HEMANGIOMA 39
DAFTAR PUSTAKA 50
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 6. Tulang temporal kanan, (A) tampak inferior, (B) tampak superior 4
Gambar 23. Citra CT Scan pada pasien dengan otitis eksterna maligna 20
Gambar 24. Citra CT potongan axial pada pasien dengan mastoiditis koalesen 21
iii
Gambar 26. Citra CT pada pasien yang didapatkan petrous apicitis 22
Gambar 32. Citra CT potongan axial dari pasien dengan labirintis osifikan 28
Gambar 42. CT bone window schawnoma segmen mastoid nervus facialis kanan 39
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
Tulang Temporal terdiri dari bagian lateral basis kranii, yang membentuk bagian dari
fossa kranii posterior dan fossa kranii medialis1. Tulang Temporal kiri dan kanan masing -
masing tersusun atas lima bagian tulang yaitu tulang pars squamosa, pars mastoid, pars petrosa,
pars timpanika, dan os zygomatikus.
2
Sumber: Pocket atlas of human anatomy, thieme, 2000
Gambar 3. Tulang temporal kanan, terbuka, tampak dari anterolateral. 17. Prosesus
mastoideus; 22. Kanalis fasialis; 24. Kanalikulus khorda timpani; 28. Kanalis muskulotubarius;
29. Semikanalis m. tensor timpani; 30. Semikanalis tubae auditorius.
3
Sumber: Pocket atlas of human anatomy, thieme, 2000
Gambar 5. Tulang temporal kanan, tampak lateral. 26. Prosesus styloideus; 31. Fissure
petrotympanica; 33. Fisura tympanosquamosa; 34. Fissure tympanomastoidea.
A B
4
Dokter radiologis harus berhati – hati, karena beberapa kanalis, fisura dan sutura pada
citra CT dapat terlihat seperti fraktur (pseudofraktur) 3. Penanda anatomi dari tulang temporal
dapat dilihat pada citra CT potongan aksial dan koronal (gambar 7-11) dan dijelaskan dalam
subagian berikut.
Gambar 8. Citra CT tulang temporal potongan axial: 1. Mastoid air cell; 2. Incus (procesus);
3. Incudomaleal joint; 4. Malleus (caput); 5. Epitimpanum (anterior resesus epitimpani); 6.
Skala timpani koklea; 7. Skala media koklea; 8. Kapsul otik; 9. Kanalis auditorius internus; 10.
Modiolus; 11. Vestibula.
5
Sumber: RSNA, 2013
Gambar 9. Citra CT tulang temporal potongan axial: 1. Stapes (caput); 2. Incus (prosesus); 3.
Maleus (collum); 4. Tensor timpani; 5. Kanalis karotikus; 6. Apeks koklea; 7. Skala media
koklea; 8. Skala timpani koklea; 9. Septum interscalar; 10. Fenestra koklea (Round window);
11. Akuaduktus vestibularis; 12. Sinus timpani; 13. Stapedius; 14. Eminensia piramidalis; 15.
Segmen mastoid nervus facialis; 16. Resesus fasialis.
Gambar 10. Citra CT tulang temporal potongan coronal; 1. Kanalis auditorius eksternus; 2.
Mastoid air cell; 3. Tegmen mastoid; 4. Tegmen timpani; 5. Segmen timpani nervus facialis;
6. Segmen labirin nervus facialis; 7. Apex os petrosus; 8. Skala timpani koklea; 9. Septum
interskalar; 10. Skala media koklea; 11. Kanalis karotis; 12. Tendon musculus tensor timpani;
13. Prosesus lateral os melleus; 14. Ligamentum malleus lateral; 15. Malleus (caput).
6
Sumber: RSNA, 2013
Gambar 11. Citra CT tulang temporal potongan coronal: 1. Mastoid air cell; 2. Tegmen
mastoid; 3. Tegmen timpani; 4. Kanalis auditorius internus; 5. Vestibula; 6. Hypotympani; 7.
Mesotympani; 8. Epitimpani; 9. Promontorium koklear; 10. Membran timpani; 11. Scutum;
12. Ruang Prussak; 13. Malleus (caput); 14. Stapes (crus); 15. Kanalis semisirkularis superior;
16. Segmen timpani nervus facialis; 17. Fenestra vestibule (Oval window); 18. Krista
falsiformis; 19. Kanalis auditorius eksternus.
Telinga luar terdiri atas aurikula dan kanalis auditorius eksternus, yang memanjang
kedalam sampai ke membrana timpani. Membrana timpani melekat pada annulus timpani
dan memiliki diameter + 10 mm, tidak jarang membran timpani dapat terlihat samar pada
gambaran CT1. Sepertiga lateral dari kanalis auditorius eksternus terdiri atas jaringan
fibrocartilagenosa, sedangkan dua per tiga medialnya dikelilingi oleh bagian timpani dari
os temporal (Gambar 11). Dinding anterior kanalis auditorius eksternus berbatasan dengan
aspek posterior dari fosa glenoid mandibula. Dinding posterior dari kanalis auditorius
eksternus membentuk batas anterior segmen mastoid dari tulang temporal dan merupakan
bagian yang direseksi pada tindakan canal wall-down mastoidectomy (teknik bedah untuk
mencapai celah tengah)4.
Telinga tengah merupakan rongga yang berisi udara dan berada pada bagian petrosus
tulang temporal yang berisi ossicular chain (malleus, incus dan stapes) dan berlekatan
dengan membran timpani disebelah lateralnya, dan struktur telinga dalam di sebelah
medialnya (dikelilingi oleh otic capsule dan promontorium koklear), tegmentum timpani
disebelah superior dan dinding jugular disebelah inferior (Gambar 11). Scutum merupakan
7
proyeksi tajam yang mana merupakan tempat perlekatan membran timpani disebelah
superior (Gambar 11)5.
Gambar 12. Ilustrasi diagram dari ossicular chain (malleus incus dan stapes)
Tegmen mengacu pada lapisan tulang yang tipis yang memisahkan lapisan dura dari
fossa cranialis medialis dengan telinga tengah dan rongga mastoid. Tegmen timpani
merupakan atap dari telinga tengah, dan tegmen mastoid adalah atap dari mastoid (Gambar
10, 11). Dinding posterior telinga tengah berbentuk irregular dan dari lateral ke medial
terdiri dari resesus fasialis (juga dikenal sebagai resesus nervus fasial), eminensia
piramidalis, sinus timpani, dan fenestra koklea (round window) (Gambar 9). Eminensia
piramidalis melapisi otot stepedius yang mana melekat ke caput stapes. Area lain yang tidak
kalah pentingnya adalah ruang Prussak (resesus superior) (Gambar 11). Ruangan ini
dibatasi oleh pars flacida dan scutum di sebelah lateral, ligamentum melleus di sebelah
superior dan collum malleus di medialnya 4.
8
Sumber: Prof. Frank Gaillard, 2008
Gambar 13. Incus pada Citra CT potongan axial dan koronal (warna biru)
9
Telinga tengah dibagi menjadi epitimpanum (attic) di sebelah superior membran
timpani, mesotimpani setinggi membran timpani, dan hipotimpani di sebelah inferior
membran timpani (Gambar 11). Hipotimpani terdapat pintu masuk ke tuba eustacii,
dengan arteri carotis interna yang berjalan bersama disebelah medialnya. (Gambar 10).
Mesotimpani mengandung sebagian besar dari ossicular chain (Gambar 8-15).
Manubrium malleus melekat pada membran timpani, dan caput malleus berartikulasi
dengan incus pada epitimpanum mmembentuk incudomalleal joint, yang dikenal sebagai
“ice cream cone” pada potongan axial (Gambar 8). Prosesus lentikularis memanjang dari
long prosesus incus sampai caput stapes, membentuk incudostapeal joint. Footplate stapes
melekat pada oval window vestibula (Gambar 11)1.
Terdapat empat ligament ossikular yang berfungsi sebagai suspensi pada telinga
tengah: malleus superior, malleus lateral, malleus posterior dan incudal posterior.
Ligamentum ini terkadang terlihat pada pemeriksaan CT sebagai struktus tipis yang linear.
Ligamentum maleal lateral merupakan ligamentum suspensorium yang paling sering
terindientifikasi dibandingkan ligamentum yang lainnya (Gambar 10). Muskulus tensor
timpani berawal dari permukaan superior dari bagian cartilaginous tuba eustacii, berjalan
ke posterior di bagian medial dari telinga tengah, berbelok tajam pada prosesus
cochleariform dan melekat pada collum maleus (Gambar 9) 5.
Epitimpani berhubungan dengan mastoid melalui aditus ad antrum (Gambar 7). Secara
normal, mastoid merupakan rongga yang terisi udara yang ukuran dan konfigurasinya
bervariasi. Mastoid air cell melintasi septum Koerner.yang merupakan struktur tulang yang
tipis yang dibentuk oleh sutura petrosquamosa yang memanjang ke posterior dari
epitimpani, memisahkan mastoid air cell menjadi kompartemen medial dan lateral. Mastoid
air cell disebelah medial dipisahkan dari sinus sigmoid yang berdekatan oleh lempeng
sigmoid 1.
Telinga dalam terletak didalam bagian petrosus dan teridiri dari tulang labirin yang
termasuk didalamnya adalah koklea, vestibula dan kanalis semisirkularis (Gambar 8 - 11).
Koklea berisi organ pendengaran sementara vestibula dan kanalis semisirkularis berisi
organ keseimbangan. Bagian terpadat dari tulang temporal yang mengelilingi tulang labirin
disebut sebagai kapsul otic (Gambar 8). Tulang labirin melapisi labirin membranaseus,
yang mana didalamnya mengandung endolimfe dan dikelilingi oleh perilimfe. Struktur
labirin membranosa (duktus koklea, utrikulus, sakulus, duktus semisirkularis dan duktus
dan kantong eendolimfe) tidak dapat dilihat pada citra CT 4.
Koklea merupakan struktur berbentuk spiral yang terdiri atas bagian basal, tengah dan
apical (skala vestibule, skala media dan skala timpani), yang dipisahkan oleh septa
interscalar (Gambar 8-10). Lembaran spiral tulang koklea merupakan struktur
mikroanatomik yang secara samar dapat terlihat sebagai bagian tipis pada pemeriksaan CT
temporal; lembaran ini memanjang dari modiolus melintas secara parallel septa interscalar
1
. Aspek lateral dari tepi basal koklea menonjol ke dalam rongga telinga tengah membentuk
10
promontorium koklear (Gambar 11). Nervus Jacobson (cabang dari nervus IX kranialis)
melintas diatas promontorium koklear. Nervus koklearis melewati kanalis auditorius
internal melalui kanal tulang untuk saraf koklea (juga disebut sebagai aperture koklea) ke
dalam modiolus (Gambar 8), yang berbentuk seperti mahkota (crown shaped) yang
berpusat didalam koklea dan menstransmisikan cabang nervus koklearis ke organ Corti.
Organ Corti merupakan bagian dari organ pendengaran yang tidak terlihat pada gambar CT
1
.
Kanalis auditorius interna merupakan saluran yang berada pada tulang petrous yang
bervariasi dalam ukuran, bentuk dan orientasinya. Pintu masuk dibagian medial kanalis
auditorius internal dikenal sebagai porus acousticus. Ujung lateral kanalis auditorius
internal disebut sebagai fundus dan berbatasan dengan labyrin. Pada bagian fundus, krista
transversal (krista falciformis) membagi kanalis auditorius internal menjadi kompartemen
superior dan inferior (Gambar 7). Krista vertical (Bill’s bar) membagi kompartemen
superior menjadi komponen anterior dan posterior. Nervus facialis berlokasi di
kompartemen anterosuperior, nervus koklearis terletak pada kompartemen antero inferior
dan nervus vestibularis terletak pada kompartemen superoposterior dan inferoposterior.
Mnemonic yang digunakan untuk mempermudah mengingat lokasi persyarafan kranialis
pada kompartemen anterior IAC adalah “Seven (nervus facialis) Up, Coke (nervus
Koklearis) down” (Gambar 16) 1.
11
2.5. NERVUS FACIALIS (NERVUS VII KRANIALIS)
Meskipun nervus facialis tidak dapat dilihat secara langsung pada gambar CT, kanalis
tempat nervus facialis melewati tulang tetap dapat diamati. Pada tulang temporal nervus
fasialis terdiri atas 3 segmen yaitu: segmen labirin, terletak antara akhir kanal auditorius
internus; segmen timpani: terletak di bagian distal ganglion genikulatum dan berjalan
kearah posterior telinga
12
tengah, kemudian naik kearah fenestra vestibuli (oval window) dan stapes, lalu turun dan
kemudian terletak sejajar dengan kanal semisirkularis horizontal; dan segmen mastoid,
mulai dari dinding medial dan superior kavum timpani (Gambar 17) 5.
Nervus facialis keluar dari sisi lateral pons, melintasi cerebellopontine angle (CPA)
(segment cisternal), melewati porrus akustikus, menembus kanalis auditorius internus di
kuadran anterosuperior diatas krista falciformis (segmen kanalikular) dan menuju ke tulang
petrosus anterior kedalam koklea (segmen labirintine) untuk mencapai ganglion
geniculatum (Gambar 7). Dari sini nervus facialis memutar ke posterior menuju ke aspek
medial cavum telinga tengah (segmen timpani). Pada gambar CT potongan koronal,
proximal segmen timpani dan bagian distal segment labyrinthine nervus facialis dapat
tervisualisasi disebelah superior dari koklea, menimbulkan penampakan seperti mata ular
(snake eyes) atau mata siput (snail eyes) (Gambar 10). Segmen timpani dari nervus facialis
berjalan di ke inferior menuju kanalis semisirkularis lateral dan superolateral oval window
(Gambar 11). Di dinding posterior telinga tengah sejajar dengan resesus facialis, nervus
facialis memutar ke inferior membentuk genu posterior. Segmen mastoid dari nervus
facialismelintasi sisi medial tulang mastoid sampai keluar dari kranium melalui foramen
stylomastoideum dan masuk ke glandula parotis. Corda timpani mencabang dari segmen
mastoid nervus facialis dan kembali ke telinga tengah melalui kanalikulus dari chorda
tympani.
13
BAB III
Foto konvensional pada tulang temporal merupakan pemeriksaan yang jarang di lakukan
karena seiring berkembangnya jaman dan kompleksnya anatomi tulang temporal, maka
dokter radiologis umumnya menggunakan modalitas yang lebih canggih yaitu CT dan MRI.
Meskipun begitul, pemeriksaan standar radiologi konvensional tetap digunakan terutama
pada fasilitas – fasilitas kesehatan yang tidak memiliki modalitas diatas. Pemerikssan foto
konvensional tulang temporal meliputi Law, Schuller, Mayer, Owen, Chausse III,
transorbital, Stenvers, submentovertical dan Towne.
Posisi ini menggambarkan penampakan lateral dari tulang mastoid. Proyeksi foto
dibuat dengan bidang sagittal kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan berkas sinar
X ditujukan dengan sudut 30o chepalocaudal. Pada posisi ini perluasan pneumatisasi
mastoid serta struktur trabekulasi dapat tampak dengan lebih jelas. Posisi ini
memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis auditorius eksterna dan
hubungannya dengan sinus latelaris.
Gambar 18. Foto Schuller pada tulang petrosus. 1. Aurikula; 2. Squamous air cell; 3.
Angle of citeli; 4. Periantral air cell; 5. Sulkus sinus sigmoid; 6. Batas anterior tulang
petrosa; 7. Antrum mastoid; 8. Temporo mandibular joint; 9. Marginal air cells; 10.
Condyles mandibular; 11. Procesus zygomaticus tulang temporal; 12. Tuberkel
14
articular; 13. Retrofacial air cells; 14. Internal and external carotid canal; 15. Apex
tulang petrosa; 16. Air cells pada ujung proc. Mastoid; 17. Proc. Styloideus
Posisi stenvers atau dikenal juga dengan posisi obliq posteroanterior, didapatkan
dengan cara pasien menghadap film dan kepala sedikit flexi dan miring 15o dan diputar
35o menjauhi sisi yang ingin diperiksa dengan 12 o angulasi pada cranial, akan membuat
piramid petrosus parallel dengan lapangan film, dan mempermudah pemeriksaan pada
seluruh pyramid. Pemeriksaan ini biasanya digunakan dalam menilai pemasangan
implant koklea intra- maupun post operasi apakah sudah tepat atau belum. Pada
pemeriksaan ini kita dapat lokasi pemasangan elektroda pada koklea, jumlah maupun
kedalamannya sehingga sangat membantu klinisi dalam menentukan manajemen pasien
selanjutnya.
Posisi mayer didapatkan dengan merotasi kan kepala pasien 45o ke samping dan
tabung X ray diarahkan sedemikian rupa sehingga arah sinar melewati meatus
auditorius eksternus yang dekat dengan film pada sudut 45o kearah kaki. Pemeriksaan
ini akan memberikan lapangan pandang axial pada tulang petrosus dan sel mastoid.
Antrum mastoid, meatus auditorius eksternal dan bagian atas dari cavum timpani dapat
terlihat dengan baik.
15
Sumber: Thieme, 2000
Gambar 20. Posisi Mayer pada tulang petrosus. 1. Periantral air cell; 2. Sinus sigmoid;
3. Antrum; 4. Retrosinus air cell; 5. Aperture dari antrum mastoid; 6. Kanalis auditorius
eksternus dan kavum timpani; 7. Osseous labyrinth; 8. Batas posterior tulang petrosus;
9. Tulang zygomaticus; 10. Apex mastoid; 11. Condilus mandibular; 12. Apex tulang
petrosus.
Pada banyak kasus, pemeriksaan CT tanpa kontras menjadi pilihan utama saat
mengevaluasi tulang temporal. Dibandingkan dengan MR, pemeriksaan menggunakan CT
cenderung lebih mudah dikerjakan terutama pada kejadian yang sifatnya akut, selain itu
pemeriksaan menggunakan CT cenderung lebih murah dan waktu pemeriksaan yang lebih
singkat dibandingkan MR. Fraktur pada tulang, erosi pada tulang, massa pada tulang dan
kalsifikasi dapat diperiksa dengan menggunakan CT. CT juga digunakan untuk
mengevaluasi suatu kejadian inflamasi dan proses neoplastic yang melibatkan tulang
temporal karena kemampuan superiornya dalam menunjukkan detail anatomi tulang
temporal. CT juga penting untuk rencana preoperasi, lebih tepatnya karena kemampuannya
untuk melokalisasi kanal nervus facialis. Secara umum pemeriksaan CT pada tulang
temporal menggunakan lapangan axial dan coronal.
16
seperti abses subperiosteal. Kontras juga dapat digunakan pada pasien dengan tinnitus
untuk menilai variasi anatomi vascular dan patologinya.
Akan tetapi karakteristik dari patologi jaringan lunak intrakranial dan saraf kranial akan
sulit diperiksa menggunakan CT, untuk kasus ini pemeriksaan yang dipilih adalah MR.
kekurangan lain dari pemeriksaan menggunakan CT adalah paparan radiasinya yang cukup
tinggi sehingga penggunaannya sangat terbatas pada pasien anak – anak.
MRI menampilkan kontras dan resolusi jaringan lunak dengan sangat baik. Oleh karena
itu modalitas ini baik untuk pemeriksaan struktur tulang temporal yang nonosesus, termasuk
ruangan yang berisi cairan (cairan serebrospinal, labirin membranaseus), saraf, otot,
kartilago dan lemak. Tidak seperti pemeriksaan CT, penggunaan kontras (dengan
menggunakan Gandolinum) sangat baik digunakan untuk melihat struktur tulang temporal.
Tumor yang menyebar secara perineural, vascular dan ekstensi ke intracranial, atau proses
infeksi lebih baik ditunjukkan dengan MRI daripada menggunakan CT. meskipun CT lebih
superior dibandingkan MR dalam mengevaluasi erosi tulang kortikal, MRI lebih superior
dalam mengevaluasi invasi ke sumsum tulang, terutama pada basis kranii dan apex petrosus.
Pada referat ini, pemeriksaan menggunakan modalitas MRI tidak dibahas.
17
BAB IV
Gambar 21. Potongan koronal citra CT pasien 73 tahun dengan kolesteatoma, pasien
ini memiliki riwayat erosi tulang kronis pada kanalis auditorius eksternus. Gambar
diatas menunjukkan soft tissue sepanjang dinding inferior EAC (*), menyebabkan erosi
tulang (panah).
Temuan imaging pada lesi ini tidak spesifik dan mungkin menyerupai kelainan
lain seperti karsinoma atau otitis eksterna, meskipun begitu, oleh karena itu penting
bagi dokter radiologi untuk mengetahui gejala klinis pasien sehingga dapat memberikan
gambaran penyakit apa yang sedang diderita oleh pasien tersebut 7.
18
4.1.2. KERATOSIS OBTURANS
Otitis eksterna necrotizing / malignan muncul paling sering pada pasien lanjut
usia dengan riwayat diabetes mellitus dan pasien dengan gangguan system imun.
Pasien biasanya mengeluhkan otalgia yang parah dan otorhea. Penyakit ini memiliki
angka mortalitas yang tinggi 8. Infeksi ini pada umumnya disebabkan oleh
Pseudomonas aeruginosa. Secara klinis tampak adanya jaringan granulasi pada
inferior kanalis auditorius eksternus di bone – cartilagineous junction. Infeksi dapat
menyebar melalui fisura santorini ke soft tissue dibawah basis kranii, sehingga dapat
menyebabkan osteomyelitis, yang mana dapat menyebabkan kranial neurophati. Pada
citra CT scan, tampak penebalan soft tissue pada kanalis eksternal dan sering kali
disertai destruksi dan inflamasi pada os mastoid. Osteomyelitis pada basis kranii
merupakan hasil dari proses destruksi yang mencapai clivus, foramen jugular dan
jaringan soft tissue prevertebral (Gambar 23) 1. Abses dapat terbentuk di ruang
19
epidural, parenkim otak dan ruang prevertebral akibat komplikasi penyakit ini. MR
dan CT merupakan pemeriksaan imaging yang tepat untuk penyakit ini, dengan bone
window pada pemeriksaan CT dapat menunjukkan proses destruksi tulang dengan
baik, dan MR dapat menunjukkan jaringan soft tissue yang terlibat akibat komplikasi
penyakit ini. Diferential diagnosis penyakit ini meliputi, nasofaring carcinoma
dengan obstruksi sekunder pada oorrificium tuba eustachii yang mengakibatkan
otomastoiditis 2.
Gambar 23. Gambar CT Scan pada wanita 93 tahun dengan otitis eksterna maligna
dan riwayat diabetes mellitus. Citra CT potongan axial menunjukka adanya opsitas
pada mastoid air cell kanan. Tampak adanya erosi pada region petroclival di sebelah
kanan (panah).
Otitis media akut merupakan penyakit yang sering menyerang bayi dan anak –
anak. Pada pemeriksaan umumnya didapatkan demam, otalgia dan benjolan
kemerahan pada membran timpani. Infeksi ini biasanya disebabkan oleh
Streptococccus sp. Atau Haemophilus influenza 2. Pemeriksaan imaging umumnya
tidak dibutuhkan pada penyakit ini (uncomplicated otitis media). Jika pemeriksaan
imaging dilakukan, dapat terlihat adanya opasitas pada telinga tengah dan mastoid,
dengan kemungkinan dapat ditemukan fluid level pada area yang terkena. Komplikasi
berupa mastoiditis dicurigai secara klinis apabila pasien menunjukkan eritema, nyeri
dan edema pada postauricular. Pada kondisi ini, pemeriksaan imaging menjadi krusial
untuk menyingkirkan komplikasi yang muncul baik itu intratemporal maupun
intracranial. Mastoiditis koalesen menunjukkan adanya destruksi pada trabekula
mastoid, yang dapat meluas sampai ke dalam ataupun luar korteks baik dengan jalan
20
resorpsi enzimatik ataupun tekanan erosi oleh mukosa yang terinflamasi (Gambar
24) 1. Jika memang terdapat destruksi pada korteks sisi sebelah luar mastoid, abses
subperiosteal dapat muncul di jaringan soft tissue dan pasien akan mengeluhkan
adanya benjolan berisi pus di postaurikular (Gambar 25). Abses Bezold dapat
muncul apabila terdapat defek tulang pada mastoid tip disebelah medial insersi
muskulus digastricus (Gambar 26)1. Reaksi inflamasi selanjutnya dapat terjadi jauh
sampai ke muskulus sternokleidomastoideus. Pada anak – anak, mastoid tip biasanya
tidak berisi rongga udara; sebagai hasilnya abses Bezold pada anak – anak, cukup
jarang terjadi9.
Saat muncul, petrosus apex air cell terhubung dengan mastoid air cell melalui
banyak saluran udara supra dan infra labirin yang dapat memfasilitasi penyebaran
infeksi dari mastoid air cell dan telinga tengah ke apex petrosus, menyebabkan
petrosus apicitis9. Streptococcus pneumonia, Hemophilus influenza, dan
Staphylococcus aureus merupakan penyebab paling umum dari penyakit ini1.
Petrosus apicitis terjadi pada kondisi dimana apeks petrosus berisi udara (kelainan ini
muncul pada 30% populasi). Kelainan ini ditandai dengan destruksi pada septal dan
kortikal os petrosus, osteitis dan inflamasi pada lapisan meningen didekatnya 10.
Karena lokasi apeks petrosus yang berdekatan dengan nervus V dan VI, maka
pasien dapat terkena nerve palsy pada nervus VI dan nyeri retroorbital akibat
otomastoiditis dan petrosus apicitis yang mengenai nervus V1. Kumpulan temuan ini
dinamakan Gradinego syndrome. Temuan pada gambaran CT petrosus apecitis antara
lain gambaran opaq pada apex petrosus disertai fluid levels dan destruksi pada septa
21
sebelah dalam dan pada korteks apeks petrosus (Gambar 23). Pada gambar MR,
enhance pada mengingen lebih mudah diamati.
Gambar 26. Citra CT pada pasien laki laki 78 tahun dengan infeksi pada telinga
kanan dan didapatkan petrous apicitis. (a) gambar CT potongan axial menunjukkan
opasifikasi pada air cell apex os petrosus kanan dengan atenuasi pada soft tissue
(panah). Di gambar ini juga tampak opasifikasi mastoid yang tersebar. Sebagai
perbandingan apeks petrosus berongga yang normal berada di sisi sebelah kiri. (b)
gambar CT potongan koronal menunjukkan gambar destruksi pada os petrosus yang
lebih baik (panah).
22
Osteomyelitis dapat muncul pada apeks petrosus yang nonpneumatized
melalui kontak langsung dari penyebaran ke arah medial oleh necrotizing otitis
eksterna atau secara retrograde oleh karena thrombophlebitis sepanjang pleksus vena
pada kanalis karotis petrosus. Komplikasi intracranial pada mastoiditis akut termasuk
thrombosis dural sinus venosus, paling sering pada sinus sigmoid dan sinus
transversus (Gambar 22), abses epidural, subdural empiyema, meningitis dan abses
otak1.
Inflamasi kronis pada telinga tengah dikenal sebagai otitis media kronis atau
kronis osteomastoiditis apabila terdapat keterlibatan os mastoid. Kelainan ini
memiliki gejala, tanda dan temuan klinis yang bervariasi yang diakibatkan oleh
kerusakan jangka panjang pada telinga tengah akibat infeksi dan inflamasi.
Mekanisme yang umum terjadi pada terbentuknya otitis media kronis antara lain
disfungsi pada tuba eustacii dan perforasi membrana timpani. Sequele yang perlu
diperhatikan pada otitis media kronis antara lain efusi pada telinga tengah, granulasi
jaringan, granuloma kolesterol dan kolesteatom. Pada gambar CT, semua lesi diatas
memiliki penampilan yang sangat mirip satu dengan yang lain. Jaringan granulasi
merupakan sequele inflamasi pada telinga tengah dan mastoid. Kelainan ini melapisi
struktur telinga tengah, tetapi tidak menghancurkan atau menggantikan jaringan yang
ada dan tidak ada efek masa (pendesakan). Penyangatan jaringan granulasi meningkat
secara intens karena memiliki vaskularisasi yang banyak. Pada pemeriksaan MR
dengan gandolinum, kelainan ini mudah terlihat. Namun pada gambaran CT,
penyangatan pada kelainan ini cukup sulit untuk dinilai 9.
Pada disfungsi tuba eustacii, dapat terjadi tekanan negatif atau venomena
vakum pada kavum telinga tengah, yang menyebabkan edema mukosa dan pecahnya
pembuluh darah. Pemecahan dari eritrosit dan jaringan yang melepaskan kolesterol
akan memicu reaksi jaringan asing yang akan mengarah ke terbentuknya formasi
granuloma kronis, yang dikenal sebagai kolesterol granuloma 4. Lesi ini juga disebut
sebagai kista kolesterol, kista coklat atau kista kubah-biru. Lokasi umum tempat
munculnya lesi ini meliputi telinga tengah dan apeks petrosa; bisa juga (jarang) terjadi
di cavum mastoid. Apabila mengenai telinga tengah, maka pada pasien didapatkan
membran timpani yang kebiruan, hemotimpanum atau hearing loss tipe konduktif 11.
Pada apeks petrosa, lesi ini asimtomatik, terkadang pasien dapat memiliki gejala
seperti vertigo, dizziness atau kranial neuropati yang terkait dengan nervus V, VI, VII
dan VIII. Pada apeks petrosa, sebuah lesi yang ekspansil dapat terlihat pada CT scan
(Gambar 27). Diagnosis diferential yang penting diketahui untuk kelainan ini adalah
adanya cairan atau efusi pada apeks petrosa. Namun, meskipun efusi hampir
menyerupai granuloma kolesterol, efusi tidak menyebabkan ekspansi atau dekstruksi
pada apeks petrosa yang terlihat dengan sangat baik pada pemeriksaan CT (gambar
28) 1
23
Sumber: RSNA, 2013
Gambar 27. Gambar granuloma kolesterol. (a) Gambar CT potongan axial pada pasien
wanita 37 tahun dengan diplopia dan nyeri kepala, menunjukkan adanya masa
ekspansile pada apeks petrosa kiri dengan margin tulang yang tidak terlihat (panah).
Gambar 28. Citra CT potongan aksial efusi apeks petrosa pada pasien 36 tahun
dengan sensorineural hearing loss sebelah kanan, menunjukkan opasifikasi PADA
apeks petrosa kanan (*). Kelainan tersebut tidak menunjukkan batas yang ekspansil,
sehingga membedakannya dengan mucocele apeks petrosa atau granuloma kolesterol.
Septasi internal dan korteks terlihat utuh, membedakannya dengan apicitis petrosa.
24
4.2.4. KOLESTEATOMA TELINGA TENGAH
Sekitar 80% dari acquired kolesteatoma terjadi di pars flacida, yang mana
merupakan bagian membrana timpani yang longgar yang membentuk bagian superior
dari gendang telinga. Sekitar 20% sisanya berkaitan dengan pars tensa membran
timpani. Kolesteatoma kongenital muncul pada pasien anak – anak tanpa ada riwayat
otorhea, perforasi membran timpani atau pasca tindakan otologik. Di apeks petrosa,
kolesteatoma acquired maupun kongenital. Kedua kolesteatoma, baik kongenital
maupun acquired tampak terlihat sebagai lesi putih seperti mutiara pada pemeriksaan
otoskopi 6. Secara klinis, pasien dengan kolesteatoma yang didapat memiliki gejala
dan tanda berupa othorea yang berbau busuk, perforasi membrana timpani, dan
kantong retraksi pada pars flaccida membrana timpani. Kolesteatoma kongenital
mungkin didapatkan secara tidak sengaja pada pasien yang asimtomatik atau pada
pasien dengan tuli tipe konduktif 4.
25
Sumber: RSNA, 2013
Gambar 29. Citra CT potongan koronal pada wanita 56 tahun dengan pars flacida
kolesteatoma pada pemeriksaan klinis didapatkan kantong retraksi yang dalam. Gambar
menunjukkan jaringan lunak berlobus pada ruang Prussak (mata panah) dan atapnya
(*), menggeser ossikula ke medial dan mengerosi skutum (panah).
Gambar 30. Citra CT potongan koronal dari pasien pria 31 tahun dengan kolesteatoma
pars tensa dengan gangguan pendengaran sisi kiri dan ditemukan adanya kantung
retraksi pada pemeriksaan klinis. Gambar CT menunjukkan adanya masa di medial dari
osikula (*), menggeser osikula ke lateral. Scutum masih tampak tajam (panah), berbeda
dengan kolesteatoma pars flaccida.
26
Sumber: RSNA, 2013
Gambar 31. Citra CT dari automastoidektomi pada pria 51 tahun dengan riwayat
otitis media kronis yang berlangsung lama disebelah kiri. Gambar menunjukkan
rongga besar (*) di telinga tengah dan antrum mastoid, dengan ossikula yang non
visualized. Ada sejumlah kecil residu jaringan lunak yang inflamasi. Tidak ada
riwayat operasi.
Komplikasi yang umum pada kolesteatoma antara lain erosi atap telinga
tengah (tegmen timpani), dengan atau tanpa mengingoencephalocele; erosi pada
kanal tulang wajah di bagian timpanic atau di bagian mastoid; dan erosi tulang yang
menutupi kanalis semisirkularis lateral, yang dapat mengakibatkan terhubungnya
telinga tengah dan telinga dalam, yang dikenal sebagai fistula labyrintin atau fistula
perilympathic 4.
4.3.NERVUS FACIALIS
Bell palsy mengacu pada kelumpuhan saraf wajah tanpa penyebab yang dapat
diidentifikasi. Inflamasi diduga akibat virus, dengan kemungkinan penyebab
terseringnya adalah peradangan virus herpes simpleks. Penyakit ini ditandai dengan
onset kelumpuhan saraf yang sangat cepat, yang berlangsung dari beberapa jam
sampai beberapa minggu (3 minggu) 6. Pada 80% gejala pasien membaik secara
27
spontan; jika gejala menetap selama lebih dari 3 minggu, penyebab lain seperti
neoplasma harus diselidiki dan penyelidikan mencakup pemeriksaan MR 1.
Ramsay hunt syndrome juga dikenal sebagai herpes zoster oticus. Kelainan ini
diduga kuat akibat reaktivasi virus varicella zoster laten di ganglion genikulatum.
Reaktivasi dapat terjadi pada pasien dengan kondisi immunocommpromise, penyakit
systemic atau usia tua. Secara klinis, pasien mengeluhkan rasa sakit seperti terbakar
di telinga; keluhan ini diikuti dengan erupsi vesicular, paralisis facial, hearing loss
dan vertigo 1- 4 hari kemudian. Pada gambar MR, didapatkan ada saraf kranial VII
dan VIII, labirin dan/atau nucleus facialis di pons 4 .
Inflamasi pada telinga dalam atau labirintis dapat terjadi akibat infeksi (viral
atau bakterial) atau dapat juga karena proses autoimun atau post trauma. Labirintis
osifikan merupakan tahap akhir dari labirintis, dimana terdapat ossifikasi patologis di
dalam lumen tulang labirin (yang terdiri dari koklea dan system vestibularis). Regio
yang paling sering tempat terjadinya ossifikasi koklear terjadi di skala timpani tepatnya
di basal, dan kasus yang paling ekstensif dilihat sebagai komplikasi dari mengitis.
Perkembangan labirintis terdiri atas 3 stadium: akut, fibrinous dan ossifikasi (labirintis
ossifican). Pada stadium akut, enhancem pada telinga dalam teridentifikasi pada
pemeriksaan MR, akan tetapi pada pemeriksaan CT dapat terlihat normal. Pada
labirintis stadium fibrous gambaran CT masih terlihat normal. Pada stadium lanjut yaitu
ossifikasi, pemeriksa dapat melihat perubahan nilai atenuasi pada koklea, vestibula dan
kanalis semisirkularis (gambar 32). Pada pemeriksaan labirintis osifikan, pemeriksaan
menggunakan MR lebih baik daripada menggunakan CT 1.
28
Gambar 32. Citra CT potongan axial dari pasien dengan labirintis osifikan dan riwayat
meningitis. Gambar menunjukkan obliterasi dari koklea kiri (panah hitam) dan
vestibula (panah putih) karena tulang yang sklerotik. Perubahan yang sama juga tampak
pada sebelah kanan (tidak ditunjukkan).
29
BAB V
Untuk memeriksa tumor pada tulang temporal, akan sangat membantu kita melokalisasi
lesi ke area berikut karena masing – masing area tersebut menggambarkan kondisi patologis
yang unik satu dengan yang lainnya. Area tersebut antara lain: (a) telinga
dalam/cerebellopontin angle, (b) telinga tengah, (c) telinga luar dan mastoid, dan (d) apek
petrosus 6.
Masa yang paling umum pada area ini adalah vestibular schwannoma, meningioma,
dan nonvestibular fosa posterior schwanoma (trigeminal, facial dan
glossopharyngeal). Keganasan yang cukup jarang antara lain seperti kista arachnoid,
lipoma, dermoid, dan metastasis. Sebagai tambahan, tumor yang berhubungan dengan
tulang petrosus (chondrosarkoma) dan otak (glioma) dapat meluas sampai ke telinga
dalam 4.
Tumor yang paling umum di telinga dalam adalah schwanoma vestibular (60% -
90% pada area ini). Penyakit ini juga umum ditemukan pada selubung saraf intracranial.
Insidensi paling tinggi pada decade ke 5 hingga 7. Pasien datang dengan keluhan
gangguan pendengaran sensorineural, tinnitus, gangguan keseimbangan atau gangguan
bicara, akibat tekanan tumor pada koklea dan cabang vestibular nervus VIII.
Manifestasi ke nervus facialis relatif jarang. Tumor yang bertambah besar dapat
menekan nervus trigeminalis (menyebabkan mati rasa di wajah), nervus kranialis
dibawahnya (menyebabkan cerebellar sign), atau ventricel empat (menyebabkan
hidrosefalus) 3.
30
dengan pendengaran yang buruk atau tumor yang berukuran sangat besar. Alternatif
lain adalah menggunakan radiosurgery dapat dipertimbangkan, terutama apabila pasien
beresiko tinggi, dengan tumor bilateral, atau pasien dengan tumor residual10.
Gambar 33. Pemeriksaan CT scan dengan kontras menunjukkan adanya massa CPA
yang pelebaran pada meatus akustikus internus (trumpeted internal caoustic meatus
sign) mengesankan suatu vestibular schwanoma
5.1.2. MENINGIOMA
Pada gambar CT, meningioma tampak hiper atau iso atenuasi dibandingkan
parenkim otak dan tampak terkalsifikasi. Sclerosis atau hyperostosis pada tulang yang
berdekatan dapat terlihat. Pengobatan paling utama adalah dengan reseksi bedah,
31
bersama radiasi sebagai terapi ajuvan atau alternative terapi. Namun rekurensi local
tidak jarang terjadi11.
5.1.3. EPIDERMOID
32
Gambar 35. Pemeriksaan CT scan tanpa kontras. Pada CPA kanan terlihat adanya
masa dengan nilai atenuasi yang hampir menyerupai nilai atenuasi CSF. Gambar ini
mengesankan suatu kista epidermoid pada CPA kanan.
Ketika masa jaringan lunak terlihat di telinga tengah, struktur vaskuler harus di
exclude kan. Struktur yang dimaksud termasuk arteri stapedial persisten, arteri carotis
yang aberrant, aneurysma arteri carotis, dan dehiscent jugular bulb yang terekspos.
True neoplasma yang muncul pada telinga tengah salah satunya adalah paraganglioma
(paling sering); lesi pada nervus facialis yang menyebar ke telinga tengah seperti
schawnoma dan hemangioma region genikulata, choristoma dan tumor yang menyebar
melalui perineural; meningioma; tumor adenomatosa tipe mixed; dan keganasan seperti
karsinoma dan metastasis (jarang). Kebanyakan choriostoma di telinga tengah terdiri
dari kelenjar air ludah, dan kelainan ini dapat menyebabkan kelainan pada
incudostapedial atau nervus facialis di kavum timpani4.
Tumor adenomatosa tipe Mixed juga dikenal dengan nama adenoma telinga
tengah. Kelainan ini merupakan tumor jinak yang tidak menunjukkan invasi pada
tulang. Pada CT, temuan bisa saja hanya berupa opasitas di kavum telinga tengah, dan
tumor ini sulit dibedakan dengan otitis media (Gambar 33). Pada pencitraan MR,
adenomatosa tampak hipointense pada T1-weighted image, hiperintese pada T2-
weighted image, dan menyangat pada pemberian material kontras1.
Gambar 36. Gambar CT potongan coronal adenoma telinga tengah pada wanita 48
tahun dengan 6 bulan riwayat sensasi tertekan pada telinga kanan. Tampak adanya
atenuasi pada soft tissue di telinga tengah tanpa erosi tulang disekitarnya (panah).
Pasien mendapatkan tindakan timpanoplasti dan biopsy masa dan total reseksi masa
adenoma.
33
5.2.1. PARAGANGLIOMA
Paraganglioma adalah tumor dengan vaskularisasi yang banyak, oleh sebab itu
tumor ini tampak menyangat pada pencitraan. Glomus timpanicum paraganglioma
biasanya ditemukan berlawanan dengan promontorium koklea dan biasanya ditemukan
dalam ukuran yang kecil pada pemeriksaan karena biasanya tumor ini langsung
memberikan gejala otologic meskipun masih baru dan berukuran kecil (Gambar 37).
Sangat penting untuk memeriksa perbatasan dari foramen jugular untuk menyangkirkan
diagnosa glomus jugulotimpanikum; karakteristik dari glomus yang melibatkan
foramen jugularis adalah tampak lesi litik local atau dekstruksi tulang yang permeatif
yang dapat terlihat dengan baik pada pemeriksaan CT scan (Gambar 38). Masa soft
tissue akan lebih baik diamati dengan pencitraan MR, akan tampak penyangatan yang
tajam pada masa yang diamati. Pada tumor yang lebih besar, pada pencitraan MR T-1
dan T-2 weighted akan tampak gambaran”salt and peper”. Pada pemeriksaan
angiography, arteri yang membesar dan memperdarahi tumor dapat terlihat. Pada tumor
timpanicum, perdarahan yang terjadi minimal, dan embolisasi preoperative tidak
diindikasikan. Akan tetapi embolisasi angiography dan embolisasi pada pada tumor
jugulotimpanicum sering dilakukan untuk mengulangi resiko perdarahan.
34
Sumber: RSNA, 2013
Gambar 37. Pada citra CT potongan koronal glomus timpanicum menunjukkan nodul
kecil berbentuk bulat di telinga tengah yang berbatasan dengan promontorium koklea
(panah). Pasien wanita 50 tahun dengan riwayat otitis media kronis. Pada pemeriksaan
otoskopi, tampak masa eritema berukuran 2 mm dan dicurigai merupakan glomus
timpanikum.
35
4 tahun tumor semakin membesar dan muncul gejala paralisis pita suara menunjukkan
keterlibatan nervus vagus. Pasien ini menerima terapi radiasi proton beam.
Tumor pada regio kanalis auditorius eksternus dan mastoid biasanya malignan,
dengan tumor sel skuamosa sebagai tumor yang paling sering terjadi. Pasien dengan
tumor sel skuamosa pada kanalis auditorius eksternus biasanya memiliki riwayat
infeksi telinga kronis. Terdapat dekstruksi tulang yang agresif dan mungkin ada invasi
ke soft tissue disekitarnya termasuk intracranial, inframastoid, telinga tengah, parotis,
karotis dan sendi temporomandibular (Gambar 36)1. Keganasan yang lain seperti basal
sel karsinoma, melanoma, limpoma, myeloma, metastasis, kondrosarkoma dan
osteosarcoma lebih jarang terjadi.
Dekstruksi tulang yang agresif dapat terlihat bersamaan dengan proses benigna dan
harus dipertimbangkan dalam menentukan diferential diagnosis nya. Diferential
diagnosisnya meliputi penyakit granulomatosa seperti histiositosis sel Langerhans,
tuberculosis dan Wegener granulomatosis. Infeksi yang agresif seperti otitis eksterna
maligna dan necrosis paska radiasi dapat dipertimbangkan sebagai diferential
diagnosis1
Gambar 39. Citra CT potongan axial karsinoma sel skuamos pada kannalis auditorius
eksterna dengan perluasan ke mastoid. Pasien wanita usia 64 tahun dengan infeksi
telinga kiri yang rekuren dan persiten yang tidak membaik meski sudah diberikan
antibiotik. Biopsi membantu menegakkan diagnosis. Gambar CT menunjukkan
dekstruksi tulang yang meluas dan melibatkan batas kanalis auditorius eksternus dan
mastoid (panah hitam), meluas sampai ke apex petrosus (panah besar). Ketebalan
kapsul otic relatif normal (mata panah putih). Soft tissue abnormal mengisi kanalis
36
auditorius eksternus, telinga tengah dan mastoid, meluas sampai ke fosa kranii posterior
(panah kecil). Aurikula terlihat menebal dengan batas yang ulseratif.
5.4.1. CHONDROSARCOMA
Gambar 41. Gambar tumor kantong endolimpatik pada pasien laki-laki 46 tahun
dengan keluhan vertigo dengan onset yang akut. Gambar CT potongan axial
menunjukkan lesi yang ekspansil yang menyebabkan destruksi tulang yang litik,
mengelilingi area disekitar akuaduktus vestibular. Spikula intramoral dapat terlihat
(panah).
Tumor jinak tersering yang menyerang nervus facialis adalah schawnnoma dan
hemangioma. Hal penting yang perlu dipertimbangkan pada tumor yang bersifat ganas
adalah tumor yang menyebar secara perineural sepanjang nervus facialis 1.
38
meningkatkan tekanan dari masa tumor. Masa tumor yang tumbuh di segmen karotis
dapat muncul sebagai masa di leher yang tidak nyeri6.
Pada pemeriksaan CT, tumor dapat terlihat ekspansil dan menyebabkan remodeling
halus pada kanal tulang disekitarnya. Pada pemeriksaan MR, masa tampak ekspansil
dan menyangat1. Tumor dapat memiliki penampakan seperti tubular, dan dapat muncul
lebih dari satu segmen atau dapat membentuk gambaran seperti ”sausage-link”, dengan
area yang relative sempit di sepanjang “link” nya tersebut. Di kanalis auditorius
internus, masa tumor schwannoma facialis sulit dibedakan dengan schwannoma
vestibular. Di region ganglion genikulatum, differential diagnosa meliputi hemangioma
dan meningioma.
5.5.2. HEMANGIOMA
39
Sumber: RSNA, 2013
Gambar 43. Gambar hemangioma pada regio genikulatum pada pasien wanita 48 tahun
dengan fasikulasi facial yang baru pada mata kanan, yang melanjut ke wajah bagian
bawah dan kelemahan global pada wajah kanan disertai synkinesis. Pada gambar CT
potongan axial menunjukkan masa ekspansil dengan spikula tulang intramoral (panah)
pada region ganglion genikulatum.
40
BAB VI
Fraktur pada tulang temporal biasanya terjadi pada petrosus Tulang temporal.
Dibagi menjadi longitudinal atau transversal, sering kompleks dengan komponen obliq
atau campuran. Fraktur longitudinall biasanya parallel dengan axis longitudinal dari
petrosus tulang temporal. Fraktur ini merupakan fraktur yang paling sering terjadi
(86%). Fraktur ini merupakan hasil dari cedera tumpul pada temporal-parietal.
Biasanya ekstralabirintin, dengan kapsul otik yang biasanya tidak terkena. Tuli
sensorineural tidak umum terjadi. Pada fraktur ini pasien cenderung beresiko tinggi
untuk terjadi tuli konduktif akibat dari ruptur membran timpani, hemotimpani atau
disrupsi tulang osikular. Sering kali terdapat keterlibatan dari nervus facialis (first genu)
lebih umum terjadi tetapi tidak sesering pada fraktur transversal. Terdapat dua buah
subtype: subtype anterior: melibatkan fossa glenoid; subtype posterior: fossa glenoid
tidak terkena4.
Hal yang perlu diperhatikan, 15% dari fraktur tulang temporal disertai dengan
kebocoran cairan cerebrospinal, 10% dari fraktur di daerah Tulang temporal
menyebabkan cedera nervus VII. Kebanyakan fraktur Tulang temporal merupakan
fraktur obliq.
Temuan CT lebih baik diamati pada potongan axial. Penting untuk memeriksa batas
kompartemen yang menghadap intrakranial karena potensi adanya kebocoran cairan
cerebrospinal. Penting untuk memeriksa kanalis auditorius internus, nervus facialis dan
rantai ossicular (nervus facialis umumnya cedera di fossa genikulatum).
Pneumolabirintin dapat ditemukan apabila terdapat hubungan antara labirin pars
membranaseus dengan telinga tengah atau mastoid. Pemeriksaan MR tidak dilakukan
secara rutin. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan komplikasi intrakranial
pada kasus trauma yang parah. Sekuensi GRE berguna untuk mendeteksi adanya
perdarahan. Pilihan utama pemeriksaan pada fraktur tulang temporal adalah CT Bone
window potongan axial dan coronal. Pemeriksaan MR direkomendasikan apabila
terdapat komplikasi intrakranial4.
41
Diferential diagnose pada fraktur temporal adalah adanya pseudofraktur.
Pseudofraktur adalah suatu kondisi anatomis yang fisiologis yang pada pemeriksaan
imaging tampak menyerupai fraktur. Contoh pseudofraktur antara lain: ekstrinsik
sutura-fisura (sutura occipitomastoid), fisura intrinsic (fisura petrotympanic) dan
saluran intrinsic (akuaduktus koklear-vestibular, canaliculus mastoid, kanal subcreate).
Akuaduktus koklear: paralel dan inferior dari kanalis auditorius internus, akuaduktus
ini mengandung perilimfe. Kanalikulus mastoid berada diantara foramen jugular dan
segmen mastoid dari kanal nervus VII, kanalikulus ini mengandung saraf dari Arnold
(cabang nervus X). Kanalikulus timpani inferior berorientasi vertical diantara kanal
karotis dan foramen jugular, kanalikulus ini mengandung nervus Jacobson (cabang
nervus IX) dan arteri timpani inferior (cabang kanalis auditorius eksternus). Kanalis
singular biasanya parallel dan posteroinferior dari kanalis auditorius internus 3.
Penyebab dari fraktur temporal adalah cedera kepala tumpul. Fraktur tulang
temporal merupakan fraktur yang paling sering pada basis kranii. 20% pasien dengan
fraktur kranial juga memiliki fraktur pada tulang temporal. 2.5% dari fraktur tulang
temporal tidak melibatkan kapsul otic. 10% berhubungan dengan kerusakan nervus 7,
dan 85% kerusakan nervus 7 berada di segmen ganglion genikulatum6.
Temuan klinis yang sering ditemukan pada pasien ini adalah hemotimpanum,
dengan gejala akut berupa darah dan/atau cairan cerebrospinal mengalir dari kanalis
auditorius eksternus dengan cedera kepala yang signifikan, paralisis nervus VII. Gejala
subakut nya berupa tuli yang persisten, bahkan setelah terapi. 9
Gambar 44. Klasifikasi tradisional fraktur tulang temporal. Citra CT potongan axial
menunjukkan (a) fraktur longitudinal dan (b) fraktur transversal pada dua pasien
berbeda. Fraktur longitudinal parallel dengan axis longitudinal dari pyramid petrosus
(panah a) dan transversal dari bagian mastoid tulang temporal. Fracture transversal
42
berorientasi perpendicular dengan pyramid petrosus (panah b) dan transversal dengan
basal koklea (mata panah b)
43
Sumber: RSNA, 2013
44
Temuan citra CT pada disrupsi incudospadial berupa pelebaran abnormal dan/ atau
distraksi dari sendi incudostapedial, paling baik diamati pada citra CT potongan axial.
Dislokasi inkus bervariasi dari komplit sampai partial (dislokasi parsial disebut juga
sebagai subluksasi maleoincudal). Citra CT potongan axial tampak terpisahnya antara
“ice cream” (kaput malleus) dari “cone” nya (short procesus/prosesus brevis incus)13.
Dislokasi lateral membentuk huruf “Y” dengan caput malleus pada CT potongan
koronal. Disrupsi stapediovestibular didefinisikan sebagai displacement dari stapes ke
dalam vestibula. Seringkali disertai dengan kebocoran dari cairan perilimfe ke telinga
tengah3. Kelainan ini juga dikenal dengan nama fistula perilimfatik. Petunjuk citra
terbaik: tampak ossikular yang terlihat terdistorsi pada pasien dengan riwayat trauma
tulang temporal. MRI tidak memiliki peranan penting dalam mengevaluasi kerusakan
pada ossikular. MRI digunakan apabila dicurigai terdapat kelainan intracranial5.
Pemeriksaan imaging yang direkomendasikan pada kelainan ini adalah pemeriksaan
menggunakan CT scan potongan axial dan koronal (coronal images often not attainable
in severely injured patient). Hati – hati terlewat dalam mendiagnosa disrupsi ossikular
pada pemeriksaan CT Tulang temporal (fraktur yang konkomitan, hemotimpanum dan
cedera intracranial dapat mengaburkan temuan pada pemeriksaan imaging Tulang
temporal)4.
Diferential diagnosis dari dislokasi ossikular post trauma antara lain: deformitas
ossikular kongenital, atresia oval window, dan erosi ossikular sampai otomastoiditis
kronik. Deformitas kongenital ossikular merupakan kelainan yang sangat langka.
Atresia oval window merupakan bentuk dari stapedial dysmorphism, dimana segmen
nervus VII berada disebelah medial menuju ke oval window. Erosi ossikular dan
otomastoiditis kronis biasanya melibatkan bagian distal dari inkus6.
Kebanyakan pasien yang datang mengeluhkan tuli tipe konduktif (tuli konduktif
dapat persisten meskipun hemotimpanum membrana timpani sudah sembuh). Gejala
lain yang berkaitan antara lain paralisis nervus facialis, dizziness dan kebocoran cairan
serebrospinal6. Terapi bedah yang dianjurkan kepada pasien adalah ossiculoplasti, yaitu
rekonstruksi dari rantai osikular. Ossiculoplasti dianjurkan apabila tuli konduktif sudah
melebih 30 dB dan persisten selama lebih dari 6 bulan pasca trauma 3.
45
rhinorrhea cairan serebrospinal post traumatic adalah, pada otorhea cairan serebrospinal
terdapat disrupsi dari membran timpani sedangkan pada rhinorrhea cairan
serebrospinal, membran timpani tampak intak atau ada sumbatan pada kanalis
auditorius eksternus (cairan serebrospinal keluar anteroinferior melalui tuba eustachii).
Temuan klasik antara lain cairan di telinga tengah dan mastoid yang persisten
berminggu – minggu sampai ber bulan – bulan setelah trauma pada Tulang temporal
yang dibuktikan dengan pemeriksaan CT adanya fraktur pada tulang kortikalnya.
Kebocoran cairan serebrospinal tidak hanya dapat diakibatkan post trauma tetapi juga
dapat post bedah atau spontan6.
Tegmen timpani dan mastoid membentuk lantai dari fosa kranii media. Lantai ini
berfungsi sebagai barrier antara Tulang temporal dan otak. Permukaan duramater
berhadapan langsung dengan otak sementar permukaan mukosa menghadap ke telinga
tengah dan mastoid. Kerusakan pada tegmen cukup umum terjadi, akan tetapi tidak
signifikan apabila duramater tetap intak9. Kebocoran cairan serebrospinal post trauma
terjadi akibat adanya fraktur pada tegmen dengan atau tanpa cephalocele. Dimana
fraktur transversus lebih umum menyebabkan kebocoran dibandungkan fraktur
longitudinal3.
46
Sumber: RSNA, 2013
Gambar 48. Kebocoran cairan serebrospinal post trauma. Pada gambar CT potongan
axial tampak ada defek pada tegmen anterior (panah). pada pasien ini terdapat otorhea
dengan kebocoran cairan serebrospinal yang terjadi setelah trauma. Perhatikan pula
opasitas yang muncul pada Mastoid air cell akibat cairan serebrospinal (*).
Gejala yang muncul pada pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal adalah,
cairan yang keluar dari liang telinga luar. Gejala lain adalah tuli konduktif, nyeri kepala
(pneumocephalus, meningitis dan/atau abses ekstradural) dan test laboratorium
mengkonfirmasi bahwa cairan yang keluar dari telinga dalah cairan serebrospinal.
Terapi yang diberikan pada pasien antara lain antibiotic inisial, pemasangan drain dan
repair secara bedah. Kebanyakan pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal dapat
sembuh secara spontan, sehingga prognosisnya umumnya cukup baik 4. Akan tetapi
resiko untuk terjadinya meningitis meningkat apabila kebocoran terjadi lebih dari 1
minggu. Tindakan repair dengan bedah dilakukan apabila kebocoran cairan
serebrospinal berlangsung lebih dari 7-10 hari, meskipun pasien sudah dipasang drain
untuk diversi untuk menghindari resiko meningitis. Kelainan ini terkadang disertai
dengan komplikasi dari fraktur tulang temporal berupa meningocele dan encepalocele,
bila dicurigai terdapat kelainan ini maka pemeriksaan dengan menggunakan MR akan
lebih baik karena dapat menunjukkan parenkim otak dengan lebih baik 3.
Jika nervus facialis mengalami cedera, maka pasien akan segera merasakan paralisis
facialis. Cedera nervus facialis yang tertunda (delayed) umumnya diakibatkan karena
adanya hematoma, kontusio dan edema 3. Keparahan dan onset dari paralisis facialis
penting untuk menentukan prognosis. Facial paralisis yang tidak incompleteditangani
dengan observasi atau pemberian steroid dosis tinggi, dengan tindakan bedah
dipertimbangkan apabila memang tampak jelas adanya fragmen tulang yang menjepit
nervus facialis 2. Complete paralisis dapat menggambarkan kebutuhan untuk
47
dilakukannya tindakan bedah. Area perigeniculate lebih rentan untuk terjadinya cedera
karena adanya traksi dari nervus petrosa. Pada pemeriksaan CT, kita harus mencari
adanya garis fraktur yang melintasi nervus facialis dan fragmen tulang, ossikel atau
hematoma yang mendesak kanal facialis (Gambar 44) 4.
Gambar 49. Cedera pada nervus facialis. Gambar CT potongan axial menunjukkan
pembesaran pada fossa genikulatum (panah). Yang mana merupakan lokasi yang sering
terjadinya cedera nervus facialis. Selain itu tampak juga fraktur kompleks pada
temporal kiri.
48
BAB VII
KESIMPULAN
49
DAFTAR PUSTAKA
4. Swartz JD, Loevner LA. Imaging of the Temporal Bone. 4th ed. New York: Georg
Thieme Verlag; 2008.
5. John R. Haaga. Haga CT and MRI of the Whole Body-2 Volume Set,5th Edition.Pdf.
5th ed. New York: Mosby, Inc., an affiliate of Elsevier Inc; 2012.
6. Harnsberger HR, III RHW, Swartz JD, Patricia A Hudgins. Pocket Radiologist:
Temporal Bone Top 100 Diagnoses. Utah: Amirsys; 2003.
50