Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran

nafas kecil (bronkiolus). Pada anak < 2 tahun ditandai oleh sindrom klinik yaitu,

napas cepat, retraksi dada dan wheezing.1,2

Bronkiolitis merupakan infeksi saluran nafas tersering pada bayi. Paling

sering terjadi pada usia 2-24 bulan dan puncaknya pada usia 2-8 bulan. Sekitar 95%

kasus terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun dan 75% diantaranya dibawah usia 1

tahun. Bronkiolitis lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dibanding perempuan.

Sebanyak 11,4% anak berusia dibawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1-2 tahun di

Amerika Serikat pernah mengalami bronkiolitis. Bronkiolitis mencakup 17% dari

semua perawatan rumah sakit pada bayi. Frekuensi bronkiolitis di negara berkembang

hampir sama dengan di Amerika Serikat. Rerata insiden perawatan setahun pada anak

berusia dibawah 1 tahun adalah 21,7 per 1000 dan semakin menurun seiring dengan

pertambahan usia, yaitu 6,8 per 1000 pada usia 1-2 tahun.Sekitar 95% dari kasus

bronkiolitis disebabkan oleh invasi Respiratory syncytial virus (RSV).Penyebab lain

yaitu Adenovirus, virus influenza, virus parainfluenza, rhinovirus dan mikoplasma.

Cara transmisi yaitu melalu udara dan melalui kontak dengan permukaan yang

1
terkontaminasi. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis yaitu kadar antibodi yang rendah

pada darah tali pusar, usia, bulan kelahiran, pemberian Air susu ibu yang kurang

ataupun tidak ada, kondisi tempat tinggal yang padat, kembar, dan sosioekonomi

yang rendah.1,2

Bronkiolitis merupakan masalah kesehatan yang utama di Indonesia karena

masih tingginya angka kejadian pada anak anak balita . Di negara berkembang

bronkiolitis mencapai 25% - 50%. Angka kejadian ini lebih tinggi lagi pada musim

dingin (Yuswianto, 2010). Setiap tahun di perkirakan 4 juta anak balita meninggal

karena ISPA (terutama pneumonia dan bronkiolitis) di Negara berkembang (Said,

2010). Bronkiolitis mengakibatkan sekitar 20% - 30% kematian anak balita.

Prediktor untuk beratnya bronkiolitis meliputi prematuritas, adanya kelainan

jantung bawaan, adanya paparan asap rokok pasca natal, sianosis, saturasi oksigen <

90%, laju pernafasan > 70x/menit, adanya ronki, riwayat bronkopulmoner displasia.

Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara berkembang karena

rendahnya status gizi, sosioekonomi rendah, kurangnya tunjangan medis dan

penduduk yang padat.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

B. Defenisi

Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernafasan bagian bawah dengan

karakteristik klinis berupa batuk, takipnea, wheezing, dan / atau rhonki. Bronkiolitis

adalah sebuah kelainan saluran penafasan bagian bawah yang biasanya menyerang

anak-anak kecil dan disebabkan oleh infeksi virus-virus musiman seperti RSV.

Walaupun kata bronkiolitis berarti inflamasi bronkioles, hal ini jarang ditemukan

secara langsung, tapi diduga pada anak kecil dengan distres pernafasan yang memiliki

tanda-tanda infeksi virus.3 Di United Kingdom, kata ini digunakan secara lebih

spesifik. Penulis penelitian dari Universitas Nottingham mengambil definisi

konsensus dari “penyakit virus musiman dengan karakteristik demam, nasal

discharge, dan batuk kering dan berbunyi menciut. Pada pemeriksaan ada crackles

inspirasi halus dan / atau wheezing ekspirasi nyaring.3 Di Amerika Utara, bronkiolitis

biasanya digunakan secara lebih luas, tapi berhubungan dengan penemuan spesifik

berupa wheezing.3,4

Pedoman APP (American Academy of Pediatrics) mendefinisikan bronkiolitis

sebagai “sebuah kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda klinis termasuk prodromal

virus pernafasan atas, diikuti peningkatan wheezing dan usaha bernafas dari anak-

anak kurang dari 2 tahun”. Perbedaan ini penting, karena wheezing berulang pada

3
anak-anak yang lebih besar sering dicetuskan oleh virus-virus yang khas untuk

saluran pernafasan bagian atas, seperti rhinovirus.4

C. Anatomi

 Hidung

Hidung adalah organ indra penciuman. Ujung saraf yang mendeteksi penciuman

berada di atap (langit-langit) hidung di area lempeng kribriformis tulang etmoid

dan konka superior. Ujung saraf ini distimulasi oleh bau di udara. Impuls saraf

dihantarkan oleh saraf olfaktorius ke otak di mana sensasi bau dipersepsikan.

Ketika masuk dihidung, udara disaring, dihangatkan, dan dilembabkan. Hal ini

dilakukan oleh sel epitel yang memiliki lapisan mucus sekresi sel goblet dan

kelenjar mukosa.Lalu gerakan silia mendorong lapisan mukus ke posterior

didalam rongga hidung dan ke superior saluran pernapasan bagian bawah menuju

faring. Nares anterior adalah saluran-saluran didalam lubang hidung. Saluran-

saluran ini bermuara kedalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum hidung.

Rongga hidung dilapisi selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan

bersambung dengan lapisan farink dan selaput.

Pada proses pernafasan rongga hidung berfungsi secara khusus antara lain :

 Sebagai penyaring udara saat bernafas

 Dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa

 Sebagai system pertahan tubuh oleh kuman yang masuk melalui udara.

4
 Faring

Faring adalah pipa (saluran) berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai

persambungannya dengan oesofagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Bila ter

jadi radang disebut pharyngitis. saluran faring rnemiliki panjang 12 - 14 cm dan

memanjang dari dasar tengkorak hingga vertebra servikalis ke - 6. Faring berada di

belakang hidung, mulut, dan laring serta lebih lebar di bagian atasnya. Dari sini

partikel halus akan ditelan atau di batukkan keluar. Udara yang telah sampai ke faring

telah diatur kelembapannya sehingga hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu

tubuh. Lalu mengalir ke kotak suara (Laring).

Beberapa fungsi faring :

a. Saluran nafas dan makanan, faring adalah organ yang terlibat dalam sistem

pencernaan dan pernapasan: udara masuk melalui bagian nasal dan oral,

sedangkan makanan melalui bagian oral dan laring.

b. Penghangat dan pelembab, dengan cara yang sama seperti hidung, udara

dihangatkan dan dilembapkan saat masuk ke faring.

c. Fungsi bahasa, fungsi faring dalam bahasa adalah dengan bekerja sebagai

bilik resonansi untuk suara yang naik dari laring, faring (bersama sinus)

membantu memberikan suara yang khas pada tiap individu.

d. Fungsi Pengecap, terdapat ujung saraf olfaktorius dari indra pengecap di

epitelium oral dan bagian faringeal.

5
e. Fungsi Pendengaran, saluran auditori (pendengaran), memanjang dari

nasofaring pada tiap telinga tengah, memungkinkan udara masuk ke telinga

tengah. Pendengaran yang jelas bergantung pada adanya udara di tekanan

atmosfer pada tiap sisi membran timpani.

f. Fungsi Perlindungan, Jaringan limfatik faring dan tonsil laring menghasilkan

antibody dalam berespon terhadap antigen, misal mikroba. Tonsil berukuran lebih

besar pada anak dan cenderung mengalami atrofi pada orang dewasa.

Faring terbagi menjadi 3 bagian yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring.

a. Nasofaring

Bagian nasal faring terletak di belakang hidung dan di atas palatum molle. Pada

dinding lateral, terdapat dua saluran auditori, tiap saluran mengarah ke masing-

masing bagian tengah telinga. Pada dinding posterior, terdapat tonsil faringeal

(adenoid), yang terdiri atas jaringan limfoid.

b. Orofaring

Bagian oral faring terletak di belakang mulut, memanjang dari bagian bawah

palatum molle hingga bagian vertebra servikalis ke-3. Dinding lateral bersatu dengan

palatum molle untuk membentuk lipatan di tiap sisi. Antara tiap pasang lipatan,

terdapat kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsil palatin. Saat menelan, bagian

nasal dan oral dipisahkan oleh palaturn molle dan uvula. Uvula (anggur kecil) adalah

prosesus kerucut (conical) kecil yang menjulur kebawah dari bagian tengah tepi

bawah palatum lunak. Amandel palatinum terletak pada kedua sisi orofaring

posterior.

6
c. Laringofaring

Bagian laringeal faring memanjang dari atas orofaring dan berlanjut ke bawah

esofagus, yakni dari vertebra servikalis ke-3 hingga 6. Mengelilingi mulut esophagus

dan laring, yang merupakan gerbang untuk system respiratorik selanjutnya.

Suplay darah pada faring kebutuhan darah pada faring disuplai oleh beberapa

cabang dari arteri wajah. Aliran balik vena menuju vena fasialis dan jugularis

interna. Faring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang dibentuk oleh saraf vagus dan

glosofaringeal (parasimpatik) serta ganglia servikalis superior (simpatik).

Faringdilapisi oleh tiga jaringan yaitu membran mukosa, jaringan fibrosa, dan otot

polos.

 Laring

Terdiri dari rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot

yang mengandung pita suara, selain fonasi laring juga berfungsi sebagai pelindung.

Laring berperan untuk pembentukan suara dan untuk melindungi jalan nafas terhadap

masuknya makanan dan cairan. Laring dapat tersumbat, antara lain oleh benda asing

(gumpalan makanan), infeksi (misalnya difteri) dan tumor. Pada waktu menelan,

gerakan laring keatas, penutupan glotis (pemisah saluran pernapasan bagian atas dan

bagian bawah) seperti pintu epiglotis yang berbentuk pintu masuk. Jika benda asing

masuk melampaui glotis batuk yang dimiliki laring akan menghalau benda dan sekret

keluar dari pernapasan bagian bawah.

Fungsi laring :

7
a. Produksi suara, suara memiliki nada, volume, dan resonansi. Nada suara

bergantung pada panjang dan kerapatan pita suara. Pada saat pubertas, pita suara

pria mulai bertambah panjang, sehingga nada suara pria semakin rendah. Volume

suara bergantung padabesarnya tekanan pada pita suara yang digetarkan. Semakin

besar tekanan udara ekspirasi, semakin besar getaran pita suara dan semakin keras

suara yang dihasilkan.

b. Berbicara, bebicara terjadi saat ekspirasi ketika suara yang dihasilkan oleh pita

suara dimanipulasi oleh lidah, pipi, dan bibir.

c. Pelindung saluran nafas bawah, saat menelan, laring bergerak ke atas, menyumbat

saluran faring sehingga engsel epiglottis menutup faring. Hal ini menyebabkan

makanan tidak melalui saluran nafas bawah.

d. Jalan masuk udara, bahwa laring berfungsi sebagai penghubung jalan napas antar

farig dan trakea.

e. Pelembap, penyaring, dan penghangat, dimana proses ini berlanjut saat udara

yang diinspirasi berjalan melalui laring.

 Trakea

Trakea, merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20

cincin kartilago yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang terbentuk seperti C.

Trakea dilapisi oleh selaput lendir yang terdiri atas epitilium bersilia dan sel cangkir.

Trakea hanya merupakan suatu pipa penghubung ke bronkus. Dimana bentuknya

seperti sebuah pohon oleh karena itu disebut pohon trakeobronkial. Tempat trakea

8
bercabang menjadi bronkus di sebut karina. Di karina menjadi bronkus primer kiri

dan kanan, di mana tiap bronkus menuju ke tiap paru (kiri dan kanan),Karina

memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk berat jika

dirangsang.

Fungsi trakea :

a. Penunjang dan menjaga kepatenan, Susunan jaringan kartilago dan elastik

menjaga kepatenan jalan napas dan mencegah obstruksi jalan napas saat kepala

dan leher digerakkan. Tidak adanya kartilago di bagian posterior trakea,

memungkinkan trakea berdilatasi dan berkontraksi saat esofagus mengalami

distensi saat menelan. Kartilago mencegah kolapsnya trakea saat tekanan

internal kurang dari tekanan intratoraksik, yaitu saat akhir ekspirasi dengan

upaya.

b. Eskalator mukosiliaris, Eskalator mukosiliaris adalah keselarasan frekuensi

gerakan silia membran mukosa yang teratur yang membawa mukus dengan

partikel yang melekat padanya ke atas laring di mana partikel ini akan ditelan atau

dibatukkan.

c. Refleks batuk, Ujung saraf di laring, trakea, dan bronkus peka terhadap

iritasi sehingga membangkitkan impuls saraf yang dihantarkan oleh saraf

vagus ke pusat pernapasan di batang otak. Respons refleks motorik terjadi

saat inspirasi dalam yang diikuti oleh penutupan glotis, yakni penutupan pita

suara. Otot napas abdomen kemudian berkontraksi dan dengan tiba-tiba

9
udara dilepaskan di bawah tekanan, serta mengeluarkan mukus dan/atau benda

asing dari mulut.

d. Penghangat, pelembap, dan penyaring, Fungsi ini merupakan kelanjutan dari

hidung, walaupun normalnya, udara sudah jernih saat mencapai trakea.

 Percabangan Bronkus

Bronkus, merupakan percabangan trachea. Setiap bronkus primer bercabang 9

sampai 12 kali untuk membentuk bronki sekunder dan tersier dengan diameter yang

semakin kecil. Struktur mendasar dari paru-paru adalah percabangan bronchial yang

selanjutnya secara berurutan adalah bronki, bronkiolus, bronkiolus terminalis,

bronkiolus respiratorik, duktus alveolar, dan alveoli. Dibagian bronkus masih disebut

pernafasan extrapulmonar dan sampai memasuki paru-paru disebut intrapulmonar.

Bronkus utama kanan lebih pendek dan lebar serta hampir vertikal dengan

trakea. Sedangkan bronkus utama kiri lebih panjang dan sempit. Jika satu pipa ET

yang menjamin jalan udara menuju ke bawah, ke bronkus utama kanan, jika tidak

tertahan baik pada mulut atau hidung, maka udara tidak dapat memasuki paru kiri

dan menyebabkan kolaps paru (atelekteasis). Namun demikian arah bronkus utama

kanan yang vertikal menyebabkan mudahnya kateter menghisap benda asing. Cabang

Bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan segmentalis.

Percabngan ini terus menjadi kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis

(saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli). Bronkiolus,tidak diperkuat

10
oleh cincin tulang rawan. Hanya otot polos sehingga ukurannya dapat berubah.

Setelah iu terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru,yaitu tempat

pertukaran gas. Asinus (lobulus primer), terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus

alveolaris, sakus alveolaris terminalis (akhir paru) yang menyerupai anggur

dipisahkan oleh septum dari alveolus di dekatnya. Dalam setiap paru terdapat 300 juta

alveolus dengan luas permukaan seluas sebuah lapangan tenis.

Terdapat dua tipe lapisan sel alveolar: Pneumosit tipe I, merupakan lapisan

yang menyebar dan menutupi daerah permukan, Pneumosit tipe II, yang bertanggung

jawab pada sekresi surfaktan. Pada hakekatnya alveolus adalah suatu gelembung gas

yang dikelilingi oleh jaringan kapiler sehingga batas antara cairan dan gas

membentuk tegangan permukan yang cenderung mencegah pengembangan saat

inspirasi dan kolaps saat ekspirasi, tetapi dengan adanya lapisan yang terdiri

dari zat lipoprotein (di sebut surfaktan) yang dapat mengurangi tegangan permukaan

dan resistensi terhadap pengembangan pada waktu inspirasi, dan mencegah kolaps

alveolus pada waktu ekspirasi. Defisiensi surfaktan merupakan faktor penting pada

patogenesis sejumlah penyakit paru. termasuk sindrom gawat nafas akut (ARDS).

Dua bronkus primer terbentuk oleh trakea yang membentuk percabangan :

a. Bronkus kanan, bronkus ini lebih lebar, lebih pendek, dan lebih vertikal daripada

bronkus kiri sehingga cenderung sering mengalami obstruksi oleh benda asing.

Panjangnya sekitar 2,5 cm. Setelah rnemasuki hilum, bronkus kanan terbagi

11
menjadi tiga cabang, satu untuk tiap lobus. Tiap cabang kemudian terbagi menjadi

banyak cabang kecil.

b. Bronkus kiri, panjangnya sekitar 5 cm dan lebih sempit daripada bronkus kanan.

Setelah sampai di hilum paru, bronkus terbagi menjadi dua cabang, satu untuk

tiap lobus. Tiap cabang kemudian terbagi menjadi saluran-saluran kecil dalam

substansi paru. Bronkus bercabang sesuai urutan perkembangannya menjadi

Bronkiolus, bronkiolus terminal, bronkiolus respiratorik, duktus alveolus, dan

akhirnya, alveoli.

 Paru- Paru

Paru-paru berada dalam rongga toraks, yang terkandung dalam susunan

tulang-tulang iga dan letaknya disisi kiri dan kanan mediastinum yaitu struktur blok

padat yang berada dibelakang tulang dada. Paru-paru menutupi jantung, arteri dan

vena besar, esofagus dan trakea. Paru-paru berbentuk seperti spons dan berisi udara

dengan pembagaian ruang sebagai berikut :

a. Paru kanan, memiliki tiga lobus yaitu superior, medius dan inferior.

b. Paru kiri berukuran lebih kecil dari paru kanan yang terdiri dari dua lobus yaitu

lobus superior dan inferior Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang

mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar,

sakkus alveolar dan alveoli. Diperkirakan bahwa setiap paru-paru mengandung

12
150 juta alveoli, sehingga mempunyai permukaan yang cukup luas untuk tempat

permukaan /pertukaran gas.

 Bronkiolus dan Alveoli

Gambar 1: Bronkhiolus dan Alveoli

Dalam tiap lobus, jaringan paru lebih lanjut terbagi menjadi selubung halus

jaringan ikat, yaitu lobulus. Tiap lobulus disuplai oleh udara yang berasal dari

bronkiolus terminalis, yang lebih lanjut bercabang menjadi bronkiolus respirarorik,

duktus alveolus, dan banyak alveoli (kantong-kantong udara). Terdapat 150 juta

alveoli di paru-paru orang dewasa. Hal ini memungkinkan terjadinya pertukaran gas.

13
Saat jalan napas bercabang-cabang menjadi bagian yang lebih kecil, dinding jalan

napas menjadi semakin tipis hingga otot dan jaringan ikat lenyap, menyisakan lapisan

tunggal sel epitelium skuamosa sederhana di duktus alveolus dan alveoli. Saluran

napas distal ditunjang oleh jaringan ikat elastik yang longgar di mana terdapar

makrofag, fibroblas, saraf, pembuluh darah, dan pembuluh limfe. Alveoli dikelilingi

oleh jaringan kapiler padat. Pertukaran gas di paru (respirasi eksternal) berlangsung

di membran yang disusun oleh dinding alveolar dan dinding kapiler yang bergabung

bersama. Membran ini disebut membran respiratorik. Di antara sel skuamosa terdapat

sel septal yang menyekresi surfaktan, suatu cairan fosfolipid yang mencegah alveoli

dari kekeringan. Selain itu, surfaktan berfungsi mengurangi tekanan dan mencegah

dinding aiveolus mengalarni kolaps saat ekspirasi. Sekresi surfaktan ke saluran napas

bawah dan alveoli dimulai saat janin berusia 35 minggu.5,6

Gambar 2 : Saluran Nafas pada Manusia

14
D. Etiologi

Sekitar 95% dari kasus-kasus tersebut secara serologis terbukti disebabkan

oleh invasif RSV. Oreinstein menyebutkan pula beberapa penyebab lain seperti

Adenovirus, virus Influenza, virus Parainfluenza, Rhinovirus, dan mikoplasma.

Tetapi belum ada bukti kuat bronkiolitis disebabkan oleh bakteri.1

RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350 nm),

termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan

bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )

yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus

dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi

neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan

B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan

menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari.8

E. Epidemiologi

Brokiolitis merupakan infeksi saluran respiratory tersering pada bayi. Paling

sering terjadi pada usia 2-24 bulan, pucaknya pada usia 2-8 bulan. 95% kasus terjadi

pada anak usia dibawah 2 tahun dan 75% diantarannya terjadi pada anak usia

dibawah 1 tahun. Oreinstein menyatakan bahwa bronkiolitis lebih sering terjadi pada

bayi laki-laki berusia 3-6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup di

lingkungan padat penduduk. 1,8,5

15
Sebanyak 11,4% anak berusia dibawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1-2 tahun

di AS pernah mengalami brokiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus

perawatan di RS dan menyebabkan 4.500 kematian tiap tahunnya. Bronkiolitis

merupakan 17% dari semua kasus perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis

di Negara-negara berkembang hampir sama dengan di AS. Insidens terbanyak terjadi

pada musim dingin atau pada musim hujan di Negara-negara tropis. 1,8,5

Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di Negara-negara berkembang

daripada di Negara-negara maju. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan

ekonomi, kurangna tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di Negara

berkembang. Angka mortalitas di Negara berkembang pada anak-anak yang dirawat

adalah 1-3%.1,8,5

F. Patogenesis

16
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respon inflamasi

akut, ditandai dengan adanya obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus,

timbunan debris seluler / sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan

infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara

bebanding terbalik dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit saja

penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutama

pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori kecil. Resistensi pada

bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius saluran

respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air trapping dan

hiperinflasi. Atelektasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang

terjebak diabsorbsi.1,7

Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier,

mukus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga

mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga

dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan

kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga

meningkatkan ekspresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi

sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi

sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-

sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.1,7

Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,

menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta

17
meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja

sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis,

hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas.5

Gambar 3: Inflamasi Saluran Bronkiolus

Anak yang lebih besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila

terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang

lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi

imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang

pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat

infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga pada anak yang

lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan

pneumonia karena RSV.5

18
Penurunan ventilasi dari bagian paru-paru menyebabkan ventilasi / perfusi

mismatching, mengakibatkan hipoksia. Selama fase ekspirasi respirasi, dinamis lebih

lanjut penyempitan saluran udara menghasilkan penurunan aliran udara yang tidak

proporsional dan menyaring udara yang dihasilkan. Kerja pernapasan meningkat

karena volume paru-paru meningkat akhir-ekspirasi dan penurunan kepatuhan paru-

paru. Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam

3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung setelah 2 minggu. Jaringan mati

(debris) akan dibersihkan oleh makrofag.1,3

G. Manifestasi Klinis

Sindrom klinis bronkiolitis biasanya dimulai dengan infeksi saluran

pernapasan bagian bawah dengan didapatkannya demam dan coryza setelah 2-3 hari,

keterlibatannya saluran pernapasan bagian bawah menjadi jelas dengan

memburuknya batuk dan sesak nafas / apnea adalah komplikasi yang sering terjadi

dan mungkin terjadi sampai 20% kasus, terutama pada bayi premature. Pada

pemeriksaan klinis juga ditemukan adanya, usaha dalam bernafas, retraksi dinding

dada, wheezing atau dan ronkhi, auskultasi ditemukan adanya crackles halus dan

ditemukan dehidrasi pada pasien.3,4,9

H. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.

19
Anamnesis, pada anamnesis gejala awal berupa infeksi respiratory atas akibat

virus, seperti pilek ringan, batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul

batuk, yang disertai dengan sesak nafas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing,

sianosis, merintih (grunting), muntah setelah batuk, rewel dan penurunan nafsu

makan.

Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah

adanya takipneu, takikardi, dan peningkatan suhu diatas 38,5 derajat. Selain itu, dapt

ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis. Obstruksi saluran respiratory-bawah

akibat respon inflmasi akut akan menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga

wheezing. Usaha –usaha pernafasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi

akan menimbulkan napas cupping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat

juga ditemukan ronkhi dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi, dan

bila gejala menghebat, dapat terjadi apneu, terutama pada bayi berusia ≤ 6 minggu.

Tabel 1. Skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)

SKOR Skor

0 1 2 3 4 maksimal

Wheezing :

-Ekspirasi (-) Akhir Semua 4

-Inspirasi (-) Sebagian Semua 2

2 dr 4 lap

20
-Lokasi (-) paru 3 dr 4 lap paru 2

Retraksi :

-Supraklavikular (-) Ringan Sedang Berat 3

-Interkostal (-) Ringan Sedang Berat 3

-Subkostal (-) Ringan Sedang Berat 3

TOTAL 17

Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah rutin kurang bermakna

karena jumlah leukosit biasanya normal, demikian pula dengan elektrolit. Analisis

gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan sakit berat, khususnya yang

membutuhkan ventilator mekanik.

Pada foto rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrate

(patchy infiltrates), tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada

asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran

atelektasis, terutama pada saat konvalenses akibat secret pekat bercampur sel-sel mati

yang menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan peningkatan diameter antero-

posterior.

21
Untuk menemukan adanya RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen

detection test ( direct immunofluoresensi assay dan enzyme linked immunosorbent

assa, ELISA ) atau PCR (Polimerase Chain Reaction) dan pengukuran titer antibody

pada fase akut konvaleses.1,8

Foto Thoraks Bronchiolitis

22
Foto Ct- scan Thoraks Broncholitis

( Popcorn Lung )

I. Penatalaksanaan

Sebagian besar tatalaksana bronkhiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu

pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan

cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan

respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti-

23
inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan

vaksin RSV, RSV Immunoglobuline (polyclonal), atau humanized RSV monoclonal

antibody (Palivizumab).

 Oksigen

Tingkat kejenuhan oksigen setidaknya harus disimpan di atas 92%.

Beberapa memilih untuk menjaga saturasi oksigen Diatas 95%. Tidak ada ulasan

sistematis atau acak Percobaan terkontrol pada penggunaan oksigen.10

 Bronkodilator

Peran bronkodilator masih kontroversial. Baru –baru ini dikutip oleh

Wainwright tentang penggunaan bronkodilator untuk bronkiolitis, menunjukkan

perbaikan skor klinis jangka pendek, tetapi tidak terdapat perbaikan pada

oksigenasi atau perawatan di RS.1

Bronkodilator digunakan secara luas untuk bayi-bayi dengan bronkiolitis,

yaitu sekitar 68-96% bayi di pusat pelayanan pediatric tersier di Kanada. Di

Inggris dan Australia, penggunaan bronkodilator lebih jarang, sedangkan di

Amerika Serikat penggunaan salbutamol lebih sering digunakan.1,10 Pentingnya

efek bronkodilator ini tidak jelas, terutama sebagai kajian dalam tinjauan

sistematis yang digunakan bersama agen yang berbeda dan ukuran hasil yang

berbeda. Banyak unit memilih untuk memberikan percobaan bronkodilator dan,

jika tidak ada respon positif, itu dihentikan.

24
Wohl dan Chernick menyatakan bahawa penyebab obstruksi saluran

respiratori adalah inflamasi dan penyempitan akibat udema mukosa dan sumbatan

mukosa, serta kolapsnya saluran respiratory kecil pada bayi dengan bronkiolitis,

sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi α adrenergic dan agonis β-

adrenergik.

 Epinefrin

Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator β-adrenergik

selektif adalah1 :

 Kerja konstriktor β-adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa,

membatasi absorbsinya dan mengatur aliran pulmonary, dengan sedikit efek

pada ventilasi – perfusi – matching.

 Relaksasi otot bronkus karena efek β-adrenergik.

 Kerja β-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi.

 Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamine seperti edema.

 Mengurangi sekresi kataral.

 Kortikosteroid

Hasil meta analisis kortikosteroid yang dilakiukakan oleh Garrison dkk.

digunakan (prednisone, prednisolon, metilprednisolon, hidrokortison, dan

dexametason) pada bronkiolitis lebih efektif daripada sebelumnya, yaitu

kortikosteroid menyebabkan penurunan skor gejala klinis dan lamanya perawatn

25
dirumah sakit yang bermakna secara statistik.1 Sangat mungkin keuntungan

kortkosteroid bergantung pada beratnya penyakit saat dimulainya pengobatan.1

 Ribavirin

Ribavirin yaitu suatu purin nucleoside derivate guanosine sintetik bekerja


mempengaruhi pengeluaran mRNA virus yang mencegah sintesis protein. Sejak
diizinkan penggunaanya pada tahun 1985 oleh Food and Drug Administration
(FDA), ribavirin telah digunakan secara luas di Amerika Utara untuk bayi resiko
tinggi bronkiolitis yang disebabkan oleh RSV. Karena beberapa penelitian
menunjukkan hasil yang bertentangan, maka America Academy Of Pediatric
(AAP) merevisi rekomendasinya tentang penggunaan ribavirin, dari “Should be”
menjadi “May be considered”. Guerguerian meniliti efektifitas klinis ribavirin
pada bayi yang sebelumnya sehat kemudian menggunakan ventilator karena
distress respiratory akibat bronkiolitis RSV. Digunaka ribavirin aerosol 20mg/ml
dibandingkan dengan placebo yaitu NaCl ) 0,9% diberikan selama 18 jam/hari
selama maksimum 7 hari. Hasilnya menunjukan aerosol ditoleransi dengan baik
dan tidak dilaporkan adanya kematian namun analisis keluaran menunjukan tidak
adanya perbedaan bermakna pada kedua kelompok perlakuan pada lamanya
penggunaan ventilator, terapi aerosol, lama perawatan di unit intensif, total terapi
oksigen, dan lama perawatan dirumah sakit. Penelitian ini menunjukan tidak
efektfnya ribavirin aerosol untuk mengurangi lamanya penggunaan ventilator dan
perjalanan penyakit pada bayi yang menderita bronkiolitis RSV.
Sebaliknya Edell yang meneliti secara prospektif pada bayi dengan
bronkiolitis RSV berat sebelum 5 hari ari gejala awal segera diberikan ribavirin
dosis tinggi jangka pendek ; 60 mg/ml selama 2 jam, diberikan 3 kali sampai total
6g/100ml tiap 24 jam selama 3 hari dibandingkan dengan terapi konservatif. Pada
pengamatan 1tahun kemudian, kelompok ribavirin mempunyai lebih sedikit
episode penyakit saluran respiratori reaktif, berat penyakit respiratori reaktif
berkurang, dan perawatan penyakit respiratori reaktif berkurang. Edell

26
menyimpulkan pemberian ribavirin dini kurang dari 5 hari dapat mengurangi
insidens dan beratnya penyakit saluran respiratori reaktif maupun perawatan
dirumah sakit. Data invitro menunjukan pemberian ribavirin 1 kali saja sedini
mungkin pada kultur sel trakea yang diinfeksi RSV akan menurunkan konsentrasi
kemokin dan menurunkan resiko inflamasi.
 Heliox
Heliox merupakan campuran helium dan oksigen. Heliox digunakan oleh
Barach sejak tahun 1935 untuk asma berat dan sumbatan saluran respiratory atas.
Karena hasilnya kontroersial maka heliox tidak digunakan secara luas. Efek
positifnya dikarenakan densitas heliox lebih rendah daripada campuran udara dan
oksigen, sehingga menurangi tekanan dorong yang dibutuhkan pada aliran
turbulen dan mempertahankan aliran laminar. Hal ini akan mengurangi kerja
respirasi dengan mengurangi tahanan dan aliran udara.
Pada bayi dengan bronkiolitis RSV derajat sedang-berat, heliox akan
memperbaiki status respirasi secara klinis, yang ditujukan pada perbaikan skor
klinis serta berkurangnya takikardi dan takipneu.1

J. Pencegahan

 Immunoglobulin

Pendekatan profilaksis pada resiko tinggi adalah meningkatkan antibody

yang menetralisir prtotein F dan G dengan cara pemberian dari luar imunisasi ibu.

Efek immunoglobulin yang mengandung RSV neutralizing antibody titer tinggi

atau antibody monoclonal terhadap protein F akan mengurangi beratnya penyakit.

Bila pada bayi premature atau bayi dengan penyakit paru kronis diberikan RSV

hyperimune globulin atau antibody monoclonal terhadap protein F yang disebut

dengan Palvizumab setiap bulan, diberikan secara intramuscular tiap hari, lama

27
perawatan RSV akan berkurang secara bermakna. Akan tetapi, resiko efek

samping mungkin meningkat pada bayi dengan penyakit jantung sianotik. AAP

merekomendasikan profilaksis pada musim RSV boleh diberikan hanya pada

bayi dengan resiko tinggi yang tidak menderita penyakit jantung sianotik.

 Palivizumab

Merupakan antibodi monoklonal buatan manusia yang diproduksi dengan

teknologi DNA rekombinan dan memiliki aktivitas serupa terhadap kedua strain

(A dan B) RSV, tidak ada bukti bahwa palivizumab efektif dalam pengobatan

bronkiolitis akut, tetapi telah digunakan dalam pencegahan bronkiolitis RSV.10

K. Prognosis

Beberapa studi kohort menghubungkan infeksi akut berat pada bayi dengan

bronkiolitis akan berkembang menjadi asma. Studi kohort menemukan sekitar

23% bayi dengan bronkiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun. Hal

ini terlihat dari studi kohort bahwa jika tidak ada keluarga riwayat atopi,

kecenderungan mengi post-bronchiolitis akan sembuh dengan usia 10 tahun.1,10

Penelitian di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan

bronkiolitis mempunyai kecenderungan menderita asma dan penurunan fungsi

paru pada usia 7 tahun dibandingkan dengan control.1

Sekitar 40-45% bayi dengan bronkiolitis karena RSV akan menderita mengi

di kemudian hari.1

28
BAB III

KESIMPULAN

Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim, akibat dari

obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun

pertama, dengan insiden puncak pada sekitar umur 6 bulan. Bronkiolitis terutama

disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV) dan sisanya disebabkan oleh virus

Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau

Mycoplasma. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Sebagian besar tatalaksana bronkhiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu

pemberian oksigen, bronkodilator, anti-inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral

seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV Immunoglobuline

(polyclonal), atau humanized RSV monoclonal antibody (Palivizumab).

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Zain MS. Bronkiolitis. Dalam: Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto


DB,penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2008.
2. Wohl MEB. Bronchiolitis. Dalam: Chernick, Boat, Wilmott, Bush,
penyunting.
3. Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-7.
Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2006. h. 423-32.
4. Zorc JJ, Hall CB, Bronchiolitis: recent evidence on diagnosis and
management.
Paediatrics. 2010; 125; 342-49.
5. Carroll KN, et.all. increasing burden and risk factor for bronchiolitis. Related
medical visits in infants enrolled in a state health care insurance plan.
Pediatrics. 2008; 122; 58-64.
6. Ganong. W,F, .(1981). Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC.
7. A. P. Uyan, H. Ozyurek, M. Keskin, Y. Afsar & E. Yilmaz : Comparison Of
Two Different Bronchodilators In The Treatment Of Acute Bronchiolitis . The
Internet Journal of Pediatrics and Neonatology. 2003.
8. Orenstein DM, Bronchiolitic. Dalam Nelson WE, Editor Nelson, Textbook of
Pediatric, 15th edition, Philadelphia, 1996.
9. Epidemiology of respiratory syncitial virus infections. http://virology-
online.com/viruses/RSV2.htm (Accessed 25 January 2005)
10. Dr Maud Meates-Dennis, Paediatric Department, Christchurch School of
Medicine and Health Sciences. Arch Dis Child Educ Pract Ed 2005;90:ep81–
ep86.

30

Anda mungkin juga menyukai