Anda di halaman 1dari 23

Clinical Science Session

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF RINITIS ALERGI

oleh:

Kelompok 3
dm. Jarvikson 0810312123
dm. Yulia Efni 1110311009
dm. Deasy Archika Alvares 1110313013

Preseptor:
dr. Effy Huriyati Sp. THT-KL

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA


LEHER
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Alergi adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh respon imun pada
paparan alergen berulang seperti serbuk sari, kutu, debu, makanan, dan lainlain. Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitifikasi dengan
alergen yang sama serta di lepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.1
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia yang sering
mengganggu orang dewasa ataupun anak-anak. The internasional Study of
Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) menyatakan bahwa kasus RA
diseluruh dunia memiliki banyak variasi di setiap negara dengan prevalensi
terendah terdapat di Iran 1,5% dan tertinggi di Nigeria 39,7%.3
Rinitis alergi sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien, produktivitas
dan aktivitas kegiatan, memberikan dampak ekonomi yang besar. Bahkan
beberapa orang dengan rhinitis alergi,sangat susah untuk keluar setiap pagi
atau ke daerah dingin. Orang-orang dengan rhinitis alergi perlu ditatalaksana
secara efisien,bukan hanya kearah medikamentosa saja,tapi perlu adanya
upaya preventif dan edukasi untuk orang-orang dengan rhinitis alergi.
Oleh karna itu,penulis tertarik untuk membahas tentang bagaimana cara
penatalaksanaan yang komprehensif pada penderita rhinitis alergi.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini membahas mengenai penatalaksaan secara komprehensif
tentang rhinitis alergi dimulai dari promotif,preventif,kuratif dan rehabilitative.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami mengenai rinitis
alergi dalam penatalaksanaannya secara komprehensif.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah dengan studi kepustakaan dengan
merujuk pada berbagai literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi hidung
2.1.1 Anatomi Hidung

Gambar 1. Anatomi Hidung


A. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke
bawah :15
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.
Nasalis pars allaris. Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar
dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks
(akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang
terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
-

Superior : os frontal, os nasal, os maksila

Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris


mayor

dan kartilago alaris minor

Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior


menjadi fleksibel.
Perdarahan15 :
1. Atas rongga hidung : cabang a. Karotis interna a. Oftalmika a. Etmoid
anterior dan posterior
2. Bawah rongga hidung : a. Maksilaris interna a. Sfenopalatina dan a.
Palatina mayor
3. Depan hidung : cabang a. fasialis
Persarafan15 :
-

Depan dan atas rongga hidung : n. Oftalmikus cabang n.

Nasosiliaris n. Etmoidalis anterior


Rongga hidung lainnya n. maksila

2.1.2 Mukosa Hidung


Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak

berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang
kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal
mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir
(mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang
penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan
banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.15
2.1.3 Fisiologi hidung
1.

Sebagai jalan nafas


Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas

setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk

melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi.
Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke
belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3.

Sebagai penyaring dan pelindung


Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan

bakteri dan dilakukan oleh :


a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan
dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring
oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.

4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun
untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.15
2.2 RINITIS ALERGI
2.2.1 Defenisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadinya paparan ulang dengan
alergen spesifik. Defenisi RA menurut WHO ARIA 2001 adalah kelainan pada

hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh igE. 1 Rinitis alergi (RA)
adalah inflamasi yang diperantarai igE dengan karakterisitik sumbatan hidung,
rinore, bersin dengan atau tanpa gatal pada hidung. Rinitis alergi juga bisa di
defenisikan sebagai inflamasi didalam hidung yang timbul bila seseorang
menghirup sesuatu yang menyebabkan alergi pada orang tersebut, contohnya bulu
binatang atau serbuk bunga, dengan gejala bersin, hidung gatal dan merah, hidung
berair dan post nasal drip.2
2.2.2 Epidemiologi
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia yang sering
mengganggu orang dewasa ataupun anak-anak. The internasional Study of
Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) menyatakan bahwa kasus RA
diseluruh dunia memiliki banyak variasi di setiap negara dengan prevalensi
terendah terdapat di Iran 1,5% dan tertinggi di Nigeria 39,7%. Banyak faktor yang
mempengaruhi tingginya prevalensi RA di dunia seperti riwayat keluarga dan
paparan dari lingkungan yang berhubungan secara kompleks. Kejadian rinitis
alergi di Indonesia menurut ISAAC memiliki prevalensi yang rendah yaitu hanya
5%.
2.2.3 Etiologi
Alergen adalah benda asing yang masuk ke dalam hidung dan dapat
mengaktifkan IgE. Alergen dibagi menjadi dua, indoor dan outdoor. Alergen
indoor biasanya menyebabkan RA tipe perennial dapat berupa bau dan bulu
binatang, tunga debu rumah, debu, kecoa. Tungau debu rumah dan debu biasanya

terdapat di karpet, sofa dan mainan anak-anak. Alergen outdoor biasanya


penyebab RA tipe seasonal berupa serbuk pohon, kayu, serta rumput.4
2.2.4 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dengan diikuti oleh tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Reaksi Alergi Fase Cepat dan Reaksi Alergi Fase Lambat
1.

Proses sensitisasi1
Kontak
pertama
dengan alergen
(sensitisasi)
Aktivasi
Th0

Makrofag
menangkap alergen
di mukosa hidung
Pelepasan sitokin
(IL1)

diubah jadi Th1


dan Th2
Th2 menghasilkan
sitokin (IL4 dan
IL13)
Proses sensitisasi

2.

Sitokin diikat di
limfosit B
Berikatan dengan
mastofit/ basofil

Antigen membentuk
komplek MHC II
Di presentasikan
pada sel Th 0
Aktivasi limfosit
B , produksi igE

IgE masuk ke
jaringan

Proses reaksi alergi1


Mukosa terpapar
alergen spesifik

IgE mengikat
alergen
Histamin
menyebabkan :

Degranulasi
mastofit/ basofil

Pelepasan mediator kimia


(Histamin, PG, Leukotrin,
Bradikinin
1. Rangsangan
saraf vidianus
gatal di hidung dan bersin
2. Hipersekresi sel goblet dan
kelenjar mukosa serta
peningkatan permabilitas
vaskuler Rinore
3. Vasodilatasi Sinusoid hidung
tersumbat

2.2.5 Klasifikasi Rinitis Alergi


Berdasarkan sifat berlangsungnya dahulu RA dibedakan menjadi dua:1,6
1. Rinitis alergi musiman ( seasonal, hay fever, polinosis)
Hanya ada di negara 4 musim, alergen penyebabnya spesifik yaitu serbuk
pollen.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun ( perennial)
Gejala muncul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim
sehingga dapat ditemukan sepanjang tahun.
Klasifikasi RA berdasarkan WHO ARIA 2001:1,6
Berdasarkan sifat berlangsungnya :
1. Intermitten ( kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu
2. Persisten ( menetap) : bila gejala lebih dari 4hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.
Berdasarkan derajatnya :1
1. Ringan : tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, olahraga, belajar, bekerja dan lain-lain.
2. Sedang-berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguang tersebut
2.2.6 Gejala Klinis

Cardinal simptom pada rinitis alergi musiman :4,5


1. Bersin berulang 10-20 kali
2. Hidung tersumbat
3. Rinore
4. Gatal di hidung
5. Gatal di mata, palatum, faring
Cardinal simptom rinitis alergi sepanjang tahun :
1. Demam
2. Hidung tersumbat
3. Kehilangan fungsi penghidu
4. Post nasal drip
5. Batuk kronik
6. Telinga terasa penuh
Gejala rinitis alergi pada setiap orang berbeda- beda tetapi yang paling
menggangu biasanya adalah hidung tersumbat. Bila klinis muncul 1x dalam
setahun dapat diarahkan ke rinitis alergi musiman, tetapi bila klinis muncul
berulang-ulang dalam satu tahun maka kemungkinan adalah rinitis alergi
sepanjang tahun.4,5
2.2.7 Diagnosis
Diagnosis RA ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang dilakukan.
1. Anamnesis
Gejala rinitis yang khas adalah rinore, bersin berulang, hidung tersumbat
dan gatal di hidung, post nasal drip kadang ditemukan. Gatal pada mata, faring,
kadang-kadang batuk.1,4,5
Anamnesis mengenai riwayat atopi pada keluarga dapat membantu
menegakkan diagnosis. Orang yang mempunyai riwayat atopi pada keluarga
cenderung lebih sensitif dan menghasikan antibodi IgE. Anak-anak dengan orang
tua mempunyai riwayat atopi lebih dari 50% cenderung akan menderita alergi.6

2. Pemeriksaan fisik
1. Rinoskopi anterior ditemukan konka udem, mukosa tampak pucat disertai
sertai sekret encer dan banyak.1
2. Ocular sign : terdapatnya bayang gelap di daerah bawah mata yang terjadi
karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung ( allergic shiner)
3. Nasal sign : Tampak anak sering menggosok-gosok hidung karena gatal
dengan punggung tangan ( allergic salute). Keadaan menggosok hidung
mengakibatkan timbul garis melintang di dorsum nasi sepertiga bawah
( allergic crease)
4. Pemeriksaan mulut dan faring, tampak gangguan pertumbuhan gigi ( facies
adenoid) pada anak serta, dinding lateral faring menebal..1,5
3. Pemeriksaan penunjang
1. Skin prick tets
Untuk mengetahui alergen penyebab alergi. Tes ini mempunyai
sensitifitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik.
Akan lebih ideal jika bisa dilakukan Intradermal Test atau Skin End Point
Titration Test bila fasilitas tersedia.7
2. IgE serum total.
Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis alergi
dan 75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rinitis
alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan
menurun pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai
pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk diagnostik.7
2.2.8 Tatalaksana Komprehensif
1. Promotif dan Preventif
Penanganan terbaik dalam kasus alergi adalah dengan menghindari alergen
penyebab.14 Walaupun secara evidenced basey d, menghindari allergen penyebab

pada rinitis persisten sedang-berat tidak memiliki makna yang signifikan tetapi hal
ini masih menjadi rekomendasi ARIA. Pada pasien dengan persisten sedang-berat,
kemungkinan alergen penyebab sudah multipel, sehingga akan sulit untuk
menghindari alergen penyebab.
Usaha promotif dan preventif yang dilakukan adalah
1. modifikasi lingkungan.
2. Menghindari alergen dapat dengan signifkan mengurangi gejala. Beberapa
cara untuk menghindari dan mengurangi kontak dengan alergen pada RA
musiman biasanya dengan cara menghindari aktivitas di luar rumah,
menutup kaca jendela rumah dan mobil.6
3. Mengontrol tungau debu rumah, bulu binatang serta alergen lain di dalam
rumah dapat dilakukan dengan cara :6
I.
II.

Mencuci bed cover dan seprai dengan air hangat


Tidak meletakkan perabot, karpet dan binatang peliharaan di area

III.
IV.

kamar tidur
Mengurangi kelembaban udara di bawah 50%
Pada lingkungan yang padat dapat dilakukan dengan cara

V.

membasmi kecoa
Untuk mengurangi alergen inhalan dapat digunakan pembersih
udara.

4. Menghindari makanan yang memicu alergi seperti kacang-kacangan, telur,


susu sapi ikan laut dapat menghindari terjadinya RA. 1,5 Pemeliharaan dan
peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam
menurunkan gejala alergis.

Tabel 1. Jenis alergen dan control lingkungan6


3.Medikamentosa
Klasikasi ARIA bertujuan untuk memudahkan penatalaksanaan pasien sesuai
dengan derajat berat ringan serangan serta frekuensi serangan. Berikut ini adalah
algoritme yang menunjukkan penatalaksanaan untuk tiap klasifikasi rinitis alergi.6

Gambar . Algoritme penatalaksanaan rinitis alergi ARIA6

Berikut ini adalah penjelasan mengenai obat-obatan dalam farmakoterapi


rinitis alergi:
1. Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan berkompetisi pada reseptor histamin H1 di
organ target.
a. Generasi pertama efek sampingnya berupa efek antikolinergik seperti
mukosa kering, jika digunakan penggunaan jangka panjang menyebabkan
toleransi, selain itu yang sering adalah efek sedasi. Contohnya
klorfeniramin, klemastin, dimetindene maleat, hidroksizin, ketotifen,
oxatomin, bromfeniramin, difenhidramin, tripolidin.
b. Generasi kedua tidak dapat melewati sawar darah otak sehingga tidak
memiliki efek sedasi, efek samping tersering adalah aritmia karena efek
antikolinergiknya. Contohnya adalah astemizol, terfenadin, setirizin,
loratadin, akrivastin, azelastin, desloratadin, ebastin, fexofenadine,
levosetirizin, loratadin, mekuitazin, mizolastin, rupatadin. Tabel 10 berikut
menunjukkan dosis antihistamin oral. Astemizol dan terfenadin telah
ditarik dari pasaran karena bersifat kardiotoksik. Walaupun antihistamin
generasi I lebih poten dibanding generasi II, tetapi generasi I tetap tidak
boleh diberikan jika generasi II tersedia.8,9,10

Tabel 2 . Dosis antihistamin9


2. Dekongestan
Dekongestan adalah agonis adrenergik yang mengakibatkan vasokontriksi
dan mengurangi kongesti nasal. Biasa digunakan topikal berupa tetes hidung atau
spray hidung. Mengakibatkan fenomena rebound sehingga bisa terjadi rinitis
medikamentosa jika digunakan lebih dari 7 hari. Sediaan oral berupa
pseudoefedrin, fenilpropalamin, fenilefrin. Efek samping penting berupa
hipertensi, insomnia, dalam penggunaannya biasa dikombinasikan dengan
antihistamin. Pseudoefedrin diberikan dengan dosis 240mg/hari pada dewasa.
Fenilefrin dosisnya 40mg/ hari pada dewasa. 10 Dekongestan intranasal seperti
oksimetazolin, xilometazolin mengurangi kongesti nasal. Dekongestan intranasal
direkomendasikan untuk terapi pada pasien dengan persisten sedang-berat.8,11
3.

Steroid
Steroid digunakan bukan karena dapat menghindarkan reaksi antibodi-

alergen tetapi untuk minimalisir respon inflamasi akibat pelepasan mediator

inflamasi serta mengurangi hiperaktivitas nasal. Tabel berikut menunjukkan dosis


steroid topikal nasal. (Tabel 11)8,9,10

Tabel . Steroid nasal topikal9


Steroid intranasal merupakan terapi lini pertama dan sangat efektif untuk
rinitis alergi yang persisten sedang-berat. Efek samping sistemik dari preparat
topikal steroid ini sangat rendah sehingga dapat digunakan dalam jangka lama.
Steroid oral hanya digunakan jika klinis dari persisten sedang-berat tidak
membaik tetapi hanya diberikan dalam jangka waktu pendek.8
4. Antikolinergik
Antikolinergik mengakibatkan sekresi mukus di mukosa hidung berkurang
sehingga bermanfaat untuk menangani rinore. Sediaan yang ada ipratropium
bromide spray, dosisnya 2 semprotan di masing-masing hidung 3x1 hari. Efek
samping sistemik tidak ada.10
5. Mast cell stabilizer
Kromolin semprot hidung merupakan stabilizer sel mast, dan mencegah
terjadinya degranulasi sel mast sehingga dapat mencegah reaksi alergi fase cepat
dan lambat. Pemberian dimulai dengan 1x semprotan pada masing-masing hidung
tiap 4 jam maksimal selama 2 minggu.10
6. Leukotriene reseptor antagonis

Inhibitor leukotriene memiliki efek menghambat reseptor sistenil


leukotriene, preparat ini memiliki toleransi yang baik sehingga dapat digunakan
baik dewasa maupun anak-anak. Efektif untuk semua gejala rinitis alergi. Contoh
preparat antileukotriene berupa montelukast, pranlukast, zafirlukast. Preparat
antileukotriene ini belum beredar di Indonesia. Leukotrien merupakan salah satu
jenis mediator yang dilepaskan dari reaksi imunologik pada rinitis alergi yang
berperan terhadap timbulnya kongesti hidung.12 Antagonis reseptor leukotrien
efektif untuk rinitis alergi intermiten dan rinitis alergi persisten. 9 99% Berikatan
dengan protein plasma, dan sedikit yang bisa melewati sawar darah otak.
Metabolismenya terjadi di hati, dengan enzim sitokrom p450 dan diekskresikan
lewat empedu. Efek sampingnya sangat sedikit dilaporkan hanya 2% dari seluruh
kejadian berupa nyeri kepala, insomnia, gangguan tidur.
Efektivitasnya sama dengan antihistamin jika digunakan monoterapi tetapi
jika dibandingkan dengan steroid intranasal masih kurang efektif. Penggunaannya
secara kombinasi dengan antihistamin generasi II sama efektifnya dengan steroid
intranasal monoterapi. Preparat tersedia dalam sediaan tablet 4 mg,5 mg, 10 mg.
Bayi- anak usia 5 tahun dosisnya 1x4 mg. Usia 6-14 tahun dosisnya 1x5 mg.
Dosis dewasa 1x10mg per hari.10
Dokter umum dapat memberikan terapi medikamentosa pada pasien rinitis
alergi, akan tetapi jika > 3 bulan setelah terapi medika mentosa diberikan tidak
ada perbaikan gejala maka tindakan selanjutnya adalah merujuk pasien ke
spesialis.13
4. Rehabilitatif

Penatalaksaan rehabilitatif pada rhinitis allergi diperlukan untuk


mengendalikan untuk kasus rhinitis allergi yang berat,dan mengganggu aktifitas
penderita. Terapi rehabilitatif pada rhinitis allergi ini,yaitu
a. Immunoterapi
Mekanisme immunoterapi dalam menekan gejala rinitis adalah dengan
cara mengurangi jumlah IgE, neutrofil, eosinofil, sel mast, dan limfosit T dalam
peredaran darah. Salah satu contoh preparat ini adalah omalizumab. Omalizumab
merupakan antibodi anti-IgE monoklonal yang bekerja dengan mengikat IgE
dalam darah.14
Penelitian menunjukkan, omalizumab berhasil menurunkan kadar IgE
bebas dan memperbaiki gejala rinitis. Uji klinis fase II memaparkan, dosis
omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu. Secrist H
dkk dalam Journal of Experimental Medicine 2006 memaparkan, immunoterapi
dapat mengurangi IL-4 yang diproduksi oleh limfosit T CD4 +. Dengan demikian,
produksi IgE pun akan berkurang.
b. Fototerapi
Alternatif terbaru yang ditawarkan bagi penderita rinitis yang tidak
mendapat respon perbaikan dengan terapi konvensional adalah fototerapi. Hal itu
dibuktikan oleh Koreck AI dkk seperti dikutip dalam Journal of Allergy and
Clinical Immunology 2005.8
Ide ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa fototerapi digunakan pada
beberapa penyakit kulit seperti psoriasis karena dapat merangsang apoptosis
limfosit T. Penelitian ini membandingkan kemampuan sinar ultraviolet dengan
cahaya tampak intensitas rendah (low-intensity visible light) dalam mengurangi

gejala rinitis. Subyek penelitian disinari sebanyak 3 kali per minggu selama 3
minggu. Dosis inisial sinar ultraviolet adalah 1,6 J/cm2 dan dinaikkan 0,25 J/cm2
setiap 3 kali pengobatan. Sedangkan cahaya tampak intensitas rendah diberikan
sebesar 0,06 J/cm2.
Hasilnya, gejala rinitis berkurang dan didapatkan pula penurunan jumlah
eosinofil, eosinophilic cationic protein (ECP) dan IL-5 pada kelompok sinar
ultraviolet daripada kelompok cahaya tampak intensitas rendah.
c. Pembedahan
Indikasi tindakan bedah terhadap pasien rinitis alergi yaitu :8
-

Hipertrofi konka inferior yang resisten terhadap pengobatan


Variasi anatomi tulang hidung dengan gangguan fungsi atau estetik
Sinusitis kronik sekunder akibat rinitis alergi
Bentuk berbeda dari poliposis unilateral hidung (polip koana, polip
soliter, sinusitis jamur alergi) atau polip hidung bilateral yang

resisten terhadap pengobatan


- Penyakit sinus jamur
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan jika
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.22 Teknik operasi endoskopi
minimal invasif saat ini telah dilakukan untuk hipertrofi konka. Tindakan bedah
laser saat ini juga telah dilakukan.8

DAFTAR PUSTAKA
1. Nina Erawati, Elise Kasakeyan dan Nikmah Rusmono. Rinitis Alergi. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher edisi 6.
FK UI; Jakarta. 2011
2. Siedman MD, Gurgel RK, Lin SY, Schwartz SR, Baroody FM, Bonner
JR,Dawson DE et al. Clinical Practic Guidline : Allergic Rhinitis.
American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery. America :
2014,vol 152 (S1-S43).
3. Sheikh J, Allergic Rhinitis. 2015. Avaible in: emedicine.medscape
4. Pinto JM, Naclerio RM. Allergic Rhinitis. In: Snow JB, Ballenger JJ.
Ballengers otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th ed. Spain: BC
Decker; 2003. p 724-755.
5. Dhingra PL. Allergi Rhinitis . In : Diseases of Ear, Nose and Throat. 4th ed.
Elsevier; 2010.
6. Shah SB, Emanuel IA. Non allergic and allergic rhinitis . In : Current
Diagnosis and Treatement in Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2 nd
ed. New York : Mc Graw Hill Medical; 2008. p 264-272.
7. Effy Huriyati, Al Hafiz. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi
yang disertai Asma Bronkial. Bagian THT-KL FK UNAND.
8. Bosquet J, Reid J, Van WC, Baena CC, Demoly P, Denburg J et al.
Management of allergic rinitis and its impact on asthma. USA:Allergic
Rinitis and its Impact on Asthma; 2007.
9. Stanford T. The pediatric allergic rhinitis. In: Mitchell RB, Pereira KD,
editors. Pediatric otolaryngology for clinician.New York: Humana Press;
2009.p. 113-8.
10. Mabri RL. Allergic rhinitis. In: Byron J, et al, editors. Head and neck
surgery otolaryngology. Volume 2. 3rd ed. Philadelphia: William & Wilkins;
2001. p.33.

11. Jan L, Bousquet J, Cagnani CEB, Bonini S, Canonica WG, Casale TB, et
al. Allergic rinitis and its impact on asthma (ARIA) 2010 Revision.
Canada:ARIA;2010.
12. Onerci TM. Diagnosis in otorhinolaryngology. Berlin: Springer Science;
2009.
13. Klimek L, Schendzielorz P. Early detection of allergic disease in
otorhinolaryngology. GMS Current Topics in Otorhinolaryngology.
2008;7:1-25.
14. Felix. Hidung Meler, di Balik Turunnya Kualitas Hidup. Antihistamin dan
kortikosteroid mengurangi terjadinya inflamasi minimal yang menetap
serta komplikasi rinitis alergi. Majalah Farmacia 2010, h.15
15. Damayanti Soetjipto, Endang Mangunkusumo dan Retno SW. Sumbatan
Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher edisi 6. FK UI; Jakarta. 2011

Anda mungkin juga menyukai