Anda di halaman 1dari 19

Referat

Etiologi, Penegakan Diagnosis dan Penatalaksanaan


Erupsi Akneiformis

Disusun oleh:

1. Aditya Sadewa(1708436507)
2. Leydira Owen (1808436268)
3. M. Arief Budiman (1808436230)
4. Rahmi Zagita Noerilita (1808436212)
5. Rani Rindang Kasih (1808436206)
6. Rizkha Meilia Tanika (1808436186)

Pembimbing :
dr. Yuni Eka Anggraini, M.Med.Ed., M.Sc., SpKK

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
2019
ETIOLOGI, PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN ERUPSI
AKNEIFORMIS

Aditya Sadewa*, Leydira Owen*, M. Arief Budiman*, Rahmi Zagita Noerilita*, Rani
Rindang Kasih*, Rizkha Meilia Tanika*, Yuni Eka Anggraini**

*Program Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Riau/RSUD Arifin Achmad Pekanbaru
** Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, KJF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

ABSTRAK
Kortikosteroid topikal merupakan salah satu obat yang sering diresepkan dan digunakan
untuk pasien dermatologi. Kortikosteroid topikal memiliki efek anti-inflamasi,
imunosupresif, anti-proliperatif, dan vasikonstriktif. Kortikosteroid topikal berdasarkan
potensinya digolongkan mulai dari potensi lemah hingga sangat kuat. Pinsip umum
penggunaan kortikosteroid topikal pada dermatoterapi meliputi indikasi, konraindikasi,
pemilihan potensi, dosis, cara pemakaian, dan vehikulum. Penggunaan kortikosteroid
topikal yang tidak tepat dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, dan
penggunaan jangka panjang dapat pula menimbulkan takifilaksis.
Kata kunci: Dermatoterapi, Kortikosteroid Topikal

ABSTRACT
Topical corticosteroids are one of the drugs that are often prescribed and used for
dermatological patients. Topical corticosteroids have anti-inflammatory,
immunosuppressive, anti-proliperative and vasoconstrictive effects. Topical
corticosteroids based on their potential are classified from low potency to ultra high
potency topical corticosteroids. General principle of topical corticosteroids use on
dermatotherapy including indication, contraindication, potential for corticosteroids
desired, dosage, medicine usage, vehicle type. Improper use of topical corticosteroids
can cause adverse effects andalso prolong used can caused tachyphylaxis.

Keyword: Dermatoteraphy,Topical Corticosteroid

1
PENDAHULUAN

Akne adalah penyakit kulit yang terjadi akibat peradangan menahun


folikel pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul, nodus, dan
kista pada tempat predileksinya.1 Akne ditandai dengan kondisi kulit yang berminyak
dengan sebum yang berlebihan, komedo yang terbuka dan tertutup, papul eritema dan
pustule, pada sebagian kasus juga terdapat nodul, pustul yang dalam dan pseudocysts.
Kondisi ini selalu dimulai pada usia remaja dan paling sering pada usia 20 -30 tahun.2

Akne meliputi berbagai kelainan kulit yang hampir mirip satu dengan lainnya,
sehingga diperlukan penggolongan/klasifikasi untuk membedakannya. Beberapa
peneliti atau penulis buku dermatologi mengemukakan klasifikasi yang berbeda.1

Erupsi akneiformis adalah kelainan kulit yang menyerupai akne berupa


peradangan folikular dengan manifestasi klinis papulopustular. Etiologi penyakit ini
masih belum jelas. Semula erupsi akneiformis disangka sebagai salah satu jenis akne,
namun kemudian diketahui bahwa etiopatogenesis dan gejalanya berbeda.1 Erupsi
akneiformis diinduksi oleh obat-obatan seperti yodida dari medium kontras yang
radiopaque atau yodida potassium bromides seperti propantheline bromide,
testosterone, siklosporin, obat antiepilepsi, litium dan kortikosteroid sistemik.3

Erupsi akneiformis dapat muncul pada lokasi yang tidak khas, misalnya lengan
dan tungkai. Bentuk lesi pada umumnya monomorf dan tidak ditemukan komedo.3
Berbeda dengan akne, erupsi akneiformis timbul secara akut atau subakut, dan tempat
terjadinya tidak di tempat predileksi akne saja, namun di seluruh bagian tubuh yang
mempunyai folikel pilosebasea. Manifestasi klinis erupsi adalah papul dan pustule,
monomorfik atau oligomorfik, pada mulanya tanpa komedo. Komedo dapat terjadi
sekunder kemudian setelah sisitem sebum ikut terganggu. Dapat disertai demam,
males, dan umumnya tidak terasa gatal. Umur penderita berbeda dari remaja sampai
orang tua. Tentu ada anamnesis obat yang lama dikonsumsi.1

MEKANISME KERJA KORTIKOSTEROID TOPIKAL

2
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul

hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan

target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan

bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini

menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini

merupakan perantara efek fisiologis steroid. Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat

pada kulit sebagai gambaran dasar dan sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna

untuk memisahkan efek ke dalam sel atau struktur-struktur yang bertanggungjawab pada

gambaran klinis: keratinosik (atropi epidermal, re-epitalisasi lambat), produksi fibrolast

mengurangi kolagen dan bahan dasar (atropi dermal, striae), efek vaskuler kebanyakan

berhubungan dengan jaringan konektif vaskuler (telangiektasis, purpura), dan kerusakan

angiogenesis (pembentukan jaringan granulasi yang lambat).2

Khasiat glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti proliferatif, dan

imunosupresif. Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti sel-sel lesi,

berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut mengalami

perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapat membentuk atau

menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (anti-proliferatif),

bergantung pada jenis dan stadium proses radang. Glukokortikoid juga dapat mengadakan

stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak

dikeluarkan. Kortikosteroid mengurangi akses dari sejumlah limfosit ke daerah inflamasi

di daerah yang menghasilkan vasokontriksi. Fagositosis dan stabilisasi membran lisosom

yang menurun diakibatkan ketidakmampuan dari sel-sel efektor untuk degranulasi dan

melepaskan sejumlah mediator inflamasi dan juga faktor yang berhubungan dengan efek

anti-inflamasi kortikosteroid. Meskipun demikian, harus digaris bawahi di sini bahwa

3
khasiat utama anti radang bersifat menghambat tanda-tanda radang untuk sementara

diredakan. Perlu diingat bahwa penyebabnya tidak diberantas, maka bila pengobatan

dihentikan, penyakit akan kambuh.2,3

Gambar 1. Mekanisme kerja Kortikosteroid4

Secara keseluruhan, kortikosteroid topikal berhubungan dengan empat hal yaitu:

1. Vasokonstriksi

Kemampuan kortikosteroid topikal yang dapat mengakibatkan vasokonstriksi

pada kapiler-kapiler kecil pada dermis superfisial dapat mengurangi kemerahan yang

terdapat pada dermatosis. Kemampuan agen glukokortikoid untuk menyebabkan

vasokonstriksi biasanya berhubungan dengan efek anti inflamasinya.2,3,5

2. Antiproliferatif

Proliferasi sel terdapat pada membran basalis epidermis kulit. Kortikosteroid

topikal dapat mengurangi mitosis dan proliferasi sel melalui penghambatan sintesis

dan mitosis DNA. Penyakit yang mempunyai karakteristik proliferasi yang berlebihan

seperti pada psoriasis dapat menggunakan efek dari kortikosteroid ini. Pada

penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama dan penggunaan secara

4
intralesi dapat mengakibatkan hipopigmentasi. Kortikosteroid topikal dapat

menyebabkan peningkatan aktivitas fibroblastik pada dermis.2

3. Efek anti inflamasi

Efek anti inflamasi glukokortikoid didapat dengan menghambat pembentukan

prostaglandin dan derivat lain dari asam arakidonat. Glukokortikoid menghambat

pelepasan fosfolipase A2, enzim yang berperan dalam pelepasan asam arakidonat dari

membran sel, sehingga menghambat jalur pembentukan arakidonat. Mekanisme lain

dari efek anti inflamasi glukokortikoid melibatkan penghambatan fagositosis dan

stabilisasi dari membran lisosom dari sel-sel fagosit.2,6

4. Imunosupresi

Efek imunosupresi glukokortikoid belum dipahami, namun beberapa penelitian

menunjukkan glukokortikoid menyebabkan penurunan jumlah sel mast di kulit dan

inhibisi kemotaksis neutrofil lokal. Beberapa sitokin (IL-1, TNFα, Granulocyte

Macrophage Colony Stimulating Factor, IL-8) juga dipengaruhi secara langsung oleh

glukokortikoid.2

PRINSIP PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID TOPIKAL

Prinsip dalam penggunaan kortikosteroid topikal meliputi: indikasi,

kontraindikasi, pemilihan potensi kortikosteroid topikal, dosis, vehikulum, cara

pemakaian, dan efek samping serta efek akibat penggunaan jangka panjang seperti

takifilaksis. Selain itu penggunaan kortikostreoid topikal pada kelompok khusus seperti

anak-anak, wanita hamil, dan geriatri juga harus diketahui.7

5
INDIKASI

Indikasi untuk pemberian kortikosteroid topikal dapat dikompilasi berdasarkan

respon penyakit yang menjadi indikasi terhadap steroid, yakni sebagai berikut:2

Gambar 2. Indikasi penggunaan kortikosteroid topikal2

KONTRAINDIKASI

Kontraindikasi absolut penggunaan kortikosteroid topikal adalah pada daerah

yang mengalami infeksi seperti impetigo, furunkel, kerbunkel, selulitis, erisipelas, dan

eritrasma. Kontraindikasi relatif antara lain candidiasis dan dermatofitosis, karena efek

imunosupresif oleh kortikosteroid dapat menyebabkan infeksi jamur yang persisten atau

disebut tinea incognito, yang ditandai dengan menyebarnya infeksi jamur dan

pembentukan pustul.8 Pemberian pada orang yang sedang hamil harus hati-hati dan

diberikan jika sangat perlu. Pada ibu yang sedang menyusui diharapkan konsultasi dengan

dokter sebelum menggunakan karena dalam jumlah sedikit muncul pada air susu ibu.2

6
DOSIS, CARA PEMAKAIAN, DAN VEHIKULUM

Frekuensi pemberian kortikosteroid topikal yang dianjurkan yaitu satu kali sehari.

Berdasarkan penelitian, keuntungan pemberian kortikosteroid topikal satu kali sehari

sama dengan dua kali sehari. Maka frekuensi pemberian kortikosteroid topikal sebaiknya

satu kali sehari sehingga lebih efektif, mengurangi efek samping, serta menurunkan biaya

terapi. Dosis pemberian kortikosteroid topikal pada orang dewasa tidak lebih dari 45

gram/minggu pada golongan poten atau tidak lebih dari 100 gram/minggu pada

kortikosteroid golongan potensi medium dan lemah. Lama pemakaian kortikosteroid

topikal sebaiknya tidak lebih dari 2 minggu untuk golongan potensi tinggi dan tidak lebih

dari 4-6 minggu untuk golongan potensi lemah.7

Berikut adalah vehikulum kortikosteroid topikal:

Tabel 1. Pemilihan vehikuum untuk kortikosteroid topikal

7
KLASIFIKASI

Potensi kortikosteroid adalah jumlah obat yang diperlukan untuk memberikan

efek terapeutik. Potensi dari kortikosteroid topikal biasanya dinilai dari efek

vasokontriksi yang diberikannya. Kortikosteroid topikal potensi lemah adalah agen yang

paling aman untuk penggunaan jangka panjang, penggunaan pada area tubuh yang luas,

wajah atau daerah dengan kulit yang tipis, dan pada anak-anak. Kortikosteroid potensi

sedang digunakan untuk penyakit yang lebih berat dan pada daerah kulit yang tebal seperti

telapak kaki dan telapak tangan. Kortikosteroid potensi lemah dan sedang baik digunakan

untuk mengatasi erupsi inflamasi akut. Pada inflamasi kronik atau dermatosis

hiperkeratotik dapat dipertimbangkan penggunaan kortikosteroid topikal potensi kuat dan

sangat kuat. Kortikosteroid topikal potensi kuat dan sangat kuat tidak dianjurkan untuk

8
penggunaan pada wajah, selangkangan, dan aksila, kecuali pada penggunaan jangka

pendek.9

Berdasarkan efek vasokonstriksinya, kortikosteroid dibagi menjadi 7 kelas:10

9
Gambar 1. Klasifikasi kortikosteroid berdasarkan potensi10

EFEK SAMPING

10
Efek samping dapat terjadi bila penggunaan kortikosteroid tidak sesuai prinsip

penggunaannya. Semakin tinggi potensi kortikosteroid, semakin cepat terjadinya efek

samping. Gejala efek samping seperti, atrofi kulit, striae, rosasea, dermatitis perioral,

akne, dan purpura. Selain itu juga dapat menghambat penyembuhan ulkus, infeksi mudah

terjadi dan meluas, gambaran klinis penyakit infeksi menjadi kabur (contoh: tinea

incognito)8,12,13

Atrofi kulit adalah efek samping kortikosteroid topikal yang paling sering terjadi

akibat efek anti-mitotik kortikosteroid topikal yang digunakan pada daerah kulit yang

sama secara terus-menerus. Hal ini akan menyebabkan penipisan dari lapisan kulit

sehingga akan meningkatkan absorspi kortikosteroid hingga ke lapisan dermis. Daerah

yang paling berisiko terjadinya atrofi adalah daerah lipatan karena kulit yang lebih tipis

dan adanya oklusi.13

Striae dapat terjadi karena rusaknya dermis dan stres mekanik. Inflamasi dan

edem pada dermis akan menimbulkan deposit kolagen pada daerah kulit tersebut,

sehingga akan membentuk scar dalam bentuk striae yang sifatnya permanen. Rosasea

steroid dapat terjadi akibat penggunaan kortikosteroid topikal potensi kuat pada ruam

eritema dengan atau tanpa pustul. Dermatitis perioral terjadi jika menggunakan

kortikosteroid topikal poten jangka panjang pada bagian wajah. Tampilannya dapat

berupa pustul folikular dan papul dengan dasar eritem disekitar perioral.13

Efek samping lainnya yang jarang terjadi seperti hipertrikosis, perubahan pigmen,

dan terhambatnya penyembuhan luka. Efek samping sistemik juga dapat terjadi terutama

jika penggunaan kortikosteroid topikal potensi kuat jangka panjang, seperti glaukoma,

supresi aksis hipotalamus-pituitari, cus hing syndrome, hipertensi, dan hiperglikemia12,13

11
TAKIFILAKSIS

Takifilaksis terjadi karena adanya toleransi kulit akibat penggunaan

kortikosteroid topikal jangka panjang yang menyebabkan berkurangnya efektifitas obat

tersebut. Hal tersebut terjadi karena menurunnya respon terhadap efek vasokonstriksi.

Takifilaksis dapat setelah pemakaian kortikosteroid topical yang tidak menunjukkan

perbaikan klinis maka terapi harus dihentikan. Jika sudah terjadi takifilaksis maka

dibutuhkan potensi kortikosteroid yang lebih tinggi untuk menimbulkan efek terapi,

namun lebih berisiko menimbulkan efek samping. Pasien tersering yang mengalami

takifilaksis adalah psoriasis dan dermatitis atopik. 9,13

Cara pemberian kortikosteroid topikal pada psoriasis dapat diberikan golongan

sangat poten selama 1 minggu penuh lalu dihentikan selama 1 minggu, kemudian

dilanjutkan kembali sampai lesi terkontrol. Cara lain adalah dengan mengoleskan

kortikosteroid topikal selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu atau diberikan 2 kali

dalam 1 minggu. Pada dermatitis atopik terapi kortikosteroid topikal dapat diberikan

selama 2 hari berturut-turut setiap minggu.9

PENGGUNAAN PADA KONDISI KHUSUS

1. Prinsip penggunaan kortikosteroid topikal pada anak

12
Anak-anak, terutama bayi, memiliki peningkatan risiko dalam penyerapan

kortikosteroid untuk beberapa alasan. Anak-anak dan bayi memiliki rasio lebih tinggi

dalam luas permukaan kulit terhadap berat badan, aplikasi pada daerah yang diberikan

mengakibatkan dosis steroid sistemik yang secara potensial lebih besar. Bayi juga kurang

mampu memetabolisme kortikosteroid poten dengan cepat. Bayi prematur terutama

memiliki risiko karena kulitnya lebih tipis dan penetrasi obat topikal yang diberikan akan

sangat meningkat. Penyerapan kortikosteroid topikal yang berlebihan bisa menekan

produksi kortisol endogen. Akibatnya, penghentian terapi steroid topikal setelah terapi

jangka panjang dapat menyebabkan addisonian crisis. Supresi produksi kortisol yang

kronik juga dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat. Bila terdapat supresi kortisol,

maka anak harus secara perlahan dihentikan pemberian steroidnya untuk mencegah

komplikasi ini.2

2. Prinsip penggunaan kortikosteroid topikal pada geriatri

Penggunaan kortikosteroid topikal pada pasien geriatri harus berhati-hati sama

halnya seperti pada bayi, karena pasien geriatri cenderung memiliki kulit lebih tipis

sehingga akan menyebabkan peningkatan penetrasi glukokortikoid topikal, selain itu

geriatri juga cenderung mengalami atrofi kulit karena penuaan.2

3. Prinsip penggunaan kortikosteroid topikal pada kehamilan

Belum ada studi mengenai efek penggunaan kortikosteroid topikal pada

kehamilan. Studi yang dilakukan pada hewan hamil menunjukkan bahwa kortikosteroid

topikal akan diabsorbsi secara sistemik sehingga dapat menyebabkan abnormalitas pada

janin, terutama jika digunakan dalam jumlah yang banyak, periode penggunaan yang

lama, atau penggunaan kortikosteroid dengan potensi kuat. Kategori penggunaan

kortikosteroid topikal pada kehamilan menurut US Food and Drug Administration adalah

13
kategori C. Kategori C merupakan kelompok obat-obatan yang harus digunakan secara

hati-hati (digunakan jika memiliki banyak manfaat daripada risikonya).2

ALTERNATIF LAIN KORTIKOSTEROID TOPIKAL

Kortikosteroid topikal memiliki keuntungan dalam pengobatannya yang cepat dan

efektif pada dermatoterapi, namun penggunaan kortikosteroid yang tidak tepat dapat

menyebabkan berbagai efek samping. Obat alternatif yang dapat dipertimbangkan salah

satunya adalah golongan inhibitor kalsineurin topikal. Inhibitor kalsineurin topikal

bekerja menginhibisi sintesis sitokin proinflamasi. Efek anti inflamasi takrolimus

ointment sama dengan kortikosteroid potensi sedang. Inhibitor kalsineurin topikal

memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor dan penyerapan yang lebih rendah melalui

kulit sehingga tidak menimbulkan gejala efek samping yang ada pada kortikosteroid.

Inhibitor kalsineurin topikal diindikasikan terutama untuk terapi jangka panjang atau pada

area seperti wajah, lipatan, dan daerah genital, dimana penyerapan melalui kulit lebih

tinggi. Inhibitor kalsineurin topikal terdiri atas dua bentuk obat yaitu takrolimus ointment

0,03% dan 0,1% serta pimekrolimus krim 1%. Pimekrolimus memiliki efek

imunosupresan yang lebih rendah dibandingkan dengan takrolimus sehingga

membutuhkan konsentrasi topikal yang lebih tinggi.14,15

Pengobatan herbal yang dapat digunakan untuk dermatoterapi beberapa

contohnya adalah aloe vera dan astaxanthin. Aloe vera memiliki banyak aktifitas

farmakologi seperti antioksidan, antimikroba, meningkatkan daya tahan tubuh, dan

penyembuhan luka. Aloe vera mengandung antrakuinon dan kromon di gel bagian dalam

yang memiliki efek anti inflamasi yang kuat. Aloe vera dapat bermanfaat dalam

pengobatan luka bakar, dermatitis, dan inflamasi.16 Beberapa penelitian mengatakan

14
bahwa Aloe Vera merupakan salah satu tumbuhan berkhasiat yang dapat diolah menjadi

obat herbal. Lidah buaya mengandung berbagai agen anti inflamasi seperti asam salisilat,

indometasin, manosa-6-fosfat, B-sitosterol, juga komponen lignin, saponin dan

anthaquinone yang terdiri atas aloin, barbaloin, anhtranol, anthracene, aloetic acid, aloe

emodin merupakan bahan dasar obat yang bersifat sebagai anibiotik dan penghilang rasa

sakit. Selain itu, terdapat indometasin yang dapat mengurangi edema, menghambat enzim

siklooksigenase dan menghambat motilitas dari leukosit poly morpho nuclear (PMN)

yang bila jumlahnya berlebihan dapat merusak jaringan.17

Astaxanthin memiliki efek antioksidan kuat dan anti inflamasi. Efek anti inflamasi

dilihat dari perannya dalam interaksi epidermal-dermal secara in vitro. Pengobatan

astaxanthin menekan sekresi sitokin inflamasi yang diinduksi oleh ultra violet B (UVB)

dalam keratinosit dan sekresi matriks metaloproteinase-1 oleh fibroblas. Tentunya

penggunaan bahan herbal ini hanya mendapatkan efek yang diinginkan setelah

distandarisasi sesuai dosis yang efektif.18

KESIMPULAN

Kortikosteroid topikal merupakan salah satu agen yang memiliki efek anti-

inflamasi, imunosupresif, anti-proliperatif, dan vasikonstriktif. Kortikosteroid topikal

berdasarkan potensinya digolongkan menjadi potensi lemah, sedang, kuat dan sangat

kuat. Potensi ini dipilih sesuai lama pengobatan, stadium lesi, usia dan ketebalan kulit.

Prinsip dasar penggunaan kortikosteroid topikal meliputi indikasi, konraindikasi,

pemilihan potensi, dosis, cara pemakaian, vehikulum, dan efek samping. Kortikosteroid

topikal pada kelompok khusus seperti anak-anak, geriatri, dan wanita hamil perlu

diperhatikan penggunaannya. Apabila prinsip dan penggunaan kortokosteroid topikal

15
digunakan secara tepat maka akan menghasilkan terapi yang optimal dan dapat

meminimalisir efek samping.

DAFTAR PUSTAKA

16
1. Sitohang IBS, Wasitaatmadja SM. Akne Vulgaris, Erupsi Akneiformis. Dalam Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, Editor. Menaldi SLSW., Bramono K., Indriatmi W., Edisi Ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017 : Hal 288-94

2. Layton AM. Disorders of the Sebaceous Gland in Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed.
WileyBlackwell. Singapore. 2010.

3. James DW, Timothy GB, Dirk ME. Diseases of The Skin Clinical Dermatology 11th ed. Saunders
Elsevier. 2011.

1. Uva L, Miguel D, et.al. Mechanisms of Action of Topical Corticosteroids in Psoriasis.


Int J Endocrinol. Portugal. 2012;

2. Schroder K, Tschopp J. The Inflamasomes. Cell.2010; 140 (6):821-32.

3. Scott CR. The genetic tyrosinemias. Am J Med Genet C Semin Med Genet. 2006;
142:121.

4. Mehta AB, Nadkami NJ, Patil SP, et al. Topical Corticosteroids in Dermatology.
Indian J Dermatol Venerol Leprol. 2016;82:371-8.

5. Gabros S, Zito PM. Topikal Corticosteroids. StatPearls [internet].2019. (cited 2019


Apr 09). Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532940/#_NBK532940_pubdet_

6. Rathi SK, D’Souza P. Rational and ethical use of topikal corticosteroid based on safety
and efficacy. Indian J Dermatol. 2012; 57 (4):251-59.

7. Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Glucocorticosteroids. Dermatology. 3rd ed. 2012.
Ch 125,2075-88.

8. Peterson, JD. Chan, LS. A comprehensive management guide for atopic dermatitis.
Dermatology nursing. 2006. 18;6: 531.

9. Hengge UR, Ruzicka T, Schwartz RA, Cork MJ. Adverse effect of topikal
glucocorticosteroid. J Am Acad Dermatol. 2006;54:1-15

10. Coondoo A. Phiske M, Verma S, Lahiri K. Side-effect of topikal steroid: A long


overdue revisit. Indian Dermatol Online J.2014;5:416-25

17
11. Gutfreund, Katarzyna, et al. Topical calcineurin inhibitors in dermatology. Part I:
Properties, method and effectiveness of drug use. Advances in Dermatology and
Allergology/Postȩpy Dermatologii I Alergologii. 2013. 30;3:165.
12. Wollina, Uwe. The role of topical calcineurin inhibitors for skin diseases other than
atopic dermatitis. American journal of clinical dermatology. 2007. 8;3:157-73

13. Radha, MH, Laxmipriya, NP. Evaluation of biological properties and clinical
effectiveness of Aloe vera: A systematic review. Journal of traditional and
complementary medicine. 2015. 5:1; 21-6

14. Chindo Nycho Alva. Benefits of Aloe Vera Subtance as Anti-Inflammatory of


Stomatitis. J Majority. Lampung. 2015;(4)2: 83-86

15. Tominaga K, Hongo N, Fujishita M, Takahashi Y, Adachi Y. Protective effects of


astaxanthin on skin deterioration. Journal of clinical biochemistry and nutrition.
2017:17-35

18

Anda mungkin juga menyukai