Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


PADA PASIEN GIGITAN SERANGGA DAN BINATANG

OLEH KELOMPOK 11
1. I GEDE KRISNATA SUBAGIO 17.321.2668
2. I WAYAN GEDE YUDI WIGATA 17.321.2672
3. NI KADEK KRISTIANI 17.321.2684
4. NI LUH ASRIANI 17.321.2688
5. NI LUH GEDE DEVI YULISTYA DEWI 17.321.2690

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI 2020
I. KONSEP DASAR
A. GIGITAN SERANGGA
1. Pengertian
Insect Bite atau gigitan serangga adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan
serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau alergen yang dikeluarkan
artropoda penyerang. Kebanyakan gigitan dan sengatan digunakan untuk
pertahanan. Gigitan serangga biasanya untuk melindungi sarang mereka. Sebuah
gigitan atau sengatan dapat menyuntikkan bisa (racun) yang tersusun dari protein
dan substansi lain yang mungkin memicu reaksi alergi kepada penderita. Gigitan
serangga juga mengakibatkan kemerahan dan bengkak di lokasi yang tersengat.

2. EPIDEMIOLOGI
Gigitan dan sengatan serangga mempunyai prevalensi yang sama di seluruh dunia.
Dapat terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga merupakan fenomena musiman,
meskipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat terjadi disekitar kita.
Prevalensinya sama antara pria dan wanita. Bayi dan anak-anak labih rentan
terkena gigitan serangga dibanding orang dewasa. Salah satu faktor yang
mempengaruhi timbulnya penyakit ini yaitu terjadi pada tempat-tempat yang banyak
serangga, seperti di perkebunan, persawahan, dan lain-lain.

3. ETIOLOGI
Secara sederhana gigitan dan sengatan lebah dibagi menjadi 2 grup yaitu
Venomous (beracun) dan Non Venomous (tidak beracun). Serangga yang beracun
biasanya menyerang dengan cara menyengat, misalnya tawon atau lebah, ini
merupakan suatu mekanisme pertahanan diri yakni dengan cara menyuntikan racun
atau bisa melalui alat penyengatnya. Sedangkan serangga yang tidak beracun
menggigit dan menembus kulit dan masuk mengisap darah, ini biasanya yang
menimbulkan rasa gatal. Ada 30 lebih jenis serangga tapi hanya beberapa saja
yang bisa menimbulkan kelainan kulit yang signifikan. Kelas Arthropoda yang
melakukan gigitan dan sengatan pada manusia terbagi atas :
a. Kelas Arachnida • Acarina • Araneae (Laba-Laba) • Scorpionidae (Kalajengking)
b. Kelas Chilopoda dan Diplopoda
c. Kelas Insecta • Anoplura (Phtirus Pubis, Pediculus humanus, capitis et corporis)
• Coleoptera (Kumbang) • Diptera (Nyamuk, lalat) • Hemiptera ( Kutu busuk,
cimex) • Hymenoptera (Semut, Lebah, tawon) • Lepidoptera ( Kupu-kupu) •
Siphonaptera ( Xenopsylla, Ctenocephalides, Pulex)

4. PATOGENESIS
Gigitan atau sengatan serangga akan menyebabkan kerusakan kecil pada kulit,
lewat gigitan atau sengatan antigen yang akan masuk langsung direspon oleh
sistem imun tubuh. Racun dari serangga mengandung zat-zat yang kompleks.
Reaksi terhadap antigen tersebut biasanya akan melepaskan histamin, serotonin,
asam formic atau kinin. Lesi yang timbul disebabkan oleh respon imun tubuh
terhadap antigen yang dihasilkan melalui gigitan atau sengatan serangga. Reaksi
yang timbul melibatkan mekanisme imun. Reaksi yang timbul dapat dibagi dalam 2
kelompok :
a. Reaksi immediate
1) Ditandai dengan reaksi lokal atau reaksi sistemik.
2) Timbul lesi karena adanya toksin yang dihasilkan oleh gigitan atau
sengatan serangga.
3) Nekrosis jaringan yang lebih luas dapat disebabkan karena trauma endotel
yang dimediasi oleh pelepasan neutrofil. Spingomyelinase D adalah toksin
yang berperan dalam timbulnya reaksi neutrofilik. Enzim Hyaluronidase
yang juga ada pada racun serangga akan merusak lapisan dermis
sehingga dapat mempercepat penyebaran dari racun tersebut.
b. reaksi delayed.

5. MANIFESTASI KLINIS
Banyak jenis spesies serangga yang menggigit dan menyengat manusia, yang
memberikan respon yang berbeda pada masing-masing individu, reaksi yang timbul
dapat berupa lokal atau generalisata. Reaksi lokal yang biasanya muncul dapat
berupa papular urtikaria. Papular urtikaria dapat langsung hilang atau juga akan
menetap, biasa disertai dengan rasa gatal, dan lesi nampak seperti berkelompok
maupun menyebar pada kulit. Papular urtikaria dapat muncul pada semua bagian
tubuh atau hanya muncul terbatas disekitar area gigitan. Pada awalnya, muncul
perasaan yang sangat gatal disekitar area gigitan dan kemudian muncul papul-
papul. Papul yang mengalami ekskoriasi dapat muncul dan akan menjadi prurigo
nodularis. Vesikel dan bulla dapat muncul yang dapat menyerupai pemphigoid
bullosa, sebab manifestasi klinis yang terjadi juga tergantung dari respon sistem
imun penderita masing-masing. Infeksi sekunder adalah merupakan komplikasi
tersering yang bermanifestasi sebagai folikulitis, selulitis atau limfangitis. Pada
beberapa orang yang sensitif dengan sengatan serangga dapat timbul terjadinya
suatu reaksi alergi yang dikenal dengan reaksi anafilaktik. Anafilaktik syok biasanya
disebabkan akibat sengatan serangga golongan Hymenoptera, tapi tidak menutup
kemungkinan terjadi pada sengatan serangga lainnya. Reaksi ini akan
mengakibatkan pembengkakan pada muka, kesulitan bernapas, dan munculnya
bercak-bercak yang terasa gatal (urtikaria) pada hampir seluruh permukaan badan.
Prevalensi terjadinya reaksi berat akibat sengatan serangga adalah kira-kira 0,4%,
ada 40 kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat. Reaksi ini biasanya mulai 2
sampai 60 menit setelah sengatan. Dan reaksi yang lebih berat dapat menyebabkan
terjadinya syok dan kehilangan kesadaran dan bisa menyebakan kematian
nantinya. sehingga diperlukan penanganan yang cepat terhadap reaksi ini.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dari gambaran histopatologis pada fase akut didapatkan adanya edema antara sel-
sel epidermis, spongiosis, parakeratosis serta sebukan sel polimorfonuklear. Infiltrat
dapat berupa eosinofil, neutrofil, limfosit dan histiosit. Pada dermis ditemukan
pelebaran ujung pembuluh darah dan sebukan sel radang akut. Pemeriksaan
pembantu lainnya yakni dengan pemeriksaan laboratorium dimana terjadi
peningkatan jumlah eosinofil dalam pemeriksaan darah. Dapat juga dilakukan tes
tusuk dengan alergen tersangka.

7. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis dapat ditemukan adanya riwayat aktivitas diluar rumah
yang mempunyai resiko mendapat serangan serangga seperti di daerah
perkebunan dan taman. Bisa juga ditanyakan mengenai kontak dengan beberapa
hewan peliharaan yang bisa saja merupakan vektor perantara dari serangga yang
dicurigai telah menggigit atau menyengat.
8. DIAGNOSIS BANDING
Reaksi yang diakibatkan oleh sengatan atau gigitan serangga kebanyakan
menyerupai erupsi kulit yang lainnya. Seperti yang dapat dilihat reaksi yang
diakibatkan oleh serangga menunjukkan adanya papul-papul. Bila kita menduga
terjadi reaksi akibat gigitan atau sengatan serangga, maka kita harus memperoleh
anamnesis dengan cermat adanya kontak dengan serangga, menanyakan tentang
pekerjaan dan hobi dari seseorang yang mungkin dapat menolong kita
mendiagnosis kelainan ini. Dibawah ini merupakan beberapa diagnosis banding dari
reaksi akibat gigtan atau serangan serangga antara lain :
• Prurigo : Biasanya kronik, berbentuk papula/nodula kronik yang gatal. Mengenai
ekstremitas terutama pada permukaan anterior paha dan tungkai bawah.
• Dermatitis Kontak : Biasanya jelas ada bahan-bahan kontaktan atau alergen, lesi
sesuai dengan tempat kontak.

9. PENATALAKSANAAN
Terapi biasanya digunakan untuk menghindari gatal dan mengontrol terjadinya
infeksi sekunder pada kulit. Gatal biasanya merupakan keluhan utama, campuran
topikal sederhana seperti menthol, fenol, atau camphor bentuk lotion atau gel dapat
membantu untuk mengurangi gatal, dan juga dapat diberikan antihistamin oral
seperti diphenyhidramin 25-50 mg untuk mengurangi rasa gatal. Steroid topikal
dapat digunakan untuk mengatasi reaksi hipersensitifitas dari sengatan atau gigitan.
Infeksi sekunder dapat diatasi dengan pemberian antibiotik topikal maupun oral, dan
dapat juga dikompres dengan larutan kalium permanganat.Jika terjadi reaksi berat
dengan gejala sistemik, lakukan pemasangan tourniket proksimal dari tempat
gigitan dan dapat diberikan pengenceran Epinefrin 1 : 1000 dengan dosis 0,3-0,5
mg/kgBB diberikan secara subkutan dan jika diperlukan dapat diulang sekali atau
dua kali dalam interval waktu 20 menit. Epinefrin dapat juga diberikan intramuskuler
jika syok lebih berat. Dan jika pasien mengalami hipotensi injeksi intravena 1 :
10.000 dapat dipertimbangkan. Untuk gatal dapat diberikan injeksi antihistamin
seperti klorfeniramin 10 mg atau difenhidramin 50 mg. Pasien dengan reaksi berat
danjurkan untuk beristirahat dan dapat diberikan kortikosteroid sistemik.
10. PROGNOSIS
Prognosis dari gigitan serangga sebenarnya baik, tapi tergantung jenis serangga
serta racun yang dimasukkannya ke dalam tubuh manusia. Dan apabila terjadi syok
anafilaktik maka prognosisnya bergantung dari penangan yang cepat dan tepat.
B. GIGITAN ULAR
1. PENGERTIAN
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun binatang
adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang dapat
menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian kecil
racun bersifat spesifik terhadap suatu organ, beberapa mempunyai efek pada
hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat
farmakologis yang dapat meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan.
Komposisi racun tergantung dari bagaimana binatang menggunakan toksinnya.
Racun mulut bersifat ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali
mengandung faktor letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir
predator, racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit jaringan Bisa
adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan
sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan
ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang
mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak
di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri
atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama
protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.

2. ETIOLOGI
Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan Viperidae.
Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan pendarahan.
Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi pada anggota
badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi
gigitan dalam waktu 8 jam.Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa
macam : a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic) Bisa ular yang
bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut
(hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan
timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan,
dan lain-lain. b. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic) Yaitu bisa ular yang
merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang
menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit
sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan
peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan
melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan jantung.
Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limfe. c. Bisa ular
yang bersifat Myotoksin Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan
dengan maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan
hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot. d. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin
Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung. e. Bisa
ular yang bersifat cytotoksin Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin
lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler. f. Bisa ular yang bersifat cytolitik Zat
ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat
gigitan. g. Enzim-enzim Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran
bisa
3. PATHWAY
4. PATOFISIOLOGI
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik tersebut
menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai system.
Seperti, sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan. Pada
gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang
berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada
saluran pernapasan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk bernapas. Pada sistem
kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah yang dapat
mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem pernapasan dapat
mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat
mengakibatkan gagal napas.

5. MANIFESTASI KLINIS
Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan ular.
Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena
darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit). Sindrom kompartemen
merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu terjadi oedem
(pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat),
paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness (denyutan).
Tanda dan gejala khusus pada gigitan family ular :
a. Gigitan Elapidae Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular
anang, ular cabai, coral snakes, mambas, kraits), cirinya: • Semburan kobra pada
mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata,
bengkak di sekitar mulut. • Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang
rusak. • 15 menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10 jam muncul paralisis
urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah menelan,
otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan
kabur, mati rasa di sekitar mulut dan kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
b. Gigitan Viperidae/Crotalidae Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan
puspo, cirinya: • Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam
berupa bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan. • Gejala
sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam. • Keracunan berat
ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau
ditandai dengan perdarahan hebat.
c. Gigitan Hydropiida Misalnya, ular laut, cirinya: • Segera timbul sakit kepala, lidah
terasa tebal, berkeringat, dan muntah. • Setelah 30 menit sampai beberapa jam
biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang,
paralisis otot, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini
penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti jantung.
d. Gigitan Crotalidae Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo,
cirinya:
• Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di
daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae antivenin.
• Anemia, hipotensi, trombositopeni.
Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori:
• Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa
sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat
berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan
sekitar sisi gigitan luka.
• Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat
menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen.
Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau luka
yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan
kematian.
• Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada
sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat
menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat
perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara dan
bernafas, dan kesemutan.
• Kematian otot, bisa dari russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa
elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa
area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba
menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
• Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata
korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada
mata.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel darah
lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, hitung trombosit, urinalisis, penentuan kadar gula darah, BUN
dan elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas
sel darah merah, waktu pembekuan dan waktu retraksi bekuan.

7. PENATALAKSANAN
a. Prinsip penanganan pada korban gigitan ular:
1) Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular.
2) Menetralkan bisa.
3) Mengobati komplikasi.
b. Pertolongan pertama : Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan
ular telah pergi segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban.
Selanjutnya lakukan prinsip RIGT, yaitu:
• R : Reassure : Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban,
kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat
menyebar ke tubuh. Terkadang pasien pingsan/panik karena kaget.
• I : Immobilisation : Jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak
berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang,
lakukan tehnik balut tekan (pressure-immoblisation) pada daerah sekitar gigitan
(tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan).
• G : Get : Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
• T : Tell the Doctor : Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul ada
korban.
c. Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan):
• Balut tekan pada kaki :
1) Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.
2) Keringkan sekitar luka gigitan.
3) Gunakan pembalut elastis.
4) Jaga luka lebih rendah dari jantung.
5) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik ke
atas.
6) Biarkan jari kaki jangan dibalut.
7) Jangan melepas celana atau baju korban.
8) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai menghambat
aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang tetap pink).
9) Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki. • Balut tekan pada tangan :
a) Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut).
b) Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat.
c) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan.
d) Pasang papan sebagai fiksasi. 5) Gunakan mitela untuk menggendong tangan.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan Marilynn E. Doenges (2000: 871-873), dasar data pengkajian
pasien, yaitu:
1. Aktivitas dan Istirahat
Gejala : Malaise.
2. Sirkulasi
Tanda : Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama hasil
curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer
hiperdinamik), lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
3. Integritas Ego
Gejala : Perubahan status kesehatan.
Tanda : Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal,
menarik diri.
4. Eliminasi
Gejala : Diare.
5. Makanan/cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah.
Tanda : Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot
(malnutrisi).
6. Neorosensori
Gejala : Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda : Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.
7. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Kejang abdominal, lokalisasi rasa nyeri, urtikaria/pruritus umum.
8. Pernapasan
Tanda : Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.
Gejala : Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal,
kadang subnormal (dibawah 36,63oC), menggigil. Luka yang sulit/lama
sembuh.
9. Seksualitas
Gejala : Pruritus perianal, baru saja menjalani kelahiran.
10. Integumen.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
2. Nyeri akut berhubungan dengan luka bakar kimia pada mukosa gaster, rongga oral,
respon fisik, proses infeksi, misalnya gambaran nyeri, berhati-hati dengan abdomen,
postur tubuh kaku, wajah mengkerut, perubahan tanda vital.
3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan
pada regulasi temperatur, proses infeksi.
4. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah
sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau
kecacatan.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.

C. INTERVENSI
1. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Menunjukkan bunyi napas
jelas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, bebas dispnea/sianosis.
Intervensi:
a. Pertahankan jalan napas klien.
Rasional: Meningkatkan ekspansi paru-paru
b. Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan.
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan
sirkulasi endotoksin.
c. Auskultasi bunyi napas.
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan
indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
d. Sering ubah posisi.
Rasional: Bersihan pulmonal yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi
ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.
e. Berikan O2 melalui cara yang tepat, misal masker wajah.
Rasional: O2 memperbaiki hipoksemia/asidosis. Pelembaban menurunkan
pengeringan saluran pernapasan dan menurunkan viskositas sputum.
2. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Melaporkan nyeri
berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh tubuh rileks,
berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan intervensi
selanjutnya.
b. Kaji karakteristik nyeri.
Rasional: Dapat menentukan pengobatan nyeri yang pas dan mengetahui
penyebab nyeri.
c. Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
Rasional: Membuat klien merasa nyaman dan tenang
d. Pertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.
Rasional: Menurunkan spasme otot.
e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional: Memblok lintasan nyeri sehingga berkurang dan untuk membantu
penyembuhan luka.
3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan
pada regulasi temperatur, proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Mendemonstrasikan suhu
dalam batas normal (36-37,5oC), bebas dari kedinginan.
Intervensi :
a. Pantau suhu klien.
Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
b. Pantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang disukai untuk
mempertahankan keseimbangan antara asupan dan haluaran.
Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan klien dan membantu menurunkan suhu
tubuh.
c. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan
suhu mendekati normal.
d. Berikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan alkohol.
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat membuat
kulit kering.
e. Berikan selimut pendingin.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.
f. Berikan Antiperitik sesuai program.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.
4. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah
sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau
kecacatan.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Menyatakan kesadaran
perasaan dan menerimanya dengan cara yang sehat, mengatakan
ansietas/ketakutan menurun sampai tingkat dapat ditangani, menunjukkan
keterampilan pemecahan masalah dengan penggunaan sumber yang efektif.
Intervensi:
a. Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur perawatan.
Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan
ansietas, memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.
b. Tunjukkan keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien bila prosedur
bebas dari nyeri.
Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan
tersedia dan bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang tersebut tidak hanya
merawat luka.
c. Kaji status mental, termasuk suasana hati/afek.
Rasional: Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan represi
untuk menurunkan dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien
menunjukkan tenang dan status mental waspada, menunjukkan disosiasi
kenyataan, yang juga merupakan mekanisme perlindungan.
d. Dorong pasien untuk bicara tentang luka setiap hari.
Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk
membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
e. Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan
berikan jawaban terbuka/jujur.
Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat
membantu pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa
yang terjadi.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Mencapai penyembuhan luka
tepat waktu bebas eksudat purulen dan tidak demam.
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda infeksi.
Rasional: Sebagai diteksi dini terjadinya infeksi.
b. Lakukan tindakan keperawatan secara aseptik dan anti septik.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan mencegah terpajan pada organisme
infeksius.
c. Ingatkan klien untuk tidak memegang luka dan membasahi daerah luka.
Rasional: Mencegah kontaminasi luka.
d. Ajarkan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko infeksi.
e. Periksa luka setiap hari, perhatikan/catat perubahan penampilan, bau luka.
Rasional: Mengidentifikasi adanya penyembuhan (granulasi jaringan) dan
memberikan deteksi dini infeksi luka.
f. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.
Rasional: Untuk menghindari pemajanan kuman.
DAFTAPUSTAKA
• Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadbrata, Siti Setiati; Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV
• Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC,
Jakarta
• http://www.rusari.com
• Siregar RS. Prof. Dr. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit. Indonesia. Jakarta : EGC ; 2000
p. 174-175
• Rohmi Nur. Insect Bites. [online] 2006 [cited 2008 June 04] : [ 3 screens]. Available from :
http://www.fkuii.org/tiki-index.php?page=Insect+Bites7
• Bites and Sting. In: Bolognia JL Lorizzo JL, Rapini RP,eds. Dermatology Volume.1. London:
Mosby; 2003.p.1333-35
• Ngan Vanessa. Insect Bites and Stings. [Online] 2008 [cited 2008 June 4] : [4 screnns].
Available from : http://www.dermnet.com/image.cfm?imageID=1875

Anda mungkin juga menyukai