Anda di halaman 1dari 8

BAB II

URTIKARIA PAPULOSA

1. Definisi
Urtikaria papulosa (papular urticaria) adalah penyakit yang umum dimanifestasikan
dengan papul rekuren/kronis disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap gigitan
nyamuk, kutu, tungau, dan serangga lain. Papul individu dapat mengelilingi urtika
dan seringnya memiliki central punctum. Tingkat keparahan umumnya tergantung
respon host terhadap saliva atau protein kontaktan. Terlepas dari namanya, urtikaria
papulosa bukan merupakan urtikaria yang sesungguhnya.

2. Etiologi
Penyebab urtikaria papulosa yang paling sering teridentifikasi adalah kutu yang
tinggal pada hewan peliharaan seperti kucing dan anjing, kutu manusia (Pulex
irritans), dan tungau (Cimex lectularius dan Cimex hemipterus) yang ditemukan pada
daerah beriklim sedang dan tropis. Penyebab lainnya adalah nyamuk dan serangga
lainnya.
3. Patofisiologi
Secara umum, urtikaria papulosa adalah hasil dari reaksi hipersensitivitas
terhadap antigen dari gigitan serangga. Anak (bayi) yang belum pernah digigit oleh
nyamuk atau kutu menunjukkan tidak adanya reaksi terhadap gigitan pertama.
Sensitisasi terjadi pada gigitan selanjutnya.
Observasi pada manusia menunjukkan bahwa reaktivitas kulit terhadap
eksposur rekuren oleh gigitan nyamuk atau kutu dapat dikarakteristikkan menjadi
lima tahap perkembangan yaitu :
Tahap 1. Tidak ada reaktivitas / induksi hipersensitivitas
Tahap 2. Reaksi lambat (delayed reaction) (papul)
Tahap 3. Reaksi lambat dan reaksi segera (immediate reaction) (urtika)
Tahap 4. Reaksi segera
Tahap 5. Tidak ada reaktivitas / toleransi yang didapat (acquired tolerance)
Tahap 1 adalah periode induksi hipersensitivitas dengan tidak ada reaksi terhadap
gigitan yang dapat diobservasi. Tahap 2 menunjukkan reaksi kulit (papul) yang
terlambat. Tahap 3 adalah reaksi segera (urtika) diikuti dengan reaksi terlambat.
Tahap 4 adalah hanya reaksi segera. Terakhir, pada tahap 5, reaktivitas terhadap
gigitan sudah menghilang, contohnya sudah didapatkan toleransi terhadap gigitan.
Penelitian oleh Peng dan Simons menunjukkan bahwa eksposur terhadap gigitan
nyamuk yang terus-menerus dapat menimbulnya sekuens dari reaksi lambat dan
segera dari seseorang, dan selanjutnya beberapa minggu mendesentisisasi subyek.
Beberapa alergen dari saliva nyamuk, kutu, dan tungau telah terindentifikasi
pada level molekular. Anak yang bereaksi pada gigitan nyamuk Aedes sering
menunjukkan IgE-antisaliva dan antibodi IgG4, dan konsentrasi IgE-antisaliva
berkorelasi dengan ukuran urtika.
Urtikaria papulosa yang disebabkan gigitan nyamuk, kutu, dan arthropoda
lain dimediasi antibodi IgE antisaliva menyebabkan aktivasi eosinofil dan limfosit T.
Pola reaksi ini adalah reaksi tipe lambat pada hipersensitivitas tipe I. Lesi kulit
papular yang muncul terlambat tanpa urtika sebelumnya pada pasien urtikaria
papulosa tampaknya disebabkan respon hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated)
terhadap antigen saliva arthropoda. Hal ini tergantung pada tahap paparan gigitan.
Lesi kulit pada subyek tertentu dapat disebabkan oleh salah satu dari dua mekanisme
hipersensitivitas atau oleh efek gabungan dari keduanya.
Penemuan histopatologi pada urtikaria papulosa beragam tergantung dari
lamanya lesi. Pada urtikaria papulosa didapatkan epidermis yang tebal dengan edema
interseluler (spongiosis) dan limfosit. Pada dermis, terdapat edema dengan infiltrat
yang mengandung limfosit T, makrofag, eosinofil, dan neutrofil, tanpa limfosit B atau
deposisi immunoglobulin, fibrin, dan C3.

4. Gambaran Klinis
Distribusi lesi umumnya berkelompok pada area yang terekspos, namun area yang
tidak terekspos dapat terkena juga.
o Gigitan kutu kucing dan anjing umumnya terjadi pada daerah kaki, dibawah lutut,
namun juga dapat terjadi pada lengan bawah
o Gigitan bed bugs umumnya terjadi pada muka, leher, tangan, dan lengan, namun
umumnya lebih tergeneralisasi.
Morfologi lesi
o Sekumpulan papul, makula, dan papulovesikel, dapat membentuk garis lurus atau
lengkung terutama apabila disebabkan bed bugs atau kutu
o Terkadang melepuh
o Pruritus yang intensif mengikuti erupsi pada urtikaria papulosa menyebabkan garukan
sehingga timbul ekskoriasi, infeksi sekunder, skar, dan hiper- atau hipopigmentasi
berkepanjangan
o Dalam beberapa lesi, central punctum hemoragik akan terlihat
o Garukan dapat menyebabkan erosi dan infeksi sekunder.
o Infeksi bakteri sekunder dapat menyebabkan pustul dengan rasa nyeri dan krusta
(impetiginisasi).
Lesi pada urtikaria papulosa terjadi menetap dalam beberapa hari hingga beberapa
minggu. Lesi baru dapat memprovokasi lesi lama untuk muncul kembali dan
menimbulkan rasa gatal yang intens. Hiperpigmentasi pasca inflamasi (post-
inflammatory hyperpigmentation (PIH)) dapat terjadi dan berlangsung selama
beberapa minggu sampai tahun setelah resolusi lesi terutama bila digaruk berlebihan.
gambar 1. Lesi berkelompok tipikal urtikaria papulosa

gambar 2. Urtikaria papulosa karena gigitan nyamuk

gambar 3. Urtikaria papulosa karena kutu manusia


gambar 1. Urtikaria papulosa karena bed bugs

5. Diagnosis Banding
Riwayat dan tampakan klinis dari lesi papular yang umumnya terjadi pada
anak-anak dan rekuren hampir dipastikan urtikaria papulosa. Beberapa kondisi
dermatologi harus dipertimbangkan untuk menjadi diagnosis banding urtikaria
papulosa.
Skabies dan dermatitis atopi sering terjadi pada anak dan keduanya dapat
muncul dengan lesi papular yang gatal menyerupai urtikaria papulosa. Pada skabies,
beberapa anggota keluarga dapat terkena dan alur/terowongan yang khas dapat
terlihat. Pada anak dengan dermatitis atopi, eczema terjadi pada area predileksi pada
wajah, daerah lipatan, dan umumnya memiliki riwayat keluarga atopi.
Saat urtikaria papulosa diikuti dengan infeksi sekunder, diagnosis banding nya
termasuk infeksi pyogenik seperti impetigo dan ektima.

6. Tatalaksana
Tatalaksana untuk urtikaria papulosa berupa steroid topikal potensi sedang
untuk anak dengan lesi yang ringan. Lesi papular kronis terutama pada orang dewasa
membutuhkan steroid topikal potensi tinggi atau bahkan prednisolone oral jangka
pendek. Steroid topikal harus dipakai secepatnya setelah lesi kulit yang gatal muncul.
Mengontrol gatal pada urtikaria papulosa penting untuk dilakukan karena
erosi yang ditimbulkan karena garukan rentan untuk menimbulkan infeksi bakteri
sekunder. Penelitian oleh Karppinen pada tahun 2002 mengenai penggunaan
profilaksis antihistamin (cetirizine, ebastine) dibandingkan dengan kontrol placebo
terbukti dapat menurunkan ukuran urtika dari gigitan nyamuk sekitar 50% dan diikuti
dengan penurunan pruritus 70%. Levocetirizine 5 mg juga terbukti dapat memberikan
efek signifikan terhadap papul karena gigitan nyamuk yang tertunda. Hasil ini
menunjukkan bahwa antihistamin generasi ketiga juga dapat efektif saat urtikaria
papulosa disebabkan oleh gigitan kutu atau bed bugs.
Pemberian medikasi lain seperti krim atau lotion anti-pruritus seperti calamine
atau menthol dapat mengurangi rasa gatal sehingga mencegah garukan berlebihan,
krim antiseptik dapat menurunkan dan mencegah infeksi sekunder. Apabila
impetiginisasi terjadi karena infeksi sekunder, dibutuhkan antibiotic topikal ataupun
sistemik. Pemberian pelembab dan tabir surya yang digunakan rutin setiap hari dapat
mempercepat hilangnya hiperpigmentasi pasca inflamasi.

7. Edukasi
Strategi utama untuk mencegah terjadinya urtikaria papulosa adalah dengan
mengeradikasi penyebabnya. Pencegahan paling efektif terhadap gigitan nyamuk
adalah insektisida yang mengandung DEET (N,N-diethyl-3-methylbenzamide) dan
jaring yang diresapi permethrin yang digunakan pada kasur. Apabila penyebab
urtikaria papulosa adalah kutu pada hewan peliharaan, maka disarankan untuk
membawa hewan peliharaan ke dokter hewan. Eradikasi bed bugs dari tempat tinggal
manusia membutuhkan senyawa kimia khusus.
Penggunaan pakaian yang tertutup juga disarankan untuk mencegah gigitan
nyamuk, kutu, dan tungau. Pasien disarankan tidak menggaruk lesi untuk mencegah
hiperpigmentasi pasca inflamasi dan erosi yang dapat menimbulkan infeksi sekunder.
REFERENSI

PERDOSKI. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI.
Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New
York: Mc Graw-Hill, 2012.
Wolff, K., Johnson, R. A., Saavedra, A. P., Roh, E. K. 2017. Fitzpatrick's Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology (8th ed.). New York: McGraw-Hill
Education.
Peng   Z,   Yang   M,   Simons   FE.   Immunologic   mechanisms   in   mosquito   allergy:
correlation   of   skin   reactions   with   specific   IgE   and   IgG   antibodies   and
lymphocyte  proliferation response to mosquito antigens. Ann Allergy Asthma
Immunol 1996; 77:238–244. 
Peng Z, Simons FE. Advances in mosquito allergy. Curr Opin Allergy Clin Immunol
2007; 7: 350–354. 
Karppinen A, Kautiainen H, Petman L, et al. Comparison of cetirizine, ebastine and
loratadine in the treatment  of immediate  mosquito­bite allergy. Allergy 2002;
57:534–537. 
Karppinen   A,   Brummer­Korvenkontio   H,   Petman   L,   et   al.   Levocetirizine   for
treatment   of   immediate   and   delayed   mosquito   bite   reactions.   Acta   Derm
Venereol 2006; 86:329–331. 
Greaves, M.W., Kaplan, A.P. (Eds.), 2009. Urticaria and angioedema, 2nd ed. ed.
Informa Healthcare, New York.
Papular urticaria. URL http://www.pcds.org.uk/clinical-guidance/papular-urticaria
(accessed 9.18.18b).
Raza, N., Lodhi, M.S., Ahmed, S., Dar, N.R., Ali, L., 2008. Clinical study of papular
urticaria. J Coll Physicians Surg Pak 18, 147–150.
Hernandez, R.G., Cohen, B.A., 2006. Insect Bite-Induced Hypersensitivity and the
SCRATCH Principles: A New Approach to Papular Urticaria. PEDIATRICS 118,
e189–e196. https://doi.org/10.1542/peds.2005-2550

Anda mungkin juga menyukai