Anda di halaman 1dari 17

Kepada Yth: dr.

Referat Imunologi
Rencana baca: Selasa/ 14 Maret 2017 jam
08.00 wita
Tempat: RSP Ged. A lt. 4

DERMATITIS HERPETIFORMIS
Wiwi Payung, Asvin Nurulita, Uleng Bahrun
Departemen Ilmu Patologi Klinik FK- UH RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

I. PENDAHULUAN
Dermatitis Herpetiformis (DH) adalah suatu penyakit vesikobulosa yang
jarang dijumpai. Penyakit ini ditandai dengan erupsi papulovesikel yang
tersusun berkelompok, sangat gatal dengan distribusi simetris pada permukaan
ekstensor seperti siku, lutut dan bokong.1
Tahun 1884 Louis Duhring pertama kali menjelaskan gambaran klinis dan
sejarah dari suatu kelainan polimorfik yang gatal, yang disebutnya dermatitis
herpetiformis. Beberapa literatur menyebut kelainan ini sebagai penyakit
Duhring untuk menghormatinya. Tahun 1988 Brocq menjelaskan penderita
dengan kelainan yang sangat mirip dan disebutnya dermatite polymorphe
prurigineusu. Tahun 1940 Costello memperlihatkan kemanjuran dari
sulfapiridin dalam pengobatan DH. Di awal tahun 1960, Pierard, Whimster,
Mac Vikar dkk mnemukan bahwa lesi dini DH ditandai dengan mikroabses
netrofil pada papilla dermis.1,2
Marks et. al. (1966) pertama kali melaporkan mengenai perubahan usus
kecil pada 9 dari 12 pasien DH. Selanjutnya, kedua penyakit ini ditemukan
saling terkait dengan HLA haplotype tertentu, khususnya dengan DR3 dan
DQw5. Kemajuan besar lainnya ditemukan oleh Cormane pada tahun 1967,
menjelaskan terjadinya deposit immonuglobulin pada dermoepidermal junction
pada pasien DH. Dua tahun kemudian, van der Meer (1969)
mengidentifikasinya sebagai IgA. Penyakit ini berhubungan dengan gangguan
gastrointestinal. Hubungan antara DH dan kelainan usus pertama kali diamati
oleh Marks dkk. Tahun 1966, Fry dkk dan Shuster dkk menyebut kelainan
tersebut sebagai Gluten Sensitive Enteropathy (GSE).2
Dermatitis herpetiformis (DH) merupakan penyakit autoimun herediter.
Penyakit ini adalah manifestasi kulit dari celiac disease dan berhubungan
dengan intoleransi gluten. Dermatitis herpetiformis adalah penyakit multisistem

Dermatitis Herpetiformis Page 1


kronik yang manifestasi klinis primernya pada kutaneus, berupa erupsi pruritik
luas yang terdiri atas kombinasi yang bervariasi dari lesi bulosa, eritematosa,
vesikular, papulovesikular, papular, simetris, dan berkelompok, yang kadang
sembuh dengan hiperpigmentasi, hipopigmentasi atau jaringan parut. Gambaran
vesikelnya menyerupai herpes simplex, sehingga dinamakan herpetiformis.3
II. EPIDEMIOLOGI
Dermatitis herpetiformis dapat mengenai segala usia dan biasanya sering
pada usia 20 tahun sampai 40 tahun dan laki-laki 2 kali lebih banyak dibanding
perempuan. Dermatitis herpetiformis pada anak dapat terjadi pada usia lebih
dari 5 tahun dan jarang pada usia dibawah 2 tahun dan anak perempuan lebih
sering daripada anak laki-laki.4
Dermatitis herpetiformis dilaporkan lebih sering pada orang Eropa dan
jarang pada orang Asia dan Afroamerika. Prevalensi di Eropa sekitar 11,5 39,2
per 100.000. Penelitian di USA menunjukkan prevalensi sebesar 11,2 kasus per
100.000 penduduk. Di Indonesia sampai sekarang masih belum diketahui pasti
angka kejadiannya, diduga sekitar 1/ 100.000 orang.4
III. ETIOPATOGENESIS
Etiologi DH belum diketahui secara pasti. Mekanisme patogenik yang
mendasari DH disebabkan oleh banyak faktor, yang melibatkan faktor genetik,
faktor lingkungan dan autoimun.5,6,7
A. Faktor genetik
Hampir semua pasien dengan DH ditemukan HLA DQ2 atau HLA
DQ8. Penelitian yang dilakukan oleh Spurkland yaitu membandingkan 50
pasien DH dengan 289 kontrol sehat, sebanyak 86% dari pasien yang terkena
membawa alel HLA DQ2 dan 12% membawa alel HLA DQ8. Keberadaan
salah satu dari kedua alel ini memberikan sensitifitas yang mendekati 100%
untuk DH dan pada individu yang tidak memiliki alel-alel ini, DH hampir
tidak ada. Insiden DH lebih tinggi pada kerabat keturunan pertama dibanding
pada populasi umum.2,3,7
B. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan memiliki peran penting dalam perkembangan DH.
Hal ini dipicu melalui pencernaan gluten yaitu suatu protein glikosilasi dalam

Dermatitis Herpetiformis Page 2


sereal seperti gandum dan hibrida dari biji-bijian. Gliadin adalah fraksi
alkohol yang larut dalam gluten dengan kandungan glutamin dan prolin yang
sangat tinggi. Gliadin hanya dicerna secara parsial dalam usus yang terdiri
dari peptida-peptida yang resisten terhadap pencernaan. Peptida yang resisten
terhadap pencernaan ini bisa dimodifikasi oleh tissue transglutaminase (tTG/
TG2) dengan dua cara alternatif yang memicu deamidasi dan transamidasi.
Penelitian-penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa transamidasi adalah
reaksi utama sehingga meningkatkan antigenisitas peptida gliadin.2,3,7
Gliadin dibagi menjadi 4 grup berdasarkan mobilitas elektroforesisnya,
yaitu ,, dan yang masing-masing dibagi lagi menjadi beberapa fraksi
lain. Telah ditemukan bahwa gliadin- paling banyak terlibat dalam terjadinya
lesi pada mukosa.5
C. Faktor autoimun
Terdapat antibodi yang bersirkulasi jenis IgA pada penderita DH, yang
pertama dilaporkan adalah antibodi terhadap retikulin (ARA) kemudian
antibodi terhadap endomisium (EMA) dan terakhir tTG. Penelitian yang
dilakukan oleh Schuppan dan rekan-rekannya pada tahun 1977 menemukan
bahwa enzim tissue transglutaminase (tTG) yang terdapat dalam mukosa usus
merupakan autoantigen. Sardy dan rekan-rekannya pada tahun 2002
menunjukkan bukti bahwa epidermal transglutaminase (eTG) merupakan
autoantigen untuk IgA yang terdeposisi di kulit penderita DH.5,6,7

Patogenesis terjadinya DH sangat kompleks dan melibatkan faktor faktor


diatas. Gandum diproses oleh enzim pencernaan menjadi peptide gliadin, yang
kemudian diangkut secara utuh melintasi epitel mukosa. Dalam lamina propria, TG2/
tTG melakukan proses deamidasi sehingga terbentuk deamidated gliadin peptide
yang merupakan bentuk kompleks antara peptida gliadin dengan TG2/tTG. Tissue
transglutaminase adalah enzim dengan berat molekul 78 kDa dan merupakan
calcium-dependent enzyme yang menghubungkan grup -amino dari residu lisin
dengan grup -carboxamid dari residu glutamin menjadi ikatan yang resisten

Dermatitis Herpetiformis Page 3


terhadap proteolisis. Tissue transglutaminase ditemukan di jantung, hati, usus halus
dan kulit.3,5
Peptida gliadin dipresentasikan oleh antigen presenting cell (APC) melalui
MHC II (gliadin akan berikatan dengan molekul HLA-DQ2 atau DQ8) sehingga
dapat dikenali oleh sel T helper CD4+. T cell receptor (TCR) akan berikatan dengan
deamidated gliadin peptide sedangkan molekul CD4 akan berikatan pada MHC II, hal
ini menyebabkan aktivasi sel T helper. Antigen-presenting cells yang teraktivasi akan
mensekresikan sitokin yaitu IL-12 yang meningkatkan proliferasi dan diferensiasi
sel T. Th-1 akan mensekresi IFN yang menyebabkan aktivasi sel-sel inflamasi
seperti netrofil maupun eosinophil, sementara itu APC juga akan mensekresi IL-8
yang merupakan kemoatraktan yang paling kuat untuk netrofil. Netrofil yang
teraktivasi akan melepaskan kolagenase dan elastase yang berperan dalam
pembentukan lesi vesikabullosa. Keratinosit dan makrofag yang lain juga akan
mensekresi enzim metalloproteinase kolagenase, stromelisin-1 yang menyebabkan
kerusakan sel epitel mukosa dan remodeling jaringan. Stromelisin-1 berperan dalam
pembentukan vesikel.2,3,6
Sel T helper juga akan mengenali peptide gliadin yang dipresentasikan oleh
sel B melalui MHC II sehingga terjadi kontak antara keduanya. CD40L yang
diekspresikan sel T helper yang teraktivasi berikatan dengan CD40 pada limfosit B.
Pengikatan CD40 mengirimkan sinyal pada sel B, kemudian merangsang proliferasi
dan sintesis serta sekresi antibodi. Differensiasi sel T menjadi subset Th-2 akan
mensekresi sitokin seperti IL-4 dan IL-5 yang juga memicu aktivasi sel B untuk
memproduksi IgA anti-TG2 atau IgA anti-tTG. IgA anti-TG2 yang melintas dalam
sirkulasi akan bereaksi silang dengan transglutaminase epidermis (eTG/TG3) yang
terdapat pada lapisan epidermis kulit dan membentuk kompleks imun yang dideposit
pada puncak papila dermis. Reaksi silang antara tTG dan eTG disebabkan karena
struktur kedua molekul ini mirip (homolog). Adanya deposit ini menyebabkan
infiltrasi neutrophil yang menumpuk pada dermo-epidermal junction, menimbulkan

Dermatitis Herpetiformis Page 4


reaksi inflamasi dengan merusak membran basalis sehingga timbul lesi subepidermal,
seperti yang terlihat pada gambar1. 2,3,6

Gambar 1. Patogenesis Dermatitis Herpetiformis


(Sumber : Dermatitis Herpetiformis and Linear IgA Bullous Dermatosis in www.clinicalgate.com)

IV. GAMBARAN KLINIS


Keadaan umum penderita biasanya baik. Keluhannya sangat gatal, seperti
rasa terbakar atau rasa tersengat tetapi biasa juga asimtomatik walaupun jarang.
Kelainan yang utama adalah vesikel, dapat tersusun arsinar atau sirsinar dengan
dinding vesikel/bula yang tegang seperti yang terlihat pada gambar 2. Bula
jarang dijumpai, dapat juga dijumpai erosi atau krusta jika vesikel atau bula
pecah. Jika berlangsung lama akan disertai hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi. Pasien bisa datang hanya dengan lesi krusta, jika lesi-lesi
primer sudah tidak muncul lagi atau hilang.7,8

Dermatitis Herpetiformis Page 5


Gambar 2. Bentuk lesi pada penderita DH : A. Lesi eritematous dan papul
ekskoriasis pada lutut B. papul ekskoriasis dan plak dengan distribusi simetris
pada bokong ( Sumber : Rose C dan Zilikens D; Dermatitis Herpetiformis
Duhring; Autoimmune Disease of the Skin, Pathogenesis, Diagnosis,
Management)

Distribusi lesi biasanya simetris pada permukaan ekstensor seperti siku,


lutut, sakrum, bokong, punggung. Lesi jarang terjadi pada mukosa mulut,
telapak tangan dan kaki seperti yang terlihat pada gambar 3. Penderita biasanya
dapat memperkirakan tempat timbulnya lesi baru 8-12 jam sebelumnya karena
daerah tersebut terasa tersengat atau terbakar atau gatal.1,7

Dermatitis Herpetiformis Page 6


Gambar 3. Distribusi lesi pada DH (Sumber : Hall RP dan Katz SI; Dermatitis herpetiformis in
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine)

V. DIAGNOSIS
Diagnosis DH dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas
dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan
imunopatologi, pemeriksaan serologi dan pemeriksaan histopatologi.8
a. Pemeriksaan imunopatologi
1. Direct immunofluorescent (DIF)
Pemeriksaan DIF merupakan gold standar untuk diagnosis DH.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan dua pola spesifik yaitu adanya IgA di
ujung-ujung papilla dermis di kulit sekitar lesi dan kulit normal dengan
jarak tidak lebih dari 3 mm dari lesi atau adanya deposit granular
sepanjang membran basalis seperti yang terlihat pada gambar 4. Beberapa
kasus menunjukkan kombinasi dari kedua pola ini. 2,9

Dermatitis Herpetiformis Page 7


Gambar 5. Pemeriksaan DIF pada DH : Direct immunofluorescent dari fragmen kulit
menunjukkan deposit IgA sepanjang dermoepidermal junction dan bagian atas dari
papilla dermal (sumber : Clarindo MV, Possebon AT, Soligo EM, et al; Dermatitis
herpetiformis: pathophysiology, clinical presentation, diagnosis and treatment)

2. Indirect Immunofluorescent( IIF)


Pemeriksaan IIF digunakan untuk mendeteksi adanya autoantibodi seperti
anti- endomisial (EMA), anti-gliadin dan anti-epidermal transglutaminase
(IgA anti-eTG) seperti yang terlihat pada gambar 6.1,11

Gambar 6. Pemeriksaan IIF pada DH : Indirect immunofluorence, antibody IgA anti-


endomisium pada esophagus monyet (sumber : Rose C dan Zilikens D; Dermatitis
Herpetiformis Duhring; Autoimmune Disease of the Skin, Pathogenesis, Diagnosis,
Management)

b. Pemeriksaan serologi

Dermatitis Herpetiformis Page 8


1) IgA anti-tTG antibodies
IgA anti-tTG antibodies merupakan subkelas IgA1 terhadap autoantigen
tTG. Pemeriksaan anti-tTG menggunakan metode ELISA dengan
sensitivitas 47% - 95% dan spesifisitas lebih dari 90%. Sampel yang
digunakan adalah serum dengan nilai rujukan yaitu < 4.0 U/mL
(negatif), 4.0-10.0 U/mL (positif lemah) dan > 10.0 U/mL (positif).9,10
2) EMA (IgA anti-endomysium antibodies)
EMA adalah subkelas IgA1 yang merupakan antibodi terhadap jaringan
retikuler atau endomisium. Pemeriksaan EMA ini dapat menggunakan
metode IIF pada esophagus monyet maupun metode ELISA.
Pemeriksaan EMA memiliki spesifisitas mendekati 100% dan
sensitivitas antara 52 % - 100% untuk diagnosis DH. Sampel yang
digunakan berupa serum dengan nilai rujukan negatif pada orang normal
dan pada penderita DH dengan diet bebas gluten. 9,10
3) Anti-DGP antibodies ( IgA and IgG anti-deamidated synthetic gliadin-
derived peptides )
Antibodi anti-DGP memiliki sensitivitas dan spesifisitas antara 84-90 %.
Pemeriksaan ini menggunakan metode ELISA dengan sampel serum.
Penanda ini biasa digunakan untuk pasien usia di bawah 2 tahun.
Beberapa literatur menunjukkan hasil anti-DGP pada pasien DH sama
dengan anti-tTG, oleh karena itu tes ini hanya dilakukan pada kasus-
kasus dengan klinis DH dan hasil anti-tTG negatif.9,10
4) Anti-eTG antibodies ( IgA anti-epidermal transglutaminase )
Pemeriksaan antibodi anti-eTG menggunakan metode ELISA memiliki
sensitivitas antara 52 % sampai 100 % dan spesifisitas lebih dari 90 %
dan memberikan hasil yang sama dengan anti-tTG. Sampel yang
digunakan berupa serum dengan nilai rujukan yang sama dengan anti-
tTG. Oleh karena kit ELISA untuk mendeteksi antibodi anti-eTG tidak
tersedia secara luas di semua laboratorium, sampai sekarang tes ini
hanya dilakukan untuk tujuan penelitian, bukan untuk manajemen klinis
pasien.9,10

Dermatitis Herpetiformis Page 9


c. Pemeriksaan histopatologi
Biopsi kulit untuk pemeriksaan histopatologi harus diperoleh dari
bagian eritematosa atau erithematopapulous, daerah dekat vesikel, di mana
mikroabses netrofil dapat diidentifikasi. Biopsi yang dilakukan pada lesi
vesikular akan memperlihatkan lecet pada subepidermal, sehingga sulit untuk
membedakan dari penyakit bulosa lainnya.7

Gambar 7. Gambaran histopatologi DH : bula subepidermal dengan infiltrat neutrophil


pada papilla dermis (sumber : Hall RP dan Katz SI; Dermatitis herpetiformis in
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine)

d. PCR
Pemeriksaan adanya alel HLA dapat menggunakan metode PCR.
Molekul HLA dikode dalam MHC. Kompleks histokompatibilitas mayor
(MHC) terletak pada lengan pendek dari kromosom 6 (6p21.3), memiliki
kepadatan gen yang sangat tinggi dan sangat polimorfik. Gambar 8
menunjukkan ekspresi HLA DQ2 dan DQ8 pada pemeriksaan PCR dengan
menggunakan -actin sebagai kontrol, kontrol negatif sebelah kiri dan kontrol
positif sebelah kanan. Baris 1-3 dan baris 6-7 menunjukkan hasil positif
sedangkan baris 4-5 dan baris 8-9 menunjukkan hasil negatif . Pemeriksaan ini
menggunakan sampel serum. Hampir semua pasien DH memiliki HLA-DQ2
(DQA1*05, DQB1*02) atau HLA-DQ8 (DQB1*0302), dengan demikian
kehadiran alel ini memberikan sensitivitas mendekati 100%, pemeriksaan ini
sangat mahal sehingga pemeriksaan tidak rutin dilakukan. 12

Dermatitis Herpetiformis Page 10


Gambar 8. Pemeriksaan PCR pada penderita DH (Sumber : Caproni M, Antiga E,
Melani L and Fabbri P; Guidelines for the diagnosis and treatment of dermatitis
herpetiformis)

A. DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis herpetiformis dibedakan dengan pemfigus vulgaris, pemfigoid
bullosa, dan Chronic Bullous Diseases of Childhood (CBDC).12

Diagnosa Pemfigus Pemfigoid


CBCD DH
banding vulgaris bullosa
Etiologi Autoimun Diduga albumin Belum jelas Belum jelas
Usia 30-60 tahun Umumnya usia tua Usia anak Dapat pada dewasa
sekitar 2 bulan 20-40 tahun dan pd
4 tahun anak
Keluhan Umumnya tidak Umumnya tidak Tak begitu gatal Sangat gatal
gatal gatal
Kelainan kulit Bula berdinding Bula berdinding Bula yang Vesikel
kendur, krusta tegang berdinding berkelompok
bertahan lama tegang berdinding tegang
Tanda nikolsky + - - -
Tempat Biasanya Perut, lengan Mulut, Simetris :
predileksi generalisata fleksor, lipat paha, perineum dan siku,tengkuk, lutut,
tungkai medial ekstremitas sakrum, bokong
bawah
Histopatologi Bulla Celah di taut Bula Celah
intraepidermal, dermal-epidermal, subepidermal subepidermal,
akantolisis bula di subdermal, terutama terutama netrofil
terutama eosinofil eosinophil &
netrofil
DIF IgG & IgG seperti pita IgA linear pada IgA granular di
komplemen di pada membran BMZ papilla dermis
epidermis basalis
Enteropati - + - +
Sensitivitas - - - +
terhadap

Dermatitis Herpetiformis Page 11


gluten
HLA - - B8 DQ2 & DQ8
Terapi Kortikosteroid Kortikosteroid Dapson atau Dapson atau
sulfapiridin sulfapiridin

B. PENATALAKSANAAN
A. Diet bebas gluten
Diet ini harus dilakukan secara ketat, perbaikan pada kulit tampak
setelah beberapa minggu. Dengan diet bebas gluten dapat mengontrol lesi
kulit pada 80 % penderita. Dengan diet ini penggunaan obat dapat
ditiadakan atau dosisnya dapat dikurangi.2
B. Medikamentosa
1. Dapson
Dapson merupakan drug of choice untuk DH. Obat ini efektif untuk
menekan pembentukan ruan DH, dimana dapson menghambat
kemotaksis netrofil pada daerah peradangan dengan cara menhambat
fungsi integrin. Dapson juga menghambat produksi parakrin (mediator
inflamasi) dan mengganggu respirasi. Selain itu, dapson diketahui
menghambat migrasi dan perlekatan netrofil pada imunoglobulin A yang
terlokalisasi di kulit. Obat ini menyebabkan respon yang dramatis dalam
waktu 24 48 jam, sehingga membantu dalam mendiagnosis DH.1,2
Dapson dapat dimulai dengan dosis 2 mg/Kgbb/hr, dosis dapat
ditingkatkan tergantung respon klinis dan efek samping yang mungkin
timbul. Jika tidak terjadi efek samping dosis dapat ditingkatkan hingga
mencapai maksimal 400mg/hr. Jika sudah ada perbaikan dosis dapat
diturunkan perlahan-lahan 25-50 mg/hr sampai mencapai level
minimum.1,2
Efek samping dapson adalah agranulositosis, anemia hemolitik,
methemoglobinemia, neuritis perifer dan bersifat hepatotoksik. Harus
dilakukan pemeriksaan kadar Hb, jumlah leukosit dan hitung jenis
sebelum pengobatan dan dikontrol setiap 2 minggu sekali.2
2. Sulfapiridin

Dermatitis Herpetiformis Page 12


Sulfapiridin merupakan terapi alternatif untuk DH. Sulfapiridin
merupakan turunan dari golongan sulfonamid. Obat ini memiliki
mekanisme kerja yang sama dengan dapson tetapi tingkat efektivitasnya
kurang dan insidens toksisitas lebih rendah dibandingkan dengan
dapson. Obat ini biasa diberikan pada penderita DH yang
hipersensitivitas terhadap dapson. Obat ini susah didapat sebab jarang
diproduksi, hanya tersedia dan digunakan secara terbatas di beberapa
negara.1,2
Dosis awal sulfapiridin biasanya 100 200 mg/kgbb/hr, dibagi
menjadi 4 dosis dengan dosis maksimal 2 4 gr/hr. Jika sudah ada
perbaikan dosis dapat diturunkan setiap minggu hingga dosis
pemeliharaan 500 mg/hr atau kurang. Efek samping sulfapiridin adalah
anorexia, sakit kepala, demam, leukopenia, agranulositosis dan anemia
hemolitik. Harus dilakukan pemeriksaan G6PD sebelum dilakukan
terapi dan pemeriksaan darah tepi setiap bulan. Obat ini kemungkinan
akan menyebabkan nefrolitiasis karena sukar larut dalam air sehingga
pasien dianjurkan minum banyak. Pasien yang tidak dapat diberikan
dapson atau sulfapiridin dapat diberikan kortikosteroid sistemik
walaupun tidak efektif.1,2
3. Pengobaan topikal
Dapat diberikan krim kortikosteroid atau bedak kocok seperti
calamine dengan menthol untuk mengurangi rasa gatal.1

C. PROGNOSIS
Dengan tetap menjalankan diet bebas gluten, prognosis pasien DH sangat
baik. Sebagian besar penderita akan mengalami DH yang kronis dan residif,
biasanya berlangsung seumur hidup. Remisi spontan terjadi pada 10 15 %
kasus.3,13
D. KESIMPULAN

Dermatitis Herpetiformis Page 13


Dermatitis herpetiformis adalah penyakit kulit vesikobulosa yang bersifat
kronis dan residif, ruamnya bersifat polimorfik terutama berupa vesikel yang
tersusun berkelompok dan simetris pada permukaan ekstensor disertai rasa
gatal. Etiologi dan patogenesis DH yang pasti belum jelas, sebagai dasar genetik
DH dihubungkan dengan HLA DQ2 dan HLA DQ8, adanya faktor lingkungan
dan proses autoimun . Gluten sangat berperan pada patogenesis DH.
Diagnosis DH ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas dan
beberapa pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan imunopatologi,
pemeriksaan serologi dan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan
imunofluoresensi (DIF) merupakan gold standard untuk DH. Pemeriksaan ini
menunjukkan timbunan IgA dalam bentuk granular pada ujung papilla dermis.
Pemeriksaan lainnya seperti IgA anti-tTG antibodies, EMA dan anti-DGP
antibodies. Pemeriksaan histopatologi dimana terdapat akumulasi netrofil pada
ujung papilla dermis yang membentuk mikroabses, kemudian terbentuk celah
subepidermal dan vesikel multi/unilokuler pada subepidermal. Pengobatan DH
adalah dapson yang dibarengi dengan diet bebas gluten pada makanan.

E. ALGORITMA DIAGNOSIS

Dermatitis Herpetiformis Page 14


Gambar 9. Algoritma diagnosis Dermatitis Herpetiformis 10

DAFTAR PUSTAKA

Dermatitis Herpetiformis Page 15


1. Rose C dan Zilikens D; Dermatitis Herpetiformis Duhring; Autoimmune
Disease of the Skin, Pathogenesis, Diagnosis, Management; Second, revised
and enlarged edition; Springer Wien NewYork; 2005, page 95-106.
2. Clarindo MV, Possebon AT, Soligo EM, et al; Dermatitis herpetiformis:
pathophysiology, clinical presentation, diagnosis and treatment; in An Bras
Dermatol. 2014;89(6):865-77; available in www.scielo.br; accessed on May
21, 2016.
3. Reunala TL; Dermatitis Herpetiformis; in Clinics in
Dermatology.2001;19;728-36.
4. Bolotin D and Petronic-Rosic V; Dermatitis herpetiformis : Part I.
Epidemiology, pathogenesis, and clinical presentation; In Continuing Medical
Education: J AM ACAD Dermatol June 2011.
5. Reunala T, Salmi TT dan Hervonen K; Dermatitis Herpetiformis:
Pathognomonic Transglutaminase IgA Deposits in the Skin and Excellent
Prognosis on a Gluten-free Diet; in Acta Derm Venereol 2015; 95: 917922;
available in www.medicaljournals.com; accessed on March 4, 2016.
6. Bonciani D, Verdelli A, Bonciolini V, DErrico A, Antiga E, et al; Dermatitis
Herpetiformis: From the Genetics to the Development of Skin Lesions; in
Hindawi Publishing Corporation, Clinical and Developmental Immunology,
Volume 2012, Article ID 239691, 7 pages; available in www.hindawi.com;
accessed on March 4, 2016.
7. Hall RP dan Katz SI; Dermatitis herpetiformis in Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine; seventh Edition, volume 1&2; Mc Graw Hill medical; New
York; 2008, page 500-4.
8. Fabbri P dan Caproni M; Dermatitis Herpetiformis; in Orphanet
Encyclopedia, Februari 2005; available in www.orpha.net; accessed on May
21, 2016.
9. Bonciolini V, Bonciani D, Verdelli A, DErrico A, Antiga E, et al; Newly
Described Clinical and Immunopathological Feature of Dermatitis
Herpetiformis; in Hindawi Publishing Corporation, Clinical and

Dermatitis Herpetiformis Page 16


Developmental Immunology, Volume 2012, Article ID 967974, 5 pages;
available in www.hindawi.com; accessed on May 21, 2015.
10. Antiga E and Caproni M; The diagnosis and treatment of dermatitis
herpetiformis (review) ; In Dove Press Journal : Clinical, Cosmetic and
Investigational Dermatology, 13 May 2015.
11. Velez AMA, Yi H, Girard JG, Jiao Z, Ramirez MD, et al; Dermatitis
Herpetiformis Bodies and Autoantibodies to Noncutaneous Organs and
Mitochondria in Dermatitis Herpetiformis; In NASZA Dermatologia Online
our Dermatology Online 2012;3(4);283-291.
12. Caproni M, Antiga E, Melani L and Fabbri P; Guidelines for the diagnosis
and treatment of dermatitis herpetiformis; in JEADV 2009,23, 633638;
available in onlinelibrary.wiley.com; accessed on May 21, 2015.
13. Prasant J, A Review on Dermatitis Herpetiformis; In International Journal of
Pharma Research & Review, March 2014; 3(3):72-78.

Dermatitis Herpetiformis Page 17

Anda mungkin juga menyukai