Anda di halaman 1dari 9

INSECT BITE REACTION DEFINISI Insect bite reaction atau reaksi gigitan serangga adalah reaksi inflamasi dan

atau reaksi alergi, berupa erupsi pruritik pada tempat dimana serangga menggigit yang timbul beberapa jam atau hari setelah gigitan.1 Manifestasi klinis dapat berupa papula urtikaria soliter atau grup, papulovesikel dan atau bula yang dapat bertahan beberapa hari sampai minggu.1 ETIOLOGI Secara sederhana gigitan dan sengatan serangga dibagi menjadi dua grup yaitu Venomous (beracun) dan Non Venomous (tidak beracun). Serangga yang beracun biasanya menyerang dengan cara menyengat, misalnya tawon atau lebah, ini merupakan suatu mekanisme pertahanan diri yakni dengan cara menyuntikan racun atau bisa melalui alat penyengatnya. Sedangkan serangga yang tidak beracun menggigit dan menembus kulit dan masuk mengisap darah, ini biasanya yang menimbulkan rasa gatal.
(2,3)

Insect berasal dari bahasa latin insecta bermaksud serangga adalah hewan dengan ciri khusus mempunyai enam kaki (tiga pasang). Serangga mempunyai tiga bagian tubuh yaitu caput, toraks dan abdomen. Kelas Insecta terbagi kepada beberapa ordo yaitu: a) ordo anoplura (kutu); b) ordo coleoptera (kumbang); c) ordo diptera (nyamuk, lalat hitam); d) ordo hemiptera (kutu busuk); e) ordo hymenoptera (semut, lebah, tawon); f) ordo Lepidoptera (belalang, kupu-kupu. moths); dan g) ordo siphonaptera (pinjal manusia, pinjal tikus).(1,2)

PATOGENESIS Reaksi cepat dari kutaneus akibat gigitan serangga disebabkan karena adanya induksi antisaliva IgE Immediate akibat injeksi dari saliva serangga. Saliva pada

serangga

dapat

membantu

dalam

pencernaannya,

menghambat

koagulasi,

meningkatkan aliran darah pada tempat gigitan, atau menganestesi daerah gigitan. Banyak lesi yang terjadi biasanya merupakan akibat dari respon imun terhadap sekret insekta ini. Kebanyakan gigitan serangga bentuknya kecil dan hanya menghasilkan luka tusuk superficial(3,5) Gigitan serangga dan saliva sangat kompleks. Reaksi yang cepat biasanya berhubungan dengan histamin, serotonin, asam format atau kinin. Reaksi yang lambat biasanya menyerupai manifestasi dari host respon imun ke protein alergen. Infeksi sekunder biasanya terjadi.6 Kira-kira seperempat dari kasus yang dilaporkan dari anafilaksis yang terkait dengan sengatan serangga, khususnya sengatan hymenopterid. Urutan Hymenoptera berisi lebah, tawon, dan semut. Serangga ini memiliki sayap membran dan sengatan kompleks yang dapat berisi asam format, kinin dan alergen protein. Serangga dengan sengatan hipersensitivitas lebih sering terjadi pada mereka yang memiliki diatesis atopik dan juga dapat menjadi indikasi mastositosis. 6

DIAGNOSIS Anamnesis Kebanyakan pasien sadar dengan adanya gigitan serangga ketika terjadi reaksi atau tepat setelah gigitan, namun paparannya sering tidak diketahui kecuali terjadi reaksi yang berat atau berakibat sistemik. Reaksi akibat gigitan muncul beberapa menit hingga beberapa hari setelah gigitan. Durasi lesi beragam mulai dari beberapa hari, minggu, hingga beberapa bulan. Gejala yang timbul berupa pruritus, nyeri pada daerah yang digigit, serta gejala sistemik, misalnya demam dan malaise.4 Gejala Klinis Pada reaksi lokal, pasien mungkin akan mengeluh tidak nyaman, gatal, nyeri sedang maupun berat, eritema, panas, dan edema pada jaringan sekitar gigitan.(2,4) Pada reaksi lokal berat, keluhan terdiri dari eritema yang luas, urtikaria, dan edema pruritis . Reaksi lokal yang berat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi sistemik serius pada paparan berikutnya. 2

Pada reaksi sistemik atau anafilaktik, pasien bisa mengeluhkan adanya gejala lokal sebagaimana gejala yang tidak terkait dengan lokasi gigitan. Gejala dapat bervariasi dari ringan sampai fatal. Keluhan awal biasanya termasuk ruam yang luas, urtikaria, pruritus, dan angioedema. Gejala ini dapat berkembang dan pasien dapat mengalami ansietas, disorientasi, kelemahan, gangguan gastrointestinal, kram perut

pada wanita, inkontinensia urin atau alvi, pusing, pingsan, hipotensi, stridor, sesak, atau batuk. Seiring berkembangnya reaksi, pasien dapat mengalami kegagalan napas dan kolaps kardiovaskuler.7

Laboratorium Pemeriksaan laboratorium jarang dibutuhkan. Pemeriksaan laboratorium yang sesuai harus dilakukan apabila pasien mengalami reaksi yang berat dan

membutuhkan penanganan di rumah sakit atau dicurigai mengalami kegagalan organ akhir atau membutuhkan evaluasi akibat infeksi sekunder, seperti sellulitis.2 Pemeriksaan mikroskopis dari apusan kulit dapat bermanfaat pada diagnosis skabies atau kutu, namun tidak berguna pada kebanyakan gigitan serangga.2 Pemeriksaan serologis mungkin berguna dalam menentukan infeksi yang diakibatkan oleh vektor serangga, namun jarang tersedia dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya.2

DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding insect bite reaction didasarkan oleh reaksi pada tempat gigitan (papula eritema, vesikel), organisme yang menggigit serta nekrosis kutaneus yang menyebabkan timbulnya lesi yang berbeda. a. Dermatitis Kontak Alergi Dermatitis kontak alergi merupakan tipe delayed dari perangsangan alergi yang berasal dari kontak antara kulit dengan alergen spesifik dimana pasien memiliki sensitivitas tertentu. Reaksi alergi ini menyebabkan radang kulit yang bermanifestasi dalam berbagai bentuk eritema, edema, dan vesikulasi. Diagnosis didasarkan pada riwayat dan ditambah dengan pengetahuan tentang penyebab alergi umum dan iritan

di lingkungan.8 Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. 8

Gambar 2. Dermatitis kontak alergi akut pada pasien yang alergi terhadap akrilat yang digunakan dalam industri percetakan. (10)

b. Skabies Skabies adalah infeksi parasit yang umum terjadi di dunia. Arthropoda Sarcoptes scabiei var hominis menyebabkan pruritus berat dan merupakan

penyakit kulit yang sangat menular, dapat menyerang pria dan wanita dari semua tingkat status sosioekonomi dan etnik. (13, 14) Gejala dan tanda hipersensitif pada tungau biasanya berkembang perlahan sekitar 4-6 minggu sejak terpapar. Skabies muncul dalam bentuk kluster, pada individu terlihat sebagai ruam yang gatal dan papul.(13) Diagnosis skabies dapat dipertimbangkan apabila ada riwayat banyak anggota keluarga yang mengalaminya. Pruritus nokturnal yaitu gatal pada malam hari merupakan keluhan utama yang khas pada skabies. Lesi primer skabies berbentuk liang, pustul, nodul, biasanya papul dan plak urtikaria yang bertempat di sela-sela jari, area fleksor pergelangan tangan, axilla, area antecubiti, umbilicus, area genital dan gluteal, serta kaki. Lesi sekunder skabies berbentuk urtikaria, impetigo, dan plak eksematous. ( 14, 15, 16)

Gambar 3. Memperlihatkan lesi tipikal khas skabies liang linier dengan vesikel kecil diujungnya. (14)

c. Reaksi Obat yang merugikan Kulit (Adverse Cutaneous Drug Reactions)16 Adverse Cutaneous Drug Reactions merupakan kasus rawat inap yang tersering begitu pula pada pasien rawat jalan. Reaksi yang sering timbul adalah reaksi ringan disertai dengan pruritus dan akan membaik ketika penggunaan obat dihentikan. Erupsi obat dapat timbul seperti hampir semua ekspresi morfologi di dermatologi dan harus menjadi pertimbangan pertama dalam diagnosis banding dari suatu

lesi yang muncul secara tiba-tiba. Erupsi obat

disebabkan oleh kekebalan atau

mekanisme nonimmunologi dan diprovokasi oleh pemberian sistemik atau obat topikal.

Gambar 4. Urtikaria yang disebabkan acetylsalicylic acid (10)

PENATALAKSANAAN Champora dan mentol lotion dan gel formulasi mungkin berguna dalam pengendalian pruritus. Topikal anestesi akan sangat membantu, dan obat tersebut mengandung pramoxine sudah tersedia dan saat ini risiko rendah untuk terjadinya dermatitis kontak. Untuk reaksi gigitan persisten, persiapan kortikosteroid topikal sering diperlukan. Pada anak-anak, ringan sampai pertengahan kekuatan persiapan

kortikosteroid

seringkali

cukup,

sedangkan

pada

orang

dewasa,

biasanya

direkomendasikan kortikosteroid golongan 1 (mis. Betamethasone, Diflorasone) atau golongan 2 (mis. Desoximetasone, Halcinonide, dan Amcinonide).16 Ketika agen topikal gagal, injeksi intralesi dari eksisi (misalnya triamsinolon 10 mg / ml) kortikosteroid atau bintil pruritus mungkin diperlukan. Kadang-kadang, nodul pseudolymphomatous mungkin memerlukan konsentrasi triamcinolone setinggi 40 mg / ml. Atrofi cutaneous adalah risiko yang signifikan, terutama jika kortikosteroid disuntikkan dangkal. Atrophy dapat dicatat dalam distribusi sesuai dengan drainase limfatik.16 Diagnosis reaksi lokal biasanya terlihat dari riwayat gejala klinis dan temuan pada pemeriksaan fisik. Reaksi yang normal tidak memerlukan pengobatan, tetapi analgesik atau kompres dingin dapat digunakan jika dibutuhkan. Jika penyengat masih di kulit, maka harus dikeluarkan, sebaiknya dengan cara dikorek, karena dengan meremas bisa menyebabkan kantung racun dalam beberapa detik pertama setelah sengatan bisa menyuntikkan racun tambahan. Infeksi dari sengatan serangga adalah komplikasi langka pada host yang memiliki imunokompeten, dan antibiotik tidak diindikasikan bila tidak ada infeksi. Jika sengatan dari semut api, pustul harus dibiarkan utuh. Reaksi lokal besar biasanya merupakan konsekuensi kecil dan biasanya dikelola seperti reaksi normal, namun, pada beberapa kondisi bisa menjadi parah, gatal-gatal dan pembengkakan lokal yang luas.4 Meskipun tidak ada studi yang telah menegaskan efektivitasnya, banyak dokter memiliki pengalaman bahwa kortikosteroid topikal atau oral ampuh untuk mengurangi keparahan dari reaksi ini. Karena pasien dengan reaksi lokal besar memiliki peningkatan risiko anafilaksis dari sengatan berikutnya di masa depan. Merupakan pilihan tetapi biasanya tidak diperlukan untuk meresepkan injeksi epinefrin untuk pasien. Imunoterapi ditemukan tidak efektif dalam mencegah reaksi lokal besar di masa depan dalam suatu studi, tetapi laporan kasus baru-baru ini menjelaskan efektifits penggunaan imunoterapi untuk mencegah keparahan akibat sengatan dalam satu pasien.4 Pencegahan gigitan paling baik dilakukan melalui penggunaan pakaian pelindung dan penolak. DEET (N, N-dietil-3-methylbenzamide, sebelumnya disebut N, N-dietil-m-toluamide) tetap penolak paling banyak digunakan untuk pencegahan gigitan

nyamuk serta kebanyakan gigitan serangga lainnya. DEET diterapkan pada kulit yang terkena dan juga dapat diterapkan untuk pakaian. Sementara nyamuk yang membawa virus dengue cenderung menggigit pada siang hari, vektor nyamuk yang membawa malaria cenderung menggigit pada malam hari, dan piretroid-diresapi kelambu dan kemoprofilaksis adalah langkah-langkah pencegahan tambahan.16 Durasi kemanjuran DEET tidak hanya tergantung pada dosis yang diterapkan, tetapi juga pada jenis kelamin individu (betina menunjukkan perlindungan kurang, dan pengamatan ini tampaknya menjadi independen dari kadar estradiol serum). Khasiat juga dapat dikurangi dengan adanya lecet kulit. Reaksi toksik jarang termasuk anafilaksis dan ensefalopati toksik, dan konsentrasi tinggi DEET sesekali dapat menghasilkan letusan bulosa dramatis.16 Manajemen anafilaksis sengatan serangga akut tidak berbeda dari anafilaksis dari penyebab lain. Strategi manajemen pencegahan yang dirancang untuk mengurangi risiko pasien mengalami reaksi di masa depan dan morbiditas dan mortalitas yang terkait, dan mencakup langkah-langkah untuk mengurangi penghindaran kemungkinan pasien tersengat, penyediaan perawatan darurat, dan evaluasi pasien sebagai calon potensial untuk imunoterapi. Banyak pasien alergi-serangga tidak menerima pencegahan manajemen yang optimal dan imunoterapi kurang dimanfaatkan. Pengembangan strategi pencegahan didasarkan pada riwayat alami dari alergi sengatan serangga, konfirmasi diagnosis, dan penggunaan imunoterapi racun untuk mempengaruhi perjalanan penyakit.4

PROGNOSIS Prognosis dari insect bite reaction bergantung pada jenis insekta yang terlibat dan seberapa besar reaksi yang terjadi. Pemberian topikal berbagai jenis analgetik, antibiotik, dan pemberian oral antihistamin cukup membantu, begitu pun dengan kortikosteroid oral (mis. Metilprednisolone) maupun topikal (mis.

Betamethasone). Pemberian insektisida, mencegah pajanan ulang, dan menjaga higienitas lingkungan juga perlu diperhatikan. Sedangkan untuk reaksi sistemik berat, penanganan medis darurat yang tepat memberikan prognosis baik.(9, 10)

DAFTAR PUSTAKA 1. Wolff K., Johnson A. R., et al. Insect Bites And Infestations. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. 2007. USA: McGrawHill.p. 1-9 2. Steen J . Christoper. Anthropoda Bites and Stings. In : In Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K et all editors. Fitzpattricks Dermatology in General Medicine, 7th edition. New York; Mc Graw-Hill, 2008.p. 2059-2063. 3. Dofitas L.B. Insect Bites and Stings. In: Williams H., Bigby M., et al editors. Evidence Based Dermatology. 2008. UK: Blackwell Publishing.p.478-486 4. Moffitt, John E. MD. Allergic Reactions to Insect Bites and Stings on Southern Medical Journal, November 2003, Volume 96, Issue 11.p.1073-79. 5. Weller R., Hunter J., Savin J., et al editors. Clinical Dermatology 3rd edition. UK: Blackwell Science Ltd. p 224-225 6. Elston D. Bites and Stings. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP Editors. Dermatology 2nd Volume 1. Philadelphia: Elsevier Inc, 2008; 12(81)
7. Bouxton, K. Paul. Infestation. In: Bouxton, K. Paul, eds. ABC of Dermatology

4th edition. UK: BMJ Publishing Group Ltd. 2003 .p.42, 105-6
8. Elston D. Parasitic Infestations, Stings, and Bites in : Andrews' Diseases Of

The Skin Clinical Dermatology 11th Edition : Jame W, Berger T, Elston D. Philadelphia : Elsevier; 2006. p.444-51
9. Beck, M.H., Wilkinson, S.M.. Contact Dermatitis: Allergic. In: Burns T,

Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. Vol.2. Eight Edition. USA: Blackwell publishing; 2010. p. 26.13-14.
10. Elston D. Parasitic Infestations, Stings, and Bites in : Andrews' Diseases Of

The Skin Clinical Dermatology 11th Edition : Jame W, Berger T, Elston D. Philadelphia : Elsevier; 2006. p.444-51
11. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,

dkk, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.5. Jakarta: FKUI; 2005.p. 135
12. Amiruddin MD. Skabies. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.1.

Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ; 2003.p. 5-10.

13. Chosidow O. Scabies. New England J Med. 2006.1718-27

14. Handoko, R P. Skabies. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Boediarja SA, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Cetakan 2 edisi VI. Jakarta: FKUI, 2011. p. 122-125 15. Anonim. Infestations. In: Gawkrodger D J, eds. Dermatology, An Illustrated Color Text. 3rd Edition. Hancourt Publisher Limited. 2001 p.58-59 16. Anonim. Drug Reactions. In: James WD, Berger TG, Elston DM Editors. Andrews Disease of the Skin Clinical Dermatology 10th. Philadelphia: Elsevier Inc, 2006:p.115-117

Anda mungkin juga menyukai