Anda di halaman 1dari 13

DERMATITIS HERPETIFORMIS

BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis herpetiformis (DH)

adalah penyakit kulit yang jarang

dijumpai, bersifat autoimun, kronis, rekuren dan ditandai dengan erupsi


papulovesikular yang sangat gatal, didistribusikan secara simetris pada permukaan
ekstensor, kulit kepala, dan pantat yang terdiri dari eritomatosa, urtikaria, popular,
vesicular atau lesi bulosa. Dermatitis herpetiformis adalah penyakit yang
berhubungan dengan sensitivitas gluten. 1
Dermatitis herpetiformis awalnya dijelaskan oleh Louis Duhring pada
tahun 1884.Kemajuan terbaru dalam memahami pathogenesis penyakit ini juga
berpengaruh pada peningkatan penatalaksanaannya.Sebuah penemuan yang sangat
didukung oleh studi landmark mengungkapkan adanya pengendapan granular
immunoglobulin dalam kulit pasien yang menderita penyakit ini.2
Dermatitis herpetiformis merupakan multifactorial disease yang sangat
dipengaruhi oleh factor
berdasarkan

genetic dan autoimun. Diagnosis DH ditegakkan

pemeriksaan fisik,

histopatologi rutin,

tes

serologi

dan

imunofluresensi langsung dimana menujukkan deposit IgA granular pada lapisan


kulit dermis. Anti-ETG adalah penanda serologis yang paling sensitive untuk
dermatitis herpetiformis.3
Diet bebas gluten merupakan komponen penting dari setiap rencana
pengobatan dermatitis herpetiformis. Lesi kulit dan keluhan gatal pada dermatitis
herpetiformis

sangat berespon lambat pada diet bebas gluten, namun sangat

responsive dengan pemberian dapson oral.4


INSIDENSI
Sejumlah studi epidemiologi telah menjelaskan insidensi dan prevalensi
DH. Sebagian besar studi ini berfokus pada populasi keturunan Eropa utara baik

di Eropa maupun di Amerika. Studi pada populasi ini dilakukan pada akhir tahun
1070 ke awal 1980-an yang melaporkan prevalensi sebanyak 1,2-39.2 per 100.000
orang dan sekitar 0.4-2.6 kejadian per 100.000 orang per tahun. Penyakit ini bisa
menyerang semua usia termasuk anak-anak(sangat jarang), namum dekade ketiga
dan keempat adalah yang paling sering

Beberapa studi pada populasi asia

menunjukkan bahwa DH sangat jarang terjadi. Laki-laki memiliki prevalensi lebih


tinggi dibanding wanita, bahkan kebanyakan studi berbasis populasi hingga saat
ini ditemukan rasio antara laki-laki dan perempuan adalah mulai dari 1.5:1 sampai
2:1. Kebanyakan pasien melaporkan timbulnya gejala yaitu pada musim semi
sampai musim panas.Apakah kondisi ini terkait dengan patofisiologi DH, masih
tidak jelas.1,2
Insidensi dan prevalensi DH tidak diketahui dan bergantung dari ras dan
etnik. Di Swedia dan Finlandia insidensiyang dilaporkan berkisar antara 0,86
sampai 1,45 per 100.000 populasi pertahun dengan prevalensi 10 sampai 39 per
100.000.Di

Jepang

kasus

ini

sangat

jarang.Perbedaan

ini

terjadi

karenakemungkinan perbedaan haplotype.3

ETIOPATOGENESIS
Pada tahun 1999, Dietrich et al mengidentifikasi adanya antibody
transglutaminasi dalam serum pasien DH. Unruk membedakan antara berbagai
jenis Tgases, pada tahun 2002 Sardy et al menujukkan bahwa epidermis Tgases
adalah autoantigen dominan pada DH. Patofisiologi DH kemungkinan melibatkan
interaksi yang kompleks antara faktor-faktor autoimmun, seperti humuan leukosit
antigen (HLA), genetik, dan lingkungan. Sensitivitas gluten dan DH memiliki
hubungan yang kuat seperti yang diungkapkan di sejumlah studi kasus pada
kembar monozigot.DH juga telah dilaporkan berhubungan denga lokus HLA.
Kaitan yang erat antara HLA-DQ2 atau HLA-DQ 8 telah dicatat dalam sejumlah
studi. 4

Gluten adalah sejenis protein yang terdapat pada gandum, barli dan
gandung

hitam

yang

berperan

pada

pathogenesis

penyakit

dermatitis

herpetiformis.Pada tahun 1996, Marks et al* menemukan adanya kelainan


gastrointestinal pada pasien DH. Setelah itu, dibuktikan bahwa kelainan tersebut
bersifat reversible yaitu dengan menghilangkan gluten dari diet pasien, gejalanya
akan hilang.3,4
Pathogenesis terjadinya DH digambarkan sebagai berikut :
Setelah mengkonsumsi gluten yang berasal dari biji-bijian,salah satu
produk dari pencernaannya adalah gliadin . Setelah gliadin diserap melalui lamina
propria, residu glutamin dalam gliadin yang di deaminase oleh jaringan
transglutaminase (TG2) dan cross-link kovalen(isopeptidyl obligasi) yang
dibentuk antara residulisin yang berada di TG2 dan glutamin esdigliadin.5

Gambar 1.Pathogenesis dermatitis herpetiformis.


Deaminasi Peptida gliadin mengikat alur dari molekul HLA-DQ2 pada
dendritikantigen-presenting

sel

dan

antigen

gliadin

yang

kemudian

dipresentasikan kepada sel T-helper dalam konteks spesifitas HLA-DQ2. Sel Thelper ini dapat merangsang sel B bersama sel-sel plasma yang terdiffrensiasi

yang memproduksi antibodi IgA menjadi beberapa antigen, termasuk gliadin,


gliadin cross-linked untukTG2, TG2 dan transglutaminase epidermis. Selain itu,
merangsang limfosit pembunuh alami menyebabkan hiperplasia dan atrofikripte
villi. Proses patogenetik juga mengaktifkan neutrofil

yang beredar. Deposisi

antibodi IgA transglutaminase antiepidermal dalam hasil papilla dermal dalam


infiltrasi neutrofil diaktifkan dari sirkulasi ke dalam papila dermis. Degranulasi
neutrofil melepaskan protease yang mengganggu lamina lucida dan menyebabkan
lapisan subepidermal melepuh.5
Baik kulit dan penyakit usus dapat diatasi dengan pembatasan diet gluten
dan kambuh ketika mengkonsumsi gluten kembali, maka jelaslah bahwa diet
protein gluten adalah pusat patogenesis dari erupsi kulit. Selain itu,antigen HLA
kelas Iia yang bertindak sebagai gerbang dimana gluten dapat mencapai sel-sel
inflamasi dan memulai proses autoimun.5

BAB II. DIAGNOSIS


GEJALA KLINIS
Keadaan umum penderita biasanya baik dan keluhannya sangat gatal. Rasa
gatal yang hebat seperti terbakar atau tersengat yang biasanya sering mendahului
lesi sehingga cepat menimbulkan erosi, ekskoriasi atau krusta, kemungkinan tidak
akan ditemukan vesikel yang masih utuh. Rasa gatal ini merupakan tanda DH,
tetapi beratnya tidak ada hubungannya dengan tindakan penyakitnya. Penderita
dapat memperkirakan lesi baru akan muncul dengan rasa seperti terbakar, gatal
dan menyengat 8 12 jam sebelum timbulnya lesi.10,11
Lesi awal pada DH yaitu papul eritem, plak yang mirip dengan urtikaria,
dan vesikel. Bulla yang besar jarang ada. Vesikel, terutama yang berada di telapak
tangan dapat menjadi hemoragic. Lesi yang sudah sembuh dapat menjadi
hiperpigmentasi atau

hipopigmentasi. Biasanya pada pasien hanya

terdapat

krusta dan erosi.2,7,12


Tempat predileksi biasanya simetris pada siku, lutut, bokong, bahu dan
area sacrum. Walaupun area tersebut paling sering terkena, kebanyakan pasien
memiliki lesi di kulit kepala dan pada area posterior nuchal. Area yang juga paling
sering terkena adalah pada wajah. Lesi pada mukosa jarang terjadi, seperti juga
pada telapak tangan dan telapak kaki. Distribusinya akut, simetris dan polimorf .2,7

Gambar 1.Pola distribusi dermatiti herpetiformis.6

Gambar 2. Dermatitis herpetiformis. A. eritema, ekskoriasi, papula


pada siku. B. Ekskoriasi papul dan plak yang hampir simetris pada
bokong.2

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Histopatologi
Perubahan awal, dijelaskan oleh MacVicar dkk, yang terjadi pada ujung
papilla dermis dimana edema dan eksudat netrofil serta eusinofil muncul untuk
pemisahan subepidermis. Inilah yang menyebabkan timbulnya bulla. Kemudian
terjadi degenerasi dari ujung papilla, lapisan epidermis membelah, serta ujung
lapisan dermis memanjang dan menghasilkan vesikel vesikel. Infiltrasi sel sel
ini mengandung banyak netrofil dan sedikit eosinofil. 7
Perubahan histopatologi yang khas tidak tampak pada 20 - 40% spesimen
biopsi dan ekskoriasi yang sudah ada sebelumnya, mungkin saja menyulitkan
untuk menemukan lesi yang tepat untuk di biopsi, sehingga biopsi yang dilakukan
sebaiknya mengambil sedikit bagian yang masih normal di sekeliling lesi
eritematous yang tidak tampak adanya vesikel dan mungkin saja vesikel terbentuk
dari area ini.1

Gambar

3.Dermatitis

Mikroabses

neutrofil

herpertiformis.
dalam

papilla

dermal.1

b. Serologi
Pemeriksaan serologik spesifik yaitu tampak antibodi Ig-A antiendomisium
(EMA), yang mengikat substansi otot polos (endomisium). Sardy et al
menunjukkan bahwa IgA autoantibodi memiliki spesifilitas terhadap TGase. Tes
serologi

dapat

digunakan

untuk

mengkonfirmasi

diagnosis

dermatitis

herpetiformis dan untuk memantau aktivitas penyakit.2,6,11


c. Imunoflouresensi
Direct immunofluorescence (DIF) didapatkan deposit granula IgA pada
papilla dermis, dan IgA muncul dalam jumlah yang banyak pada dekat lesi aktif,
oleh karena itu, daerah yang disukai untuk biopsi untuk immunofluorosence
adalah daerah yang tampak normal atau sedikit eritamatosa yang berdekatan pada
lesi aktif. Pengendapan IgA biasanya dihancurkan di dalam lesi aktif selama
proses peradangan. Lebih dari 90% pasien dengan DH memiliki endapan IgA
granular atau fibrilar pada papilla dermis.11,12
DIAGNOSIS BANDING
DH dibedakan dengan pemfigus vulgaris, pemfigoid bullosa, dan Chronic
Bullous Diseases of Chilhood (CBDC).4
1. Pemfigus Vulgaris

Pada pemfigus vulgaris, keadaan umumnya buruk, tidak gatal, kelainan utama
ialah bula yang berdinding kendur, generalisata, dan eritema bisa terdapat atau
tidak. 10

Gambar 4.Pemfigus Vulgaris6

2. Pemfigoid Bullosa
Pemfigoid Bullosa ditandai dengan adanya bulla subepidermal yang besar dan
berdinding tegang dan pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat IgG dan C3
tersusun seperti pita di B.M.Z (Basement Membran Zone).10

Gambar 5.Pemfigoid Bullosa6

3. Chronic Bullous Disease of Childhood (CBDC)

CBDC atau dermatosis linear IgA, terdapat pada anak, kelainan utama ialah bulla,
berdinding tegang di atas kulit yang normal atau eritematosa, cenderung
bergerombol dan generalisata, terdapat IgA yang linear.10

Gambar
Childhood

6.Chronic

Bullous

Disease

of

BAB. III
PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada DH meliputi penghindaran dari gluten dengan cara tidak
mengkonsumsi

makanan

yang

mengandung

gluten

dan

farmakoterapi.8

Pengobatan pada DH sebaiknya memperbaiki kulit dan ususnya. Pengobatan


farmakoterapi yang biasa digunakan adalah dapsone dan sulfaridin. Sulfon yang
paling efektif adalah diaminodyphenylsulfone (dapsone). 1,2
a. Medikamentosa
a. Dapson
Dapson merupakan obat pilihan untuk DH. Dosis dimulai dari 100 150
mg/hari, tetapi beberapa penderita mungkin memerlukan 300 400 mg/hari.
Biasanya dimakan 1 kali/hari. Peningkatan dosis dilakukan secara bertahap
hingga dapat menekan gejalanya dan tanpa menimbulkan efek samping yang
berarti dan gejalanya menghilang dalam waktu 3 jam atau beberapa hari setelah
pil pertama ditelan kemudian dosis diturunkan hingga mencapai dosis
pemeliharaan 25 50 mg/ hari yang dapat diberikan selama beberapa tahun.10

Meskipun dapson dapat menekan manifestasi kulit tetapi tidak mengurangi


gejala gastrointestinal dan tidak mengembalikan perubahan bentuk didalam
usus. Penyerapan dapson tidak terpengaruh dengan enteropati dan aman untuk
kehamilan.10
b. Sulfapiridin
Sulfapiridin jarang didapat karena jarang diproduksi sebab efek toksiknya lebih
banyak dibandingkan preparat sulfa yang lain. Obat tersebut kemungkinan
akan menyebabkan terjadinya nefrolithiasis karena sukar larut dalam air.
Khasiatnya kurang dibandingkan dapson dan dosisnya antara 1-4 gr sehari.4
c. Kortikosteroid
Saat ini penggunaan kortikosteroid oral tidak memberikan hasil yang baik.
Penggunaan steroid kuat atau paling kuat secara topikal (khususnya clobetasol
propionate) dapat berguna untuk menurunkan gatal.13
d. Anti-histamin
Walaupun keampuhannya tidak terlalu baik pada pengobatan dermatitis
herpetiformis, antihistamin generasi ketiga dengan aktivitas yang spesifik pada
granulosit eosinofil, digolongkan pada pilihan pengobatan level ketiga, dapat
diberguna untuk mengontrol gatal. Obat anti-histamin yang dapat digunakan
adalah Diphenhydramine (Benadryl) , Chlorpheniramine, Loratadine (Claritin)
Cetirizine (Zyrtec). 12
b. Non-Medikamentosa
a. Diet bebas gluten
Diet bebas gluten adalah komitmen seumur hidup, dan kepatuhan untuk
menjalankan diet sulit untuk dicapai. Perbaikan dari penyakit kulit dengan diet
bebas gluten memakan waktu sampai beberapa bulan. Gluten terdapat dalam
berbagai macam makanan yang dikonsumsi setiap hari sebagai makanan
pokok, terutama gandum, barley dan gandum hitam. Suplemen nutrisi dengan
multivitamin dan zat besi dapat diberikan pada pasien dengan diet bebas

gluten. Dengan diet ini penggunaan obat dapat ditiadakan atau dosisnya dapat
dikurangi. Kelainan intestinal juga dapat mengalami perbaikan dengan diet ini.
Contoh makanan bebas gluten ialah sayur-sayuran seperti wortel, brokoli,
bayam, kangkung, dandelion, dan kubis, buah-buahan seperti apel, kiwi, ceri,
jambu, pisang, blueberry, blackberry, delima, jeruk, dan mangga, berbagai
produk susu yakni keju, mentega, susu, dan yoghurt, serta tepung bebas gluten
yaitu tepung amaranth , tepung garut, tepung beras merah, tepung soba, tepung
kacang ayam, tepung jagung, tepung jagung, tepung millet, tepung kentang,
tepung quinoa, tepung sorgum , tepung kedelai, tepung tapioka, tepung teff,
tepung beras putih.4,8
PROGNOSIS
Sebagian besar penderita akan mengalami DH yang kronis dan residif, dan
sekitar 10% dari penderita akan mengalami remisi.10,11,12,13

DAFTAR PUSTAKA
1. Andrew GC. Chronic Bullous Dermatoses. in: Andrew GC,eds Diseases of
The Skin Clinical Dermatology 7th edition. Florida : American Association;
1990. p.552-5
2. Rose C, Zillikens D. Autoimmune diseases of the skin pathogenesis,
diagnosis,management.

In:

Hertl

M,

editor.

New

York:

SpringerWienNewYork; 2001. p:95-101.


3. Zone J john, Schmidt A. Linda. Dermatitis Herpetiformis Sera or Goat
Anti Transglutaminase3 Transferred to Human Skin Grafted Mice Mimics
Dermatitis Herpetiformis Immunopathology. The Journal of Immunology.
http://www.jimmunol.org. 2011.p: 4475-80
4. MD, Miller. L.Jami. Dermatitis herpetiformis. Emedicine Dermatology.
2012
5. Reunala l. Timo. Dermatitis herpetiformis. Dermatitis herpetiformis :
Elsevier. 2011. p:729-33
6. Reunala T, Collin P, Holm

K,

et al. Tolerance to oats in dermatitis

herpetiformis. PubMed. 1998.


7. Herron MD and Zone JJ. Dermatitis Herpetiformis and Linear IgA
Bullous Dermatosis. In : Bolognia JL, J orizzo JL, Rapini RP eds.
Dermatology 2nd Edition , Volume 1. London : Mosby;2008. P. 479-84
8. Burns Tony,et al. Rooks textbook of Dermatology 7th edition, volume 1-4.
United States : Blackwell Science;2004. P.41.54-9
9. Hall PH, Katz SI. Dermatitis herpetiformis. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's
dermatology in general medicine. 7th ed: McGraw-Hill; 2008 p: 500-504.
10. John Hunter, John Savin, Mark Dahl. clinical Dermatology. 3thed.
Blackwell; 2003. p. 81-86
11. MD, Miller. L.Jami. Dermatitis herpetiformis. Emedicine Dermatology.
2012
12. Benny E. Wiryadi. Dermatosis Vesikubulosa Kronik. in : Djuanda A,
Hamzah M, Aisah S.

Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.

Edisi 5.

Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2010. p. 211-13


13. Amiruddin DM. Dermatitis herpetiformis. In : Amiruddin DM ed. Ilmu
Penyakit Kulit. Makassar: LKISS;2003. P.337-43

14. Habif TP. Clinical dermatology a color guide to diagnosis and therapy. 4th
ed. Philadelphia: Mosby; 2004 p:554-558.
15. Caproni M et al. Guidelines for the diagnosis and treatment of dermatitis
herpetiformis.Journal of the European Academy of Dermatology and
VenereologyVolume 23.2009
16. Nakajima, Kimiko . Recent Advances in Dermatitis Hepertiformis.
Pubmed. 2012
17. Bonciolini V, Bonciani D, Verdelli A, et al. Newly Described Clinical and
Immunopathological Feature of Dermatitis Herpetiformis. PubMed. 2012

Anda mungkin juga menyukai