Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN MANAJEMEN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT SISTEM MUSKULOSKELETAL

OLEH KELOMPOK 11
1. I GEDE KRISNATA SUBAGIO 17.321.2668
2. I WAYAN GEDE YUDI WIGATA 17.321.2672
3. NI KADEK KRISTIANI 17.321.2684
4. NI LUH ASRIANI 17.321.2688
5. NI LUH GEDE DEVI YULISTYA DEWI 17.321.2690

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI 2020
A. Penilaian Awal Trauma Muskuloskeletal
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat
dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh
karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan
Initial assessment ( penilaian awal ). Penilaian awal meliputi:
 Persiapan
- Fase Pra-Rumah Sakit
a) Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan
b) Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita
mulai diangkut dari tempat kejadian.
c) Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu
kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat penderita.
- Fase Rumah Sakit
a) Perencanaan sebelum penderita tiba
b) Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan di tempat
yang mudah dijangkau
c) Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan diletakkan pada
tempat yang mudah dijangkau
d) Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi apabila
sewaktu-waktu dibutuhkan.
e) Pemakaian alat-alat proteksi diri
 Triase
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya
yang tersedia. Dua jenis triase:
a) Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah sakit.
Penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan
mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
b) Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit.
Penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu,
perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan mendapatkan prioritas
penanganan lebih dahulu.
 Primary survey (ABCDE)
- Airway dengan kontrol servikal
1) Penilaian
 Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
 Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2) Pengelolaan airway
 Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
 Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid
 Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
 Pasang airway definitif sesuai indikasi.
3) Fiksasi leher
Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi
trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
4) Evaluasi
- Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1) Penilaian
 Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-
line immobilisasi
 Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
 Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat
deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot
tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.
 Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
 Auskultasi thoraks bilateral
2) Pengelolaan
 Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12 liter/menit)
 Ventilasi dengan Bag Valve Mask
 Menghilangkan tension pneumothorax
 Menutup open pneumothorax
 Memasang pulse oxymeter
3) Evaluasi
- Circulation Dengan Kontrol Perdarahan
1) Penilaian
 Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
 Mengetahui sumber perdarahan internal
 Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak
diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi masif segera.
 Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
 Periksa tekanan darah
2) Pengelolaan
 Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
 Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi
pada ahli bedah.
 Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan
darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
 Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
 Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien
fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
 Cegah hipotermia
3) Evaluasi
- Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda
lateralisasi
3) Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
- Exposure/Environment
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup
hangat.
 Resusitasi
a. Re-evaluasi ABCDE
b. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20
mL/kg pada anak dengan tetesan cepat ( lihat tabel 2 )
c. Evaluasi resusitasi cairan
 Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal ( lihat gambar 3,
tabel 3 dan tabel 4 )
 Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta
awasi tanda-tanda syok
d. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan
awal.
 Respon cepat
 Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
 Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian
darah
 Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
 Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin
masih diperlukan
 Respon Sementara
 Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian
darah
 Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
 Konsultasikan pada ahli bedah ( lihat tabel 5 ).
 Tanpa respon
 Konsultasikan pada ahli bedah
 Perlu tindakan operatif sangat segera
 Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade
jantung atau kontusio miokard
 Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya ( lihat tabel 6 )
 Secondary survey

B. Trauma Muskuloskeletal yang Mengancam Jiwa


1. Kerusakan pelvis berat dengan perdarahan
a. Trauma
Fraktur pelvis yang disertai perdarahan seringkali disebabkan fraktur
sakroiliaka, dislokasi, atau fraktur sacrum. Arah gaya yang membuka pelvic
ring akan merobek pleksus vena di pelvis dan kadang-kadang merobek
system, arteri iliakainterna (trauma komprresi anterior-posterior). Pada
tabrakan kendaraan, mekanisme fraktur pelvis yang tersering adalah tekanan
yang mengenai sisi lateral pelvis dan cenderung menyebabkan hemipelvis
rotasi ke dalam, mengecilkan rongga pelvis dan mengurangi regangan system
vaskularisasi pelvis. Gerakan rotasi ini akan menyebabkan pubis mendesak ke
arah sistem urogenital bawah,sehingga menyebabkan trauma uretra atau buli-
buli.
b. Pemeriksaan
Diagnosis harus dibuat secepat mungkin agar dapat dilakukan resusitasi.
Tanda klinis yang paing penting adalah adanya pembengkakan atau hematom
yang progresif pada daerah panggul, skrotum dan perianal. Tanda-tanda
trauma pelvicring yang tidak stabil adalah adanya patah tulang terbuka daerah
pelvix (terutama daerah perineum, rectum atau bokong), high riding prostate
(prostate letak tinggi), perdarahan di meatus uretra, dan didapatkannya
instabilitas mekanik. Instabilitas mekanik dari pelvic ring diperiksa dengan
manipulasi manuual dari pelvis. Petunjuk awalnya adalah dengan
ditemukannya perbedaan panjang tungkai atau rotasi tungkai (biasanya rotasi
eksternal ) tanpa adanya fraktur pada ekstremitas tersebut. Bila penderita
sudah stabil, maka foto rontgen AP pelvis akan menunjang pemeriksaan
klinis.
c. Pengelolaan
Pengelolaan awal disrupsi pelvis berat disertai perdarahan memerlukan
penghentian perdarahan dan resusitasi cairan dengan cepat. Penghentian
perdarahan dilakukan dengan stabilisasi mekanik dari pelvic ring dan
eksternal counter pressure. Teknik sederhana dapat dilakukan untuk stabilisasi
pelvissebelum penderita dirujuk. Traksi kulit longitudinal atau traksi skeletal
dapat dikerjakan sebagai tindakan pertama. Prosedur ini dapat ditambah
denganmemasang kain pembungkus melilit pelvis yang berfungsi sebagai
siling atau vacuum type long spine splinting device atau PASG. Cara-cara
sementara inidapat membantu stabilisasi awal. Fraktur pelvis terbuka dengan
perdarahan yang jelas, memerlukan balut tekan dengan tampon untuk
menghentikan perdarahan.
2. Perdarahan Besar Arterial
a. Trauma
Luka tusuk di ekstremitas dapat menimbulkan trauma arteri. Trauma tumpul
yangmenyebabkan fraktur atau dislokasi sendi dekat arteri dapat merobek
arteri. Cedera ini dapat menimbulkan perdarahan besar pada luka terbuka atau
perdarahan di dalam jaringan lunak.
b. Pemeriksaan
Trauma ekstremitas harus diperiksa adanya perdarahan eksternal, hilangnya
pulsasinadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan kualitas nadi, dan
perubahan pada pemeriksaan Doppler dan ankle/brachial index. Ekstremitas
yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi menunjukkan gangguan aliran
darah arteri. Hematoma yangmembesar dengan cepat, menunjukkan adanya
trauma vaskuler.
c. Pengelolaan
Pengelolaan perdarahan besar arteri berupa tekanan langsung dan resusitasi
cairan yang agresif. Penggunaan torniket pneumatic secara bijaksana mungkin
akan menolong menyelamatkan nyawa. Penggunaan klem vaskular ditempat
perdarahan pada ruang gawat darurat tidak dianjurkan, kecuali pembuluh
darahnya terletak disuperfisial dan tampak dengan jelas. Jika fraktur disertai
luka terbuka yang berdarah aktif, harus segera diluruskan dan dipasang bidai
serta balut tekan diatasluka. Pemeriksaan arteriografi dan penunjang yang lain
baru dikerjakan jika penderita telah teresusitasi dan hemodinamik normal.
3. Crush Syndrome ( Rabdomiolisis Traumatik )
a. Trauma
Crush syndrome adalah keadaan klinis yang disebabkan kerusakan otot, yang
jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal. Kondisi ini terjadi
akibatcrush injury pada massa sejumlah otot, yang tersering paha dan betis.
Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perfusi otot, iskemia dan pelepasan
mioglobin.
b. Pemeriksaan
Mioglobin menimbulkan urine berwarna kuning gelap yang akan positif bila
diperiksa untuk adanya hemoglobin. Rabdomiolisis dapat menyebabkan
hipovodemi, asidosis metabolik, hiperkalemia, hipokalsemia dan DIC
(Disseminated intravascular coagulation).
c. Pengelolaan
Pemberian cairan IV selama ekstrikasi sangat penting untuk melindungi ginjal
dari gagal ginjal. Gagal ginjal yang disebabkan oleh mioglobin dapat dicegah
dengan pemberian cairan dan diuresis osmotic untuk meningkatkan isis
tubulus dan aliranurine. Dianjurkan untuk mempertahankan output urine
100ml/jam sampai bebasdari mioglobin uria.

C. Trauma Yang Mengancam Muskuloskeletal


1) Patah Tulang Terbuka dan Trauma Sendi
a. Trauma
Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan dunia
luar.Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri menyebabkan patah tulang terbuka
mengalami masalah infeksi, gangguan penyembuhan dan gangguan fungsi.
b. Pemeriksaan
Diagnosa didasarkan atas riwayat trauma dan pemeriksaan fisik ekstermitas yang
menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan atau tanpa kerusakaan luas otot
serta kontaminasi.Jika terdapat luka terbuka didekat sendi, harus dianggap luka ini
berhubungan dengan atau masuk kedalam sendi, dan konsultasi bedah harus
dikerjakan. Tidak boleh memasukkan zat warna atau cairan untuk membuktikan
rongga sendi berhubungan dengan luka atau tidak. Cara terbaik membuktikan
luka terbuka padasendi adalah dengan eksplorasi bedah dan pembersihan luka.
c. Pengelolaan
Setelah deskripsi atau trauma jaringan lunak, serta menentukan ada atau tidaknya
gangguan sirkulasi atau trauma saraf maka segera dilakukan imobilisasi. Penderita
segera diresusitasi secara adekuat dan hemodinamik sedapat mungkinstabil.
Profilaksis tetanus segera diberikan.
2) Trauma Vaskuler, termasuk amputasi traumatic
a. Riwayat dan pemeriksaan
Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisensi vaskuler yang
menyertai trauma tumpul, remuk (crushing), puntiran, atau trauma tembus
ekstremitas.Trauma vaskuler parsial menyebabkan ekstremitas bagian distal
dingin, pengisian kapiler lambat, pilsasi melemah dan ankle/brachial index
abnormal. Aliran yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin, pucat dan
nadi tidak teraba.
b. Pengelolaan
Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari 6 jam dan nekrosis akan
segera terjadi. Saraf juga akan sangat sensitif terhadap keadaan tanpa
oksigen.Operasi revaskularisasi segera diperlukan untuk mengembalikan
aliran darah padaekstermitas distal yang terganggu. Jika gangguan
vaskularisasi disertai fraktur harus dikoreksi segera dengan meluruskan dan
memasang bidai. Iskemia menimbulkan nyeri hebat dan konsisten.Amputasi
traumatik merupakan bentuk terberat dari fraktur terbuka yang menimbulkan
kehilangan ekstermitas dan memerlukan konsultasi dan intervensi bedah.
Patah tulang terbuka dengan iskemia berkepanjangan, trauma saraf
dankerusakan otot mungkin memerlukan amputasi.Penderita dengan trauma
multipel yang memerlukan resusitasi intensif dan operasi gawatdarurat bukan
kandidat untuk reimplantasi.Anggota yang teramputasi dicuci dengan larutan
isotonic dan dibungkus kasasteril dan dibasahi lautan penisilin (100.000 unit
dalam 50 ml RL ) dan dibungkus kantong plastik. Kantong plastik ini
dimasukkan dalam termos berisi pecahan es, lalu dikirimkan bersama
penderita.
3) Cedera Syaraf akibat Fraktur – Dislokasi
a. Trauma
Fraktur atau/dan dislokasi, dapat menyebabkan trauma saraf yang disebabkan
hubungan anatomi atau dekatnya posisi saraf dengan persendian. Kembalinya
fungsi hanya akan optimal bila keadaan ini diketahui dan ditangani secara
cepat.
b. Pemeriksaan
Pemeriksaan neurologis yang teliti selalu dilakukan pada penderita dengan
trauma musculoskeletal. Kelainan neurologis atau perubahan neurologis yang
progresif harus dicatat. Pada pemeriksaan biasanya akan didapatkan
deformitas dari musculoskeletal. Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan kerja
sama penderita. Setiap saraf perifer yang besar diperiksa fungssi motorik dan
sensorik perlu diperiksa secara sistematik.
c. Pengelolaan
Ekstremitas yang cedera harus segera diimobilisasi dalam posisi dislokasi dan
konsultasi bedah segera dikerjakan. Setelah reposisi, fungsi saraf di reavaluasi dan
ekstremitas dipasang bidai.
4) Trauma Ekstremitas Yang Lain
a. Kontusio dan Laserasi
Secara umum laserasi memerlukan debridemen dan penutupan luka. Jika
laserasimeluas sampai dibawah fasia, perlu intervensi operasi untuk
membersihkan luka danmemeriksa struktur-struktur di bawahnya yang rusak.
Kontusio umumnya dikenal karena ada nyeri dan penurunan fungsi. Palpasi
menunjukkan adanya pembengkakan lokal dan nyeri tekan. Kontusio diobati
dengan kistirahat dan pemakaian kompresdingin pada fase awal.
b. Trauma Sendi
Trauma sendi bukan dislokasi (sendi masih dalam konfigurasi anatomi normal
tetapi terdapat trauma ligamen) biasanya tidak mengancam muskuloskeletal,
walaupun dapat menurunkan fungsi musculoskeletal. Biasanya ditemukan
adanya gaya abnormal terhadap sebagian contoh tekanan terhadap bagian
anterior yang mendorong kebelakang,tekanan terhadap bagian lateral tungkai
yang menimbulkan regangan valgus pada lutut atau dengan lengan ekstensi
sehingga menimbulkan trauma hiperfleksi siku.
c. Fraktur
Definisi fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang menimbulkan
gerakan abnormal disertai krepitasi dan nyeri. Krepitasi dan gerakan abnormal
ditempat fraktur kadang-kadang dilakukan untuk memastikn diagnosis,tetapi
hal ini dapat menambah sangat nyeri kerusakan jaringan lunak.
Pembengkakan,nyeri tekan dan deformitas biasanya cukup untuk membuat
diagnosis fraktur. Mempertimbangkan status hemodinamik pasien, foto
rontgen harus mencakup sendiatas dan bawah tulang yang fraktur,untuk
menyingkirkan dislokasi dan trauma lain.

D. Definisi Kompartement Syndrome


Syndrome kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasial yang
tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen
jaringan.
Syndrome kompartemen yang paling sering terjadi adalah pada daerah tungkai
bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, posterior superficial, dan posterior
profundus) serta lengan atas (kompartemen volar dan dorsal)
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi penekanan terhadap
syaraf, pembuluh darah dan otot didalam kompatement osteofasial yang tertutup. Hal ini
mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan
pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan. Dapat dibagi menjadi akut,
subakut dan kronik.

E. Penyebab Kompartement Syndrome


Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian
memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
1. Penurunan volume kompartemen Kondisi ini disebabkan oleh:
 Penutupan defek fascia
 Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2. Peningkatan tekanan eksternal
 Balutan yang terlalu ketat
 Berbaring di atas lengan
 Gips
3. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman Beberapa hal yang bisa
menyebabkan kondisi ini antara lain:
 Pendarahan atau Trauma vaskuler
 Peningkatan permeabilitas kapiler
 Penggunaan otot yang berlebihan
 Luka bakar
 Operasi
 Gigitan ular
 Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45
% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah.

F. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu:
1) Pain (nyeri): nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena,
ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting.
Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada
anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari
biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik
dan sering.
2) Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut.
3) Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )
4) Parestesia (rasa kesemutan)
5) Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
Sedangkan pada kompartemen syndrome akan timbul beberapa gejala khas, antara lain:
- Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga. Biasanya setelah berlari
atau beraktivitas selama 20 menit.
- Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit.
- Terjadi kelemahan atau atrofi otot.

G. Penatalaksanaan Kompartement Syndrome


Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi
neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah
dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun
beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa
adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi
Penanganan kompartemen secara umum meliputi:
1. Terapi Medikal/non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan
sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
- Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan
aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia.
- Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut
kontriksi dilepas.
- Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen.
- Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
- Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan
memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang
nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
2. Terapi Bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg. Tujuan
dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot.
Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan
diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi
terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka
segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6
jam. Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi
ganda.Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman
dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan
resiko kerusakan arteri dan vena peroneal.

DAFTAR PUSTAKA
Nurarif, Amin Huda & Hardhi kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Medis dan
Nanda Nic-Noc, Edisi Revisi Jilid 2 Jogjakarta: Percetakan Mediaction Publishing.
Moorhead, Sue. 2016. Nursing Outcomes classification NOC edisi kelima. Singapora dan
Indonesia: Moca media.
Pro Emergency. 2015. Basic Trauma Life Support: Jakarta: Land Of Paradise.
SOS Profesional. 2015. Manual Book Basic Trauma - Cardiac Life Support. Jakarta: SOS
Profesional

Anda mungkin juga menyukai