Anda di halaman 1dari 16

STATUS RESPONSI

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : dr. Suci Widhiati, Msc., SpKK


Nama Mahasiswa : Reza Satria Halim
NIM : G99161080

FOLIKULITIS
DEFINISI
Folikulitis adalah peradangan pada folikel rambut yang disebabkan
terutama karena infeksi dari bakteri gram positif, Staphylococcus aureus.
Kelainan kulit ini sering ditemukan pada daerah yang beriklim tropis dengan
tempat tinggal yang padat dan yang higiene buruk (Daili S et al, 2005).
Ujud Kelainan Kulit (UKK) dari folikulitis berupa lesiberbentukpapul
atau pustul berbentuk bulat/oval dengan dasar eritem. Folikulitis juga dapat
berbentuk pustul berwarna kuning yang dapat menghilang dalam 7 hingga 10 hari
tanpa membentuk sikatris. Biasanya disertai rasa gatal. Sebagian kasus tidak
berpengaruh pada pertumbuhan rambut, namun dalam kasus yang kronis rambut
bisa rusak dan hilang secara permanen. Terkadang penyakit ini dapat diakibatkan
oleh sekret dari suatu luka/abses.
Infeksi dari folikel rambut atau unit pilosebaceous (terdiri dari rambut,
folikel rambut, muskulus erektor villi, serta glandula sebasea terbagi menjadi dua
bentuk klasifikasi, yaitu superfisial dan profunda (dalam) (Wortman, 1993).
Folikulitis yang disebabkan oleh infeksi S. aureus memiliki karakteristik berupa
papula/pustule berbasis folikel, yang bersifat diskret. Penyebaran infeksi sampai
ke hidung dapat menyebabkan sycosis barbae pada pria muda, yang tampak
sebagai plak kemerahan di daerah janggut (Chiller K and Selkin BA, 2001).
Infeksi yang lebih dalam pada folikel rambut dapat menyebabkan
munculnya furunkel atau karbunkel (kumpulan furunkel). Furunkel adalah nodul d
daerah bantalan rambut yang berisi discharge purulen, serta jaringan yang mati.
Sedangkan karbunkel adalam kumpulan furunkel yang menyatu membentuk lesi
yang lebih besar, dalam, dan abses. Staphylococcus merupakan bakteri penyebab
dihampir semua kasus seperti ini (Chiller K and Selkin BA, 2001).
2

Folikulitis disebabkan oleh berbagai penyebab (multietiologi). Namun,


dalam paparan kali ini folikulitis yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus
aureus saja yang akan dibahas lebih lanjut.

EPIDEMIOLOGI
Meskipun folikulitis merupakan kelainan kulit yang umum. Namun karena
sifatnya yang sering self-limited (sembuh dengan sendirinya), maka pasien jarang
mengeluhkan hal ini ke dokter. Sehingga insidensi pastinya belum diketahui.
Jikapun ditemukan, maka berarti termasuk kasus yang berulang, kronis atau kasus
folikulitis tipe profunda (tipe dalam). Meskipun jumlahnya tidak diketahui,
beberapa kondisi yang membuat pasien lebih rentan, diantaranya mencukur,
imunosupresi (termasuk HIV), dermatosis yang telah ada sebelumnya,
penggunaan antibiotik jangka panjang, pakaian ketat, paparan suhu lembab,
diabetes mellitus, obesitas, dan penggunaan obat EGF-R inhibitor (Satter EK,
2016).
Folikulitis juga telah dilaporkan sebagai kejadian ikutan pasca vaksin
smallpox dan anthrax. Kasus ini lebih sering ditemukan pada tentarayang
divaksinasi sebelum ditugaskan (nwkjca). Erupsi akneiformis yang disebabkan
oleh penghambat resepotr faktor pertumbuhan epidermal terjadi pada 50-100%
pasien yang merupakan reaksi obat bergantung dosis. (dose-dependent drug
reaction) (Walsh SR and Johnson RP, 2007).
Folikulitis dapat terjadi pada orang-orang dari ras manapun, khusus
pseudofolikulitis dan folikulitis traksi lebih sering terjadi pada ras Afrika-
Amerika, sedangkan folikulitis eosinofil klasik lebih sering terjadi pada orang
jepang (Fox GN and Stausmire, 2007).
Meskipun kebanyakan kasus folikulitis tidak memiliki predileksi jenis
kelamin, namun jenis folikulitis eosinofil lebih sering dialami pria, dan
pityrosporum folikulitis ditemukan lebih sering terjadi pada wanita. Folikulitis
dapat terjadi dan mengenai segala jenis usia (Satter EK, 2017).
Kelainan kulit jenis ini sering ditemukan pada daerah yang beriklim tropis
dengan tempat tinggal yang padat dan yang higiene buruk (Daili S et al, 2005)
ETIOLOGI
Folikulitis merupakan kelainan kulit non-spesifik yang disebabkan oleh
banyak penyebab (multietiologi) yang pada akhirnya penyakit ini dinamai
3

berdasarkan masing-masing pencetus. Terdapat Staphylococcus folikulitis berarti


folikulitis yang diakibatkan infeksi dari bakteri Stapylococcus auerus. Selain itu,
terdapat Pseudomonas folikulitis, yang biasanya diakibatkan karena
terkontaminasinya hot tub. Selain bakteri, folikulitis juga dapat disebabkan oleh
infeksi jamur seperti dermatophytic folliculitis (tinea capitis, tinea barbae), dan
Malassezia folliculitis. Dari golongan virus dapat menyebabkan folikulitis HSV,
folikulitis Varicella, dan folikulitis Molluscum (Wolff K and Johnson RA, 2007).
Selain jenis folikulitis yang dipaparkan diatas (selanjutnya disebut
infectious folliculitis) juga terdapat folikulitis jenis lain, diantaranya
psuedofolliculitis barbae, folliculitis keloidalis, dissecting folliculitis, dan
folliculitis decalvans (Wolff K and Johnson RA, 2007)

HISTOPATOLOGI
Secara histologis, semua kasus folikulitis superfisial memiliki tampilan
yang serupa karena sebagian besar menunjukkan infiltrasi sel radang yang cukup
banyak pada ostium folikuler dan daerah bagian atas folikel. Pada kebanyakan
kasus, peradangan dimulai dengan hadirnya nuutofil, kemudian menjadi lebih
bercampur dengan hadirnya limfosit dan makrofag. Jika folikulitis yang diperiksa
merupakan akibat infeksi, maka dapat ditemukan berbagai mikroorganisme di
dalam folikel (Weedon D and Strutton G, 2002).

Gambar 1. Folikulitis superfisial dengan neutrophil yang terkonsentrasi pada bagian atas folikel
Folikulitis juga dapat menginvasi lapisan lebih dalam, dengan peradangan
yang mengenai seluruh folikel dan sering mengenai dermis kemudia terjadilah
abses dermis fokal. Dalam perifolikulitis, peradangan dibatasi dengan area yang
segera mengelilingi (Satter EK, 2016). Dapat dilihat pada gambar dibawah ini
4

Gambar 2. Perifolikulitis, menampilkan sel radang yang mengelilingi folikel


Evaluasi histopatologis dari folikulitis herpes sulit diveluasi karena hampir
tidak kentara, tidak spesifik, dan sering membutuhkan penampang histologis yang
lebih dalam untuk dapat melihat perubahan histologis yang khas. Biasanya terlihat
infiltrasi padat limfohistositik, dan sering bercampur dengan neutrophil yang
mengelilingi dan merusak folikel rambut. Pada biopsi dari kurang lebih setengah
kasus ditemukan perubahan karakteristik pada infeksi herpes, seperti degenerasi
balon pada keratinosit folikel, sel multinukleat yang tersebar, dan keratinosit
dengan pembesaran inti berwarna abu-abu yang memiliki batas tepi kromatin.
Sebagian besar kasus folukilitis herpes terbukti disebabkan oleh infeksi virus
varicella-zoster, dan pada awalnya, infeksi berpusat pada kelenjar sebaceous
(Boer A and Harder N, 2006).
Pada psudofolikulitis barbae dan acne keloidalis nuchae, infiltari sel
radang diawali dengan perifolikuler yang teridir dari neutrofil dan limfosit. Lalu
kemudian datanglah sel monosit dan sel plasma. Sering kali batang rambut bebas
tanpa folikel yang menyertainya dapat diidentifikasi dalam dermis. Batang rambut
biasanya peradangan akut atau granulomatosa dan fibrosis. Skar hipertrofik uga
sering terlihat (Weedon D and Strutton G, 2002).
Gambaran mikroskopik dari folikulitis eosinofil terdiri dari infiltrasi
perifolikuler sel radang dan eosinofil yang berhubungan dengan folikular eosinofil
5

spongiosis. Folikulitis jenis ini sering dikaitkan dengan follicular muccinosis


(Nervi SJ and Schwartz RA, 2006)

PATOGENESIS
Jenis Staphylococcus pada kulit manusia beragam. Mulai dari yang
berstatus flora normal (koagulase negatif), seperti S. epidermis, S. haemolitycus,
dan hominis adalah yang paling melimpah. Golongan ini jarang ditemukan pada
penyakit kulit, meskipun beberapa penelitian pernah menemukan bakteri ini yang
diisolasi dari pustula minor (Noble WC, 1998).
Satu-satunya jenis Staphylococcus koagulase positif yang biasanya
ditemukan pada kulit manusia adalah Staphlococcus aureus, meskipun bakteri
jenis ini bukan merupakan flora normal kulit (pathogen). Daerah carrier yang
paling banyak ditemukan adalah pada nares anterior (35% dari populasi),
perineum (20%), aksila (5%-10%). Diketahui bahwa terjadi peningkatan carrier
pada pasien dengan HIV dan lebih dari 90% peningkatan koloni Staphylococcus
aureus pada pasien yang terdiagnosa dermatitis atopik. Namun, dikarenakan
tingkat variasi carrier yang luas dalam sampel acak dari populasi normal (18%-
40%) peningkatan koloni pada kedua pasien tersebut belum diyakini sepenuhnya.
Stapylococcus aureus diketahui memiliki factor pathogenitas yang luas. Beberapa
faktor tidak spesifik, seperti protein A yang hanya ditemukan pada staphylococcus
koagulase positif. Kombinasi injeksi protein A dan fragmen Fc IgG secara
intradermal ternyata menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe tertunda secara
nyata pada pasien normal (Noble WC, 1998).
Berdasarkan sumber lain folikulitis mengacu pada pembengkakan folikel
rambut. Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, jamur, atau parasit)
atau bukan karena infeksi, secara umum terjadi akibat trauma folikular,
pembengkakan, atau oklusi. Folikulitis eosinophil memiliki etiologi yang berbeda
dan dianggap muncul akibat proses reaksi autoimun yang secara langsung
menghancurkan sebosit dan beberapa komponen daru sebum (Satter EK, 2016).
Meskipun patofisiologi erupsi akneiformis sekunder pada penghambat
reseptor faktor pertumbuhan masih kurang dipahami, namun telah dihipotesiskan
bahwa erupsi papulopustular merupakan penyebab sekunder dari terhambatnya
6

diferensiasi folikel kulit, yang berujung pada obstruksi folikuler dan peradangan
berikutnya (Bragg J and Pomeranz MK, 2007)

GAMBARAN KLINIS
Pasien dengan folikulitis superfisial biasanya memiliki gambaran berupa
papula/pustule kecil yang multiple dengan dasar eritem yang biasanya masih
terdapat rambut dibagian tengah lesi. Sedangkan lesi yang lebih dalam
memberikan penampakan berupa nodul eritem yang sering berkonfluen.
Terkadang pola folikulitis muncul di area yang tercukur. Semua daerah yang
memiliki rambut dapat terkena, namun daerah yang palin sering adalah wajah,
kulit kepala, paja, aksila, dan daerah inguinal (Satter EK, 2016).
Folikulitis secara tradisional dibagi menjadi bentuk yang dangkal dan
dalam. Namun, bentuk folikulitis yang paling dangkal sekalipun dapat
berkembang menjadi bentuk yang dalam. Bentuk folikulitis yang berasal dari jenis
folikulitis akibat infeksi yang diketahui bernama impetigo bockhart yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus, lesi umumnya muncul oada daerah
janggut, sering juga di bibir atas di dekat hidung. Papula/pustule eritem yang
muncul pada daerah ini dapat pecah dan meninggalkan kerak kuning (Satter EK,
2016).
Tipe lain dari folikulitis superfisial yang disebabkan oleh Staphylococcus
aureus adalah sty, yang sangat khas karena teradi pada kelopak mata (Laureano
AC and Schwartz RA, 2014).

DIAGNOSIS BANDING
1. Erupsi acneiformis
Erupsi akneiformis adalah kelainan kulit yang menyerupai jerawat
(akne vulgaris). Lesi biasanya berupa papulopustular, nodular, atau kistik.
Perbedaan dengan akne vulgaris adala pada akne dijumpai bentukan komedo
yang banya, sedangkan pada erupsi akneiformis dijumpai jumlah komedo yang
sedikit. Sedangkan perbedaan dengan folikulitis terletak pada agen penginfeksi
(Kuflik JH, 2015).
7

Dari anamnesis dapat diketahui riwayat penggunaan obat-obatan seperti


kortikosteroid jangka panjang pada erupsi akneiformis.
2. Akne vulgaris
Akne atau dalam bahasa awam sering disebut jerawat adalah penyakit
kulit kronis yang umum dijumpai. Dapat disebabkan oleh blockade atau proses
inflamasi dari unit pilosebaceous yang meliputi rambut, folikel rambut,
muskulus rector villi, serta glandula sebasea. Akne dapat nampak sebagai lesi
yang sedang meradang, tidak meradang, atau dapat keduanya (campuran).
Tempat predileksi dari akne adalah pada wajah, tapi juga dapat muncul di
punggung dan dada (Dawson AL and Dellavalle RP, 2013).
Akne punya pathogenesis yang bervariasi, tapi yang utama adala factor
genetik. Selain itu beberapa teori yang mendukung pathogenesis timbulnya
akne seperti hiperproliferasi dari folikel epidermal, produksi sebum yang
berlebihan, keterlibatan dari bakteri propionibakterium akne, dan peradangan
(Thiboutot D and Gollnick H, 2009).
Akne vulgaris memiliki karakteristik bervariasi berupa non-
inflammatory, komedo terbuka atau tertutup, dan atau papul, pustule, dan nodul
eritem. Akne vulgaris terutama akan banyak dijumai pada area yang padat
jumlah folikel sebasea-nya, seperti wajah, dada, dan punggung. Gejala lokal
dari akne vulgaris seperti nyeri, lunak, dan eritem (Rao J, 2015).
Perbedaan dengan folikulitis adalah agen penginfeksinya (pada
folikulitis adalah S. aureus sedangkan pada Akne adalah P. acne), dan ujud
kelainan kulit yang khas pada akne, yaitu komedo.

3. Pityrosporum folikulitis
Pityrosporum folliculitis (PF) adalah kelainan kulit inflamasi yang
biasanya manifestasi-nya berupa pruritus, erupsi folikular papulopustular yang
tersebar di tubuh bagian atas orang dewasa muda sampai paruh baya. Weary
dkk pertama kali menggambarkan pityrosporum folliculitis pada tahun 1969,
dan kemudian pada tahun 1973, Potter dkk mengidentifikasi secara terpisah
(diagnosis klinis dan histologis) dari pityrosporum folliculitis (Porter BS and
Burgoon CF, 1973).
Pityrosporum folliculitis disebabkan oleh spesies Malassezia yang
merupakan bagian dari mikroflora normal kulit, bukan disebabkan oleh spesies
8

eksogen (Akaza N and Akamatsu H, 2009). Lesi bersifat kronis, eritematosa,


papula/pustula pruritus, yang terjadi dalam pola folikular. Lesi biasanya
muncul di punggung, dada, terkadang di leher, bahu, lengan atas, dan wajah
(Pinney SS, 2016).
Diagnosis pityrosporum folliculitis berdasarkan atas kecurigaan klinis
terhadap penampakan klasi dari papula yang ditemukan dalam pola folikuler di
punggung, dada, lengan atas, dan terkadang leher. Lesinya jarang ditemukan di
wajah. Bila lesi menghilang dengan terapi antimikotik empiris, maka dapat
mendukung diagnosis klinis pityrosporum folliculitis (Pinney SS, 2016).
4. Pseudofolikulitis barbae
Pseudofolikulitis barbae adalah bagian dari folikulitis keloidalis.
Biasanya terjadi pada pria kulit hitam afrika yang sering bercukur. Adanya
keterkaitan dengan folikel rambut yang melingkar. Rambut yang melingkar
merambat dibawah permukaan kulit, tumbuh, dan menembus dinding folikuler,
yang menyebabkan reaksi peradangan. Predileksi di daerah cukuran, seperti
janggut, kulit, kepala, kemaluan. Infkesi S. aureus sebagai agen penginfeksi
sekunder juga sering terjadi. Diketahui mempunyai keterkaitan dengan
polimorfisme gen keratin KGhf (Wolff K and Johnson RA, 2007).
Perbedaan dengan folikulitis adalah infeksi S. aureus hanya sebagai
penyebab sekunder saja. Penyebab utama terjadinya pseudofolikulitis barbae
tetap pada struktur anatomi folikel rambu dari orang afrika sendiri.

DIAGNOSIS
Diagnosis didapatkan seperti penyakit pada umumnya. Dimulai dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang.
Pada pasien dengan folikulitis superfisial biasanya mengeluhkan gatal dan
rasa tidak nyaman pada area munculnya lesi. Sedangkan pada folikulitis profunda
biasanya mempunyai lesi yang sudah muncul lama, nyeri, dan terkadang keluar
discharge. Lesi yang persisten dan sering kambuh dapat mengakibatkan
munculnya skar dan kehilangan rambut permanen (Satter EK, 2016).
Erupsi papulopustular folikular sekunder akibat inhibitor reseptor faktor
pertumbuhan epidermis biasanya muncul dalam 2 minggu pertama terapi awal.
Biasanya muncul pada wajah, kulit kepala, dada, dan punggung bagian atas dan
sering disertai dengan pruritus, nyeri, dan deskuamasi. Erupsinya bergantung pada
9

dosis yang puncaknya setelah 3-4 minggu terapi. Meski, erupsi tersebut dapat
berdampak negatif terhadap kualitas hidup beberapa pasien, beberapa peneliti
meyakini erupsi juga nampaknya berkorelasi dengan respon terapi yang baik
(Madke B and Gole P, 2014).
Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan lesi yang berbeda-beda
bergantung pada jenis folikulitis yang diderita pasien. (Sudah dipaparkan di
bagian menifestasi klinis)
Pemeriksaan penunjang laboratorium biasanya tidak dilakukan karena
diagnosis biasanya dilakukan berdasarkan riwayat dan temuan pemeriksaan fisik
saja. Dalam kasus yang resisten terhadap terapi standar, kultur, pewarnaan Gram,
kalium klorida (KOH), dan biopsi adalah tes diagnostik pilihan yang dapat
dilakukan (Satter EK, 2016)

TATALAKSANA
Antibiotik topikal dapat digunakan sebagai lini pertama pada folikulitis
superfisial. Jika pasien memiliki lesi yang luas, persisten, atau jika terdapat infeksi
dalam, maka regimen antibiotik sistemik dapat menjadi pilihan. Obat yang dipilih
harus mencakup penisilin-resisten S. Aureus, atau dalam beberapa situasi
methicillin-resistent S. Aureus (Satter EK, 2016). Antibiotik yang dapat dipilih
diantaranya:
1. Clindamycin, topikal (Cleocin, Cleocin T, ClindaMax, Clindagel, Evocin)
2. Mupirocin (Bactroban, centany)
3. Cephalexin (ceplex)
4. Dicloxacillin
5. Erithtromycin, topical (Akne-mycin, Ery)
6. Minocycline (Minocin Dynacin, Solodyn)
7. Rifampin (Rifadin)
8. Ciprofloxacin (Cipro)
9. Trimethropime dan sulfamethoxazole (Bactrim, Bactrim DS, Septra DS)
10. Linezolid (Zyvox)
11. Dapson (Aczon)
Selain antibiotik dapat juga digunakan pilihan NSAID. Karena etiologi
dan patogenesis folikulitis eosinofilik pustular belum sepenuhnya diketahui, maka
belum ada skema pengobatan. Sejumlah pilihan terapi telah dicoba dengan
berbagai hasil, namun, tidak ada percobaan pengobatan konsisten yang telah
10

dilakukan untuk kondisi ini. Indometasin oral secara konsisten tampaknya paling
bermanfaat diantara pilihan NSAID yang lain (Satter EK, 2016).

PROGNOSIS
Prognosis penyakitnya sendiri baik. Mengingat beberapa tipe dari
folikulitis superfisial bersifat self-limited (sembuh dengan sendirinya). Komplikasi
dari folikulitis juga jarang terjadi. Namun, folikulitis yang persisten dan dalam
dapat menyebabkan selulitis, furunculosis, jaringan parut, pembentukan saluran
sinus, dan rambut rontok permanen (Satter EK, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Bibel DJ, Greenberg JH, Cook JL. Staphylococcus aureus and the microbial
ecology of atopic dermatitis. Can J Microbiol 1977; 23: 10628.

Boer A, Herder N, Winter K, Falk T. Herpes folliculitis: clinical,


histopathological, and molecular pathologic observations. Br J Dermatol.
2006 Apr. 154(4):743-6

Bragg J, Pomeranz MK. Papulopustular drug eruption due to an epidermal growth


factor receptor inhibitors, erlotinib and cetuximab. Dermatol Online J.
2007. 13(1): 1

Chiller K, Selin BA, Murakawa GJ (2001). The Society for Investigative


Dermatology, Inc.; 6 (3): 170-174

Fox GN, Stausmire JM, Mehregan DR. Traction folliculitis: an underreported


entity. Cutis. 2007 Jan. 79(1):26-30

Laureano AC, Schwartz RA, Cohen PJ. Facial bacterial infections: folliculitis.
Clin Dermatol. 2014 Nov-Dec. 32 (6):711-4

Ludlam HA, Noble WC, Marples RR et al. The epidemiology of peritonitis caused
by coagulase-negative staphylococci in continuous ambulatory peritoneal
dialysis. J Med Microbiol 1989; 30: 16774.

Madke B, Gole P, Kumar P, Khopkar U. Dermatological Side Effects of


Epidermal Growth Factor Receptor Inhibitors: 'PRIDE' Complex. Indian J
Dermatol. 2014 May. 59 (3):271-4

Nervi SJ, Schwartz RA, Dmochowski M. Eosinophilic pustular folliculitis: a 40


year retrospect. J Am Acad Dermatol. 2006 Aug. 55(2):285-9
11

Noble WC (1998). British Journal of Dermatology. Skin bacteriology and the role
of Staphylococcus aureus in infection; 139: 9-12

Noble WC, Valkenburg HA, Wolters CHL. Carriage of Staphylococcus aureus in


random samples of a normal population. J Hyg Camb 1967; 65: 56773.

Satter EK, Talavera F, Krusinski P, Elston DM, Zaenglein AL (2016). Medscape


E-medicine. Folliculitis [http://emedicine.medscape.com/article/1070456
diakses Agustus 2017]

Walsh SR, Johnson RP. Vaccinia Folliculitis After Primary Dryvax Vaccination.
Infect Dis Clin Pract. 2007 Mar. 15(2):132-4

Weedon D, Strutton G. Skin Pathology. 2nd ed. New York, NY: Churchill
Livingstone; 2002. 459-66

White MI, Noble WC. The cutaneous reaction to staphylococcal protein A in


normal subjects and patients with atopic dermatitis or psoriasis. Br J
Dermatol 1985; 113: 17983.

Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP (2007). Fitzpatricks Color Atlas and


Synopsis of Cinical Dermatology Fifth Edition; pp: 1200-1205

Wortman PD (1993). Bacterial infections of the skin. Curr Probl Dermatol


6:193228.
12

STATUS PENDERITA
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. A
Tanggal lahir/Umur : 28 Desember 1989/27 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Tegalmulyo, RT. 02, Tegalombok, Kalijambe,
Sragen, Surakarta, Jawa Tengah
Pekerjaan : Pegawai kontrak
Status : Sudah menikah
Tanggal Periksa : 04 Agustus 2017
No. RM : 010463xx

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Timbul bintik-bintik merah di leher
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien berkunjung ke poli Kulit & Kelamin pada tanggal 04
Agustus 2017 dengan ditemani oleh istri pasien. Pasien mengeluhkan
muncul bintik-bintik merah di wajah. Keluhan dirasakan sejak 5 bulan
yang lalu. Bintik-bintik muncul di leher bagian kiri dan tidak menyebar ke
bagian tengah leher, maupun kearah bawah (kaudal, kearah tulang iga).
Selain itu, pasien juga mengeluhkan gatal dan panas di daerah
munculnya keluhan. Gatal dan panas terutama dirasakan saat siang hari
dan saat berkeringat. Setelah kurang lebih satu bulan muncul keluhan
13

pasien berobat ke SpKK, diberi obat minum methylprednisolone 2 kali


sehari, obat lain (lupa nama obatnya), dan salep racikan. Setelah
pengobatan berjalan selama tiga bulan, keluhan dirasakan tidak kunjung
membaik, sehingga berkunjung ke RSUD Dr. Moewardi untuk mencari
alternatif pengobatan dan second opinion.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit serupa sebelumnya : (-)
Riwayat alergi obat : (-)
Riwayat alergi makanan : (-)
Riwayat atopik : (+) Pasien mengatakan muncul
bentol-bentol di seluruh tubuh bila terpapar udara dingin
Riwayat diabetes melitus : (-)
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat asma : (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga dan lingkungan


Riwayat sakit serupa pada anggota keluarga : (-)
Riwayat alergi obat/makanan : (-)
Riwayat urtikaria : (-)
Riwayat atopi : (-)
Riwayat DM : (-)
Pasien mengatakan bahwa anak bungsu pasien mempunyai kulit yang
sensitif

E. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien datang berkunjung ke RSUD Dr. Moewardi dengan
menggunakan fasilitas non-BPJS (umum). Diketahui bahwa pasien teratur
berolahraga 3-4 kali/minggu. Olahraga yang pasien lakukan adalah
jogging, futsal, dan bela diri. Pasien tinggal di rumah bersama istri dan dua
orang anak. Diketahui bahwa pasien juga memelihara dua ekor kucing.
Riwayat merokok disangkal

F. Riwayat Gizi dan Kebiasaan


Pasien makan 2-3 kali sehari, dengan nasi dan lauk-pauk bervariasi
secara teratur. Nafsu makan pasien baik

.
G. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan umum: tampak sehat, compos mentis GCS E4V5M6, gizi
14

kesan cukup
b. Vital Sign: TD : 120/80 mmhg
Frekuensi nadi : 80 x/menit
Frekuensi napas : 16 x/menit
Suhu : 36,8 oC
c. Antropometri: Berat badan : 56 kg
Tinggi badan : 166 cm
IMT : BB/(TB)2 : 20,32 (Ideal, BB
normal)
d. Kepala : normocephal
Wajah : dalam batas normal
Leher : lihat status dermatologis
Mata : dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas Atas : dalam batas normal
Ekstremitas Bawah : dalam batas normal
2. Status Dermatologis
Regio colli sinistra
Tampak papul dan pustule multiple dengan dasar eritem
15

Gambar 3. Status dermatologis pada regio colii sinistra

3. DIAGNOSIS BANDING
a. Akne vulgaris d. Pseudofolikulitis
b. Erupsi akneiformis barbae
c. Staphylococcal
Folikulitis
e. Pityriasis folukulitis

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan KOH : negatif
Pemeriksaan Gram : gram leher : PMN 0-1/LPM
Coccus gram (+) 5-10/lpm

I. DIAGNOSIS
Staphylococcal Folikulitis
16

J. TERAPI
1. Non Medikamentosa
Edukasi pasien untuk:
1) Bersihkan kulit dengan sabun antibakteri
2) Cuci tangan sesuai dengan teknik yang benar. Juga menjaga agar
kuku tetap pendek dan bersih.
3) Hindari/hentikan sementara bercukur pada kult yang terinfeksi
(kurang lebih selama 1 bulan atau sampai lesi terobati/hilang).
4) Ganti pisau cukur secara berkala atau rendam pisau cukur dengan
alkohol 70% atau pemutih encer selama 1 jam secara teratur untuk
menghilangkan pertumbuhan berlebih dari bakteri dan jamur.
5) Kompres air hangat. Boleh dibarengi dengan pemberian antibiotik
topikal.
6) Hindari pemakaian handuk/lap handuk bersama-sama dalam satu
keluarga
7) Gantilah seprai secara teratur.
8) Kuras bak/bak mandi panas (hot tube) secara teratur
2. Medikamentosa
a. Benzoyl peroxide 5% (Benzolac -cl) dua kali sehari. Oles tipis-tipis
pada pagi dan sore hari setelah mandi.
b. Levocetirizine tab 10 mg/24 jam.

K. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad kosmetikum : bonam

Anda mungkin juga menyukai