Disusun oleh:
1. Aditya Sadewa(1708436507)
2. Leydira Owen (1808436268)
3. M. Arief Budiman (1808436230)
4. Rahmi Zagita Noerilita (1808436212)
5. Rani Rindang Kasih (1808436206)
6. Rizkha Meilia Tanika (1808436186)
Pembimbing :
dr. Yuni Eka Anggraini, M.Med.Ed., M.Sc., SpKK
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
2019
ETIOLOGI, PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN ERUPSI
AKNEIFORMIS
Aditya Sadewa*, Leydira Owen*, M. Arief Budiman*, Rahmi Zagita Noerilita*, Rani
Rindang Kasih*, Rizkha Meilia Tanika*, Yuni Eka Anggraini**
ABSTRAK
Kortikosteroid topikal merupakan salah satu obat yang sering diresepkan dan digunakan
untuk pasien dermatologi. Kortikosteroid topikal memiliki efek anti-inflamasi,
imunosupresif, anti-proliperatif, dan vasikonstriktif. Kortikosteroid topikal berdasarkan
potensinya digolongkan mulai dari potensi lemah hingga sangat kuat. Pinsip umum
penggunaan kortikosteroid topikal pada dermatoterapi meliputi indikasi, konraindikasi,
pemilihan potensi, dosis, cara pemakaian, dan vehikulum. Penggunaan kortikosteroid
topikal yang tidak tepat dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, dan
penggunaan jangka panjang dapat pula menimbulkan takifilaksis.
Kata kunci: Dermatoterapi, Kortikosteroid Topikal
ABSTRACT
Topical corticosteroids are one of the drugs that are often prescribed and used for
dermatological patients. Topical corticosteroids have anti-inflammatory,
immunosuppressive, anti-proliperative and vasoconstrictive effects. Topical
corticosteroids based on their potential are classified from low potency to ultra high
potency topical corticosteroids. General principle of topical corticosteroids use on
dermatotherapy including indication, contraindication, potential for corticosteroids
desired, dosage, medicine usage, vehicle type. Improper use of topical corticosteroids
can cause adverse effects andalso prolong used can caused tachyphylaxis.
1
PENDAHULUAN
Akne meliputi berbagai kelainan kulit yang hampir mirip satu dengan lainnya,
sehingga diperlukan penggolongan/klasifikasi untuk membedakannya. Beberapa
peneliti atau penulis buku dermatologi mengemukakan klasifikasi yang berbeda.1
Erupsi akneiformis dapat muncul pada lokasi yang tidak khas, misalnya lengan
dan tungkai. Bentuk lesi pada umumnya monomorf dan tidak ditemukan komedo.3
Berbeda dengan akne, erupsi akneiformis timbul secara akut atau subakut, dan tempat
terjadinya tidak di tempat predileksi akne saja, namun di seluruh bagian tubuh yang
mempunyai folikel pilosebasea. Manifestasi klinis erupsi adalah papul dan pustule,
monomorfik atau oligomorfik, pada mulanya tanpa komedo. Komedo dapat terjadi
sekunder kemudian setelah sisitem sebum ikut terganggu. Dapat disertai demam,
males, dan umumnya tidak terasa gatal. Umur penderita berbeda dari remaja sampai
orang tua. Tentu ada anamnesis obat yang lama dikonsumsi.1
2
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan
target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan
bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini
menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini
merupakan perantara efek fisiologis steroid. Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat
pada kulit sebagai gambaran dasar dan sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna
untuk memisahkan efek ke dalam sel atau struktur-struktur yang bertanggungjawab pada
mengurangi kolagen dan bahan dasar (atropi dermal, striae), efek vaskuler kebanyakan
Khasiat glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti proliferatif, dan
imunosupresif. Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti sel-sel lesi,
berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut mengalami
perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapat membentuk atau
bergantung pada jenis dan stadium proses radang. Glukokortikoid juga dapat mengadakan
stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak
yang menurun diakibatkan ketidakmampuan dari sel-sel efektor untuk degranulasi dan
melepaskan sejumlah mediator inflamasi dan juga faktor yang berhubungan dengan efek
3
khasiat utama anti radang bersifat menghambat tanda-tanda radang untuk sementara
diredakan. Perlu diingat bahwa penyebabnya tidak diberantas, maka bila pengobatan
1. Vasokonstriksi
pada kapiler-kapiler kecil pada dermis superfisial dapat mengurangi kemerahan yang
2. Antiproliferatif
topikal dapat mengurangi mitosis dan proliferasi sel melalui penghambatan sintesis
dan mitosis DNA. Penyakit yang mempunyai karakteristik proliferasi yang berlebihan
seperti pada psoriasis dapat menggunakan efek dari kortikosteroid ini. Pada
penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama dan penggunaan secara
4
intralesi dapat mengakibatkan hipopigmentasi. Kortikosteroid topikal dapat
pelepasan fosfolipase A2, enzim yang berperan dalam pelepasan asam arakidonat dari
4. Imunosupresi
Macrophage Colony Stimulating Factor, IL-8) juga dipengaruhi secara langsung oleh
glukokortikoid.2
pemakaian, dan efek samping serta efek akibat penggunaan jangka panjang seperti
takifilaksis. Selain itu penggunaan kortikostreoid topikal pada kelompok khusus seperti
5
INDIKASI
respon penyakit yang menjadi indikasi terhadap steroid, yakni sebagai berikut:2
KONTRAINDIKASI
yang mengalami infeksi seperti impetigo, furunkel, kerbunkel, selulitis, erisipelas, dan
eritrasma. Kontraindikasi relatif antara lain candidiasis dan dermatofitosis, karena efek
imunosupresif oleh kortikosteroid dapat menyebabkan infeksi jamur yang persisten atau
disebut tinea incognito, yang ditandai dengan menyebarnya infeksi jamur dan
pembentukan pustul.8 Pemberian pada orang yang sedang hamil harus hati-hati dan
diberikan jika sangat perlu. Pada ibu yang sedang menyusui diharapkan konsultasi dengan
dokter sebelum menggunakan karena dalam jumlah sedikit muncul pada air susu ibu.2
6
DOSIS, CARA PEMAKAIAN, DAN VEHIKULUM
Frekuensi pemberian kortikosteroid topikal yang dianjurkan yaitu satu kali sehari.
sama dengan dua kali sehari. Maka frekuensi pemberian kortikosteroid topikal sebaiknya
satu kali sehari sehingga lebih efektif, mengurangi efek samping, serta menurunkan biaya
terapi. Dosis pemberian kortikosteroid topikal pada orang dewasa tidak lebih dari 45
gram/minggu pada golongan poten atau tidak lebih dari 100 gram/minggu pada
topikal sebaiknya tidak lebih dari 2 minggu untuk golongan potensi tinggi dan tidak lebih
7
KLASIFIKASI
efek terapeutik. Potensi dari kortikosteroid topikal biasanya dinilai dari efek
vasokontriksi yang diberikannya. Kortikosteroid topikal potensi lemah adalah agen yang
paling aman untuk penggunaan jangka panjang, penggunaan pada area tubuh yang luas,
wajah atau daerah dengan kulit yang tipis, dan pada anak-anak. Kortikosteroid potensi
sedang digunakan untuk penyakit yang lebih berat dan pada daerah kulit yang tebal seperti
telapak kaki dan telapak tangan. Kortikosteroid potensi lemah dan sedang baik digunakan
untuk mengatasi erupsi inflamasi akut. Pada inflamasi kronik atau dermatosis
sangat kuat. Kortikosteroid topikal potensi kuat dan sangat kuat tidak dianjurkan untuk
8
penggunaan pada wajah, selangkangan, dan aksila, kecuali pada penggunaan jangka
pendek.9
9
Gambar 1. Klasifikasi kortikosteroid berdasarkan potensi10
EFEK SAMPING
10
Efek samping dapat terjadi bila penggunaan kortikosteroid tidak sesuai prinsip
samping. Gejala efek samping seperti, atrofi kulit, striae, rosasea, dermatitis perioral,
akne, dan purpura. Selain itu juga dapat menghambat penyembuhan ulkus, infeksi mudah
terjadi dan meluas, gambaran klinis penyakit infeksi menjadi kabur (contoh: tinea
incognito)8,12,13
Atrofi kulit adalah efek samping kortikosteroid topikal yang paling sering terjadi
akibat efek anti-mitotik kortikosteroid topikal yang digunakan pada daerah kulit yang
sama secara terus-menerus. Hal ini akan menyebabkan penipisan dari lapisan kulit
yang paling berisiko terjadinya atrofi adalah daerah lipatan karena kulit yang lebih tipis
Striae dapat terjadi karena rusaknya dermis dan stres mekanik. Inflamasi dan
edem pada dermis akan menimbulkan deposit kolagen pada daerah kulit tersebut,
sehingga akan membentuk scar dalam bentuk striae yang sifatnya permanen. Rosasea
steroid dapat terjadi akibat penggunaan kortikosteroid topikal potensi kuat pada ruam
eritema dengan atau tanpa pustul. Dermatitis perioral terjadi jika menggunakan
kortikosteroid topikal poten jangka panjang pada bagian wajah. Tampilannya dapat
berupa pustul folikular dan papul dengan dasar eritem disekitar perioral.13
Efek samping lainnya yang jarang terjadi seperti hipertrikosis, perubahan pigmen,
dan terhambatnya penyembuhan luka. Efek samping sistemik juga dapat terjadi terutama
jika penggunaan kortikosteroid topikal potensi kuat jangka panjang, seperti glaukoma,
11
TAKIFILAKSIS
tersebut. Hal tersebut terjadi karena menurunnya respon terhadap efek vasokonstriksi.
perbaikan klinis maka terapi harus dihentikan. Jika sudah terjadi takifilaksis maka
dibutuhkan potensi kortikosteroid yang lebih tinggi untuk menimbulkan efek terapi,
namun lebih berisiko menimbulkan efek samping. Pasien tersering yang mengalami
sangat poten selama 1 minggu penuh lalu dihentikan selama 1 minggu, kemudian
dilanjutkan kembali sampai lesi terkontrol. Cara lain adalah dengan mengoleskan
kortikosteroid topikal selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu atau diberikan 2 kali
dalam 1 minggu. Pada dermatitis atopik terapi kortikosteroid topikal dapat diberikan
12
Anak-anak, terutama bayi, memiliki peningkatan risiko dalam penyerapan
kortikosteroid untuk beberapa alasan. Anak-anak dan bayi memiliki rasio lebih tinggi
dalam luas permukaan kulit terhadap berat badan, aplikasi pada daerah yang diberikan
mengakibatkan dosis steroid sistemik yang secara potensial lebih besar. Bayi juga kurang
memiliki risiko karena kulitnya lebih tipis dan penetrasi obat topikal yang diberikan akan
produksi kortisol endogen. Akibatnya, penghentian terapi steroid topikal setelah terapi
jangka panjang dapat menyebabkan addisonian crisis. Supresi produksi kortisol yang
kronik juga dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat. Bila terdapat supresi kortisol,
maka anak harus secara perlahan dihentikan pemberian steroidnya untuk mencegah
komplikasi ini.2
halnya seperti pada bayi, karena pasien geriatri cenderung memiliki kulit lebih tipis
kehamilan. Studi yang dilakukan pada hewan hamil menunjukkan bahwa kortikosteroid
topikal akan diabsorbsi secara sistemik sehingga dapat menyebabkan abnormalitas pada
janin, terutama jika digunakan dalam jumlah yang banyak, periode penggunaan yang
kortikosteroid topikal pada kehamilan menurut US Food and Drug Administration adalah
13
kategori C. Kategori C merupakan kelompok obat-obatan yang harus digunakan secara
efektif pada dermatoterapi, namun penggunaan kortikosteroid yang tidak tepat dapat
menyebabkan berbagai efek samping. Obat alternatif yang dapat dipertimbangkan salah
memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor dan penyerapan yang lebih rendah melalui
kulit sehingga tidak menimbulkan gejala efek samping yang ada pada kortikosteroid.
Inhibitor kalsineurin topikal diindikasikan terutama untuk terapi jangka panjang atau pada
area seperti wajah, lipatan, dan daerah genital, dimana penyerapan melalui kulit lebih
tinggi. Inhibitor kalsineurin topikal terdiri atas dua bentuk obat yaitu takrolimus ointment
0,03% dan 0,1% serta pimekrolimus krim 1%. Pimekrolimus memiliki efek
contohnya adalah aloe vera dan astaxanthin. Aloe vera memiliki banyak aktifitas
penyembuhan luka. Aloe vera mengandung antrakuinon dan kromon di gel bagian dalam
yang memiliki efek anti inflamasi yang kuat. Aloe vera dapat bermanfaat dalam
14
bahwa Aloe Vera merupakan salah satu tumbuhan berkhasiat yang dapat diolah menjadi
obat herbal. Lidah buaya mengandung berbagai agen anti inflamasi seperti asam salisilat,
anthaquinone yang terdiri atas aloin, barbaloin, anhtranol, anthracene, aloetic acid, aloe
emodin merupakan bahan dasar obat yang bersifat sebagai anibiotik dan penghilang rasa
sakit. Selain itu, terdapat indometasin yang dapat mengurangi edema, menghambat enzim
siklooksigenase dan menghambat motilitas dari leukosit poly morpho nuclear (PMN)
Astaxanthin memiliki efek antioksidan kuat dan anti inflamasi. Efek anti inflamasi
astaxanthin menekan sekresi sitokin inflamasi yang diinduksi oleh ultra violet B (UVB)
penggunaan bahan herbal ini hanya mendapatkan efek yang diinginkan setelah
KESIMPULAN
Kortikosteroid topikal merupakan salah satu agen yang memiliki efek anti-
berdasarkan potensinya digolongkan menjadi potensi lemah, sedang, kuat dan sangat
kuat. Potensi ini dipilih sesuai lama pengobatan, stadium lesi, usia dan ketebalan kulit.
pemilihan potensi, dosis, cara pemakaian, vehikulum, dan efek samping. Kortikosteroid
topikal pada kelompok khusus seperti anak-anak, geriatri, dan wanita hamil perlu
15
digunakan secara tepat maka akan menghasilkan terapi yang optimal dan dapat
DAFTAR PUSTAKA
16
1. Sitohang IBS, Wasitaatmadja SM. Akne Vulgaris, Erupsi Akneiformis. Dalam Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, Editor. Menaldi SLSW., Bramono K., Indriatmi W., Edisi Ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017 : Hal 288-94
2. Layton AM. Disorders of the Sebaceous Gland in Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed.
WileyBlackwell. Singapore. 2010.
3. James DW, Timothy GB, Dirk ME. Diseases of The Skin Clinical Dermatology 11th ed. Saunders
Elsevier. 2011.
3. Scott CR. The genetic tyrosinemias. Am J Med Genet C Semin Med Genet. 2006;
142:121.
4. Mehta AB, Nadkami NJ, Patil SP, et al. Topical Corticosteroids in Dermatology.
Indian J Dermatol Venerol Leprol. 2016;82:371-8.
6. Rathi SK, D’Souza P. Rational and ethical use of topikal corticosteroid based on safety
and efficacy. Indian J Dermatol. 2012; 57 (4):251-59.
7. Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Glucocorticosteroids. Dermatology. 3rd ed. 2012.
Ch 125,2075-88.
8. Peterson, JD. Chan, LS. A comprehensive management guide for atopic dermatitis.
Dermatology nursing. 2006. 18;6: 531.
9. Hengge UR, Ruzicka T, Schwartz RA, Cork MJ. Adverse effect of topikal
glucocorticosteroid. J Am Acad Dermatol. 2006;54:1-15
17
11. Gutfreund, Katarzyna, et al. Topical calcineurin inhibitors in dermatology. Part I:
Properties, method and effectiveness of drug use. Advances in Dermatology and
Allergology/Postȩpy Dermatologii I Alergologii. 2013. 30;3:165.
12. Wollina, Uwe. The role of topical calcineurin inhibitors for skin diseases other than
atopic dermatitis. American journal of clinical dermatology. 2007. 8;3:157-73
13. Radha, MH, Laxmipriya, NP. Evaluation of biological properties and clinical
effectiveness of Aloe vera: A systematic review. Journal of traditional and
complementary medicine. 2015. 5:1; 21-6
18