Anda di halaman 1dari 17

BUKU AJAR Kepada Yth:

Dipresentasikan pada:
Hari/Tanggal :
Jam :

GLUKOKORTIKOID (BAGIAN 1)
Diterjemahkan dari: Glucocorticoids
Dalam Buku : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine,
Chapter 184, page: 3382, 9th edition, 2019, oleh : Avrom Caplan, Nicole Fett, & Victoria
Werth.

Oleh :
dr. Desak Nyoman Trisepti Utami

Pembimbing :
dr. Prima Sanjiwani Saraswati Sudarsa, M. Biomed, SpKK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD / RSUP SANGLAH
DENPASAR
2020
GLUKOKORTIKOID SISTEMIK

SEKILAS TENTANG GLUKOKORTIKOID SISTEMIK


 Glukokortikoid sistemik merupakan agen imunosupresif dan antiinflamasi
poten yang sering digunakan pada penyakit kulit yang berat.
 Komplikasi meningkat pada senyawa yang mengandung fluor, dosis yang
lebih tinggi, durasi terapi yang lebih lama, dan frekuensi pemberian yang
lebih sering.
 Rute pemberian secara intralesional, intramuskular, intravena, topikal, dan
oral dapat digunakan.
 Pemantauan yang teliti terhadap efek samping sistemik dan lokal pada kulit
merupakan bagian esensial terapi.
 Osteoporosis yang dipicu glukokortikoid mulai terjadi pada tahap awal
terapi dan sebaiknya ditatalaksana secara agresif pada seluruh pasien
dengan terapi glukokortikoid jangka panjang.

Glukokortikoid merupakan pilihan utama terapi dermatologis karena memiliki


sifat imunosupresif dan antiinflamasi yang poten. Dengan memahami sifat dan
mekanisme kerja glukokortikoid, diharapkan efikasi dan keamanannya sebagai
agen terapeutik dapat dimaksimalkan.

FARMAKOLOGI DAN MEKANISME KERJA GLUKOKORTIKOID

Bentuk utama glukokortikoid yang bersifat alami adalah kortisol (hidrokortison).


Kortisol disintesis dari kolesterol oleh korteks kelenjar adrenal. Pada kondisi
normal, terdapat kurang dari 5% kortisol yang tidak terikat (unbound) pada
sirkulasi, kortisol bebas tersebut merupakan molekul terapeutik yang aktif.
Sisanya bersifat inaktif karena berikatan dengan cortisol-binding globulin (juga

1
disebut transcortin) atau dengan albumin. Produksi kortisol harian antara 5-7
mg/m2, dengan puncak diurnal sekitar pukul 08.00 pagi. Kortisol memiliki waktu
paruh plasma selama 90 menit. Metabolisme utama kortisol dilakukan oleh hepar,
namun efek hormonal kortisol terjadi pada hampir seluruh jaringan pada tubuh
manusia. Metabolit kortisol diekskresikan oleh ginjal dan hepar.
Mekanisme kerja glukokortikoid melibatkan difusi pasif glukokortikoid
melalui membran sel, diikuti ikatan dengan protein reseptor solubel pada
sitoplasma. Kompleks hormon-reseptor tersebut kemudian berpindah ke dalam
nukleus dan meregulasi transkripsi beberapa gen target. Terdapat tiga mekanisme
kerja utama glukokortikoid. Mekanisme pertama adalah efek langsung pada
ekspresi gen akibat ikatan reseptor glukokortikoid dengan elemen yang responsif
terhadap glukokortikoid, yang memicu induksi protein seperti annexin I, dan
MAPK (mitogen-activated protein kinase) phosphatase I. Annexins menurunkan
aktifitas fosfolipase A2, yang menurunkan pelepasan asam arakidonat dari
membran fosfolipid, sehingga membatasi pembentukan prostaglandin dan
leukotrien. Mekanisme kerja kedua glukokortikoid adalah dengan efek tidak
langsung pada ekspresi gen melalui interaksi reseptor glukokortikoid dengan
faktor transkripsi lain. Sebagai contoh, efek inhibisi pada AP-1 dan nuclear factor
B, serta peningkatan inhibitor nuclear factor B (IB), menurunkan sintesis
beberapa molekul proinflamatorik, termasuk sitokin, interleukin, molekul adhesi,
serta protease. Mekanisme kerja ketiga adalah efek yang dimediasi reseptor
glukortikoid pada kaskade second messenger melalui jalur nongenomik seperti
jalur phosphatidylinositol 3’-kinase (PI3K)-Aktendothelial nitric oxide synthase
(eNOS).
Umumnya terdapat selang waktu antara onset efek farmakologis
glukokortikoid terhadap konsentrasi puncak glukokortikoid pada plasma, yang
mana kemungkinan disebabkan proses perubahan transkripsi gen, walaupun
beberapa mekanisme kerja independent terhadap proses transkripsi. Beberapa efek
yang ditunjukkan glukokortikoid nampak terlalu cepat jika dimediasi melalui
mekanisme kerja genomik, yang dapat menjelaskan manfaat tambahan terapi
glukokortikoid dengan dosis denyut tinggi.

2
Efek Seluler Glukokortikoid

Glukokortikoid sangat mempengaruhi replikasi dan pergerakan sel.


Glukokortikoid memicu monositopenia, eosinopenia, dan limfositopenia, serta
memiliki efek yang lebih besar terhadap sel T dibanding sel B. Limfositopenia
nampaknya disebabkan redistribusi sel seiring dengan perpindahannya dari
sirkulasi menuju jaringan limfoid lain. Peningkatan leukosit polimorfonuklear
pada sirkulasi berhubungan dengan demarginasi sel dari sumsum tulang dan
penurunan laju pelepasan dari sirkulasi yang sebagian dipengaruhi peningkatan
annexin 1. Selain itu juga terjadi inhibisi apoptosis neutrofil.
Glukokortikoid mempengaruhi aktivasi, proliferasi, serta diferensiasi sel.
Glukokortikoid memodulasi kadar mediator inflamasi dan reaksi imun,
sebagaimana nampak dalam inhibisi sintesis serta pelepasan sitokin dan tumor
necrosis factor. Selain itu, fungsi makrofag yang meliputi fagositosis, pemrosesan
antigen, dan pembunuhan sel, juga diturunkan kortisol, sehingga mempengaruhi
hipersensitivitas dini dan lanjut.
Glukokortikoid mensupresi fungsi monosit dan limfosit (baik sel Th1 dan
Th2) dengan lebih besar dibanding fungsi leukosit polimorfonuklear. Hal ini
penting secara klinis karena penyakit infeksi granulomatosa seperti tuberkulosis
rentan mengalami eksaserbasi dan relapse dalam pengobatan glukokortikoid
jangka panjang.

INDIKASI

Terdapat berbagai indikasi pemberian glukokortikoid pada penyakit kulit (Tabel


184-1). Selain itu, pemberian glukokortikoid jangka pendek juga dapat digunakan
pada berbagai bentuk dermatitis berat, termasuk dermatitis kontak, dermatitis
atopik, fotodermatitis, dermatitis eksfoliatif, dan eritroderma. Penggunaan
glukokortikoid masih kontroversi pada tatalaksana eritema nodosum, liken planus,
limfoma sel T kutan, serta lupus eritematosus diskoid.

3
Tabel 184-1
Indikasi Kortikosteroid Sistemik yang Sering Ditemui
 Penyakit kulit berupa lepuhan (blister) berat (pemfigus, pemfigoid
bulosa, pemfigoid sikatriks, dermatosis bulosa immunoglobulin A linier,
epidermolisis bulosa akuisita, herpes gestasional, eritema multiforme,
nekrolisis epidermal toksik)
 Penyakit jaringan ikat (dermatomiositis, lupus eritematosus sistemik,
penyakit jaringan ikat campuran, fascitis eosinofilik, polikondritis
berulang)
 Vaskulitis
 Dermatosis neutrofilik (pyoderma gangrenosum, dermatosis neutrofilik
febril akut, penyakit Behcet)
 Sarkoidosis
 Reaksi Leprosi tipe I
 Hemangioma infantil
 Pannikulitis
 Urtikaria/angioedem

REGIMEN DOSIS

Glukokortikoid sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuskuler, dan


intravena. Cara dan regimen pemberian ditentukan oleh patofisiologi dan luas
penyakit yang diobati.
Pemberian glukokortikoid intralesi memungkinkan akses langsung ke lesi
yang relatif sedikit atau terutama lesi yang resisten. Konsentrasi tergantung dari
tempat penyuntikan dan sifat alamiah dari lesi. Konsentrasi yang lebih rendah
digunakan pada wajah untuk mencegah atrofi kulit. Pada keadaan yang
membutuhkan efek yang berkelanjutan, seperti keloid dan alopesia areata, dapat
diberikan glukokortikoid kerja yang lebih panjang seperti triamcinolone diacetate
(Aristospan), dapat diberikan sendiri atau dicampur dengan yang lebih tipikal
digunakan yaitu triamcinolone acetonide (Kenalog). Sebaiknya dibatasi

4
penggunaan dosis total Kenalog sampai 20 mg untuk memastikan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal tidak ditekan.
Pemberian glukokortikoid secara IM memberikan keuntungan dan
tantangan yang bervariasi. Walaupun pemberian secara IM mengurangi perhatian
pada kepatuhan dan tidak dipengaruhi oleh mual, muntah atau ketidakmampuan
menerima akses intravena, kelemahannya yang potensial yaitu penyerapannya
yang tidak menentu dan kurangnya kontrol harian dari dosis. Selanjutnya,
penyuntikan IM dapat menyebabkan lipoatropi atau abses steril. Formulasi yang
kerja panjang seperti triamcinolone acetonide mempunyai efek samping yang
meningkat dibandingkan formulasi kerja pendek, seperti meningkatnya potensi
supresi aksis HPA. Karena pengobatan ini menimbulkan efek yang berakhir
dalam 3 minggu, pemberian IM dari triamcinolone acetonide sebaiknya tidak
diberikan lebih dari beberapa kali dalam setahun untuk mencegah supresi adrenal.
Glukokortikoid intravena digunakan pada dua keadaan. Pertama adalah
untuk mengatasi stres pada pasien yang sedang sakit akut atau yang sedang
menjalani operasi dan mengalami supresi adrenal akibat terapi glukokortikoid
harian. Fungsi yang lain adalah untuk pasien dengan penyakit tertentu seperti
pioderma gangrenosum resisten, pemfigus yang parah, atau pemfigoid bulosa,
lupus eritematosus sistemik yang parah, atau dermatomiositis untuk meningkatkan
kontrol yang cepat terhadap penyakit dan dengan demikian meminimalkan
kebutuhan terapi steroid oral dengan dosis tinggi ataupun jangka lama.
Metilprednisolon digunakan pada dosis 500 mg sampai dengan 1 g setiap harinya
karena potensinya yang tinggi dan aktivitas retensi natrium yang rendah. Efek
samping serius yang berkaitan dengan pemberian secara intravena meliputi reaksi
anafilaktik, kejang, aritmia, dan kematian mendadak. Reaksi lain yang merugikan
adalah hipotensi, hipertensi, hiperglikemia, perubahan elektrolit, dan psikosis
akut. Pemberian yang lebih lambat selama 2 hingga 3 jam telah meminimalkan
banyak efek samping yang serius, dan selama tanda vital diawasi secara sering,
pasien tanpa penyakit dasar ginjal atau jantung tidak perlu dirawat di tempat tidur
yang bermonitor (intensif). Penting untuk memonitor serum elektrolit sebelum

5
dan sesudah terapi denyut (pulse therapy), terutama ketika pasien juga sedang
menjalani terapi diuretik.
Pada pemberian glukokortikoid secara oral, jenis glukokortikoid yang
paling sering dipakai adalah prednison. Dosis awal paling sering diberikan setiap
hari untuk mengontrol proses penyakit dan dapat berkisar dari 2,5 mg hingga
ratusan miligram setiap harinya.

PERMULAAN TERAPI

Prinsip Dasar
Sebelum terapi glukokortikoid dimulai, sebaiknya bandingkan terlebih dahulu
manfaat yang diharapkan dengan efek samping yang mungkin timbul. Terapi
alternatif atau tambahan sebaiknya dipertimbangkan, terutama pada pengobatan
jangka lama. Penyakit yang menyertai seperti diabetes, hipertensi, atau
osteoporosis perlu diperhatikan. Kecenderungan pasien akan efek samping
sebaiknya dimasukkan ke dalam penilaian risiko.

Pemilihan Glukokortikoid
Sejumlah pertimbangan mempengaruhi dalam memilih glukokortikoid (Tabel
184.20). Pertama, sediaan dengan efek mineralokortikoid minimal biasanya
dipilih untuk menurunkan retensi natrium. Kedua, penggunaan jangka panjang
prednison atau obat yang serupa secara oral, dengan waktu paruh menengah dan
afinitas terhadap reseptor steroid yang relatif lemah dapat mengurangi efek
samping. Penggunaan jangka panjang dari obat-obatan seperti deksametason,
yang memiliki waktu paruh lebih lama dan afinitas glukokortikoid yang tinggi,
dapat menghasilkan efek samping yang lebih banyak tanpa efek terapeutik yang
lebih baik. Ketiga, jika pasien tidak berespon terhadap kortison atau prednison,
sebaiknya dipertimbangkan penggantian dengan bentuk aktif secara biologi,
seperti kortisol atau prednisolon. Pada umumnya, bahkan pada penyakit hati yang
parah, penggantian ini belum terbukti sangat penting.

6
Evaluasi sebelum Pengobatan
Untuk meminimalkan masalah yang mungkin timbul, evaluasi awal sebaiknya
mencakup riwayat pribadi dan keluarga, dengan perhatian khusus pada
predisposisi seperti diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma, dan penyakit-
penyakit yang berhubungan yang dapat dipengaruhi oleh terapi glukokortikoid.
Evaluasi dan pemantauan yang direkomendasikan selama terapi glukokortikoid
didiskusikan pada bagian “Efek Samping”.

TABEL 184.2
 
Ekuivalen Glukokortikoid

POTENSI WAKTU
DOSIS POTENSI WAKTU
SUPRES MINERA- PARUH
  EKUIVALE GLUKOKOR- PARUH
I HPA LOKOR- BIOLOGIS
N (mg) TIKOID PLASMA
TIKOID (h)

Kerja singkat  
Kortisol 20.0 1.0 1.0 1.0 90.0 8-12
Kortison 25.0 0.8 0.8 80-118 8-12
Kerja sedang  
Prednison 5.0 4.0 4.0 0.3 60.0 18-36
Prednisolon 5.0 5.0 0.3 115-200 18-36
Triamsinolon 4.0 5.0 4.0 0.0 30.0 18-36
Metilprednisolon 4.0 5.0 4.0 0.0 180.0 18-36
Kerja panjang  
Deksametason 0.75 30.0 17.0 0.0 200.0 36-54
Betamethason 0.6 25-40 0.0 300.0 36-54
Mineralokortikoid
 
s
Fludrocortisone 2.0 10.0 12.0 250.0 200.0 18-36
Desoksikorti-
  0.0   20.0 70.0  
kosteron asetat

EFEK SAMPING DAN PENCEGAHAN

Tabel 184.3 merangkum pengukuran pencegahan efek samping untuk terapi


glukokortikoid sistemik.

7
TABEL 184.3  

Pengukuran untuk Efek Samping dan Pencegahan Terapi Kortikosteroid Sistemik

EFEK SAMPING PENGUKURAN PREVENTATIF

Hipertensi Tekanan darah (kunjungan awal; diulang tiap kunjungan)


   
Peningkatan berat badan Berat badan (kunjungan awal; diulang tiap kunjungan)
   
Pemeriksaan purified protein derivative atau interferon-
Reaktivasi infeksi
gamma release; skrining hepatitis;
mempertimbangkan profilaksis pneumonia Pneumocytis
 
jiroveci
   
Elektrolit, lipid, glukosa [kunjungan awal; diulang pada
Abnormalitas metabolik
permulaan setelah terapi dimulai;
diulang setiap tahun; pengawasan yang lebih sering
  faktor-faktor yang diketahui (misalnya, diabetes,
hiperlipidemia)].
   
Kepadatan tulang (kunjungan awal; diulang setiap tahun),
Osteoporosis
instruksikan tentang diet, olahraga;
memulai suplementasi kalsium dan vitamin D; memulai
 
bifosfonat pada pria,
wanita paska menopause tergantung dari evaluasi
 
kepadatan mineral tulang
   
Rujuk ke dokter spesialis mata untuk evaluasi dan
Mata mempertimbangkan skrining lebih sering jika ada riwayat
katarak atau glaukoma
   
Pada pasien dengan penggunaan obat NSAID, mulai
Ulkus peptikum
profilaksis dengan penghambat pompa proton;
dengan 2 atau lebih faktor resiko, pertimbangkan
 
profilaksis dengan penghambat pompa proton.
   
Supresi aksis Tunggal, dosis pagi hari, lebih baik setiap selang sehari.
hipotalamus-pituitari-adrenal  

8
Diet
Diet sebaiknya rendah kalori, lemak, dan natrium, dan tinggi protein, kalium, dan
kalsium, juga dipertimbangkan komorbid yang berhubungan. Asupan protein
penting untuk mengurangi pembuangan nitrogen akibat steroid. Kurangi konsumsi
alkohol, kopi, dan nikotin. Latihan fisik sebaiknya ditingkatkan

Infeksi
Terapi glukokortikoid meningkatkan resiko pasien untuk infeksi yang umum
ataupun jarang. Semua pasien dengan dosis glukokortikoid 15 mg atau lebih
selama 1 bulan atau lebih lama seharusnya dilakukan skrining untuk tuberkulosis
dengan tes kulit tuberkulin dengan menyuntikkan derivatif protein yang
terpurifikasi atau suatu pemeriksaan pelepasan interferon gamma (QuantiFERON-
TB Gold In-Tube Test atau T-STOP.TB). Pasien dengan hasil tes skrinng positif
harus di radiografi dada untuk mengevaluasi TB aktif. Pasien dengan hasil
radiografi dada negatif membutuhkan terapi untuk TB laten. Pasien anergik
sebaiknya mempunyai radiografi dada awal untuk mencari bukti tuberkulosis
sebelumnya. Sebagai catatan glukokortikoid menurunkan regulasi
hipersensitivitas tipe lambat dan dapat menekan respon derivatif protein
terpurifikasi. Suatu derivatif protein terpurifikasi yang positif pada populasi ini
dipertimbangkan pada indurasi dengan ukuran 5 mm atau lebih. Pemberian
glukokortikoid dosis tinggi pada pasien dengan penyakit dasar paru-paru, hitung
limfosit rendah, kondisi dasar yang menyebabkan imunosupresi, dan/atau pada
pasien sedang dengan terapi sitotoksik harus diberikan perhatian lebih, karena
meningkatnya resiko berkembang menjadi pneumonia Pneumocystis. Beberapa
menganjurkan penggunaan profilaksis trimethoprim-sulfamethoxazole melawan
Pneumocystis jiroveci pada pasien dengan resiko tinggi yang mendapat
glukokortikoid dosis tinggi. Pemeriksaan terhadap infeksi tersembunyi lainnya
harus berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik. Sebagai contoh, kultur feses
untuk Strongyloides harus dilakukan untuk mereka yang tinggal di negara tropis
dan veteran Vietnam.

9
Imunisasi
Imunisasi dengan vaksin hidup dapat diberikan jika durasi pengunaan
glukokortikoid kurang dari 2 minggu pada dosis berapapun, jika dosis
glukokortikoid <20 mg/hari pada durasi berapapun, atau kurang dari 2 mg/kg pada
pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg, dan jika menggunakan terapi
dengan sediaan kerja singkat dalam jangka panjang dengan dosis setiap selang
sehari. Imunisasi dengan vaksin hidup tidak boleh diberikan setidaknya 1 bulan
setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi (>20mg/hari) selama lebih dari 2
minggu.

Supresi Adrenal
Pasien yang menerima terapi glukokortikoid harian selama lebih dari 3 sampai 4
minggu harus dianggap telah mengalami supresi kelenjar adrenal dan
membutuhkan penurunan dosis glukokortikoid untuk memulihkan Hypothalamus
Pituitary Axis (HPA). Dokter dapat memilih diantara variasi algoritma penurunan
dosis dan dapat memilih untuk memeriksa HPA untuk mengarahkan kebutuhan
untuk terapi pemeliharaan jangka pendek pada akhir penurunan.
Jika dokter memilih untuk memeriksa HPA, harus dilakukan dengan
kortisol pukul 8 pagi (waktu pemeriksaan saat puncak produksi kortisol secara
fisiologis) sebelum meminum dosis steroid harian dan setelah menurunkan dosis
harian tersebut menjadi dosis yang kurang dari atau sama dengan level kortisol
fisiologis harian (<5 mg prednison/hari; atau 15-20 mg hidrokortison/hari). Jika
tingkat kortisol plasma pukul 8 pagi adalah 5 g/dL atau lebih rendah, terapi
glukokortikoid dilanjutkan dan diperiksa ulang serum kortisol setiap 3-6 bulan
sampai tingkatnya lebih tinggi dari 10 g/dL. Jika tingkat yang didapatkan lebih
dari sama dengan 5 tetapi kurang dari sama dengan 20 g/dL, dokter dapat
memilih melakukan pemeriksaan lanjutan, seperti tes stimulasi hormon pelepasan
kortikotropin, pemberian terapi pemeliharaan dapat dilanjutkan dengan penurunan
yang sangat pelan. Jika saat pasien mendapat dosis penurunan bertahap steroid
muncul stres, misalnya, karena trauma, pembedahan, diare, atau demam dapat

10
menimbulkan insufisiensi adrenal akut yang berhubungan dengan respon stres
yang tidak adekuat. Pada situasi tersebut, dianggap penting untuk memberikan
dosis glukokortikoid yang lebih tinggi dengan dosis terbagi. Pasien harus
diedukasi tentang perlunya penanganan stres dan sebaiknya menggunakan kalung
atau membawa kartu yang mengindikasikan bahwa mereka sedang mendapatkan
glukokortikoid.
Kebanyakan pasien dapat dipertahankan dengan dosis regular
glukokortikoid pada persiapan operasi. Panduan sebelumnya untuk penanganan
preoperatif dan perioperatif adalah berdasarkan respon kortisol terhadap
keparahan operasi. Namun, pendapat ahli menunjukkan suatu paradigma
peralihan. Dapat dipertimbangkan pemberian glukokortikoid dosis tinggi (50 mg
hidrokortison setiap 8 jam sampai asupan oral ditoleransi) untuk pasien yang
menjalani prosedur pembedahan mayor atau pasien dengan gagal adrenal primer,
hiperplasia adrenal kongenital atau hipopituarisme. Hanya sedikit RCT yang telah
dilakukan dan data yang didapatkan jarang. Klinisi harus waspada terhadap
hipotensi intraoperatif atau tanda lain dari insufisiensi adrenal untuk pasien yang
beresiko yang menjalani prosedur pembedahan dan mengobati dengan tepat jika
insufien adrenal akut adalah etiologinya.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang berhubungan dengan terapi glukokortikoid sistemik meningkat


pada pemberian dosis yang lebih tinggi, durasi terapi yang lebih lama, dan
pemberian yang lebih sering. (Tabel 184.4) Namun, osteoporosis dan katarak
muncul pada penggunaan glukokortikoid dengan dosis selang sehari, dan nekrosis
avaskular (AVN) dapat dilihat setelah pemakaian glukokortikoid hanya secara
singkat.

Osteoporosis

Osteoporosis terjadi pada 40 persen individu yang diobati dengan glukokortikoid


sistemik dalam jangka panjang. Hilangnya tulang paling cepat pada beberapa

11
bulan pertama dari penggunaan glukokortikoid, tetapi berlanjut dngan kecepatan
yang lebih rendah. Bahkan prednison dosis rendah (2,5 mg per hari) dapat
berkomplikasi pada tulang dan meningkatkan kejadian fraktur tulang belakang
dan panggul.
Glukokortikoid mempunyai efek langsung dan tidak langsung pada tulang.
Glukokortikoid menurunkan pembentukan tulang dan meningkatkan penyerapan
dengan menghambat osteoblast dan meningkatkan aktivitas osteoklas. Secara
tidak langsung, glukokortikoid meningkatkan ekskresi kalsium pada ginjal,
menurunkan penyerapan kalsium intestinal dan menurunkan tingkat estrogen dan
testosteron.
Setiap pasien dengan terapi glukokortikoid selama 3 bulan atau lebih harus
diantisipasi dengan menerima kalsium 1200 mg/hari dan vitamin D 800 IU/ hari
dengan diet dan suplemen. Pasien dengan komorbid, seperti pasien dengan
sarkoidosis dan batu ginjal, mungkin membutuhkan monitoring ketat atau
penyesuaian pada rekomendasi ini. Klinisi dapat mempertimbangkan memeriksa
tingkat vitamin D dan replesi sebelum terapi pemeliharaan dimulai. Pasien dengan
prednisone 5 mg atau lebih per hari selama 3 bulan atau lebih dan semua pasien
yang mempunyai resiko tinggi osteoporosis harus diantisipasi dengan evaluasi
menggunakan absorptiometry x-ray dengan dual-energy atau dengan alat
penilaian resiko fraktur WHO, persamaan FRAX (http://www.shef.ac.uk/FRAX/),
sebagai pertimbangan memulai bifosfonat. Efek samping yang jarang dari
bifosfonat mencakup osteonekrosis dari dagu dan fraktur femoral atipikal. Sebagai
tambahan, bifosfonat dikontraindikasikan pada pasien dengan creatinin clearance
di bawah 30 mL/min.
Bifosfonat oral dikontraindikasikan pada pasien yang tidak dapat duduk
tegak selama 30 menit setelah menelan sebuah pil atau untuk pasien dengan
penyakit esofagus yang berdampak pada menelan, seperti akalasia, striktur,
refluks atau varises. Memulai bifosfonat pada wanita yang berpotensial hamil
harus dipertimbangkan pada setiap kasus. Secara umum, wanita ini harus
menghindari bifosfonat pada kasus yang tidak ditemukan fraktur akibat kerapuhan
atau proses hilangnya tulang yang sedang berjalan. Penggunaan glukokortikoid

12
jangka panjang dan/atau pasien resiko tinggi dapat dievaluasi untuk memulai
teriparatide. Penyebab sekunder untuk osteoporosis harus dipertimbangkan dan
dievaluasi pada semua pasien.

TABEL 184.4
Komplikasi yang Berhubungan dengan Terapi Glukokortikoid Sistemik
Kesehatan tulang
1. Nekrosis avaskular dari tulang
2. Osteoporosis
Kardiovaskular
1. Aterosklerosis
2. Dislipidemia
3. Hipertensi
4. Retensi natrium dan cairan
Kutaneus
1. Inhibisi fibroblas
2. Inhibisi penyembuhan luka
3. Atropi jaringan subkutan (striae, purpura, ekimosis)
Endokrin/Metabolik
1. Perubahan distribusi lemak (tipikal penampilan cushingoid)
2. Infiltrasi lemak ke hati
3. Gagal tumbuh
4. Hiperglikemia dan predisposisi genetik yang tidak tertutupi sampai
diabetes mellitus
5. Amenore sekunder
6. Supresi aksis HPA
Gastrointestinal
1. Pendarahan gastrointestinal
2. Perforasi intestinal
3. Pankreatitis
4. Ulkus peptikum
Imunitas
1. Efek pada kinetik dan fungsi fagosit
2. Imunosupresi, anergi
3. Meningkatnya insiden infeksi
4. Supresi pertahanan pejamu
Tidak diketahui
1. Anafilaksis
2. Interaksi obat (sebagai contoh, peningkatan INR pada pasien yang
menggunakan prednison dan coumadin)
3. Reaksi hipersensitivitas
4. Myopati
5. Urtikaria
Oftalmolologi
1. Katarak
2. Glaukoma
Psikiatri/ gangguan Mood
1. Depresi, mania
2. Gangguan tidur
3. Pikiran membahayakan diri sendiri 13
Nekrosis avaskular - avascular necrosis (AVN)
Gejala AVN adalah nyeri dan pergerakan yang terbatas pada satu sendi atau lebih.
Berbagai mekanisme dipostulasikan untuk menjelaskan AVN. Deteksi dini
penting karena intervensi awal dapat mencegah progresi menjadi penyakit sendi
degeneratif yang membutuhkan penggantian sendi. Pasien harus secara teratur
ditanyakan mengenai nyeri dan keterbatasan gerak sendi. Jika ketidaknormalan
berkembang, harus dikerjakan radiografi, scan tulang atau MRI. Karena radiografi
dapat normal pada AVN, jika kecurigaan terhadap efek samping ini kuat, klinisi
harus mempertimbangkan evaluasi dengan MRI. Jika melibatkan sendi multipel,
diperlukan scan tulang. Jika ditemukan AVN, dokter ortopedi yang terlatih dalam
intervensi awal dengan core dekompresi dapat menghentikan progresi penyakit.

Penyakit kardiovaskular
Penggunaan glukokortikoid berhubungan dengan meningkatnya resiko untuk
penyakit jantung sistemik dan gagal jantung, walaupun resiko ini tampak paling
besar pada pasien dengan sindrom Cushing iatrogenik. Berbagai mekanisme dapat
berkontribusi pada peningkatan resiko terjadinya kejadian kardiovaskular diantara
pasien dengan hiperkortisolisme, mencakup hiperkortisolisme yang menginduksi
hipertensi, meningkatnya artheriosklerosis, perubahan struktural seperti hipertrofi
ventrikel dan fibrosis miokardial dan perubahan EKG. Namun data terbatas.
Banyak studi yang mengekslusi pasien dengan sindrom Cushing iatrogenik dan
komorbid seperti intoleransi glukosa, peningkatan berat badan dan dislipidemia
dapat menghasilkan perancu pada hasil studi.
Peningkatan resiko kardiovaskular dapat menetap selama beberapa tahun
setelah kembali normalnya level serum kortisol pada penyakit Cushing. Walaupun
studi secara primer menggunakan penyakit Cushing, lebih bijaksana jika tetap
waspada pada peningkatan resiko ini pada pasien dengan pemberian
glukokortikoid atau dengan sindrom Cushing iatrogenik karena sindrom
metabolik tetap ada setelah glukokortikoid dihentikan, berkontribusi pada resiko
berkelanjutan untuk penyakit kardiovaskular.

14
Faktor resiko kardiovaskular harus secara agresif ditangani. Tekanan
darah, diet, serum lipid, dan tingkat glukosa harus diukur secara serial. Hasil yang
tidak normal harus diterapi dengan manipulasi diet dan medikasi seperlunya dan
berdasarkan pada panduan terakhir.

Komplikasi gastrointestinal
Terdapat peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit ulkus peptikum dan
pendarahan gastrointestinal pada pasien yang mendapat glukokortikoid dan
NSAID, walaupun belum jelas apakah kortikosteroid secara independent
meningkatkan resiko ini. Pada pasien dengan terapi kombinasi dengan agen
NSAID dan glukokortikoid, profilaksis harus dipertimbangkan pada pasien
dengan 2 atau lebih faktor resiko (seperti pada pasien dengan riwayat sebelumnya
ulkus peptikum atau penyakit keganasan lanjut).

Supresi aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal

Aksis HPA tersupresi dengan cepat setelah permulaan terapi glukokortikoid.


Namun, jika terapi hanya selama 1 sampai 3 minggu, pemulihan aksis HPA terjadi
dengan cepat. Terapi glukokortikoid harian yang lebih lama berhubungan dengan
supresi aksis HPA. Gejala supresi adrenal meliputi letargi, kelemahan, nausea,
anoreksia, demam, hipotensi ortostatik, hipoglikemia, dan penurunan berat badan.
Selain itu juga terdapat sindrom putus obat steroid, dimana pasien
mengalami gejala insufisiensi adrenal meskipun memiliki respon kortisol yang
tampak normal terhadap ACTH. Gejala yang paling umum meliputi anoreksia,
letargi, malaise, nausea, penurunan berat badan, deskuamasi kulit, nyeri kepala,
dan demam. Yang lebih jarang terjadi adalah muntah, nyeri otot, dan nyeri sendi.
Pasien ini telah menyesuaikan ke kadar glukokortikoid yang tinggi, dan gejala
menghilang setelah glukokortikoid dimulai kembali. Masalah ini dapat diobati
dengan penurunan dosis glukokortikoid bertahap yang lebih lambat, atau
sementara meningkatkan dosisnya.

15
Efek psikiatri

Perubahan mood dan kognitif tergantung dari dosis dan dapat muncul secara
singkat setelah mulainya glukokortikoid. Umur dan jenis kelamin tampak menjadi
faktor resiko untuk efek samping spesifik. Wanita lebih banyak mengalami
depresi, sedangkan laki-laki lebih banyak mengalami mania. Resiko depresi,
mania, delirium, konfusi dan disorientasi meningkat seiring usia, tetapi sebaliknya
dengan tingkah laku bunuh diri dan penyakit panik. Insiden dari kejadian
neuropsikiatrik paling tinggi pada 3 bulan pertama terapi. Dosis prednisone lebih
dari 80 mg/hari meningkatkan resiko psikosis akibat steroid.

Perhatian selama menyusui dan kehamilan

Glukokortikoid melewati plasenta, tetapi tidak teratogenik. Walaupun


glukokortikoid disekresi ke susu ibu, tidak ada efek samping yang dilaporkan
diantara bayi yang diberi ASI dari ibu yang mendapat glukokortikoid. Prednisolon
sebagai pengganti prednisone dan mencegah menyusui selama 4 jam setelah
pemberian dosis dapat menurunkan jumlah obat yang ditransfer selama menyusui.

Masalah spesifik pada pediatrik

Pada populasi pediatrik, glukokortikoid menyebabkan supresi pertumbuhan dan


osteoporosis dini. Glukokortikoid menghambat pembentukan tulang,
mempengaruhi metabolisme kalsium dan posfor dan mengganggu hormon
pertumbuhan dengan mempengaruhi sekresi hormon pertumbuhan, ekspresi
reseptor hormon pertumbuhan dan transduksi sinyal dari hormon pertumbuhan ke
jaringan target. Efek ini dapat dikembalikan oleh terapi dengan hormon
pertumbuhan. Osteoporosis dapat kembali setelah glukokortikoid dihentikan.

16

Anda mungkin juga menyukai